HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sumber Benih Sebaran Sumber Benih dan Tegakan Potensial Sumber benih yang ada di Jawa Barat pada umumnya terdapat di wilayah Perum Perhutani. Sumber benih ini dibangun terutama untuk memenuhi kebutuhan benih internal dan pembangunan hutan tanaman dalam skala luas. Sumber benih yang telah dibangun tersebar di beberapa lokasi yang selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10
No.
Lokasi Sumber Benih di Wilayah Perum Perhutani Unit III Barat dan Banten Jenis
Jawa
Lokasi (KPH)
Luas (Ha)
Musim Berbuah
Klasifikasi Sumber Benih
36.05 26.50 64.70
April-Juni September-Nopember
CSB TBT KBS
105.30 18.50 179.80 3.00
Juli-Agustus
TBT TBT TBS TBT
25.68 66.00 20.00 43.24 62.80 10.70
Juni-Agustus
TBT TBT CSB TBT TBT TBT
Agustus-Oktober
TBT TBT
1.
Pinus
Cianjur Bandung Selatan Sumedang
2.
Jati
Cianjur Purwakarta Ciamis Majalengka
3.
Mahoni
Bogor Cianjur Tasikmalaya Sumedang Indramayu
4.
Rasamala
Cianjur Sukabumi
103.74 15.00
5.
Mangium
Bogor
4.75
Juli-Agustus
TBT
6.
Khaya
Banten
3.00
Oktober-Desember
TBT
7.
Damar
Sukabumi
21.98
Agustus-Oktober
TBT
8.
Maesopsis
Cianjur
20.00
Agustus-September
CSB
9.
Kemlandingan
Cianjur
36.30
April-Nopember
CSB
Sumber : Perum Perhutani (2005); BPTH (2005) Keterangan :
TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi); TBS (Tegakan Benih Terseleksi); CSB (Calon Sumber Benih); KBS (Kebun Benih Semai).
Lokasi sumber benih tanaman hutan di Jawa Barat dan Banten yang dikelola Perum Perhutani tidak tersebar di semua KPH tetapi terpusat di beberapa lokasi terutama
di wilayah Jawa Barat bagian tengah dan selatan seperti : KPH
Sukabumi, KPH Cianjur, KPH Bandung Selatan, KPH Tasikmalaya dan KPH
41
Ciamis. Sebagian lokasi sumber benih terletak di KPH Sumedang, KPH Banten, Purwakarta, Majalengka dan Indramayu. KPH-KPH tersebut merupakan pengada benih intern di wilayah Perum Perhutani yang memiliki sumber benih dan secara resmi telah ditunjuk/ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) oleh Unit ataupun Direksi. Selain berlokasi dan dikelola oleh Perum Perhutani, sebagian dari sumber benih di wilayah Jawa Barat dikelola oleh instansi/pihak lain, baik instansi pemerintah, perguruan tinggi ataupun masyarakat (Tabel 11), (Gambar 10). Tabel 11
No.
Lokasi Sumber Benih Di Luar Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Jenis
Lokasi
Luas (Ha)
Musim Berbuah
Klasifikasi Sumber Benih
Pengelola/ Pemilik
1.
Suren
Sumedang
0.30 0.60
April-Mei September-Oktober
TBT TBS
K. T. Makmur UNWIM
3.
Kaliandra
Sumedang
0.28
April-Nopember
APB
UNWIM
4.
Gmelina
Sumedang
0.38
April-Juli
TBT
UNWIM
2.
Mangium
Bogor
5.00
Juli-Agustus
KBS
BP2TP
Sumber : BPTH (2005). Keterangan :
TBT (Tegakan Benih Teridentifikasi); TBS (Tegakan Benih Terseleksi); APB (Areal Produksi Benih); KBS (Kebun Benih Semai).
Luas total sumber benih adalah 939.57 ha yang dikelola
oleh Perum
Perhutani sebesar 99.30% dan sisanya dikelola oleh pihak/instansi lain yaitu Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BP2TP) 0,66%, Universitas Winaya Mukti (UNWIM) 0,17% serta oleh masyarakat yaitu Kelompok Tani Makmur sebesar 0,04% (Gambar 9 ).
Luas (Ha)
99.14%
800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
0.04%
Perhutani
Kel. Tani
0.17%
Unwim
0.66%
BP2TP
Pengelola
Gambar 9 Pengelolaan Sumber Benih di Jawa Barat.
42
Gambar 10 Peta Sebaran Sumber Benih Tanaman Hutan dan Tegakan Potensial di Jawa Barat.
43
Pengelolaan sumber benih oleh Perum Perhutani berkaitan erat dengan kepentingan peningkatan produktifitas hutan tanaman baik kayu ataupun non kayu melalui penggunaan benih berkualitas.
Pengelolaan sumber benih oleh
masyarakat masih sangat kecil yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah sumber benih memerlukan sistem pengelolaan khusus dan memerlukan biaya yang lebih mahal. Roshetko et al. (2004) menjelaskan bahwa petani/masyarakat pada umumnya melakukan penanaman pohon hutan dengan menggunakan benih yang dikumpulkan dari pohon-pohon pada lahan mereka atau lahan adat. Dengan demikian, benih-benih tersebut memiliki kualitas fisioligis dan genetik di bawah optimal. Sumber benih yang telah dibangun sebagian besar diklasifikasikan pada Tegakan Benih Teridentifikasi yaitu 510.87 ha (58.48%), Tegakan Benih Terseleksi 180.40 ha (20.65%), Areal Produksi Benih 0.28 ha (0.03%) dan Kebun Benih Semai 69.70 ha (7.98%), sedangkan sisanya seluas 112,35 ha (12.86%) masih diusulkan sebagai calon sumber benih (Gambar 11). Kondisi tersebut menunjukan bahwa sumber benih yang dibangun sebagian berasal dari hutan tanaman yang awalnya tidak dipersiapkan sebagai sumber benih. Pengadaan benih untuk memenuhi kebutuhan intern ataupun permintaan luar merupakan hasil penunjukan tegakan terpilih. Sumber benih yang ada hanya bersifat sementara untuk memenuhi kebutuhan benih yang mendesak. Sumber benih ini masih perlu ditingkatkan kualitasnya menjadi Areal Produksi Benih. Hal tersebut perlu dilakukan sebelum dimilikinya Kebun Benih dengan kualitas genetik unggul atau Kebun Benih yang dibangun belum menghasilkan benih terutama untuk program penyediaan benih jangka panjang. 47.08 %
600
58.48%
Luas (Ha)
500 400 300
20.65%
200
7.98 %
0
12.86%
0.03 %
100 TBT
TBS
APB
KBS
CSB
Kelas Sumber Benih
TBT : Tegakan Benih Teridentifikasi TBS : Tegakan Benih Terseleksi APB : Areal Produksi Benih
KBS : Kebun Benih Semai CSB : Calon Sumber Benih
Gambar 11 Luas Sumber Benih Pada Berbagai Kelas.
44
Sementara itu, sumber benih yang telah dibangun masih terbatas pada jenis tertentu seperti jati, mahoni, mangium, khaya, rasamala, damar dan pinus, sedangkan sebagian jenis lainnya masih merupakan calon sumber benih. Kondisi tersebut disebabkan penunjukkan/pembangunan sumber benih disesuaikan dengan jenis yang ditanam/kelas perusahaan sebagai penghasil kayu ataupun hasil hutan non kayu. Penunjukkan/pembangunan untuk jenis-jenis potensial lain masih perlu dilakukan sejalan dengan meningkatnya jumlah jenis yang dibutuhkan untuk berbagai kegiatan penanaman saat ini dan masa mendatang. Sementara itu untuk jenis-jenis yang mulai langka sebaiknya dilakukan konservasi sumberdaya genetik untuk menunjang kegiatan pemuliaan pohon. Produksi Sumber Benih Penaksiran potensi produksi benih
sangat diperlukan untuk mengetahui
seberapa besar jumlah benih yang diperlukan untuk kegiatan penanaman. Potensi dan produksi benih dari sumber benih yang ada di Jawa Barat disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13. Tabel 12 Produksi Sumber Benih tahun 2005 di Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten No.
Jenis
1.
Pinus
2.
Jati
3.
Mahoni
4.
Rasamala
5. 6. 7.
Mangium Khaya Damar
Lokasi (KPH)
Bandung Selatan Sumedang Purwakarta Cianjur Majalengka Ciamis Bogor Cianjur Indramayu Tasikmalaya Sumedang Cianjur Sukabumi Bogor Banten Sukabumi
Total Sumber : Perum Perhutani (2005).
Luas (Ha)
Jumlah Pohon
Produksi (Kg) Per Pohon
Total
26.50 64.70 18.50 105.30 3.00 179.80 25.68 66.00 10.70 43.24 62.80 103.74 15.00 4.75 3.00 21.98
7 680 5 714 3 503 12 585 323 18 869 8 472 2 667 5 261 11 589 17 804 573 52 1 819
0.06 0.28 0.30 1.10 2.00 0.50 2.00 0.45 0.20 0.30 0.63 0.30 25.00 0.85
336 1 478 670 4 412 28 907 12 820 2 500 1 000 4 328 3 878 8 116 360 641 1 500 1 314
754.69
84 726
-
75 674
45
Tabel 13 Produksi Sumber Benih tahun 2005 di Luar Wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten No.
Lokasi
Jenis
Pengelola/Pemilik
Luas
Produksi Total
(Ha)
(Kg)
1
Sumedang
Suren
Kel. Tani Makmur
0 30
23
2
Sumedang
Suren
UNWIM
0 60
388
3
Sumedang
Kaliandra
UNWIM
0.28
31
4
Sumedang
Gmelina
UNWIM
0.38
166
5
Bogor
Mangium
BP2TP
5.00
88
6.56
696
Total Sumber : BPTH (2005).
Data di atas menunjukkan bahwa potensi produksi berbeda untuk masingmasing jenis, begitu juga untuk jenis yang sama pada lokasi sumber benih yang berbeda. Produksi benih dari masing-masing lokasi sangat ditentukan oleh waktu pemanenan
buah,
disamping
juga
mempengaruhi
mutu
fisiologisnya.
Bervariasinya kondisi fisik sumber benih dan perubahan pola musim hujan dan musim kemarau akan menjadikan kendala dalam menentukan waktu pemanenan yang tepat. Turnbull (1995) menjelaskan bahwa sangat penting mengetahui waktu tersebut dengan menguji kemasakan buah. Kemampuan menghasilkan benih sangat dipengaruhi oleh kondisi ekologis sumber benihnya. Kondisi ekologis merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi sumber benih selain kemudahan aksesibilitas. Respon khusus terhadap pengaruh topografi bervariasi antar lokasi, jenis dan iklim, tetapi kemiringan (slope) dan posisi terhadap matahari (aspect) sangat penting dipertimbangkan dalam pengelolaan tegakan untuk memproduksi benih (Barnet & Haugen 1995). Perbedaan produksi benih juga dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan. Beberapa tindakan pengelolaan perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekologis sumber benih seperti iklim mikro (temperatur dan kelembaban) seperti dengan melakukan penjarangan dan pemupukan. Kurang optimalnya produksi benih saat ini salah satunya
disebabkan oleh kurang intensifnya kegiatan
pengelolaan serta tegakan yang sudah terlalu tua sehingga produktifitasnya cukup rendah. Menurut hasil inventarisasi Nurhasybi et al. (2000), tegakan pada
46
sebagian besar sumber benih tanaman hutan di lokasi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten masih memerlukan tindakan pemeliharaan untuk meningkatkan produksi benihnya. Kerapatan tegakan masih cukup tinggi mengakibatkan produksi benih tidak optimal sehingga target yang telah ditentukan sulit untuk terpenuhi. Pada kondisi tegakan demikian, tindakan penjarangan sangat diperlukan. Jarak tanam yang optimal biasanya bervariasi antara 9-12 meter tergantung jenis pohon. Pelaksanaan penjarangan akan mengurangi terjadinya persaingan untuk memperoleh cahaya dan nutrisi (zat hara). Kondisi ini juga mendorong terjadinya penyerbukan yang melibatkan banyak individu pohon, yang akan meningkatkan variasi genetik benih tanaman yang akan dihasilkan. Penjarangan juga ditujukan untuk menghilangkan pohon-pohon inferior yang memiliki bentuk batang yang bengkok, pertumbuhannya tertekan serta terserang hama dan penyakit. Sementara itu, Bonner et al. (1994) menjelaskan bahwa diperlukan penambahan zat hara melalui perlakuan pemupukan untuk meningkatkan produksi benih terutama pada sumber benih yang dipersiapkan sejak awal. Total produksi benih dari sumber benih yang ada di Jawa Barat didominasi oleh jenis jati (50.91%) dan mahoni (30.18%). Jumlah tersebut berbanding lurus dengan luas sumber benihnya. dilakukan
untuk
mencukupi
Penunjukan sumber benih jenis ini banyak kebutuhan
benih
yang
merupakan
jenis
prioritas/utama dalam kegiatan penanaman terutama di Perum Perhutani. Total produksi benih tahun 2005 selengkapnya disajikan pada Gambar 12. 38877
40000
Produksi (Kg)
35000 30000
23048
25000 20000 15000 8476
10000 5000 0
1818
Pns
1314
Jati
Mhn
Rsm
Dmr
1500
31
411
166
Mgm Kaya
Kldr
Srn
Gml
729
Jenis
Gambar 12 Total Produksi Benih Untuk Setiap Jenis Tanaman Hutan.
47
Produksi benih yang dihasilkan perlu dicatat melalui dokumentasi sumber benih secara teratur. Dokumentasi sumber benih sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber benih lain di masa depan. Dokumentasi tentang periode pembungaan dan pembuahan, kondisi musim serta variasi lokasi terhadap terjadinya panen raya atau tidak panen raya, sangat penting untuk pemberdayaan sumber benih. Kelengkapan informasi lainnya seperti kondisi iklim, mutu benih dan lainnya, akan sangat membantu memberdayakan sumber benih yang akan berperan dalam menunjang kegiatan penanaman. Dokumentasi ini juga bertujuan untuk
(1) Mengumpulkan data dan
informasi yang dapat dapat digunakan oleh pengelola sumber benih untuk membangun dan mengelola sumber benih lain di masa depan, (2) Mencatat input (biaya) dan output (produksi benih) yang berguna untuk menentukan harga benih dan efektifitas pengelolaan sumber benih dan (3) mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk sertifikasi sumber benih (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2004). Peredaran/Distribusi Tata Niaga Benih Perum Perhutani sebagai
institusi BUMN berperan penting dalam
pengadaan dan sekaligus peredaran benih tanaman hutan di pulau Jawa. Sebagai pengelola sumber benih Perum Perhutani berhak melakukan pencarian, pengumpulan dan pembangunan sumber benih. Program pengadaan benih oleh BUMN termasuk Perum Perhutani masih ditujukan untuk keperluan penanaman hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas yang titik beratnya adalah untuk produksi kayu atau hasil hutan non kayu. Pengada benih adalah Perum Perhutani (KPH suplier) ataupun instansi lain (swasta, pemerintah dan pemerintah). Pengedar benih adalah Perum Perhutani bila benih berasal dan dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan intern atau pihak swasta yang mengelola Hutan Tanaman Industri (HTI), swasta, pemerintah yang bertindak sebagai perantara pembelian atau penjualan benih. Permintaan benih oleh pihak di luar Perum Perhutani (Pemerintah, HPH, luar negeri, swasta dan lainnya) dilakukan oleh Direksi di Jakarta. Khusus untuk memenuhi permintaan
48
benih dari luar negeri harus melalui ijin dari Menteri Kehutanan. Pengawasan mutu dan lalu lintas benih yang diedarkan sesuai dengan S.K. Menhut No. 085/Kpts-2/2001 dilakukan oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH), yang untuk wilayah Jawa Barat dan Banten dilakukan oleh BPTH Jawa-Madura serta Dinas Karantina tumbuh-tumbuhan. Pengadaan dan peredaran/distribusi benih oleh Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten tahun 2004 dari masing-masing lokasi (KPH) disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Distribusi Benih Tahun 2004 dari Masing-Masing Sumber Benih Bersertifikat di Jawa Barat dan Banten No.
Lokasi (KPH)
Jenis
Produksi (Kg)
Distribusi Intern Pihak III
Stok (Kg)
1.
Banten
Khaya
1 500.0
1 500.0
0.0
0.0
2.
Bogor
Mangium Mahoni
39.7 7 523.0
37.7 0.0
2.0 7 523.0
0.0 0.0
3.
Sukabumi
Rasamala
0.0
0.0
0.0
0.0
4.
Purwakarta
Jati
6 500.0
6 500.0
0.0
0.0
5.
Cianjur
Jati Mahoni
2 000.0 1 375.2
1 521.0 1 375.2
0.0 0.0
4 79.0 0.0
6.
Bandung Selatan
Pinus
83.3
41.0
25.0
17.3
7.
Majalengka
Jati
0.0
0.0
0.0
0.0
8.
Indramayu
Mahoni
1 000.0
571.9
45.0
383.1
9.
Tasikmalaya
Mahoni
5 694.0
2 925.4
17.0
2 751.6
10.
Ciamis
Jati Total
31 807.5
30 168.5
1 570.0
69.0
44 902.0
38 790.8
2 411.3
3 700.0
Sumber : Perum Perhutani (2005).
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa benih yang dihasilkan dari masingmasing lokasi (KPH) sebagian besar digunakan untuk keperluan sendiri/intern yaitu sebanyak 44.902 kg (86,4%), didistribusikan pada pihak ketiga sebanyak 38.790 kg (5,4%) dan sisanya sebanyak 3.700 kg (8,2%) disimpan sebagai stok. Produksi benih dari kebun benih semai masih rendah/terbatas sehingga untuk permintaan luar diambil dari tegakan terpilih. Stok benih berguna sebagai cadangan bila permintaan tinggi dan apabila permintan rendah sedangkan hasil panen cukup banyak maka benih disimpan dalam tempat penyimpanan. Benih yang tahan lama (ortodok) tidak memilki masalah jika disimpan sebagai cadangan (stok), sedangkan benih yang tidak dapat
49
disimpan lama (rekalsitran) harus segera didistribusikan untuk disemai tanpa harus menunda terlebih dahulu. Dengan demikian, musim berbuah terutama untuk jenis rekalsitran perlu diketahui secara pasti sebelum dilakukan penyusunan rencana penanaman. Selain itu, jarak antara sumber benih dengan lokasi persemaian
harus
diperhitungkan
untuk
mengurangi
terjadinya
kerusakan/penurunan kualitas benih. Perum Perhutani sebagai pengedar benih bertugas untuk menyalurkan benih yang diperoleh dari pengada benih sedangkan fungsinya adalah menerima benih dari pengada dan melakukan pengujian secara sampling terhadap benih yang telah diterima, menyimpan dan menguji benih secara berkala serta menyalurkan benih kepada pemakai. Perdagangan benih kehutanan saat ini masih sederhana dan belum banyak dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan benih pertanian. Perdagangan dan peredaran benih dihadapkan pada beberapa kendala yang salah satunya adalah daur tanaman kehutanan cukup panjang sehingga memerlukan waktu yang lama untuk membuktikan bahwa benih yang ditanam bermutu genetik tinggi atau tidak. Hal tersebut menjadi hambatan dalam melakukan promosi terhadap konsumen dan juga menimbulkan resiko yang cukup besar bagi produsen benih. Selain itu, dalam peredaran benih tanaman hutan timbul pasar yang padat dan penuh persaingan untuk jenis-jenis tertentu dan ada pula pasar yang tidak terisi. Hal tersebut disebabkan oleh sistem penyediaan benih yang tidak dilakukan berdasarkan kebutuhan pasar (market oriented) akan tetapi lebih pada pemasaran benih yang telah dihasilkan (product oriented). Kendala lain yang terjadi adalah peredaran benih belum mengacu kepada keberadaan benih bermutu sehingga benih tidak pasti asal usulnya/sembarangan masih beredar di pasaran dan dapat dijual dengan harga memadai tergantung kepandaian penjual benih. Dengan demikian, perlu ditetapkannya harga yang berbeda antara benih bersertifikat dan non sertifikat untuk mendorong peredaran benih bermutu di pasaran. Perbaikan tata niaga benih perlu terus dibenahi sehingga peredaran benih dapat dilakukan secara transparan dengan ketentuan yang baku dan penegakan hukum terhadap yang melanggarnya.
50
Kegiatan sertifikasi benih saat ini Tanaman Hutan (BPTH)
dilakukan oleh Balai Perbenihan
dan sebagai pengelola dana adalah BPDAS (Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) yang keduanya berada di bawah Dirjen RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial). Selain itu, RLPS sendiri memiliki binaan Kebun Benih sehingga proses sertifikasi yang dilakukan obyektifitasnya masih rendah. Dengan demikian, diperlukan lembaga sertifikasi yang independent atau berada di luar RLPS
untuk meningkatkan objektifitas dan menjamin
produsen ataupun konsumen benih dalam kegiatan pengadaan benih bermutu. Penilaian Potensi Lahan Potensi Lahan Jenis-Jenis Prioritas Keberhasilan pembangunan hutan sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam menentukan jenis tanaman yang dipergunakan. Pemilihan jenis tersebut idealnya harus didasarkan pada 2 (dua) hal pokok yaitu tujuan peruntukannya dan kesesuaian tempat tumbuh (Yudho 1996), sehingga kedua hal tersebut juga perlu dipertimbangkan dalam perencanaan perbenihan Penilaian potensi lahan dilakukan pada Jenis-jenis prioritas yang merupakan Jenis Andalan Setempat (JAS) untuk wilayah Jawa Barat yaitu Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Pinus (Pinus merkusii), Rasamala (Altingia excelsa), Damar (Agathis loranthifolia) dan Sengon (Paraserianthes falcataria) (Suriarahardja dan Wasono 1994) . Peta yang digunakan adalah peta administrasi Jawa Barat (1 : 250 000) tahun 2004, peta tanah (1 : 250 000) tahun 2004, peta kelas lereng (1 : 25 000) tahun 2000, peta ketinggian (1 : 250 000) tahun 2000, data iklim berupa peta curah hujan (1 : 250 000) tahun 2004 dan peta land use (penggunaan lahan) (1 : 250 000) tahun 2000 (Gambar 13 sampai 18) .
51
Gambar 13 Peta Batas Administrasi Wilayah Jawa Barat.
Gambar 14 Peta Jenis Tanah Wilayah Jawa Barat.
52
Gambar 15 Peta Kelas Lereng Wilayah Jawa Barat.
Gambar 16 Peta Curah Hujan Wilayah Jawa Barat.
53
Gambar 17 Peta Kelas Ketinggian Wilayah Jawa Barat.
Gambar 18 Peta Land Use (Penggunaan Lahan) Wilayah Jawa Barat. Peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta ketinggian dan peta curah hujan ditumpangsusunkan (overlay) dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis
54
(SIG) yang menghasilkan satuan lahan. Wilayah yang tidak memungkinkan untuk pengembangan tanaman hutan seperti pemukiman, air, sawah dan lain-lain tidak dimasukan dalam penilaian potensi lahan dan dikeluarkan dengan menggunakan peta land use. Satuan lahan yang ada kemudian dibandingkan dengan persyaratan tumbuh untuk setiap jenis tanaman (Tabel 15). Tabel 15 Persyaratan Tumbuh Beberapa Jenis Tanaman Andalan Jawa Barat No.
Jenis
Jenis Tanah
1.
T. grandis (Jati)
2.
P. merkusii (Pinus) S. macrophylla (Mahoni)
3.
4.
A. excelsa (Rasamala)
5.
A. loranthifolia (Damar) P. falcataria (Sengon)
6.
Grumusol, Mediteran, Grumusol & Regosol, Kapur Berbatu, Latosol, Latosol dan Andosol Latosol, Andosol, Regosol Latosol, Andosol, Litosol, Grumusol, Podsolik, Podsolik Haplik, Podsolik Merah Latosol, Asosiasi Andosol Dan Latosol, Asosiasi Regosol dan Litosol, Mediteran Merah Kuning Latosol, Podsolik, Regosol, Andosol Merah Andosol Abu-Abu, Latosol Coklat, Mediteran Merah Kuning
Ketinggian (mdpl)
Curah Hujan (mm/tahun)
Kelerengan (%)
0-900
1 000-2 500
0-30
800-1 600
2 000-4 000
0-30
50-1 400
1 500-4 000
0-30
700-1 700
1 000-3 000
0-30
100-1 600
2 000-4 000
0-30
0-2 000
2 000-4 000
0-30
Sumber : Ginting (1998); Nurhasybi et al. (2000); Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001).
Setelah dilakukan analisis/penilaian dengan membandingkan (matching) kualitas lahan pada setiap satuan lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman maka dihasilkan peta potensi/kesesuaian lahan (Gambar 19 sampai 24) untuk masingmasing jenis tanaman andalan Jawa Barat dengan luas seperti disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Rekapitulasi Luas Potensi Lahan Jenis-Jenis Prioritas di Jawa Barat No.
Jenis
Luas (Ha)
1. Jati 388 234.53 2. Mahoni 1 173 918.23 3. Pinus 599 034.40 4. Sengon 1 056 565.75 5. Rasamala 363 165.76 6. Damar 1 087 526.45 Keterangan :* dari luas total daratan Jawa Barat
Persentase (%)* 8.99 27.19 13.87 24.47 8.41 25.19
Data luas potensi lahan secara lebih rinci untuk setiap lokasi (kabupaten) di Jawa Barat selengkapnya disajikan pada Tabel 17.
55
Tabel 17 Luas Potensi Lahan Jenis Prioritas untuk Setiap Lokasi di Jawa Barat
No.
Kabupaten
Luas Masing-Masing Jenis Pohon (Ha) Damar
Jati
Mahoni
Pinus
Rasamala
1
Bandung
137 183.31
54 785.70
2
Bekasi
36 432.25
25 615.77
157 955.51 137 183.31 49 416.60
-
3
Bogor
82 855.37
24 125.11
83 835.28
4
Ciamis
54 601.56
11 289.66
54 902.32
5
Cianjur
134 086.04
12 781.65
6
Cirebon
8 241.05
13 440.78
Sengon
126 174.22
154 201.32
-
36 432.25
13 960.42
-
83 550.45
24 863.22
27 887.70
54 436.50
136 250.89
94 929.25
56 454.94
136 152.78
21 220.97
-
-
6 652.03 58 600.04
7
Garut
52 219.07
38 053.47
67 819.72
46 467.39
58 708.67
8
Indramayu
3 774.84
7 537.23
11 132.15
-
-
3 774.84
9
Karawang
28 704.17
23 362.88
37 543.77
-
587.44
262 57.17
10
Kuningan
17 275.94
8 206.11
23 372.14
13 022.29
6 136.59
15 418.99
11
Lebak
58 727.06
9 433.04
48 225.21
23 145.24
5 805.73
48 225.21
12
Majalengka
63 567.25
7 391.64
59 569.09
34 750.78
14 782.37
52 765.87
13
Pandeglang
69 941.30
30 810.80
76 056.13
537.96
-
64 827.58
14
Purwakarta
34 490.26
6 517.24
36 352.73
12 281.51
569.14
34 655.13
15
Serang
28 145.87
60 465.39
22 920.74
-
-
16 843.89
49 158.64
5 727.62
368.73
42 596.49
118 595.77 109 593.57
32 410.76
117 135.15
59 747.29
33 279.47
78 924.41
16
Subang
42 461.11
28 628.31
17
Sukabumi
125 576.97
-
18
Sumedang
80 877.68
8 884.91
83 443.17
5 528.85
16 888.50
16 884.12
-
-
5 528.85
22 836.49
16.36
19 263.29
22 824.55
-
19 586.79
1 173 918.23 599 034.40
363 165.76
1 056 565.75
19
Tangerang
20
Tasikmalaya Total
1 087 526.45 388 234.53
Hasil Analisis GIS
Data luas potensi lahan pada Tabel 16 dan 17 merupakan lokasi/wilayah yang potensial dan memungkinkan untuk pengembangan 6 jenis tanaman prioritas. Wilayah-wilayah seperti pemukiman, jalan, sungai, danau, sawah dan wilayah lain yang tidak memungkinkan untuk pengembangan tanaman kehutanan, oleh karena itu tidak dimasukan dalam perhitungan. Walaupun demikian, hasil penilaian potensi lahan tersebut masih terdapat wilayah/lahan yang overlap (bisa ditanami lebih dari satu jenis tanaman). Hasil penilaian potensi lahan di atas menghasilkan wilayah overlap yang cukup besar. Dalam menentukan arahan wilayah pengembangan benih dan untuk penentuan kebijakan pengembangan jenis prioritas, pada wilayah yang overlap perlu dipilih satu jenis tanaman yang paling potensial dan memungkinkan. Dengan demikian, diperlukan skenario untuk menentukan jenis terpilih pada lokasi overlap tersebut.
56
Dasar yang digunakan untuk menentukan jenis terpilih pada lokasi overlap dalam penelitian ini adalah kedekatan lokasi tersebut dengan sumber benih, nilai ekonomi pohon dan hambatan fisik terhadap pertumbuhan tanaman. Kedekatan dengan sumber benih berhubungan dengan kemudahan aksesibilitas dalam tranfer/distribusi benih, manajemen persemaian ataupun penanaman di lapangan. Nilai ekonomi untuk setiap jenis pohon didasarkan pada harga kayu dan hasil nonkayu yang juga berkaitan dengan kemudahan dalam pemasaran. Sedangkan hambatan fisik berpengaruh dengan kemampuan tumbuh tanaman di lapangan. Sebagian lahan di lokasi studi mempunyai potensi lahan yang sesuai untuk beberapa jenis tanaman (wilayah overlap), untuk itu perlu menentukan lokasi terpilih untuk pengembangan setiap jenis tanaman. Sebagai contoh, wilayah overlap yang berada di daerah Bandung Selatan cocok untuk tanaman jati, pinus dan sengon, maka jenis yang direkomendasikan untuk jenis tersebut adalah pinus. Hal tersebut disebabkan karena wilayah yang overlap berdekatan dengan sumber benih pinus meskipun nilai ekonomi jati lebih tinggi dari pinus. Apabila jenis yang overlap di daerah tersebut hanya antara jati dan sengon, maka jenis yang direkomendasikan adalah tanaman jati karena memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sengon. Dasar penentuan prioritas tersebut digunakan secara berurutan sehingga dari semua wilayah overlap dapat ditentukan jenis yang terpilih. Pertimbangan ini sangat penting dalam perencanaan perbenihan karena hal tersebut terutama akan berpengaruh dalam penghitungan kebutuhan benih dan perkiraan luas sumber benih. a.
Potensi Lahan Tanaman Jati (Tectona grandis) Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa perkiraan potensi lahan untuk jenis ini di Jawa Barat seluas 388 234.53 ha yang tersebar di beberapa kabupaten Pandeglang, Serang, Lebak, Bogor, Cianjur, Garut, Bandung, Tangerang, Bekasi, Purwakarta, Karawang, Subang, Indramayu, Kuningan, Majalengka dan Ciamis (Gambar 19) (Tabel 17). Tanaman jati tumbuh alami di India, Myanmar dan Thailand. Penyebaran tanaman di Indonesia ditemukan di seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumbawa, Maluku dan Lampung. Tanaman ini
57
tumbuh baik pada ketinggian 0-900 mdpl dengan curah hujan 1500-3000 mm/tahun. Tumbuh pada tanah berlapisan dalam, tekstur sedang sampai berat (Gintings 1998).
Gambar 19
Peta Potensi Lahan Tanaman Jati (T. grandis) di Jawa Barat.
Sumber benih jati yang telah dibangun pada umumnya tersebar dan tumbuh baik pada jenis tanah Grumusol, Latosol dan Andosol yang terdapat di beberapa lokasi yaitu Cianjur, Purwakarta, Majalengka dan Ciamis. Pertumbuhan rata-rata tegakan di beberapa lokasi sumber benih yaitu pada tegakan umur 49 tahun di Ciamis dengan tanah Latosol adalah 26 m (tinggi) dan 44 cm (diameter), tegakan umur 48 tahun dengan tanah Andosol adalah 23.62 m (tinggi) dan 60.5 cm (diameter). Contoh lainnya adalah pada tegakan umur 47 tahun di Indramayu dengan jenis tanah Margalit Coklat memiliki pertumbuhan tinggi 23,27 m dan diameter 40,53 cm (Nurhasybi et al. 2000). b.
Potensi Lahan Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla) Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa perkiraan potensi lahan yang sesuai untuk jenis ini di Jawa Barat seluas 1 173 918.23 ha yang tersebar di seluruh kabupaten (Gambar 20) (Tabel 17). Penyebaran tanaman mahoni di
58
Indonesia ditemukan di seluruh Jawa. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 50-1400 mdpl dengan curah hujan 1600-4000 mm/tahun. Tumbuh pada tanah bertekstur sedang sampai berat (Gintings 1998).
Gambar 20
Peta Potensi Lahan Tanaman macrophylla) di Jawa Barat.
Mahoni
(Swietenia
Sumber benih mahoni terdapat dan tumbuh baik pada tanah Latosol, Andosol, Litosol, Grumusol, Podsolik, Podsolik Haplik, Podsolik Merah Kuning. Lokasi sumber benih tersebar di beberapa lokasi yaitu Bogor, Cianjur, Tasikmalaya, Sumedang dan Indramayu. Pertumbuhan tanaman pada beberapa lokasi tersebut seperti pada tegakan umur 42 tahun di daerah Tasikmalaya dengan jenis tanah Latosol memiliki pertumbuhan tinggi 28 m dan diameter 67.5 cm serta pada tegakan umur 24 tahun di Sumedang dengan jenis tanah Andosol memiliki pertumbuhan tinggi 11.5 m dan diameter 42 cm (Nurhasybi et al. 2000). c.
Potensi Lahan Tanaman Rasamala (Altingia excelsa) Perkiraan potensi lahan hasil analisis GIS yang sesuai untuk tanaman Rasamala di Jawa Barat seluas 363 165.76 ha yang tersebar di kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Subang, Karawang, Kuningan,
59
Majalengka, Sumedang, Ciamis dan Lebak (Gambar 21) (Tabel 17). Tanaman ini memiliki luas potensi lahan yang paling kecil dibanding jenis lain karena faktor pembatas terutama ketinggian tempat sehingga kebanyakan tumbuh di daerah pegunungan.
Gambar 21 Peta Potensi Lahan Tanaman Rasamala (Altingia excelsa) di Jawa Barat. Rasamala memiliki sebaran alami terutama di hutan-hutan gunung Priangan, Banten Selatan, Aceh dan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera. Tanaman ini kadangkala dalam keadaan dominan di suatu tempat atau dalam jumlah yang kecil dan tersebar serta tercampur dengan tanaman pengikutnya. Tumbuh baik pada ketinggian 700-1700 mdpl dengan curah hujan 1000-3000 mm/tahun. Tumbuh pada tanah bertekstur ringan sampai sedang (Danu et al. 2004). Sumber benih rasamala
tersebar dan tumbuh baik pada tanah
Latosol, Asosiasi Andosol dan Latosol, Asosiasi Regosol dan Litosol, Mediteran Merah Kuning. Sumber benih rasamala terletak di Sukabumi dan Cianjur serta ditemukan beberapa tegakan potensial dengan pertumbuhan yang cukup baik di daerah Garut. Pertumbuhan tegakan umur 48 tahun di Sukabumi dengan jenis tanah Latosol dengan tinggi 47 m dan diameter
60
48.09 cm, sedangkan tegakan umur 33 tahun di Cianjur dengan jenis tanah Latosol memiliki tinggi 31 m dan diameter 40.17 cm (Nurhasybi et al. 2000; Danu et al. 2004). d.
Potensi Lahan Tanaman Pinus (Pinus merkusii) Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa potensi lahan yang sesuai untuk tanaman pinus di Jawa Barat seluas 599 034.40 ha yang tersebar di beberapa kabupaten Lebak, Bogor, Cianjur, Garut, Bandung, Purwakarta, Subang, Kuningan, Majalengka, Tasikmalaya dan Ciamis (Gambar 22) (Tabel 17).
Gambar 22 Peta Potensi Lahan Tanaman Pinus (Pinus merkusii) di Jawa Barat. Tanaman ini memiliki sebaran alami di Aceh, Sumatra Utara dan Jambi. Hutan tanaman tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 800-1600 mdpl dengan curah hujan 20003000 mm/tahun. Tumbuh pada tanah bertekstur ringan sampai sedang (Gintings 1998). Sumber benih pinus tersebar dan tumbuh baik pada tanah Latosol, Andosol dan Regosol (Nurhasybi et al. 2000). Sumber benih pinus terletak di daerah Bandung Selatan dan Sumedang. Pertumbuhan tegakan umur 24 tahun di Bandung selatan dengan
61
jenis tanah Andosol memiliki tinggi 18 m dan diameter 28 cm (Nurhasybi et al. 2000). e.
Potensi Lahan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) Potensi lahan yang sesuai hasil analisis GIS untuk tanaman sengon di Jawa Barat seluas 1 056 565.75 ha yang tersebar di beberapa kabupaten Lebak, Bogor, Cianjur, Garut, Bandung, Purwakarta, Subang, Kuningan, Majalengka, Tasikmalaya dan Ciamis (Gambar 23) (Tabel 17).
Gambar 23 Peta Potensi Lahan Tanaman Sengon falcataria) di Jawa Barat dan Banten.
(Paraserianthes
Tanaman ini memiliki sebaran alami di Irian Jaya dan Kepulauan Maluku. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 0-2000 mdpl dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun. Tumbuh pada tanah bertekstur ringan, sedang dan berat (Gintings 1998). Di Jawa Barat tanaman sengon tumbuh pada tanah Latosol, Regosol (asal tidak berbatu) dan Podsolik Merah Kuning (drainase baik). Ditemukan juga tumbuh sporadis pada lahan marjinal (PERHIMPI dan Badan Litbang Kehutanan, 1990). Sumber benih sengon tersebar dan tumbuh baik pada jenis tanah Andosol Abu-Abu, Latosol Coklat dan Mediteran Merah Kuning
62
(Nurhasybi et al. 2000). Tidak ditemukan lokasi sumber benih sengon di Jawa Barat, tetapi terdapat beberapa tegakan potensial di daerah Cianjur, Jonggol (Bogor) dan Banten (Danu et al. 2004). Tanaman ini memiliki hambatan fisik yang cukup kecil sehingga dapat tumbuh pada daerah yang cukup luas. PERHIMPI dan Badan Litbang Kehutanan (1990) menjelaskan bahwa pertumbuhan tegakan umur 5 tahun di Citatah Bandung dengan jenis tanah Latosol memiliki lingkar batang 121 cm dan tinggi total 24.3 m, sedangkan pertumbuhan tegakan pada umur yang sama di Walahar Cirebon dengan jenis tanah Regosol memiliki lingkar batang 89.7 cm dan tinggi total 18 m. f.
Potensi Lahan Tanaman Damar (Agathis loranthifolia) Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa potensi lahan yang sesuai untuk tanaman damar di Jawa Barat seluas 1 087 526.45 ha yang tersebar di seluruh kabupaten (Gambar 24) (Tabel 17). Tanaman ini memiliki sebaran alami di Indonesia yaitu di Sulawesi Irian Jaya dan Kalimantan. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 100-1600 mdpl dengan curah hujan 2 000-4 000 mm/tahun. Tumbuh pada tanah bertekstur ringan sedang dan berat (Gintings 1998). Sumber benih jenis ini tersebar dan tumbuh baik pada jenis tanah Latosol, Podsolik, Regosol, Andosol Merah (Nurhasybi et al. 2000). Lokasi sumber benih jenis ini terdapat di daerah Sukabumi dan Cianjur. Pertumbuhan tegakan pada sumber benih umur 37 tahun di Cicurug Sukabumi dengan jenis tanah Andosol Merah memiliki tinggi total 26 m dan diameter 62.7 cm, sedangkan pada tegakan umur 42 tahun di Pasirhantap Sukabumi dengan jenis tanah yang sama memiliki tinggi 32 m dan diameter 72.3 cm (Nurhasybi et al. 2000).
63
Gambar 24 Peta Potensi Lahan Tanaman Damar (Agathis loranthifolia) di Jawa Barat dan Banten. Data di atas menunjukan bahwa potensi lahan untuk jenis mahoni, sengon dan mahoni menyebar di seluruh lokasi/kabupaten, sedangkan potensi lahan jenis jati, pinus dan rasamala tidak terdapat di seluruh kabupaten. Hal ini terutama disebabkan oleh faktor ketinggian tempat yang merupakan pembatas bagi pertumbuhan jenis-jenis tersebut. Potensi lahan untuk setiap jenis yang berada di kotamadya tidak dimasukan/dikeluarkan karena wilayah ini dianggap lebih potensial/memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pemukiman, perkantoran ataupun fasilitas-fasilitas untuk pengembangan kota lainnya. Pengembangan tanaman kehutanan untuk wilayah perkotaan sebenarnya diperlukan seperti untuk hutan kota atau pun jalur hijau tetapi kebutuhannya relatif kecil. Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis-Jenis Prioritas Hasil penilaian potensi lahan untuk masing-masing jenis secara operasional perlu digabungkan menjadi satu peta sehingga tidak terdapat wilayah yang dapat ditanami lebih dari satu jenis tanaman (overlap). Setelah jenis terpilih ditentukan berdasarkan skenario yang ditetapkan yaitu kedekatan lokasi dengan sumber benih, nilai ekonomi tanaman/pohon dan hambatan fisik untuk pertumbuhan tanaman, maka
luas potensi lahan untuk setiap jenis menjadi
64
berkurang dibanding luas sebelumnya. Hasil penilaian dengan menggunakan skenario diatas menghasilkan wilayah pengembangan benih jenis andalan Jawa Barat (Gambar 25) dengan luas seperti disajikan pada Tabel 18. Tabel
18 Rekapitulasi Luas Potensi Lahan Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis Andalan Jawa Barat
No.
Jenis
Luas (Ha)
Persentase (%) *
1.
Jati
371 217.60
8.60
2.
Mahoni
303 741.85
7.03
3.
Pinus
329 177.23
7.62
4.
Sengon
39 647.06
0.92
5.
Rasamala
100 969.18
2.34
6.
Damar
90 457.59
Total
2.10
1 235 210.50
28.61
Sumber : Hasil Analisis * dari luas total daratan Jawa Barat
Data potensi lahan untuk wilayah pengembangan benih jenis andalan Jawa Barat untuk setiap kabupaten selengkapnya disajikan pada Tabel 19. Tabel
No.
19 Luas Potensi Lahan Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis Andalan Jawa Barat Luas Masing-Masing Jenis Pohon (Ha)
Kabupaten Damar
Jati
Mahoni
Pinus
Rasamala
Sengon
1
Bandung
5 76.04
54 785.70
-
85 236.67
15 135.55
2
Bekasi
-
25 615.77
234 58.19
-
-
17 025.49 -
3
Bogor
-
24 125.11
450 73.16
13 943.56
834.75
-
4
Ciamis
6 009.12
11 289.66
182 83.62
24 863.22
-
-
5
Cianjur
24 494.60
12 781.65
264 82.70
8 647.60
58 025.16
5 855.42
6
Cirebon
-
13 440.78
43 52.60
-
-
-
7
Garut
866.32
38 053.47
142.28
27 387.67
-
6 316.29
8
Indramayu
-
2.97
11 182.68
-
-
-
9
Karawang
-
23 362.88
8 735.52
-
-
-
10
Kuningan
168.87
8 206.11
2 169.19
11 042.66
-
122.68
11
Lebak
-
9 433.04
18 336.98
23 145.24
-
-
12
Majalengka
17.12
5 676.66
14 935.43
34 750.78
-
787.05
13
Pandeglang
264.76
30 810.80
49 821.09
537.96
-
-
14
Purwakarta
17.12
6 517.24
16 388.03
12 281.51
-
164.87
15
Serang
10.25
60 465.39
9 631.71
-
-
-
16
Subang
36.38
28 628.31
15 116.34
5 414.00
-
449.00
17
Sukabumi
56 723.10
-
11 469.21
15 160.74
26 973.71
7 051.53
18
Sumedang
666.57
8 884.91
21 130.39
47 518.70
-
1 139.75
19
Tangerang
-
9 120.78
7 032.74
-
-
734.98
20
Tasikmalaya
607.37
16.36
-
19 246.93
-
-
90 457.59
371 217.60
303 741.85
329 177.23
100 969.18
39 647.06
Total
Hasil Analisis GIS
65
Gambar 25 Peta Skenario Wilayah Pengembangan Benih Jenis Andalan Jawa Barat.
66
Data pada Tabel 18 dan 19 menunjukan perubahan luas yang cukup besar dibandingkan potensi lahan sebelumnya (Tabel 16) yang disebabkan jumlah daerah yang mengalami overlap cukup banyak. Pengurangan luas potensi lahan untuk masing-masing jenis setelah dilakukan penetapan wilayah pengembangan benih yaitu jati sebesar 4.38%, mahoni 74.13%, pinus 45.05%, sengon 96.25%, rasamala 72.20% dan damar 91.68% dari luas potensi lahan sebelumnya. Berdasarkan kriteria yang digunakan maka wilayah overlap paling banyak terdapat pada faktor curah hujan, ketinggian tempat dan kelas lereng. Faktorfaktor tersebut memiliki kisaran yang cukup luas untuk pertumbuhan jenis-jenis tanaman yang dianalisis dan tanaman kehutanan pada umumnya sehingga faktor pembeda yang cukup nyata adalah jenis tanah. Wilayah pengembangan benih sengon mempunyai luas paling kecil dibanding jenis-jenis lain padahal sebelum dilakukan penggabungan jenis ini memiliki potensi lahan yang cukup luas. Hal tersebut disebabkan karena berdasarkan skenario penilaian prioritas yang digunakan jenis ini tidak memiliki sumber
benih
serta
mempunyai
hambatan
fisik
paling
kecil
untuk
pertumbuhannya sehingga prioritasnya di bawah jenis lain. Jati merupakan jenis yang paling luas karena sumber benihnya cukup banyak, nilai ekonominya cukup tinggi dan merupakan tanaman yang lambat tumbuh (slow growing species) serta memiliki hambatan fisik yang cukup besar sehingga prioritasnya berada di atas jenis lain. Wilayah pengembangan untuk masing-masing jenis cenderung berada pada lokasi/sentra sumber benih (Gambar 25) seperti : pinus berada di sekitar daerah Sumedang dan Bandung Selatan, damar di sekitar daerah Sukabumi. Data di atas secara spasial dapat menggambarkan sebaran lokasi/wilayah pengembangan 6 jenis tanaman prioritas. Jenis rasamala memiliki wilayah pengembangan yang lebih memusat lagi dari potensi lahan sebelumnya yaitu hanya terdapat di 4 kabupaten (Tabel 19). Hal tersebut disebabkan sumber benih yang ada mengumpul di lokasi tersebut terutama di kabupaten Sukabumi dan Cianjur yang berada di daerah dataran tinggi/pegunungan dan juga merupakan sebaran tumbuh alami jenis ini. Data wilayah pengembangan benih tersebut akan membantu perencanaan penanaman di masing-masing lokasi/kabupaten. Selain keenam jenis tanaman di atas, dalam pelaksanaannya dapat ditambahkan jenis
67
lain sesuai dengan prioritas untuk masing-masing daerah. Kondisi tersebut sangat dimungkinkan dengan adanya otonomi daerah seperti saat ini. Selain dapat memberikan informasi kesesuaian tempat tumbuh, data di atas juga dapat dijadikan petunjuk awal dalam penentuan lokasi sumber benih, prediksi kebutuhan benih, luas sumber benih dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam produksi benih.
Pada saat ini jarang sekali perencanaan
program penanaman yang sekaligus dengan perencanaan pengumpulan benihnya (jenis tanaman dan kebutuhan benih). Penunjukkan/pembangunan sumber benih lebih didasarkan pada kebutuhan benih jangka pendek. Berdasarkan permasalahan tersebut, perkiraan kebutuhan berdasarkan spasial dan potensi lahan terutama dapat digunakan untuk perencanaan jangka panjang. Pada saat ini, di bidang perbenihan tanaman hutan digunakan sistem zonasi benih sebagai pendekatan untuk mengetahui sumber benih yang cocok dengan tapak penanaman. Walaupun demikian, sistem ini masih memiliki banyak keterbatasan. Peta skenario wilayah pengembangan benih ini merupakan alat penting dalam memandu transfer benih khususnya untuk 6 jenis tanaman prioritas di Jawa Barat yang berguna dalam perencanaan sumber benih, perencanaan konservasi sumber daya genetik hutan serta perencanaan pengujian lapangan. Perkiraan (Prediksi) Kebutuhan Benih Total Kebutuhan Benih Potensial Jenis-Jenis Prioritas
Berdasarkan data luas potensi lahan wilayah pengembangan benih jenisjenis prioritas (Tabel 18 dan 19), maka dapat diprediksi jumlah benih yang dibutuhkan untuk setiap jenisnya. Prediksi kebutuhan benih 6 jenis tanaman prioritas selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20.
68
Tabel
20
No.
Rekapitulasi Kebutuhan Benih Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Andalan Jawa Barat
Jenis
Luas Areal (ha)
Jumlah Bibit (batang)
Jumlah Benih (butir)
Jumlah Benih (kg)
1.
Jati
371 217.60
494 833 054
2 969 740 760
1 187 896.30
2.
Mahoni
303 741.85
404 887 883
1 735 667 703
3.
Pinus
329 177.23
438 793 246
1 755 611 888
867 833.85 31 601.02
4.
Sengon
39 647.06
52 849 534
198 235 310
4 162.94
5.
Rasamala
100 969.18
134 591 910
897 503 778
5 385.02
6.
Damar
90 457.59
120 579 971
380 874 076
85 696.75
1 235 210.50 Sumber : Hasil Penghitungan
1 646 535 599
7 937 633 514
2 182 575.89
Total
Data pada Tabel 20 menunjukkan bahwa berdasarkan potensi lahan yang ada jumlah benih yang dibutuhkan untuk kegiatan penanaman di Jawa Barat tertinggi adalah untuk jenis jati dan mahoni sedangkan kebutuhan terendah diperoleh untuk sengon. Kebutuhan benih sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti luas areal penanaman, seleksi jenis (berat per kilogram dan daya berkecambah) serta tipe penanaman (jarak tanam) yang juga berpengaruh terhadap suplai benih. Kebutuhan benih untuk rehabilitasi dan hutan rakyat untuk saat ini masih sulit diprediksi karena hanya berupa data luas lahan total, sedangkan data luas untuk masing-masing jenis masih belum tersedia. Hal tersebut menyebabkan perencanaan pengadaan benihnya sulit dilakukan. Dengan demikian, data luas wilayah pengembangan benih tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar terutama untuk perencanaan pengadaan benih jangka panjang. Data kebutuhan benih secara rinci untuk setiap kabupaten selengkapnya disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Kebutuhan Benih untuk Setiap Kabupaten Berdasarkan Skenario Wilayah Pengembangan Benih Andalan Jawa Barat No.
Kabupaten
Kebutuhan Benih Setiap Jenis (Kg) Damar
Jati
Mahoni
Pinus
Rasamala
Sengon
1
Bandung
54 5.72
175 314.24
-
8 182.72
807.23
1 787.68
2
Bekasi
-
81 970.46
67 023.41
-
-
-
3
Bogor
-
77 200.34
128 780.46
1 338.58
44.52
-
4
Ciamis
5 692.85
36 126.90
52 238.93 2 3 86.87
5
Cianjur
23 205.44
40 901.28
75 664.86
6
Cirebon
-
43 010.51
7
Garut
820.73
121 771.10
-
-
830.17
3 094.68
6 14.82
12 435.99
-
-
-
406.51
2 629.22
-
6 63.21
69
8
Indramayu
-
9.51
31 950.50
9
Karawang
-
74 761.23
10 Kuningan
159.98
26 259.56 30 185.73
11 Lebak
-
-
-
24 958.64
-
-
-
6 197.70
1 060.10
-
12.88
52 391.36
2 221.94
-
-
12 Majalengka
16.22
18 165.31
42 672.65
3 336.08
-
82.64
13 Pandeglang
250.82
98 594.57
142 345.97
51.64
-
-
14 Purwakarta
16.22
20 855.17
46 822.93
1 179.02
-
17.31
15 Serang
9.71
193 489.24
27 519.17
-
-
-
16 Subang
34.47
91 610.59
43 189.54
519.74
-
47.14
17 Sukabumi
5 3737.72
-
32 769.16
1 455.43
1 438.60
7 40.41
18 Sumedang
631.49
28 431.72
60 372.54
4 561.80
-
1 19.67
-
29 186.51
20 093.54
-
-
77.17
575.40
52.35
-
1 847.71
-
-
19 Tangerang 20 Tasikmalaya Total
85 696.75 1 187 896.30 867 833.85 31 601.02
5 385.02 4 162.94
Hasil analisis GIS yang telah diolah
Data prediksi kebutuhan benih di atas sangat diperlukan untuk mengatasi beberapa kendala apabila penentuan jenis dan jumlah benih hanya berdasarkan permintaan pasar. Panjangnya proses penyediaan benih tanaman hutan menyebabkan terjadinya resiko perubahan permintaan jenis ataupun jumlah benih sangat tinggi. Naik turunnya permintaan benih kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya perubahan yang tiba-tiba atau ditutupnya proyek penanaman karena masalah hama, tujuan penanaman, sosial ekonomi ataupun pertimbangan
politik.
Apabila
pengumpulan/penyediaan benih
hal
tersebut
terjadi,
maka
biaya
akan sia-sia dan menyebabkan hilangnya
keuntungan. Penggunaan GIS dalam penentuan potensi lahan akan mempermudah dalam perkiraan kebutuhan benih karena dapat diketahui lokasi dan luas wilayah penanaman untuk setiap jenis dengan jelas. Pertimbangan secara fisik/spasial merupakan hal yang sangat penting dalam perencanaan perbenihan selain pertimbangan aspek ekonomi (pasar), sosial ataupun kelembagaan.
Arahan Pengembangan Sumber Benih di Jawa Barat Penyediaan Sumber Benih untuk Pembangunan Hutan Berkelanjutan Sistem pengelolan hutan secara lestari perlu dirancang melalui suatu sistem yang memungkinkan terjadinya kelestarian hasil. Sistem ini memerlukan adanya kesesuaian antara luas penebangan dengan luas penanaman. Dengan demikian,
70
ketersedian sumber benih harus dapat menjamin kebutuhan kegiatan penanaman tahunan jenis-jenis yang diprioritaskan. Berdasarkan luas lahan potensial untuk ditanami jenis-jenis prioritas tersebut, maka luas sumber benih yang harus tersedia untuk memenuhi kegiatan penanaman di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22
No.
1.
Kebutuhan Sumber Benih Berdasarkan Skenario Pengembangan Jenis Andalan di Jawa Barat
Jenis
Jati
Luas Potensi Lahan (Ha)
Daur (Tahun)
Luas Tanaman Per Tahun (Ha)
Potensi Produksi (Kg/Ha/th)
Kebutuhan sumber benih (Ha)
371 217.60
40.00
9 280.44
175.00
169.70 380.63
2.
Mahoni
303 741.85
30.00
10 124.73
76.00
3.
Pinus
329 177.23
15.00
21 945.15
2.50
842.70
4.
Sengon
39 647.06
8.00
4 955.88
11.10
46.88
2 524.23
46.50
2.90
3 015.25 51 845.68
97.00
29.45 1 472.26
5. 6.
Rasamala Damar Total
100 969.18 90 457.59 1 235 210.50
40.00 30.00 -
-
Sumber : Hasil Penghitungan
Luas sumber benih tersebut bila dihubungkan dengan daur masak tebang masing-masing jenis, memungkinkan terjadinya kelestarian hasil. Sebagai contoh untuk jenis Jati, luas sumber benih 169.70 ha dapat menghasilkan benih yang mampu memenuhi kebutuhan benih untuk kegiatan penanaman tahunan seluas 9 280.44 ha. Bila asumsi daur jati 40 tahun, maka dalam jangka waktu daur tersebut seluruh kegiatan penanaman sudah menggunakan benih dari sumber benih tersebut dan hal ini akan berdampak pada peningkatan produktivitas hutan tanaman. Peningkatan produktifitas hutan akan terus bertambah sejalan dengan peningkatan kelas sumber benih yang digunakan. Secara bertahap, di masa mendatang diharapkan benih yang digunakan untuk program penanaman berasal dari sumber benih dengan kualitas paling tinggi. Ketersediaan Sumber Benih Aktual untuk Program Penanaman Berdasarkan potensi lahan untuk setiap jenis, gambaran kemampuan pemenuhan kebutuhan benih dari sumber benih yang ada saat ini di Jawa Barat selengkapnya disajikan pada Tabel 23.
71
Tabel 23 Kemampuan Pemenuhan Kebutuhan Benih dari Sumber Benih Aktual di Jawa Barat No.
Jenis
Luas Potensi
Luas Sumber
Luas Penanaman
Waktu
Lahan (Ha)
Benih (Ha)
(Ha/Tahun)
(Tahun)**
1.
Jati
371 217.60
306.60
16 767.19
22.14
2.
Mahoni
303 741.85
208.42
5 543.97
54.79
3.
Pinus
329 177.23
91.20
2 375.00
138.60
4.
Sengon
39 647.06
-
-
-
5.
Rasamala
100 969.18
118.74
103 526.44
6.
Damar
90 457.59
21.98
2 250.51
0.98 40.19
** Waktu yang diperlukan untuk menanami seluruh lahan potensial
Data di atas menunjukkan bahwa secara umum kebutuhan benih sangat sulit dipenuhi dari sumber benih yang sudah ada. Apabila dihubungkan dengan daur tebang, umur efektif serta kondisi sumber benih sekarang, maka jenis jati, mahoni, pinus dan damar sulit sekali bahkan tidak mungkin memenuhi kebutuhan benih untuk penanaman di seluruh areal. Sumber benih sengon belum ada di Jawa Barat sehingga pembangunannya mutlak diperlukan. Meskipun rasamala mampu memenuhi kebutuhan benih untuk kegiatan penanaman tetapi untuk meningkatkan mutu dan menjaga kesinambungan penyediaan benih pembangunan sumber benih baru sangat diperlukan. Dengan kondisi tersebut maka pembangunan sumber benih di Jawa Barat perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan benih berkualitas dalam jumlah cukup dan berkesinambungan. Strategi Peningkatan Nilai Ekonomi Dari Penggunaan Benih Bermutu
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap ketersediaan sumber benih di Jawa Barat, maka untuk meningkatkan produktivitas hutan dan sekaligus meningkatkan perolehan nilai ekonomi produk hutan (produksi kayu) perlu adanya tahapan pengembangan berdasarkan kelas sumber benih yang tersedia. Dengan asumsi peningkatan pendapatan pada akhir daur yang menggunakan benih bersumber dari APB minimal 5% dan kebun benih 12% (Mahfudz dan Leksono, 2002) serta volume kayu pada akhir daur pada tanaman yang berasal dari benih asalan diasumsikan 0,2 m3/pohon maka diperoleh tambahan pendapatan yang disajikan pada Tabel 24.
72
Tabel 24
No.
1
2
3
4
5
6
Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Sebagai Akibat Penggunaan Benih dari Kelas Sumber Benih yang Lebih Tinggi
Jenis
Kelas Sumber Benih
Jati
Mahoni
Pinus
Rasamala
Sengon
Damar
Peningkatan Produktivitas
Produktivitas Rata-Rata Akhir Daur (m3/Ha)*
Harga Kayu (Rp/m3)
Pendapatan (Rp/Ha)
Tambahan Pendapatan (Rp/Ha/Th/Daur)
Asalan
0%
155.54
3 000 000
466 620 000
APB
5%
163.32
3 000 000
489 951 000
23 331 000/40
KB
12%
174.20
3 000 000
522 614 400
55 994 400/40
Asalan
0%
155.54
1 500 000
233 310 000
APB
5%
163.32
1 500 000
244 975 500
11 665 500/30
KB
12%
174.20
1 500 000
261 307 200
27 997 200/30
Asalan
0%
155.54
700 000
108 878 000
APB
5%
163.32
700 000
114 321 900
5 443 900/15
KB
12%
174.20
700 000
121 943 360
13 065 360/15
Asalan
0%
155.54
2 000 000
311 080 000
APB
5%
163.32
2 000 000
326 634 000
15 554 000/40
KB
12%
174.20
2 000 000
348 409 600
37 329 600/40
Asalan
0%
155.54
400 000
62 216 000
APB
5%
163.32
400 000
65 326 800
3 110 800/8
KB
12%
174.20
400 000
69 681 920
7 465 920/8
Asalan
0%
155.54
500 000
77 770 000
APB
5%
163.32
500 000
81 658 500
3 888 500/30
KB
12%
174.20
500 000
87 102 400
9 332 400/30
Keterangan : APB : Areal Produksi Benih; KB : Kebun Benih.
* Asumsi : produktifitas tegakan (0.2 m3/pohon); jarak tanam 3 x 3; jumlah tanaman akhir daur 70%.
Sebagai
gambaran,
Suhardjo
(2005)
menjelaskan
skema
investasi
penanaman bibit unggul jati tiap hektar pada umur 20 tahun (Tabel 25). Tabel 25
Perbandingan Biaya dan Pendapatan Pemakaian Benih Unggul dan Benih Konvensional
Kegiatan
Benih unggul (Rp)
Benih konvensional (Rp)
Harga bibit
5 000 000
1 000 000
Pembangunan
3 000 000
3 000 000
Pemeliharaan tahun ke-I & II
2 000 000
2 000 000
Pemeliharaan lanjutan
9 000 000
9 000 000
Biaya panen
6 000 000
3 000 000
Jumlah biaya
25 000 000
18 000 000
200 000 000
100 000 000
Pendapatan tahun ke-20 Sumber : Suhardjo (2005)
73
Gambaran peningkatan pendapatan di atas mengisyaratkan perlunya peningkatan nilai genetik sumber benih.
Penggunaan benih unggul akan
meningkatkan produksi kayu dalam luasan yang
sama apabila dibandingkan
dengan penggunaan benih asalan (konvensional). Penanaman benih/bibit unggul akan terasa mahal pada awalnya tetapi akan diperoleh keuntungan pada akhirnya. Dengan demikian, perlu peningkatan kualitas sumber benih dengan terus mengembangkan kelas sumber benih sampai pada tingkat yang lebih tinggi sehingga produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat dapat terus ditingkatkan. Secara langsung ataupun tidak langsung hal ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terlibat langsung dengan kegiatan pembangunan hutan maupun yang terlibat dalam pengolahan produk kayu yang dihasilkan. Berdasarkan kondisi aktual di lapangan dapat direkomendasikan sumber benih yang layak dibangun sebagai berikut : 1. Jati (Tectona grandis) Sumber benih yang tersedia di Jawa Barat baru pada tingkat tegakan benih (teridentifikasi dan terseleksi) seluas 306,60 ha. Bila dikaitkan dengan strategi pengelolaan hutan secara lestari, potensi produksi sumber benih dan daur tebang tanaman jati 40 tahun, maka sumber benih tersebut telah mencukupi kebutuhan benih untuk kegiatan penanaman tahunan. Namun untuk meningkatkan produktivitas dan perolehan nilai ekonomi di akhir daur, perlu peningkatan kelas sumber benih minimal menjadi Areal Produksi Benih. 2. Mahoni (Swietenia macrophylla) Di Jawa Barat, sumber benih mahoni baru pada tingkat Tegakan Benih Teridentifikasi seluas 208.02 ha. Bila dilihat dari kebutuhan benih untuk membangun hutan tanaman secara lestari, maka luas sumber benih yang ada belum dapat mencukupi kebutuhan penanaman. Kebutuhan benih tersebut dapat dicukupi dengan membangun sumber benih baru seluas 380.63 ha dan untuk meningkatkan kualitasnya perlu ditingkatkan kelasnya menjadi Areal Produksi Benih (APB). 3. Pinus (Pinus merkusii) Bila dilihat dari potensi lahan yang ada, sumber benih pinus yang tersedia di Jawa Barat belum mencukupi untuk kebutuhan penanaman. Walaupun pada jenis ini secara kualitas lebih baik dari jenis lainnya, karena sumber benih yang ada sebagian besar berupa Kebun Benih dengan luas 91.20 ha, namun luas sumber benih yang diperlukan untuk menciptakan pengelolaan hutan secara lestari masih kurang, dimana luas sumber benih yang dibutuhkan adalah 842.70 ha. Kekurangan sumber benih benih tersebut dapat dipenuhi dengan membangun sumber benih baru menggunakan materi genetik yang sudah tersedia di Kebun Benih sebelumnya. Pembangunan sumber benih
74
lanjutan ini selain dapat meningkatkan ketersediaan benih juga dapat meningkatkan nilai genetisnya karena dapat dibangun dengan mengembangkan Kebun Benih generasi kedua (F-2). 4. Sengon (Paraserianthes falcataria) Sumber benih sengon sampai saat ini belum tersedia di Jawa Barat, sehingga untuk mencukupi kebutuhan benih dan meningkatkan produktivitas serta perolehan nilai ekonomi di akhir daur, perlu dibangun sumber benih minimal pada tingkat Areal Produksi Benih. Luas sumber benih yang dibutuhkan untuk memenuhi kegiatan penanaman tahunan adalah 46.88 ha. 5. Rasamala (Altingia excelsa) Sumber benih yang tersedia di Jawa Barat baru pada tingkat Tegakan Benih Teridentifikasi seluas 118.74 ha. Bila dikaitkan dengan strategi pengelolaan hutan secara lestari, potensi produksi sumber benih dan daur tebang tanaman rasamala 40 tahun, maka sumber benih tersebut telah mencukupi kebutuhan benih untuk kegiatan penanaman tahunan. Namun untuk meningkatkan produktivitas dan perolehan nilai ekonomi di akhir daur, perlu peningkatan kelas sumber benih minimal menjadi APB. Bila dilihat dari daur tebang dan kebutuhan penanaman tahunan sumber benih yang dibutuhkan cukup 2,90 ha (bila dibulatkan dengan alasan kelayakan sumber benih dan efisiensi manajemen menjadi 4 ha). 6. Damar (Agathis loranthifolia) Sumber benih yang tersedia di Jawa Barat baru pada tingkat Tegakan Benih Teridentifikasi seluas 21.98 ha.
Bila dikaitkan dengan strategi
pengelolaan hutan secara lestari, potensi produksi sumber benih dan daur tebang tanaman damar 30 tahun, maka sumber benih tersebut belum mencukupi kebutuhan benih untuk kegiatan penanaman tahunan. Sumber benih yang diperlukan seluas 29.45 ha dan harus sudah dibangun minimal pada tingkat APB. Strategi Penentuan Lokasi Pembangunan Sumber Benih
Suatu cara untuk memudahkan pengelolaan sumber benih dalam hubungannya dengan penghematan ongkos angkut, aksesibilitas terhadap kawasan/areal penanaman dan manajemen sumber benih, maka pembangunan sumber benih harus dilakukan di daerah yang mempunyai potensi lahan terbesar untuk pengembangan jenis tersebut. Penentuan luas sumber benih yang dapat dibangun di masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 26.
75
Tabel 26 Luas Sumber Benih Yang Dapat Dibangun di Beberapa Kabupaten di Jawa Barat No. Kabupaten
Kebutuhan Luas Sumber Benih (Ha) Jati
1 Bandung 2 Bekasi 3 Bogor 4 Ciamis 5 Cianjur 6 Cirebon 7 Garut 8 Indramayu 9 Karawang 10 Kuningan 11 Lebak 12 Majalengka 13 Pandeglang 14 Purwakarta 15 Serang 16 Subang 17 Sukabumi 18 Sumedang 19 Tangerang 20 Tasikmalaya Total Hasil Pengolahan
25.04 11.71 11.03 5.16 5.84 6.14 17.40 0.00 10.68 3.75 4.31 2.60 14.08 2.98 27.64 13.09 4.06 4.17 0.01 169.70
Mahoni 29.40 56.48 22.91 33.19 5.45 0.18 14.01 10.95 2.72 22.98 18.72 62.43 20.54 12.07 18.94 14.37 26.48 8.81 380.63
Pinus 218.21 35.70 63.65 22.14 70.11 28.27 59.25 88.96 1.38 31.44 13.86 38.81 121.65 49.27 842.70
Rasamala 0.43 0.02 1.66 0.77 2.90
Sengon 20.13 6.92 7.47 0.15 0.93 0.19 0.53 8.34 1.35 0.87 46.88
Damar 0.19 1.96 7.97 0.28 0.05 0.01 0.09 0.01 0.00 0.01 18.47 0.22 0.20 29.45
Berdasarkan Tabel 26, tidak semua kabupaten disarankan untuk membangun sumber benih jenis-jenis prioritas tersebut. Penentuan luas untuk pembangunan sumber benih secara teknis didasarkan pada jumlah minimal pohon induk yaitu sebanyak 25 pohon induk. Walaupun demikian, secara operasional kelayakan setiap kabupaten perlu didasarkan pada luas minimal (sumber benih yang baik minimal 4 Ha), aksesibilitas lokasi, kemudahan manajemen dan letak terhadap wilayah lainnya yang potensial ditanami jenis tersebut. Dengan demikian, lokasilokasi yang layak untuk dibangun sumber benih tersebut pada Tabel 27.
76
Tabel 27
No. 1.
Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Jenis-Jenis Prioritas untuk Setiap Kabupaten
Jenis Jati
Kabupaten Serang Subang
Bandung Garut Total 2.
Mahoni
Luas Sumber Benih (Ha) 50.21 55.01
36.07 28.41 169.70
Purwakarta
80.35
Bogor Pandeglang Sumedang
104.04 106.29 89.95
Total
380.63 218.21 96.64 60.63 166.95 117.23 183.03 842.70
Wilayah Yang Dilayani Pandeglang, Tangerang, Lebak, Sumedang, Majalengka, Purwakarta, Kuningan, Bekasi, Karawang, Cirebon Bogor Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur
Karawang, Bekasi, Cirebon, Indramayu. Cianjur, Sukabumi Serang, Lebak, Tangerang Ciamis, Majalengka, Subang, Garut, Kuningan
3.
Pinus
Bandung Sukabumi Lebak Sumedang Majalengka Garut Total
4.
Rasamala
Cianjur Total
5.
Sengon
Bandung Sukabumi Garut Total
20.86 16.13 9.89 46.88
Purwakarta, Subang Cianjur, Tangerang Kuningan, Majalengka, Sumedang
6.
Damar
Cianjur
10.89
Sukabumi Total
18.55 29.45
Bandung, Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Kuningan, Majalengka Pandeglang
2.90 2.90
Bogor, Cianjur Pandeglang Subang, Purwakarta Kuningan Ciamis, Tasikmalaya
Bandung, Bogor, Sukabumi
77
Gambar 26
Peta Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Jati dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat.
Gambar 27
Peta Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Mahoni dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat.
78
Gambar 28
Peta Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Pinus dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat.
Gambar 29
Peta Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Sengon dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat.
79
Gambar 30
Peta Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Jati dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat.
Gambar 31
Peta Strategi Pemilihan Lokasi Pembangunan Sumber Benih Jati dan Lokasi yang Dilayaninya di Jawa Barat.
80
Strategi Pembangunan Sumber Benih
Pembangunan sumber benih memerlukan investasi yang cukup besar terutama dalam hal pengadaan materi genetik yang memadai. Suatu sumber benih yang baik harus dibangun dari keragaman genetik yang tinggi yang diperoleh dari kegiatan eksplorasi pada sebaran alami dimana jenis tersebut tumbuh.
Bila
sumber daya memadai, terutama materi genetik, biaya dan tenaga ahli maka pembangunan sumber benih dapat saja dilakukan sekaligus dalam skala besar. Namun keterbatasan sumber daya tersebut seringkali memaksa pelaksanaan kegiatan pembangunan sumber benih dilakukan secara bertahap.
Seringkali
evaluasi peningkatan genetik juga dijadikan alasan mengapa pembangunan sumber benih dilakukan secara bertahap, karena sumber benih yang baik harus dilihat dari penampilan keturunan yang diuji di lapangan. Dengan demikian, ada beberapa skenario yang dapat dilakukan untuk membangun sumber benih jenisjenis prioritas tersebut. 1.
Jati (Tectona grandis) Pembangunan sumber benih pada kelas Areal Produksi Benih seluas 169,70 ha, dapat dilakukan dengan beberapa skenario berdasarkan jangka waktu pembangunan seperti yang tercantum pada Tabel 28. Skenario penanaman dalam hubungannya dengan terwujudnya pengelolaan hutan tanaman jati yang lestari dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 28 Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Jati dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan No.
Jangka Waktu Pembangunan (Tahun)
Luas Sumber Benih Dibangun Setiap Tahun (Ha)
1 1 169.70 2 2 84.85 3 3 56.57 4 4 42.43 5 5 33.94 6 10 16.97 ** Sumber benih berbuah umur 20 tahun.
Luas Penanaman Tahun Pertama Setelah Produksi (Ha) 9 280.44 4 640.22 3 093.48 2 320.11 1 856.09 928.04
Terpenuhinya Kebutuhan Benih (Tahun ke-)** 20 21 22 23 24 29
81
Tabel 29 Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Jati Secara Lestari dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih Penanaman Tahun Ke-
Luas Sumber Benih (Ha)
Luas Lahan Potensial (Ha)
1 2 3 4 5 10 20 30 40
169.70
371 217.60
Luas Penanaman Menggunakan Benih dari APB (Ha) 9 280.44 18 560.88 27 841.32 37 121.76 46 402.20 92 804.40 185 608.80 278 413.20 371 217.60
Penanaman dengan Benih dari Sumber Benih Lainnya (Ha) 361 937.16 352 656.72 343 376.28 334 095.84 324 815.40 278 413.20 185 608.80 92 804.40 0.00
Tabel 29 menunjukkan tahapan pembangunan hutan secara lestari dengan menggunakan benih dari Areal Produksi Benih. Pada akhir daur (40 tahun setelah penanaman pertama) diharapkan seluruh kawasan yang potensial untuk tanaman jati dapat ditanami dengan benih dari kebun benih. Sekaligus pada tahun tersebut merupakan panen perdana untuk tanaman dengan benih dari APB. Berdasarkan prediksi peningkatan produktivitas diharapkan setelah penebangan pertama dapat meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 216 521 945 640/tahun (hasil perhitungan : 9 280.44 ha/th x Rp 23 331 000/ha). 2. Mahoni (Swietenia macrophylla) Dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, luas sumber benih mahoni belum mencukupi kebutuhan penanaman berdasarkan potensi lahan yang sesuai. Dengan demikian, selain kuantitas maka kualitasnya pun harus ditingkatkan. Pembangunan Areal Produksi Benih (APB) menjadi pilihan yang realitis, mengingat sumber benih yang ada baru sampai kelas tegakan benih. Beberapa pilihan jangka waktu pembangunan dapat dilihat pada Tabel 30, sedangkan dalam hubungan ketersediaan benih dari APB tersebut dengan pembangunan hutan tanaman yang lestari disajikan pada Tabel 31.
82
Tabel 30 Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Mahoni dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan No.
Jangka Waktu Pembangunan (Tahun)
Luas Sumber Benih Dibangun Tahun Pertama (Ha)
1 1 385.38 2 2 192.69 3 3 128.46 4 4 96.35 5 5 77.08 6 10 38.54 ** Sumber benih mulai berbuah pada umur 12 tahun
Luas Penanaman Tahun Pertama Setelah Produksi (Ha) 10 124.73 5 062.36 3 374.91 2 531.18 2 024.95 1 012.47
Terpenuhinya Kebutuhan Benih (Tahun ke-)** 12 13 14 15 16 21
Tabel 31 Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Mahoni Secara Lestari dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih Penanaman Tahun Ke-
Luas Sumber Benih (Ha)
Luas Lahan Potensial (Ha)
380.63
303 741.85
Luas Penanaman Menggunakan Benih dari APB (Ha)
Penanaman dengan Benih dari Sumber Benih Lainnya (Ha)
10 124.73
293 617.12
2
20 249.46
283 492.39
3
30 374.19
273 367.66
4
40 498.92
263 242.93
5
50 623.65
253 118.20
10
101 247.30
202 494.55
20
202 494.60
101 247.25
30
303 741.85
0.00
1
Dengan melakukan penanaman menggunakan benih dari APB seluas 10 124.73 ha per tahun, maka pada akhir tahun (30 tahun setelah penanaman pertama dengan benih dari APB) diharapkan dapat meningkatkan pendapatan Rp 118 110 037 815/tahun (hasil dari : 10 124.73 ha/th x Rp 11 665 500/ha). Pada waktu tersebut juga diharapkan seluruh lahan yang dioperuntukan untuk tanaman mahoni dapat ditanami dengan benih dari APB.
3. Pinus (Pinus merkusii) Sumber benih pinus di Jawa Barat hanya tersedia 91.20 ha, dimana 64,70 ha sudah berupa kebun benih.
Luasan tersebut jauh berada di bawah
kebutuhan luas sumber benih seluas 842,70 ha untuk mencukupi kegiatan penanaman tahunan. Sisa kebun benih yang harus dibangun adalah 778,00 ha
83
yang dapat dibangun sekaligus maupun secara bertahap (Tabel 32). Skenario pembangunan hutan tanaman secara berkelanjutan disajikan pada Tabel 33. Tabel 32 Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Kebun Benih Pinus dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan No.
Jangka Waktu Pembangunan (Tahun)
Luas Sumber Benih Dibangun Setiap Tahun (Ha)*
Luas Penanaman Tahun Pertama Setelah Produksi (Ha)
Terpenuhinya Kebutuhan Benih (Tahun ke-)**
21 945.15 10 972.57 7 315.05 5 486.29 4 389.03 2 194.51
8 9 10 11 12 17
1 1 778.00 2 2 421.35 3 3 280.90 4 4 210.68 5 5 168.54 6 10 84.27 * Kebun benih yang telah dibangun 64.7 ha ** Sumber benih mulai berbuah pada umur 8 tahun
Tabel 33 Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Pinus Secara Lestari dengan Menggunakan Benih dari Kebun Benih Penanaman Tahun Ke-
Luas Sumber Benih (Ha)
Luas Lahan Potensial (Ha)
1 2 3 4 5 10 15
842.70
329 177.23
Dari data di atas dapat
Luas Penanaman Menggunakan Benih dari Kebun Benih (Ha) 21 945.15 43 890.30 65 835.45 87 780.60 109 725.75 219 451.50 329 177.23
Penanaman dengan Benih dari Sumber Benih Lainnya (Ha) 307 232.08 285 286.93 263 341.78 241 396.63 219 451.48 109 725.73 0.00
memberikan gambaran bahwa apabila
penanaman per tahun yaitu 21 945.15 ha dengan menggunakan benih dari Kebun Benih, maka diharapkan setelah penebangan pertama dapat diperoleh tambahan pendapatan per tahun sebesar Rp 286 721 285 004/tahun (yaitu hasil perhitungan 21 945.15 ha/th x Rp 13 065 360/ha). Pendapatan tersebut akan terus meningkat dengan semakin tingginya kelas sumber benih yang digunakan.
4. Sengon (Paraserianthes falcataria) Sumber benih sengon di Jawa Barat belum tersedia sehingga untuk memenuhi kebutuhan benih pada tahap awal perlu dibangun Areal Produksi
84
Benih (APB) dengan skenario seperti pada Tabel 34, dan untuk pembangunan hutan tanaman seperti pada Tabel 35. Tabel 34
Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Sengon dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan
No.
Jangka Waktu Pembangunan (Tahun)
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 10
Luas Sumber Benih Dibangun Setiap Tahun (Ha) 46.88 23.44 15.63 11.72 9.38 4.69
Luas Penanaman Tahun Pertama Setelah Produksi (Ha) 5 986.59 2 993.30 1 995.53 1 496.65 1 197.32 598.66
Terpenuhinya Kebutuhan Benih (Tahun ke-)** 4 5 6 7 8 13
** Sumber benih mulai berbuah pada umur 4 tahun
Tabel 35
Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Sengon Secara Lestari dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih
Penanaman Luas Sumber Luas Lahan Tahun Ke- Benih (Ha) Potensial (Ha) 1
46.88
39 647.06
Luas Penanaman Menggunakan Benih Dari APB (Ha)
Penanaman Dengan Benih Dari Sumber Benih Lainnya (Ha)
4 955.88
34 691.18
2
9 911.76
29 735.30
3
14 867.64
24 779.42
4
19 823.52
19 823.54
5
24 779.40
14 867.66
6
29 735.28
9 911.78
7
34 691.16
4 955.90
8
39 647.06
0.00
Dari data di atas dapat
memberikan gambaran bahwa apabila
penanaman per tahun yaitu 4 955.88 ha dengan menggunakan benih dari APB (Areal Produksi Benih), maka diharapkan setelah penebangan pertama dapat diperoleh tambahan pendapatan per tahun sebesar yaitu Rp 15 416 751 404/tahun (perhitungan : 4 955.88 ha/th x Rp 3 110 800/ha). 5.
Rasamala (Altingia excelsa) Berdasarkan luas lahan potensial untuk jenis rasamala, maka luas sumber benih yang ada sudah mampu mencukupi kebutuhan yaitu seluas
85
118.4 ha berupa Tegakan Benih Teridentifikasi. Walaupun demikian, untuk meningkatkan mutu sumber perlu dibangun sumber benih minimal pada tingkat APB. Luas sumber benih yang diperlukan hanya seluas 2.90 ha, sehingga pembangunannya dapat dilakukan dalam jangka waktu satu tahun. Apabila diperkirakan tanaman rasamala berbuah umur 20 tahun, maka kebutuhan benih dapat terpenuhi pada tahun tersebut. Pembangunan hutan tanaman jenis rasamala berdasarkan daur 40 tahun dapat dilakukan melalui skenario seperti pada Tabel 36. Tabel 36 Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Rasamala Secara Lestari dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih Penanaman Tahun Ke1
Luas Luas Lahan Sumber Potensial (Ha) Benih (Ha) 2.90
100 969.18
Luas Penanaman Menggunakan Benih dari APB (Ha)
Penanaman dengan Benih dari Sumber Benih Lainnya (Ha)
2 524.23
98 444.95
2
5 048.46
95 920.72
3
7 572.69
93 396.49
4
10 096.92
90 872.26
5
12 621.15
88 348.03
10
25 242.30
75 726.89
20
50 484.59
50 484.59
30
75 726.89
25 242.30
40
100 969.18
0.00
Data di atas dapat memberikan gambaran bahwa apabila penanaman per tahun yaitu 2 524.23 ha dengan menggunakan benih dari Areal Produksi Benih, maka diharapkan setelah penebangan pertama dapat diperoleh tambahan pendapatan sebesar yaitu Rp 39 261 873 420/tahun (perhitungan : 2 524.23 ha/th x Rp 15 554 000/ha). 6.
Damar (Agathis loranthifolia) Sumber benih damar di Jawa Barat masih memiliki kelas berupa tegakan benih seluas 21.98 ha. Luasan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan benih berdasarkan potensi lahan yang ada. Peningkatan mutu benih dapat dilakukan secara bertahap yang pada tahapan awal dapat dibangun Areal Produksi Benih. Tahapan pembangunan dapat dilakukan
86
dengan beberapa tahapan/jangka waktu seperti disajikan pada Tabel 37 dan skenario pembangunan hutan tanaman pada Tabel 38. Tabel 37 Pilihan Jangka Waktu Pembangunan Areal Produksi Benih Damar dan Pengaruhnya Terhadap Luas Penanaman Hutan No.
Jangka Waktu Pembangunan (Tahun)
Luas Sumber Benih Dibangun SetiapTahun (Ha)
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 10
29.45 14.72 9.82 7.36 5.89 2.94
Luas Penanaman Tahun Pertama Setelah Produksi (Ha) 3 015.25 1 507.63 1 005.08 753.81 603.05 301.53
Terpenuhinya Kebutuhan Benih (Tahun ke-)** 15 16 17 18 19 24
** Sumber benih mulai berbuah pada umur 15 tahun
Tabel 38 Skenario Pembangunan Hutan Tanaman Damar Secara Lestari dengan Menggunakan Benih dari Areal Produksi Benih Penanaman Luas Sumber Tahun Ke- Benih (Ha) 1
29.45
Luas Lahan Potensial (Ha) 90 457.59
Luas Penanaman Menggunakan Benih dari APB (Ha)
Penanaman dengan Benih dari Sumber Benih Lainnya (Ha)
3 015.25
87 442.34
2
6 030.50
84 427.09
3
9 045.75
81 411.84
4
12 061.00
78 396.59
5
15 076.25
75 381.34
10
30 152.50
60 305.09
20
60 305.00
30 152.59
30
90 457.59
0.00
Data di atas dapat memberikan gambaran bahwa apabila penanaman per tahun yaitu 3 015.25 ha dengan menggunakan benih dari APB, maka diharapkan setelah penebangan pertama dapat diperoleh tambahan pendapatan per tahun sebesar Rp 28 139 519 100 per tahun (perhitungan : 3 015.25 ha/th x Rp 3 888 500/ha). Penyusunan strategi pengembangan sumber benih di atas merupakan strategi jangka panjang dalam program penyediaan benih untuk jenis-jenis prioritas di Jawa Barat. Langkah antisipasi untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jangka
87
pendek (mendesak) yang perlu dilakukan adalah melalui pengelolaan sumber benih yang ada, penunjukkan sumber benih baru, pemanfaatan pohon-pohon penghasil benih, kebun benih hutan rakyat ataupun mendatangkan (impor) dari daerah atau negara lain. Identifikasi, seleksi, penunjukkan/pembangunan serta pengelolaan sumber benih harus dilakukan dengan prosedur yang benar untuk menunjang keberhasilan penyediaan benih, baik jangka panjang ataupun jangka pendek. Prosedur pelaksanaan kegiatan tersebut selengkapnya disajikan pada Lampiran 1, 2 dan 3. Kegiatan penyediaan benih tersebut perlu dipadukan dengan program pemuliaan dan konservasi sumberdaya genetik serta didukung dengan sistem penanganan
benih dan penerapan sertifikasi benih yang baik. Melalui
perencanaan secara bertahap diharapkan penyediaan benih bermutu dalam jumlah cukup dan berkesinambungan akan dapat tercapai sehingga akan memberikan berbagai keuntungan/dampak positif dalam pembangunan hutan khususnya dan pengembangan wilayah Jawa Barat pada umumnya. Dampak Penggunaan Benih Bermutu Terhadap Pengembangan Wilayah Penggunaan
benih
bermutu
dalam
pembangunan
hutan
mampu
meningkatkan produktifitas tegakan dan beberapa keuntungan lain yang secara langsung ataupun tidak langsung sangat bermanfaat terhadap perkembangan wilayah khususnya di Jawa Barat. Seperti telah diuraikan sebelumnya, penggunaan benih bermutu dalam pengembangan hutan akan berdampak positif secara ekonomi. Penggunaan benih bermutu akan meningkatkan produktifitas tanaman yang sekaligus akan meningkatkan
keuntungan/pendapatan yang diperoleh. Dengan potensi lahan
yang cukup luas yaitu 1 235 210.50 ha,
penggunaan benih bermutu cukup
potensial untuk meningkatkan nilai ekonomi/pendapatan yang cukup besar dari kegiatan penanaman/pembangunan hutan. Besarnya keuntungan yang diperoleh dari penggunaan benih bermutu diharapkan akan memacu pembangunan hutan. Apabila seluruh potensi lahan dapat ditanami yaitu sekitar 28.61% dari luas daratan wilayah Jawa Barat, maka secara ekologis akan berdampak terhadap perbaikan kualitas lingkungan. Penanaman lahan hutan yang rusak, lahan kritis yang kurang produktif, DAS
88
yang terganggu akan mengembalikan fungsi hidrologis di wilayah ini. Dengan demikian, fungsi hutan sebagai pengendali limpasan dan pendorong terjadinya resapan akan kembali secara optimal sehingga dapat mencegah terjadinya erosi ataupun banjir. Kondisi tersebut diharapkan akan mengurangi terjadinya bencana alam yang selama ini sering terjadi di berbagai wilayah di Jawa Barat. Secara tidak langsung, meningkatnya laju pembangunan hutan akan meningkatkan produksi kayu yang dapat memacu berkembangnya berbagai industri perkayuan seperti penggergajian, kayu lapis, kerajinan dll. Hal tersebut akan mampu menyerap tenaga kerja sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran. Disamping di sektor industri, secara langsung tenaga kerja akan terserap dalam kegiatan penanaman/pembangunan hutan sehingga diharapkan mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat, khususnya di Jawa Barat.