HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa panjang siklus berahi berkisar antara 4 - 5 hari, terdiri atas periode proestrus selama 12 jam, periode estrus selama 12 jam, periode metestrus selama 21 jam, dan periode diestrus selama 57 jam (Baker et al. 1980). Pada penelitian ini, rataan panjang periode siklus berahi tikus disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol Periode Hasil Pengamatan (Jam) Proestrus
Estrus
Metestrus
Diestrus
Panjang Siklus Berahi
18 ± 4,52 14 ± 4,52
20 ± 6,20 14 ± 2,45
20 ± 3,10a 24 ± 0b
64 ± 7,35 70 ± 7,35
122 ± 5,29 122 ± 3,58
16 ± 3,10 14 ± 3,10
24 ± 3,79b 14 ± 3,29a
20 ± 3,10 22 ± 4,90
60 ± 4,52a 70 ± 4,52b
120 ± 3,63 120 ± 3,95
14 ± 3,10 12 ± 3,10
16 ± 3,29 14 ± 3,29
28 ± 3,10b 24 ± 0a
64 ± 5,02 68 ± 3,29
122 ± 3,63 118 ± 2,42
12 ± 0 12 ± 0
16 ± 3,10 14 ± 3,10
26 ± 3,10 28 ± 3,29
64 ± 5,90 68 ± 4,52
118 ± 3,03 122 ± 2,73
Perlakuan Proestrus Dicekok Kontrol Estrus Dicekok Kontrol Metestrus Dicekok Kontrol Diestrus Dicekok Kontrol
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode proestrus dan estrus cenderung mempunyai pola rataan waktu periode proestrus dan estrus lebih panjang bila dibandingkan kontrol. Periode estrus pada tikus yang dicekok saat estrus menunjukkan waktu yang lebih panjang secara nyata (P<0,05). Semakin panjang periode estrus dibandingkan dengan kontrol maka proses kawin antara jantan dan betina menjadi lebih lama. Dengan adanya kondisi tersebut, terjadinya proses fertilisasi menjadi lebih besar kemungkinannya. Secara umum pada tikus yang dicekok pada saat periode proestrus dan estrus justru terjadi pemendekan waktu periode metestrus dan diestrus bila dibandingkan dengan periode kontrolnya. Pola yang sama ditunjukkan oleh tikus yang dicekok pada periode metestrus dan diestrus yaitu terjadi kecenderungan pemanjangan waktu periode proestrus dan estrus kecuali pada tikus yang dicekok periode diestrus, mempunyai panjang periode proestrus yang sama dengan kelompok kontrol. Tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode metestrus dan diestrus juga mempunyai nilai rataan periode lebih pendek pada periode metestrus dan diestrusnya bila dibandingkan dengan periode kontrolnya kecuali pada
periode metestrus yang menunjukkan perpanjangan waktu periode metestrus bila dibandingkan dengan kontrolnya (P<0,05). Pada tabel ini juga tampak
bahwa
nilai
panjangnya periode yang paling tinggi muncul pada pengamatan periode ketika pencekokkan dilakukan pada periode tersebut. Panjang periode proestrus yang paling tinggi terjadi pada kelompok tikus yang dicekok pada periode proestrus, demikian juga panjang periode estrus yang paling tinggi terjadi pada kelompok tikus yang dicekok pada periode estrus. Hal ini juga terjadi pada kelompok metestrus dan diestrus. Panjang siklus berahi pada tikus yang dicekok purwoceng pada setiap periode yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan dengan tikus kelompok kontrol (P<0,05). Efek pemberian herbal lain seperti triptolide yang diisolasi dari tanaman Triptergium wilfordii pada tikus betina galur Sprague-Dawley dengan dosis 200 μg/kg dan 400 μg/kg menyebabkan meningkatnya kadar hormon gonadotropin (Folicle Stimulating Hormone dan Luteinizing Hormone), siklus estrus bertambah panjang, bobot uterus dan ovarium secara signifikan menjadi turun (Jing et al. 2011). Pemberian ekstrak metanol daun Aspilia africana pada tikus betina galur Wistar dengan berbagai dosis menyebabkan siklus estrus menjadi lebih pendek secara signifikan (Kayode et al. 2007). Periode proestrus dan estrus adalah periode siklus berahi yang terjadi saat terjadi fase folikular pada ovarium. Pada fase folikular ini terjadi perkembangan folikel de Graf di bawah pengaruh gonadotropin (FSH dan LH) yang akan siap diovulasikan. Perkembangan folikel ini melibatkan 2 sel yang berada didalamnya yaitu sel granulosa dan sel teka yang berkembang. Sel granulosa akan berkembang dibawah pengaruh Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan sel teka akan berkembang dibawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH). Sel teka yang berkembang ini mensintesis androgen yaitu testosteron dari asetat dan kolesterol, sedangkan sel granulosa tidak mensintesis testosteron tetapi mendapatkan asupan testosteron dari sel teka yang pada akhirnya testosteron ini akan diaromatisasi oleh enzim aromatase yang ada pada sel granulosa menjadi estrogen. Berdasarkan hasil uji Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif adalah sebagai berikut: alkaloid (+++), tanin (+), flavonoid (+++),
triterfenoid (+), steroid (+), glikosida (+)
sedangkan saponin (-) dan fenolik (-). Purwoceng mengandung steroid dengan hasil positif lemah (+), alkaloid dan flavonoid dengan hasil positif kuat (+++). Alkaloid dan flavonoid termasuk kedalam golongan fitoestrogen yang kerjanya sangat mirip dengan
estrogen.
Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman antara lain yaitu isoflavon, flavon, lignan, coumestans, tripterpene glycosides, acyclics, dan masih banyak lagi (Anonim 2004). Berdasarkan berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa
fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid/lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor/kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pemberian
purwoceng pada tikus putih
jantan galur Sprague Dawley dapat meningkatkan kadar LH dan kadar testosteron pada tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999). Perpanjangan periode proestrus dan estrus yang terjadi pada tikus yang dicekok pada periode tersebut juga diduga adalah karena pada tikus betina juga terjadi peningkatan testosteron sehingga juga memicu peningkatan estrogen. Kemungkinan yang terjadi adalah bahan aktif pada purwoceng dapat menduduki reseptor yang sama dengan reseptor yang dimiliki oleh LH pada sel teka dan atau reseptor testosteron pada sel granulosa. Reseptor dari hormon estrogen terdapat di dalam sitoplasma sel dan tenunan tujuan dari organ uterus, hipofisa pars anterior, kelenjar ambing, dan tenunantenunan organ reproduksi lainnya pada hean jantan maupun betina.
Setelah mengalami
rangsangan akan terjadi proses translokasi ke dalam inti sel (Soewondo 1990).
Estrogen
mempunyai 2 jenis reseptor yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal sedangkan reseptor beta terdapat pada organ ovarium. Untuk organ uterus yang berperan adalah RE α sedangkan organ ovarium yang berperan REβ. Estrogen merupakan hormon steroid, yang sangat penting untuk sistem reproduksi betina dan akan berikatan dengan reseptor alfa dengan target organ pada sistem reproduksi (Barnes dan Kim 1998). Estrogen merupakan molekul kecil yang bersifat hidrofobik sehingga dapat berdifusi ke dalam sel dan pada sel target estrogen akan mengikat protein reseptor yang ada di dalam sitoplasma atau inti (Pineda 1989). Menurut Tsourounis (2004) fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen alfa. Sementara itu reseptor estrogen beta target organnya adalah pada ovarium, tulang, jantung,hati, otak, dan kandung kemih (Barnes dan Kim 1998). Di dalam uterus lebih banyak mengandung reseptor estrogen alfa daripada reseptor estrogen beta sehingga reseptor estrogen alfa lebih berperan pada saat berikatan dengan 17β estradiol. Periode metestrus dan diestrus adalah periode yang terjadi saat fase luteal pada ovarium. Fase luteal
merupakan
fase yang didominasi sekresi
progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum, sehingga pemberian purwoceng memberikan pengaruh pada fase ini.
tidak
Perubahan Panjang Siklus Berahi Setelah Pencekokan Dihentikan Pengamatan terhadap panjang periode siklus berahi tikus dilanjutkan sampai dengan 15 hari setelah sebelumnya dicekok purwoceng selama 10 hari
untuk melihat proses
perubahan siklus kembali ke siklus normal seperti sebelum dilakukan pencekokan. Tabel 2. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya setelah pencekokan purwoceng dihentikan Periode Hasil Pengamatan (Jam) Perlakuan Proestrus
Estrus
Metestrus
Diestrus
Panjang Siklus Berahi
Proestrus Dicekok 12 ± 0 16 ± 6,93 20 ± 3,46a 58 ± 6,93 106 ± 4,33a b Kontrol 12 ± 0 12 ± 3,10 68 ± 3,46 116 ± 1,64b 24 ± 0 Estrus Dicekok 12 ± 0 20 ± 3,46 18 ± 0 56 ± 3,46a 106 ± 1,93a b Kontrol 12 ± 0 16 ± 3,46 22 ± 6,93 120 ± 4,33b 70 ± 6,93 Metestrus Dicekok 12 ± 0 14 ± 3,46 26 ± 3,46 56 ± 6,93a 108 ± 3,46a b Kontrol 12 ± 0 12 ± 0 24 ± 0 118 ± 0,9b 70 ± 3,46 Diestrus Dicekok 12 ± 0 14 ± 3,46 22 ± 3,46 60 ± 0 108 ± 1,73a Kontrol 12 ± 0 12 ± 0 26 ± 3,46 66 ± 6 110 ± 0,87b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Tabel 2 adalah pengamatan terhadap panjang masing-masing periode siklus berahi pada tikus yang sudah tidak dilakukan pencekokan lagi setelah pencekokan selama 10 hari. Secara umum kelompok tikus yang yang dicekok purwoceng pada berbagai periode, panjang periode proestrus dan estrusnya sudah menunjukkan pemulihan waktu siklus berahinya segera setelah dihentikan pemberian purwoceng. Tikus yang sebelumnya dicekok purwoceng pada saat proestrus, periode metestrusnya masih lebih pendek dari periode metestrus pada tikus kontrol dan pada tikus yang sebelumnya dicekok
pada periode estrus dan metestrus, periode
diestrusnya juga masih lebih pendek dari tikus kontrol. Hal ini menyebabkan panjang siklus berahi masih berbeda antara tikus yang dicekok purwoceng dan tikus kontrol. Bobot Uterus dan Ovarium Bobot uterus dan ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode yang berbeda dalam dua siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rataan bobot uterus dan ovarium pada berbagai pencekokan siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus) Bobot (g)
Periode Proestrus
Estrus
Metestrus
Diestrus
0,33 ± 0,04
0,33 ± 0,03b
0,32 ± 0,06
0,28 ±0,01
0,28 ±0,01
a
0,28 ±0,01
0,28 ± 0,01
0,28 ±0,01
Dicekok
0,10 ± 0,01
0,12 ± 0,01b
0,08 ± 0,01
0,10 ±0,02
Kontrol
0,09 ± 0,01
0,08 ± 0,01a
0,08 ± 0,01
0,09 ± 0,01
Uterus Dicekok Kontrol Ovarium
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Secara umum bobot uterus dan bobot ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode proestrus, metestrus, dan diestrus dengan bobot pada tikus kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi bobot uterus dan ovarium
pada tikus yang
dicekok pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05) bila dibandingkan dengan bobot uterus dan ovarium pada tikus kontrol. Sesuai dengan fase estrus yang semakin panjang bila mendapatkan asupan purwoceng maka dugaan bahwa terjadinya peningkatan estrogen juga akan berdampak pada peningkatan bobot uterus dan ovarium. Estrogen
merupakan
hormon yang dapat menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt
1984).
Namun demikian tidak ditemukan adanya perbedaan bobot uterus pada setiap periode pada tikus yang dicekok purwoceng walaupun estradiol dapat ditemukan pada konsentrasi yang tinggi saat periode estrus. Hasil penelitian Astuti (1999) membuktikan bahwa fitoestrogen dalam ransum tepung kedelai dan tepung tempe mempunyai efek uterotropik (meningkatkan bobot uterus) karena isoflavon dengan aktivitas estrogen menyebabkan produksi estrogen meningkat dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Peningkatan kadar estrogen yang tinggi berdampak pada peningkatan bobot uterus dan ovarium. Selain itu tingginya alkaloid dan flavonoid menyebabkan makin panjangnya periode estrus. Purwoceng dengan kandungan alkaloid dan flavonoid yang cukup tinggi (3+) diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan dalam menanggulangi kasus-kasus reproduksi seperti dalam penelitian ini. Namun pemberiannya harus dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat periode estrus. Periode estrus ini merupakan periode dengan
kadar estrogen yang paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Tingginya estrogen ini ditambah dengan fitoestrogen yang ditambahkan dari luar seperti dari purwoceng akan memberikan efek yang signifikan. Pemberian purwoceng yang diduga mempunyai efek estrogenik dari kandungan flavonoidnya mampu meningkatkan bobot uterus secara signifikan ketika pemberian tersebut dilakukan pada periode estrus.
Flavonoid
mempunyai efek estrogenik yaitu dapat bekerja seperti estrogen dengan cara menduduki reseptor estrogen. Pada uterus, estrogen akan menduduki reseptor estrogen alfa (Barnes dan Kim 1998).
Uterus adalah organ reproduksi wanita yang akan
menjadi tempat berkembangnya embrio kemudian fetus. Penambahan bobot uterus memberikan makna bahwa kemungkinan terjadinya proliferasi sel-sel pada uterus. Rangsangan terjadinya proliferasi ini dapat terjadi bila ada peran estrogen yang terlibat di dalamnya. Estrogen diketahui dapat merangsang proliferasi sel (Guyton dan Hall 1997; Hafez 2000). Fungsi estrogen pada organ vagina juga dapat menyebabkan proliferasi dan kornifikasi epitel (Guyton dan Hall 1997). Pertumbuhan dan perkembangan uterus yang baik diharapkan dapat memberikan lingkungan yang lebih baik bagi embrio atau fetus untuk berkembang. Fetus yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik juga akan menghasilkan anak-anak yang dilahirkan berkualitas baik. Pada akhirnya anak-anak tersebut diharapkan akan memiliki daya tahan hidup yang lebih baik. Pemberian purwoceng dengan dosis yang tepat dan saat yang tepat diharapkan mempu menjadi alternatif untuk mendapatkan kinerja reproduksi yang lebih baik dengan cara berkesinambungan.