75
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Daerah penelitian mencakup dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa barat. Gambaran umum tentang kondisi fisik pertanian daerah penelitian mencakup beberapa aspek, yaitu geografis, topografi, jenis tanah, demografi, batas-batas wilayah, iklim, yang terkait dengan pertanian. Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu dari 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang meliputi 19 (Sembilan Belas) kecamatan dan terdiri dari 267 desa/kelurahan (263 desa dan empat kelurahan). Adapun 19 kecamatan di Kabupaten Boyolali tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kecamatan Selo 2. Kecamatan Ampel 3. Kecamatan Cepogo 4. Kecamatan Musuk 5. Kecamatan Boyolali kota 6. Kecamatan Mojosongo 7. Kecamatan Teras 8. Kecamatan Sawit 9. Kecamatan Banyudono 10. Kecamatan Sambi 11. Kecamatan Ngemplak 12. Kecamatan Nogosari 13. Kecamatan Simo 14. Kecamatan Klego 15. Kecamatan Andong 16. Kecamatan Karanggede 17. Kecamatan Kemusu 18. Kecamayan Wonosegoro 19. Kecamatan Juwangi
( 10 desa ) ( 20 desa ) ( 15 desa ) ( 20 desa ) ( 6 desa dan 3 kelurahan ) ( 13 desa ) ( 13 desa ) ( 12 desa ) ( 15 desa ) ( 16 desa ) ( 12 desa ) ( 13 desa ) ( 13 desa ) ( 13 desa ) ( 13 desa ) ( 16 desa ) ( 13 desa ) ( 18 desa ) ( 9 desa dan 1 kelurahan).
Secara geografis Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha atau kurang 4,5% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Boyolali terletak antara 1100 22’ BT – 110050’ BT dan 7036’ LS – 7071’LS dengan ketinggian antara 100 meter sampai dengan 1.500 meter di permukaan laut (dpl). Secara topografi Kabupaten Boyolali sebelah timur dan selatan merupakan daerah dataran rendah, sedangkan sebelah utara dan barat merupakan daerah 75
76
pegunungan. Kabupaten Boyolali berdasarkan perbatasan wilayah secara administrasi pemerintahan sebelah utara: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan. Sebelah timur : berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Sebelah selatan: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelah barat: berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang. Jarak bentang Kabupaten Boyolali dari Barat ke Timur sekitar 48 km dan dari Utara ke Selatan sekitar 54 km. Struktur tanah wilayah Kabupaten Boyolali terdiri atas: 1) Bagian Timur Laut (Kecamatan Karanggede dan Simo) pada umumnya terdiri dari tanah lempung. 2) Bagian Tenggara (Kecamatan Sawit dan Bayudono) struktur tanahnya adalah tanah Galih. 3) Bagian Barat Laut (Kecamatan Musuk dan Cepogo) struktur tanahnya berpasir. 4) Bagian Utara sepanjang perbatasan Kabupaten Boyolali dengan Kabupaten Grobogan struktur tanahnya berupa tanah kapur. Menurut ketinggian di atas
permukaan laut (dpl), wilayah Kabupaten
Boyolali dibagi dalam kelompok sebagai berikut: 1) 100 - 400 m dpl : Sebagai daerah dataran rendah meliputi Kecamatan Teras, Bayudono, Sawit, Sambi, Ngemplak, Simo, Nogosari, Kemusu, Karanggede, Mojosongo, Andong dan sebagian
Kecamatan Boyolali kota. 2) 401 - 700 m dpl : Sebagai daerah dataran bergelombang meliputi Kecamatan Boyolali kota, Mojosongo, Musuk, Ampel dan Karanggede. 3) 701 - 1000 m dpl : Sebagai daerah perbukitan meliputi Kecamatan Musuk, Ampel, dan Cepogo. 4) 1001-1300 m dpl : Sebagai daerah pegunungan tinggi meliputi Kecamatan Cepogo dan Ampel. 5) 1301-1500 m dpl : Sebagai daerah puncak pegunungan Kecamatan Selo.
77
Sumber air dan pembangunan irigasi pertanian di Kabupaten Boyolali berasal dari air Sungai dan sebagai sungai utama adalah: sungai Serang, Cemoro, Pepe, dan sungai Gandul. Selain itu terdapat tiga buah waduk yaitu: waduk Cengklik di Kecamatan Ngemplak, waduk Kedung Ombo di Kecamatan Kemusu
dan waduk Bade di Kecamatan Klego. Sumber air dangkal yang cukup besar di Desa Tlatar Kecamatan Boyolali Kota, Desa Nepen di Kecamatan Teras dan Desa Pengging di Kecamatan Banyudono. Sumber air dan irigasi tersebut sebagai
sarana dan prasarana petani mengembangkan pertanian di lahan garapannya. Kondisi tanah di Kabupaten Boyolali dengan luas wilayah Kabupaten
Boyolali 101.510,0965 ha. Terdiri atas 23 persen tanah sawah, 55 persen tanah kering, dan 21,7 persen tanah penggunaan lain. Kabupaten Boyolali secara klimatologi, berada pada daerah yang beriklim sedang, suhu harian berkisar antara 18-29oC dengan kelembaban rata-rata 85%, curah hujan antara 2.000 sampai dengan 4.000 mm per tahun, dengan rata-rata bulan basah lima bulan yaitu Oktober, Nopember, Desember, Januari, Pebruari dan rata-rata bulan kering empat bulan yaitu Juni, Juli, Agustus, September. Dari 19 Kecamatan di Kabupaten Boyolali ada lima kecamatan yang menjadi lokasi petani agribisnis sayuran binaan tim misi teknik Taiwan. Pertama, ada di Kecamatan Selo, meliputi Dukuh Monce dan Dukuh Tarusari Desa Tarubatang, dan Desa Lencoh. Kedua, ada di Kecamatan Teras meliputi Desa Maloan, Dukuh Penjalinan Desa Tawangsari, Desa Tanjungsari, Dukuh Gupakwarak Desa Gumukrejo, Desa Tawangsari, Dukuh Pamotan Desa Gumukrejo, Dukuh Asem Legi dan Dukuh Gatak Balangan Desa Randusari, Dukuh Tagung Desa Bangsalan, Desa Banjarsari, Dukuh Talang, Dukuh Jrakah, Dukuh Pete, Dukuh Magangan, Dukuh Dampit dan Dukuh Desa Sudimoro. Ketiga berada di Kecamatan Ampel, meliputi Dukuh Sukorejo Desa Candisari, Dukuh Sendang Desa Gladagsari.
Keempat, berada di Kecamatan
Banyudono meliputi Desa Bangak, Desa Trayu, Desa Plumbungan. Kelima, ada di Kecamatan Boyolali Kota meliputi Dukuh Wates Desa Kebonbimo. Keenam, ada di Kecamatan Mojosongo meliputi Dukuh Butuh Desa Butuh.
78
Terdapat 48 jenis komoditas pertanian sayuran yang dibudayakan meliputi brokoli, letuce, tomat besar, tomat cherry, selada keriting, bunga kol, sawi putih, labu siam, baby labu siam, sawi sendok, daun mint, kol putih, cabe merah besar, cabe merah kriting, spinak, daun bawang, kapri, cabe rawit hijau, sukini, caisim, seledri, kentang, kacang panjang, daun genjer, bunga genjer, kailan, bayam merah, bayam hijau, lobak, kucai, kangkung, asparagus, pare putih, jagung manis, sawi asin, pakchoy, terong ungu, terong lalap, kenikir, timun lokal, gambas, timun Jepang, okra, daun gingseng, jamur tiram, jagung acar, daun kacang, daun singkong. Luas lahan masing-masing petani rata-rata sekitar 3.000 m2. Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di koordinat antara 6o18’00” - 6o47’10” Lintang Selatan dan 106o23’45”107o13’30” Bujur Timur. Aspek fisik wilayah secara topografi terdiri dari luas daerah puncak pegunungan dengan ketinggian 2.000 - 2.500 meter dpl sebanyak 22 persen, luas daerah pegunungan tinggi dengan ketinggian 1.000 – 2.000 meter dpl sebanyak 8,35 persen, luas daerah perbukitan dengan ketinggian 500 – 1.000 meter dpl sebanyak 19,34 persen, luas dataran bergelombang dengan ketinggian 100 – 500 meter dpl sebanyak
42,63 persen, luas dataran rendah dengan
ketinggian 50 – 100 meter dpl sebanyak 29,28 persen. Luas wilayah daratan Kabupaten Bogor seluruhnya 268.838.304 hektar. Batas wilayah secara administrasi pemerintahan di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, Kabupaten/Kota Bekasi, Kota Depok. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Karawang serta di tengahnya berbatasan dengan Kota Bogor. Adanya Gunung Salak dan Gunung Gede merupakan batas alam antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Secara administratif pemerintahan Kabupaten Bogor dibagi dalam 40 Kecamatan dengan 428 desa/kelurahan 3.639 Rukun Warga dan 14.403 Rukun Tetangga. Sarana dan prasarana penunjang pertanian di Kabupaten Bogor di antaranya sumberdaya air dan irigasi sebagai penunjang kegiatan pertanian, dijaga kontinyuitas dan distribusi air ke lahan-lahan pertanian karena
sangat
79
menentukan tingkat produksi pertanian. Kabupaten Bogor telah memiliki daerah irigasi sebanyak 880 unit, bendungan sebanyak 1.825 unit, dan bedung sebanyak 453 unit. Sumber-sumber air lainnya berasal dari 6 (enam) daerah aliran sungai Cisadane, Ciliwung, Cidurian, Citarum, kali Bekasi, dan kali Cimanceuri dengan 94 situ, sehingga beberapa hamparan sawah telah mendapatkan pelayanan irigasi dari sumber-sumber air tersebut. Dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor yang menjadi lokasi petani agribisnis sayuran binaan tim misi teknik Taiwan berada di Kecamatan Dramaga meliputi Desa Cikarawang, Desa Dramaga, Desa Cemplang; dan Kecamatan Leuwiliang meliputi Desa Karacak, Desa Situ Daun, Desa Gunung Bunder, Desa Ciherang, Desa Cibungbulang, Desa Pamijahan, Desa Ciaruteun, Desa Ciasmara, Desa Bantarsari Cigombong perbatasan dengan Kabupaten Sukabumi. Seperti di Kabupaten Boyolali misi teknik Taiwan di Kabupaten Bogor Secara umum, juga mengembangkan setidaknya 48 jenis komoditas pertanian sayuran yang dibudayakan meliputi Brokoli, letuce, tomat besar, tomat cherry, selada keriting, bunga kol, sawi putih, labu siam, baby labu siam, sawi sendok, daun mint, kol putih, cabe merah besar, cabe merah kriting, spinak, daun bawang, kapri, cabe rawit hijau, sukini, caisim, seledri, kentang, kacang panjang, daun genjer, bunga genjer, kailan, bayam merah, bayam hijau, lobak, kucai, kangkung, asparagus, pare putih, jagung manis, sawi asin, pakchoy, terong ungu, terong lalap, kenikir, timun lokal, gambas, timun Jepang, okra, daun gingseng, jamur tiram, jagung acar, daun kacang, daun singkong. Rata-rata lahan petani di Kabupaten Bogor yang digunakan mendapatkan pendampingan misi teknik Taiwan berkisar 2000 meter persegi. Peran Misi Teknik Taiwan (ICDF) Kerjasama Tim ICDF dengan IPB dilaksanakan oleh Misi Teknik Taiwan (Taiwan Technical Mission) di Kabupaten Bogor disebut Agribisnis Development Center (ADC). Dalam mendampingi para petani sayuran misi teknik Taiwan mengajarkan kerjasama, hal ini diakui oleh para petani bahwa ADC mengajarkan aspek-aspek seperti pentingnya menjaga kepercayaan mitra karena kepercayaan merupakan dasar hubungan yang menguntungkan. Para petani juga mengakui karena ADC berasal dari Negara Asia pasti masih kental budaya timur dimana
80
kejujuran dan kepercayaan masih dipegang teguh. ADC juga menjelaskan bahwa kepercayaan itu bisa terjaga jika para petani dapat menjaga kualitas kerja mereka agar tetap profesional dan berpegang teguh pada kontrak yang telah dibuat. Petani juga mengatakan bahwa ADC secara tidak langsung mengajarkan petani untuk bisa lebih disiplin dalam bekerja dan pentingnya menjaga loyalitas kepada ADC. Tidak semua petani mengatakan bahwa ADC mengajarkan dasar-dasar bekerja sama. Terdapat petani yang menjelaskan bahwa ADC tidak sama sekali membahas segi-segi moralitas (seperti kejujuran dan kepercayaan), Hal tersebut diakui petani baik dan bagus, karena ADC hanya berbicara mengenai teknis “masa bodoh” dengan urusan moralitas karena diakui oleh petani bahwa moralitas terkadang yang dapat menghambat kerja profesional karena itu ADC hanya berbicara bagaimana meningkatkan produksi dan mendatangkan keuntungan bagi para petani. Moralitas menjadi hal yang sering sekali dibahas oleh penyuluh, sehingga diakui petani bahwa penyuluh justru lupa berbicara mengenai teknis. Perilaku penyuluh yang kurang membahas aspek teknis tersebut, dianggap petani sebagai hal yang tidak akan meningkatkan kesejahateraan petani. Hubungan Kerjasama Antar Petani dan ICDF Sistem kerjasama lainnya yang sering diterapkan antara masyarakat (petani) dengan pihak kemitraan (ADC) adalah kerjasama mengenai penyediaan pupuk dan bibit sehingga produk-produk petani dapat langsung dijual kepada penyedia pupuk dan benih (ADC). Kerjasama dengan ADC dilakukan secara tertulis ada (kontrak). Petani sebagai pihak yang memiliki lahan bekerja sama dengan ADC yang punya pasar, fasilitas, dan teknologi. Para petani mendapatkan bibit,pupuk,dan obat dari ADC, tetapi pengolahannya di lahan petani sendiri. Penentuan harga penjualan ada di tangan ADC, harga yang ditawarkan ADC kepada petani lebih tinggi dari harga pasar, tetapi produk yang dapat lolos sortasi hanya produk-produk terbaik. Selain hal tersebut, petani juga diajarkan untuk bisa lebih mandiri. Keuntungan Kerjasama dengan ADC. Diakui oleh para petani bahwa sistem kerjasama yang ditawarkan oleh pihak mitra (ADC) memberikan banyak sekali hal positif tidak hanya dari segi ekonomi tetapi juga dari segi teknis. Petani dapat menjual hasil panennya dengan harga yang relatif tinggi dibandingkan harga
81
pasar, sehingga secara ekonomi petani lebih untung daripada harus menjual langsung ke pasar. Keuntungan kerjasama dari segi teknis adalah petani mendapatkan cara-cara baru dalam budidaya pertanian, sehingga dapat memperoleh hasil pertanian yang baik. Hal tersebut cukup beralasan karena para petani tidak hanya memperoleh bibit atau benih begitu saja, tetapi mereka juga dilatih melalui kegiatan-kegiatan pelatihan. Sistem kerjasama ini juga diakui sebagai inovasi atau sesuatu yang “baru” dan mulai diadopsi, karena tidak merugikan petani. Selain menguntungkan dari segi ekonomi, petani juga merasa kapasitas budidaya pertanian juga meningkat. Sistem bagi hasil antara Petani Sayuran dan ADC. Pihak mitra (ADC) tidak menawarkan sistem bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh. Kerjasama yang ditawarkan pihak kemitraan berupa penyediaan pupuk, penyediaan bibit, dan pelatihan terkait budidaya pertanian. Dalam setiap keuntungannya petani dipotong 500 rupiah untuk pembuatan sertifikat. Adanya Empati dari ADC. Pihak kemitraan (ADC) memberikan empati terhadap petani yang mengalami musibah dengan cara datang “menengok” petani yang sedang mengalami musibah tersebut, biasanya ADC akan memberikan saran-saran atau motivasi agar musibah yang serupa tidak terjadi lagi pada petani. Akan tetapi ADC tidak banyak memberi bantuan konkrit berupa benih ataupun bibit tambahan karena ADC tidak bertanggung jawab akan kerugian yang diderita petani. Oleh karena itu ADC sebisa mungkin mendampingi secara rutin (satu bulan sekali) para petani untuk mengeliminir kesalahan yang sifatnya bisa fatal, ADC hanya bertanggung jawab untuk pemasaran. ADC dan Ikatan Solidaritas. Diakui oleh para petani bahwa ADC tidak mengajarkan apa-apa untuk menghadapi tengkulak dengan sistem ijonnya. ADC hanya menganjurkan bahwa sebisa mungkin petani untuk membentuk kelompok tani dan jangan tergantung kepada tengkulak karena bagaimanapun juga tengkulak akan merugikan petani. ADC juga menganjurkan para petani untuk mampu menentukan harga dasar secara kolektif agar tidak dapat dikendalikan oleh tengkulak.
82
ADC dan Kearifan Lokal. Kearifan lokal sudah mulai tergerus dari budaya pertanian di tempat penelitian ini dilakukan, sebagian besar wilayah pertanian sudah mulai meninggalkan kearifan yang sifatnya lokal dan terdapat juga petani yang sudah mulai tidak percaya kearifan-kearifan yang berasal dari nenek moyang mereka. Hal tersebut sangat beralasan karena dalam proses budidaya para petani tidak diajarkan oleh pihak mitra (ADC) tentang apa itu kearifan lokal. Pada dasarnya ADC memiliki metoda tersendiri dalam teknik budidaya pertanian mereka. Teknik-teknik budidaya ADC itu yang kemudian diajarkan kepada para petani, sehingga para petani tidak lagi memahami atau mengetahui kearifan lokal di wilayah mereka. Petani binaan ADC yang umumnya tidak mengetahui kearifan lokal, karena usianya tergolong relatif muda. Petanipetani yang cenderung muda, lebih mempercayakan pada pelatihan-pelatihan yang ditawarkan oleh ADC. Tidak semua petani tidak tahu atau tidak percaya dengan kearifan lokal. Masih terdapat petani yang percaya dan mengetahui bahwa di wilayah mereka terdapat kearifan lokal. Terdapat berbagai macam bentuk kearifan lokal yang tersebar di berbagai wilayah pada penelitian ini. Di antaranya terdapat kearifan lokal yang berupa “pranata mangsa.” Terdapat pula kearifan lokal yang berupa kepercayaan “jika mau menanam, agar panennya berhasil harus menanam satu hari setelah hujan besar turun membasahi lahan para petani.” Selain itu terdapat pula kearifan lokal berupa “pohon penjaga” jadi para petani biasanya menanam tanaman di setiap pojok-pojok lahan pertanian karena tanaman tersebut merupakan simbol penjaga tanaman pertanian yang sedang ditanam. Terdapat pula kearifan lokal yang berupa penanaman yang didasarkan atas penanggalan bulan-bulan Islam. Deskripsi Faktor Internal dan Eksternal Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Untuk membahas
deskripsi
pola komunikasi kewirausahaan petani
sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor dan faktor yang mempengaruhinya, yang pada penelitian ini berupa peubah karakteristik petani sayuran, dinamika sosial, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi setempat dijelaskan dengan hasil analisis statistis deskripsi sebagai berikut.
83
Deskripsi Faktor Internal: Karakteristik Petani Sayuran Hasil analisis peubah-peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas karakteristik personal petani sayuran peserta bimbingan misi teknik Taiwan di Indonesia disajikan dalam Tabel 6.
Sesuai dengan hipotesis
sebelumnya, ada delapan peubah karakteristik yang dianalisis derajat pengaruhnya dengan peningkatan kapasitas kewirausahaan petani sayuran, yaitu tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, pendapatan, kepemilikan aset, kekosmopolitan, pengalaman berusaha, dan keberanian mengambil resiko. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan formal sebagai suatu landasan ilmu pengetahuan yang akan membantu petani dalam pengambilan keputusan serta dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Tingkat pendidikan yang baik dapat meningkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan tingkat ketepatan penilaian yang berdampak pada kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi dan sebaliknya (Soekartawi, 2004). Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan formal petani sayuran di Kecamatan Boyolali sebagian besar adalah kategori menengah sebesar 85,9 persen dengan kisaran 10-13 tahun. Petani sayuran yang masih tergolong rendah pendidikan formalnya yaitu sebesar 10,2 persen dengan kisaran lama belajar formal 0-9 tahun dan yang berpendidikan tinggi dengan kisaran lama belajar 14-21 tahun sebesar 3,9 persen. Tingkat pendidikan ini sangat mempengaruhi mudah atau tidaknya mereka dalam mengadopsi teknologi budidaya sayuran, menerapkannya serta dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan formal petani sayuran semakin berkembang wawasan berpikirnya dan semakin baik keputusannya dalam berwirausaha tani sayuran yang lebih produktif. Dengan kata lain, tingkat pendidikan berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran terlebih pada petani responden di Kabupaten Boyolali.
84
Tabel 6. Sebaran responden berdasarkan karakteristik petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor (dalam persen) Karakteristik Petani
Petani Boyolali Petani Bogor
Gabungan
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
Pendidikan Formal - Rendah (0-9 tahun) - Menengah (10-13tahun) - Tinggi (14-21tahun) Usia - Muda (21- 41 tahun) - Sedang (42-63 tahun) - Tua ( 63-86 tahun) Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan Pendapatan per panen (Omset) - < Rp. 13.600.000 - Rp 13.600.000–Rp 26.800.000 - > Rp 26.800.000 Kepemilikan aset - Tidak punya - Kurang dari Rp 500 juta - Rp 500 juta ke atas Tingkat kekosmopolitan - Rendah ( 0 -154 jam) - Sedang (155 – 308 jam) - Tinggi (309 – 462 jam) Pengalaman Bertani Sayuran - Baru (0,5- 20 tahun) - Sedang (21 – 40 tahun) - Lama (41- 62 tahun) Keberanian mengambil resiko - Rendah Skor (4- 5) - Sedang Skor (5,1 – 6) -Tinggi Skor (6,1-8) Jumlah (Prosentase) responden
8 67 3
10,2 85,9 3,9
29 10 7
63,0 21,8 15,2
37 77 10
29,8 62,1 8,1
20 30 28
25,6 38,5 35,9
19 13 14
41,3 28,3 30,4
39 43 42
31,5 34,6 33,9
71 7
91,1 8,9
41 5
89,1 10,9
112 12
90,3 9,7
22 23 33
28,2 29,5 42,3
20 17 9
43,5 36,9 19,6
42 40 42
33,9 32,2 33,9
10 31 37
12,8 13,7 47,5
30 11 5
65,2 23,9 10,9
40 42 42
32,2 33,9 33,9
54 17 7
69,2 21,9 8,9
42 4 0
91,3 8,7 0
96 21 7
77,4 16,9 5,7
69 8 1
88,5 10,3 1,2
33 9 4
71,7 19,6 8,7
102 17 5
82,3 13,7 4,0
3 10 65 78
3,9 12,8 83,3 62,9
2 6 38 46
4,4 13,0 82,6 37,1
5 16 103 124
4,0 12,9 83,1 100,0
Petani sayuran di Kabupaten Bogor yang umumnya berpendidikan formal tergolong rendah paling tinggi hanya lulus SMP sebanyak 29 orang atau sebesar 63%. Jika dibandingkan antara Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Boyolali, maka tingkat pendidikan petani sayuran Kabupaten Boyolali relatif lebih tinggi sebagian besar sampai lulus SMA dibandingkan petani sayuran Kabupaten Bogor kebanyakan hanya sampai lulus SMP. Hal ini terkait dengan biaya sekolah dan biaya hidup di Bogor yang masih lebih tinggi dibanding di Kabupaten Boyolali.
85
Namun pada tingkat pendidikan formal yang sampai perguruan tinggi petani sayuran Bogor lebih banyak yaitu tujuh orang atau sebesar 15,2 persen jika dibandingkan dengan di Kabupaten Boyolali hanya sebanyak tiga orang atau sebesar 3,9 persen. Hal ini tidak terlepas dari peranan Institut Pertanian Bogor sebagai perguruan tinggi pertanian yang ada di Kabupaten Bogor melalui penyuluhan dan kegiatan pengabdian masyarakat: Kuliah Kerja Nyata/Kuliah Kerja Profesi, Jumat keliling dan lain-lain telah memberikan pencerahan betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan petani di Kabupaten Bogor. Pendidikan Nonformal. – Petani binaan pendampingan tim misi Taiwan umumnya jarang mengikuti kursus-kursus penyuluhan yang diselenggarakan pihak tim misi Taiwan maupun pemerintah, karena pendidikan nonformal berupa pelatihan-pelatihan oleh misi teknik Taiwan kebanyakan hanya diikuti oleh para ketua kelompok dan selanjutnya ketua kelompok yang memberikan penjelasan kepada para petani sayuran sebagai anggota kelompoknya. Selain itu pendamping
para
misi teknik Taiwan juga mempraktekkan langsung di lapangan
sehingga lebih mudah ditiru oleh para petani sayuran.
Metode ini ternyata
berhasil karena terjadi interaksi langsung sehingga terjadi komunikasi efektif dialogik antar mereka. Usia Petani sayuran di Kabupaten Boyolali umumnya masuk kelompok berusia sedang adalah sebesar 38,5 persen dengan variasi mulai dari kisaran usia 42 tahun sampai dengan 63 tahun, Para petani sayuran kelompok tua adalah usia antara 6386 tahun sebesar 35,9 persen, sedangkan para petani sayuran kelompok muda dengan kisaran usia 21-41 tahun sebesar 25,6 persen. Hal ini berarti bahwa usia petani sayuran tergolong produktif pada kisaran usia 42-63 tahun yang merupakan proporsi terbesar. Di samping itu, rata-rata petani sayuran yang berusia muda jumlahnya lebih sedikit dibanding yang kelompok berumur sedang dan kelompok tua. Hal ini juga mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran bidang usaha para pemuda dari bidang pertanian ke bidang lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani sayuran secara fisik masih sangat kuat untuk menjalankan kegiatan usahataninya secara baik. Petani sayuran kelompok usia sedang memiliki kemampuan bekerja dan berpikir yang lebih
86
tinggi, sehingga bisa dikatakan usia petani produktif ini mempunyai pengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran Kabupaten Boyolali. Petani sayuran di Kabupaten Bogor umumnya masuk kelompok berusia muda adalah sebesar 41,3 persen dengan variasi mulai dari kisaran usia 21 tahun sampai dengan 41 tahun, para petani sayuran kelompok sedang adalah usia antara 42-63 tahun sebesar 28,3 persen, sedangkan para petani sayuran kelompok tua dengan kisaran usia 63-86 tahun sebesar 30,4 persen. Hal ini berarti bahwa usia petani sayuran tergolong produktif di Kabupaten Bogor pada kisaran usia 21-41 tahun yang merupakan proporsi terbesar. Secara keseluruhan di dua kabupaten berada pada kategori sedang berumur 42-63 tahun sebesar 34,6 persen. Berarti usia produktif petani sayuran di dominasi oleh petani berusia sedang 42-63 tahun. Jenis kelamin Pada umumnya petani sayuran di Kabupaten Boyolali didominasi oleh petani laki-laki sebanyak 71 orang atau sebesar 91,1 persen dibanding perempuan sebanyak 7 orang atau sebesar 8,9 persen hal ini dikarenakan di Kabupaten Boyolali mayoritas mata pencaharian laki-laki sebagai kepala keluarga bekerja pada sektor pertanian dan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga mengurus anak, memasak, mencuci namun sesekali membantu di lahan pertanian dengan kata lain pekerja di lahan pertanian menjadi tugas tetap laki-laki. Ada juga sebagian kecil perempuan yang bekerja tetap sebagai petani. Demikian juga petani sayuran di Kabupaten Bogor, petani laki-laki lebih mendominasi dibanding perempuan. Sebanyak 41 orang petani laki-laki atau sebesar 89,1 persen dan petani perempuan sebanyak lima orang atau sebesar 10,9 persen. Hal ini hampir sama penyebabnya jika dibandingkan dengan petani di Kabupaten Boyolali yaitu kebanyakan laki-laki sebagai kepala keluarga bekerja pada sektor pertanian dan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga lebih bersifat hanya membantu pekerjaan suami bertani, kecuali jika perempuan tersebut sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah sehingga mereka sebagai pekerja petani tetap bukan sampingan.
87
Secara keseluruhan baik di Kabupaten Boyolali dan Bogor petani yang mendapat bimbingan dari misi teknik Taiwan total sebanyak 112 orang atau sebesar 90,3 persen didominasi petani laki-laki dan petani perempuan hanya 12 orang atau sebesar 9,7 persen yang mencerminkan dari analisa gender peranan petani sayuran masih kuat dipengaruhi budaya lokal yaitu laki-laki harus mempunyai peranan lebih dibanding perempuan dalam berbagai hal dengan kata lain perempuan hanya konco wingking (teman belakang) saja jadi kurang penting peranannya, tumpuan keluarga tetap berada pada laki-laki sebagai kepala keluarga. Pendapatan Tingkat pendapatan petani sayuran di Kabupaten Boyolali pada kelompok yang berpenghasilan di atas Rp. 26.800.000,- per panen (omset) sebesar 42,3 persen sebagai kategori tinggi atau pendapatan bersih 10 persen dari omset. Petani sayuran berpendapatan kategori sedang dengan kisaran antara Rp.13.600.000,sampai dengan Rp. 26.800.000,- adalah sebesar 29,5 persen, sedangkan untuk petani sayuran dengan kisaran penghasilan sebesar kurang dari Rp. 13.600.000,sebesar 28,2 persen. Hal ini berarti di Kabupaten Boyolali mereka yang berpenghasilan tinggi berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran Kabupaten Boyolali. Berbeda dengan petani sayuran Kabupaten Bogor, dimana sebagian besar 20 orang atau 43,5 persen berpendapatan rendah yaitu kurang dari Rp. 13.600.000,- per panen atau (omset). Hal ini dikarenakan rata-rata lahan petani sayuran Kabupaten Bogor seluas 2.000 m2 lebih sempit dibandingkan rata-rata lahan petani sayuran di Kabupaten Boyolali seluas 3.000 m2. Secara keseluruhan didominasi pada pendapatan rendah dan pendapatan tinggi. Kepemilikan Aset Petani sayuran di Kabupaten Boyolali yang mempunyai kekayaan dengan nilai kepemilikan aset Rp.500 juta ke atas ada sebesar 47,5 persen, kekayaan ratarata petani sayuran yang mempunyai aset di bawah Rp.500.000.000,- sebesar 13,7 persen. Adapun kategori petani sayuran yang tidak mempunyai aset atau sebagai buruh sebesar 12,8 persen. Hal ini berarti semakin tinggi kekayaan rata-rata petani
88
sayuran di Kabupaten Boyolali berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran Kabupaten Boyolali. Kekayaan petani sayuran di Kabupaten Bogor kepemilikan aset kebanyakan berada pada kategori rendah (tidak punya) yaitu sebanyak 30 orang atau sebesar 65,2 persen. Hal ini berarti petani sayuran di Kabupaten Bogor relatif lebih rendah kepemilikan asetnya dibandingkan dengan petani sayuran di Kabupaten Boyolali. Secara statistik pengaruh kepemilikan aset petani sayuran terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani tersebut, untuk di Kabupaten Boyolali lebih tinggi dibanding di Kabupaten Bogor. Secara keseluruhan didominasi pada kepemilikan aset rendah dan tinggi. Kekosmopolitan Di Kabupaten Boyolali keterbukaan terhadap dunia di luar lingkungannya rata-rata petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan selama tiga bulan terakhir saat penelitian dilakukan berada pada kisaran antara 0-154 jam sebesar 69,2 persen kategori rendah, rata-rata petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan kisaran antara 155-308 jam kategori sedang sebesar 21,9 persen. Rata-rata petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan kisaran antara 309-462 jam kategori tinggi sebesar 8,9 persen. Hal ini berarti keterbukaan terhadap dunia di luar lingkungannya mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten. Boyolali. Di Kabupaten Bogor keterbukaan terhadap dunia di luar lingkungannya didominasi oleh petani sayuran yang mempunyai tingkat kekosmopolitan kisaran antara 0-154 jam sebanyak 42 orang atau sebesar 91,3 persen, sama dengan petani di Kabupaten Boyolali pada kategori ini. Hal ini berarti tingkat kekosmopolitan mempunyai pengaruh kuat terhadap lingkungan sosial ekonomi yang pada akhirnya berpengaruh kuat (secara tidak langsung) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Secara keseluruhan didominasi oleh tingkat kekosmopolitan rendah dengan kisaran 0-154 jam.
89
Pengalaman berusahatani sayuran Pengalaman berusahatani dihitung berdasarkan lamanya petani menjalankan kegiatan usahataninya. Pengalaman petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor didominasi kategori baru sebanyak 69 orang atau 88,5 persen dan 33 orang atau 71,7 persen, yang berarti pengalaman dalam berusahatani sayuran masih tergolong baru didominasi oleh petani dengan pengalaman berwirausaha tani sayuran kisaran antara 0,5-20 tahun, yang secara gabungan ada sebesar 82,3 persen petani responden binaan ADC. Pengalaman berwirausaha tani sayuran kategori sedang sebanyak delapan orang, yang berarti pengalaman dalam berusaha tani sayuran masih tergolong sedang mempunyai kisaran antara 21-40 tahun ada sebesar 10,3 persen. Hanya seorang atau sebesar 1,2 persen berpengalaman berwirausahatani sayuran kategori lama, yakni pengalaman dalam berusahatani sayuran mempunyai kisaran antara 41-62 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengalaman usahatani sayuran didominasi oleh petani sayuran pemula atau kategori belum berpengalaman yang mempunyai semangat mencoba teknologi baru dan berwirausaha tani baru. Dengan kata lain, petani di Kabupaten Boyolali dan Bogor meninggalkan kebiasaan sistem usahatani yang lama (padi, jagung dll) ke sistem berwirausaha tani sayuran. Selain berusahatani sayuran, petani juga mempunyai pekerjaan lain seperti aparat pemerintahan desa dan guru, hal ini akan mempengaruhi pengetahuan ataupun keterampilannya dalam menjalankan usahatani sayuran. Berdasarkan pengalaman yang cukup bervariasi pada kategori sedang, dengan demikian ada beberapa petani sayuran yang berpengalaman dan tetap mempertahankan sistem berwirausaha tani lama (padi, jagung dll) dan juga mencoba berwirausaha tani sayuran. Keberanian Mengambil Resiko Petani sayuran di Kabupaten Boyolali yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori tinggi sebanyak 65 orang atau sebesar 83,3 persen didominasi oleh kategori tinggi dengan kisaran skor antara 6,1-8. yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori sedang sebanyak 10 orang atau sebesar 12,8 persen yang merupakan kategori sedang dengan kisaran skor antara 5,1-6. Para petani sayuran yang berani mengambil resiko untuk
90
berwirausaha tani kategori rendah sebanyak tiga orang atau sebesar 3,9 persen yang merupakan kategori rendah dengan kisaran skor antara 4-5. Hal ini berarti para petani yang berani mengambil resiko berwirausaha tani sayuran didominasi oleh kategori tinggi, membuktikan bahwa berani mengambil resiko merupakan salah satu faktor yang kuat dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Petani sayuran di Kabupaten Bogor yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori tinggi sebanyak 38 orang atau sebesar 82,6 persen juga sama didominasi oleh kategori tinggi dengan kisaran skor antara 6,1-8. yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori sedang sebanyak enam orang atau sebesar 13 persen yang merupakan kategori sedang dengan kisaran skor antara 5,1-6. Para petani sayuran yang berani mengambil resiko untuk berwirausaha tani kategori rendah sebanyak dua orang atau sebesar 4,4 persen yang merupakan kategori rendah dengan kisaran skor antara 4-5. Hal ini berarti para petani yang berani mengambil resiko berwirausaha tani sayuran didominasi oleh kategori tinggi, membuktikan bahwa berani mengambil resiko merupakan salah satu faktor yang kuat dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Deskripsi Faktor Eksternal: Dinamika sosial Hasil penelitian tentang distribusi dinamika sosial petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Rataan skor dinamika sosial pendampingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Indikator Rataan Skor* Kab. Boyolali Kab. Bogor Total Keanggotaan kelompok 29,98 19,84 26,22 Ekologi kelompok 71,40 62,04 67,93 Status dan kekuasaan 59,25 48,76 55,36 Kepemimpinan kelompok 49,57 49,57 49,57 Suasana kelompok 63,46 56,83 61,00 Jaringan komunikasi tradisional 23,10 18,54 21,41 49,46 42,59 46,91 Dinamika Sosial Keterangan:*Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi
Berdasarkan Tabel 7 di atas, total rataan skor dinamika sosial yang terdiri dari aspek-aspek keanggotaan kelompok, ekologi kelompok, status dan kekuasaan,
kepemimpinan
kelompok,
suasana
kelompok,
dan
jaringan
91
komunikasi tradisional di Kabupaten Boyolali lebih tinggi yaitu 49,46 dibandingkan dengan Kabupaten Bogor yaitu sebesar 42,59. Hal ini terjadi karena pendampingan misi Taiwan di Kabupaten Boyolali lebih dulu berdiri dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor. Dari sisi dinamika sosial, Kabupaten Boyolali struktur kelompok taninya cukup mapan karena usia kelompok taninya lebih lama dibandingkan di Kabupaten Bogor. Namun demikian terdapat aspek yang menunjukkan rataan skor sama-sama berkategori rendah yaitu kepemimpinan kelompok sebesar 49,57. Untuk itu perlu ditingkatkan fungsi, tindakan, dan peran kepemimpinan kelompok di kedua lokasi penelitian dalam mempengaruhi, mengkoordinasi, memotivasi, memonitoring dan mengevaluasi orang lain di kelompoknya, agar mau bekerjasama dalam upaya mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Keanggotaan kelompok di dua kabupaten pun termasuk kategori rendah. Hal ini terjadi karena banyak anggota kelompok yang ketika sudah mulai merasa mandiri tidak lagi aktif menghadiri pertemuan-pertemuan dan diskusi yang diselenggarakan oleh pengurus kelompok dengan kata lain banyak keanggotaan kelompok yang keluar-masuk atau sering berganti. Bahkan Jaringan komunikasi tradisional di dua kabupaten termasuk kategori sangat rendah. Hal ini terjadi karena telah terjadi pergeseran fungsi jaringan komunikasi tradisional ke jaringan komunikasi modern berupa sarana komunikasi seperti telepon seluler dan internet, sehingga sangat wajar jika jaringan komunikasi tradisional tidak lagi menjadi sarana yang sering digunakan. Secara keseluruhan dinamika sosial di dua kabupaten tersebut masih tergolong rendah (skor 46,91). Hanya indikator ekologi kelompok, status dan kekuasaan, dan suasana kelompok yang berkategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika sosial perlu ditingkatkan baik dari sisi size keanggotaan kelompok, misalnya minimal 20 orang yang aktif maupun kepemimpinan kelompok yaitu melalui leadership training dan memanfaatkan jaringan komunikasi tradisional
yang sudah mereka ditinggalkan. Di Boyolali, dinamika sosial untuk indikator keanggotaan, ekologi, status dan kekuasaan, kepemimpinan dan suasana kelompok, serta jaringan komunikasi tradisional lebih dominan dibanding di Bogor, kecuali indikator kepemimpinan kelompok. Artinya, dinamika sosial di Boyolali lebih kondusif dibanding Bogor.
92
Deskripsi Faktor Eksternal: Lingkungan Fisik Hasil penelitian tentang distribusi petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor berdasarkan peubah lingkungan fisik disajikan dalam Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Rataan skor faktor lingkungan fisik petani pendampingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Indikator Infrastruktur/sarana komunikasi Ciri/karakteristik teknologi Lingkungan fisik
Rataan Skor* Kab. Boyolali Kab. Bogor 45,71 32,23 32,61 38,99 39,16 35,61
Total 40,71 34,98 37,84
Keterangan:*Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi
Berdasarkan Tabel 8, total rataan skor lingkungan fisik yang terdiri dari aspek-aspek infrastruktur/sarana komunikasi dan karakteristik teknologi di Kabupaten Boyolali lebih tinggi yaitu 39,16 dibandingkan dengan Kabupaten Bogor yaitu sebesar 35,61, di mana total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 37,84. Data ini menunjukkan, bahwa lingkungan fisik petani sayuran di dua kabupaten tergolong rendah terlihat dari sarana komunikasi yang sering digunakan untuk kebutuhan lain (sekunder) bukan untuk mencari informasi tentang berwirausaha tani sayuran. Ciri teknologi pun tergolong rendah. Fakta lain menunjukkan bahwa sarana komunikasi di Boyolali lebih baik dibandingkan di Bogor, terlihat petani sayuran di Boyolali lebih mampu membeli sarana komunikasi (hp dan komputer). Sisi lainnya adalah karena pendampingan misi Taiwan di Kabupaten Boyolali lebih dulu berdiri dibandingkan dengan di Kabupaten Bogor, sehingga sarana komunikasinya yang ada sudah lebih baik. Saat ini, infrastruktur sarana komunikasi untuk pembinaan petani responden binaan ADC dikelola oleh dinas pertanian, perkebunan, dan kehutanan Kabupaten Boyolali melalui UPT usaha pertanian yang memang menganggarkan untuk operasional sarana komunikasi Karakteristik teknologi di Bogor lebih baik dibandingkan Boyolali, karena petani sayuran di Bogor lebih cepat menerima teknologi pertanian yang sosialisasinya dilakukan tidak hanya oleh misi teknik Taiwan, tetapi juga oleh Penyuluh Swakarsa Mandiri (PSM), LSM dan mahasiswa IPB yang praktek kerja lapang, mereka langsung mengadopsi teknologi karena yakin manfaatnya.
93
Sarana komunikasi di Kabupaten Bogor termasuk kategori rendah, hal ini karena petani sayuran di Kabupaten Bogor kurang banyak mengakses informasi pertanian dari media cetak maupun media elektronik. Deskripsi Faktor Eksternal: Lingkungan Sosial Ekonomi Hasil penelitian tentang distribusi lingkungan sosial ekonomi petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, total rataan skor lingkungan sosial ekonomi petani sayuran di dua kabupaten tergolong rendah, dan apabila dibandingkan ternyata faktor lingkungan sosial ekonomi di petani sayuran Kabupaten Bogor lebih tinggi yaitu 45,20 dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 45,31, dimana total
rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 45,24. Tabel 9. Rataan skor lingkungan sosial ekonomi petani sayuran pendampingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Indikator Dukungan keluarga Dukungan kelembagaan Dukungan sistem sosial Dukungan mitra usaha Iklim kewirausahaan syariah Keberfungsian kearifan lokal Keterbukaan pasar Informasi media massa Lingkungan sosial ekonomi
Rataan Skor* Kab.Boyolali Kab. Bogor 59,78 68,59 22,22 27,54 44,57 53,85 23,08 57,07 34,78 42,74 50,36 56,62 48,72 52,66 35,69 45,82 45,20 45,31
Total 65,32 24,19 50,40 35,69 39,78 54,30 50,18 42,06 45,24
Keterangan: *Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi
Hal ini disebabkan Kabupaten Bogor sebagai penyangga ibu kota Negara Republik Indonesia sangat wajar jika lingkungan sosial ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali. Dari sisi pemasaran produk hasil pertanian, Kabupaten Bogor jauh lebih luas pangsa pasarnya bisa ke wilayah JABODETABEK dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yang pangsa pasarnya hanya ke Solo dan Yogyakarta saja. Rendahnya dukungan faktor lingkungan sosial ekonomi di dua kabupaten amatan tersebut, lebih mendetil terlihat pada indikator dukungan kelembagaan, dukungan mitra usaha, iklim kewirausahaan syariah, dan informasi media massa. Hal ini dikarenakan para petani sayuran tidak memanfaatkan kelembagaan yang sudah ada dan hanya mengandalkan pada hubungan baik dengan misi teknik Taiwan dalam
94
bentuk hubungan bisnis di mana misi teknik Taiwan secara kelembagaan mampu menyediakan beberapa kebutuhan pokok dari para petani sayuran, sehingga tidak memanfaatkan lembaga-lembaga pemerintah, swasta atau lembaga lain. Demikian juga untuk dukungan mitra usaha para petani sayuran menganggap mitra usaha yang paling baik adalah misi teknik Taiwan sehingga mereka tidak lagi menjalin kerjasama dengan mitra usaha lain. Dalam hal iklim kewirausahaan syariah, petani di dua kabupaten tersebut, petani tidak mendapatkan sosialisasi tentang kewirausahaan syariah, baik dari penyuluh pemerintah maupun dari fasilitator misi teknik Taiwan, pemahaman tentang kewirausahaan syariah secara umum kebanyakan hanya didapat dari televisi, para da’i/ustadz pada umumnya. Di samping itu, lembaga keuangan syariah yang diharapkan memotori iklim kewirausahaan syariah belum banyak tumbuh di dua kabupaten tersebut. Informasi media massa masih rendah dikarenakan di dua kabupaten para petani sayuran kebanyakan lebih suka membaca dan menonton tayangan-tayangan hiburan, kurang memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi tentang pertanian, khususnya pengembangan wirausaha tani sayuran. Lingkungan sosial ekonomi untuk dukungan keluarga, dukungan sistem sosial, iklim kewirausahaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, dan informasi media massa di Boyolali lebih baik dibandingkan di Bogor. Karena kelima dimensi tersebut sudah mulai tumbuh diharapkan dipertahankan keberlangsungannya dan terus berkembang. Adapun untuk dukungan kelembagaan, dukungan mitra usaha, dan keterbukaan pasar di Bogor lebih baik dibandingkan Boyolali. Hal ini dikarenakan, keempat dimensi tersebut di daerah Bogor mulai berkembang seiring dengan kemajuan usaha bisnis sayuran.
Bila di lihat secara parsial, terlihat bahwa,
dukungan kemitraan di
Kabupaten Boyolali kategori sangat rendah karena di Kabupaten Boyolali belum begitu banyak baik perusahaan daerah maupun perusahaan swasta yang berani menjalin kemitraan dengan petani sayuran mantan binaan misi teknik Taiwan tersebut. Hal ini menyebabkan petani masih ragu tentang pemasaran pascapanen dan penyediaan sarana produksi tani secara kontinyu. Berbeda dengan Kabupaten Bogor yang masuk kategori tinggi, karena hingga sekarang para petani sayuran masih mendapat pendampingan dari misi teknik Taiwan yang sekaligus menjamin membeli dan memasarkan hasil panennya. Di samping itu banyak perusahaan swasta di Kabupaten Bogor yang telah menjalin kemitraan dengan para petani
95
sayuran yang sebagian besar dari mereka meyakini pangsa pasar di daerah JABODETABEK yang lebih pasti dan menguntungkan. Dukungan keluarga di Kabupaten Boyolali tergolong kategori tinggi karena kebanyakan petani sayuran mengandalkan pendapatan keluarga dari berusaha tani sayuran sehingga sangat wajar jika semua anggota keluarga sangat mendukung. Sistem sosial di Kabupaten Boyolali termasuk kategori tinggi karena masyarakat setempat
melalui
tokoh
masyarakat
sangat
mendukung
pengembangan
kewirausahaan petani sayuran, hal ini terbukti dengan diterimanya program pengembangan kewirausahaan petani sayuran yang dibimbing oleh misi teknik Taiwan. Dukungan sistem sosial di Kabupapen Bogor termasuk kategori rendah hal ini dikarenakan di Kabupaten Bogor binaan misi teknik Taiwan masih tergolong baru sangat wajar jika dukungan masyarakat baru pada kategori rendah, untuk itu perlu adanya sosialisasi yang lebih luas lagi kepada pada para tokoh masyarakat, opinion leader dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada. Iklim kewirausahaan syariah Kabupaten Boyolali dan Bogor termasuk kategori rendah, hal ini karena
hukum-hukum
syariah belum banyak
dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari sebagai salah satu sistem solusi berwirausaha, petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor masih banyak yang belum memahami hukum–hukum syariah sehingga sangat wajar kalau baru dalam kategori rendah karena hanya beberapa komunitas saja yang memahami sehingga iklim kewirausahaan belum berkembang pesat. Informasi media massa di Kabupaten Boyolali dan Bogor termasuk kategori rendah. Hal ini terlihat dari fakta lapangan, meskipun fasilitas media massa tersedia tetapi kebanyakan para petani sayuran kurang memanfaatkan untuk mendapatkan informasi pertanian terkait usahatani sayuran. Kebanyakan dari mereka lebih suka menonton hiburan dan kurang suka membaca koran dan majalah. Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Hasil analisis indikator yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas deskripsi peubah pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada
96
misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor disajikan dalam Tabel 10. Sesuai dengan operasional konsep pada bab metode penelitian sebelumnya, ada dua indikator yang diteliti pada peubah pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran, yaitu pola komunikasi linier (monologik) dan dialogik (dialogik). Tabel 10. Pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Indikator Pola komunikasi monologik Pola komunikasi dialogik Pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran
Rataan Skor* Kab. Boyolali Kab.Bogor 35,09 39,56 60,32 62,75 47,71
51,15
Total 37,90 61,85 49,88
Keterangan: *Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi
Berdasarkan Tabel 10, secara keseluruhan rataan skor pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang terdiri dari aspek pola komunikasi monologik dan pola komunikasi dialogik di Bogor lebih tinggi yaitu 51,15 (kategori tinggi) dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 47,71 (kategori rendah). Hal ini disebabkan karena pada saat penelitian dilakukan, di Kabupaten Bogor sedang giat-giatnya menerima bimbingan dari pendamping misi Taiwan sehingga mutual sharing yang terjadi di antara pendamping dan para petani jauh lebih efektif dibandingkan dengan di Kabupaten Boyolali yang sudah diserahkan ke dinas pertanian, perkebunan, dan kehutanan Kab Boyolali melalui UPT usaha pertanian sehingga sangat wajar kalau ada faktor kejenuhan di dalam berkomunikasi di antara mereka. Secara keseluruhan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran di dua kabupaten tersebut, masuk kategori cukup, terlihat dari nilai total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 49,88 (kategori rendah). Sehingga perlu diupayakan sesering mungkin melakukan dialog antara fasilitator dari misi teknik Taiwan dengan para petani sayuran sehingga terjadi mutual sharing informasi di antara mereka. Dengan interaksi yang sering dilakukan akan membuka sikap keterbukaan di antara mereka dan keakraban dalam menjalin hubungan bisnis secara sehat. Apabila dibandingkan antara pola komunikasi monologik dan dialogik, maka komunikasi monologik di dua kabupaten termasuk kategori rendah,
97
sedangkan untuk komunikasi dialogik termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola komunikasi dialogik lebih bisa mengembangkan kapasitas
kewirausahaan
petani
sayuran
dibandingkan
pola
komunikasi
monologik. Lebih lanjut Tabel 10 menunjukkan, bahwa pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran di Bogor lebih baik dari pada di Boyolali. Namun keduanya berada dalam kategori tinggi, karena aktifnya para penyuluh misi teknik Taiwan. Hal ini menyebabkan terjadi sinergi yang baik antara petani sayuran dengan pendamping misi teknik Taiwan, sehingga terjadi komunikasi dua arah, transaksional dan konvergen, didapatkan mutual sharing di antara mereka. Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Dari hasil analisis dimensi-dimensi peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas deskripsi kapasitas kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor disajikan dalam Tabel 11. Sesuai dengan definisi operasional pada bab metode penelitian, ada tiga indikator yang diteliti pada peubah kapasitas kewirausahaan petani sayuran, yaitu technical skill, social skill dan managerial skill. Tabel 11. Pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor Indikator Technical skill Social skill Managerial skill Kapasitas kewirausahaan petani sayuran
Rataan Skor* Kab. Boyolali Kab.Bogor 57,82 53,04 53,46 52,28 46,84 54,68
52,71
53,33
Total 56,05 53,02 49,75 52,94
Keterangan: *Interval skor 0-25 = Sangat Rendah; 26-50 = Rendah; 51-75 = Tinggi; 76-100 = Sangat Tinggi
Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Boyolali untuk technical skill dan social skill lebih baik dibanding petani sayuran di Bogor, namun untuk managerial skill di Bogor lebih baik. Ini dikarenakan petani sayuran di Boyolali lebih dahulu dibimbing oleh misi teknik Taiwan dari pada petani sayuran di Bogor yang baru berumur 7 tahun. Untuk managerial skill, sebenarnya misi teknik Taiwan tidak mengajarkan secara
98
spesifik, tetapi banyak penyuluhan peningkatan managerial skill yang diselenggarakan oleh LSM, dan Penyuluh Swakarsa Mandiri (PSM) termasuk juga para mahasiswa IPB yang melakukan praktek kerja lapang. Dengan kata lain teknik budidaya sayuran, keterampilan bersosialisasi dan kemampuan manajerial akan lebih baik lagi jika ditingkatkan melalui tambahan training untuk meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikhomotorik mereka. Secara keseluruhan, terlihat bahwa total rataan skor pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Bogor lebih tinggi yaitu 53,33 dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali yaitu sebesar 52,71, di mana total rataan skor untuk kedua kabupaten tersebut adalah 52,94. Hal ini terjadi karena di Kabupaten Bogor pendampingan misi Taiwan bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor Cq University Farm melibatkan beberapa pakar di bidang pertanian dan merupakan pilot project dari institusi dalam menggalang pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk tri dharma perguruan tinggi. Diharapkan
pengembangan
kapasitas
kewirausahaan
petani
ini
dapat
meningkatkan kemandirian petani khususnya di dua kabupaten penelitian, dan Indonesia pada umumnya. Secara keseluruhan pengembangan
kapasitas
kewirausahaan petani sayuran di dua kabupaten tersebut tergolong tinggi. Managerial skill petani sayuran binaan ADC di Kabupaten Boyolali tergolong kategori rendah, terjadi karena adanya penyerahan pengelolaan pembimbingan dari misi teknik Taiwan ke Dinas Pertanian, perkebunan, dan kehutanan melalui UPT usaha pertanian yang secara pendekatan budaya kerja penyuluh yang kebanyakan sebagai pegawai negeri sipil mengajarkan managerial skill-nya masih di bawah sistem manajerial ketika dibimbing oleh misi teknik dari Taiwan. Hal ini sangat berbeda seperti yang sekarang masih berlangsung di Kabupaten Bogor di mana para petani sayuran masih mendapatkan pembinaan misi teknik Taiwan yang hasil penelitian ini menunjukkan kategori tinggi. Secara umum, kapasitas kewirausahaan petani sayuran di dua kabupaten penelitian tersebut harus terus ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang secara kontinyu, dipantau dan dievaluasi perkembangannya.
99
Pengaruh Dinamika Sosial, Lingkungan Fisik dan Lingkungan Sosek terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Dinamika sosial yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri atas ekologi kelompok, status dan kekuasaan, kepemimpinan kelompok, iklim kelompok, dan jaringan komunikasi tradisional. Lingkungan sosial terdiri atas sarana komunikasi dan karakteristik teknologi. Lingkungan sosial ekonomi terdiri atas dukungan keluarga, dukungan kelembagaan, dukungan sistem sosial, dukungan mitra usaha, iklim kewirausahaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, keterbukaan pasar, dan informasi media massa. Hasil penelitian tentang pengaruh dinamika sosial, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor disajikan dalam Tabel 12. Pengaruh Dinamika Sosial terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Dinamika sosial (X2) yang terdiri dari keanggotaan kelompok, ekologi kelompok, status dan kekuasaan, kepemimpinan kelompok, iklim kelompok, jaringan komunikasi tradisional, diduga berpengaruh kuat terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh dinamika sosial (X2) terhadap
pola komunikasi monologik
kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing- masing
seperti ditunjukkan dalam Tabel 12.
Tampak bahwa Dinamika sosial (X2) yang terdiri atas aspek keanggotaan kelompok (X2.1), ekologi kelompok (X2.2), status dan kekuasaan (X2.3), kepemimpinan kelompok (X2.4), iklim kelompok (X2.5), dan jaringan komunikasi tradisional (X2.6) tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran. Hal ini terlihat dari nilai koefisien regresi masing-masing 0,253; -0,040; -0,070; -0,265; 0,224; 0,106.
Artinya
aspek-aspek tersebut tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran khususnya pola komunikasi yang bersifat monologik.
100
Tabel 12. Pengaruh peubah-peubah bebas terhadap peubah terikat pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran Pola komunikasi (r) Peubah (X) Monologik Dialogik Dinamika Sosial X2.1 Keanggotaan kelompok 0,253 0,270* X2.2. Ekologi kelompok -0,040 0,109 X2.3. Status dan kekuasaan -0,070 0,160 X2.4. Kepemimpinan kelompok -0,265 0,013 X2.5 Iklim kelompok 0,224 0,484** X2.6 Jaringan komunikasi tradisional 0,106 0,051 Lingkungan Fisik X3.1 Infrastruktur/Sarana komunikasi 0,145 -0,233 X3.2 Karakteristik teknologi -0,154 0,177 Lingkungan Sosial Ekonomi X4.1 Dukungan keluarga 0,207 0,026 X4.2 Dukungan kelembagaan -0,437** -0,035 X4.3 Dukungan sistem social 0,029 -0,099 X4.4 Dukungan mitra usaha 0,013 0,049 X4.5 Iklim kewirausahaan Syariah 0,161 -0,207 X4.6 Keberfungsian kearifan local 0,011 0,150 X4.7 Keterbukaan pasar -0,101 0,179 X4.8 Informasi media massa -0,276 -0,059 Keterangan:**Sangat signifikan pada α 0,01 *Signifikan pada α 0,05
r = koefisien regresi berganda
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan pengaruh dinamika sosial (X2) terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa dinamika sosial (X2) yang terkait dengan aspek keanggotaan kelompok (X2.1) berpengaruh langsung 0,270 atau koefisien regresi 27,0 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran, artinya semakin tinggi partisipasi anggota kelompok tani dalam dinamika sosial maka semakin efektif pola komunikasi kewirausahaan yang bersifat dialogik para petani sayuran. Aspek dinamika social yang lain, hasil penelitian menunjukkan pengaruh nyata iklim/suasana kelompok (X2.5) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh 0,484 atau koefisien regresi 48,4 persen
101
(signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran. Artinya, Terdapat pengaruh iklim/suasana kelompok terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain semakin kondusif suasana/iklim kelompok maka semakin efektif pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang bersifat dialogik. Adapun aspek dinamika sosial lainnya yaitu ekologi kelompok (X2.2), status dan kekuasaan (X2.3), kepemimpinan kelompok (X2.4), dan jaringan komunikasi tradisional (X2.6) tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran, hal ini terlihat dari koefisien regresi aspek tersebut yaitu masing-masing
0,109; 0,160; 0,013; dan 0,051.
Artinya aspek-aspek tersebut tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran khususnya pola komunikasi yang bersifat dialogik. Pengaruh Lingkungan Fisik terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Lingkungan fisik (X3) yang terdiri dari infrastruktur/sarana komunikasi dan karakteristik kewirausahaan
teknologi, petani
diduga sayuran.
berpengaruh Hasil
terhadap
Penelitian
pola
menunjukkan
komunikasi pengaruh
lingkungan fisik (X3) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing– masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 13. Tampak bahwa lingkungan fisik (X3) yang terkait dengan aspek sarana komunikasi (X3.1) tidak menunjukkan pengaruh signifikan dengan nilai koefisien 0,145 terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1). Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh lingkungan fisik (X3) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing–masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 13. Tampak bahwa lingkungan fisik (X3) yang terkait dengan aspek sarana komunikasi (X3.1) tidak menunjukkan pengaruh signifikan dengan nilai koefisien 0,145 terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1).
102
Demikian pula dengan aspek karakteristik teknologi (X3.2), hasil penelitian tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pola komunikasi monologik petani sayuran, hal ini terlihat dari hasil analisis regresi dengan nilai koefisien 0,154 atau hanya 15,4 persen. Artinya, baik sarana komunikasi dan karakteristik teknologi tidak mempengaruhi pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh lingkungan fisik (X3) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing–masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 13. Tampak bahwa lingkungan fisik (X3) yang terkait dengan aspek sarana komunikasi (X3.1) tidak menunjukkan pengaruh signifikan dengan nilai koefisien -0,233 terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1). Demikian pula dengan aspek karakteristik teknologi (X3.2), hasil penelitian tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pola komunikasi monologik petani sayuran, hal ini terlihat dari hasil analisis regresi dengan nilai koefisien 0,177 atau hanya 17,7 persen. Artinya, baik sarana komunikasi dan karakteristik teknologi tidak mempengaruhi pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran. Pengaruh Lingkungan Sosek terhadap Pola Komunikasi Kewirausahaan petani sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Lingkungan sosial ekonomi (X4) yang terdiri dari
dukungan keluarga,
dukungan kelembagaan, dukungan sistem sosial, dukungan mitra usaha, iklim kewirausaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, keterbukaan pasar, informasi media massa, diduga berpengaruh kuat terhadap pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hasil
Penelitian
menunjukkan
Lingkungan
sosial
ekonomi
(X4)
berpengaruh langsung terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing – masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Lingkungan sosial ekonomi (X4) dengan aspek dukungan kelembagaan (X4.2), menunjukkan pengaruh signifikan negatif terhadap pola komunikasi monologik petani sayuran
103
dengan nilai koefisien regresi -0,437, signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dukungan kelembagaan yang diberikan semakin tidak efektif pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran. Selain itu, hasil Penelitian menunjukkan lingkungan sosial ekonomi (X4) berpengaruh langsung terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing– masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Lingkungan sosial ekonomi (X4) dengan aspek dukungan keluarga (X4.1), dukungan sistem sosial (X4.3), dukungan mitra usaha (X4.4.), iklim kewirausaan syariah (X4.5), keberfungsian kearifan lokal (X4.6), keterbukaan pasar (X4.7), informasi media massa (X4.8), tidak
berpengaruh
terhadap pola komunikasi
monologik
kewirausahaan petani sayuran (Y1), nilai koefisien regresi masing masing 0,207; 0,029; 0,013; 0,161, 0,011, -0,101, dan -0,276. Artinya, aspek-aspek tersebut di atas tidak terdapat pengaruh yang signifikan (p>0,05) terhadap pola komunikasi monologik kewirausahaan petani sayuran. Untuk analisis pengaruh lingkungan sosial ekonomi (X4) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing seperti ditunjukkan dalam Tabel 12. Tampak bahwa Lingkungan sosial ekonomi (X4) dengan aspek dukungan keluarga (X4.1), dukungan kelembagaan (X4.2), dukungan sistem sosial (X4.3), dukungan mitra usaha (X4.4.), iklim kewirausaan syariah (X4.5), keberfungsian kearifan lokal (X4.6), keterbukaan pasar (X4.7), informasi media massa (X4.8), tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran (Y1), nilai koefisien regresi masing masing 0,026; -0,035; -0,099; 0,049; -0,207; 0,150; 0,179 dan -0,059.
Artinya aspek-aspek
tersebut di atas tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pola komunikasi dialogik kewirausahaan petani sayuran. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Faktor-Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Dari
hasil
analisis
peubah-peubah
yang
dipergunakan
untuk
menggambarkan secara ringkas deskripsi Pengembangan kapasitas kewirausahaan
104
petani sayuran pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor yang terkait dengan pengaruh langsung dan tidak langsung. Tabel 13. Pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor
Peubah X1.1 Tingkat Pendidikan X1.2 Usia X1.3 Pendapatan X1.4 Jenis kelamin X1.5 Kepemilikan aset X1.6 Kekosmopolitan X1.7 Pengalaman usaha X1.8 Berani ambil resiko X3.1 Infrastruktur sarana komunikasi X3.2 Karakteristik teknologi X4.1 Dukungan keluarga X4.2 Dukungan kelembagaan X4.3 Dukungan sistem
sosial X4.4 Dukungan mitra usaha X4.5 Iklim kewirausahaan syariah X4.6 Keberfungsian kearifan lokal X4.7 Keterbukaan pasar X4.8 Informasi media massa Y1.1 Monologik Y1.2 Dialogik
Pengaruh Langsung 0,205*
Pengaruh tidak langsung melalui X4 Y1.1 Y1.2 0,088
-0,077 0,083
-0,033 0,036
-0,071 0,001 0,244* 0,085
-0,030 0,000 0,105 0,036 -
-0,363** 0,278** 0,210* -0,167* 0,273** -0,033 -0,004 0,210* -0.158 0,441** -0,125 0,224*
-
Pengaruh Total 0,293
-
-
-
-
0,101 0,001 0,349 0,121
0,045
-0,081
0,490
-0,035
0,062
0,375
-0,026
0,047
0,283
0,021
-0,037
0,225
-0,034
0,061
0,368
0,004
-0,007
0,045
0,001
-0,001
0,005
-0,026
0,047
0,283
0,032
-0,058
0,248
-0,055
0, 99
0,595
-
-
-0,125 0,224
0,110 0,119
Keterangan: **Signifikan pada α 0,01 *Signifikan pada α 0,05
Sesuai dengan hipotesis sebelumnya, ada pengaruh langsung antara karakteristik petani, dinamika sosial, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor.
105
Demikian juga tidak langsung antara karakteristik petani, dinamika sosial, lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Ada juga beberapa peubah yang nilai koefisien regresi yang tidak nyata pengaruhnya terhadap pola komunikasi dan pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor disajikan dalam Tabel 13. Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Pengembangan Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Karakteristik petani yang terdiri dari pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan per bulan, kepemilikan aset, tingkat kekosmopolitan, pengalaman berusahatani sayuran, berani mengambil resiko, diduga berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh aspek-aspek karakteristik petani (X1) terhadap pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing
seperti
ditunjukkan dalam Gambar 8. Pada Gambar 8 tampak bahwa karakteristik petani yang terkait dengan aspek tingkat pendidikan (X1.1) berpengaruh langsung 0,205 atau koefisien regresinya berpengaruh 20,5 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2), artinya pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan
petani sayuran maka
semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut. Demikian juga, tingkat pendidikan juga berpengaruh tidak langsung melalui lingkungan fisik (X4) sebesar 0,008 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap artinya
pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2),
pengaruh
tidak
langsung
antara
tingkat
pendidikan
terhadap
pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran melalui lingkungan fisik bisa dikatakan kuat.
106
Aspek karakteristik petani sayuran yang lain, hasil penelitian menunjukkan pengaruh
pengalaman
berwirausahatani
(X1.1)
terhadap
pengembangan
kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh langsung 0,244 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap
pengembangan kapasitas
kewirausahaan petani sayuran (Y2), artinya pengaruh antara pengalaman berwirausahatani terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, semakin lama pengalaman berwirausahatani sayuran maka semakin
berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran
tersebut. Demikian juga, pengalaman berusahatani juga berpengaruh tidak langsung melalui lingkungan fisik (X4) sebesar 0,105 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap
pengembangan kapasitas
kewirausahaan petani sayuran (Y2), artinya pengaruh tidak langsung antara aspek pengalaman berusahatani
terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan
petani sayuran melalui lingkungan fisik bisa dikatakan kuat. Tidak signifikan atau kurang berpengaruh kuatnya usia, kepemilikan aset, kekosmopolitan, berani mengambil resiko, kemungkinan adanya pengaruh kuat dari karakteristik petani pada umumnya yang masih kurang berani mengambil resiko untuk berwirausaha kebanyakan diakibatkan oleh perasaan takut produk yang dihasilkan tidak diterima oleh pasar, atau disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: ketidakmampuan mereka untuk bekerja di bidang lain selain bidang pertanian menjadikan petani kurang berani mengambil resiko karena jika pertanian mereka gagal maka secara otomatis mereka akan kehilangan sumber pendapatan sehingga para petani lebih baik mencari aman dengan melihat petanipetani besar dulu yang mencoba. Ketidak beranian petani dalam mengambil resiko juga disebabkan karena inovasi-inovasi yang tersedia belum bisa dipastikan keberhasilan untuk bisa diterima oleh pasar sehingga para petani baru mau menerima resiko dari segi inovasi ketika ada pihak yang memberikan jaminan pasar. Ketidakberanian mengambil resiko juga ditunjukkan oleh keluhan petani bahwa terkadang mereka sudah bisa menghasilkan produk yang baik, tetapi terkadang oleh pihak kemitraan Taiwan ditolak sehingga mereka baru akan berani menerima resiko ketika pihak
107
kemitraan Taiwan memberikan jaminan bahwa seluruh produk mereka akan dibeli. Ketidakberanian petani dalam mengambil resiko juga disebabkan pihak kemitraan Taiwan tidak memberikan pelatihan atau motivasi–motivasi yang sifatnya membuat petani jadi lebih berani karena memang pihak kemitraan Taiwan hanya memfokuskan bagaimana cara menghasilkan produk pertanian yang berkualitas. Tidak semua petani pada penelitian ini tidak berani mengambil resiko, terdapat pula petani-petani yang berani mengambil resiko. Keberanian para petani dalam mengambil resiko dikarenakan petani meyakini bahwa pertanian merupakan pekerjaan yang tidak dapat dilepaskan dari ketidakpastian (uncertainty). Artinya, memang pertanian akan selalu berkaitan dengan resiko– resiko. Menurut pengakuan para petani, bidang pertanian tanaman hortikultura dihadapkan pada kenyataan bahwa harga akan selalu fluktuatif tergantung dengan kondisi pasar. Harga yang fluktuatif itu menjadikan petani harus berhadapan dengan resiko. Keberanian mengambil resiko seorang petani juga diakibatkan oleh pekerjaan di bidang pertanian merupakan pekerjaan yang tidak selalu rugi, di antara proses produksi yang dilakukan petani dalam satu tahun pasti terdapat suatu periode di mana para petani akan memperoleh keuntungan dan juga kerugian jadi menjadi rugi merupakan hal-hal yang biasa saja. Keberanian petani dalam mengambil resiko juga merupakan manifestasi kepercayaan petani terhadap Tuhan Yang Maha Esa (dalam, bahasa lokal biasa disebut Sang Pangeran), hal ini memiliki pengertian bahwa para petani akan selalu berusaha seoptimal yang mereka mampu karena mereka berkeyakinan bahwa rezeki terdapat di tangan Tuhan sehingga sebagai manusia tugas mereka hanya bekerja keras.
Petani–petani yang memiliki lahan besar cenderung
memiliki kemampuan untuk mengambil resiko karena untuk menerapkan inovasi karena para petani dengan lahan besar bisa menyisihkan sedikit lahan pertanian mereka untuk lokasi percobaan sehingga ketika mengalami kerugian mereka masih memiliki pemasukan dari lahan pertanian yang lain.
108
Pengaruh Lingkungan Fisik terhadap Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Lingkungan fisik (X3) yang terdiri dari sarana komunikasi dan ciri/ karakteristik teknologi diduga berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh Lingkungan fisik (X3) terhadap pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masing-masing seperti ditunjukkan dalam Gambar 8. Pada Gambar 8 tersebut tampak bahwa Lingkungan fisik yang terkait dengan aspek sarana komunikasi berpengaruh langsung -0,363 persen atau koefisien regresinya berpengaruh negatif -36,3 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya,
pengaruh
langsung
antara
sarana
komunikasi
terhadap
pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, meskipun semakin baik sarana komunikasi, kurang berpengaruh pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Hal ini bisa dijelaskan pada kenyataannya di lapangan meskipun sarana komunikasi baik ternyata tidak dimanfaatkan oleh para petani untuk pengembangan kapasitas kewirausahaan terbukti sudah tersedianya jaringan internet dan telepon seluler tetapi tidak dimanfaatkan oleh mereka untuk mengembangkan kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Aspek lingkungan fisik yang lain, hasil penelitian menunjukkan pengaruh karakteristik teknologi (X3.2)
terhadap pengembangan kewirausahaan petani
sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh langsung 0,278 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya, pengaruh antara karakteristik teknologi terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, semakin tepat teknologi yang digunakan maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut.
109
Pengaruh Lingkungan Sosial Ekonomi terhadap Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Lingkungan sosial ekonomi (X4) yang terdiri dari
dukungan keluarga,
dukungan kelembagaan, dukungan sistem sosial, dukungan mitra usaha, iklim kewirausahaan syariah, keberfungsian kearifan lokal, keterbukaan pasar, informasi media massa, diduga berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa lingkungan sosial ekonomi (X4) berpengaruh langsung terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, masingmasing seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. Pada Gambar 5 tampak bahwa lingkungan sosial ekonomi (X4) pertama yang terkait dengan aspek dukungan keluarga (X4.1) berpengaruh langsung 0,210 atau koefisien regresi 21,0 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya, pengaruh langsung
antara dukungan keluarga terhadap pengembangan kapasitas
kewirausahaan petani sayuran kuat. Dengan kata lain, semakin mendapat dukungan yang kuat dari anggota keluarga maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Aspek
lingkungan
sosial
ekonomi
yang
kedua
yaitu
dukungan
kelembagaan. Hasil Penelitian menunjukkan pengaruh dukungan kelembagaan (X4.2)
terhadap pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi
teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh langsung -0,167 atau koefisien regresinya 16,7 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan sangat nyata 95 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya pengaruh antara dukungan kelembagaan terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran kuat. Dengan kata lain, semakin kuat mendapat dukungan dari kelembagaan setempat maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut. Aspek
lingkungan
sosial
ekonomi
yang
ketiga,
hasil
Penelitian
menunjukkan pengaruh dukungan sistem sosial (X4.3) terhadap pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten
110
Boyolali dan Bogor berpengaruh langsung 0,273 atau koefisien regresi 27,3 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya, pengaruh antara dukungan sistem sosial terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, semakin kuat mendapat dukungan dari sistem sosial setempat maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut. Aspek lingkungan sosial ekonomi yang keempat, hasil penelitian menunjukkan pengaruh keberfungsian kearifan lokal
(X4.6)
terhadap
pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh langsung 0,210 atau koefisien regresi 21,0 persen (signifikan pada α 0,05 taraf kepercayaan nyata 95 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya, pengaruh antara
keberfungsian
kearifan
kewirausahaan petani sayuran
lokal
terhadap
pengembangan
kapasitas
kuat. Dengan kata lain, semakin kuat
keberfungsian kearifan lokal maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut. Aspek kearifan lokal pertama adalah kepercayaan dan kejujuran dalam bekerjasama, dari hasil wawancara indepth ternyata terdapat banyak pertimbangan yang dijadikan dasar oleh petani dalam membangun hubungan dengan pihak lain. Hal mendasar yang dijadikan pertimbangan seseorang dalam membangun kerjasama adalah kepercayaan dan kejujuran. Para petani beranggapan jika sudah percaya terhadap orang lain maka akan lebih mudah untuk menjalin kerjasama. Tanpa adanya kepercayaan petani beranggapan mustahil akan bekerjasama karena ditakutkan tidak akan memberikan keuntungan dan hanya memberikan kerugian. Kepercayaan dan kejujuran menjadi modal penting karena petani beranggapan modal pintar saja tidak cukup, kepintaran dapat dilatih tetapi kepercayaan dan kejujuran itu tidak dapat terbangun dalam waktu yang sebentar sehingga dengan bekerjasama dengan orang yang sudah kita percaya dan jujur maka ke depannya tinggal meningkatkan kualitas kerjasamanya. Hal lain yang menjadi pertimbangan bagi para petani untuk bekerjasama adalah adalah latar belakang pihak yang akan diajak bekerjasama, akan lebih mudah dalam membangun kerjasama dengan
111
orang yang sudah diketahui latar belakangnya. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam bekerja sama adalah kemauan untuk bekerja sama dan kemauan untuk maju bersama. Sebagai unsur kearifan lokal kedua yaitu sistem sagi hasil antara petani dan pemilik lahan. Sistem bagi hasil tidak banyak diterapkan oleh para petani di Kabupaten Boyolali dan Bogor, kebanyakan dari petani menggunakan sistem sewa lahan ada yang menyewa untuk satu periode produksi ada pula yang sistem kontrak untuk satu tahun langsung. Untuk sistem bagi hasil yang diterapkan oleh petani biasanya bersifat sistem paro (50:50) terdapat pula petani yang sistem bagi hasilnya 1/3 (65:35), semua itu tergantung dari perjanjian antara petani dan pemilik lahan pertanian tersebut. Unsur kearifan lokal ketiga adalah sistem kerjasama antar petani dan pemilik lahan. Sistem kerjasama petani dan pemilik lahan adalah kerjasama mengenai lahan garapan, kerjasama diterapkan pada wilayah penelitian
di
Kabupaten Boyolali dan Bogor sangat beragam dari mulai sistem kerjasama dengan sistem sewa, sistem gadai, dan sistem kontrak dan sistem paro. Sistem yang banyak diterapkan di masyarakat adalah sistem sewa lahan dibandingkan dengan sistem yang lainnya. Sistem sewa lahan terkadang memiliki beragam bentuk perjanjian antara petani dan pemilik lahan, metode yang biasanya sering digunakan adalah pembagian hasil panen 65 persen untuk petani dan 35 persen untuk pemilik lahan. Sementara itu sistem gadai tanah kurang begitu diminati oleh masyarakat karena sistem kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat sering bermasalah (status tidak jelas) sehingga pada akhirnya sering merugikan petani itu sendiri. Unsur kearifan lokal yang keempat adalah empati. Para petani memiliki rasa empati yang sangat tinggi dengan petani atau masyarakat lainnya, para petani selalu bisa merasakan kesedihan atas musibah yang dialami oleh petani lain, karena para petani mengakui bahwa musibah yang dialami oleh petani lain seperti terkena hama dan penyakit, rugi ketika penjualan pasti pernah dirasakan juga oleh petani-petani lainnya. Tetapi para petani hanya sebatas empati saja tidak sampai kepada tindakan konkrit sampai memberikan bantuan karena para petani ini bingung apa yang harus mereka bantu karena di satu sisi untuk memenuhi
112
kebutuhan hidupnya sendiri mereka masih belum mandiri sehingga bentuk perhatian yang diberikan hanya sebatas perhatian dan motivasi saja. Di sisi lain ada petani yang berempati dan memberikan bantuan. Banyak juga petani yang tidak hanya sebatas berempati terhadap petani-petani lain yang mengalami musibah, tetapi mereka juga memberikan bantuan baik dari segi pupuk, benih dan juga terkadang modal. Biasanya petani yang memberikan bantuan merupakan petani-petani yang luas lahannya besar, bantuan yang diberikan merupakan benihbenih yang tidak terpakai lagi. Terdapat pula petani yang memberikan bantuan berupa pekerjaan buruh tani bagi mereka yang mengalami musibah, sehingga mereka yang mengalami musibah tetap dapat meneruskan kehidupannya secara normal. Unsur kearifan lokal kelima adalah ikatan solidaritas, unsur ini ada ketika kelompok tani membentuk suatu ikatan solidaritas melawan tengkulak. Ikatan solidaritas petani terejawantahkan melalui kelompok tani. Biasanya ikatan solidaritas suatu petani akan menjadi kuat jika di wilayah tersebut terdapat pihakpihak yang dapat merugikan petani setempat seperti tengkulak. Biasanya petani membentuk suatu kelompok tani agar lebih kuat dan bersatu, sehingga dengan adanya kelompok tani para pemberi bantuan akan datang. Ikatan berupa kelompok tani ini yang mempermudah para petani untuk menjual produk mereka ke pasar maupun ke ADC. Melalui kelompok tani ini tengkulak akan sulit untuk masuk dan mengintervensi petani karena petani biasanya sudah memiliki kontrak atau kerjasama dengan pihak pemberi bantuan yang resmi seperti ADC. Diakui oleh para petani dengan bergabung ke dalam kelompok tani pertanian mereka lebih maju karena selain banyaknya pihak-pihak yang memberikan bantuan, para petani juga lebih mudah bertukar informasi mengenai pertanian secara umum. Dengan berdirinya kelompok tani bukan berarti tengkulak dan sistem ijon bisa hilang begitu saja. Harus diakui sistem ijon memang sulit untuk dihilangkan dalam masyarakat pertanian karena banyak petani yang terkadang membutuhkan uang di tengah-tengah masa tanam, adanya kelompok sebagai salah satu bentuk ikatan solidaritas dari petani tidak semata-mata dapat menghilangkan posisi tengkulak dalam masyarakat petani tetapi lebih kepada mengurangi ketergantungan para petani terhadap tengkulak yang kadang merugikan para petani. Perlawanan nyata
113
yang ditunjukkan oleh petani terhadap tengkulak selain melalui kelompok adalah melalui penentuan harga dasar komoditas pertanian hal tersebut dilakukan melalui pembuatan koperasi. Selain itu dengan selalu berhubungan dengan pasar langsung sehingga para petani dapat mengetahui harga pasar dan tidak akan dapat dibohongi oleh tengkulak. Para petani pun sadar bahwa tergantung pada tengkulak akan merugikan petani itu sendiri. Kenyataan di lapangan ada beberapa lokasi yang tidak berdaya menghadapi tengkulak. Tidak semua petani yang memiliki atau tergabung dalam kelompok tani memiliki kekuatan untuk melawan tengkulak. Masih terdapat petani yang takut dalam menghadapi tengkulak sehingga mereka terpaksa bekerjasama dengan tengkulak, jadi sayuran yang tidak lolos sortasi dari ADC mereka tawarkan kepada para tengkulak, karena terdapat pula tengkulak yang suka memberikan pinjaman modal sehingga hal tersebut dapat menanamkan rasa “berhutang” para petani kepada tengkulak jadi para petani tidak mampu menolak dan tidak enak untuk menolak tawaran yang diberikan oleh tengkulak. Unsur kearifan lokal yang ke enam yaitu nilai gotong-royong. Nilai-nilai yang pada masyarakat masih sangat tinggi, antara lain nilai yang masih dipegang teguh oleh masyarakat adalah gotong-royong, terdapat kegiatan-kegiatan gotong royong pada kelompok tani dan masyarakat masih cukup kuat, kelompok pertanian juga sering melakukan perencanaan dalam hal mengahadapi kekeringan membuat pipanisasi lokal pedesaan dan pembagian air secara adil untuk para petani. Terdapat juga kegiatan gotong-royong yang berupa pembangunan sarana prasarana yang ada di desa tempat tinggalnya. Gotong-royong merupakan nilai yang tidak dapat ditinggalkan oleh para petani karena petani mengakui bahwa dengan bergotong royong segala kegiatan menjadi lebih mudah dan dapat mempererat tali silaturahmi dengan sesama petani dan anggota masyarakat. Kejujuran merupakan suau prasyarat yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat sekitar karena para petani mengakui tanpa adanya kejujuran mustahil dapat terjadinya ikatan yang kokoh antara sesame petani dalam kelompok tani. Selain itu kejujuran juga sangat penting bagi petani karena hal itu merupakan moda utama yang harus dipenuhi ketika hendak bekerja sama dengan pihak mitra (ADC).
114
Unsur kearifan lokal yang ke tujuh adalah melestarikan alam, pelestarian alam meruipakan kegiatan yang tidak akan terlepas dari kegiatan pertanian. Karena para petani mengakui bahwa kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang melesatarikan alam karena dapat membuat tanah menjadi lebih gembur. Para petani juga mengakui bahwa kegiatan pertanian yang mereka lakukan sebisa mungkin meminimalisisr penggunaan pupuk pestisida dan banyak menggunakan pupuk yang bersifat alami seperti pupuk kandang, karena para petani meyakini bahwa penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dapat merusak alam dan manusia yang mengkonsumsinya. Dengan menerapkan sistem pertanian yang organik diakui oleh para petani bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk kegiatan yang melestarikan alam. Para petani juga mengakui bahwa kegiatan pertanian yang terlalu tergantung pada bahan kimia dalam jangka panjang dapat merusak kelestarian alam itu sendiri dan pada jangka waktu yang panjang akan merugikan petani itu sendiri. Aspek lingkungan sosial ekonomi yang terakhir yaitu informasi media massa, hasil penelitian menunjukkan pengaruh informasi media massa (X4.8) terhadap pengembangan kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor berpengaruh langsung 0,441 atau koefisien regresinya 44,1 persen (signifikan pada α 0,01 taraf kepercayaan sangat nyata 99 persen) terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2). Artinya, pengaruh antara informasi media massa terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran sangat kuat. Dengan kata lain, semakin tersedianya informasi media massa untuk petani sayuran maka semakin berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran tersebut. Pengaruh Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran terhadap Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran pada Misi Teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor Pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran (Y1) yang terdiri dari pola komunikasi monologic dan dialogik, diduga berpengaruh kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hasil Penelitian menunjukkan Pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran
dialogik
(Y1.2)
berpengaruh
langsung
terhadap
pengembangan
115
kewirausahaan petani sayuran (Y2) pada misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.
X3.1 Sarana komunikasi
X1.1 Tk. pendidikan
-0,363 0,205 X2.1 Penglmn Usaha
0,278
X3.2 Karakteristik teknologi
Y1 Pola Komunikasi
0,244
Y1.1 Monologik
0,270
X2.1 Keanggotaan Kelompok
Y1.2 Dyalogik
0,224
X4. Lingk. Sosek X4.1 Dukungan keluarga
0,484 X2.5 Iklim Kelompok
X4.2 Duk. Kelembagaan
0,210 -0,167
Y2 Kapasitas kewirausahaan
0,273 0,210
£ = 0,400
X4.3 Duk. Sistem Sosial X4.6 Kearifan Lokal
0,441
X4.8 IInformasi media massa
Keterangan : Berpengaruh Positif Berpengaruh Negatif £ = Pengaruh faktor lain diluar peubah yang diteliti adalah 40%
Gambar 5. Model Jalur Pola Komunikasi Efektif pada Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor Pada Gambar 5 tampak bahwa pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang dialogik (Y1.2) berpengaruh langsung 0,224 persen atau koefisien regresinya 22,4 persen (signifikan pada α persen) terhadap Artinya, pengaruh
0,05 taraf kepercayaan
nyata 95
pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran (Y2), langsung
antara pola komunikasi
kewirausahaan petani
sayuran yang dialogik terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani
116
sayuran kuat. Dengan kata lain, semakin seringnya digunakan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang dialogik maka semakin
berkembang
kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Sebaliknya dari hasil penelitian jika menggunakan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang monologic
pengaruhnya
-0,125 atau
koefisien regresinya negatif 12,5 persen tidak signifikan. Artinya, kalau semakin sering menggunakan
pola
komunikasi
kewirausahaan petani sayuran yang
monologic akan semakin kurang berkembang kapasitas kewirausahaan petani sayuran. Pola Komunikasi Kewirausahaan Petani Sayuran Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pola komunikasi kewirausahaan petani sayuran yang terjadi di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor, dilakukan uji beda. Hasil uji beda pola komunikasi kedua kabupaten tersebut disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat perbedaan pola komunikasi monologik (Y1.1 ) di Boyolali dan Bogor. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien thitung (1,720) yang signifikan pada taraf 0,144 atau tidak signifikan pada taraf > 0,05. Artinya, pola komunikasi monologik yang digunakan oleh pendamping petani sayuran di dua lokasi penelitian cenderung sama atau tidak berbeda. Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat perbedaan pola komunikasi dialogik (Y1.2) antara Kabupaten Bogor dengan Boyolali. Hal ini dapat dilihat dari nilai thitung (0,948) yang signifikan pada taraf 0,427 atau tidak signifikan pada taraf > 0,05. Artinya, pola komunikasi dialogik yang digunakan oleh pendamping petani sayuran baik di Kabupaten Boyolali maupun Kabupaten Bogor cenderung sama atau tidak berbeda.
117
Tabel 14. Uji beda pola komunikasi monologik dan dialogik antara Kabupaten Boyolali dengan Bogor
Kabupaten N Y1.1 dimension1
Y1.2 dimension1
Bogor Boyolali Bogor Boyolali
46 78 46 78 Levene's Test untuk kesamaan varian
Variabel
Y1.1
Y1.2
Nilai Nilai Signifi Nilai t F kan hitung 16,554 ,000 -1,720
Asumsi kesamaan varian terpenuhi Asumsi kesamaan varian tidak terpenuhi Asumsi 12,649 kesamaan varian terpenuhi Asumsi kesamaan varian tidak terpenuhi
Rataan 4,1304 4,7692 25,2174 26,5897
Kesalahan baku rataan ,40122 ,16005 1,61512 ,57603
Uji t untuk kesamaan rataan Taraf kepercayaan 95% signifik Perbeda atas perbedaan varian ansi Perbeda an an kesalah Derajat 0,01 rataan an baku Nilai bawah Nilai atas bebas 122 ,088 -,63880 ,37145 -1,37411 ,09652
-1,479 59,579
,001
Simpangan baku 2,72118 1,41351 10,95427 5,08738
-,63880
,43196
-1,50297
,22538
122
,345 -1,37235
1,44713
-4,23708
1,49238
-,800 56,640
,427 -1,37235
1,71477
-4,80659
2,06188
-,948
,144
Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran antara Kabupaten Boyolali dan Bogor Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran yang terjadi di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor, dilakukan uji beda. Hasil uji beda pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran kedua kabupaten tersebut disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis SPSS menunjukkan tidak ada perbedaan pengembangan kapasitas kewirausahaan dalam bidang technical skill (Y2.1) dan social skill (Y2.2) antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Boyolali. Hal ini terlihat dari nilai thitung technical skill (Y2.1) sebesar 1,619 dengan taraf signifikansi 0,108 atau >0,05. Demikian pula dengan social skill (Y2.2), di mana thitung (Y2.2) adalah sebesar 0,331 dengan taraf signifikansi 0,741 atau >0,05. Namun demikian, terdapat perbedaan nyata pada managerial skill (Y2.3) antara Kabupaten Bogor
118
dan Kabupaten Boyolali, hal ini terlihat dari nilai thitung (Y2.3) sebesar 2,026 dengan taraf signifikansi 0,045 atau < 0,05. Total rataan skor (Y2.3) Kabupaten Bogor adalah 21,1087, sedangkan Kabupaten Boyolali adalah 20,0897. Tabel 15. Uji beda pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran antara Kabupaten Bogor dan Boyolali Kabupaten Y2.1 dimension1
Y2.2
dimension1
Y2.3
N
Bogor Boyolali Bogor Boyolali Bogor
46 78 46 78 46
Rataan 46,6087 47,5641 25,4565 25,6923 21,1087
Boyolali
78
20,0897
Simpangan baku 3,02198 3,41726 4,95180 2,99049 2,63505
Kesalahan baku rataan ,44557 ,38693 ,73010 ,33861 ,38852
dimension1
Levene's Test untuk kesamaan varian
2,74541
Uji t untuk kesamaan rataan
Variabel
Y2.1
Y2.2
Y2.3
Asumsi kesamaan varian terpenuhi Asumsi kesamaan varian tidak terpenuhi Asumsi kesamaan varian terpenuhi Asumsi kesamaan varian tidak terpenuhi Asumsi kesamaan varian terpenuhi Asumsi kesamaan varian tidak terpenuhi
,31086
Nilai F
Nilai Signifik an
Nilai t hitung
,060
,808
-1,568
signifika Derajatnsi 0,01 Perbedaa n rataan bebas
Perbedaa n kesalahan baku
Taraf kepercayaan 95% atas perbedaan varian
Nilai bawah
Nilai atas
122
,119
-,95541
,60920
-2,16139
,25057
-1,619 103,92
,108
-,95541
,59012
-2,12565
,21484
2 17,2 00
,418
,000
,519
-,331
122
,741
-,23579
,71249
-1,64623
1,17465
-,293
64,691
,770
-,23579
,80480
-1,84323
1,37166
2,026
122
,045
1,01895
,50291
,02340
2,01451
2,048
97,666
,043
1,01895
,49757
,03150
2,00641
Untuk aspek technical skill antara Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor dari analisis uji beda tidak menunjukkan perbedaan dikarenakan sistem penyampaian pengetahuan budidaya yang diberikan oleh misi teknik Taiwan sama, demikian juga dengan social skill antara Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Bogor dari analisis uji beda tidak menunjukkan perbedaan dikarenakan
119
budaya dua wilayah ini masih tergolong sama dalam berinteraksi di antara mereka. Manajerial skill, menunjukkan ada perbedaan nyata di dua kabupaten tersebut. Dengan kata lain Kabupaten Bogor manajerial skillnya lebih baik dari pada Boyolali. Hal ini terjadi karena aspek managerial skill di Kabupaten Bogor masih aktif didampingi oleh para fasilitator dari misi teknik Taiwan, sedangkan di Kabupaten Boyolali sudah dilepaskan dan sekarang dikelola oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan melalui pembentukkan suatu Unit pengelola Teknis. (UPT) Usaha Pertanian yang berkantor di KecamatanTeras.
Strategi Pengembangan Kapasitas Kewirausahaan Petani Sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor Berdasarkan model jalur pada gambar dapat ditentukan prioritas strategi pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor melalui pola komunikasi. Paling tidak terdapat tiga faktor prioritas pertama yang memberikan pengaruh sangat kuat dalam pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor yaitu beberapa indikator berturut –turut sebagai berikut : 1. Pengembangan iklim kelompok yang kondusif Faktor iklim kelompok
sangat diperlukan dalam mewujudkan pola
komunikasi dialogik yang pada akhirnya mempengaruhi pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hal ini bermakna bahwa iklim / suasana kelompok yang kondusif, kompak dan saling bertolerensi menjadi prioritas strategi
pertama dalam mewujudkan pola
komunikasi yang efektif dalam rangka mengembangkan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Faktor iklim kelompok ini harus mendapat perhatian khusus agar suasana kelompok yang dinamis terus terjaga. Untuk itu selain para petani menjaga iklim kelompok yang kondusif dan dinamis, maka peranan pendamping juga harus aktif memberikan pembinaan melalui berbagai sosialisasi kepada petani betapa pentingnya menjaga kekompakan kelompok karena dengan suasana yang kondusif terjadi sharing berbagai pengetahuan kewiraushaan sayuran diantara mereka.
120
2. Pengembangan alir informasi media massa sesuai dengan kebutuhan usaha tani Informasi media massa sangat berpengaruh terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hal ini mengandung arti bahwa informasi media massa termasuk menjadi salah satu prioritas
strategi
pertama
dalam
rangka
mengembangkan
kapasitas
kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Oleh sebab itu tersedianya informasi media massa
bagi para petani menjadi syarat penting
karena dengan informasi media massa yang baik petani bisa mendapatkan informasi yang up to date tentang pemasaran, teknologi pengawetan, bibit yang unggul, peralatan pertanian baru dan lain-lain informasi tentang penemuanpenemuan terbaru. Diharapkan dengan mendapatkan informasi media massa dapat menambah wawasan pengetahuan sehingga pengembangan kemampuan diri petani dapat terwujud. 3. Pengembangan karakteristik teknologi tepat guna Karakteristik teknologi sangat berpengaruh terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hal ini terkandung arti bahwa karakteristik teknologi yang digunakan petani sayuran termasuk menjadi salah satu skala prioritas strategi
pertama dalam
mengembangkan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor.
Oleh sebab itu penggunaan teknologi yang diperkenalkan dan
dilatihkan kepada petani haruslah teknologi tepat guna sehingga para petani dapat mengadopsi teknologi tersebut dan dapat berdaya guna dalam meningkatkan produktifitas petani sayuran.
Karakteristik teknologi pada tahap persiapan,
tahap penanaman, tahap pemanenan dan tahap pengolahan pasca panen seperti pengawetan,
pengemasan
juga
perlu
disesuaikan
dengan
kemampuan
pengetahuan, keterampilan petani dan kemampuan keuangannya, sehingga terjangkau dan dapat diterima oleh petani sayuran. Diharapkan dengan penerapan teknologi tepat guna yang
terjangkau juga oleh petani sayuran dapat
meningkatkan produktifitas petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor.
121
4. Pengembangan dukungan sistem sosial Dukungan sistem sosial berpengaruh sangat kuat terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hal ini mengandung arti bahwa dukungan sistem sosial menjadi salah satu skala prioritas strategi pertama dalam mengembangkan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Oleh sebab itu dukungan sistem sosial perlu dikondisikan baik dan lingkungan masyarakat menerima adanya program pendampingan misi teknik Taiwan di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Pengkondisian ini penting karena jika keberadaan misi teknik Taiwan tidak mampu menyesuaikan diri dengan sistem sosial yang sudah ada maka program yang ditawarkan akan ditolak dan mempunyai resistensi yang tinggi, mengingat program yang dibimbingkan baru. 5. Pengembangan keanggotaan kelompok yang komunikatif Keanggotaan kelompok sangat berpengaruh nyata terhadap pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hal ini mempunyai arti bahwa jumlah keanggotaan kelompok yang komunikatif dan berperan aktif dalam kelompok
sangat menentukan pada pengembangan
kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Dengan kata lain keanggotaan kelompok yang komunikatif menjadi salah satu skala prioritas strategi pertama dalam mengembangkan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Agar terwujud keanggotaan kelompok yang ideal perlu pelatihan tentang kerjasama tim atau tentang keorganisasian kepada para petani sayuran. 6. Pemanfaatan sarana komunikasi dalam pengembangan sayuran Hal yang tidak kalah pentingnya adalah faktor Sarana komunikasi hasil penelitian menunjukkan mempunyai pengaruh sangat kuat negatif pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Hal ini mempunyai artinya bahwa sarana komunikasi ini sangat kuat pengaruhnya pada pengembangan pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran, namun karena kebanyakan para petani menggunakan sarana komunikasi untuk kepentingan yang lain bukan untuk mengembangkan dirinya dalam meningkatkan kemampuan berwira usaha tani, maka kenyataannya menjadi tidak
122
berpengaruh (negatif), lain halnya jika sarana komunikasi yang tersedia digunakan untuk mencari pengetahuan tentang pemasaran, teknologi yang baru, dan lain– lain akan lebih meningkat kemampuan dan keterampilan para petani sayuran 7. Pemanfaatan pengalaman usaha tani petani Pengalaman usaha tani mempunyai pengaruh kuat pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Dari sisi prioritas strategi menempati skala prioritas kedua dibanding enam faktor terdahulu
Hal ini mempunyai arti bahwa pengalaman usaha tani akan
berkembang sejalan dengan waktu mereka tetap berusaha tani sayuran dan tetap konsisten pada bidang usahanya. Untuk itu agar mereka tetap bisa bertahan dan konsisten pada bidang pertanian sayuran perlu diupayakan agar mereka senang dan untung terus
dengan berusaha tani sayuran, yang memang prospek ke
depannya cukup menjanjikan menguntungkan dan berkelanjutan. Sehingga perlu memotivasi para petani agar mereka yakin usahanya terus berhasil, pengalaman mereka akan menjadi bertambah
dari situ
dari panen ke panen yang
berikutnya. 8. Mengutamakan penerapan pola komunikasi dialogik dalam pendampingan Pola komunikasi dialogik mempunyai pengaruh kuat pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Dari sisi prioritas strategi menempati prioritas kedua Hal ini mempunyai arti bahwa pola komunikasi dialogik perlu digunakan pada setiap kesempatan pendamping memberikan pembinaan kepada para petani sayuran. Meskipun kadang kala tetap masih perlu menggunakan pola komunikasi monologik ketika itu sifatnya pembinaan yang memang merupakan pengetahuan sangat baru bagi petani dan syarat mutlak untuk dilaksanakan misalnya penerapan program pengawetan hasil panen dengan cool storage yang sangat baru bagi mereka sehingga memerlukan pola komunikasi monologik. 9. Pengenalan dan penggalian dukungan kearifan lokal Dukungan kearifan lokal
mempunyai pengaruh kuat pada pengembangan
kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Dari sisi prioritas strategi menempati skala prioritas kedua.
Hal ini mempunyai arti
bahwa dukungan kearifan lokal perlu dijaga dan digunakan pada setiap
123
kesempatan pendamping memberikan pembinaan kepada para petani sayuran Kabupaten Boyolali dan Bogor. Penggunaan kearifan lokal petani akan merasa dihormati jika budaya yang mengakar dari nenek moyangnya diadopsi sehingga akan memotivasi mereka dalam menerima dan mengikuti ajakan dari para pendamping. Strategi ini banyak digunakan oleh mis teknik Taiwan
seperti
membangun kerjasama dalam kelompok tani dalam bentuk gotong royong, kebersamaan sepenanggungan, saling tolong menolong, rasa saling percaya , guyub rukun, rajin silaturahmi , pola berusaha secara berjamaah dan lain-lain. 10. Pengembangan dukungan keluarga Dukungan keluarga mempunyai pengaruh kuat pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Dari sisi prioritas strategi menempati skala prioritas kedua. Hal ini mempunyai arti bahwa dukungan keluarga
penting untuk meningkatkan kemampuan individu petani
sayuran. Tidak jarang para petani yang menerapkan teknik budidaya pertanian baru pada taraf mencoba, maka pengaruh dukungan keluarga kepada individu petani sangat kuat terutama dalam memutuskan untuk terus atau kembali lagi kepada pola lama yang sudah ditekuni selama ini. Ada lagi pada taraf konsistensi dan berkelanjutan maka dukungan keluarga kuat dan penting. 11. Penerapan metoda pendampingan yang sesuai dengan tingkat pendidikan petani Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh kuat pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Dari sisi prioritas strategi menempati skala prioritas kedua. Hal ini mempunyai arti bahwa tingkat pendidikan
penting untuk meningkatkan kemampuan individu petani
sayuran. Semakin tinggi pendidikan maka akan semakin mudah dan lebih cepat para pendamping memberikan binaan kepada mereka. Petani sayuran yang pendidikannya tinggi lebih konsisten dalam usahatani sayuran dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Hal ini terlihat dari mereka yang mampu berhasil meningkatkan produktifitasnya kebanyakan berpendidikan SMP dan SMA. Sedangkan yang berpendidikan SD masih sering berpidah/ berganti usaha sayuran ke padi dan sebaliknya akan kembali lagi ke sayuran.
124
12. Pengembangan dukungan kelembagaan secara transparan Hal yang menarik adalah dukungan kelembagaan mempunyai pengaruh nyata negatif pada pengembangan kapasitas kewirausahaan petani sayuran di Kabupaten Boyolali dan Bogor. Artinya para petani tidak tergantung pada lembaga formal yang sudah ada. Mereka merasa semua fungsi kelembagaan yang selama ini ada telah terwakili oleh misi teknik Tawian. Hasil penelitian menunjukkan para petani binaan misi teknik Taiwan kebanyakan apatis terhadap kelembagaan yang sudah ada karena kebanyakan lebih sering ditunggangi kepentingan politisi lokal maupun pusat. Kebanyakan program-program kelembagaan yang ada lebih bernuansa ada udang dibalik batu contohnya menjelang pilkada dan pemilihan umum. Hal ini mengakibatkan para petani apatis dan kurang tertarik lagi dengan kelembagaan yang sudah ada.