18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian Perubahan unsur cuaca harian yang terjadi selama penelitian berlangsung sangat fluktuatif. Hasil pengamatan rataan unsur cuaca pada bulan April dan Mei menunjukkan bahwa nilai kelembapan relatif berbeda jauh di antara kedua bulan tersebut. Data unsur curah hujan yang diperoleh dari BMKG Stasiun Mopah Merauke, menunjukkan perbedaan yang sangat ekstrim antara bulan April (352.9 mm) dan Mei (51.5 mm). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara curah hujan dan kelembapan. Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa di daerah yang curah hujannya lebih tinggi, hijauan yang tumbuh umumnya akan mengandung kadar air yang lebih tinggi pula sehingga dapat menurunkan konsumsi bahan kering oleh ternak. Selama musim barat di bulan April, rata-rata suhu udara dan kecepatan angin rendah sedangkan kelembapan udara dan intensitas radiasi cahaya matahari tinggi jika dibandingkan musim panas bulan Mei (Tabel 1). Tabel 1 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian pukul 08.00-16.00 WIT Waktu
Unsur cuaca lingkungan
Pengamatan
T (oC)
RH(%)
Va(m/s)
Im(lux)
THI
Bulan April
29.30±2.45
78.18±9.18
1.45±0.95
48,154.43±8,315.95
81.34±3.11
Bulan Mei
29.63±1.84
73.09±9.39
2.30±1.22
47,331.91±9,409.55
81.14±2.40
o
Keterangan : T ( C) = suhu lingkungan dalam derajat Celcius; RH(%) = kelembapan relatif dalam
persentase; Va(m/s) = kecepatan angin dalam satuan meter per detik; Im (lux) = Intensitas radiasi cahaya matahari dalam lux; THI = Temperature Humidity Index
Data yang diperoleh menunjukkan saat THI tinggi maka kelembapan udara dan radiasi matahari tinggi, namun kecepatan angin rendah. Nilai THI di lingkungan penelitian pada bulan April dan Mei berada pada danger zone bagi ternak yang ditunjukkan dari hasil THI yang tinggi (Gambar 2). Perlu diperhatikan bahwa nilai THI ini berdasarkan acuan negara 4 musim yang menjadi tempat asal bangsa sapi Bos taurus. Kemungkinan besar untuk sapi-sapi lokal tropik, toleransi terhadap nilai THI akan lebih besar lagi.
19 Pada kondisi THI ini ternak telah mendapat cekaman panas yang tinggi, tetapi respons fisiologis sapi PO dan bali masih dalam kisaran normal. Hal ini dapat dilihat dari perubahan respons fisiologis sapi terhadap lingkungan selama bulan April-Mei. Ternak sapi membutuhkan kondisi lingkungan yang nyaman dengan nilai THI ≤ 74. Nilai THI di pagi lebih rendah dari siang hari karena di pagi hari suhu udara lebih rendah, sebaliknya pada siang hari.
Gambar 2 Tabel Temperature Humidiy Index (THI) Keterangan : berdasarkan Livestock Weather Safety Index : Normal (THI ≤ 74), Alert (75–78 THI), Danger (79–83 THI) dan Emergency (THI ≥ 84)
Nilai unsur suhu udara dan kelembapan yang tinggi menyebabkan sapi PO dan sapi bali berpotensi mengalami cekaman panas. Menurut Williamson dan Payne (1993), temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropis adalah 10 °C sampai 27 °C (50 °F-80 °F). Suhu dan kelembapan yang terjadi di lingkungan penelitian akan menyebabkan proses penguapan dari tubuh sapi terhambat mengakibatkan ternak akan mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang melebihi rata-rata normal membuat ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Kelembapan yang tinggi bisa meningkatkatkan heat stress pada sapi (Mader et al. 2006) karena kelembapan bisa meningkatkan tekanan uap dan
20 menghambat evaporasi kulit tubuh dalam proses pelepasan panas tubuh melalui keringat. Reaksi sapi atas kondisi cekaman tersebut terlihat dari respons frekuensi pernapasan dan denyut jantung sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh sapi. Nilai rataan intensitas radiasi matahari pada bulan-bulan pengukuran sangat tinggi. Radiasi matahari dapat sangat mempengaruhi beban panas pada ternak karena intensitas radiasi cahaya matahari yang besar membuat peningkatan suhu lingkungan sehingga ternak akan mengalami cekaman. Radiasi matahari dan kecepatan
angin
mengubah
kemampuan
ternak untuk mempertahankan
keseimbangan termal (Brosh et al. 1998; Mader 2003). Rata-rata kecepatan angin harian pada musim barat (bulan April) lebih rendah dibandingkan pada musim timur (bulan Mei). Pada bulan Mei, kondisi cuaca di Kabupaten Merauke sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca di benua Australia. Tercatat kecepatan angin maksimum yang terjadi pada saat itu mencapai 13.2 meter/detik. Rataan kecepatan angin harian (Gambar 3) pada bulan April mencapai titik puncak pada sore hari, yaitu pukul 14.00, titik puncak pada bulan Mei biasanya terjadi pada pagi hari pukul 9.00 dan sore hari pukul 15.00. Rata-rata kecepatan angin tinggi pada saat suhu udara tinggi dan kelembapan rendah (Gambar 3). Pada saat kelembapan relatif lebih rendah, maka kecepatan angin cenderung lebih tinggi, karena saat itu kandungan uap air relatif rendah Kecepatan angin dan intensitas radiasi cahaya matahari adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan panas atau kehilangan panas dari tubuh ternak. Kecepatan angin yang tinggi akan mengurangi aktivitas ternak melepaskan beban panas tubuh melalui napas, karena kemungkinan besar panas tubuh akan hilang dengan cara konveksi, yaitu melalui pergerakan udara di atas permukaan tubuh dekat permukaan kulit ternak. Panas tubuh ternak akan ditransfer ke udara sejuk dan dihilangkan melalui pergerakan udara secara terus menerus (Robertshaw 1985).
Temperature Humidity Index
21
82 81 80 79 78 700
800
900
1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
700
800
900
1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
700
800
900
1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
700
800
900
1000
1100
1200
1300
1400
1500
1600
1700
700
800
900
1000
1100 1200 1300 1400 Waktu pengamatan (WIT)
1500
1600
1700
Suhu Udara (oC)
31 30 29 28
85 80 75 70 65
51000 49000 47000 45000 43000 41000 39000 37000 35000
Kecepatan Angin (m/s)
Intensitas Cahaya Matahari (lux)
Kelemnbaban Relatif (%)
27
4 3 2 1 0
Gambar 3 Rataan nilai unsur cuaca harian di lingkungan penelitian bulan April, bulan Mei
22 Suhu udara dan THI pukul 15.00-16.00 WIT pada musim barat bulan April lebih rendah daripada musim timur (Gambar 4). Suhu udara maksimum pada bulan April dan Mei masing-masing 35.5 oC dan 35 oC, sedangkan suhu udara minimum 24.7 oC dan 26 oC. Bulan April
38
Bulan Mei
86
34
82
32
80
30
78
28
76
26
74
24
72
So C
84
THI
36
22
70
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hari ke-
Gambar 4 Rataan suhu udara dan THI mulai dari hari 1-21 bulan April dan hari 1-21 bulan Mei. Angka rataan diperoleh dari pengkuran pukul 15.0016.00 WIT setiap hari. Suhu udara, THI Suhu udara yang cenderung menurun pada waktu pengukuran di bulan April
dikarenakan pola curah hujan yang tinggi pada akhir bulan. Hal ini tentunya mempengaruhi nilai THI pada waktu pengukuran.
Berdasarkan data BMKG
stasiun Merauke Tahun 2010 dan 2011, curah hujan tinggi pada bulan DesemberApril kemudian sejak bulan Mei curah hujan menurun drastis.
Tabel 2 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian pukul 15.00-16.00 WIT Waktu
Unsur cuaca lingkungan
pengamatan
o
T ( C)
RH(%)
Va(m/s)
Im(lux)
THI
Bulan April
29.05±2.44
79.15±9.03
1.55±1.03
42745.17±12944.22
81.09±3.22
29.05±1.99
75.41±9.84
2.85±1.19
40591.98±13972.79
80.58±2.48
Bulan Mei
o
Keterangan : T ( C) = suhu lingkungan dalam derajat Celcius; RH(%) = kelembapan relatif dalam
persentase; Va(m/s) = kecepatan angin dalam satuan meter per detik; Im (lux) = Intensitas radiasi cahaya matahari dalam lux; THI = Temperature Humidity Index
Lingkungan penelitian saat pengukuran fisiologis ternak pada siang hari
pukul 15.00-16.00 WIT (Tabel 2), menunjukkan nilai unsur cuaca yang tidak
berbeda jauh dari rataan harian. Pada waktu tersebut, ternak memberikan respons
23 fisiologis (laju respirasi, laju denyut jantung, suhu rektal, dan suhu kulit) yang tidak nyaman. Respons Fisiologis Ternak pada Musim Barat Bulan April Kondisi lingkungan pemeliharaan ternak akan mempengaruhi keadaan fisiologis ternak.
Sapi termasuk hewan homeotermi, yaitu hewan yang suhu
tubuhnya merupakan hasil keseimbangan dari panas yang diterima dan dikeluarkan oleh tubuh. Pada keadaan normal, suhu tubuh sapi dapat bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan, dan jumlah air yang diminum. Suhu rektal ternak merupakan ukuran representatif dari suhu tubuh dari hasil paparan suhu dan kelembapan lingkungan. Pengaruh waktu pada respons suhu rektal berbeda sangat nyata untuk setiap ternak sapi (P<0.0001). Perbedaan bangsa sapi tidak memberikan pengaruh nyata pada suhu rektal (P>0.05), tetapi perbedaan musim antara musim barat dan musim timur berpengaruh nyata (P<0.05). Rataan suhu rektal, suhu kulit, dan suhu tubuh sapi PO pada bulan April, lebih tinggi dibandingkan sapi bali (Tabel 3). Rata-rata suhu rektal harian sapi PO pada bulan April lebih tinggi (0.528 oC) daripada sapi bali. Pada awal bulan April, suhu rektal sapi PO lebih tinggi kemudian turun pada akhir bulan pengamatan (38.978 ke 38.828 oC). Jika temperatur tubuh tinggi menyebabkan ternak akan meningkatkan mekanisme termoregulasi dengan cara meningkatkan frekuensi
pernapasan,
yaitu
dengan
cara
mengeluarkan
panas
dengan
meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan. Hal ini menunjukkan bahwa sapi bali memiliki lebih baik kemampuan beradaptasi dengan panas dibandingkan dengan sapi PO. Suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas radiasi cahaya matahari yang tinggi serta kecepatan angin yang rendah mengakibatkan respons fisiologis kedua bangsa sapi tersebut pada musim barat bulan April lebih tinggi daripada musim timur bulan Mei. Hal ini diduga karena kemampuan sapi melepas panas dari tubuh terhalang pada saat keadaan lingkungan lembap dan rendahnya kecepatan angin
24 sebagai fungsi untuk memindahkan panas dari permukaan tubuh ke udara lingkungan. Tabel 3 Respons Fisiologis sapi PO dan sapi bali pada musim barat bulan April dan musim timur bulan Mei Paramater
Musim barat bulan April
Musim timur bulan Mei
PO
bali
PO
bali
Suhu kulit
33.05±1.72
32.90±1.88
32.04±1.87
31.47±1.54
Frekuensi pernapasan (per menit)
17.10±5.48
20.12±7.27
15.84±3.93
18.97±4.01
Denyut jantung (per menit)
61.17±12.52
59.63±8.12
52.28±11.20
59.87±10.11
Suhu rectal (oC)
38.83±1.10
38.70±0.61
38.53±0.54
38.46±0.83
Suhu tubuh (o C) 38.02±1.06 37.89±0.68 Keterangan : Pengukuran dilakukan pada jam 15.00-16.00 WIT
37.62±0.61
37.48±0.80
Perbedaan antarbangsa memberikan pengaruh yang sangat nyata pada respons suhu kulit sapi bali dan sapi PO (P<0.001). Pengaruh waktu dan musim juga memberikan respons yang sangat nyata atas respons suhu kulit pada setiap PO dan sapi bali (P<0.0001). Hal ini terjadi karena paparan sinar matahari yang langsung mengenai kulit sapi akan memberikan respons langsung terhadap keadaan suhu kulit sapi. Jenis lapisan penutup kulit berkorelasi dengan suhu tubuh dan dengan produktivitas ternak di daerah tropis. Ternak yang ramping, berambut padat, dan pendek dikaitkan dengan suhu tubuh yang lebih rendah dan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi (Chytil 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika mantel itu pendek, putih, dan mengkilap, itu akan memantulkan 30 sampai 50% dari energi radiasi. Jika mantel adalah berbulu dan hitam, di sisi lain mungkin hanya memantulkan 10% dari yang masuk energi. Kondisi suhu kulit sapi PO yang lebih tinggi dibandingkan sapi bali, meskipun dari warna kulit sapi PO bisa memantulkan energi radiasi lebih besar, kemungkinan terjadi karena keadaan bulu dari sapi PO yang kasar dan tidak terlalu padat. Kulit dengan bulu yang kasar juga dapat memberikan kontribusi mengurangi kemampuan ternak membuang panas tubuh dan mengatur suhu tubuh (McClanahan 2007). Turner dan Schleger (1960) melaporkan bahwa ternak yang
25 memiliki bulu rapi dan lebih padat memiliki suhu tubuh lebih rendah dan tingkat pertumbuhan lebih tinggi. Menurut McManus et al. (2011), hewan dengan kulit gelap (dark skin) akan mampu menghambat penetrasi sinar ultraviolet dan rambut putih (white hairs) akan memantulkan panas radiasi infra-merah. Sapi bali memiliki mantel yang mengkilat dan juga kulit yang gelap. Frekuensi pernapasan antara bangsa sapi bali dan PO pada musim barat bulan April memberikan respons yang sangat nyata (P<0.0001). Begitu pun pengaruh waktu dan musim memberikan respons yang berbeda pada setiap bangsa sapi (P<0.050). Menurut Esmay (1978), mekanisme respirasi dikontrol di medula yang sensitif terhadap CO2 pada tekanan darah, dan jika tekanan meningkat sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat. Medula adalah perpanjangan dari otak yang bersambung dengan ruas tulang belakang. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembapan relatif yang tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984). Suhu udara dan nilai THI yang tinggi akan meningkatkan frekuensi pernapasan ternak sapi. Panting adalah salah satu manisfestasi pelepasan panas dari tubuh ternak yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi pernapasan. Frekuensi pernapasan sapi bali dan sapi PO pada penelitian ini masih dalam kisaran normal. Rataan frekuensi pernapasan sapi bali lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini terlihat mulai dari awal sampai akhir hari pengamatan di bulan April. Rendahnya frekuensi pernapasan pada sapi PO diduga karena kemampuan sapi PO melepas beban panas tubuhnya lebih banyak melalui kelenjar keringat walaupun pelepasan panas dengan cara evaporasi melalu kelenjar keringat pada sapi bali lebih banyak dibandingkan dengan sapi Bos indicus (232 vs 158 g/m2/h) (Gebremedhin et al. 2008) tetapi jumlah kelenjar keringat terbanyak dimiliki sapi PO berdasarkan besar dan luas permukaan kulit. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan bangsa tidak memberikan respons yang berbeda pada denyut jantung (P>0.05). Musim memberikan pengaruh yang tidak sama pada setiap individu ternak sapi (P<0.05). Respons denyut jantung sapi bali selama bulan April lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO. Pada hari pertama awal bulan April denyut jantung sapi bali (57.047
26 kali/menit) naik terus selama minggu pertama. Minggu pertama dan kedua, denyut jantung sapi bali lebih rendah dibandingkan pada saat masuk pada minggu ketiga. Rataan denyut jantung dan suhu tubuh sapi PO dan bali selama musim barat lebih tinggi dibandingkan dengan musim timur. Hal ini dapat terjadi karena ketersedian dan konsumsi pakan yang lebih banyak pada musim barat. Menurut Purwanto et al. (2004), tingginya konsumsi pakan dapat menyebabkan meningkatnya panas tubuh ternak akibat proses metabolisme. Konsumsi energi yang lebih banyak menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan selanjutnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung (Brosh et al. 1998). Selama 21 hari waktu pengamatan respons suhu rektal, suhu kulit, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan harian dari sapi PO dan sapi bali menunjukkan masih adanya usaha untuk melakukan aklimatisasi terhadap cuaca yang terjadi di lingkungan penelitian (P<0.0001). Respons Fisiologis Ternak pada Musim Timur Bulan Mei Kondisi respons fisiologis yang terjadi pada musim timur bulan Mei menunjukkan ada penurunan suhu rektal, suhu kulit, suhu tubuh, frekuensi pernapasan, dan denyut jantung baik pada sapi PO maupun sapi bali. Perbedaan bangsa tidak memberikan pengaruh yang nyata pada suhu rektal, suhu tubuh, dan denyut jantung antara sapi PO dan sapi bali pada musim timur (P>0.05), tetapi suhu kulit dan frekuensi pernapasan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.0001). Masing-masing bangsa memberikan respons fisiologis yang nyata pada waktu (P<0.0001) dan musim (P<0.05). Musim timur bulan Mei adalah musim pancaroba, yaitu terjadi peralihan musim penghujan ke musim kemarau. Pada musim ini, kondisi cuaca di Kabupaten Merauke juga dipengaruhi oleh angin Muson. Oleh sebab itu pada saat bulan Mei keadaan cuaca yang paling ekstrim adalah kecepatan angin yang tinggi. Dibandingkan dengan musim barat bulan April maka nilai respons fisiologis sapi PO maupun sapi bali lebih rendah pada bulan Mei. Hal ini terjadi karena pada malam hari suhu udara rendah dan siang hari angin bertiup kencang. Kondisi ini membantu ternak sapi PO dan sapi bali tidak terlalu mengalami cekaman panas.
Pada siang hari, suhu udara tinggi, tetapi karena adanya
27 kelembapan relatif yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi maka membantu ternak melepaskan panas tubuh dengan cara konveksi. Rataan suhu rektal, suhu kulit, dan suhu tubuh sapi PO lebih tinggi dibandingkan sapi bali (Tabel 3). Sebaliknya rataan frekuensi pernapasan dan denyut jantung sapi PO lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali. Berdasarkan waktu harian terlihat bahwa posisi respons fisiologis sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali (Gambar 5). Hal yang menarik adalah respons fisiologis denyut jantung sapi PO yang jauh lebih rendah daripada sapi bali dan terlihat konstan (Gambar 6). Ini diduga terjadi karena kemampuan sistem homeotermi sapi PO yang sudah cukup baik dengan mengatur pelepasan panas melalui kulit (sweating). Penyebab lainnya adalah sapi bali mampu tetap memakan pakan yang tersedia pada musim ketika kuantitas dan kualitas pakan berkurang bila dibandingkan dengan sapi PO, akibatnya denyut jantung akan meningkat. Pada keadaan normal, biasanya hewan yang mempunyai ukuran tubuh lebih kecil, denyut nadinya lebih besar daripada hewan yang mempunyai ukuran tubuh besar (Frandson 1992). Penelitian Kasa (1997) menghasilkan data rataan frekuensi pernapasan sapi bali di lapangan 72.5 kali/menit, sedangkan pada sapi PO (Panjono et al. 2009) sebesar 43,13 kali/menit.
28
40
Bulan April
Bulan Mei
39
So C
38
37
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 2 Hari ke-
4
6
Bulan April
8 10 12 14 16 18 20
Bulan Mei
37.0 35.0 33.0 31.0 29.0 27.0
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Bulan April
40
Bulan Mei
39
38
37
36
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Gambar 5 Perubahan suhu rektal, kulit, dan tubuh pada bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali
29
Bulan April
34
Bulan Mei
30 26 22 18 14
D F
10
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Bulan Mei
Bulan April
75 70 65 60 55 50 45
1 3
5
7 9 11 13 15 17 19 21
2
4
6 8 10 12 14 16 18 20
Hari ke-
Gambar 6 Perubahan frekeuensi pernapasan dan denyut jantung pada bulan April dan Mei. sapi PO, sapi bali
Kemampuan Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali
Dari setiap variabel terikat setiap minggunya menunjukkan koefisien
korelasi sapi PO lebih besar daripada sapi bali (Tabel 4). Di lain sisi, tingkat
kemiringan (slope) pada sapi bali lebih rendah daripada sapi PO pada semua respons fisiologis. Pada musim barat bulan April minggu I, berdasarkan respons
suhu rektal, sapi PO dan sapi bali tidak mengalami aklimatisasi (P=0.89 dan P=0.51) dikarenakan pada awal bulan curah hujan yang ada belum terlalu tinggi.
Berdasarkan respons suhu kulit dan frekuensi pernapasan, pada minggu I, kedua bangsa sapi juga tidak beraklimatisasi. Suhu rektal sapi PO pada minggu I musim timur bulan Mei menunjukkan proses aklimatisasi (P<0.05).
30 Tabel 4 Regresi linear respons fisiologis sapi PO dan sapi bali terhadap suhu udara minggu I, II, III Musim
Minggu ke-
Barat
I
Respons fisiologis SR SK FP
II
SR SK FP
III
SR SK FP
Timur
I
SR SK FP
II
SR SK FP
III
SR
Bangsa sapi
Koefisien korelasi (%)
Slope
Nilai P
PO Bali PO Bali PO bali
-6.64 -30.14 49.71 -50.79 55.53 -50.17
-0.018 -0.085 0.409 -0.466 1.658 -2.535
0.888 0.511 0.256 0.244 0.196 0.251
PO Bali PO Bali PO bali
62.25 66.20 73.76 67.00 68.05 46.94
0.137 0.155 0.482 0.615 1.169 1.467
0.017 0.010 0.002 0.009 0.007 0.090
PO Bali PO Bali PO bali
57.33 46.84 73.78 50.98 51.39 29.04
0.088 0.081 0.368 0.335 0.673 0.644
0.007 0.032 0.0001 0.260 0.017 0.202
PO Bali PO Bali PO bali
78.95 14.03 50.51 6.77 0.88 -42.64
0.059 0.025 0.298 0.042 0.006 -2.507
0.035 0.764 0.248 0.885 0.985 0.340
PO Bali PO Bali PO bali
71.26 42.85 63.44 32.81 2.50 -4.09
0.104 0.086 0.477 0.217 0.027 -0.055
0.004 0.126 0.015 0.252 0.933 0.889
PO 70.89 0.108 0.0003 Bali 47.01 0.099 0.032 SK PO 66.28 0.523 0.001 Bali 35.70 0.259 0.112 FP PO 14.62 0.178 0.527 bali 3.69 0.058 0.874 o o Keterangan : SR ( C) = suhu rektal dalam derajat Celcius; SK ( C) = suhu kulit dalam derajat Celcius; FP (kali/menit) = frekuensi pernapasan dalam satuan kali per menit
31 Kemampuan aklimatisasi sapi bali pada minggu I pada bulan April dan Mei lebih baik daripada sapi PO, ini dapat dilihat dari posisi kemiringan garis linear respons fisiologis berupa suhu rektal dan suhu kulit sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO (Gambar 7). Garis linear frekuensi pernapasan sapi bali yang lebih tinggi selama minggu I menentukan kemampuan melepas panas tubuhnya lebih besar diduga melalui panting. Memasuki minggu II bulan April kedua bangsa sapi mengalami aklimatisasi, terlihat dari respons fisiologis yang nyata (P<0.05), kecuali untuk respons frekuensi pernapasan sapi bali yang tidak nyata (P>0.05). Hal ini diduga sapi bali lebih banyak melepas panas tubuh melalui pernapasan. Pada saat memasuki minggu II bulan Mei, suhu rektal dan suhu kulit sapi PO beraklimatisasi terhadap suhu udara yang ada (P<0.05). Respons suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi bali tidak nyata terhadap suhu lingkungan (P>0.05). Garis linear suhu rektal dan suhu kulit sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO (Gambar 8), kecuali pada frekuensi pernapasan yang berarti kemampuan sapi bali melepas panas tubuhnya selama minggu I-II lebih besar melalui pernapasan. Proses aklimatisasi sapi PO melalui minggu III bulan April, menunjukkan bahwa terjadi usaha penyesuaian respons fisiologis terhadap lingkungan (P<0.05). Sebaliknya respon sapi bali sudah tidak beraklimatisasi lagi (P>0.05). Kondisi yang sama juga terjadi selama minggu III bulan Mei. Posisi garis linear suhu rektal dan suhu kulit sapi bali juga lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO (Gambar 9), kecuali pada frekuensi pernapasan yang berarti kemampuan sapi bali melepas panas tubuhnya selama minggu I-III lebih besar melalui pernapasan. Selama musim timur bulan Mei, respons frekuensi pernapasan sapi PO dalam kondisi stabil (tidak ada aklimatisasi). Respons suhu rektal dan suhu kulit di minggu I sampai III, terjadi aklimatisasi sapi PO atas perubahan cuaca (P<0.05). Hal sebaliknya terjadi pada sapi bali yang tidak mengalami aklimatisasi pada musim timur (P>0.05), yang berarti bahwa sapi bali menujukkan kondisi fisiologis stabil.
32 Penelitian ini memberikan bukti bahwa sapi bali memiliki kemampuan termoregulator yang lebih baik dibandingkan dengan sapi PO. Kemampuan ini merupakan hasil dari pengurangan produksi panas, peningkatan kapasitas pelepasan panas ke lingkungan, atau kombinasi keduanya. Terdapat cukup bukti, berdasarkan suhu rektal, suhu kulit, dan denyut jantung bahwa kemampuan heat tolerance sapi bali lebih tinggi dari sapi PO dan kemampuan aklimatisasi sapi bali lebih baik daripada sapi PO. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kondisi Kesehatan Sapi PO dan Bali Kemampuan adaptasi ternak yang baik terhadap lingkungannya akan menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula. Lingkungan dan ketersediaan pakan yang mendukung akan memberikan produktivitas ternak yang lebih baik. Dari hasil pengamatan pertambahan bobot badan sebagai salah satu tolak ukur produktivitas sapi selama musim hujan bulan April dan musim kemarau bulan Mei, menunjukkan bahwa ukuran lingkar dada sapi PO mengalami penurunan bila dibandingkan dengan lingkar dada sapi bali yang cenderung naik (Tabel 5). Merauke untuk memilih dan mendatangkan sapi bali serta mengembangkan pembibitan sapi bali sebagai sumber daya ternak lokal yang adaptif. Pertambahan bobot badan berkaitan dengan kualitas hijauan di lapangan penggembalaan.
Musim
barat
dengan
curah
hujan
yang tinggi
akan
mempengaruhi kandungan kualitas nutrisi hijauan relatif rendah karena kandungan air yang banyak. Ini merupakan pengaruh tidak langsung keadaan cuaca pada produktivitas ternak. Pada musim timur terjadi sebaliknya, yaitu curah hujan rendah akan mempengaruhi kuantitas pakan di lapangan yang akibatnya ternak mengalami penurunan konsumsi pakan. Selain itu, penurunan bobot badan yang cukup besar dimungkinkan karena adanya cekaman (stress) fisiologis sapi.
33
40 1-7 hari bulan April PO bali
39
PO bali
1-7 hari bulan Mei
So C F
38
37
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
36 35
bali
1-7 hari bulan April
34
PO
PO
33 32
bali
31
1-7 hari bulan Mei
30 29 28
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
34 31
1-7 hari bulan April
28 25 22
PO
19
bali
bali
16
PO
1-7 hari bulan Mei
13 10
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
Gambar 7 Regresi linear untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi PO dan sapi bali selama minggu I bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali
34
40 PO
1-14 hari bulan April
PO
bali
39
bali 1-14 hari bulan Mei
So F C
38
37
24
25
26
27
28
29 30 31 o Suhu Udara ( C)
32
33
34
35
36
1-14 hari bulan April
35
PO
34 33
bali
32
PO
1-14 hari bulan Mei
31
bali
30 29 28
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
34 31
1-14 hari bulan April
28 25
bali
22
PO
19
bali
16
1-14 hari bulan Mei
13
PO
10
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
Gambar 8 Regresi linear untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi PO dan sapi bali selama minggu I-II bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali
35
40 PO
1-21 hari bulan April
PO
bali
39
bali
1-21 hari bulan Mei
So F C
38
37
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Suhu Udara (oC)
36
1-21hari bulan April
35
PO bali
34
PO
33
bali
32
1-21 hari bulan Mei
31 30 29 28
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
34 31 28
1-21hari bulan April
25
bali PO
22 19
bali PO
16
1-21hari bulan Mei
13 10
24
25
26
27
28
29 30 31 Suhu Udara (oC)
32
33
34
35
Gambar 9 Regresi linear untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi PO dan sapi bali selama minggu I-III bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali
36 Penurunan bobot badan sapi PO disebabkan oleh cekaman panas. Dalam keadaan terpapar cekaman panas, sapi akan mengurangi konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum agar pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang. Di sisi lain, kurangnya asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Menurut Hahn (1999), penurunan konsumsi pakan merupakan salah satu respons ternak mengurangi heat stress. Hal ini dihubungkan dengan produksi panas metabolik tubuh yang sangat dipengaruhi oleh konsumsi pakan (Young et al. 1997; Purwanto et al. 1990). Tabel 5 Rataan selisih lingkar dada sapi PO dan sapi bali bulan April dan Mei Lingkar dada (cm) Sapi
bulan April
bulan Mei
PO
-0.81±1.44
-1.14 ±1.63
Bali
0.50±1.52
0.42±1.88
Dilihat dari kondisi tubuh (Gambar 10) yang diwakili dari rataan Body Condition Score (BCS), kondisi tubuh baik sapi PO dan sapi bali dalam keadaan kurus (BCS 2). Hal ini diduga karena pengaruh tidak langsung dari perubahan cuaca pada ketersediaan pakan di lapangan dan daya jelajah merumput yang dibatasi. Berdasarkan persentase nilai BCS (Tabel 6), nilai BCS sapi bali lebih banyak berada pada kondisi 3 (sedang), sedangkan sapi PO pada nilai 2 (kurus). Sapi bali memiliki rataan skor BCS yang lebih tinggi (2.58) dibandingkan dengan sapi PO (2.11). Hal ini didukung kemampuan yang dimiliki oleh sapi bali, yaitu memakan segala jenis rumput dan legum. Pada saat di lapangan terlihat sapi bali mampu memakan jerami padi lebih banyak dari sapi PO dan sapi bali mampu memakan pucuk-pucuk tanaman putri malu (Mimosa pudica). Tabel 6 Rataan skor dan persentase BCS sapi PO dan sapi bali % (skor 1-5) Sapi
BCS
1 (sangat kurus)
2 (kurus)
3 (sedang)
4 (gemuk)
5 (sangat gemuk)
PO
2.11±0.68
16.67
55.56
27.78
0
0
Bali
2.58±0.51
0
41.67
58.33
0
0
37 Hasil pemeriksaan terhadap feses sapi PO dan sapi bali menunjukkan adanya keberadaan telur cacing (strongyl nativ). Tidak teridentifikasi jenis cacing yang ditemukan tersebut. Persentase telur cacing pada populasi objek penelitian ialah sapi PO sebesar 5.56% dan pada sapi bali 16.67%. Diperkirakan keberadaan telur cacing tersebut berkaitan dengan pola penggembalaan yang bersifat ekstensif, yaitu dimana ternak sapi makan langsung dari rumput yang tercemar feses yang mengandung cacing. Keberadaan lalat dan caplak sangat banyak pada saat pergantian musim, yaitu pada saat musim timur bulan Mei.
Area tubuh yang paling banyak
dihinggapi lalat dan caplak adalah permukaan bagian bawah perut kanan dan kiri, leher dan gelambir, serta bagian pantat dan bagian bawah pangkal ekor. Pada peternak belum ada usaha yang digunakan untuk menghilangkan invasi lalat dan caplak pada sapi. Namun, sapi PO memiliki kemampuan mengusir lalat dari permukaan kulit karena kemampuan otot subkutan untuk menggerakkan kulit (shaking). Mereka juga mengeluarkan sebum, zat berminyak, dari kulitnya, yang efektif dalam mengusir serangga. Cekaman stress yang dialami ternak sapi tidak lepas dari mekanisme hormonal yang terjadi dalam tubuh. Turunnya produksi pada ternak yang dipelihara pada lingkungan panas karena adanya perubahan pada sistem hormonal. Suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan kandungan hormon tiroid dan beberapa hormon reproduksi. Lain halnya dengan hormon yang berasal dari korteks adrenal, seperti kortisol dan kortikosteron, akan meningkat. Hormon kortisol adalah salah satu hormon yang dapat menunjukkan indikasi ternak ada pada kondisi cekaman atau tidak. Hasil analisis menunjukkan konsentrasi hormon kortisol sapi bali 6.16±1.26 (dengan kisaran 5.001-9.393 ng/mL) dan sapi PO 7.02±2.68 (dengan kisaran 4.824-13.965 ng/mL. Hasil ini dapat menerangkan bahwa sapi PO lebih menderita terhadap cekaman panas daripada sapi bali. Grandin (1997) melaporkan bahwa konsentrasi kortisol baseline pada sapi berkisar dari 0.5-9.0 ng/mL. Hormon kortisol meningkat seiring dengan perlakuan penanganan dan terpapar matahari dari kisaran 13-93 ng/mL. Peningkatan hormon kortisol pada saat cekaman
38 bertujuan
untuk
merangsang
terjadinya
glukoneogenesis
sebagai
usaha
penyediaan glukosa darah yang turun, salah satunya karena kekurangan pakan.
Gambar 10 Perbandingan BCS sapi PO dan sapi bali di tempat penelitian (Sumber: dokumentasi pribadi)
Umumnya, efek negatif dari cuaca tidak diketahui pada sapi potong karena bobot badan sapi tidak dicatat setiap hari. Padahal, jika periode stres lingkungan lama, sapi dapat menderita konsekuensi serius, mempengaruhi kebutuhan energi, konsumsi bahan kering, rata-rata pertambahan bobot harian, laju konsepsi, dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan kematian ternak (Arias dan Mader 2010).
Untuk itu, perlu dicari pencegahan yang mudah dan murah untuk
penggembalaan ternak sapi di area padang penggembalaan. Sejumlah peneliti telah melaporkan manfaat pemberian naungan untuk perkembangbiakan dan penggemukan sapi di lingkungan yang panas, yaitu keuntungan dari segi penambahan bobot badan lebih tinggi, konversi pakan yang lebih baik, laju respirasi dan suhu rektal yang lebih rendah (Clarke et al. 1994). Pemberian
naungan dapat berupa
penggembalaan
dan
juga
shelter yang diletakkan di padang
penanaman
pohon-pohon
pelindung
di
area
penggembalaan. Penyediaan naungan dapat mencegah radiasi matahari sampai 50%.
39 Penyediaan air bersih yang cukup sangat penting untuk mereduksi panas tubuh ternak pada saat meminum air. Sebaiknya, air minum juga diletakkan pada tempat naungan sapi. Hal ini bertujuan agar suhu air minum tidak meningkat. Berdasarkan penelitian Purwanto et al. (1996), respons fisiologi sapi perah akan menurun dengan menurunnya suhu air minum yang dikonsumsi. Tempat air minum agar terbuat dari fiber glass dan dapat mudah dipindah-pindahkan, mengingat sistem beternak sapi yang bersifat ranch. Cara lain untuk mengurangi beban panas tubuh sapi adalah dengan cara menghindari menggembalakan ternak sapi untuk rotasi perpindahan lahan penggembalaan di siang hari, serta mencegah dan mengurangi gigitan serangga (lalat dan caplak) yang cenderung membuat ternak akan berkelompok bersamasama.