HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengaruh Perlakuan Ekstrak Tumbuhan terhadap Waktu Inkubasi, Kejadian Penyakit, Keparahan, dan NAE Waktu inkubasi. Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh beragam waktu inkubasi bagi virus untuk menyebabkan gejala pada tanaman kacang panjang yang diberi perlakuan ekstrak tumbuhan. Rata-rata waktu inkubasi virus pada setiap perlakuan tersaji pada tabel 2. Tabel 2
Pengaruh perlakuan terhadap waktu inkubasi virus mosaik dan tipe gejala. Waktu Inkubasi1 (HSI2)
Tipe Gejala3
Kontrol negatif
–4
Tidak ada gejala
Kontrol positif
10,5 ± 5,6 a
Mr, Mb, Md
Bunga pagoda
–
Tidak ada gejala
Perlakuan
Bayam duri
5,5 ± 4,8 b
Mr, Mb, Md, K
Bunga pukul empat
0,6 ± 1,9 c
Mr
C. amaranticolor Sambiloto 1 2 3 4
– 0,6 ± 1,9 c
Tidak ada gejala Mr
angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05). HSI : Hari Setelah Inokulasi Ket: Mr= mosaik ringan; Mb= mosaik berat; Md= malformasi daun; K= kerdil – = tidak ada
Tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bayam duri memiliki waktu inkubasi terpanjang (5,5 HSI) dibandingkan perlakuan ekstrak lainnya dan lebih cepat jika dibandingkan dengan kontrol positif dan secara statistik keduanya menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor tidak menunjukkan gejala sehingga tidak ada waktu inkubasi yang tercatat. Semua perlakuan, kecuali perlakuan ekstrak daun bayam duri, tidak menunjukkan waktu inkubasi yang berbeda nyata dibandingkan kontrol sehat tanpa perlakuan ekstrak tumbuhan (Tabel 2). Tipe gejala. Gejala yang terekspresi akibat infeksi virus mosaik juga bervariasi. Pada perlakuan ekstrak daun bayam duri, gejala yang tampak dari
18 mosaik ringan, mosaik berat, malformasi, hingga kerdil, sedangkan pada perlakuan ekstrak lainnya hanya menimbulkan gejala mosaik ringan ataupun tidak bergejala (Tabel 2 dan Gambar 3). Tidak ada perbedaan gejala pada setiap perlakuan ekstrak.
a Gambar 3
b
c
Tipe gejala virus mosaik pada tanaman kacang panjang. (a) mosaik ringan, dan vein clearing; (b) mosaik berat; (c) mosaik berat dan malformasi.
Kejadian Penyakit (KP). Tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor tidak menunjukkan gejala infeksi virus, sedangkan pada tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bunga pukul empat dan sambiloto hanya terdapat satu ulangan saja yang menunjukkan gejala infeksi virus. Berbeda halnya pada tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bayam duri, terdapat beberapa tanaman terinfeksi virus dengan kejadian penyakit sebesar 70% (Tabel 3). Keparahan Penyakit. Perlakuan ekstrak tumbuhan nyata menurunkan keparahan penyakit, dibandingkan kontrol tanpa perlakuan dan perlakuan ekstrak daun bayam duri. Di antara perlakuan ekstrak tumbuhan, keparahan penyakit tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak daun bayam duri, sedangkan yang terendah ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor, namun tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan ekstrak daun bunga pukul empat dan sambiloto (Tabel 3). NAE. Nilai absorban ELISA (NAE) merupakan gambaran secara kuantitatif dari NAE yang menginfeksi suatu tanaman. Dari semua perlakuan, NAE pada perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor tidak terdeteksi adanya virus sedangkan perlakuan ekstrak daun bunga pukul empat dan sambiloto positif mengandung virus. Namun NAE tidak berbeda nyata jika
19 dibandingkan dengan kontrol negatif. Hanya perlakuan ekstrak daun bayam duri saja yang menunjukkan NAE yang tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Tabel 3
Pengaruh perlakuan terhadap Kejadian Penyakit (KP), keparahan, dan akumulasi virus. KP (n/N) 1 (%)
Keparahan2
NAE3
Ket.
Kontrol negatif
0/10 (0)
0,00 ± 0,00 b
0,074 ± 0,013 b
–
Kontrol positif
10/10 (100)
2,80 ± 1,14 a
2,594 ± 0,466 a
+
Bunga pagoda
0/10 (0)
0,00 ± 0,00 b
0,079 ± 0,023 b
–
Bayam duri
7/10 (70)
2,60 ± 1,84 a
2,110 ± 1,433 a
+
Bunga pukul empat
1/10 (10)
0,20 ± 0,63 b
0,388 ± 0,963 b
+
C. amaranticolor
0/10 (0)
0,00 ± 0,00 b
0,080 ± 0,016 b
–
Sambiloto
1/10 (10)
0,30 ± 0,95 b
0,321 ± 0,726 b
+
Perlakuan
1 2 3
n: jumlah tanaman yang terinfeksi, N: jumlah tanaman yang diamati (KP = n/N x 100%). angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05). NAE: Nilai absorban ELISA. Uji dinyatakan positif jika NAE sampel uji dua kali NAE kontrol negatif.
Pengaruh Perlakuan Ekstrak Tumbuhan terhadap Nilai AUDPC dan Penghambatan Infeksi VMKP Penghitungan nilai AUDPC adalah berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yang diamati pada 2, 4, 6, 8 MSI. Pada Tabel 4 terlihat bahwa, kecuali perlakuan ekstrak daun bayam duri, semua perlakuan menunjukkan nilai AUDPC yang nyata lebih rendah dan persentase penghambatan yang lebih tinggi jika dibandingkan kontrol positif. Nilai AUDPC tertinggi yaitu pada perlakuan ekstrak daun bayam duri (12,00) dan nilai AUDPC terendah adalah pada perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor (0,00) (Tabel 4). Nilai AUDPC perlakuan ekstrak dari yang tertinggi hingga yang terkecil yaitu perlakuan ekstrak daun bayam duri, sambiloto, bunga pukul empat, C. amaranticolor, dan bunga pagoda. Nilai AUDPC berkorelasi paralel dengan persentase penghambatan penyakit. Pada perlakuan ekstrak tumbuhan, persentase penghambatan virus yang tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C.
20 amaranticolor (100%) dan yang terendah adalah perlakuan ekstrak daun bayam duri (23,08%) (Tabel 4). Persentase penghambatan penyakit pada tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bunga pagoda, bunga pukul empat, C. amaranticolor, dan sambiloto tidak berbeda nyata satu sama lain, namun berbeda nyata terhadap penghambatan yang ditunjukkan oleh tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bayam duri. Nilai penghambatan yang tinggi menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak tersebut dapat menghambat infeksi virus dalam tanaman. Tabel 4 Hubungan perlakuan penghambatan. Perlakuan
dengan
AUDPC1
Kontrol negatif
0,00 ± 0,00 b
Kontrol positif
15,60 ± 5,80 a
Bunga pagoda
0,00 ± 0,00 b
Bayam duri
nilai
AUDPC
dan
persentase
Persen penghambatan1 100,00 ±
0,00 a
0,00 ± 37,16 b 100,00 ±
0,00 a
12,00 ± 8,37 a
23,08 ± 53,63 b
Bunga pukul empat
1,20 ± 3,79 b
92,31 ± 24,33 a
C. amaranticolor
0,00 ± 0,00 b
Sambiloto
1,40 ± 4,43 b
100,00 ±
0,00 a
91,03 ± 28,38 a
1 angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05).
Pengaruh Perlakuan Ekstrak Tumbuhan terhadap Tinggi Tanaman, Masa Berbunga, dan Bobot Polong Tinggi tanaman pada 24, 38, 52, dan 66 HST. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan ekstrak terhadap pertumbuhan tanaman kacang panjang, maka dilakukan pengukuran tinggi mulai dari 24, 38, 52, dan 66 HST. Setiap pengamatan tinggi pada 24, 38, 52, dan 66 HST, perlakuan ekstrak daun C. amaranticolor memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman kacang panjang. Tinggi tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun C. amaranticolor paling tinggi jika dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif serta perlakuan ekstrak lainnya. Secara umum, kecuali perlakuan ekstrak daun bayam duri, semua perlakuan ekstrak tumbuhan tidak menghambat pertumbuhan kacang panjang (Gambar 4 dan Tabel 5).
21 Masa berbunga. Secara statistik, rata-rata masa berbunga dari semua perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol (Tabel 6). Masa berbunga pada perlakuan ekstrak daun bunga pagoda cenderung lebih lama dibandingkan perlakuan lainnya (34,6 HST), sedangkan perlakuan ekstrak daun bayam duri menunjukkan masa berbunga tercepat (32,3 HST). Interval masa berbunga untuk semua perlakuan yaitu 30 – 36 HST. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak tidak mempengaruhi masa berbunga tanaman kacang panjang. Bobot polong. Penghitungan bobot basah polong dilakukan mulai dari panen pertama hingga 66 HST (Tabel 6). Berdasarkan analisis statistik, hampir sebagian besar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bobot basah polong kacang panjang jika dibandingkan dengan kontrol sehat dan tanpa perlakuan. Perbedaan nyata ditunjukkan oleh kontrol negatif dan perlakuan ekstrak daun bayam duri. Perlakuan ekstrak tumbuhan menunjukkan tidak menyebabkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan bobot basah polong kacang panjang.
Tinggi tanaman (cm)
250 200
K+ K‐
150
BP 100
BD PE
50
CA
0 24
38
52
66
SA
HST
Gambar 4 Hubungan antara perlakuan, pertumbuhan tanaman, dan waktu pengamatan.
22 Tabel 5 Pengaruh perlakuan ekstrak terhadap pertumbuhan tinggi tanaman pada 24, 38, 52, dan 66 HST Pertumbuhan tinggi (cm)b
a
Perlakuan
24 HST
38 HST
52 HST
66 HST
K-
133,3 ± 31,1 ab
186,1 ± 27,4 ab
191,1 ± 29,3 a
187,4 ± 30,6 ab
K+
133,5 ± 30,7 ab
186,5 ± 24,8 ab
188,2 ± 22,5 a
193,9 ± 16,7 ab
BP
111,8 ± 24,1 bc
193,9 ± 24,5 ab
199,8 ± 17,7 a
202,3 ± 16,6 ab
BD
101,0 ± 34,2 c
170,1 ± 50,5 b
189,1 ± 50,6 a
181,7 ± 48,9 b
PE
126,2 ± 24,7 abc
196,6 ± 37,9 ab
204,9 ± 25,5 a
206,5 ± 27,1 ab
CA
140,0 ± 26,9 a
213,7 ± 14,7 a
217,5 ± 21,3 a
212,9 ± 16,0 a
SA
134,2 ± 18,1 ab
188,0 ± 30,7 ab
187,4 ± 28,8 a
188,1 ± 28,6 ab
a b
K- : Kontrol negatif; K+ : Kontrol positif; BP : bunga pagoda; BD : bayam duri; PE : bunga pukul empat; CA : C, amaranticolor; SA : sambiloto. Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05).
Tabel 6 Pengaruh perlakuan ekstrak terhadap masa berbunga dan bobot polong Masa berbunga (HST) a
Bobot buah (gram) a
Kontrol negative
33,0 ± 1,6 a
35,7 ± 7,2 a
Kontrol positif
32,3 ± 1,8 a
32,0 ± 8,9 ab
Bunga pagoda
34,6 ± 0,7 a
24,4 ± 7,7 ab
Bayam duri
31,3 ± 11,0 a
20,4 ± 7,6 b
Bunga pukul empat
34,4 ± 0,7 a
30,3 ± 13,9 ab
C, amaranticolor
33,4 ± 1,3 a
31,4 ± 8,6 ab
Sambiloto
32,6 ± 1,6 a
33,2 ± 0,3 ab
Perlakuan
a
Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α = 0,05).
23 Pembahasan Virus mosaik merupakan salah satu virus yang menyerang tanaman kacang panjang yang sulit untuk dikendalikan. Menurut Setyastuti (2008) ada sembilan kultivar kacang panjang menunjukkan ketahanan yang rendah terhadap virus mosaik. Oleh karena itu upaya mencari alternatif pengendalian virus yang perlu dilakukan. Penggunaan ekstrak tumbuhan merupakan salah satu upaya yang perlu dikaji untuk mendapatkan ekstrak yang dapat mengendalikan virus mosaik. Jika dibandingkan kontrol dan perlakuan ekstrak daun bayam duri, perlakuan ekstrak tumbuhan lainnya menunjukkan mampu menekan kejadian penyakit dan keparahan infeksi virus mosaik. Selain itu perlakuan ekstrak tumbuhan secara keseluruhan tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kacang panjang. Hal ini menunjukkan potensi positif ekstrak ini dalam pengendalian VMKP. Hasil deteksi serologi memperkuat pengamatan kejadian dan keparahan penyakit virus pada tanaman perlakuan. Berdasarkan uji serologi, pada perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor tidak terdeteksi virus pada tanaman kacang panjang sehingga nilai kejadian penyakitnya tidak ada. Beberapa tanaman uji terlihat bergejala menguning
seperti
terinfeksi
virus.
Namun
berdasarkan
hasil
ELISA
menunjukkan hasil negatif. Hal ini menunjukkan gejala yang lainnya merupakan gejala fisiologis dengan penyebab yang belum diketahui. Pada perlakuan ekstrak daun bunga pukul empat dan sambiloto, masingmasing hanya terdapat satu kejadian penyakit di antara 10 ulangan. Keparahan yang muncul tidak berbeda nyata terhadap kontrol sehat. Berbeda halnya dengan perlakuan ekstrak daun bayam duri yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sakit, baik dilihat dari nilai kejadian penyakit, keparahan, maupun NAE yang diperoleh. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun bayam duri meningkatkan kerentanan tanaman terhadap infeksi VMKP. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hersanti (2003) dimana bayam duri mampu menekan infeksi CMV pada cabai dengan penghambatan sebesar 72,48%. Berdasarkan data pada Tabel 4, perlakuan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor memiliki persentase penghambatan tertinggi, NAE rendah, dan AUDPC yang nyata lebih rendah dari kontrol positif. Hal ini kemungkinan
24 berkorelasi positif dengan terinduksinya ketahanan sistemik tanaman kacang panjang terhadap infeksi VMKP. Menurut Metraux et al. (1990), ketahanan sistemik suatu tanaman terhadap penyakit diaktifkan oleh asam salisilat. Asam salisilat merupakan salah satu senyawa kimia yang berperan penting dalam mekanisme ketahanan tumbuhan terhadap virus. Asam salisilat dapat menghambat pergerakan sistemik virus dan dapat menginduksi gen-gen pertahanan terutama yang mengkode pathogenesis related proteins (PR protein). PR protein memiliki peranan dalam pencegahan multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan yang diinokulasi. Asam salisilat dan PR protein akan terakumulasi banyak pada tempat terjadinya infeksi (Naylor et al. 1998). Dengan melihat data ini, kemungkinan ekstrak daun bunga pagoda dan C. amaranticolor memiliki kemampuan dalam menginduksi ketahanan sistemik tanaman kacang panjang. Namun mekanisme ketahanannya belum diketahui dan masih perlu diteliti lebih lanjut. Daun bunga pagoda memiliki sifat yang asam, sehingga kandungan senyawa aktif yang bersifat antiviral yang terdapat di dalamnya diduga berperan dalam penghambatan pergerakan virus. Hasil penelitian Verma et al. (1996) juga menyebutkan bahwa senyawa aktif dalam ekstrak daun bunga pagoda yaitu protein yang berukuran 34 kDa dapat menyebabkan daun tembakau menjadi imun terhadap virus. Ekstrak daun bunga pagoda juga mampu meningkatkan kandungan asam salisilat dalam daun cabai merah (Hersanti 2007a). Pada perlakuan ekstrak daun C. amaranticolor menunjukkan bahwa virus dapat terhambat pergerakannya untuk bereplikasi dan melakukan transportasi. Hal ini juga didukung dengan gejala-gejala yang selalu timbul pada daun C. amaranticolor yang diinokulasi dengan beberapa contoh isolat virus hanya menunjukkan gejala lesio lokal saja. C. amaranticolor mengandung virus inhibitor. Virus inhibitor adalah zat yang dapat mencegah infeksi virus yang terdapat pada sap dari tanaman tertentu. Salah satu famili tumbuhan yang sapnya mengandung virus inhibitor yaitu famili Chenopodiaceae. Pada sap tanaman Chenopodiaceae tersebut mengandung dua fraksi, yaitu inhibitor yang dapat menurunkan jumlah lesio lokal dan augmenter yang dapat meningkatkan jumlah lesio lokal (Smith 1974). Dalam hal ini, diduga bahwa fraksi inhibitor berperan
25 lebih besar sehingga dapat mencegah penyebaran VMKP. Selain itu penelitian mengenai aktivitas penghambatan yang dilakukan oleh ekstrak daun C. amaranticolor juga telah dilakukan oleh De Oliviera et al. (1993) terhadap TMV. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak daun C. amaranticolor mengandung protein yang memiliki aktivitas antivirus. Pada perlakuan ekstrak daun bunga pukul empat, nilai penghambatannya di atas 90%. Hal ini diduga karena adanya senyawa aktif dari bunga pukul empat yang dapat mengendalikan virus yang disebut sebagai protein antivirus dan dikenal sebagai ribosome inactivating protein (RIPs). RIPs juga terdapat pada ekstrak akar dan daun M. jalapa dan disebut sebagai Mirabilis antiviral protein (MAP) (Hadidi et al. 1999). Mekanisme penghambatan virus yang dilakukan oleh MAP ada dua cara. Yang pertama, pada saat aplikasi ekstrak, MAP masuk ke bagian atas epidermis dan bertahan di ruang antarselnya. Pada saat terjadi infeksi oleh virus pada tanaman tersebut, tanaman mengalami pelukaan dan MAP akan masuk ke dalam bagian epidermis dan membentuk 28s rRNA yang dapat menghambat replikasi virus pada tahap awal dengan cara mendeaktivasi pembentukan protein sel. Kedua, MAP dan virus melakukan penetrasi bersamasama pada saat inokulasi. Keduanya saling berkompetisi untuk mencari daerah aktif ribosom. MAP membentuk 28 rRNA yang dapat menghambat sintesis protein. MAP dapat mencapai daerah aktif ribosom terlebih dahulu, sehingga dapat mencegah infeksi virus pada tahap awal sebelum virus mengalami deenkapsidasi (Vivanco et al. 1999). Jika dibandingkan efektivitasnya terhadap CMV pada tanaman cabai, perlakuan bunga pagoda dan bunga pukul empat menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dalam menghambat infeksi VMKP yang mencapai di atas 90%, sedangkan terhadap CMV hanya mencapai 82,61% (bunga pagoda) dan 75,36% (bunga pukul empat). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan yang sama menunjukkan efektivitas yang berbeda terhadap virus dan tanaman yang berbeda. Pada perlakuan ekstrak daun sambiloto juga menunjukkan persentase penghambatan yang tinggi dan diduga memiliki senyawa aktif yang bersifat antiviral sama seperti ekstrak lainnya. Namun mekanisme ketahanan dan penghambatan virus serta kandungan ekstrak yang bersifat antiviral yang
26 disebabkan perlakuan ekstrak daun sambiloto pada tanaman kacang panjang belum diketahui. Hasil penelitian ini memperkaya informasi akan potensi sambiloto sebagai agen pengendali virus. Jika dilihat dari pertumbuhan vigor tanaman kacang panjang secara visual, perlakuan ekstrak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata; tanaman yang diberi perlakuan ekstrak tetap tumbuh seperti tanaman kontrol sehat. Namun tanaman yang diberi perlakuan ekstrak daun bayam duri menunjukkan pertumbuhan tanaman yang terhambat. Tanaman ada yang mengalami kekerdilan karena infeksi virus. Secara keseluruhan, tanaman tumbuh dengan baik walaupun pada bagian daun dan beberapa polong terdapat gejala virus mosaik. Pada setiap pengamatan tinggi, masa berbunga, dan bobot basah polong, antara kontrol negatif dan kontrol positif tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini diduga bahwa benih kacang panjang yang digunakan dalam penelitian ini (kultivar Parade) merupakan kultivar yang relatif tahan terhadap infeksi VMKP. Di antara ekstrak tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini, ekstrak daun C. amaranticolor, bunga pagoda, bunga pukul empat, dan sambiloto merupakan ekstrak yang berpotensi untuk digunakan sebagai agen penginduksi ketahanan terhadap VMKP. Namun dilihat dari parameter pengamatan yang digunakan, C. amaranticolor merupakan ekstrak yang paling baik dalam menekan infeksi VMKP walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan tiga ekstrak lainnya.