35
HASIL DAN PEMBAHASAN Konstruksi Mesin Secara keseluruhan mesin kepras tebu tipe rotari terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bagian rangka utama, bagian coulter, unit pisau dan transmisi daya (Gambar 28), sedangkan gambar teknik pada Lampiran 9. Rangka utama berfungsi untuk mengikatkan semua bagian komponen mesin kepras tebu dan dapat dihubungkan ke traktor melalui tiga titik gandeng traktor. Rangka terbuat dari besi UNP ukuran 10 x 5cm tebal 5 mm, plat strip 10 mm dan besi as diameter 25 mm. Bagian coulter berfungsi untuk memotong perakaran tunggul tebu yang tua dan membelah kedua sisi guludan agar proses pengeprasan berlangsung lebih baik, hingga kedalaman 20-30 cm dan lebar 30-40 cm. Besaran kedalaman dan lebar pembelahan sisi guludan ditentukan berdasarkan profil guludan yang ada di perkebunan. Kedalaman dan lebar pembelahan guludan dapat diatur dengan mengendurkan penjepit dan menggeser penyangga coulter. Coulter terbuat dari baja dengan diameter 50 cm dan bagian kelilingnya bercoak
yang dipasang
vertikal pada kedua sisi rangka mesin.
Gambar 28 Prototipe mesin kepras tipe rotari Unit pisau berfungsi memotong bagian tebu pada kedalaman 5-10 cm di bawah permukaan tanah. Kedalaman pengeprasan disesuaikan dengan kedalaman akar tanaman tebu. Untuk prototipe mesin ini digunakan 1/3 kedalaman akar
36
dengan tujuan untuk menjaga agar tunggul tebu tidak tercabut. Unit pisau terdiri dari 8 buah mata pisau yang terbuat dari baja dengan ukuran dimensi 20 x 6 cm tebal 6 mm, kemudian dilakukan hardening pada bagian ujung mata pisau agar pisau tidak mudah tumpul dan juga tidak getas sehingga umur pakai pisau dapat lebih lama. Posisi kemiringan pisau dapat diatur dari sudut potong 45o dan 60o. Komponen transmisi daya mesin kepras tebu yang menghubungkan PTO traktor dengan poros pisau adalah universal joint (Gambar 29). Pada mesin kepras tebu ini digunakan 2 jenis universal joint. Pertama, universal joint telescopic yang menghubungkan daya PTO traktor ke torsimeter. Kedua, double universal joint yang menghubungkan daya dari torsimeter ke poros pisau. Universal joint pertama yang digunakan mempunyai diameter 40 mm dan panjangnya 100-150 cm, sedangkan yang kedua mempunyai diameter 48 mm dan panjangnya 27 cm.
Gambar 29 Universal joint telescopic dan double universal joint Sebelum digunakan double universal joint untuk menyalurkan daya dari torsimeter ke poros pisau, direncanakan memakai flexible shaft dengan asumsi biaya yang murah dan mudah mendapatkan bahannya di pasaran. Akan tetapi dalam realisasinya di lapangan masih belum berhasil. Akhirnya digunakanlah double universal joint sebagai pengganti dari flexible shaft. Dalam pembuatan prototipe mesin kepras tebu ini, terjadi beberapa modifikasi pada poros transmisi yang menghubungkan daya dari torsimeter ke poros pisau. Desain awal, mesin ini menggunakan flexible shaft sebagai penghubung dayanya. Pada prototipe mesin pertama digunakan empat buah flexible shaft yang dipasang secara paralel dan digabungkan. Untuk memperhalus putaran dan menjaga agar putaran flexible shaft tetap pada jalurnya, digunakan
37
bearing yang mempunyai ukuran diameter dalam 16 mm. Bentuk rangkaian transmisi ini bisa dilihat pada Gambar 30. Poros torsimeter Bearing
Poros pisau
Gambar 30 Rangkaian sistem transmisi daya dengan empat buah flexible shaft Mesin kepras tebu dengan system transmisi daya dengan empat buah flexible shaft mengalami kegagalan dalam uji fungsional. Pada putaran PTO yang kecil, flexible shaft terpilin karena gaya puntir dari PTO. Pada uji fungsional dengan putaran PTO yang lebih besar, flexible shaft mengalami kerusakan dengan berubah bentuk seperti yang terlihat pada Gambar 31. Dalam kondisi ini, gaya puntir yang diterima flexible shaft telah melampui batas kekuatannya, sehingga flexible shaft tidak bisa kembali ke bentuk semula.
Gambar 31 Perubahan bentuk flexible shaft pada uji fungsional Untuk mengurangi besaran puntiran yang terjadi pada flexible shaft, pada modifikasi kedua ditambahkan selang plastik untuk membungkus flexible shaft. Selang plastik yang digunakan mempunyai ketebalan 3 mm dengan diameter 25 mm. Selang plastik ini dipasangkan dengan ring ke rangka utama, seperti yang terlihat pada Gambar 32.
38
Gambar 32 Modifikasi transmisi daya kedua dan kerusakan pada flexible shaf Hasil uji fungsional modifikasi kedua ini lebih buruk dari pada modifikasi pertama. Ternyata dengan pemakaian selang ini, flexible shaft menjadi terkekang dan tidak bisa melepaskan gaya puntir yang diterima dari PTO. Akibatnya, kerusakan yang terjadi lebih berat. Flexible shaft mengalami perubahan bentuk, ulir terlepas dan sebagian sampai putus akibat beban puntir yang diterimanya. Selang yang digunakan juga hampir putus. Setelah diamati, ternyata ring yang memegang selang ini yang mengakibatkan kondisi selang dan beberapa flexible shaft hampir putus karena gesekan antara selang dengan ring cukup besar akibat adanya putaran flexible shaft di dalam selang tersebut. Modifikasi selanjutnya, digunakan sembilan flexible shaft untuk menambah daya tahan puntir yang akan diterima dari PTO traktor. Bentuk modifikasi ketiga ini hampir sama dengan modifikasi pertama, bedanya pada modifikasi ini digunakan sembilan flexible shaft dan dua bearing. Penambahan jumlah bearing ini bertujuan untuk memperhalus putaran flexible shaft dan menjaga agar tetap berputar pada alurnya. Flexible shaft dalam kondisi lurus dan sejajar antara ujung dengan pangkalnya sebelum pengujian. Ketika diberikan puntiran pada ujung poros torsimeter, bagian tengah flexible shaft mulai mengalami pengembangan dan akhirnya terpilin. Dengan jumlah flexible shaft yang banyak dan dalam kondisi terpilin ini menyebabkan transmisi sulit berputar karena gesekan yang terjadi antar flexible shaft sendiri cukup besar. Kondisi uji coba modifikasi ketiga ini bisa dilihat pada Gambar 33. Akhirnya, modifikasi ini tidak dilanjutkan karena dikhawatirkan akan merusak komponen mesin yang lainnya.
39
Gambar 33 Modifikasi transmisi daya dengan sembilan buah flexible shaft Setelah beberapa kali modifikasi menggunakan flexible shaft tidak berhasil, selanjutnya digunakan double universal joint sebagai komponen sistem transmisi. Dalam penggunaan universal joint ini dibutuhkan poros tambahan sebagai penyambung antara poros torsimeter dengan ujung universal joint. Poros yang digunakan terbuat dari sebuah as dan pipa, di mana diamaeter as tersebut sama dengan diameter dalam pipa. Untuk yang pertama ini dibuat 2 variasi, yaitu poros dengan rel satu spi dan dua spi. Tujuan adanya rel dan spi ini adalah agar besi silinder bisa bergerak maju mundur di dalam pipa tetapi tidak bisa gerak berputar untuk menyalurkan daya dari poros PTO (Gambar 34).
Setelah diuji, poros
penghubung dengan jalur spi mengalami kerusakan pada variasi satu jalur dan mengalami kemacetan pada variasi dua jalurnya. Untuk variasi satu jalur, kekuatan pipa besi masih kurang besar jika dibandingkan dengan gaya putar poros. Hal ini bisa dilihat dari spi yang retak dan mencuat keluar. Sedangkan untuk yang variasi dua spi, hambatan muncul karena alur spi kurang halus dan lurus. Akibatnya poros penyambung tidak bisa bergerak maju mundur. Hal ini cukup berbahaya untuk double universal joint mengingat pada modifikasi sebelumnya gerak maju mundur ini sangat diperlukan untuk mencegah kerusakan.
Spi yang mencuat keluar .
Gambar 34 Modifikasi transmisi daya dengan pipa dan as Modifikasi selanjutnya, poros penyambung menggunakan poros beralur gardan mobil yang disesuaikan ukuran panjangnya. Untuk yang kedua ini, pipa
40
gardan diberi lapisan plat besi lagi untuk menambah kekuatan pipa tersebut. Bentuk dari modifikasi ini bisa dilihat pada Gambar 35. Uji fungsional dengan poros ini menunjukkan hasil yang baik. Setelah mengalami beberapa modifikasi, akhirnya double universal joint dengan poros beralur gardan mobil yang digunakan untuk transmisi mesin kepras tebu tipe pisau rotari ini.
Poros beralur
Gambar 35 Modifikasi transmisi daya dengan poros beralur Torsi Pengeprasan Rumpun Tunggul Tebu Nilai torsi pengeprasan rumpun tebu merupakan ukuran torsi pemotongan tanah dan beberapa tunggul tebu dengan berdasarkan susunan kombinasi peubah percobaan. Masing-masing kombinasi dilakukan dengan 3 ulangan rumpun tebu. Gambar 36 menunjukkan contoh pola torsi hasil pengukuran tiga rumpun tebu dengan masing-masing rumpun tebu terdiri dari 4 tunggul tebu dengan kombinasi perlakuan P1V1n1S45. Tunggul tebu diasumsikan dalam kondisi tegak, sehingga apabila dilihat dari atas memiliki penampang potong berbentuk lingkaran. Kombinasi P1V1n1S45 mengandung pengertian perlakuan jenis pisau 1 yang memiliki jari-jari sama, kecepatan maju 0.3 m s-1, kecepatan putaran pisau 500 rpm dan sudut pemotongan 45o. Pada saat antara waktu dari 1 sampai 3 detik (a) traktor mulai berjalan dan pisau berputar tanpa beban pemotongan. Nilai torsi berfluktuasi sekitar 10 Nm. Berfluktuasinya nilai torsi pemotongan dikarenakan tidak stabilnya jalan traktor di tanah. Pada saat selang 3 sampai 4 detik (b) pisau mulai memotong tunggul tebu pada rumpun pertama dan torsi menunjukkan nilai 50.82 Nm. Selanjutnya nilai torsi menurun karena pisau berputar tanpa beban pemotongan sampai menuju
41
rumpun kedua (c) dan akan meningkat lagi nilai torsinya pada saat memotong tunggul tebu berikutnya. Rumpun ke-1
Torsi Pengeprasan (Nm)
60
Rumpun ke-2
b
Rumpun ke-3
50 40 30
a
c
20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Waktu (detik)
Gambar 36 Pola torsi pemotongan 3 rumpun tebu perlakuan jenis pisau 1, v= 0.3 m s-1, n=500 rpm dan S = 45o Dari hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa setiap rumpun tebu memiliki satu nilai puncak torsi yang selanjutnya disebut torsi maksimum. Dari percobaan kombinasi jenis pisau 1, kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 500 rpm dan sudut pemotongan 45o diperoleh nilai torsi maksimum pada rumpun pertama sebesar 50.82 Nm, rumpun kedua sebesar 56.41 Nm dan rumpun ketiga sebesar 38.46 Nm. Rataan dari sejumlah torsi maksimum dari percobaan tersebut kemudian digunakan sebagai data torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu. Nilai rataan dari masing-masing kombinasi ditunjukkan pada lampiran 3. Efek Parameter Pemotongan terhadap Torsi Pengeprasan Beberapa parameter pemotongan yang digunakan dalam percobaan pengukuran torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu terdiri atas (1) jenis mata pisau, (2) kecepatan maju pemotongan, (3) kecepatan putaran pisau, (4) sudut kemiringan pemotongan. Efek Jenis Mata Pisau Pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan jenis pisau 1 (pisau dengan jari-jari sama) menghasilkan torsi yang
umumnya lebih besar dibandingkan
42
dengan menggunakan pisau 2 (pisau dengan penambahan feed pada bagian belakang mata pisau) kecuali pada perlakuan kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 500 rpm, sudut pemotongan 45o dimana torsi pemotongan pisau 1 lebih kecil dibanding pisau 2 (Gambar 37). Rendahnya torsi pengeprasan yang dihasilkan pisau 2 disebabkan proses pemotongan tunggul tebu secara bertahap. Pola pemotongan dengan pisau 2 memiliki pola pemotongan seperti mengiris (lampiran 5) sehingga dapat meminimalisir pemotongan secara ditebas pada batang tebu tersebut. Ini disebabkan oleh bentuk mata pisau yang lebih panjang di bagian belakang mata pisau, sehingga pemotongan yang terjadi adalah memotong secara mengiris dan pisau selanjutnya akan masuk ke bagian dalam tebu yang kemudian akan memotong secara mengiris juga. Sedangkan pada perlakuan kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 500 rpm, sudut pemotongan 45o, torsi yang dihasilkan pisau 1 lebih rendah dibandingkan torsi yang dihasilkan pisau 2, hal ini diduga pada proses pengeprasan rumpun tunggul tebu mata pisau 2 lebih dalam masuk ke dalam tanah dibandingkan mata pisau 1, hal ini dapat dilihat pada lampiran 4 dimana rata-rata kedalaman kepras pisau 2 sebesar 14.37 cm dan pisau 1 sebesar 10.73 cm. Sehingga selama proses pengeprasan rumpun tunggul tebu, unit pisau tidak hanya memotong tunggul tebu tetapi juga memotong tanah yang berada disekitar tunggul tebu sehingga menyebabkan torsi pemotongan menjadi lebih besar.
Torsi Pengeprasan (Nm)
80 70 60 50 40 30
pisau 1
20
pisau 2
10 0
Gambar 37 Grafik nilai torsi yang dihasilkan dari 2 jenis pisau 1 dan pisau 2 dengan masing-masing perlakuan
43
Efek Kecepatan Maju Pemotongan Dari hasil pengujian yang dilakukan, Gambar 38 menunjukkan sebagian besar nilai torsi pengeprasan dengan kecepatan maju pemotongan 0.3 m s-1 menghasilkan torsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan maju 0.5 m s-1, kecuali pada pada perlakuan jenis pisau 1, putaran pisau 500 rpm, sudut pemotongan 45o dengan kecepatan maju 0.3 m s-1 sebesar 48.56 Nm lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan maju 0.5 m s-1 sebesar 50.13 Nm. Adapun perlakuan jenis pisau 1, putaran pisau 500 rpm, sudut pemotongan 45o dengan kecepatan maju 0.3 m s-1 dan 0.5 m s-1 sesuai dengan analisa bahwa kecepatan maju yang lebih tinggi akan menghasilkan feed pemotongan yang lebih besar sehingga daya dan torsi yang diperlukan untuk pengeprasan juga meningkat.
Torsi Pengeprasan (Nm)
80 70 60 50 40 30
V1 = 0.3 m/det
20
V2 = 0.5 m/det
10 0
Gambar 38 Grafik nilai torsi yang dihasilkan dari kecepatan maju 0.3 m s-1 dan 0.5 m s-1 dengan masing-masing perlakuan Hasil penelitian Lisyanto (2007) dengan menggunakan mata piring bentuk rata juga menunjukan hasil yang sama dimana sebagian besar kecepatan maju yang rendah juga menghasilkan torsi yang tinggi. Pemotongan dengan kecepatan maju 0.5 m s-1 menghasilkan torsi yang kecil, diduga saat pemotongan batang tebu mengalami pecah oleh mata pisau sebelumnya karena feed pemotongan yang besar, sehingga proses feed pemotongan selanjutnya tidak terjadi, selain itu posisi tunggul tebu yang tidak rapat dan rendahnya kedalaman kepras juga dapat menyebabkan torsi menjadi kecil.
44
Efek Kecepatan Putaran Pisau Hasil pengujian dengan kecepatan putaran pisau 500 rpm dan 850 rpm diperlihatkan pada Gambar 39. Pada kecepatan putaran pisau 850 rpm menunjukkan nilai torsi pengeprasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan putaran pisau 500 rpm. Hal ini sesuai dengan analisa bahwa kecepatan putaran pisau yang lebih tinggi akan menghasilkan torsi pemotongan yang lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan putaran pisau yang lebih rendah, hal ini disebabkan semakin tinggi kecepatan putaran pisau maka feed pemotongan yang dihasilkan semakin kecil sehingga torsi yang dibutuhkan juga kecil. Perlakuan dengan kecepatan maju yang sama, feed pemotongan kecepatan putar 500 rpm sekitar 1.7 kali lebih besar dari kecepatan putar 850 rpm. Torsi Pengeprasan (Nm)
80 70 60 50 40 30
n1 = 500 rpm
20
n2 = 850 rpm
10 0
Gambar 39 Grafik nilai torsi yang dihasilkan dari kecepatan putaran pisau 500 rpm dan 850 rpm dengan masing-masing perlakuan Efek Sudut Pemotongan Gambar
40
menunjukkan
sudut
pemotongan
60o sebagian
besar
menghasilkan torsi pemotongan yang lebih kecil dibanding dengan sudut pemotongan 45o. Hal ini disebabkan gaya saat proses pemotongan tunggul yang relatif tegak lurus terhadap tunggul batang tebu lebih besar dari pada gaya yang dibutuhkan pada pemotongan yang relatif sejajar. Persson (1987), menjelaskan untuk menurunkan gaya pemotongan spesifik maksimum adalah dengan memperbesar sudut kemiringan pisau. Semakin besar sudut kemiringan pisau maka lebar pemotongannya semakin kecil sehingga gaya pemotongan yang dibutuhkan relatif rendah.
45
Torsi Pengeprasan (Nm)
80 70 60 50 40
sudut 45
30
sudut 60
20 10 0
Gambar 40 Grafik nilai torsi yang dihasilkan dari sudut pemotongan 45o dan 60o rpm dengan masing-masing kombinasi perlakuan Dalam pengujian ini rataan torsi pengeprasan yang menunjukkan nilai yang berbanding terbalik adalah perlakuan jenis pisau 1, kecepatan maju 0.3 m s -1, putaran pisau 500 rpm dengan sudut 45o sebesar 48.56 Nm dan sudut 60o sebesar 50.92 Nm. Demikian juga pada perlakuan jenis pisau 2, kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 850 rpm dengan sudut 45o sebesar 29.24 Nm dan sudut 60o sebesar 39.83 Nm. Dari hasil pengujian rata-rata daya pemotongan dengan sudut kemiringan 45o sebesar 2761.39 Watt lebih besar dibandingkan sudut kemiringan 60o sebesar 2446.24 Watt. Hal ini sesuai dengan analisa bahwa semakin besar sudut kemiringan pemotongan maka daya yang dibutuhkan semakin kecil. Hasil Pengeprasan Persentase Tunggul yang Pecah Hasil pengamatan persentase tunggul tebu yang pecah masing-masing perlakuan setelah pengeprasan diperlihatkan pada Gambar 41. Hasil pengujian pengeprasan tunggul tebu dengan menggunakan jenis pisau 1 diperoleh persentase tunggul pecah yang terendah adalah dengan perlakuan kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 850 rpm, sudut pemotongan 45o sebesar 8.33%, hal ini disebabkan menggunakan kecepatan maju yang rendah dan kecepatan putaran pisau yang tinggi
sehinggga
feed
pemotongan
yang
dihasilkan
kecil.
Sedangkan
menggunakan pisau jenis 2 terendah pada perlakuan kecepatan maju 0.3 m s -1,
46
putaran pisau 500 rpm, sudut pemotongan 45o dan kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 850 rpm, sudut pemotongan 45o sebesar 10%. 60
Tunggul pecah (%)
50 40 30 20 10 0
Gambar 41 Persentase tunggul tebu yang pecah dari masing-masing perlakuan Ada beberapa faktor yang menyebabkan tunggul tebu menjadi pecah antara lain keahlian operator dalam menjalankan mesin, kondisi lahan yang tidak datar, dan kelurusan alur tanaman. Kondisi lahan yang tidak datar menyebabkan pengaturan tinggi rendahnya pisau saat beroperasi susah untuk dikendalikan. Akibatnya pisau naik turun saat memotong sehingga potongan tunggul tebu menjadi tidak rata dan pecah. Sedangkan kelurusan alur tanaman menentukan posisi tunggul tebu dan bagian sisi tebu yang akan terkena mata pisau. Secara umum dapat dilihat bahwa posisi sudut pemotongan 45o menghasilkan potongan tunggul yang pecah relatif rendah yaitu 19.63% dibandingkan sudut pemotongan 60o sebesar 31.63%, karena sudut pemotongan 45o memotong relatif tegak lurus dengan arah serat tebu dibandingkan sudut 60 o yang mendekati sejajar dengan arah serat tebu, yang dapat berakibat tidak memotong tapi membelah tunggul tebu dan bila pisau maju ke depan dapat mengakibat tunggul tebu menjadi pecah. Hasil tunggul yang pecah diperlihatkan pada Gambar 42. Pada posisi sudut pemotongan 60o (Gambar 42a), memperlihatkan tunggul tebu yang pecah pada bagian tengah batang tebu dan ini identik bahwa batang tebu tersebut terbelah yang kemudian terseret oleh majunya pisau. Sedangkan pada Gambar 42b dengan posisi sudut pemotongan 45 o
47
memperlihatkan tunggul tebu yang pecah hanya pada bagian tepi dan ini mirip dengan pemotongan material yang getas pada saat penggergajian hampir selesai.
(a) Sudut pemotongan 60o
(b) Sudut pemotongan 45o
Gambar 42 Tunggul tebu yang pecah Persentase Pertunasan Gambar 43 menunjukkan pertumbuhan tunas 2 dan 3 minggu setelah
Pertunasan setelah kepras (%)
kepras (msk). 140 120 100 80 60 40 20
2 msk 3 msk
0
Gambar 43 Persentase pertunasan setelah pengeprasan dari masing-masing perlakuan Dari hasil pengamatan pertumbuhan tunas, pada minggu kedua setelah pengeprasan persentase pertunasan tertinggi pada perlakuan jenis pisau 1, kecepatan maju 0.5 m s-1, putaran pisau 850 rpm dan sudut pemotongan 45o yaitu sebesar 100% dan kemudian meningkat menjadi 120% pada minggu ketiga. Sedangkan persentase pertunasan minggu kedua yang terendah pada perlakuan
48
jenis pisau 2, kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 500 rpm dan sudut pemotongan 600 sebesar 27.27% dan tidak mengalami peningkatan pada minggu ketiga. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak terjadinya atau terhambatnya pertunasan diantaranya tunggul tebu yang pecah, mata tunas yang terpotong dan faktor lingkungan yang tidak mendukung seperti kurang air. Profil Pemotongan Guludan Untuk membandingkan bentuk profil guludan hanya ditinjau dari sudut kemiringan pemotongan pisau, karena dengan berbedanya sudut kemiringan pemotongan akan merubah posisi dudukan pisau dalam proses pengeprasan. Gambar 44 dapat dilihat bentuk profil rata-rata dari perlakuan jenis pisau 2, kecepatan maju 0.3 m s-1, putaran pisau 850 rpm dengan sudut 45o dan 60o dengan posisi sudut pemotongan 45o menghasilkan bentuk keprasan cenderung merata, tidak cekung ke dalam dan lebih lebar dengan kedalaman kepras sebesar 8.07 cm dan lebar keprasan 39.17 cm, dibandingkan dengan posisi sudut pemotongan 60o yang bentuk profilnya agak cekung dengan kedalaman kepras 9.77 cm dan lebar keprasannya 38.33 cm (Lampiran 4). Hal ini sesuai dengan pola lintasan ujung pisau saat diputar sambil digerakkan maju, di mana sudut pemotongan 60o cekung dibandingkan dengan sudut pemotongan 45o. 250
Tinggi (mm)
200 150 100 50 0 20
40 60 jarak (cm) sebelum setelah
Sudut kemiringan pemotongan 45o
80
100
49
250
Tinggi (mm)
200 150 100 50 0 20
40 sebelum
60 jarak (cm)
80
100
setelah
Sudut kemiringan pemotongan 60o Gambar 44 Bentuk profil perlakuan jenis pisau 2, kecepatan maju 0.3 m s-1 dan putaran pisau 850 rpm Dari hasil pengujian dengan sudut pemotongan 45o menghasilkan rata-rata kedalaman kepras sebesar 8.92 cm dan lebar kepras 37.50 cm, sedangkan sudut pemotongan 60o menghasilkan rata-rata kedalaman kepras 8.13 cm dan lebar kepras 36.46 cm. Sudut pemotongan 45o menghasilkan rata-rata kedalaman pada kepras yang lebih besar dari sudut pemotongan 60o karena ada beberapa perlakuan pada sudut 45o yang menghasilkan kedalaman lebih dari 10 cm (Lampiran 4). Pada aplikasi di lahan untuk mengatur kedalaman kepras sulit dilakukan karena tidak adanya unit pengatur kedalaman kepras pada mesin kepras. Untuk mengatur kedalaman kepras hanya mengandalkan hidrolik pada traktor untuk menurunkan dan menaikkan mata pisau mesin pengepras.