HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan lama pemeliharaan 6 minggu dan masa adaptasi 3 minggu.
Penelitian ini dimulai pada akhir bulan
Februari yang masih dalam musim hujan hingga bulan April.
Kelinci yang
digunakan berasal dari Cibanteng kemudian dimasukkan kandang dalam keadaan sehat. Masa adaptasi dilakukan selama 2 minggu karena perbedaan pakan yang diberikan yang telah mengakibatkan turunnya nafsu makan pada ternak. Menurunnya nafsu makan ini dikarenakan perbedaan makanan yang diberikan pada kelinci yang sebelumnya hanya diberi pakan hijauan.Gambar kandang pemeliharaan kelinci dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
(1). Pemeliharaan Ternak
(2). Kandang Pemeliharaan
Gambar 1. Pemeliharaan Ternak.Gambar 2. Kandang Pemeliharaan Rataan temperatur dan kelembaban relatif kandang selama penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Temperatur dan Kelembaban Relatif Kandang Parameter
Pagi
Siang
Sore
Malam
Temperatur (ºC)
25,2±0,89
30,98±2,74 28,17±1,71
26,2±0,17
Kelembaban Relatif (%)
98,2±2,53
74,1±10,58 80,1±13,97
92,67±5,51
Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan suhu paling rendah di kandang penelitian adalah saat pagi hari sedangkan suhu paling tinggi adalah pada siang hari, sebaliknya pagi hari memiliki kelembaban yang paling tinggidan kelembaban paling rendah 19
terdapat saat siang hari. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (1997), thermoneutral zone untuk kelinci berada pada suhu lingkungan 15-25°C. thermoneutral Zone (TNZ) adalah daerah kisaran suhu yang paling nyaman bagi ternak. Suhu yang mencapai di bawah 10° C akan membuat kelinci melingkarkan badannya untuk meminimalkan kehilangan panas dan jika suhu tinggi (25-30°C) maka kelinci akan meregangkan badan mereka sehingga dapat mengeluarkan panas sebanyak mungkin melalui radiasi dan konveksi. Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Suhu kandang di pagi hari masih relatif nyaman bagi kehidupan kelinci, namun untuk sore hari suhu kandang mencapai 28°C yang berarti cukup jauh dari zona nyaman kehidupan kelinci. Hal ini dapat menjadi penyebab turunnya nafsu makan kelinci yang berakibat pada pertumbuhan kelinci yang kurang optimal. Kelinci sebenarnya sangat sensitif terhadap kelembaban yang rendah (di bawah 55%) namun juga tidak terlalu tinggi. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (1997), peternak kelinci di Perancis mengemukakan bahwa pada kelembaban 60% – 65% akan menghasilkan produksi yang optimal.Kelembaban yang didapatkan pada penelitian ini pada pagi hari yaitu 94,53% dan pada sore hari yaitu 77,52%.
Kelembaban ini berbeda cukup jauh dari literatur yang ada.
Kelembaban yang tinggi ini dikarenakan hujan yang sering turun pada malam hari sehingga pada pagi hari masih lembab dan dapat menyebabkan turunnya nafsu makan pada kelinci karena kelinci merasa tidak nyaman.
Saat temperatur dan
kelembaban tinggi, tidak banyak panas dalam tubuh yang dapat dikeluarkan sebagai uap air melalui proses evaporasi. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan yang diikuti dengan kelemahan pada kelinci. Musim yang sangat panas dengan kelembaban yang tinggidapat menyebabkan masalah yang serius, hanya saja hal tersebut biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis selama musim hujan (Food and Agriculture Organization, 1997). Karakteristik Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak tanpa kepala, kaki, ekor, darah dan organ dalam tubuh (jeroan) (Herman, 1989 ; Soeparno, 1992).
Lebas et al., (1986)
menyatakan bahwa di Inggris dan Kanada, pengertian karkas kelinci sama dengan pengertian karkas sapi. Karakteristik karkas yang diamati adalah bobot potong, 20
bobot karkas, bobot tubuh kosong, persentase karkas panas terhadap bobot potong, persentase karkas dingin terhadap bobot potong, karkas panas tehadap tubuh kosong, karkas segar, karkas dingin dan non-karkas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan* Variabel
Perlakuan
Rata-rata
P1
P2
P3
P4
Bobot potong (g)
1.682,04 ± 99,46
1.624,28 ± 99,54
1.819,28 ± 112,10
1.797,34 ± 111,86
1.780,83 ± 105,74
Bobot tubuh kosong (g)
1.401,20 ± 74,54
1.348,89 ± 74,59
1.532,04 ± 84,01
1.498,52 ± 83,83
1.445,17 ± 79,24
Karkas panas/bobot potong (%)
46,11 ± 2,51
49,15 ± 2,51
47,54 ± 2,83
50,39 ± 2,82
48,30 ± 2,67
Karkas dingin/bobot potong (%)
44,35 ± 2,47
47,91 ± 2,47
45,97 ± 2,79
48,89 ± 2,78
46,78 ± 2,63
Karkas panas/tubuh kosong(%)
55,37 ± 2,29
59,24 ± 2,29
56,37± 2,58
60,23 ± 2,57
57,80 ± 2,43
Karkas panas (g)
780,86 ± 51,38
803,25 ± 51,41
865,90 ± 57,90
900,30 ± 57,78
837,58 ± 54,62
Karkas dingin (g)
772,06 ± 65,26
750,97 ± 65,30
833,68 ± 73,55
798,93 ± 73,39
811,05 ± 69,38
Non-karkas (g)
751,07 ± 50,55
783,13 ± 50,59
836,61 ± 56,97
873,40 ± 56,85
788,91 ± 53,74
Keterangan : * = Data dikoreksi berdasarkan bobot badan awal rata-rata 1.058,42 g.
Bobot Potong Bobot potong merupakan bobot hidup akhir seekor ternak sebelum dipotong/disembelih. Bobot potong yang tinggi akan menghasilkan persentase bobot karkas yang tinggi pula (Muryanto dan Prawirodigdo, 1993), ini dikarenakan proporsi bagian-bagian tubuh yang menghasilkan daging akan bertambah seiring dengan ukuran tubuh. Dari hasil penelitian diperoleh rataan bobot potong kelinci yang diberi ransum dengan tingkat campuran limbah tauge pada perlakuan P3(70% konsentrat dan 30% limbah tauge) sebesar 1.819,28 g/ekor, cenderung lebih tinggi sedangkan bobot potong terendah terdapat pada perlakuan P2(85% konsentrat dan 15% limbah tauge) sebesar 1.624,28 g/ekor meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan bobot potong yang diperoleh lebih rendah dibanding hasil Hutajulu dan Yunilas (2007), yang meneliti pemberian 21
tepung daun kelapa sawit yang difermentasi Aspergillus niger dengan hasil rataan tertinggi sebesar 1.934 g/ekor dan terendah sebesar 1.756 g/ekor, namun hasil penelitian ini masih lebih tinggi dibanding hasil Sitepu (2001) yang meneliti pemberian tepung kulit pisang raja dangan hasil rataan tertinggi sebesar 1.620 g/ekor dan terendah sebesar 975 g/ekor. Hasil analisis peragam menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci yang dipelihara dengan ransum yang berbeda memilki respon yang relatif sama (P > 0,05) terhadap bobot potong. Bobot Tubuh Kosong Bobot tubuh kosong didapatkan dari selisih antara bobot potong dengan bobot isi rongga perut dan isi saluran pencernaan. Hasil analisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot tubuh kosong kelinci. Terdapat kecenderungan bobot tubuh kosong meningkat dengan peningkatan bobot potong. Hal ini juga dimungkinkan karena bobot potong kelinci yang tidak berbeda nyata, sehingga mengakibatkan bobot tubuh kosong yang tidak berbeda nyata. Hasil dari bobot potongdan bobot tubuh kosong yang tidak nyata juga dapat diakibatkan oleh pertumbuhan bobot hidup dari kelinci yang tidak berbeda nyata. Rataan pertumbuhan bobot hidup kelinci dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Kelinci pada Setiap Perlakuan Perlakuan
PBBH (g/ekor/hari)
P1
17,14 ± 1,45
P2
12,14 ± 5,16
P3
17,40 ± 0,70
P4
14,21± 4,62
Rataan total
15,22 ± 2,51
Keterangan : P0 = 100% ransum komplit komersil (kontrol); P1 = 85% ransum komplit komersil + 15% limbah tauge kering udara; P2 = 70% ransum komplit komersil + 30% limbah tauge kering udara; P3 = 55% ransum komplit komersil + 45% limbah tauge kering udara.
Ransum komplit komersil dan ransum yang ditambah limbah tauge 15%, 30% dan 45% tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap
22
pertambahan bobot badan harian kelinci pada penelitian ini.Hal ini berarti bahwa ransum yang ditambah limbah tauge 15%, 30% dan 45% menghasilkan pertambahan bobot badan harian kelinci yang sama dengan ransum komplit komersil. Bobot Karkas Panas dan Dingin Bobot karkas menjadi salah satu hal yang menarik dalam karakteristik karkas, ini dikarenakan nilai ekonomis yaitu jumlah karkas yang dihasilkan akan menentukan harga dari karkas tersebut.
Bobot karkas panas didapatkan dari
penimbangan karkas sebelum proses chilling, sedangkan bobot karkas dingin didapatkan dari penimbangan karkas setelah proses chilling. Pemberian pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap bobot karkas panas dan dingin (P>0,05).Rataan bobot karkas panas dan dingin yang didapatkan dalam penelitian ini masing-masing adalah 837,58 g dan 811,05 g. Bobot karkas dingin lebih rendah dibandingkan bobot karkas panas karena adanya penyusutan saat pendinginan dalan cooler.
Hasil ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan penelitian Hutajulu dan Yunilas (2007) yang menghasilkan rataan bobot karkas panas sebesar 935,32 g.
Pengaruh yang tidak nyata pada
penelitian ini disebabkan karena rataan bobot potong yang juga tidak bebeda nyata sehingga bobot karkas yang dihasilkan tidak berbeda nyata pula. Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan karena peningkatan bobot badan akan diikuti dengan peningkatan bobot potong dan bobot karkas. Soeparno (2005) menyatakan bahwa bobot karkas dipengaruhi oleh bobot potong. Meningkatnya bobot potong sejalan dengan meningkatnya bobot karkas pula, sehingga diharapkan bagian dari karkas yang berupa daging menjadi lebih besar. Persentase Karkas Persentase karkas merupakan indikator nilai karkas yang biasanya digunakan sebagai indikator komersil paling awal setelah penyembelihan. Persentase karkas terhadap bobot potong didapatkan dengan cara membandingkan bobot karkas terhadap bobot potong. Persentase karkas terhadap bobot tubuh kosong didapatkan dengan cara membandingkan bobot karkas terhadap bobot tubuh kosong. Hasil anlisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2,
23
P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) pada persentase karkas baik terhadap bobot potong maupun terhadap bobot tubuh kosong. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot dan kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian non-karkas, ransum, umur, jenis kelamin dan pengebirian (Davendra, 1977). Data rataan persentase karkas terhadap bobot potong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 48,30%, sedangkan rataan persentase karkas terhadap bobot tubuh kosong yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebesar 57,80%. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Farell dan Rahardjo (1984) yang menyatakan bahwa rataan persentase bobot karkas yang diperoleh berkisar antara 43%-52%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sitepu (2001) yang mendapatkan rataan persentase karkas sebesar 40,80% selain itu persentase karkas ini juga lebih tinggi dari hasil yang didapatkan oleh Laconi (1984) yang memperoleh hasil sebesar 56,88% dengan perlakuan pakan tepung daun singkong. Persentase karkas yang tidak berbeda nyata ini disebabkan oleh bobot karkas dan juga bobot potong pada tiap-tiap perlakuan yang juga tidak berbeda nyata, sehingga didapatkan persentase karkas yang tidak berbeda nyata pula. Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot potong, sesuai dengan pendapat Eviaty (1982) yang menyatakan bahwa persentase karkas kelinci lokal akan bertambah seiring dengan peningkatan bobot potong.
Karakteristik karkas yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa
dengan penggantian limbah tauge pada pakan tidak menurunkan kualitas karkas karena menunjukkan hasil yang relatif sama dengan pakan komersil. Bobot Non-karkas Bobot non-karkas didapatkan dari penjumlahan bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam karkas seperti kulit, kepala, keempat kaki, darah, isi rongga perut, isi rongga dada, saluran pencernaan dan ekor. Bagian non-karkas pada ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kecil. Hasil analisis peragam menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan yang berbeda pada kelinci lokal memiliki respon yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot nonkarkas. Salah satu faktor yang mempengaruhi bobot non-karkas adalah nutrisi dari pakan. Soeparno (1998) menyatakan bahwa pola pertumbuhan organ seperti hati, ginjal, dan saluran pencernaan menunjukkan adanya variasi, sedangkan organ yang 24
berhubungan dengan digesti dan metabolisme menunjukkan perubahan berat yang besar sesuai dengan status nutrisional dan fisiologis ternak. Bobot non-karkas yang tidak berbeda nyata ini juga dapat disebabkan karena bobot potong yang juga tidak berbeda nyata. Komposisi Karkas Karkas dan potongan karkas dapat diuraikan secara fisik menjadi komposisi jaringan daging, lemak, tulang dan jaringan ikat (Devandra dan Mcleroy, 1992). Hasil analisis peragam dengan menggunakan covariabel bobot badan awal menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap komposisi karkas. Data komposisikarkas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Karkas Kelinci pada Setiap Perlakuan Perlakuan
Variabel P1
P2
Rata-rata P3
P4
---------------------------------------------g------------------------------------------------
Otot
545,83±14,16
578,70±14,38
554,41±15,85 512,77±14,01 562,93±14,60
Lemak
44,01 ± 12,40
35,75 ± 12,59
39,62 ± 13,88
Tulang
163,57±10,74
153,30±10,90
148,68±12,02 173,70±10,63 159,08±11,07
36,44± 12,28
38,95 ± 12,79
----------------------------------------------%-----------------------------------------------
Otot
67,44 ± 1,60
71,47 ± 1,63
68,41 ± 1,80
70,61 ±1,59
69,48 ± 1,66
Lemak
4,85 ± 1,41
4,39 ± 1,43
4,55 ± 1,58
4,53 ± 1,40
4,58 ± 1,46
Tulang
20,58 ± 1,36
18,47 ± 1,38
18,82 ± 1,53
21,60 ± 1,35
19,87 ± 1,41
Data di atas menunjukkan bobot dan persentase komposisi karkas pada kelinci yang dipelihara dengan tingakat pemberian pakan limbah tauge yang berbeda. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa komposisi karkas terbesar terdapat pada otot kemudian tulang dan diikuti oleh lemak.
Hasil yang tidak berbeda nyata ini
dikarenakan bobot potong, bobot tubuh kosong dan bobot karkas yang juga tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan tingkat pemberian limbah tauge. Selain itu kemungkinan karena bangsadan umur ternak yang digunakan juga sama, sehingga laju pertumbuhankomposisi penyusun karkas juga pada tingkat yang sama, oleh
25
karena itu bobot daging, lemak dan tulang tidak berbeda nyata.Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa komposisi penyusun karkas terbesar adalah otot (69,48%) kemudian tulang (19,87%) dan lemak (4,58%). Tabel 5 juga menerangkan bahwa kelinci yang diberi pakan dengan persentase penambahan limbah tauge cenderung menghasilkan otot yang lebih banyak dan lemak yang lebih sedikit. Proporsi salah satu variabel yang lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih randah (Soeparno, 2005). Eviaty (1982) menyatakan bahwa jaringan tulang dari semua potongan karkas mengalami pertumbuhan relatif dini dan persentase bobot jaringan tulang akan berkurang dengan bertambahnya bobot masing-masing potongan karkas. Genetik, iklim, makanan, penyakit dan lingkungan sosial ternak merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap persentase daging, tulang dan lemak (Berg dan Butterfield, 1976).
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pertambahan bobot karkas segera
setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang dan rendah kadar lemak. Ternak yang akan mencapai bobot badan dewasa, komposisi urat daging dalam pertambahan bobot badan sedikit menurun, komposisi tulang dari pertambahan bobot badan tidak bertambah sedangkan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan akan terus meningkat Potongan Komersial Bobot Potongan Komersial Pemotongan bagian karkas kelinci berdasarkan pada irisan komersial. Irisan komersial karkas kelinci terdiri atas empat potongan irisan. Irisan tersebut adalah potongan irisan paha depan (foreleg), potongan irisan dada (rack), potongan irisan pinggang (loin), dan potongan irisan paha belakang (hindleg) (De Blass et al., 1977 ). Brahmantiyo (1995) menyebutkan bahwa perdagingan pada potongan komersial ternak sapi tergantung pada intensitas kontraksi otot pada bagian komersial tersebut. Aktivitas yang semakin besar akan menyebabkan kontraksi otot yang semakin besar pula. Herman (1989) menyatakan bahwa proporsi irisan terhadap bobot tubuh secara terinci yaitu irisan kaki belakang kaki depan
40%, pinggang
22,10%, dada
11,68%, dan
29%.Hasil pengukuran potongan komersial kelinci dapat dilihat pada
Tabel 6.
26
Tabel 6. Bobot dan Persentase Potongan Komersial Kelinci Perlakuan
Variable P1
P2
Rata-rata P3
P4
----------------------------------------------g------------------------------------------------
Foreleg
141,86±6,40
139,35±6,49
156,90±7,16
137,64±6,33
143,94±6,60
Rack
160,08±10,72
171,42±10,88
168,10±11,99
170,94±10,61
167,64±11,05
Loin
224,58±10,55
225,72±9,58
206,37±10,55
219,47±9,33
219,04±7,75
Hindleg
279,71±11,39
273,93±11,56
278,91±12,74
282,82±11,27
278,85±11,74
----------------------------------------------%----------------------------------------------
Foreleg
17,47±0,80
17,07±0,81
19,08±0,89
17,14±0,79
17,69±0,82
Rack
19,82±1,25
21,45±1,27
20,93±1,40
20,93±1,24
20,78±1,29
Loin
27,21±1,14
27,71±1,16
25,19±1,28
26,84±1,13
26,74±1,18
Hindleg
34,81±1,34
33,73±1,36
34,62±1,50
35,07±1,32
34,56±1,38
Hasil bobot potongan komersial pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan tingkat pemberian pakan berbasis limbah tauge yang berbeda pada kelinci lokal memiliki respon yang tidak berpengaruh nyata terhadap bobot potong komersial. Hasil yang tidak nyata ini disebabkan karena bobot potong, bobot tubuh kosong dan bobot karkas yang juga tidak berbeda nyata. Persentase karkas atau bagian tubuh lainnya terhadap bobot tubuh sangat ditentukan oleh bobot tubuh dan kondisinya, seperti makanan dan pemuasaan sebelum pemotongan (Cheeke et al., 1987 ; Herman, 1989).
Hasil persentase bobot potongan komersial ini berbeda
dengan hasil penelitian Herman (1989). Persentase yang didapatkan oleh Herman (1989) yaitu hindleg sebesar 40%, loin sebesar 22,10%, rack sebesar 11,68% dan foreleg sebesar 29%, namun penelitian ini mendapatkan proporsi hasil yang sama yaitu potongan komersial terbesar adalah bagian hindleg, sedangkan pesentase yang terendah terdapat pada bagian foreleg.
Hal ini karena bagian paha belakang
merupakan bagian penghasil daging yang terbesar pada ternak kelinci. Penelitian Metzgeret al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan pada bagian foreleg disebabkan bagian tersebut paling banyak memiliki tulang namun sedikit otot.
27
Distribusi Komposisi Karkas Pada Potongan Komersial Distribusi komposisi karkas pada potongan komersial dapat dilihat dari 3 komponen utama yaitu otot, lemak, dan tulang. Data distribusi komposisi karkas pada potongan komersial karkas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi Komposisi Karkas pada Potongan Komersial Perlakuan
Variabel P1
P2
Rata-rata P3
P4
------------------------------------------g------------------------------------------Foreleg
Rack
Loin
Hindleg
Otot
88,11±5,64
89,95±5,73
95,07±6,31
90,28±5,58
90,85±5,81
Lemak
25,73±10,64 21,03±10,80 19,73±11,91 17,25±10,53 20,94±10,97
Tulang
20,19±2,52
20,06±2,56
21,62±2,82
25,21±2,50
Otot
96,39±8,35
108,38±8,48
98,77±9,34
104,38±8,26 101,98±8,60
Lemak
6,47±3,59
7,55±4,02
3,16±4,02
12,66±3,56
7,46±3,79
Tulang
44,37±2,75
45,82±2,79
44,15±3,08
51,34±2,72
46,42±2,83
Otot
163,79±5,69 173,64±5,78 150,12±6,37 161,46±5,63 162,25±5,86
21,77±2,60
Lemak
9,68±2,55
8,98±2,59
8,83±2,85
6,79±2,52
8,57±2,62
Tulang
29,03±2,16
25,89±2,19
29,63±2,42
29,92±2,14
28,62±2,22
Otot
197,47±8,40 206,60±8,53 203,17±9,40 208,48±8,31 203,88±8,66
Lemak
5,37±1,30
2,11±1,32
2,98±1,46
2,35±1,29
3,20±1,34
Tulang
69,38±5,45
57,73±5,53
68,37±6,10
66,86±5,39
65,59±5,61
Potongan komersial pada karkas merupakan bagian karkas yang dipasarkan dalam bentuk potongan-potongan. Nilai komersial dari karkas umumnya tergantung pada ukuran, struktur dan komposisinya, dimana sifat struktural yang penting dalam potongan komersial adalah bobot, proporsi jaringan karkas, ketebalan lemak dan penampilan luar serta kualitas dagingnya. Hasil analisis peragam dengan covariabel bobot karkas menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap distribusi jaringan karkas pada potongan komersialnya. Menurut Soeparno (2005) distribusi perdagingan lemak yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor seperti spesies, bangsa, umur, nutrisi, jenis kelamin, aktivitas ternak dan cara pemeliharaan.
28
Hasil yang tidak berbeda nyata ini dimungkinkan karena ternak berasal dari spesies, bangsa, umur dan jenis kelamin yang sama, hanya perlakuan pakan yang berbeda.
Berdasarkan Tabel 7dapat dilihat bahwa proporsi yang paling sedikit
adalah lemak dan deposisi otot yang paling banyak terdapat pada daerah hindleg. Bagian foreleg merupakan bagian yang paling banyak memiliki deposisi lemak. Aktivitas dapat mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan oleh kelinci. Deposisi energi yang tinggi akan digunakan tubuh untuk mempercepat laju metabolisme dan apabila berlebih akan dibentuk menjadi lemak. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa pada potongan foreleg, hindleg, loin, dan rackkomposisi jaringan terbesarnya adalah otot, kemudian tulang dan komposisi yang terkecil adalah lemak. Hal ini berarti komposisi jaringan seperti otot, tulang dan lemak pada potongan komersial sesuai dengan komposisi jaringan yang terdapat pada karkas utuh.
Komposisi karkas (otot, tulang dan lemak) baik secara
keseluruhan karkas maupun pada setiap potongan komersil yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa dengan penggantian limbah tauge pada pakan tidak menurunkan kualitas karkas karena menunjukkan hasil yang relatif sama dengan pakan komersil. Bagian Non-Karkas Bobot dan Bagian Non-karkas Kelinci Lokal Bagian non-karkas merupakan bagian-bagian tubuh yang tidak termasuk dalam karkas seperti kulit, kepala, keempat kaki, darah, isi rongga perut, isi rongga dada, saluran pencernaan dan ekor. Bagian non-karkas pada ternak yang lebih besar mempunyai nilai komersial yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ternak kecil.Salah satu faktor yang mempengaruhi bobot non-karkas adalah nutrisi dari pakan. Data rataan persentase bagian non-karkas dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil analisis peragam dengan covariabel bobot potong menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) memberikan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Hasil yang tidak
berbeda nyata ini dikarenakan bobot potong yang tidak berbeda nyata. Diwyanto et al.
(1985) menyatakan bahwa bobot potong yang berbeda berpengaruh nyata
terhadap total komposisi yang dapat dikonsumsi seperti saluran percernaan dan organ dalam kelinci. Hasil ini tidak sesuai dengan Effendi (1983) yang mengemukakan
29
bahwa bobot hati, ginjal dan saluran pencernaan semakin meningkat dengan meningkatnya protein ransum. Tabel 8. Rataan BobotNon-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan Variabel
Perlakuan P1
P2
P3
P4
Rata-rata
----------------------------------------g-------------------------------------------Hati
69,24±10,87
50,49±11,80
59,50±12,35
52,09±10,82
57,83±11,46
Jantung
4,03±0,97
3,80±1,05
5,16±1,10
4,33±0,96
4,33±1,02
Paru-paru
6,85±1,78
8,35±1,93
10,82±2,02
7,64±1,77
8,41±1,88
Ginjal
10,73±0,75
10,96±0,82
10,61±0,85
10,01±0,75
16,58±0,79
Oesophagus
1,67±0,25
2,04±0,27
1,94±0,28
1,66±0,24
1,83±0,26
Lambung
89,21±7,07
98,73±7,67
60,12±8,03
80,58±7,03
82,16±7,45
Usus halus
63,07±7,14
59,78±7,57
62,73±8,12
64,40±7,11
62,50±7,49
Sekum
109,64±16,69 113,73±18,21
98,73±19,07
138,88±16,71 115,25±17,70
Appendix
5,65±0,77
8,59±0,84
7,41±0,88
7,66±0,77
7,33±0,82
Colon
6,41±1,83
9,67±1,99
7,90±2,08
9,01±1,82
8,25±1,93
Rectum
7,49±1,48
10,04±1,61
6,75±1,68
9,02±1,47
8,33±1,56
Darah
53,33±3,39
59,78±3,68
42,99±3,86
51,55±3,38
51,91±3,58
Kepala
160,32±4,30
173,79±4,66
165,82±4,88
163,71±4,28
165,91±4,53
Kulit
157,87±9,23
145,05±10,01 165,48±10,49
138,68±9,18
151,75±9,73
Kaki depan
9,97±1,22
11,90±1,32
12,78±1,39
13,66±1,21
12,08±1,29
Kaki belakang
21,85±6,21
29,50±6,74
33,26±7,06
30,36±6,18
28,75±6,55
Ekor
9,12±1,60
10,76±1,74
13,47±1,82
13,29±1,59
11,66±1,69
Persentase Bagian Non-Karkas Kelinci Lokal Hasil analisis peragam dengan covariabel bobot potong menunjukkan bahwa kelinci lokal yang dipelihara dengan pemberian pakan yang berbeda (P1, P2, P3 dan P4) mayoritas memberikan respon yang tidak berbeda nyata terhadap persentase bagian non-karkas. Hasil yang tidak berbeda nyata ini sesuai dengan hasil penelitian Salam (1983) yang menyatakan bahwa bagian tubuh yang tidak dapat dikonsumsi seperti tulang karkas, tulang kepala, kulit, ekor, darah dan tungkai kaki tidak nyata
30
terhadap bobot potong dengan perlakuan ransum yang berbeda. Hasil analisis peragam rataan persentase bagian non-karkas dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Persentase Non-Karkas Kelinci Lokal pada Setiap Perlakuan Variabel
Perlakuan P1
P2
P3
P4
Rata-rata
-----------------------------------------------%---------------------------------------------------
Hati
4,09±0,64
2,86±0,70
3,44±0,73
3,01±0,64
3,35±0,67
Jantung
0,23±0,05
0,21±0,06
0,29±0,06
0,24±0,05
0,25±0,05
Paru-paru
0,40±0,10
0,50±0,11
0,63±0,12
0,43±0,10
0,49±0,10
Ginjal
0,62±0,04
0,64±0,04
0,61±0,04
0,57±0,04
0,61±0,04
Oesophagus
0,09±0,01
0,12±0,01
0,11±0,01
0,09±0,01
0,10±0,01
Lambung
5,15±0,46
5,81±0,50
3,59±0,52
4,61±0,46
4,79±0,48
Usus halus
3,72±0,43
3,43±0,47
3,65±0,49
3,72±0,43
3,63±0,45
Sekum
6,40±0,93
6,51±1,01
5,69±1,06
7,91±0,93
6,63±0,98
Appendix
0,32±0,03
0,50±0,04
0,43±0,04
0,44±0,03
0,42±0,03
Colon
0,36±0,11
0,57±0,11
0,46±0,12
0,52±0,10
0,48±0,11
Rectum
0,42±0,08
0,59±0,09
0,40±0,10
0,52±0,08
0,48±0,08
Darah
3,07±0,19
3,46±0,21
2,50±0,22
2,97±0,19
3,00±0,20
Kepala
9,27±0,23
10,05±0,25
9,62±0,26
9,48±0,23
9,61±0,24
Kulit
9,09±0,51
8,27±0,56
9,43±0,58
8,01±0,51
8,70±0,54
Kaki depan
0,58±0,07
0,70±0,07
0,74±0,08
0,79±0,07
0,70±0,07
Kaki belakang
1,28±0,35
1,72±0,38
1,93±0,40
1,73±0,35
1,66±0,37
Ekor
0,54±0,09
0,64±0,10
0,79±0,10
0,76±0,09
0,68±0,09
Sifat Fisik Daging Kelinci Sifat fisik daging sangat penting untuk ditampilkan kepada pembeli atau konsumen, ataupun untuk kesesuaian pengolahan lebih lanjut. Hal yang paling penting diantaranya adalah daya mengikat air, warna, tekstur dan kealotan (Aberle et al., 2001). Data rataan sifat fisik daging kelinci tersaji dalam Tabel 10.
31
Nilai pH Daging Nilai pH merupakan singkatan dari pondus hydrogenii, yang artinya potensial hidrogen, yaitu kekuatan hidrogen sebagai penentu asam karena predominan ion-ion hidrogen (H+). Perubahan nilai pH sangat penting diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Tabel 10. Rataan Sifat Fisik Daging Kelinci pada Setiap Perlakuan Variabel
Perlakuan
Rataan
P1
P2
P3
P4
5,61±0,15a
5,87±0,09b
6,07±0,08c
6,11±0,02c
5,92±0,22
DMA (mg)
102,0±17,34
123,8±11,71
119,9±2,96
114,9±7,64
115,1±12,9
Keempukan (gf)
8.131,66± 3.547,80
8.544,66± 645,54
8.584,33± 2.136,55
6.473,66± 639,45
7.933,58±2.. 019,39
Susut Masak (%)
35,12±5,90
33,87±2,36
32,40±0,88
33,98±1,97
33,82±3,03
pH
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Nilai pH juga dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Nilai rataan pH daging kelinci pada penelitian ini yaitu 5,92. Nilai pH daging kelinci ini lebih besar daripada hasil penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010), namun masih dalam pH normal. Hasil penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010) adalah sebesar 5,67. Hasil dari analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan limbah tauge yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH daging kelinci. Lawrie (2003) manyatakan penurunan pH daging disebabkan akumulasi dari asam laktat setelah pemotongan. Stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan (kimiawi) tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis adalah faktorfaktor yang dapat menghasilkan variasi pH daging (Soeparno, 1992). Perbedaan yang nyata pada nilai pH ini dapat disebabkan oleh aktivitas masing-masing kelinci. Kelinci yang lebih aktif akan menghasilkan asam laktat yang lebih banyak sehingga pH akhir akan lebih asam. Menurut Buckle et al. (1987), perubahan pH sesudah 32
ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, selanjutnya oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. Daya Mengikat Air (DMA) Daging Daya mengikat air (DMA) atau water holding capacityadalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar.
Daya mengikat air merupakan
salah satu faktor yang
menentukan kualitas dan daya terima daging oleh konsumen. Nilai mgH2O menggambarkan DMA daging, semakin besar nilainya maka DMA semakin rendah. Rataan nilai daya mengikat air pada daging kelinci lokal pada penelitian ini adalah 115,1±12,9. Hasil daya mengikat air ini lebih tinggi daripada hasil penelitian yang didapatkan oleh Setiawan (2009) dan Puspita (2010) yang mendapatkan rataan daya megikat air sebesar 106,64±12,94 dan 90,32±24,76.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian limbah tauge yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap daya mengikat air pada daging kelinci.Daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air di antara otot, misalnya species, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban, pemyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 1992). Keempukan Daging Kelinci Teksur dan keempukan mempunyai tingkatan utama menurut konsumen dan rupanya dicari walaupun mengorbankan flavor dan warna (Lawrie, 2003). Keempukan dan takstur daging merupakan penentu kualitas dari daging. Komponen utama yang menentukan keempukan adalah jaringan ikat, dan lemak yang berhubungan dengan otot.
Keempukan pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan alat Texture Analyzer. Grafik hasil dari pengukuran keempukan dapat dilihat pada Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6. Semakin kecil nilai yang terdapat pada grafik (dalam satuan gram force) maka daging akan semakin empuk. Hasil analisis ragam yang didapatkan pada penelitian ini yaitu perbedaan kandungan limbah tauge pada pakan tidak berpengaruh nyata pada keempukan daging kelinci. Hasil rataan keempukan daging kelinci ini adalah sebesar 7.933,58 33
gf. Daging kelinci yang paling empuk adalah pada P4 dengan nilai 6.473,66 gf sedangkan yang paling alot adalah P3 dengan nilai 8.584,33 gf.
Keterangan : Hitam Biru Merah
: P1U1 : P1U2 : P1U3
Gambar 3. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 1 (Kontrol) Keterangan : Hitam Biru Merah
: P2U1 : P2U2 : P2U3
Gambar 4. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 2 Keterangan : Hitam Biru Merah
: P3U1 : P3U2 : P3U3
Gambar 5. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 3
34
Keterangan : Hitam Biru Merah
: P4U1 : P4U2 : P4U3
Gambar 6. Grafik Hasil Tekstur Analyzer pada Perlakuan 4 Susut Masak Daging Kelinci Susut Masak Daging ialah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak dan dinyatakan dalam persentase.Susut masak adalah salah satu indikator nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan diantara otot.Susut masak dipengaruhi oleh temperature dan lama pemasakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan pakan dengan kandungan limbah tauge yang berbeda, tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging kelinci.Nilai susut masak yang tidak berbeda nyata ini dikarenakan nilai daya mengikat air yang juga tidak berbeda. Rataan susut masak daging kelinci pada penelitian ini adalah 33,82%. Nilai susut masak pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Setiawan (2009) dan Puspita (2010) yang mendapatkan nilai susut masak sebesar 40,77 dan 39,56%. Persentase susut masak yang rendah ini menunjukkan bahwa daging pada penelitian ini berkualitas baik. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih tinggi. Secara umum daging dengan susut masak
yang rendah memiliki nutrisi yang baikkarena sedikit
mengalami pengurangan nutrisi saat pemasakan.
35