3
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Cendawan Endofit terhadap Gejala dan Titer ChiVMV pada Tanaman Cabai Tanaman cabai varietas TM88 yang terinfeksi ChiVMV menunjukkan gejala yang ringan yaitu hanya terdapat mosaik pada permukaan daun dan tidak merubah bentuk daun. Umumnya gejala muncul pada 10 hari setelah inokulasi (HSI) dan terus berkembang sejalan dengan pertumbuhan tanaman. Gejala infeksi ChiVMV yang lebih parah dilaporkan oleh Siriwong et al. (1995), Wang et al. (2006), dan Asniwita et al. (2012) yaitu daun cabai menjadi kecil, belang hijau gelap, dan malformasi daun. Gejala infeksi virus dapat beragam mulai dari jenis gejala ringan sampai berat, diantaranya dipengaruhi oleh kultivar tanaman. Kultivar cabai yang tahan atau toleran, umumnya hanya menunjukan gejala mosaik atau belang yang ringan atau tidak bergejala, sedangkan kultivar yang rentan akan menunjukan gejala mosaik berat sampai terjadi malformasi daun (Sulyo dan Duriat 1996). Menurut Agrios (2005) keparahan gejala yang disebabkan oleh infeksi virus tergantung oleh beberapa hal diantaranya yaitu umur tanaman ketika terjadi infeksi virus, lingkungan yang mendukung terhadap perkembangan virus, virulensi dari virus yang menyerang tanaman tersebut, serta keberadaan serangga sebagai agen pembawa virus. Perlakuan cendawan endofit isolat H1, H5, dan H12 pada tanaman cabai sebelum inokulasi ChiVMV ternyata dapat menimbulkan keragaman respon tanaman terhadap infeksi ChiVMV. Respon tanaman yang muncul dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu tidak menunjukkan gejala, gejala ringan, dan gejala berat (Gambar 1). Tanaman yang tidak bergejala memiliki bentuk, warna dan memiliki ukuran daun yang sama dengan tanaman sehat. Tanaman cabai dengan gejala ringan memiliki bentuk daun normal, pada permukaan daun terdapat warna hijau yang tidak merata atau berwarna lebih tua tapi hanya sedikit muncul di permukaan daun. Tanaman cabai yang bergejala berat mengalami perubahan bentuk daun (malformasi), pertulangan daun menebal, terdapat bercakbercak hijau lebih tua dari pada warna aslinya, ukuran daun mengecil dan permukaan daun tidak rata atau bergelombang.
A
B
C
Gambar 1 Respon tanaman cabai varietas TM88 terhadap infeksi ChiVMV. (A) tidak menunjukkan gejala, (B) gejala ringan, (C) gejala berat.
8
3
Rata-rata masa inkubasi ChiVMV pada tanaman cabai yang diberi perlakuan cendawan endofit sebelum inokulasi virus adalah 4 hari. Masa inkubasi tersebut tergolong singkat dan tidak berbeda dengan masa inkubasi ChiVMV pada tanaman kontrol (tanpa perlakuan cendawan endofit). Terjadinya masa inkubasi yang singkat dapat disebabkan oleh faktor tingkat virulensi virus yang tinggi (Goodman et al. 1986). Opriana (2009) melaporkan, bahwa ChiVMV isolat Cikabayan dapat digolongkan sebagai isolat yang virulen. Beberapa varietas cabai telah dievaluasi sifat ketahanannya terhadap ChiVMV Cikabayan yaitu varietas Jatilaba, Helem, Keriting Bogor, Tit Super, Beauty Bell, Gelora, dan IPBC Tanjung dapat digolongkan varietas yang rentan, karena kejadian penyakitnya berkisar 68-10%. Untuk varietas VC246, PBC496, Keriting Sumatera dapat digolongkan sebagai varietas yang tahan, karena kejadian penyakitnya hanya berkisar 12-20% (Opriana 2009). Varietas cabai TM88 belum pernah diuji sifat ketahanannya terhadap ChiVMV, sehingga hasil penelitian ini memberikan informasi yang baru mengenai respon varietas TM88 terhadap ChiVMV. Berdasarkan pengukuran nilai absorbansi ELISA, terdapat perbedaan antara tanaman yang menunjukkan gejala ringan atau berat (Tabel 1). Nilai absorbansi ELISA tanaman tidak bergejala menunjukkan reaksi negatif, kecuali perlakuan cendawan endofit isolat H5. Nilai absorbansi ELISA tanaman yang bergejala ringan tidak jauh berbeda dengan tanaman yang bergejala berat, dan disimpulkan tanaman-tanaman tersebut positif terinfeksi ChiVMV. Bila dibandingkan, nilai absorbansi ELISA tanaman-tanaman yang diberi perlakuan cendawan endofit cenderung lebih rendah daripada tanaman-tanaman yang tidak diberi perlakuan cendawan endofit. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa perlakuan cendawan endofit dapat menekan perkembangan ChiVMV dalam jaringan tanaman, terutama cendawan endofit isolat H5. Kejanggalan terjadi untuk pengukuran nilai absorbansi ELISA dimana tanaman tidak bergejala tetapi memberikan reaksi positif ELISA. Hal tersebut diduga disebabkan kondisi lingkungan seperti suhu dan cahaya yang tidak sesuai membuat suatu gejala menjadi tidak muncul atau gejala terselubung (masking symptom) (Semangun 1991). Lebih lanjut Zitter (1984) menjelaskan bahwa gejala masking muncul disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi. Menurut Agrios (2005) gejala masking muncul disebabkan oleh kondisi suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kejadian penyakit akibat infeksi ChiVMV bervariasi pada setiap perlakuan cendawan endofit. Penghitungan kejadian penyakit ChiVMV dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan gejala yang muncul dan pengukuran hasil ELISA. Berdasarkan gejala yang muncul, kejadian penyakit tertinggi (97%) tercatat pada perlakuan tanpa cendawan endofit, dilanjutkan perlakuan cendawan endofit isolat H12 (96%) dan sendawan endofit isolat H1 dan H5 (86%). Berdasarkan hasil ELISA, nilai kejadian penyakit tertinggi tercatat pada perlakuan tanpa cendawan endofit dan cendawan endofit isolat H12 (86%), dilanjutkan perlakuan cendawan endofit isolat H1 dan H5 (78%). Nilai kejadian penyakit berdasarkan gejala cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ELISA (Tabel 2). Hal tersebut terjadi karena setiap tanaman yang menghasilkan gejala tidak selalu mengandung titer virus ChiVMV dalam jumlah yang tinggi, tetapi memunculkan ekpresi gejala yang parah. Oleh karena itu pengujian secara serologi perlu dilakukan dan sangat dianjurkan agar kepastian adanya infeksi virus (ChiVMV) benar-benar akurat dan pasti.
93 Taufik (2005) melaporkan infeksi ganda antara ChiVMV dan CMV pada tanaman cabai di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Menurut Subekti (2005) infeksi ganda antara ChiVMV dan CMV akan menyebabkan konsentrasi ChiVMV didalam tanaman cenderung lebih tinggi, dari pada infeksi ChiVMV secara tunggal. Berdasarkan pengukuran kejadian penyakit dapat disimpulkan bahwa jumlah tanaman bergejala lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah tanaman terinfeksi (Tabel 2). Hal tersebut dapat terjadi karena gejala mosaik yang dihasilkan oleh virus tidak hanya disebabkan oleh ChiVMV saja tetapi ada beberapa virus lain yang menyebabkan munculnya gejala mosaik pada tanaman uji. Beberapa virus penyebab mosaik diantaranya CMV dan TMV (Habazar dan Hidrayani 2005), selain itu ada beberapa anggota potyvirus penyebab gejala mosaik pada cabai diantaranya yaitu PVY, Tobacco etch virus (TEV), Pepper mottle virus (PMV), Pepper veinal mottle virus (PvMV) (Narayanasamy 2011). Bastian (2008) melaporkan ChiVMV sering ditemukan bersama dengan CMV dalam menginfeksi cabai dari pada keberadaan virus lain. Perlakuan cendawan endofit tidak berpengaruh terhadap perkembangan penyakit ChiVMV, dikarenakan cendawan endofit tidak dapat menekan perkembangan serangan ChiVMV. Perlakuan tanpa cendawan endofit dan perlaku Tabel 1 Rata-rata nilai absorbansi hasil ELISA pada tanaman cabai dengan perlakuan cendawan endofit berdasarkan jenis gejala infeksi ChiVMV Perlakuan Cendawan Endofit H1 H5 H12 Tanpa cendawan endofit
Tidak Bergejala
Jenis Gejala Gejala Ringan
Gejala Berat
0.322 2.612 0.212 0.451
1.517 0.99 1.519 1.745
1.01 0.539 1.447 1.672
Nilai absorbansi ELISA ≥ 0.501 menunjukan reaksi positif terhadap antiserum ChiVMV Nilai absorbansi kontrol negatif = 0.255
Tabel 2 Kejadian penyakit belang pada tanaman cabai dengan perlakuan cendawan endofit Perlakuan
Kejadian Penyakit ᵃ (%)
Jumlah Tanaman Terinfeksi ChiVMV ᵇ (%)
H1
86
78
H5
86
78
H12
96
86
Tanpa cendawan endofit
97
86
a) b)
Kejadian penyakit ditentukan berdasarkan gejala muncul. Jumlah tanaman terinfeksi ditentukan berdasarkan hasil ELISA.
10
3
an dengan cendawan endofit menghasilkan nilai persentase kejadian penyakit yang sangat besar (Tabel 2). Pengaruh Perlakuan Cendawan Endofit terhadap Tinggi dan Pertumbuhan Akar Tanaman Cabai. Respon pertumbuhan tinggi tanaman cabai varietas TM88 untuk setiap perlakuan berbeda-beda baik yang menggunakan perlakuan cendawan endofit yaitu H1, H5, dan H12 maupun yang tidak menggunakan perlakuan cendawan endofit. Perlakuan cendawan endofit sebelum inokulasi ChiVMV menyebabkan perbedaan pada pertumbuhan tinggi tanaman yaitu pada perlakuan cendawan endofit isolat H5, terutama pada awal pertumbuhan tanaman (Tabel 3). Tanaman yang diinokulasi cendawan endofit isolat H5 tumbuh lebih cepat dibandingkan tanaman yang diinokulasi cendawan endofit isolat H1, H12 atau tanpa perlakuan cendawan endofit. Perlakuan cendawan endofit isolat H5 memberikan pengaruh pada peningkatan tinggi tanaman yaitu dari umur tanaman 1 MST hingga umur tanaman 4 MST, tetapi mulai 5 MST pengaruhnya cenderung berkurang. Perlakuan cendawan endofit isolat H1 dan H12 tidak memberikan pengaruh pada peningkatan tinggi tanaman. Berdasarkan pengukuran tinggi tanaman dapat disimpulkan bahwa diantara tiga isolat cendawan endofit yang diuji hanya isolat H5 yang memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap perkembangan tinggi tanaman. Setelah dilakukan pengujian dengan statistika disimpulkan bahwa perlakuan cendawan endofit berbeda nyata dengan ketiga perlakuan yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan cendawan endofit H5 dapat mempercepat pertumbuhan tinggi tanaman. Peran cendawan endofit bagi pertumbuhan tinggi tanaman sangat penting dan telah banyak para peneliti yang melaporkan bahwa perlakuan cendawan endofit dapat menginduksi pertumbuhan tinggi tanaman. Rik Tabel 3 Perkembangan tinggi tanaman cabai terinfeksi ChiVMV pada perlakuan cendawan endofit Perlakuan
1MST
2MST
3MST
4MST
5MST
6MST
H12
4.78±1.09b
7.23±1.14b
11.46±1.52b
17.89±2.75b
25.99±4.30b
34.12±4.68c
H1
5.17±1.26b
7.53±1.35b
12.06±1.73b
18.26±2.82b
25.63±4.32b
34.38±5.42bc
H5
8.32±1.15a
12.07±1.57a
18.21±2.85a
25.39±4.63a
33.19±7.15a
38.70±9.41a
Tanpa cendawan endofit
4.61±0.95b
7.17±1.11b
12.42±1.40b
20.13±2.41b
30.09±4.83a
38.03±6.28ab
ᵃAngka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%
11 3 mawati (2011) melaporkan Tricoderma sp. IIb1 dan Phoma sp. Ia3 dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman tetapi tidak memberi perbedaan nyata terhadap diameter batang dan jumlah daun. Menurut Khairy (2012) cendawan endofit Nigrospora, Penicillium, dan Acremonium dapat memacu pertumbuhan bibit padi yaitu dengan memacu pertumbuhan bibit, akar bibit dan daya perkecambahan, tetapi perlakuan cendawan endofit tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman dan pengendalian terhadap serangan hama padi di lapang. Walaupun demikian tidak semua cendawan endofit dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan juga tidak semua cendawan endofit yang memiliki spesies yang sama dapat menekan perkembangan penyakit pada penyakit yang berbeda, dan sifat cendawan endofit ini lebih spesifik. Perlakuan cendawan endofit sebelum inokulasi ChiVMV tidak menyebabkan perbedaan terhadap pertumbuhan akar tanaman cabai. Perlakuan tanpa cendawan endofit cenderung menyebabkan pertumbuhan akar yang lebih baik dibandingkan tanaman dengan perlakuan cendawan endofit (Gambar 2). Tanaman yang diberi perlakuan tanpa cendawan endofit memiliki pertumbuhan rambut-rambut akar yang sangat banyak dan melebar. Sementara tanaman yang diberi perlakuan cendawan endofit (H1, H5, dan H12) memiliki perkembangan akar yang sangat buruk, ditandai dengan hanya memilki sedikit rambut-rambut akar dan ukurannya sangat pendek. Cendawan endofit yang diberikan ke tanaman uji tampaknya tidak memberi pengaruh sebagai penginduksi pertumbuhan akar.
A
B
C
D
Gambar 2 Pertumbuhan akar tanaman cabai terinfeksi ChiVMV dengan perlakuan cendawan endofit. Tanpa perlakuan cendawan endofit (A), cendawan endofit H1 (B), cendawan endofit H5 (C), cendawan endofit H12 (D).
12
3
Hasil pengukuran volume akar menunjukkan tidak ada perbedaan antara perlakuan tanpa cendawan endofit dengan perlakuan cendawan endofit (Gambar 3). Volume akar pada tanaman tanpa perlakuan cendawan endofit mencapai nilai tertinggi (2,80 ml), sedangkan volume akar terkecil (1,89 ml) terdapat pada perlakuan cendawan endofit isolat H12. Tanaman dengan perlakuan cendawan endofit isolat H1 dan H5 masing-masing memiliki besar volume akar yaitu 2,64 ml dan 2,09 ml. Setelah dilakukan pengujian secara statistika didapatkan hasil bahwa perlakuan cendawan endofit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa cendawan endofit. Sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan ketiga cendawan endofit yaitu H1, H5, dan H12 tidak dapat merangsang perkembangan akar tanaman cabai varietas TM88. Menurut Istikorini (2008) terdapat beberapa cendawan endofit yang dapat menginduksi perkembangan akar, tinggi tanaman, bobot kering, bobot basah brangkasan, dan menekan kejadian penyakit antraknosa yaitu Acremonium sp RJ3, F. solani CJ1 dan F. oxysporum CB5. Dampak dari penggunaan cendawan endofit tersebut muncul 24 hari setelah inokulasi. Pertumbuhan akar menjadi lebih baik disebabkan oleh keberadaan cendawan endofit yang dapat menyebabkan jumlah rambut akar, percabangan rambut akar dan akar lateral meningkat. Akar lateral dapat memperluas daerah penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga kebutuhan nutrisi lebih cepat, sehingga menyebabkan pertumbuhan akar meningkat (Vasudevan et al. 2002).
Gambar 3 Volume akar tanaman cabai terinfeksi ChiVMV dengan perlakuan cendawan endofit
133 Keefektifan pengendalian hayati sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu pengaruh inang tanaman, faktor abiotik, mikro-iklim, sifat fisik dan kimia permukaan tanaman, lingkungan, dan populasi mikroba. Inang tanaman sangat berpengaruh terhadap keefektifan agens antagonis dalam menekan perkembangan patogen, disebabkan oleh kondisi inang tanaman tertentu yang dapat menyediakan relung lingkungan yang sesuai dan nutrisi yang dibutuhkan oleh agens antagonis yang berasal dari eksudat akar, biji, bunga dan daun tanaman inang, sehingga jika kondisi tersebut terpenuhi maka agens antagonis dapat berkembangbiak dan menekan patogen. Faktor abiotik juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan agens antagonis yaitu faktor suhu, tekanan udara dan kondisi lapang, jika kondisi tersebut sesuai dengan kebutuhan agens antagonis maka perkembangan agens antagonis akan lebih pesat sehingga patogen dapat ditekan perkembangannya. Sifat fisik dan kimia permukaan tanaman juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan agens antagonis yaitu elemen makro dan mikro, gula, gula alkohol, senyawa pektat, asam amino, dan asam organik, jika sifat fisik dan kimia sesuai dengan kondisi agens antagonis maka hal tersebut dapat mempercepat perkembangan agens antagonis dan proses pengendalian pathogen pun dapat terjadi dengan efektif. Populasi mikroba asli juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan agens antagonis, karena pada permukaan tanaman inang mikroba yang hidup sangat banyak dan persaingan untuk berkembang biak dan hidup sangat ketat, jika agens antagonis tidak dapat bertahan hidup maka proses penekanan patogen tidak akan efektif dan patogen akan terus berkembang biak. Semua kondisi tersebut harus terpenuhi agar perkembangbiakan agens antagonis dapat terjadi dengan cepat dan pesat dan tentu saja agens antagonis harus hidup, sehingga dapat dengan mudah menekan perkembangan patogen pembawa penyakit (Soesanto 2008). Penyakit belang yang disebabkan oleh ChiVMV pada tanaman cabai di Indonesia telah dilaporkan oleh Taufik (2005) yaitu di daerah Pasirwaru Jawa Barat, Bulakparen dan Kresek Jawa Tengah, Gowa, Baraka, Sudu dan Kalosi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil deteksi sampel cabai yang dikumpulkan terjadi penyebaran ChiVMV yang semakin luas yaitu di Cikabayan Jawa Barat, Keradenan Jawa Tengah, Belung Jawa Timur, Panggong Kalimantan Tengah, Tanah Datar Sumatera Barat dan Aceh Tengah (Opriana 2009). Banyak faktor yang menyebabkan cepat meluasnya penyebaran ChiVMV, diantaranya pola budidaya tanaman yang dilakukan di lapang. Petani cenderung menggunakan satu macam kultivar secara terus-menerus bahkan dalam areal yang cukup luas (Taufik 2005). Infeksi ChiVMV lebih banyak ditemukan pada lahan yang menggunakan pola budidaya monokultur dan tumpang sari, baik pada daerah dataran rendah maupun daerah dataran tinggi. Di Indonesia rata-rata pola penanaman cabai dengan cara monokultur walaupun ada juga yang tumpang sari. Pola tanam dengan cara monokultur sangat rawan terserang penyakit (Goodman 1986). Selain faktor diatas penyebaran ChiVMV yang semakin cepat ini disebabkan oleh faktor penting yaitu serangga vektor. Serangga vektor merupakan agen penular virus ChiVMV yang sangat potensial dan cepat, karena serangga ini memiliki kemampuan untuk berpindah tempat dengan sayapnya, walaupun tidak dengan cepat. Serangga yang biasa menjadi vektor adalah dari kelompok kutu daun (Aphididae: Homoptera). Beberapa kutu daun yang dilaporkan dapat
14
153
menularkan ChiVMV secara non persisten adalah Aphis craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, Myzus persicae, Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan R. maydis (Pracaya 2003). Dengan demikian kutu daun memegang perananan penting dalam penyebaran ChiVMV. Adapun cara pengendalian yang lain yang dapat digunakan yaitu dengan menggunakan mulsa, hal ini dapat dilakukan karena pada kondisi udara yang tenang biasanya kutu daun suka dengan kondisi pertanaman yang berwarna hijau. Akan tetapi setiap kutu daun memiliki prevalensi warna yang berbeda-beda tergantung dari spesiesnya. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, hampir semua kutu daun menghindari pantulan cahaya perak. Karena sifat dari kutu daun yang tidak menyukai warna perak maka mulsa plastik yang berwarna perak dapat digunakan untuk mengendalikan kutu daun sebagai vektor ChiVMV. Selain dengan mulsa dapat menggunakan tanaman yang lebih tinggi untuk menghalangi datangnya kutu daun yang memiliki sifat penularan non persisten. Pengendalian yang paling penting yaitu mengusahakan agar kutu daun dengan tanaman cabai tidak terjadi kontak secara langsung, sehingga virus pun tidak dapat menular dan menyerang tanaman cabai (Blackman dan Eastop 2000).