HASIL DAN PEMBAHASAN Proses curing termodifikasi dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Pada modifikasi curing Setyaningsih (2006), dilakukan penyayatan (stratching) pada buah vanili segar dan perendaman dalam larutan aktivator enzim sebelum tahap pelayuan. Penyayatan bertujuan untuk mempermudah masuknya aktivator ke dalam jaringan buah. Tahap pelayuan dilakukan pada suhu 40oC selama 30 menit, berbeda dengan pelayuan pada proses curing standar yang dilakukan pada suhu 65oC selama 3 menit. Proses curing termodifikasi tersebut terbukti dapat meningkatkan aktivitas enzim dan kadar vanillinnya (Setyaningsih 2006). Perendaman buah vanili dalam larutan butanol 0,3 M + DTT 1 mM + sistein 1 mM selama 2 jam menghasilkan kenaikan aktivitas enzim tertinggi, sedangkan kadar vanillin tertinggi dihasilkan dari perendaman dalam butanol 0,3 M dan sistein 1mM selama 2 jam (Setyaningsih 2006; Hasmilda 2004). Penelitian lanjutan dilakukan oleh Rahayu (2006) dimana dipelajari pengaruh gabungan aktivator butanol dan sistein dalam berbagai konsentrasi terhadap kadar vanillin buah vanili. Penelitian tersebut melaporkan bahwa kadar vanillin tertinggi dihasilkan dari perendaman buah vanili dalam larutan butanol 0,1 M dan sistein 3 mM. Konsentrasi butanol yang diperoleh pada penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya. Hasil ini dapat dikatakan sebagai hal yang menguntungkan, karena pada penggunaan konsentrasi butanol 0,3 M ternyata bau butanol masih terdeteksi pada ekstrak vanili. Pada konsentrasi butanol yang lebih rendah, adanya zat asing dalam ekstrak vanili dapat diminimalkan dan bau butanol diharapkan tidak lagi terdeteksi pada ekstrak vanili. Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini perendaman buah vanili dilakukan dalam aktivator butanol 0,1 M dan sistein 3 mM. Menurut Ferdinand (1978) senyawa aktivator adalah senyawa yang dapat meningkatkan aktivitas enzim awal. Secara umum terdapat tiga cara kerja aktivator sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim, yang pertama adalah dengan cara mengubah struktur kovalen enzim, yang kedua dengan cara mempengaruhi lingkungan enzimatis dan ketiga aktivator tersebut berikatan
42
secara non kovalen dengan enzim pada situs aktif atau situs allosteriknya. Pada cara yang pertama, aktivator akan menyebabkan putusnya ikatan peptida dari struktur primer enzim. Putusnya ikatan peptida dalam batasan tertentu akan menyebabkan aktivasi enzim, contohnya adalah putusnya ikatan disulfida (SS) menjadi grup sulfhidril (SH). Dalam kasus enzim papain dan streptococcal proteinase, pemutusan ikatan ini dapat menyebabkan aktivasi enzim dimana gugus SH diperlukan pada sisi aktifnya. Pada cara yang kedua, agen yang mempengaruhi lingkungan enzimatis diantaranya adalah agen-agen chaotropik dan pelarut-pelarut organik. Aktivator tersebut tidak berpengaruh terhadap struktur kovalen enzim, akan tetapi menyebabkan perubahan dalam struktur tiga dimensinya sehingga dihasilkan konformasi yang stabil. Dalam kasus pemberian aktivator butanol pada buah vanili, tampaknya cara kerja aktivator tersebut masuk dalam cara yang kedua dan ketiga. Dengan adanya butanol yang tergolong pelarut organik, kelarutan substrat-organik dan enzim lebih tinggi dibandingkan air serta dapat meningkatkan kestabilan enzim dalam pelarut (Kwon et al. 1995). Kemampuan butanol dan sistein sebagai aktivator enzim kemungkinan disebabkan pula oleh sifat hidrofobisitasnya. Menurut Efendi (2001), nilai hidrofobisitas berpengaruh terhadap lingkungan sekeliling enzim, dimana lingkungan yang hidrofobik (non polar) di sekitar enzim akan mempengaruhi pelindung enzim yang bersifat non polar yaitu suatu polipeptida yang merupakan tempat bersembunyinya sisi aktif enzim. Jika pelindung ini berinteraksi dengan lingkungan hidrofobik, maka sisi aktif enzim akan terbuka dan menyebabkan substrat mudah berinteraksi dengan sisi aktif enzim sehingga proses katalitik dapat terjadi. Esen (1993) menyatakan bahwa enzim β-glukosidase mempunyai dua permukaan hidrofobik pada pusat katalitiknya. Salah satu permukaan akan terikat dengan butanol, sedangkan pada permukaan lainnya akan terikat dengan substrat yaitu senyawa aryl β-D-glukosida. Butanol terikat dengan enzim β-glukosidase melalui gugus hidroksil dengan adanya ikatan hidrogen. Gugus hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air. Adanya air berperan dalam
43
pembentukan struktur enzim yang kaku menjadi lebih fleksibel sehingga akan mempermudah interaksi antara substrat dengan enzim. Adapun sistein (C3H7NO2S) yang tergolong asam amino nonesensial adalah senyawa thiol yang mempunyai gugus SH. Dinyatakan oleh Riou et al. (1998) bahwa adanya senyawa thiol dapat mempengaruhi sisi aktif enzim dengan menjaga struktur tiga dimensinya. Molekul sistein bersifat hidrofobik sehingga kondisi hidrofobik di sekitar sistein dapat mencegah kerusakan enzim yang diakibatkan oleh oksidasi. Pengaruh Penyayatan dan Penusukan pada Aktivitas Enzim dan Kadar Vanillin Buah Vanili Percobaan
awal
yang
dilakukan
dalam
penelitian
ini
adalah
membandingkan aktivitas enzim dan kadar vanillin dari buah vanili yang disayat, ditusuk, dan buah vanili utuh yang telah direndam dalam larutan butanol 0,1 M dan sistein 3 mM. Penyayatan buah vanili sebagaimana telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dilakukan dengan membuat 3 sayatan longitudinal sedalam 1-2 mm menggunakan peniti yang sebelumnya telah dibersihkan menggunakan alkohol. Penusukan buah juga dilakukan menggunakan peniti. Perendaman dilakukan dengan mengaplikasikan teknik vacuum infiltration dengan tekanan 5 kPa dan tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal (sebagai pembanding), masing-masing selama 10 menit. Aktivitas Enzim Selama berlangsungnya proses curing, enzim memegang peranan penting dalam pembentukan flavor vanili. Meskipun beberapa enzim terlibat, tetapi enzim β-glukosidase adalah enzim yang berperan paling penting dalam proses tersebut (Dignum 2002). Oleh karena itu analisis aktivitas enzim β-glukosidase menjadi penting dilakukan. Menurut Whitaker (1991), analisis enzim seringkali menjadi metode yang dipilih dalam analisis kimiawi karena spesifitas dan sensitivitasnya yang tinggi. Karena spesifitasnya yang tinggi, sampel yang dipergunakan untuk analisis dapat sangat sedikit jumlahnya dan tidak diperlukan pemurnian enzim terlebih dahulu sebelum analisis.
44
Pada penelitian ini ekstraksi enzim β-glukosidase dari buah vanili dilakukan menggunakan bufer fosfat 0,2 M pH 7,5. Pada bufer ditambahkan EDTA 0,2 mM untuk menghilangkan ion divalen kofaktor proteinase, sedangkan PVPP (polyvinil polypirrolidone) padat ditambahkan pada saat ekstraksi untuk mengikat senyawa fenolik dan kuinon (Michaud dan Asselin 1995, diacu dalam Setyaningsih 2006). Adapun pada saat analisis aktivitas enzim, ekstrak enzim tersebut dilarutkan dalam bufer fosfat 0,1 M pH 6,3. Analisis aktivitas enzim dan kadar vanillin dilakukan pada buah vanili segar, setelah perendaman, pelayuan, pemeraman, dan pengeringan pertama hari pertama. Menurut Whitaker (1991), kunci sebagian besar analisis analitik yang menggunakan enzim adalah berdasarkan kemampuan enzim tersebut membentuk kompleks stereospesifik dengan suatu komponen dan kemudian mengubah komponen (substrat) tersebut menjadi suatu produk. Oleh karena enzim pada umumnya sangatlah spesifik, maka enzim tersebut hanya akan mengenali satu atau beberapa komponen saja yang hampir sama diantara ribuan komponen dalam material biologi dan mengubahnya menjadi produk. Pada penelitian ini, analisis terhadap aktivitas enzim β-glukosidase dilakukan
dengan
menggunakan
substrat
sintetik
paranitrofenil-β-D-
glukopiranosida (pNPG). pNPG akan dihidrolisis oleh enzim β-glukosidase menghasilkan senyawa paranitrofenol. Untuk mengetahui berlangsungnya reaksi dilakukan pengukuran jumlah fenol bebas yang terbentuk setelah beberapa waktu tertentu (Stauffer 1991). Dalam kasus enzim β-glukosidase vanili, aktivitas enzim dinyatakan sebagai μmol paranitrofenol (pnp) yang terbentuk setiap menit per gram protein. Pengukuran aktivitas enzim dilakukan pada panjang gelombang 400 nm. Semakin kuning larutan terbentuk mengindikasikan semakin banyak substrat pNPG yang dipecah, paranitrofenol yang terbentuk semakin banyak, sehingga enzim mempunyai aktivitas yang semakin tinggi. Aktivitas enzim buah vanili segar yang diperoleh pada penelitian ini adalah 175,22 IU/g. Berdasarkan hasil perhitungan nilai aktivitas enzim rata-rata dari buah segar, tahap perendaman hingga pengeringan, diperoleh hasil bahwa aktivitas enzim dari buah vanili utuh mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan vanili sayat dan vanili tusuk. Untuk aplikasi vacuum infiltration,
45
rata-rata aktivitas enzim vanili utuh tahap perendaman hingga pengeringan pertama lebih tinggi 1,15 kali dari aktivitas enzim buah segar, sedangkan vanili sayat dan tusuk masing-masing sebesar 0,87 dan 0,81 kali. Adapun untuk aplikasi tekanan tinggi, aktivitas enzim rata-rata dari vanili utuh juga lebih tinggi, yaitu 1,11 kali buah segar, vanili sayat 0,69 kali dan vanili tusuk 1,08 kali. Perhitungan aktivitas enzim ini sangat dipengaruhi oleh kadar protein terlarutnya. Meskipun aktivitas enzim relatif (IU) nilainya tinggi, akan tetapi jika kadar protein tinggi maka aktivitas enzim spesifiknya (IU/g) dapat menjadi lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Tabel 4 Aktivitas enzim buah vanili utuh, sayat, dan tusuk Jenis Jenis Tekanan Vanili Vakum 5 kPa Tinggi 100 kPa di atas normal
Utuh Sayat Tusuk Utuh Sayat Tusuk
Aktivitas Enzim (IU/g) Tiap Tahap Pengolahan Segar
Rendam
Layu
Peram
Kering I-1
175,22±43,24 306,98±15,09 170,17±5,10 187,05±7,28 145,17±7,71 175,22±43,24 109,43±10,0 122,21±10,06 259,94±19,89 120,00±5,69 175,22±43,24 165,10±5,89 117,47±5,35 149,48±5,93 132,81±7,67 175,22±43,24 180,36±9,43 146,97±11,39 300,31±20,53 147,33±9,94 175,22±43,24 103,29±6,73 81,39±12,97 160,71±17,42 137,64±14,69 175,22±43,24 146,03±6,47 134,89±10,25 279,42±3,49 178,49±9,21
Hasil analisis sidik ragam aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim untuk penerapan tekanan vakum. Nilai tertinggi dihasilkan buah vanili utuh yaitu sebesar 202,34 IU/g. Sementara itu pemberian tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim. Meskipun demikian aktivitas enzim rata-rata tertinggi juga dihasilkan dari buah utuh, yaitu sebesar 175,24 IU/g. Lebih tingginya aktivitas enzim buah utuh diduga terkait dengan struktur sel buah. Aguilera dan Stanley (1999) menyatakan bahwa pada sel tumbuhan, aktivitas fisiologis terjadi dalam suatu medium yang disebut sitoplasma. Sitoplasma ini terlindungi oleh membran vakuola (tonoplas) dan membran plasma (plasmalemma). Membran pembatas ini bersifat semipermiabel dan mengontrol perpindahan air dan zat terlarut di antara dan di dalam sel itu sendiri. Adapun dinding sel berkontribusi terhadap mikrostruktur sel (mempertahankan rigiditas
46
sel). Pada umumnya, dinding sel bersifat permeabel terhadap air dan beberapa zat terlarut lainnya. Penyayatan maupun penusukan menyebabkan terjadinya kerusakan dinding dan membran sel. Dengan kata lain integritas sel menjadi berkurang dengan adanya perlakuan ini. Kerusakan membran sel menyebabkan pengeluaran air dari dalam sel terjadi dengan lebih cepat. Padahal keberadaan air sangat diperlukan untuk proses katalitik dan mempertahankan fleksibilitas enzim. Pada buah yang disayat dan ditusuk, meskipun larutan aktivator tetap berpenetrasi ke dalam jaringan, akan tetapi diduga laju pengeluaran air yang terjadi lebih besar, sehingga tidak dapat mempertahankan aktivitas enzim awal (pada buah segar). Berkurangnya jumlah air dalam sel yang mengalami penyayatan dan penusukan juga mengakibatkan berkurangnya tekanan turgor sel yang berkontribusi terhadap turgiditas dan rigiditas jaringan. Pada tahap pelayuan terjadi kerusakan membran sel atau vakuola akibat panas yang diberikan. Pada tahap ini enzim β-glukosidase dirangsang mulai aktif bekerja untuk pembentukan vanillin dan aroma. Suhu pelayuan 50-60oC adalah suhu optimum menurut Dignum (2002) untuk mempertahankan sebanyak mungkin aktivitas enzim β-glukosidase. Pada penelitian ini suhu pelayuan yang diberikan adalah 40oC, yang merupakan suhu optimum enzim β-glukosidase menurut Hasmilda (2004) dan Setyaningsih (2006). Secara keseluruhan, tahap pelayuan menyebabkan lebih rendahnya aktivitas enzim dari tahap perendaman untuk semua perlakuan. Hasil tersebut diperoleh baik dengan aplikasi vacuum infiltration 5 kPa maupun tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal. Aguilera
dan
Stanley
(1990)
menyatakan
bahwa
pemanasan
mengakibatkan terganggunya mekanisme transport air yang menyebabkan hilangnya tekanan turgor pada buah. Fenomena inilah yang terjadi pada tahap pelayuan dan menjadi alasan lain dari lebih rendahnya aktivitas enzim pada tahap pelayuan terlebih untuk buah yang disayat dan ditusuk yang sebelumnya memang telah mengalami pengurangan tekanan turgor. Penggunaan buah utuh tanpa mengalami penyayatan maupun penusukan membawa dampak yang menguntungkan bagi proses curing. Tanpa mengalami perlakuan pendahuluan (penyayatan atau penusukan) berarti proses dapat
47
dilakukan dengan lebih efisien (menghemat waktu pengolahan serta tenaga kerja). Dari hasil ini, dapat dikatakan bahwa efektivitas buah vanili utuh yang direndam menggunakan tekanan vakum sama dengan buah yang mengalami penyayatan yang direndam pada tekanan normal. Kadar Vanillin Prekursor vanillin dalam buah vanili adalah koniferosida. Melalui reaksi oksidasi, koniferosida akan terpecah menjadi vanilosida (glukovanilin) yang selanjutnya menghasilkan vanillin dan glukosa jika dihidrolisis oleh enzim. Terdapat setidaknya 4 glukosida dari buah vanili segar yang dapat menghasilkan vanillin dan komponen flavor lainnya, dimana glukovanilin ditemukan dalam jumlah terbanyak (Purseglove et al. 1981). Kadar vanillin didefinisikan sebagai banyaknya vanillin yang terdapat dalam bahan, yang sesuai dengan banyaknya energi radiasi yang diserap (SNI 2002). Hasil analisis kadar vanillin untuk pemberian tekanan vakum dan tekanan tinggi dapat dilihat pada Tabel 5. Buah vanili segar mempunyai kadar vanillin 0,46% berat kering buah. Nilai rata-rata kadar vanillin dari tahap perendaman hingga pengeringan menunjukkan bahwa kadar vanillin rata-rata buah vanili utuh untuk penerapan vacuum infiltration adalah 0,70%, sedangkan buah sayat 0,62% dan buah yang ditusuk 0,69%. Sedangkan untuk tekanan tinggi, kadar vanillin rata-rata tertinggi diperoleh dari buah yang disayat yaitu 0,88% bk, untuk buah yang ditusuk 0,70% dan buah utuh 0,80%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vanillin rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan baik dengan pemberian tekanan vakum maupun tekanan tinggi. Berdasarkan hasil analisis aktivitas enzim dan kadar vanillin secara keseluruhan, rata-rata aktivitas enzim dan kadar vanillin tertinggi dicapai oleh buah vanili utuh. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya digunakan buah vanili utuh tanpa disayat maupun ditusuk untuk proses curing.
48
Tabel 5 Kadar vanillin buah vanili utuh, sayat, dan tusuk Jenis Jenis Tekanan Vanili Vakum 5 kPa
Utuh Sayat Tusuk Tinggi Utuh 100 kPa Sayat di atas Tusuk normal
Kadar Vanillin (% bk) Tiap Tahap Pengolahan Segar
Rendam
Layu
Peram
Kering I-1
0,46±0,028 0,46±0,028 0,46±0,028 0,46±0,028 0,46±0,028 0,46±0,028
0,76±0.010 0,87±0.098 0,77±0.010 0,89±0.030 0,86±0.295 0,78±0.010
0,70±0,010 0,50±0,020 0,73±0,010 0,47±0,052 0,77±0,010 0,49±0,282
0,56±0,029 0,51±0,025 0,51±0,010 0,94±0,028 1,07±0,029 0,96±0,031
0,79±0,047 0,59±0,289 0,77±0,077 0,89±0,061 0,83±0,010 0,59±0,010
Aplikasi Tekanan Pada Proses Curing Termodifikasi Penerapan teknik vacuum infiltration dan tekanan tinggi bertujuan untuk mempersingkat waktu perendaman dalam aktivator. Pada penelitan sebelumnya, perendaman dilakukan pada tekanan normal selama 2 jam. Pada tahap ini diaplikasikan tekanan vakum (5 dan 50 kPa) dan tekanan tinggi 100 kPa dan 150 kPa di atas tekanan normal. Aktivitas Enzim Hasil analisis aktivitas enzim dari penerapan vacuum infiltration dan tekanan tinggi dapat dilihat pada Tabel 6. Suatu proses dikatakan bekerja di bawah kondisi vakum jika tekanan di dalam sistem tersebut lebih rendah daripada tekanan barometrik (Ryans dan Roper 1986). Odoux et al. (2003) menyatakan bahwa substrat glukovanilin dan enzim β-glukosidase terkonsentrasi pada bagian yang sama, yaitu daerah di sekitar biji buah. Hal yang sama dinyatakan oleh Setyaningsih (2006) bahwa sebagian besar aktivitas enzim β-glukosidase berada pada jaringan plasenta di sekitar biji. Menurut Odoux et al (2003), enzim terdapat pada bagian sitoplasma atau periplasma sel mesokarp dan endokarp buah vanili dan glukovanillin pada vakuola. Dignum (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aktivitas tertinggi enzim β-glukosidase diperoleh dari buah vanili segar. Setelah pelayuan, enzim kehilangan 30% dari aktivitas awalnya, dan setelah pemeraman aktivitas enzim menjadi hilang sama sekali. Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian Ranadive et al (1983). Namun bertolak belakang dengan penelitian tersebut, Hanum (1997)
49
menyatakan bahwa enzim β-glukosidase masih aktif setidaknya hingga akhir proses pemeraman. Enzim β-glukosidase aktif pada tahap pelayuan dan pemeraman. Pada tahap selanjutnya aktivitas β-glukosidase menurun. Tabel 6 Aktivitas enzim dengan pemberian tekanan Jenis Waktu Tekanan Perendaman 5 kPa
50 kPa
100 kPa
100 kPa di atas normal 150 kPa di atas normal
5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 3 menit 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 3 menit 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit
Rata-rata Aktivitas Enzim (IU/g) Tiap Tahap Pengolahan Segar 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94
Rendam 170,85±7,07 172,28±42,45 112,53±8,18 48,66±2,40 167,51±42,62 101,87±5,17 88,04±2,69 308,13±8,26 138,45±3,28 133,22±5,24 64,18±6,03 30,17±5,05 38,81±3,83 73,29±2,21 36,02±3,58 52,43±3,17 45,96±3,19 180,04±11,91 120,46±7,01 188,92±14,31 252,33±7,75 371,47±6,82 166,08±11,70 298,92±11,15 101,42±12,68
Layu 104,27±7,64 96,18±5,04 60,24±5,10 43,10±5,85 331,84±21,19 59,34±3,00 282,81±6,61 161,44±2,15 48,42±5,06 46,46±2,13 31,32±2,27 53,11±5,92 31,16±2,32 37,35±2,19 69,92±2,19 196,97±16,36 136,20±16,19 91,55±7,43 265,83±33,60 134,22±10,76 100,00±4,65 64,14±5,80 75,93±5,64 54,67±5,18 63,05±4,76
Peram Kering I-1 370,22±13,12 47,29±1,17 530,21±26,69 76,86±7,50 38,80±3,85 57,46±4,55 215,03±17,66 262,81±13,82 53,21±1,29 215,03±5,53 74,44±2,39 68,82±5,44 135,03±9,45 185,02±8,84 87,56±5,31 104,82±5,09 47,62±2,12 77,58±6,68 72,60±6,52 97,67±5,35 78,88±5,56 46,37±5,79 36,26±3,60 34,29±5,45 63,15±1,08 33,08±5,66 149,26±2,54 44,37±2,19 50,63±1,23 46,87±5,19 154,10±22,64 50,55±2,12 343,68±29,65 76,18±3,29 276,96±33,15 58,35±4,23 174,60±15,53 62,63±3,53 63,25±3,49 146,91±2,19 52,39±0 208,02±4,07 78,15±3,63 97,97±6,89 178,75±3,86 82,52±39,69 106,31±3,54 60,97±21,80 194,38±3,70 96,35±39,22
Perendaman buah vanili segar dalam aktivator enzim β-glukosidase pada penelitian Setyaningsih (2006) secara umum menyebabkan aktivitas enzim tahap tersebut menjadi lebih tinggi dibanding buah segar. Kenaikan aktivitas enzim tertinggi diperoleh setelah perendaman dalam butanol 0,3 M + DTT 1 mM + sistein 1 mM selama 2 jam, yaitu sebesar 30,7%, sementara perendaman dalam butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama 2 jam memberikan nilai yang cukup stabil dari aktivitas awal. Setelah pelayuan secara umum aktivitas enzim lebih rendah dan setelah pemeraman aktivitas menjadi lebih tinggi kembali. Adapun setelah pengeringan pertama hari pertama hingga kelima aktivitas enzim masih terdeteksi
50
meskipun terdapat kecenderungan terus menurunnya aktivitas enzim dengan semakin lamanya proses pengeringan. Hasil analisis dalam penelitian ini tampaknya sesuai dengan penelitian Hanum (1997) dan Setyaningsih (2006). Sebagaimana terlihat dalam Tabel 6 untuk seluruh perlakuan, aktivitas enzim masih terdeteksi hingga pengeringan pertama hari pertama. Perendaman buah vanili dengan pemberian tekanan 5 kPa menghasilkan rata-rata aktivitas enzim yang lebih tinggi dari tahap perendaman hingga pengeringan untuk waktu perendaman 10 menit dibanding perendaman selama 5 menit. Setelah 10 menit perendaman, aktivitas enzim yang diperoleh cenderung lebih rendah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan (Lampiran 10a), diperoleh hasil bahwa waktu perendaman pada tekanan 5 kPa berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim. Uji lanjut Duncan menunjukkan waktu perendaman 10 menit menghasilkan rata-rata aktivitas enzim tertinggi, yaitu sebesar 218,88 IU/g. Nilai aktivitas enzim tersebut lebih tinggi 1,39 kali aktivitas enzim buah segar. Dari hasil ini terlihat bahwa waktu perendaman dengan adanya tekanan vakum memang dapat mempercepat penetrasi larutan ke dalam bahan dibanding waktu perendaman pada tekanan normal yang dilakukan pada penelitian sebelumnya (2 jam). Aktivitas enzim setelah perendaman selama 10 menit pada penelitian ini mengalami kenaikan sebesar 8,42%, sementara pada penelitian sebelumnya aktivitas enzim relatif stabil dari aktivitas awal setelah perendaman dalam aktivator butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama dua jam pada suhu ruang. Dengan demikian, aplikasi vacuum infiltration selama 10 menit pada tahap perendaman disamping mempercepat penetrasi larutan juga menghasilkan kenaikan aktivitas enzim dibanding perendaman tanpa tekanan selama 2 jam. Seperti terlihat pada Tabel 6 di atas, tidak terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas enzim dengan semakin lamanya waktu perendaman. Menurut Jongen (2002), jumlah larutan yang masuk akan sebanding dengan jumlah ruang kosong yang ada dalam struktur bahan. Dengan demikian sebenarnya terdapat potensi lebih banyaknya larutan yang berpenetrasi ke dalam bahan seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman. Akan tetapi waktu perendaman terbaik untuk tekanan vakum pada penelitian ini adalah 10 menit.
51
Pada waktu perendaman yang lebih lama aktivitas enzim justru menurun. Hal ini diduga selama 10 menit tekanan vakum diberikan, telah tercapai tingkat optimum pengeluaran gas (degassing) dari dalam bahan, sehingga pada pemberian tekanan vakum lebih lama, degassing tidak lagi terjadi. Dengan kata lain jumlah larutan yang masuk ke dalam bahan optimum selama 10 menit. Dinyatakan oleh Saurel (2002) bahwa pada sebagian besar kasus penerapan vacuum infiltration, produk harus dipertahankan selama beberapa menit pada kondisi vakum untuk memastikan gas-gas yang berada di dalam produk telah dikeluarkan dengan sempurna. Berdasarkan pengamatan saat berlangsungnya proses, dimana semakin lama tekanan vakum diaplikasikan, buah vanili tampak semakin layu, dan hal ini nampak sangat jelas pada buah yang direndam dan diberi tekanan vakum selama 40 menit. Hal ini karena dengan semakin lamanya perendaman, maka semakin banyak jumlah pelarut yang masuk ke dalam jaringan buah melalui membran sel yang bersifat semipermiabel. Terdapat kapasitas optimal dari sel buah untuk dapat menampung cairan di dalamnya, sehingga ketika perendaman dilakukan lebih lama dari optimalnya, maka jaringan buah terlihat lebih lembek (keteguhan sel berkurang) karena cairan yang masuk melebihi kapasitas optimalnya. Pemberian tekanan 50 kPa pada tahap perendaman juga menghasilkan aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan yang lebih tinggi untuk waktu perendaman selama 10 menit. Setelah 10 menit peredaman, aktivitas enzim cenderung lebih rendah. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10c) untuk pemberian tekanan vakum 50 kPa menunjukkan bahwa waktu perendaman berbeda nyata terhadap aktivitas enzim. Melalui uji lanjut Duncan diperoleh hasil bahwa nilai tertinggi diperoleh dari perlakuan perendaman selama 10 menit, yaitu sebesar 172,73 IU/g protein. Nilai ini lebih tinggi 1,09 kali aktivitas enzim buah segar. Adapun untuk perendaman dalam tekanan normal diperoleh hasil aktivitas enzim yang lebih rendah daripada hasil penerapan vakum infiltrasi pada tekanan 5 kPa dan 50 kPa. Hasil analisis sidik ragam tahap perendaman hingga pengeringan (Lampiran 10e) menunjukkan bahwa waktu perendaman berpengaruh nyata
52
terhadap aktivitas enzim. Uji lanjut Duncan menunjukkan perendaman selama 30 menit pada tekanan normal menghasilkan rata-rata aktivitas enzim tertinggi. Untuk pemberian tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal, berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10g) diperoleh hasil bahwa waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, rata-rata aktivitas enzim tertinggi diperoleh dari waktu perendaman 15 menit, akan tetapi waktu perendaman 10 dan 5 menit ternyata tidak berbeda nyata dengan waktu perendaman 15 menit sehingga waktu perendaman yang dipilih untuk pemberian tekanan 100 kPa di atas tekanan normal ini adalah 5 menit, dimana dihasilkan nilai aktivitas enzim sebesar 0,95 kali buah vanili segar. Fellows (2001) menyatakan bahwa tekanan tinggi 300 hingga 600 MPa menyebabkan inaktivasi sel-sel vegetatif mikroorganisme. Tekanan tinggi menyebabkan kerusakan vakuola intraseluler dan merusak dinding sel serta membran sitoplasma. Enzim yang berhubungan dengan kualitas produk mempunyai sensitivitas yang berbeda-beda. Beberapa enzim dapat diinaktivasi pada suhu ruang menggunakan tekanan beberapa MPa sedangkan beberapa enzim lainnya dapat bertahan pada tekanan hingga 1000 MPa. Garcia-Palazon (2004) dalam penelitiannya tentang pengaruh pemberian tekanan tinggi terhadap aktivitas enzim β-glukosidase raspberi (Rubus idaeus) dan strawberi (Fragaria x ananassa) melaporkan bahwa terjadi penurunan aktivitas enzim (sekitar 10%) setelah pemberian tekanan tinggi 600 dan 800 MPa selama 15 menit pada raspberi, sedangkan pemberian tekanan 400 MPa hanya menyebabkan kerusakan enzim sebesar 2% untuk pemberian tekanan 5 menit dan 5% untuk pemberian tekanan selama 10 dan 15 menit. Sedangkan untuk strawberi, pemberian tekanan 600 dan 800 MPa menurunkan aktivitas enzim berturut-turut 49% dan 61% untuk waktu pemberian tekanan 15 menit. Pada penelitian ini, tekanan yang diberikan hanya berkisar antara 200 hingga 250 kPa, sehingga diduga tidak sampai menyebabkan kerusakan enzim. Untuk pemberian tekanan 150 kPa di atas tekanan normal, hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10i) menunjukkan bahwa waktu perendaman juga berpengaruh nyata terhadap rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga
53
pengeringan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, diketahui bahwa waktu perendaman 3 menit mencapai nilai tertinggi, yaitu sebesar 153,184 IU/g. Waktu perendaman selama 3 menit tidak berbeda nyata dengan perendaman 5 menit. Rata-rata aktivitas enzim cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu perendaman. Secara umum, rata-rata aktivitas enzim dengan pemberian tekanan 150 kPa di atas tekanan normal lebih tinggi daripada tekanan 100 kPa di atas tekanan normal. Untuk menentukan tekanan dan waktu terbaik, maka dilakukan perbandingan rata-rata aktivitas enzim terbaik dari masing-masing tekanan hasil tahap perendaman hingga pengeringan. Berdasarkan nilai rata-rata aktivitas enzim dapat dilihat bahwa aktivitas enzim dengan penerapan vacuum infiltration 5 kPa selama 10 menit mencapai nilai tertinggi, yaitu 218,88 IU/g. Perbandingan ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan aktivitas enzim Tekanan dan Waktu 5 kPa 10 menit 50 kPa 10 menit 100 kPa 30 menit 100 kPa di atas tek. normal 5 menit 150 kPa di atas tek. normal 3 menit
Rata-rata ± standar deviasi (IU/g) 218,88 ± 14,16 172,73 ± 5,55 86,35 ± 15,95 150,51 ± 2,59 153,18 ± 4,12
Kadar Vanillin Kadar vanillin untuk seluruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Kadar vanillin buah segar adalah 0,63% bk. Aplikasi vacuum infiltration dengan tekanan 5 kPa mampu meningkatkan kadar vanillin secara berangsur-angsur hingga tahap pemeraman. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11a) menunjukkan bahwa waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar vanillin. Melalui uji lanjut Duncan, diketahui bahwa waktu perendaman 10 menit menghasilkan rata-rata kadar vanillin tertinggi (1,08% bk).
54
Tabel 8 Kadar vanillin dengan pemberian tekanan Jenis Waktu Tekanan Perendaman 5 kPa
50 kPa
100 kPa
100 kPa di atas normal 150 kPa di atas normal
5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 3 menit 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 3 menit 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit
Rata-rata Kadar Vanillin (% bk) Tiap Tahap Pengolahan Segar Rendam Layu Peram Kering I-1 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014 0,63±0,014
0,82±0,014 0,95±0,004 0,75±0,002 1,11±0,002 0,80±0,002 0,79±0,002 0,97±0,100 1,07±0,005 1,14±0,015 0,75±0,005 0,70±0,015 0,62±0,014 0,51±0,002 0,69±0,020 0,65±0,012 0,86±0,020 0,76±0,002 0,94±0,005 0,87±0,002 0,75±0,010 0,82±0,004 0,79±0,008 0,63±0,002 0,82±0,004 0,86±0,004
0,84±0,004 1,21±0,006 1,02±0,011 1,36±0,001 1,23±0,002 0,82±0,003 0,98±0,002 0,94±0,005 1,15±0,011 0,90±0,004 0,75±0,004 0,88±0,004 0,66±0,004 0,83±0,002 0,79±0,002 0,78±0,002 0,70±0,002 0,93±0,010 0,87±0,005 0,96±0,002 0,88±0,007 0,86±0,008 0,86±0,002 1,03±0,005 0,81±0,004
1,12±0,003 1,26±0,003 1,38±0,005 1,09±0,002 1,21±0,002 1,06±0,004 1,23±0,005 1,11±0,005 0,95±0,004 1,11±0,008 0,71±0,002 1,00±0,002 0,66±0,004 0,78±0,002 0,94±0,002 0,87±0,005 1,05±0,005 0,85±0 0,95±0 0,85±0,002 0,74±0,005 0,99±0,004 0,78±0,004 0,91±0,004 0,90±0,004
0,77±0,004 0,87±0,004 0,76±0,004 0,72±0,002 0,63±0,004 0,82±0,004 0,88±0,007 0,81±0,006 0,85±0,002 0,82±0,090 0,70±0,004 0,86±0,004 0,70±0,004 0,66±0,134 0,62±0,081 0,73±0,002 0,94±0,002 0,70±0,013 1,09±0,002 1,05±0 0,78±0 0,85±0 0,92±0,004 0,74±0,004 0,86±0
Pola perubahan kadar vanillin yang sama terlihat pada penerapan tekanan 50 kPa dan 100 kPa. Untuk tekanan 50 kPa, hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11c) menunjukkan bahwa waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap ratarata kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan. Uji lanjut Duncan pada tekanan 50 kPa menunjukkan kadar vanillin tertinggi diperoleh dari waktu perendaman 30 menit (1,02% bk). Akan tetapi, dari uji lanjut ini diketahui pula bahwa perendaman selama 10 dan 20 menit ternyata tidak berbeda nyata dengan waktu perendaman 30 menit. Oleh karena itu waktu perendaman yang dipilih pada tekanan ini untuk menghasilkan kadar vanillin tertinggi adalah 10 menit. Waktu perendaman optimum untuk menghasilkan kadar vanillin terbaik pada tekanan 5 dan 50 kPa ini adalah sama, yaitu selama 10 menit. Hasil ini sejalan dengan hasil analisis aktivitas enzim yang telah dilakukan sebelumnya, dimana waktu
55
perendaman selama 10 menit untuk pemberian tekanan 5 dan 50 kPa juga menghasilkan aktivitas enzim rata-rata tertinggi. Waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar vanillin (Lampiran 11e) untuk perendaman buah vanili pada tekanan normal. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan rata-rata kadar vanillin tertinggi tahap perendaman hingga pengeringan dicapai pada waktu perendaman 10 menit, yaitu sebesar 0,84% bk. Adapun untuk penerapan tekanan tinggi 100 dan 150 kPa di atas tekanan normal, secara umum terjadi kenaikan kadar vanillin secara perlahan hingga tahap pengeringan dari buah segarnya. Hasil analisis sidik ragam kadar vanillin untuk penerapan tekanan 100 dan 150 kPa di atas tekanan normal dapat dilihat pada Lampiran 11g dan 11i. Hasil tersebut menunjukkan waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar vanillin. Berdasarkan uji lanjut Duncan, untuk tekanan 100 kPa di atas tekanan normal, kadar vanillin tertinggi dihasilkan oleh waktu perendaman 15 menit (0,95% bk), sedangkan untuk tekanan 150 kPa di atas tekanan normal, waktu perendaman 15 menit menghasilkan kadar vanillin tertinggi. Akan tetapi ternyata waktu perendaman selama 5 menit tidak berbeda nyata dengan waktu perendaman 15 menit untuk pemberian tekanan 150 kPa di atas tekanan normal. Oleh karena itu pada tekanan 150 kPa di atas tekanan normal, waktu perendaman untuk menghasilkan kadar vanillin tertinggi adalah 5 menit (0,87% bk). Hasil analisis kadar vanillin ini ternyata tidak linier dengan aktivitas enzimnya. Pada analisis setelah tahap perendaman, sebagian besar perlakuan menghasilkan kadar vanillin yang lebih tinggi dari kondisi segarnya, sedangkan dari analisis sebelumnya, aktivitas enzim lebih tinggi dari buah segar untuk beberapa perlakuan saja. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Setyaningsih (2006) dimana perendaman dalam butanol tidak menghasilkan kenaikan aktivitas enzim yang diekstrak dari buah vanili, namun menghasilkan kenaikan kadar vanillin yang tertinggi. Hal ini mungkin disebabkan butanol mempengaruhi kecepatan reaksi katalitik enzim yang terikat pada dinding sel serta meningkatkan stabilitas enzim sehingga memperpanjang waktu berlangsungnya reaksi (Setyaningsih 2006). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pada penelitian
56
ini analisis aktivitas enzim hanya dilakukan pada fraksi yang terlarut dalam bufer saja, sedangkan aktivitas yang terikat pada ampas (dinding sel) tidak diukur. Perbandingan rata-rata kadar vanillin waktu perendaman terbaik untuk masing-masing tekanan disajikan pada Tabel 9. Dari nilai rata-rata ini, kadar vanillin pemberian tekanan 5 kPa selama 10 menit (1,08% bk) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil ini sama dengan hasil yang diperoleh dari analisis aktivitas enzim. Dengan demikian perlakuan perendaman buah vanili menggunakan tekanan vakum 5 kPa selama 10 menit merupakan perlakuan terbaik dan selanjutnya diaplikasikan untuk penelitian tahap kedua. Tabel 9 Perbandingan kadar vanillin Tekanan dan Waktu 5 kPa 10 menit 50 kPa 10 menit 100 kPa 10 menit 100 kPa di atas tek. normal 15 menit 150 kPa di atas tek. normal 5 menit
Rata-rata ± standar deviasi (% bk) 1,08 ± 0,070 1,02 ± 0,051 0,84 ± 0,041 0,95 ± 0,015 0,87 ± 0,018
Pengeringan Vanili Termodifikasi Menggunakan Pengering Absorpsi Tahap awal pada penelitian tahap kedua adalah mencari kadar vanillin tertinggi pada pengeringan tahap pertama (suhu 40oC). Perubahan kadar vanillin
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2
-5 gI
Ke rin
gI
-4
-3 Ke rin
gI
-2 Ke rin
gI
-1 Ke rin
gI Ke rin
Pe ra m
yu La
Re nd am
ar
0 Se g
Kadar Vanillin (% bk)
dari buah segar hingga pengeringan hari kelima disajikan pada Gambar 14.
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 14 Perubahan kadar vanillin pengeringan tahap I.
57
Terjadi kenaikan kadar vanillin hingga mencapai 1,10% bk dari tahap perendaman hingga pemeraman. Setelah pengeringan hari pertama kadar vanillin lebih rendah dari tahap sebelumnya. Selama pengeringan tahap pertama tersebut terjadi fluktuasi kadar vanillin dengan kecenderungan lebih rendah hingga pengeringan hari ke-4. Pada pengeringan hari ke-5 nilai kadar vanillin menjadi 1,01% bk (lebih tinggi) dan setelah pengeringan hari ke-5 kadar vanillin menjadi lebih rendah kembali. Dari hasil ini maka kadar vanillin tertinggi dicapai pada pengeringan hari ke-5. Upaya mempertahankan kadar vanillin setelah pengeringan pertama hari kelima dicoba dilakukan dengan menggunakan pengering absorpsi dengan absorben kapur api (CaO). Kapur api yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari pabrik pembakaran kapur di Ciampea Bogor. Kapur diambil segera sebelum proses pengeringan dimulai. Kapur api berbentuk bongkahan berdiameter sekitar 10-20 cm, berwarna putih dengan kandungan CaO 82,27%. Oleh karena bongkahan kapur masih terlalu besar, maka sesaat sebelum digunakan kapur api dikecilkan ukurannya menggunakan palu hingga diameternya sekitar 2-3 cm (Gambar 15). Kapur api tidak digunakan dalam bentuk serbuk (tepung) karena hal tersebut tidak efisien dilakukan. Dalam bentuk tepung dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengecilkan ukuran, sehingga kontak yang terjadi antara kapur api dengan udara lebih banyak dan hal ini akan menurunkan efektivitas kapur api untuk mengeringkan bahan.
Gambar 15 Kapur api.
58
Kebutuhan Kapur Api Pada Pengeringan Absorpsi Wulandari (2002) dalam penelitiannya tentang pengeringan absorpsi pada lada hitam menyatakan bahwa penggunaan CaO sebesar 2 kali lipat lada yang dikeringkan merupakan jumlah yang optimal. Penggunaan CaO sebanyak 2 kali jumlah lada dapat menghasilkan lada yang memenuhi standar kadar air aman untuk penyimpanan. Dalam penelitian ini, jumlah kapur api yang digunakan untuk menguapkan air dari vanili yang akan dikeringkan didasarkan pada perhitungan berdasarkan reaksi berikut : CaO(s) + H2O(l)
Ca(OH)2(s)
ΔHo = -64.8 kJ
Berdasarkan reaksi tersebut, 1 mol CaO dapat melepaskan 1 mol air (H2O) yang selanjutnya membentuk 1 mol Ca(OH)2 sambil melepaskan energi sebesar 64,8 kJ/mol, dengan asumsi nilai entalpi air tetap. 1 mol CaO setara dengan 1 mol H2O yang diuapkan, sehingga 56 g CaO setara untuk bereaksi dengan 18 g H2O. Jika kadar air awal vanili adalah 83,33% dan kadar CaO 82,27%, maka kebutuhan kapur api untuk menguapkan air dalam 1 kg vanili dengan demikian adalah: 56 x 83,33% x 1000 g x 100 = 3151,20 g 18
82,27
Dari perhitungan di atas diperlukan minimal 3,1 kg kapur api untuk menguapkan air pada 1000 g vanili. Kebutuhan kapur api juga dapat diperhitungkan secara teoritis dengan memperhitungkan kadar air akhir yang ingin dicapai. Jika dihitung secara teoritis kebutuhan kapur api minimal untuk mengeringkan 1000 g vanili dari kadar air awal 83,33% sampai kadar air yang diinginkan yaitu 25% bb (kadar air aman untuk penyimpanan) adalah sebagai berikut : Air yang diuapkan dari 1000 g vanili = (KA awal – KA akhir) x berat vanili = (83,33% bb – 25% bb) x 1000 = 583,3 g H2O : 18 g H2O/mol = 32,41 mol Kebutuhan CaO/1000 g vanili = 32,41 mol x 56 g CaO/mol / 1000 g vanili = 1814,96 g CaO/1 kg vanili = 1,81 kg CaO/kg vanili
59
Dengan asumsi kadar CaO adalah 82,27 % dari berat kapur api, maka : Kebutuhan kapur api/1 kg vanili = 1,81 kg CaO/kg vanili x 100/82,27 kapur api/kg CaO = 2,2 kg kapur api/kg vanili Berdasarkan perhitungan di atas maka minimal diperlukan 2,2 kg kapur api atau 1,81 kg CaO untuk mengeringkan 1 kg vanili. Hasil perhitungan secara teoritis tersebut lebih kecil daripada perhitungan kebutuhan kapur api tanpa mempertimbangkan kadar air akhir yang diinginkan. Perhitungan pertama dianggap lebih aman untuk benar-benar memastikan atau memaksimalkan absorben dalam menyerap sejumlah air yang terkandung dalam vanili. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan kapur api sebanyak 3,5 kg (sedikit lebih banyak dari perhitungan, karena 3,1 kg adalah jumlah minimal yang diperlukan). Perubahan RH Selama Pengeringan Absorpsi Kemampuan aliran udara untuk memindakan uap air tergantung pada kelembaban dan suhunya (Earle 1969). Pengeringan absorpsi terjadi sebagai akibat menurunnya RH ruangan absorpsi. RH (kelembaban relatif) didefinisikan sebagai perbandingan kelembaban contoh udara tertentu dengan kelembaban udara jenuh pada kondisi tekanan dan suhu yang sama (Earle 1969). Jika suatu bahan yang mengandung air disimpan dalam suatu ruangan, air dalam bahan akan berkesetimbangan dengan RH udara luar hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Dalam pengeringan absorpsi ini, kapur api akan menyerap uap air dari udara sehingga RH ruang pengering menjadi rendah. Hal ini menyebabkan tekanan uap air vanili lebih besar dibanding tekanan uap air ruang pengering, sehingga vanili akan mengeluarkan air yang dikandungnya menuju kesetimbangan dengan RH ruang pengering. Kapur api akan terus-menerus menyerap uap air dari vanili sehingga lama-kelamaan vanili menjadi kering. Kelembaban relatif udara normal adalah sekitar 80%. Sesaat setelah kapur api dimasukkan ke dalam ruang pengering, RH menurun menjadi 64%. Setelah 1 hari pengeringan RH mengalami penurunan, yaitu 59%. Penurunan RH tersebut disebabkan oleh terjadinya reaksi eksotermik antara CaO pada kapur api dengan
60
uap air yang terkandung pada udara di dalam ruang pengering absorpsi. Vanili segar dengan kandungan air tinggi, yaitu sekitar 80% dengan demikian berada pada lingkungan RH yang rendah, sehingga air di dalam vanili akan menguap menuju kondisi setimbang dengan RH ruang pengering. Pengamatan terhadap RH selama pengeringan absorpsi dapat dilihat pada Gambar 16. Selama 6 hari pengeringan, RH perlahan-lahan menurun dari 64% menjadi 49%. Pada pengeringan hari ke-7 RH mengalami sedikit kenaikan menjadi 50%, dan setelah hari ke-8 meningkat kembali hingga akhir proses pengeringan.
Kelembaban Relatif, RH (%
70 65 60 55 50 45 40 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Waktu pengeringan (hari)
Gambar 16 Perubahan RH pada pengeringan absorpsi. Perubahan Suhu Selama Pengeringan Absorpsi Reaksi antara kapur api dan air dari vanili berkontribusi terhadap suhu pengeringan. Reaksi antara kapur api yang mengandung CaO dalam jumlah tinggi dengan air dari buah vanili menghasilkan energi panas sehingga akan meningkatkan suhu pengeringan dalam ruang absorpsi. Secara umum, suhu yang dihasilkan selama pengeringan absorpsi berada pada kisaran suhu kamar, yaitu antara 27 hingga 30oC. Kenaikan suhu terjadi pada tahap awal pengeringan sebagai akibat reaksi yang terjadi antara CaO pada kapur api dan air dari vanili. Perubahan suhu selama proses pengeringan absorpsi dapat dilihat pada Gambar 17. Pada akhir pengeringan, semakin sedikitnya air yang dapat bereaksi dengan kapur api menyebabkan suhu kapur api dan suhu ruang pengering mengalami penurunan hingga akhirnya konstan yaitu 27oC dengan selesainya
61
proses pengeringan. Suhu proses pengeringan ini hampir sama dengan suhu pengeringan absorpsi pada lada hitam, yaitu 26,5 hingga 30,5oC (Wulandari 2002) rata-rata 29oC (Asikin 1998).
dan pada fillet ikan yang menghasilkan suhu
Meskipun terjadi pada suhu yang relatif rendah, akan tetapi pengeringan vanili
Suhu Ruang Pengering Absorpsi (oC)
secara absorpsi dapat berlangsung sampai kadar air yang diharapkan. 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Waktu pengeringan (hari)
Gambar 17 Perubahan suhu pengeringan absorpsi. Menurut Chang dan Tikkanen (1988), apabila CaO bereaksi dengan air dalam kondisi cair, akan terbentuk Ca(OH)2 dengan melepaskan entalpi sebesar 64,8 kJ. Secara teoritis, reaksi ini dapat menyebabkan peningkatan suhu sebesar 700oC. Akan tetapi, pada proses pengeringan absorpsi terjadi sistem pelepasan energi yang berbeda (Wulandari 2002). Air bereaksi dengan CaO bukan dalam bentuk cair, melainkan dalam bentuk gas atau uap air. Kondisi air yang berbeda ini menyebabkan profil pelepasan energi panas yang berbeda. Energi yang dilepaskan pada reaksi CaO dengan uap air tidak mampu meningkatkan suhu kapur api maupun suhu ruang pengering absorpsi secara drastis. Disamping karena bentuk air yang berbeda, pada saat yang sama terjadi reaksi endotermik yang membutuhkan energi, yaitu reaksi perubahan bentuk air dari cair pada vanili menjadi air dalam bentuk gas yang selanjutnya dilepaskan ke udara ruang pengering absorpsi. Reaksi endotermik ini terjadi pada saat yang bersamaan dengan reaksi eksotermik pada kondisi yang hampir setimbang. Sebagai akibatnya, energi yang dilepaskan dari reaksi eksotermik tidak dapat menyebabkan peningkatan suhu kapur dan suhu pengering absorpsi yang terlalu
62
tinggi, sehingga proses pengeringan absorpsi terjadi pada suhu yang rendah (Wulandari 2002). Perubahan Kadar Air pada Pengeringan Absorpsi Pada penelitian sebelumnya tentang pengeringan absorpsi pada lada hitam (Wulandari 2002), pada awal pengeringan lada mengeluarkan air dengan cepat, karena jenis air yang dikeluarkan di tahap awal ini adalah air bebas (air Tipe IV) yang mudah dilepaskan oleh lada. Dengan semakin lamanya proses pengeringan, reaksi antara CaO dengan air semakin berkurang karena kandungan air dalam lada menjadi semakin berkurang. Pada penelitian ini terjadi fenomena yang sama. Pengukuran kadar air vanili selama pengeringan diukur pada percobaan pendahuluan pengeringan absorpsi dengan mengambil secara cepat polong dari dalam ruang pengering absorpsi. Perubahan kadar air yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18. Kadar air setelah pengeringan hari pertama hanya mengalami sedikit penurunan dari kadar air hasil pengeringan pertama hari kelima (oven), yaitu dari sekitar 83% menjadi 82%. Setelah itu kadar air terus menurun dan penurunan yang tajam terjadi dari hari ke-7 hingga hari ke-9 (66,27% menjadi 44,88%). 90
Kadar Air (% bb)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 H-1
H-2
H-3
H-4
H-5
H-6
H-7
H-8
H-9 H-10 H-11 H-12 H-13 H-14
Pengeringan Absorpsi Hari Ke-
Gambar 18 Perubahan kadar air pengeringan absorpsi. Pada penelitian Wulandari (2002), pengukuran kadar air (dinyatakan dalam persentase berat kering) dilakukan secara tidak langsung melalui
63
penimbangan bahan di dalam ruang pengering absorpsi (timbangan diletakkan di atas lemari pengering). Pada penelitian ini, karena keterbatasan alat (tidak adanya timbangan yang dapat digunakan dalam penelitian ini), maka pengukuran kadar air (persen berat basah) dilakukan secara langsung. Oleh karena pintu pengering setiap hari dibuka maka uap air di udara dapat masuk ke ruang pengering sehingga dapat mempengaruhi proses pengeringan. Berkurangnya kandungan air dari vanili disebabkan karena disamping air yang belum keluar jumlahnya menurun, juga karena jenis air yang berada dalam jaringan buah adalah air terikat, yang berada dalam kondisi keterikatan primer (Tipe I), sekunder (Tipe II), dan tertier (Tipe III). Air Tipe I dan II adalah molekul air yang terikat secara kimia dengan molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar sehingga relatif sulit diuapkan. Sementara itu air Tipe III terikat secara fisik dalam jaringan-jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain sehingga lebih sulit pula diuapkan daripada air bebas yang tidak terikat dalam jaringan bahan atau mempunyai keaktifan penuh (Wirakartakusumah et al. 1989). Kadar Vanillin Pengeringan Absorpsi Untuk mencapai kadar air yang diinginkan, yaitu sekitar 20-25%, proses pengeringan absorpsi pada vanili berlangsung sekitar 12-16 hari. Dengan demikian waktu total untuk pengeringan vanili menjadi berkisar antara 17-21 hari (pengeringan pertama menggunakan oven berlangsung selama 5 hari). Dari hasil pengamatan, polong yang berukuran lebih kecil dapat dikeringkan lebih cepat daripada polong berukuran besar. Hal ini diduga berlaku secara umum, tidak hanya untuk pengeringan absorpsi saja akan tetapi juga untuk jenis pengeringan lainnya. Dengan semakin besarnya ukuran polong, air yang terkandung dalam bahan semakin banyak sehingga proses pengeringan menjadi lebih lama. Bentuk, luas penampang, dan ketebalan bahan menjadi faktor yang turut mempengaruhi lamanya pengeringan. Seperti diketahui, buah vanili berbentuk polong memanjang dan bulat berdiameter 10-15 mm sehingga dapat dikatakan cukup tebal. Dengan karakteristik bahan seperti ini, tentu saja proses pengeringan absorpsi berlangsung lebih lama dibandingkan jika misalnya bahan yang dikeringkan berbentuk fillet
64
yang mempunyai luas penampang lebih luas dan lebih tipis. Pengeringan absorpsi pada lada hitam yang dilakukan Wulandari (2002) hanya berlangsung selama 4-5 hari untuk menurunkan kadar air dari 64,1% menjadi 12% bb, lebih cepat dibandingkan pengeringan menggunakan sinar matahari yang berlangsung selama 7-8 hari. Pada penelitian tahap ini, analisis tidak dilakukan tiap hari karena pengambilan sampel menyebabkan ruang pengering absorpsi terbuka dan hal ini akan mengganggu proses pengeringan. Dengan membuka tutup ruang pengering absorpsi tiap hari walaupun dilakukan dengan cepat akan menyebabkan udara dari luar masuk ke dalam ruang pengering, sehingga mempengaruhi RH dan suhu pengeringan dan hal ini menggangggu berlangsungnya proses pengeringan. Disamping itu pada penelitian awal pengeringan absorpsi sudah pernah dicoba menganalisis kadar vanillin setiap hari dengan mengambil secara cepat polong vanili dari ruang pengering absorpsi. Hasilnya ternyata kadar vanillin yang dihasilkan tidak berbeda nyata antara yang diambil pada hari itu dengan hari berikutnya. Pengambilan sampel dilakukan jika kiranya buah vanili telah berwarna hitam dan cukup kering. Pengeringan dilakukan hingga kadar air sekitar 20-25% bb, karena pada kadar air 30-35% vanili dengan cepat menyerap kembali uap air dari udara pada saat telah dikeluarkan dari ruang pengering absorpsi, sehingga akhirnya vanili tersebut menjadi lembab dan memacu tumbuhnya cendawan di permukaan polong. Vanili hasil pengeringan absorpsi berwarna hitam (Gambar 20), namun ada beberapa polong yang berwarna putih pada beberapa bagiannya. Warna putih ini terbentuk sebagai akibat pindah massa yang terjadi dari kapur api (debunya) ke dalam buah vanili. Vanili kering tidak mempunyai tekstur yang lentur tetapi kaku. Aroma vanili yang wangi kurang tercium dari hasil pengeringan absorpsi, justru aroma lainnya yang lebih dominan muncul. Kadar vanillin rata-rata yang dihasilkan dalam proses pengeringan absorpsi adalah 0,82% bk. Aroma yang tidak diharapkan diduga diakibatkan oleh pembentukan vanillin yang kurang sempurna. Kemungkinan lain adalah karena aroma yang dihasilkan vanili bercampur dengan aroma dari kapur api. Semula diperkirakan
65
suhu rendah dapat melindungi vanillin yang telah terbentuk dari reaksi oksidasi maupun degradasi akibat panas yang tinggi. Akan tetapi, melihat hasil yang diperoleh dari pengeringan absorpsi ini, sepertinya tetap diperlukan panas untuk pembentukan vanillin, hanya saja dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Dapat dikatakan sebenarnya terdapat suhu optimal bagi pembentukan vanillin. Dan karena pembentukan vanillin erat kaitannya dengan aktivitas dari enzim βglukosidase, maka dapat dikatakan bahwa suhu 40oC adalah suhu optimal bagi pembentukan vanillin oleh karena pada suhu ini enzim β-glukosidase mencapai aktivitas tertingginya (Setyaningsih, 2006). Pada proses pengeringan absorpsi, suhu rata-rata proses pengeringan adalah 30,29oC. Hasil analisis aktivitas enzim pada pengeringan pertama hari kelima menunjukkan aktivitas enzim βglukosidase sebesar 49,46 IU/g (Gambar 19). Dengan demikian pada pengeringan absorpsi masih terdapat sisa aktivitas enzim, sehingga glukovanilin sebenarnya masih berpotensi diubah menjadi vanillin.
500 400 300 200 100
-5
-4
gI Ke rin
Ke rin
gI
-3 gI
-2 Ke rin
gI
-1 Ke rin
gI Ke rin
Pe ra m
yu La
Re nd am
ar
0
Se g
Aktivitas Enzim (IU/g protein)
600
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 19 Perubahan aktivitas enzim pengeringan tahap I.
Gambar 20 Vanili kering hasil pengeringan absorpsi.
66
Pada pengeringan absorpsi ini, melihat kondisi proses yang terjadi dalam suatu ruang pengering yang tertutup rapat, dapat dikatakan proses pemeraman berlangsung sekaligus dengan proses pengeringan. Seperti dikemukakan sebelumnya, pemeraman memegang peranan penting dalam pembentukan aroma vanili, dimana pada tahap ini terjadi reaksi enzimatis dari enzim β-glukosidase yang menghidrolisis glukovanilin menjadi vanillin dan glukosa. Menurut Purseglove et al. (1981), proses pemeraman yang optimal berlangsung pada suhu 38oC. Dalam proses pemeraman yang selama ini dilakukan,
buah
vanili
dibungkus
menggunakan
kain
hitam
untuk
mempertahankan panas sebanyak mungkin dan disimpan dalam kotak kayu yang diberi isolator. Pada pengeringan absorpsi, meskipun pemeraman dapat dikatakan masih terjadi, akan tetapi kondisinya berbeda dengan yang pada umumnya dilakukan (vanili tidak dibungkus menggunakan kain hitam) dan suhu pada tahap inipun (sama dengan proses pengeringan yaitu 27-30oC) lebih rendah dari suhu pemeraman optimal. Disamping pengaruh suhu, kelembaban menjadi faktor lain yang turut mempengaruhi tahap pemeraman. Pemeraman optimalnya dilakukan pada kelembaban yang tinggi, yaitu sekitar 97-100% untuk memaksimalkan kerja enzim β-glukosidase. Akan tetapi RH pada proses pengeringan absorpsi berada pada kisaran RH yang lebih rendah, yaitu 49-64%. Meskipun RH yang rendah diperlukan untuk proses pengeringan vanili, akan tetapi di sisi lain diperlukan pula RH yang tinggi untuk mengoptimalkan pemeraman. Perbedaan kondisi pemeraman inilah yang diduga menjadi alasan dari tidak sempurnyanya proses hidrolisis dari glukovanilin menjadi vanilin, disamping karena proses pengeringan yang tidak menggunakan panas. Berdasarkan hasil analisis kadar vanillin, penampakan vanillin yang diperoleh dan terutama ditinjau dari segi aroma yang dihasilkannya, maka pengeringan vanili secara absorpsi dinilai kurang cocok diterapkan. Kadar vanillin yang tinggi seperti yang semula diharapkan tidak dapat dicapai dengan jenis pengeringan ini. Kadar vanillin akhir yang dicapai yaitu 0,82% bk lebih rendah dari yang diperoleh dari pengeringan pertama hari ke-5 yaitu 1,00% bk. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengeringan vanili termodifikasi hari pertama
67
hingga kelima dilakukan menggunakan oven pengering bersuhu 40oC selama 3 jam per hari. Gambar 21 memperlihatkan perubahan kadar vanillin vanili termodifikasi dimana pengeringan hari keenam hingga terakhir dilakukan menggunakan pengering absorpsi. Kadar Vanillin (% bk)
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2
P. A I-5 bs or ps ia kh ir
Tahap Pengolahan Vanili
K er in g
K er in g
I-4
I-3
I-2
K er in g
I-1
K er in g
K er in g
Pe ra m
La yu
Se g
ar Re nd am
0
Gambar 21 Perubahan kadar vanillin pengeringan absorpsi. Kadar Gula Pereduksi Pengeringan Absorpsi Hasil analisis kadar gula pereduksi disajikan dalam Gambar 22. Gula pereduksi (dalam bentuk glukosa) merupakan hasil samping dari pemecahan glukovanillin. Menurut Winarno (2002), ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa biasanya terletak pada karbon
I-4 K er in P. g A I-5 bs or ps ia kh ir
I-3
K er in g
I-2
K er in g
I-1
K er in g
K er in g
Pe ra m
La yu
ar
Re nd am
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Se g
Kadar Gula Pereduksi (% bk)
nomor satu.
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 22 Kadar gula pereduksi pengeringan absorpsi.
68
Pengukuran gula pereduksi dilakukan dengan metode DNS. Hasil analisis memperlihatkan bahwa gula pereduksi tertinggi diperoleh dari tahap pemeraman. Pada pengeringan pertama hari kelima, dihasilkan gula pereduksi sebesar 7,53%, akan tetapi di akhir pengeringan gula pereduksi menjadi sangat rendah yaitu 3,01% bk. Nilai ini sejalan dengan perubahan kadar vanillin yang dihasilkan dimana pada akhir pengeringan menggunakan pengering absorpsi kadar vanillin juga mengalami penurunan. Nilai pH dan Total Asam Pengeringan Absorpsi Hasil pengamatan terhadap pH dan total asam buah vanili segar hingga kering diperlihatkan pada Gambar 23 dan 24. Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ atau ion OH- yang terdapat dalam larutan. Lehninger (1982) menyatakan bahwa semakin besar ion H+ maka semakin kecil pH larutan. Sebaliknya semakin besar konsentrasi ion OH- maka semakin besar nilai pHnya. Nilai pH proses curing termodifikasi ini berkisar antara 4,87-5,88. Pada tahap awal proses curing, yaitu dari tahap perendaman hingga pengeringan pertama hari kedua, vanili mengalami penurunan nilai pH. Penurunan pH ini menunjukkan bahwa asamasam organik telah terbentuk selama curing, sebagai akibat penguraian senyawa aglikon menjadi senyawa turunannya yang berupa asam. Terjadi fluktuasi nilai pH vanili, dimana pada pengeringan pertama hari ketiga hingga kelima nilai pH menjadi lebih tinggi dan pada akhir pengeringan secara absorpsi pH menjadi 5,88. Perubahan nilai pH ini menunjukkan perubahan jumlah asam yang terkandung dalam buah vanili. Sebagian senyawa vanillin akan mengalami reaksi oksidasi enzimatik yang dikatalisis oleh enzim peroksidase membentuk asam organik seperti asam benzoat dan asam vanillin, sedangkan reaksi oksidasi dari alkohol akan membentuk senyawa golongan asam karboksilat. Menurut Purseglove et al. (1981), asamasam organik yang terkandung dalam cured vanili diantaranya adalah p-hydroxy benzoic acid dan p-coumaric acid. Fermentasi glukosa yang terdapat dalam buah vanili juga akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam asetat, asam ferulat dan asam malat.
69
Nilai total asam yang dihasilkan berbanding terbalik dengan nilai pH. Dengan semakin rendahnya pH, berarti asam-asam yang terdapat dalam vanili semakin banyak dengan demikian total asamnya menjadi semakin tinggi. Analisis total asam dilakukan dengan cara titrasi menggunakan larutan basa yaitu NaOH 0,1 N. Prinsip analisis adalah banyaknya H+ yang bereaksi dengan OHmembentuk H2O. Banyaknya NaOH yang digunakan untuk menitrasi akan sebanding dengan jumlah asam yang terdapat dalam larutan, dimana jika jumlah asam banyak maka akan semakin banyak NaOH yang terpakai untuk menetralisasi larutan asam tersebut. 6
pH rata-rata
5,8 5,6 5,4 5,2 5 4,8
ak hi r
I-5
bs or p
si
er in g
P. A
K
K
er in g
I-4
I-3
I-2 K
er in g
I-1
er in g K
er in g
am
K
Pe r
La yu
nd am
Re
Se g
ar
4,6
Tahap Pengolahan Vanili
40 35 30 25 20 15 10 5
ir
P.
Ab
so r
ps
ia kh
-5 gI
-4
Ke r in
gI
-3 gI
Tahap Pengolahan Vanili
Ke r in
-2
Ke r in
Ke r in
gI
-1 gI Ke r in
m
La yu
Pe ra
Re
nd
am
0 Se ga r
Total Asam (ml NaOH 0.1 N/100 g bahan)
Gambar 23 Perubahan pH pengeringan absorpsi.
Gambar 24 Perubahan total asam pengeringan absorpsi.
70
Nilai total asam yang dihasilkan berkisar antara 15,50 – 34,37 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan. Sejalan dengan nilai pH, pada awal proses curing total asam cenderung meningkat dan mencapai nilai tertinggi pada pengeringan hari kedua. Pada hari ketiga total asam menjadi lebih rendah (15,50 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan). Pada pengeringan hari berikutnya (hari keempat) total asam cenderung lebih tinggi dan setelah itu menjadi relatif konstan hingga pengeringan hari terakhir (18,42 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan). Pengeringan Vanili Termodifikasi Menggunakan Microwave Oven Disamping menggunakan pengering absorpsi, pada penelitian ini dicoba pula mengeringkan vanili termodifikasi dengan jenis pengeringan yang lain yaitu menggunakan microwave oven. Gelombang microwave merupakan salah satu bentuk gelombang elektromagnetik. Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Dewi (2005), pengeringan menggunakan microwave dilakukan pada vanili yang tidak mengalami modifikasi. Vanili segar tidak direndam terlebih dahulu dengan aktivator enzim dan pada tahap pelayuan suhu yang digunakan adalah 60oC selama 3 menit. Vanili yang telah mengalami pemeraman hari pertama langsung dikeringkan dengan microwave hingga kadar air yang diinginkan, sedangkan pada penelitian ini pengeringan selama lima hari pertama dilakukan menggunakan oven pengering bersuhu 40oC selama 3 jam per hari, dan baru pada pengeringan hari keenam dilakukan pengeringan menggunakan microwave. Harapannya adalah dihasilkan vanillin dalam jumlah yang maksimal terlebih dahulu pada pengeringan pertama. Penggunaan microwave diharapkan dapat mengeringkan vanili dengan lebih cepat. Seperti telah diketahui, pembentukan flavor dari buah vanili merupakan kerja dari beberapa enzim yang terdapat didalamnya, dimana enzim β-glukosidase mempunyai peran paling besar dibanding enzim lainnya. Kerja dari enzim ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada pengeringan pertama selama 5 hari dilakukan pengeringan dengan suhu 40oC karena menurut Setyaningsih (2006) suhu 40oC merupakan suhu optimal bagi bekerjanya enzim β-glukosidase. Sedangkan Hanum (1997) dalam penelitian sebelumnya menyatakan bahwa aktivitas tertinggi
71
enzim β-glukosidase dicapai pada keadaan asam (pH 4,0) dengan suhu optimum 60oC. Dari kondisi optimum kerja enzim β-glukosidase tersebut, Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa suhu udara yang berada di dalam ruang pengeringan hendaknya tidak lebih dari 65oC yang dimaksudkan untuk menghindari kerusakan aroma vanili. Pada penelitian Dewi (2005), pengeringan vanili dengan daya rendah yaitu 80 Watt menghasilkan suhu rata-rata proses pengeringan adalah 62,5oC, sehingga untuk mempertahankan vanili dari kerusakan oleh panas yang ditimbulkan, pada penelitian ini akan dicoba pengeringan dengan waktu yang tidak terlalu lama yaitu selama 30 menit (perlakuan A), 60 menit (perlakuan B), dan 90 menit (perlakuan C) tiap hari yang dikombinasikan dengan pemeraman selama 24 jam. Pemeraman diperlukan karena jika vanili dikeringkan terusmenerus tanpa pemeraman maka akan dihasilkan vanili yang kaku (Dewi 2005). Waktu Pengeringan Microwave Berdasarkan pengamatan selama pengeringan, dengan semakin lamanya pengeringan maka penurunan kadar air akan semakin cepat sehingga proses pengeringan akan menjadi lebih cepat pula. Berat vanili awal yang dipergunakan untuk setiap perlakuan adalah kurang lebih 200 g, dimana jumlah ini dapat diletakkan satu lapis dalam microwave oven (tidak bertumpukan). Adapun kadar air vanili awal yang juga merupakan kadar air vanili hasil pengeringan pertama hari kelima adalah 83%. Perlakuan A memerlukan waktu pengeringan 8 hari hingga dicapai ratarata kadar air akhir vanili 25,52%. Perlakuan B memerlukan waktu 6 hari untuk mencapai kadar air rata-rata 23,29%, dimana pada hari keenam hanya dilakukan pengeringan selama 15 menit. Adapun perlakuan C memerlukan waktu selama 6 hari pula (hanya 5 menit pengeringan untuk hari keenam) untuk mencapai kadar air rata-rata 18,39%. Dari hasil ini terlihat bahwa perlakuan C dapat mengeringkan vanili lebih cepat daripada perlakuan A dan B. Kadar Vanillin Pengeringan Microwave Hasil analisis terhadap kadar vanillin ketiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25. Setelah pengeringan microwave, untuk perlakuan A, kadar vanillin cenderung meningkat hingga mencapai maksimal pada pengeringan hari ke-5
72
yaitu sebesar 1,09%. Pada pengeringan hari ke-5 tersebut kadar air vanili masih 79%. Pengeringan hari berikutnya tidak dapat lagi mempertahankan kadar vanillin yang telah dicapai, bahkan terjadi penurunan yang drastis menjadi 0,49%. Hingga hari terakhir tidak terjadi peningkatan kembali kadar vanillin (kadar vanillin akhir 0,49%).
Kadar Vanillin (% bk)
1,2 1 0,8
A (30 menit per hari)
0,6
B (60 menit per hari) C (90 menit per hari)
0,4 0,2 0 H-1
H-2
H-3
H-4
H-5
H-6
H-7
H-8
Pengeringan Microwave Hari Ke-
Gambar 25 Perubahan kadar vanillin pengeringan microwave. Untuk perlakuan B dan C, kadar vanillin yang dihasilkan mempunyai kecenderungan yang relatif sama, dimana pada tahap awal terjadi kenaikan (maksimal hari ke-3 untuk perlakuan B yaitu 0,78% bk dan hari ke-2 untuk perlakuan C yaitu 1,09% bk). Pada pengeringan hari selanjutnya kadar vanillin lebih rendah hingga pada hari terakhir kadar vanillin yang diperoleh hanya 0,36% untuk perlakuan B dan 0,32% untuk perlakuan C. Hanum (1997) menyatakan bahwa kadar vanillin dalam ekstrak buah vanili yang mengalami proses curing mengalami peningkatan mulai tahap pelayuan dan terus meningkat sampai tahap pengeringan dan kemudian setelah tahap pengeringan dan conditioning kadar vanillinnya menurun. Penurunan kadar vanillin tersebut disebabkan oleh adanya panas. Dari hasil ini secara keseluruhan ternyata pengeringan termodifikasi menggunakan aktivator butanol dan sistein yang dikombinasikan dengan pengeringan microwave tidak dapat juga mempertahankan kadar vanillin yang telah dicapai pada pengeringan pertama. Hal ini diduga karena suhu pengeringan
73
micowave yang terlalu tinggi sehingga vanillin yang telah terbentuk menjadi terdenaturasi atau mengalami oksidasi oleh kerja enzim oksidase. Dewi (2005) menyatakan bahwa suhu tertinggi pengeringan menggunakan microwave pada daya 80 Watt adalah 78,3oC. Suhu pengeringan yang tinggi diduga tidak optimal bagi kerja enzim β-glukosidase dalam menghidrolisis glukovanillin menjadi vanillin. Semakin lama pengeringan berarti semakin lama pula vanili terekspos oleh panas sehingga vanillin yang terdegradasi akan semakin banyak. Secara umum, perlakuan A menghasilkan kadar vanillin tertinggi, sehingga analisis gula pereduksi, total asam dan pH hanya dilakukan untuk perlakuan A. Gambar 26 memperlihatkan kadar vanillin tiap tahap pengolahan termodifikasi dimana pada pengeringan pertama hari pertama sampai kelima digunakan oven pengering sedangkan hari keenam hingga ketiga belas digunakan microwave oven dengan lama pengeringan 30 menit per hari. Setelah tahap perendaman kadar vanillin lebih tinggi dari kondisi segarnya, pada tahap pelayuan lebih rendah dan menjadi lebih tinggi kembali pada tahap pemeraman. Selama pengeringan pertama, pada hari pertama hingga keempat kadar vanillin relatif konstan. Pada pengeringan microwave hari kelima tercapai kadar vanillin tertinggi yaitu sebesar 1,09% bk.
1 0,8 0,6 0,4 0,2
M
Hicr 1 ow av e M H icr -2 ow av eH M icr -3 ow av eH M icr -4 ow av e M H icr -5 ow av eH M icr -6 ow av eH M icr -7 ow av eH -8
gI
-5
-1 gI
Ke rin
Ke rin
Pe ra m
yu La
ar Re nd am
0 Se g
Kadar Vanillin (% bk)
1,2
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 26 Perubahan kadar vanillin pengeringan termodifikasi menggunakan microwave.
74
Hubungan Lama Pengeringan dengan Kadar Air Vanili Termodifikasi Perubahan kadar air untuk masing-masing perlakuan disajikan dalam Gambar 27. Seperti terlihat pada Gambar 27 untuk perlakuan A pada tahap awal pengeringan penurunan kadar air terjadi dengan lambat. Kadar air tidak banyak mengalami penurunan hingga pengeringan hari ke- 5 (150 menit dihitung dari awal pengeringan microwave). Pada 30 menit berikutnya penurunan kadar air semakin besar yang ditunjukkan oleh grafik penurunan kadar air semakin tajam. Secara total diperlukan 8 hari pengeringan microwave (setara dengan 240 menit atau 4 jam) untuk mencapai kadar air vanili 25,82%. Untuk perlakuan B, sebagaimana perlakuan A pada tahap awal tidak banyak terjadi penurunan kadar air. Selama 3 hari pertama pengeringan, kadar air vanili masih relatif konstan yaitu sekitar 80% bb. Enam puluh menit setelah itu baru kadar air menurun dengan drastis hingga pengeringan hari ke-5 pada kadar air 50,12%. Pada hari ke-6, pengeringan hanya dilakukan selama 15 menit karena kadar air vanili telah mencapai 23,29% bb. Dengan demikian pengeringan micowave untuk perlakuan B memerlukan waktu 315 menit (setara dengan 5,25 jam). Adapun untuk perlakuan C, terjadi kecenderungan yang sama dengan 2 perlakuan lainnya. Pada 3 hari pertama pengeringan microwave (90 menit/hari) hanya terjadi penurunan kadar air sebesar 7,93% bb. Setelah pengeringan hari keempat barulah kadar air mengalami penurunan yang besar hingga mencapai kadar air 18,39% bb di akhir proses pengeringan. Pengeringan microwave untuk perlakuan ini memerlukan waktu 375 menit (setara dengan 6,25 jam), dimana pada hari ke-5 pengeringan hanya dilakukan selama 15 menit dan hari ke-6 selama 5 menit. Pola penurunan kadar air terhadap waktu pengeringan yang dihasilkan pada penelitian sama dengan penelitian sebelumnya (Dewi 2005), dimana pada penelitian tersebut di tahap awal pengeringan juga dihasilkan penurunan kadar air yang lambat. Untuk vanili yang dikeringkan secara terus-menerus selama 180 menit, kadar air menurun dengan tajam baru setelah 150 menit pengeringan. Untuk vanili yang dikeringkan selama 120 menit di hari pertama, kadar air juga relatif stabil yaitu 80% bb selama rentang waktu 120 menit tersebut. Setelah 60
75
menit pengeringan berikutnya baru kadar air menurun dengan tajam. Pola yang sama terjadi untuk vanili yang dikeringkan 60 menit pada hari pertama dan kedua, dimana tidak terjadi banyak penurunan kadar air dalam waktu tersebut. 90
Kadar air (% bb)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
0
30
60
90
120
150
180
210
240
Waktu pengeringan (menit)
90
Kadar air (% bb)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
60
120
180
240
300
315
370
375
Waktu pengeringan (menit)
90
Kadar air (% bb)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
90
180
270
360
Waktu pengeringan (menit)
Gambar 27 Perubahan Kadar Air Pengeringan Microwave (Perlakuan A, B dan C).
76
Dari hasil ini, secara keseluruhan vanili untuk perlakuan B dan C dapat dikeringan dengan cepat yaitu sekitar 6 hari menggunakan microwave, sedangkan vanili pada perlakuan A memerlukan waktu hingga 8 hari. Akan tetapi jika waktu pengeringan microwave ini secara total dikalkulasikan dalam satuan menit, waktu pengeringan pada perlakuan A yaitu 4 jam justru lebih cepat daripada perlakuan B dan C. Hal ini disebabkan oleh lambatnya penurunan kadar air pada tahap awal pengeringan untuk perlakuan B dan C tersebut. Walaupun setiap hari vanili perlakuan B dan C dikeringkan 30 dan 60 menit lebih lama daripada perlakuan A, akan tetapi selama 3 hari pertama pengeringan ternyata kadar air tidak banyak mengalami penurunan. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan waktu total (menit) untuk perlakuan B dan C lebih lama daripada perlakuan A. Penurunan kadar air yang terjadi disamping karena memang semakin sedikit jumlah air yang diuapkan juga karena berkurangnya beban pengeringan microwave. Setiap hari setelah proses pengeringan berakhir, diambil sebuah polong untuk dianalisis kadar vanillinnya. Dengan semakin lamanya pengeringan berlangsung berarti vanili yang dikeringkan semakin sedikit jumlahnya. Berkurangnya berat vanili yang dikeringkan ini menyebabkan berkurangnya beban pengeringan microwave. Menurut petunjuk pemakaian oven microwave, beban yang dimasukkan pada oven microwave berpengaruh terhadap waktu penggunaannya (Dewi 2005). Bila beban pengeringan berkurang, maka daya radiasi microwave yang diterima bahan per satuan bobot bahan akan semakin besar. Dengan demikian bahan menjadi lebih mudah diuapkan dan terjadi penurunan kadar air yang lebih besar. Dari hasil analisis kadar air tersebut, jika dikaitkan dengan hasil analisis kadar vanillin maka diperoleh hubungan yang linier antara kadar air dan kadar vanillin. Kadar vanillin tertinggi dihasilkan pada saat kadar air vanili masih tinggi (perubahan kadar air tidak terlalu banyak dari hari sebelumnya), sedangkan jika kadar air menurun dengan cepat (misalnya dari hari kelima ke hari keenam untuk perlakuan A dan dari hari ketiga ke hari keempat untuk perlakuan B) maka kadar vanillin juga mengalami penurunan dengan cepat (Gambar 26).
77
Gula Pereduksi Pengeringan Modifikasi Menggunakan Microwave Hasil analisis kadar gula pereduksi untuk perlakuan A dapat dilihat pada Gambar 28. Pada tahap awal curing, vanili mempunyai kadar gula pereduksi yang cenderung lebih tinggi dari kondisi segarnya sampai pengeringan hari ke-5. Setelah pengeringan microwave hari pertama diaplikasikan, kadar gula pereduksi mengalami penurunan drastis. Nilai gula pereduksi selanjutnya meningkat kembali dan mencapai maksimal pada pengeringan microwave hari kelima (7,00% bk). Pada akhir pengeringan kadar gula pereduksi ekstrak vanili kering adalah
Pe ra m Ke rin gI -1 Ke r i ng M icr I -5 ow av M eH icr -1 ow av M eH icr -2 ow av eH M icr -3 ow av M eH icr -4 ow av M eH icr -5 ow av eH M icr -6 ow av M eH icr -7 ow av eH -8
yu La
ar Re nd am
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Se g
Kadar Gula Pereduksi (% bk)
4,84% bk.
Tahap Pengolahan
Gambar 28 Perubahan kadar gula pereduksi pengeringan microwave. Dari hasil tersebut, ternyata pola pembentukan gula pereduksi untuk pengeringan microwave tidak selalu sejalan dengan kadar vanillinnya. Diduga glukosa di dalam ekstrak vanili tidak hanya berasal dari hidrolisis glukovanilin saja, tetapi juga berasal dari komponen karbohidrat buah vanili, yang dipecah oleh enzim-enzim penghidrolisis karbohidrat (pati). Karena itulah pada kadar vanillin yang rendah bisa saja dihasilkan gula pereduksi yang tinggi, seperti ditunjukkan oleh ekstrak vanili hasil pengeringan microwave hari ke-2. Analisis pH dan Total Asam Hasil analisis pH dan total asam dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30. Nilai pH cenderung lebih rendah dari pH buah segar pada awal proses curing. Pada pengeringan microwave hari pertama dihasilkan pH tertinggi yaitu 6,1 yang
78
menunjukkan sedikitnya asam yang terkandung dalam vanili tersebut. Setelah itu, nilai pH kembali menjadi lebih rendah dan pada vanili kering akhir nilai pHnya
Re
Se g
La yu Pe ra m K er in g I -1 K er in M g ic I -5 ro w a ve M ic H ro -1 w a v M e ic H ro -2 w a ve M ic H ro -3 w a ve M ic H ro -4 w a ve M ic H ro -5 w av M e ic H ro -6 w a ve M ic H ro -7 w av e H -8
6,2 6 5,8 5,6 5,4 5,2 5 4,8 4,6 4,4
ar nd am
pH rata-rata
adalah 5,28.
Tahap Pengolahan Vanili
gI -1 Ke r i ng M icr I -5 ow av M icr e H1 ow av M eH icr -2 ow av M eH icr -3 ow av M eH icr -4 ow av M eH icr -5 ow av M eH icr -6 ow av M eH icr -7 ow av eH -8
ra m
Ke ri n
Pe
yu La
Re nd am
ga r
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Se
Total Asam (m l NaO H 0.1 N/100 g bahan)
Gambar 29 Perubahan pH vanili hasil pengeringan microwave.
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 30 Perubahan total asam hasil pengeringan microwave. Nilai total asam berkisar antara 8,60 (A1) sampai 45,26 (A5) sesuai dengan pH buah vanili. Tingginya kandungan asam pada pengeringan microwave hari ke-5 menunjukkan bahwa paling banyak asam-asam terbentuk pada pengeringan hari ke-5 tersebut. Pada pengeringan microwave hari ke-5 ini, kadar vanillin juga mencapai nilai tertinggi. Asam-asam organik yang terbentuk merupakan senyawa hasil degradasi aglikon yang terjadi selama proses curing.
79
Pengujian Mutu Akhir Ditinjau dari kadar vanillin yang dihasilkan, vanili dari perlakuan A menghasilkan kadar vanillin akhir yang tertinggi, yaitu 0,49% bk, sementara perlakuan B 0,36% bk dan perlakuan C 0,32% bk. Perlakuan A adalah perlakuan terbaik dari pengeringan menggunakan microwave. Walaupun demikian melihat secara keseluruhan hasil dari pengeringan menggunakan microwave ini dapat dikatakan bahwa pengeringan menggunakan microwave kurang cocok diterapkan untuk mengeringkan vanili, karena kadar vanillin akhir yang tinggi ternyata tidak dapat dicapai. Penampakan vanili kering akhir yang dihasilkan dari ketiga perlakuan dapat dilihat pada Gambar 31 dan Tabel 10 berikut.
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
Gambar 31 Penampakan vanili kering hasil pengeringan microwave. Tabel 10 Hasil pengujian mutu vanili berdasarkan SNI 01-0010-2002 Jenis mutu Warna
Perlakuan A Hitam kecoklatan
Perlakuan B Coklat kehijauan
Perlakuan C Coklat kehijauan
SNI Hitam mengkilat, hitam kecoklatan mengkilat sampai coklat Bau Khas vanili Khas vanili Khas vanili Khas vanili Keadaan Utuh, agak Utuh, agak kaku, Utuh, agak kaku, Penuh berisi s/d polong kaku, kurang berisi, kurang berisi, kurang berisi, berisi,berminyak sedikit berminyak sedikit berminyak, lentur s/d berminyak kaku Kadar air rata- 25,52 23,29 18,39 25-38 rata(% bb) Kadar Vanillin 0,49% 0,36% 0,32% 1,00-2,25% (% bk bk)
80
Pengeringan Vanili Termodifikasi Menggunakan Oven Pengering Pada penelitian ini dilakukan pula pengeringan menggunakan oven pengering biasa sebagai kontrol, karena jenis pengeringan inilah yang seringkali digunakan sebagai alternatif pengeringan menggunakan sinar matahari. Dengan demikian hasilnya dapat dibandingkan dengan vanili kering hasil pengeringan absorpsi dan microwave oven. Selama 5 hari pertama pengeringan, suhu yang digunakan adalah 40oC selama 3 jam per hari. Setelah itu suhu pengeringan yang digunakan 60oC selama 3 jam per hari. Vanili hasil pengeringan pertama hari ke-5 mempunyai kadar air yang masih tinggi, yaitu rata-rata 82,38%. Kadar air ini hanya menurun sebesar 4,04 % dari kadar air vanili segar yaitu 86,87%. Pada pengeringan termodifikasi yang dilakukan dalam penelitian sebelumnya (Setyaningsih 2006; Rahayu 2006), kadar air vanili pada pengeringan pertama hari ke-5 adalah sekitar 70% dan 78%, sehingga kadar air yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena pada penelitian ini vanili yang digunakan adalah vanili utuh sesuai hasil penelitian tahap I, sedangkan pada penelitian sebelumnya vanili terlebih dahulu mengalami penyayatan. Adanya penyayatan menyebabkan pengeluaran air yang terjadi lebih cepat sehingga kadar air yang dihasilkan pun lebih rendah. Sementara pada vanili utuh, air lebih sulit diuapkan mengingat polong vanili yang relatif padat dan tebal. Lagipula suhu untuk pengeringan pertama ini adalah 40oC yang relatif kurang panas. Perubahan Kadar Vanillin Perubahan kadar vanillin dari buah vanili segar hingga kering disajikan pada Gambar 32. Buah vanili segar memiliki kadar vanillin 0,39%. Pola kadar vanillin yang terbentuk hingga pengeringan hari ke-5 sama dengan yang terjadi pada pengeringan absorpsi dan microwave, dimana terjadi kecenderungan peningkatan kadar vanillin pada tahap perendaman hingga pengeringan hari ke-5. Odoux (2000) menyatakan bahwa pada tahap awal proses curing yaitu pelayuan dan pemeraman, hanya 40% glukovanilin yang terhidrolisis menjadi vanilin. Pada tahap pemeraman diperoleh kadar vanillin sebesar 1,10% bk. Pada pengeringan tahap kedua yang dilakukan pada suhu 60oC selama 3 jam tiap hari, kadar vanillin terus mengalami kenaikan dibanding dengan pengeringan pertama.
81
Pada pengeringan kedua hari pertama (pengeringan hari keenam), diperoleh kadar vanillin tertinggi, yaitu sebesar 1,58%. Pada penelitian yang dilakukan Rahayu (2006) pengeringan vanili termodifikasi menggunakan aktivator butanol 0,1 M dan sistein 3 mM juga mencapai kadar vanillin tertinggi pada pengeringan kedua hari pertama yaitu sebesar 1,10 % bk.
Kadar Vanillin (% bk)
2,5 2 1,5 1 0,5
I-1 0 gI
Ke rin
Ke rin
gI
I-5
I-1 gI
Ke rin
gI
-5
-1 Ke rin
gI
Ke rin
Pe ra m
La yu
Se g
ar Re nd am
0
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 32 Perubahan kadar vanillin pengeringan termodifikasi. Setelah pengeringan hari keenam kadar vanillin menjadi lebih rendah dan mencapai rata-rata 1,40% pada pengeringan hari terakhir. Menurut Hanum (1997), kadar vanillin terus meningkat sampai tahap pengeringan walaupun pada tahap ini aktivitas enzim β-glukosidase mulai menurun. Diduga peningkatan kadar vanillin merupakan akumulasi dari hasil hidrolisis glukovanillin pada tahap-tahap sebelumnya sehingga walaupun aktivitas β-glukosidase telah berkurang kadar vanillinnya tetap meningkat. Dari hasil ini terlihat bahwa kadar vanillin metode oven ternyata lebih tinggi daripada pengeringan absorpsi dan microwave. Hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis senyawa glukovanillin ternyata lebih sempurna jika dilakukan pengeringan menggunakan oven pengering biasa. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hal ini diduga pada pengeringan absorpsi kemungkinan kondisi proses curing kurang sempurna (kondisi proses pemeraman dan pengeringan terjadi pada suhu yang terlalu rendah), sedangkan pada pengeringan microwave
82
suhu pengeringan terlalu tinggi sehingga mengganggu kerja enzim penghidrolisis glukovanilin. Kadar vanillin akhir yang diperoleh yaitu 1,40% dengan demikian masuk ke dalam kelas mutu III berdasarkan standar mutu vanili kering Indonesia (SNI 2002), dimana dipersyaratkan kadar vanillin minimum 1,00%. Sedangkan vanili kering hasil pengeringan absorpsi dan microwave belum masuk ke standar mutu vanili kering yang dipersyaratkan. Kadar Gula Pereduksi Gambar 33 memperlihatkan hasil analisis gula pereduksi selama proses curing berlangsung. Kenaikan gula pereduksi dari buah segar hingga pengeringan pertama hari kelima sejalan dengan kadar vanillin yang dihasilkan. Akan tetapi, tidak seperti kadar vanillin yang terus mengalami kenaikan pada pengeringan kedua, gula pereduksi setelah pengeringan hari kelima (7,5% bk) nilainya relatif stabil dan menjadi 8,57% bk pada akhir pengeringan. Richard (1991) menyatakan bahwa bagian kering dari polong vanili kering mengandung 1,3-3,8% vanillin, 4,5-15% lemak dan 7-20% karbohidrat terutama glukosa dan fruktosa. Gula pereduksi yang diperoleh hasil pengeringan ini telah
12 10 8 6 4 2
gI
I-1 0
I-5 Ke rin
Ke rin
gI
gI
I-1
-5 Ke rin
gI
-1 Ke rin
gI Ke rin
Pe ra m
La yu
Se g
Re nd am
0 ar
Kadar Gula Pereduksi (%)
sesuai dengan gula pereduksi vanili kering menurut pustaka.
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 33 Perubahan kadar gula pereduksi pengeringan termodifikasi.
83
pH dan Total Asam Hasil analisis pH dan total asam vanili dapat dilihat pada Gambar 34 dan 35. pH vanili cenderung lebih rendah dari pH buah segar hingga tahap pemeraman (mencapai 4,96). Setelah pengeringan hari pertama, pH yang dihasilkan lebih tinggi yaitu 5,09. Hal yang sama terjadi pada vanili hasil pengeringan hari ke-5. Setelah pengeringan kedua hari pertama, terjadi penurunan pH yang drastis, yaitu menjadi 4,63. Pada pengeringan berikutnya nilai pH relatif stabil yaitu sekitar 5.0. Titik dihasilkannya nilai pH terendah sama dengan dicapainya kadar vanillin tertinggi yaitu pada pengeringan kedua hari pertama. 5,6
pH rata-rata
5,4 5,2 5 4,8 4,6
II10
K
K
er
er in g
in g
II5
II1 in g er
K
K
er in g
I-5
I-1 er in g K
Pe ra m
La yu
Re nd am
Se g
ar
4,4
Tahap Pengolahan Vanili
Total Asam (ml NaOH 0.1 N/100 g bahan)
Gambar 34 Perubahan pH vanili pada pengeringan termodifikasi. 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 Se
r ga
am nd e R
La
yu
Pe
m ra
rin Ke
gI
-1
rin Ke
gI
-5 rin Ke
gI
I-1
ri n Ke
gI
I-5 ri Ke
I ng
0 I-1
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 35 Perubahan total asam vanili pada pengeringan termodifikasi.
84
Fluktuasi nilai total asam yang dihasilkan sejalan dengan nilai pH. Total asam tertinggi yaitu 47,48 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan dihasilkan dari pengeringan kedua hari pertama. Pada akhir pengeringan, nilai total asam adalah 28,58 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan. Nilai ini relatif sama dengan total asam vanili hasil pengeringan microwave, akan tetapi lebih tinggi dibanding vanili hasil pengeringan absorpsi. Penampakan Vanili Kering Termodifikasi Vanili kering hasil pengeringan termodifikasi berwarna hitam kecoklatan hingga hitam seperti tampak pada Gambar 36. Vanili mempunyai bau wangi khas vanili yang lembut, dengan tekstur yang lentur. Vanillin sebagai komponen flavor utama buah vanili merupakan senyawa fenolik sederhana. Warna coklat hingga hitam yang terbentuk pada vanili kering merupakan hasil dari reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan enzimatis terhadap senyawa fenolik banyak dikatalisis oleh enzim katekol oksigenase (dalam bentuk polifenol oksidase). Katekol oksigenase dapat mengkatalisis dua tipe reaksi yaitu hidroksilasi (hidroksilasi monofenol menjadi o-difenol) dan dehidrogenasi (oksidasi o-difenol menjadi kuinon). Kuinon berkontribusi terhadap terbentuknya warna gelap, kuning, oranye dan coklat pada jamur dan ganggang. Aktivitas kuinon lebih lanjut akan memicu terjadinya reaksi kondensasi non enzimatik yang berperan dalam pembentukan melanin yang berwarna coklat (Eskin 1990). Adanya reaksi enzimatis oleh enzim polifenol oksidase inilah yang menyebabkan buah vanili berubah menjadi coklat dengan semakin lamanya proses curing berlangsung. Hal ini dinyatakan pula oleh Heath dan Reineccius (1986). Menurut Hanum (1997), suhu optimum aktivitas polifenol oksidase buah vanili kering adalah 45oC. Terjadi peningkatan aktivitas polifenol oksidase setelah pelayuan dan penurunan setelah conditioning. Pada tahap pengeringan (60oC, 3 hari) aktivitas polifenol oksidase mencapai nilai maksimumnya sedangkan pada tahap pemeraman tidak banyak mengalami perubahan.
85
Gambar 36 Penampakan vanili kering termodifikasi. Reaksi pencoklatan non enzimatis Maillard diduga berkontribusi pula terhadap pembentukan warna coklat vanili kering. Reaksi ini diakibatkan oleh gula pereduksi yang dihasilkan selama proses curing dan degradasi karbohidrat kompleks pada buah vanili. Pada tahap awal reaksi Maillard, adanya gula pereduksi akan menyediakan gugus karbonil untuk berinteraksi dengan amino bebas dan asam amino, peptida atau protein (Eskin 1990). Disamping perubahan warna, terjadi pula perubahan tekstur vanili, dan tekstur yang terbentuk ini secara tidak langsung berkaitan dengan kadar air vanili kering yang dihasilkan. Menurut Odoux (2003), perubahan tekstur dari buah vanili terjadi akibat destrukturisasi jaringan pada membran dan dinding sel. Menurut Arana (1944), pada kisaran kadar air 50-54%, buah vanili beraroma fermentasi (peragian) dan masih kurang berkembang. Pada kisaran kadar air 3134% aroma berkembang baik, lembut serta mempunyai fleksibilitas tinggi, sedangkan pada kisaran kadar air 24-27% aroma lebih berkembang dan lembut akan tetapi fleksibilitasnya rendah. Direkomendasikan oleh Arana (1944) bahwa kadar air optimal vanili olahan berkisar antara 30-35%. Vanili kering termodifikasi yang dihasilkan pada penelitian mempunyai kadar air rata-rata 31,80%.
86
Pengeringan Vanili Metode Balitro II Sebagai standar, pada penelitian ini dilakukan proses pengeringan menggunakan metode Balitro II, yaitu metode yang selama ini menjadi acuan proses curing di Indonesia. Dalam metode ini, vanili tidak mengalami perendaman dalam aktivator enzim dan proses pelayuan dilakukan pada suhu 60oC selama 30 menit. Kadar Vanillin Hasil analisis kadar vanillin setiap tahap pengolahan metode Balitro dapat dilihat pada Gambar 37. Kadar vanillin pada tahap pelayuan sedikit lebih tinggi dari kadar vanillin buah segar yaitu sebesar 0,43% bk. Pada tahap pemeraman hingga pengeringan hari pertama kadar vanillin menjadi 0,64%. Pada pengeringan hari berikutnya terjadi fluktuasi kadar vanillin hingga pada hari kelima mencapai 1,06% bk. Kadar vanillin tertinggi dicapai pada pengeringan kedua hari ke-5 yaitu 1,49% bk dimana kadar air rata-rata masih 70,52%. Pada akhir pengeringan
Ke rin
gI
I-1 0
I-5 Ke rin
gI
I-1 gI Ke rin
Ke rin
gI
-5
-1 gI Ke rin
Pe ra m
La
Se g
yu
1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 ar
Kadar Vanillin (% bk)
(kadar air vanili rata-rata 30,05%) kadar vanillin mengalami menjadi 0,96% bk.
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 37 Perubahan kadar vanillin metode Balitro II. Jika
pengeringan
pengeringan termodifikasi
metode
Balitro
tersebut
dibandingkan
dengan
metode oven, terlihat bahwa pola kenaikan kadar
vanillin metode Balitro lebih lambat daripada metode termodifikasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Rahayu 2006). Kenaikan kadar vanillin metode termodifikasi telah terjadi sejak tahap perendaman dan setelah pemeraman kadar vanillin telah mencapai 1,1%, lebih tinggi dibandingkan metode Balitro
87
(0,47%). Kadar vanillin tertinggi metode termodifikasi dicapai pada pengeringan kedua hari pertama (1,58%), sedangkan pada metode Balitro kadar vanillin tertinggi dicapai setelah pengeringan kedua hari ke-5 (1,49%). Demikian halnya dengan vanili kering akhir yang diperoleh, kadar vanillin metode termodifikasi (1,40%) lebih tinggi daripada metode Balitro (0,96%). Hal ini membuktikan bahwa pemberian aktivator enzim dapat lebih menyempurnakan hidrolisis senyawa glukosida menjadi vanillin. Gula Pereduksi Gambar 38 memperlihatkan hasil analisis gula pereduksi metode Balitro. Secara keseluruhan pola pembentukan gula pereduksi sejalan dengan kadar vanillin yang dihasilkannya. Gula pereduksi tertinggi dihasilkan pada pengeringan kedua hari ke-5 yaitu sebesar 7,33% sama dengan titik dihasilkannya kadar vanillin tertinggi. Gula pereduksi ekstrak vanili kering akhir adalah 5,35%, lebih
Kadar Gula Pereduksi (% bk)
rendah dari gula pereduksi pengeringan termodifikasi. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
g Se
ar
La
yu
m ra Pe
Ke
g rin
I -1 Ke
g rin
I -5 ri Ke
I ng
I-1 ri Ke
I ng
I-5 ri Ke
I ng
0 I-1
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 38 Perubahan kadar gula pereduksi metode Balitro II. pH dan Total Asam Nilai pH dan total asam metode Balitro disajikan dalam Gambar 39 dan 40. Nilai pH metode Balitro II berbeda dengan pengolahan modifikasi. Pada pengolahan Balitro ini, nilai pH hingga tahap pemeraman lebih tinggi dibanding pH buah segar, baru setelah pengeringan pertama hari pertama nilai pH berangsur-
88
angsur menjadi lebih rendah hingga pada pengeringan kedua hari pertama. Setelah itu pH meningkat kembali hingga mencapai 5,19 pada akhir proses. 5,8 5,6
pH rata-rata
5,4 5,2 5 4,8 4,6
II -1 0
II -5
K er in
g
g K er in
II -1 g K er in
I5 g K er in
I1 g K er in
Pe ra m
La yu
Se g
ar
4,4
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 39 Perubahan pH vanili metode Balitro II. Penurunan nilai pH pengolahan Balitro terjadi setelah pengeringan pertama, sedangkan pada pengolahan modifikasi, penurunan pH telah terjadi setelah tahap perendaman dan pemeraman. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan asam pada metode termodifikasi lebih cepat dibandingkan metode Balitro. Nilai pH terendah yaitu 5,07 dicapai pada pengeringan kedua hari pertama, sedangkan pH tertinggi yaitu 5,60 dicapai pada tahap pemeraman. Secara keseluruhan, nilai pH pengolahan Balitro lebih tinggi dibandingkan metode termodifikasi (metode oven) yang mempunyai kisaran pH 4,63 hingga 5,40. Lebih tingginya nilai pH pengolahan Balitro ini menunjukkan bahwa jumlah asam yang terbentuk dari pengolahan Balitro lebih sedikit daripada metode termodifikasi. Adapun nilai total asam sesuai dengan nilai pH-nya. Total asam pengolahan metode Balitro berkisar antara 12,2 hingga 29,37 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan. Pada awal proses dimana nilai pH meningkat, nilai total asam lebih rendah dari buah segar hingga tahap pemeraman (12,20 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan), setelah itu total asam meningkat hingga mencapai nilai tertinggi pada pengeringan kedua hari pertama (29,37 ml NaOH 0,1 N/100 g bahan). Di tahap akhir curing dicapai nilai total asam sebesar 28,54 ml NaOH 0.1 N/100 g bahan.
89
Nilai ini hampir sama dengan total asam vanili kering hasil pengeringan termodifikasi. Total Asam (ml NaOH 0.1 N/100 g bahan)
35 30 25 20 15 10 5 0 g Se
ar
yu La
m ra Pe
rin Ke
gI
-1 rin Ke
gI
-5 rin Ke
gI
I-1 rin Ke
gI
I-5 ri Ke
I ng
0 I-1
Tahap Pengolahan Vanili
Gambar 40 Perubahan total asam vanili metode Balitro II. Peningkatan nilai total asam setelah pengeringan pertama hari pertama menunjukkan bahwa pembentukan asam hasil penguraian vanillin maupun senyawa fenolik lainnya telah terjadi. Dilihat dari pola pembentukan asam yang terjadi, peningkatan total asam metode Balitro lebih lambat dari peningkatan total asam metode termodifikasi, dimana pada pengolahan termodifikasi nilai total asam telah mengalami peningkatan setelah tahap perendaman. Penampakan vanili kering hasil pengolahan menggunakan metode Balitro II dapat dilihat pada Gambar 41.
Gambar 41 Penampakan vanili kering metode Balitro II.
90
Perbandingan Antar Metode Pengeringan Dari keseluruhan hasil proses curing di atas, jika dibuat suatu perbandingan,
metode
pengeringan
termodifikasi
menggunakan
oven
menghasilkan kadar vanillin tertinggi, lebih tinggi pula daripada metode Balitro II. Perbandingan secara keseluruhan antar metode pengeringan terhadap karakteristik fisik dan kimiawi vanili kering yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11 dan 12. Tabel 11 Perbandingan kandungan kimiawi vanili termodifikasi dan standar. Metode Pengeringan Modifikasi (Absorpsi) Modifikasi (Microwave) Modifikasi (oven) Standar (Balitro II) SNI
Kadar vanillin (% bk)
Kadar Gula Pereduksi (% bk)
pH
Total asam (ml NaOH 0,1 N/100 g)
0,82±0,241 bc
2,84±0,224 b
5,88±0,007 a
18,42±0 b
0,49±0,001 c
4,84±0,69 b
5,27±0,007 b
28,53±2,3 a
1,40±0,043 a 0,96±0,280 b 1,0-2,25
8,57±1,39 a 5,35±0,01 ab -
5,05±0,007 c 5,19±0 d -
28,58±0 a 28,54±0 a -
Keterangan: Nilai pada tiap kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata satu sama lain pada α = 0,05
Tabel 12 Perbandingan karakteristik fisik vanili termodifikasi dan standar Metode Pengeringan
Bau khas vanili
Modifikasi (Absorpsi)
Kurang tajam
Modifikasi (Microwave) Modifikasi (oven)
Kurang tajam Tajam
Standar (Balitro II)
Tajam
SNI
Wangi khas vanili
Warna Hitam, terdapat warna putih di beberapa bagian untuk beberapa polong Hitam kecoklatan
Keadaan polong Berisi, berminyak, kaku
tidak agak
Berisi, berminyak, agak kaku Hitam kecoklatan Berisi, berminyak, lentur Hitam kecoklatan Berisi, berminyak, lentur Hitam mengkilat, Penuh berisi s/d hitam kecoklatan kurang berisi, mengkilat sampai berminyak, lentur coklat s/d kaku
Kadar vanillin sebagai parameter utama untuk menilai mutu vanili pada proses curing termodifikasi berkisar antara 0,49 hingga 1,40% bk. Dalam hal ini pengeringan secara absorpsi maupun pengeringan microwave belum dapat
91
mempertahankan kadar vanillin hingga akhir proses curing. Kadar vanillin tertinggi dicapai oleh proses curing termodifikasi menggunakan oven, yaitu sebesar 1,40% bk. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12a), metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar vanillin dan berdasarkan uji lanjut Duncan, kadar vanillin hasil pengeringan termodifikasi menggunakan oven mencapai nilai tertinggi dan memiliki pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kadar gula pereduksi vanili termodifikasi berkisar antara 2,84 hingga 8,57% bk, sedangkan vanili hasil metode pengeringan standar adalah 5,35% bk. Nilai gula pereduksi tertinggi dicapai oleh vanili termodifikasi hasil pengeringan menggunakan oven, yaitu 8,57% bk. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, metode pengeringan termodifikasi menggunakan oven berbeda nyata dengan pengeringan menggunakan pengering absorpsi dan microwave oven, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan metode pengeringan standar. Total asam vanili termodifikasi hasil pengeringan menggunakan oven memiliki nilai yang relatif sama dengan hasil pengeringan microwave dan Balitro II, akan tetapi lebih tinggi daripada hasil pengeringan absorpsi. FDA mempersyaratkan nilai total asam dari ekstrak vanili adalah 30-52 ml NaOH 0,1 N/100 ml ekstrak. Nilai total asam yang diperoleh pada penelitian ini sedikit lebih rendah dari nilai yang dipersyaratkan FDA. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12g), metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap total asam. Berdasarkan
uji
lanjut Duncan
diketahui bahwa
metode termodifikasi
menggunakan microwave dan oven tidak berbeda nyata dengan metode Balitro dan ketiga metode tersebut berbeda nyata dengan pengeringan absorpsi. Adapun hasil analisis sidik ragam terhadap nilai pH menunjukkan bahwa metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai pH. Melalui uji lanjut Duncan diketahui bahwa masing-masing metode pengeringan berbeda nyata satu sama lain. Berdasarkan SNI 01-0010-2002, kadar abu menjadi salah satu persyaratan dalam menilai kualitas vanili kering. Oleh karena itu analisis kadar abu dilakukan
92
pula pada penelitian ini. Nilai kadar abu vanili hasil pengeringan termodifikasi menggunakan oven adalah 6,38%, hasil pengeringan absorpsi 5,95%, microwave 5,51% dan untuk pengeringan standar 5,77%. Adapun menurut SNI (2002), kadar abu vanili kering maksimal adalah 10%, dengan demikian nilai kadar abu yang diperoleh dari penelitian ini masuk ke dalam nilai yang dipersyaratkan SNI. Ditinjau dari segi flavor dan penampakan vanili kering yang dihasilkan, vanili hasil pengeringan oven memiliki flavor vanili yang lebih baik, yaitu wangi vanili yang lembut (sweety). Vanili juga mempunyai fleksibilitas yang lebih baik, yaitu lentur tidak kaku serta berwarna hitam kecoklatan hingga hitam mengkilat dan berminyak. Sedangkan ditinjau dari segi warna, vanili kering hasil seluruh perlakuan telah memenuhi standar yang ditetapkan (SNI) yaitu hitam kecoklatan hingga hitam. Waktu pengeringan untuk menghasilkan vanili kering untuk masingmasing metode pengeringan dapat dilihat pada Tabel 13. Pada pengeringan menggunakan oven pengering, total waktu pengeringan yang diperlukan untuk mencapai kadar air akhir adalah 15-19 hari. Waktu pengeringan menggunakan oven ini relatif lebih cepat daripada yang diperlukan oleh pengering absorpsi (1721 hari), akan tetapi jika dibandingkan dengan microwave, waktu pengeringan menggunakan microwave jauh lebih singkat (5 hari 4 jam). Untuk pengeringan metode Balittro kadar air 30-35% lebih cepat dicapai dibandingkan proses curing termodifikasi. Hal ini diduga akibat tahap pelayuan yang dilakukan, dimana pelayuan metode Balitro dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan metode termodifikasi. Semakin tinggi suhu diterapkan, maka kerusakan sel yang terjadi lebih besar, sebagai akibatnya air yang keluar menjadi lebih banyak dan penurunan kadar air semakin cepat. Untuk mencapai kadar air yang diinginkan, diperlukan waktu 13-16 hari pada pengeringan metode Balitro. Waktu pengeringan absorpsi sebenarnya dapat dipercepat bila digunakan absorben CaO dengan perbandingan yang lebih banyak daripada yang dicobakan pada penelitian ini, akan tetapi hal tersebut tidak dapat menjamin apakah kadar vanillin yang dihasilkan juga menjadi lebih tinggi.
93
Tabel 13 Perbandingan waktu pengeringan vanili termodifikasi dan standar Metode Pengeringan
Lama Pengeringan
Kadar air rata-rata (% bb)
Modifikasi (Absorpsi)
17 – 21 hari
20,04
Modifikasi (Microwave)
5 hari, 4 jam
25,52
Modifikasi (oven)
15 – 19 hari
31,80
Standar (Balitro II)
13 – 16 hari
30,05
Pengujian Ekstrak Vanili Hasil Perlakuan Terbaik dengan HPLC Hasil uji kadar vanillin menggunakan spektrofotometer menunjukkan bahwa vanili kering hasil proses curing termodifikasi (pengeringan menggunakan oven pengering) mempunyai kadar vanillin tertinggi (rata-rata 1,40% b.k). Kadar vanillin metode tersebut juga lebih tinggi dibandingkan kadar vanillin metode standar, yaitu metode Balitro II. Untuk lebih menguatkan hasil tersebut, pada penelitian ini dilakukan uji kadar vanillin menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Pada pengujian menggunakan spektrofotometer, kadar vanillin diukur pada panjang gelombang 480 nm. Dikhawatirkan pada panjang gelombang tersebut terdapat komponen-komponen lain yang ikut terbaca pada panjang gelombang 480 nm. Sedangkan HPLC merupakan metode pengujian yang lebih akurat, sehingga dapat menunjukkan hasil yang sebenarnya. Pengujian hanya dilakukan pada ekstrak vanili hasil proses termodifikasi terbaik dan metode standar. Vanili kering terlebih dahulu diekstrak menggunakan etanol 60% dengan perbandingan vanili : pelarut = 1 : 3. Ekstraksi dilakukan selama 48 jam. Sebagai standar pada pengujian, digunakan vanillin standar dengan konsentrasi 1,2 g/l. Dari hasil pengujian, ekstrak vanili termodifikasi menghasilkan kadar vanillin 1,43 g/l, sedangkan ekstrak vanili metode Balitro mempunyai konsentrasi 0,78 g/l. Ekstrak vanili hasil pengeringan termodifikasi lebih tinggi daripada hasil pengeringan metode standar, dengan demikian hasil ini sejalan dengan hasil pengujian
menggunakan
spektrofotometer.
Kromatogram
ekstrak
vanili
termodifikasi dan standar disajikan pada Gambar 42 dan 43. Vanillin terdeteksi pada waktu retensi sekitar 17 menit. Terdapat beberapa peak yang muncul selain vanillin, akan tetapi tidak diketahui dengan pasti jenis
94
senyawa dari peak-peak tersebut, dikarenakan pada penelitian ini hanya disuntikkan vanillin sebagai standar. Ekstrak vanili hasil metode Balitro II mempunyai peak lebih banyak, dan peak ini muncul pada waktu retensi sebelum vanillin. Ditemukan sebanyak 10 peak selain vanillin untuk ekstrak vanili metode Balitro II, sementara untuk ekstrak vanili termodifikasi ditemukan sebanyak 9 peak selain vanillin. Peak-peak yang muncul pada kromatogram ekstrak vanili termodifikasi sebagian besar mempunyai luas area yang lebih besar dibanding ekstrak metode Balitro II, dimana dari 9 peak yang muncul pada waktu retensi hampir sama, 6 peak yang muncul pada kromatogram vanili termodifikasi mempunyai luas area yang lebih tinggi dibanding ekstrak vanili standar.
Gambar 42 Kromatogram ekstrak vanili metode termodifikasi.
Gambar 43 Kromatogram ekstrak vanili metode standar (Balitro II).
95