31
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian
Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMK Negeri contoh terletak di Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 Juni 1980 dengan nama SMKK Negeri Bogor. Gedung sekolah SMK negeri remaja ini terdiri dari 3 lantai di atas tanah seluas 1 Ha, dan didukung oleh tenaga pengajar yang terdiri dari pengajar tetap dan tidak tetap dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dan berpengalaman di bidangnya. Sebesar 95 persen pengajar berpendidikan S1 dan beberapa telah menyelesaikan S2 di berbagai perguruan tinggi. Visi dari SMK negeri contoh adalah menjadi Sekolah Berstandar Internasional Tahun 2010. Sedangkan misi yang diemban oleh sekolah ini diantaranya adalah : (1) menciptakan lembaga dalam susana belajar dan bekerja dengan menjunjung tinggi aspek moralitas, mengembangkan lembaga sebagai sekolah yang inovatif dan kreatif, mengembangkan SDM dengan jiwa entrepreneurship; (2) meningkatkan profesionalisme dalam pelayanan dan mengembangkan diri menjadi assesor dengan tetap mengedepankan aspek pendidikan; (3) menciptakan tamatan yang mandiri dan bertanggung jawab yang terus
meningkatkan
keimanan
dan
ketaqwaan,
ilmu
pengetahuan
dan
keterampilan, dengan prinsip belajar sepanjang hayat serta mampu bersikap responsif dan adaptif terhadap perkembangan di tengah era global Bidang keahlian dan program keahlian yang ada di SMK negeri remaja meliputi Teknik Komputer Jaringan, Akademi Perhotelan, Jasa Boga, Patiseri, Tata Kecantikan Kulit, Tata Kecantikan Rambut, dan Tata Busana. Jumlah siswa kelas XII di SMK negeri adalah 482 orang dengan jumlah siswa laki-laki sebanyak 157 orang dan siswa perempuan 326 orang. SMK Swasta contoh terletak di Jalan Dr. Sumeru Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Sekolah ini berdiri pada tanggal 17 Januari 1990 dengan program keahlian sekertaris dan akutansi. Pada tahun 1999 SMK Swasta remaja ini memperoleh status akreditasi disamakan.
32
Visi dari SMK Swasta contoh adalah “melalui norma, etis, santun, kondusif dan profesional berusaha meraih prestasi di bidang akademis dan moralitas dalam menghadapi era globalisasi dengan penguasaan IPTEK dan IMTAQ yang seimbang”. Sedangkan misi yang diemban oleh SMK swasta diantaranya: (1) mengembangkan pendidikan dan latihan keterampilan yang menunjang bagi lulusan dalam menghadapi persaingan tenaga kerja; (2) mengembangkan
etos
kerja
yang
tinggi,
terampil
dan
cekatan;
(3)
mengembangkan pendidikan keagamaan dan meningkatkan kepripbadian yang berbudi pekerti luhur; (4) mengembangkan SMK swasta menuju sekolah yang berstandar nasional dan internasional. Jumlah siswa kelas XII di SMK swasta adalah 611 orang dengan jumlah siswa laki-laki 199 orang dan siswa perempuan 412 orang.
Karakteristik Remaja dan Keluarga Usia. Pada penelitian ini didapatkan rata-rata usia remaja laki-laki adalah 17,14 tahun dengan standar deviasi sebesar 0,49 tahun, dan remaja perempuan adalah 17,12 tahun dengan standar deviasi sebesar 0,48 tahun. Berdasarkan usianya, hampir tiga perempat remaja laki-laki (74,0%) dan lebih dari tiga perempat remaja perempuan (76,0%) berusia 17 tahun. Hasil uji beda t-test tidak menemukan adanya perbedaan nyata (p>0,1) usia diantara kedua golongan remaja (Tabel 3). Tabel 3 Sebaran remaja berdasarkan usia, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Usia 16 Tahun 17 Tahun 18 Tahun Total Rata-rata±sd (tahun) p-value t-test
Laki-Laki Perempuan n % n % 3 6,0 3 6,0 37 38 74,0 76,0 10 20,0 9 18,0 50 100,0 50 100,0 17,14±0,49 17,12±0,48 0,838
SMK Negeri SMK Swasta n % n % 5 10,0 1 2,0 40 35 80,0 70,0 5 10,0 14 28,0 50 100,0 50 100,0 17,00±0,45 17,26±0,49 0,007**
Keterangan : ** = signifikan pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan asal sekolahnya, sebagian besar remaja (80,0%) di SMK negeri dan hampir tiga perempat remaja (70,0%) di SMK swasta berusia 17 tahun.
33
Uji beda t-test menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) usia remaja di kedua sekolah (Tabel 3). Rata-rata usia remaja di SMK negeri adalah 17,00 tahun dengan standar deviasi 0,45 tahun, sedangkan di SMK swasta rata-ratanya adalah 17,26 tahun dengan standar deviasi 0,49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usia remaja di SMK swasta lebih tinggi daripada di SMK negeri (Tabel 3). Jenis Kelamin. Jenis kelamin remaja baik laki-laki maupun perempuan berjumlah sama, yaitu 25 orang laki-laki dan 25 orang perempuan pada setiap sekolah, sehingga total remaja laki-laki adalah 50 orang dan remaja perempuan 50 orang. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan perbandingan hasil penelitian pada kedua jenis kelamin juga kedua sekolah. Urutan Lahir. Urutan lahir dalam penelitian ini dibagi atas anak tunggal, anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Menurut Santrock (2007) urutan lahir berhubungan dengan karakter kepribadian dan pencapaian dari seseorang. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa lebih dari separuh remaja laki-laki (54,0%) merupakan anak sulung atau anak pertama, sedangkan dua perlima remaja perempuan (40,0%) merupakan anak tengah dalam keluarga. Berdasarkan asal sekolah, lebih dari dua perlima remaja (42,0%) di SMK negeri dan dua perlima (40,0%) remaja di SMK swasta merupakan anak sulung dalam keluarga (Tabel 4). Tabel 4 Sebaran remaja berdasarkan urutan lahir, jenis kelamin dan asal sekolah Urutan Lahir Tunggal Sulung Tengah Bungsu Total
Laki-Laki n % 2 4,0 27 54,0 11 22,0 10 20,0 50 100,0
Perempuan n % 3 6,0 14 28,0 20 40,0 13 26,0 50 100,0
SMK Negeri n % 3 6,0 21 42,0 14 28,0 12 24,0 50 100,0
SMK Swasta n % 2 4,0 20 40,0 17 34,0 11 22,0 50 100,0
Usia Orang Tua. Penelitian ini menemukan adanya dua remaja laki-laki dan dua remaja perempuan dengan ayah yang telah meninggal, serta dua remaja perempuan dengan ibu yang telah meninggal. Sementara menurut asal sekolah, terdapat satu remaja di SMK negeri dan tiga remaja di SMK swasta yang ayahnya telah meninggal, serta satu remaja di SMK negeri dan satu remaja di SMK swasta yang ibunya telah meninggal.
34
Menurut Papalia et al. (2009), usia ayah dan ibu dapat digolongkan menjadi dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya (41-65 tahun), dan dewasa lanjut (≥65 tahun). Berdasarkan golongan usia tersebut, tiga perempat remaja lakilaki (75,0%) dan sebagian besar remaja perempuan (81,2%) memiliki ayah yang usianya berada pada dewasa madya. Hasil uji beda t-test tidak menemukan adanya perbedaan nyata (p>0,1) diantara keduanya. Rata-rata usia ayah remaja laki-laki adalah 47,54 tahun dengan standar deviasi 8,04 tahun, sedangkan untuk remaja perempuan adalah 48,33 tahun dengan standar deviasi 7,95 tahun (Tabel 5). Berdasarkan asal sekolahnya, sebagian besar remaja (83,7%) di SMK negeri dan hampir tiga perempat remaja (72,3%) di SMK swasta memiliki ayah yang usianya berada pada kategori dewasa madya. Hasil uji beda t-test tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,1) usia ayah pada remaja di kedua sekolah (Tabel 5). Rata-rata usia ayah pada remaja di SMK negeri adalah 47,14 tahun dengan standar deviasi 10,12 tahun, sedangkan pada remaja di SMK swasta adalah 44,90 tahun dengan standar deviasi 14,07 tahun (Tabel 5). Tabel 5 Sebaran remaja berdasarkan usia ayah, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Golongan usia (tahun) Dewasa Awal (20-40) Dewasa Madya (41-65) Dewasa Lanjut (>65) Total Rata-rata±sd (tahun) p-value t-test
Laki-Laki
Perempuan
n % n % 12 25,0 8 16,7 36 39 75,0 81,2 0 0,0 1 2,1 48 100,0 48 100,0 47,54±8,04 48,33±7,95 0,629
SMK SMK Negeri Swasta n % n % 7 14,3 13 27,7 41 34 83,7 72,3 1 2,0 0 0,0 49 100,0 47 100,0 47,14±10,12 44,90±14,07 0,363
Sementara itu, lebih dari separuh remaja laki-laki (54,0%) dan lebih dari tiga perlima remaja perempuan (60,4%) memiliki ibu dengan usia yang berada pada dewasa madya. Hasil uji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,1) diantara keduanya (Tabel 6). Rata-rata usia ibu remaja laki-laki adalah 43,26 tahun dengan standar deviasi 6,02 tahun, sedangkan untuk remaja perempuan adalah 43,92 tahun dengan standar deviasi 7,49 tahun. Berdasarkan asal sekolah, hampir tiga perlima remaja (59,2%) di SMK negeri dan lebih dari separuh remaja (55,1%) di SMK swasta memiliki ibu dengan usia yang berada
35
pada golongan dewasa madya. Hasil uji beda tidak menemukan adanya perbedaan nyata (p>0,1) antara remaja di kedua sekolah. Rata-rata usia ibu pada remaja di SMK negeri adalah 42,04 tahun dengan standar deviasi 7,85 tahun, sedangkan pada remaja di SMK swasta adalah 43,38 tahun dengan standar deviasi 10,18 tahun (Tabel 6). Tabel 6 Sebaran remaja berdasarkan usia ibu, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Golongan usia (tahun) Dewasa Awal (20-40) Dewasa Madya (41-65) Dewasa Lanjut (>65) Total Rata-rata±sd (tahun) p-value t-test
Laki-Laki
Perempuan
n % 23 46,0 54,0 27 0,0 0 50 100,0 43,26±6,02
n % 18 37,5 29 60,4 1 2,1 48 100,0 43,92±7,49 0,634
SMK SMK Negeri Swasta n % n % 20 40,8 21 42,9 29 27 59,2 55,1 0 0,0 1 2,0 49 100,0 49 100,0 42,04±7,85 43,38±10,18 0,463
Pendidikan Orang Tua. Penelitian ini mengukur pendidikan berdasarkan pendidikan formal, yang meliputi sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan perguruan tinggi. Hasil menunjukkan bahwa lebih dari separuh remaja laki-laki (52,1%) dan separuh remaja perempuan (50,0%) memiliki ayah yang berpendidikan akhir SMA/sederajat. Berdasarkan asal sekolahnya, sebesar 61,2 persen remaja di SMK negeri dan 40,4 persen remaja di SMK swasta memiliki ayah dengan pendidikan akhir SMA/sederajat (Tabel 7). Tabel 7 Sebaran remaja berdasarkan pendidikan ayah, jenis kelamin dan asal sekolah Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat D3/akademi S1 S2 Total
Laki-Laki
Perempuan
n 0 3 8 4 25 4 4 0 48
n 0 0 14 6 24 3 0 1 48
% 0,0 6,3 16,7 8,3 52,1 8,3 8,3 0,0 100,0
% 0,0 0,0 29,2 12,5 50,0 6,2 0,0 2,1 100,0
SMK Negeri n % 0 0,0 0 0,0 5 10,2 4 8,2 30 61,2 6 12,2 4 8,2 0 0,0 49 100,0
SMK Swasta n % 0 0,0 3 6,4 17 36,2 6 12,8 19 40,4 1 2,1 0 0,0 1 2,1 47 100,0
36
Sementara untuk pendidikan ibu, dua perlima remaja laki-laki (40,0%) dan lebih dari tiga perlima remaja perempuan (35,4%) memiliki ibu yang menempuh pendidikan hingga jenjang pendidikan SMA. Berdasarkan asal sekolahnya, lebih dari separuh remaja (53,1%) memiliki ibu dengan pendidikan akhir tingkat SMA/sederajat, sedangkan di SMK swasta ditemukan hasil yang sama (30,6%) antara remaja yang memiliki ibu dengan pendidikan akhir SD/sederajat dan SMP/sederajat (Tabel 8). Tabel 8 Sebaran remaja berdasarkan pendidikan ibu, jenis kelamin dan asal sekolah Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat D3/akademi S1 S2 Total
Laki-Laki
Perempuan
n 1 4 10 10 20 3 1 1 50
n 0 2 15 11 17 1 1 1 48
% 2,0 8,0 20,0 20,0 40,0 6,0 2,0 2,0 100,0
% 0,0 4,2 31,2 22,9 35,4 2,1 2,1 2,1 100,0
SMK Negeri n % 0 0,0 1 2,0 10 20,4 6 12,3 26 53,1 4 8,2 1 2,0 1 2,0 49 100,0
SMK Swasta n % 1 2,0 5 10,2 15 30,6 15 30,6 11 22,5 0 0,0 1 2,0 1 2,0 49 100,0
Pekerjaan Orang Tua. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar remaja baik laki-laki (80,0%) maupun perempuan (85,4%) memiliki ibu seorang ibu rumah tangga. Begitupun dilihat dari asal sekolahnya, hampir tiga perempat remaja (73,5%) di SMK negeri dan hampir seluruh remaja (91,8%) di SMK swasta memiliki ibu seorang ibu rumah tangga (Tabel 9). Sementara itu, persentase terbesar dari pekerjaan ayah remaja laki-laki (31,2%) adalah sebagai pegawai swasta, sedangkan untuk remaja perempuan (35,4%) adalah sebagai wiraswasta. Hasil yang sama juga terlihat menurut asal sekolah remaja, dimana hampir dua perlima remaja (36,7%) di SMK negeri memiliki ayah yang bekerja sebagai pegawai swasta, dan lebih dari seperempat remaja (34,0%) di SMK swasta memiliki ayah yang bekerja sebagai wiraswasta (Tabel 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada sebagian besar remaja, ayah masih merupakan pencari nafkah utama (breadwinner) dalam keluarga.
37
Tabel 9 Sebaran remaja berdasarkan pekerjaan orang tua, jenis kelamin dan asal sekolah Pekerjaan Ibu PNS Pegawai swasta Pedagang Ibu rumah tangga Guru/dosen Buruh Lainnya Total Ayah PNS BUMN Pegawai swasta Pedagang Wiraswasta Tidak bekerja Buruh TNI/POLRI Guru/dosen Lainnya Total
SMK Negeri n %
SMK Swasta n %
Laki-Laki n %
Perempuan n %
2 2 2 40 3 0 1 50
4,0 4,0 4,0 80,0 6,0 0,0 2,0 100,0
2 0 1 41 3 1 0 48
4,2 0,0 2,1 85,4 6,2 2,1 0,0 100,0
1 2 3 36 5 1 1 49
2,0 4,1 6,1 73,5 10,2 2,0 2,0 100,0
3 0 0 45 1 0 0 49
6,1 0,0 0,0 91,8 2,0 0,0 0,0 100,0
6 1 15 2 12 0 9 1 1 1 48
12,5 2,1 31,2 4,2 25,0 0,0 18,7 2,1 2,1 2,1 100,0
3 0 15 2 17 2 8 1 0 0 48
6,2 0,0 31,2 4,2 35,4 4,2 16,7 2,1 0,0 0,0 100,0
7 1 18 2 13 2 2 2 1 1 49
14,3 2,0 36,7 4,1 26,5 4,1 4,1 4,1 2,0 2,0 100,0
2 0 12 2 16 0 15 0 0 0 47
4,3 0,0 25,5 4,3 34,0 0,0 31,9 0,0 0,0 0,0 100,0
persentase
terbesar
Pendapatan
Keluarga.
Pada
penelitian
ini,
pendapatan keluarga remaja laki-laki (40,0%) adalah dibawah atau sama dengan Rp1.000.000,00 per bulan, sedangkan pada remaja perempuan, hampir dua perlimanya (38,0%) memiliki pendapatan keluarga yang berada pada selang Rp1.000.001,00 – Rp2.000.000,00 per bulan. Uji beda t-test tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,1) pendapatan keluarga antara remaja laki-laki dan perempuan (Tabel 10). Sementara berdasarkan asal sekolahnya, terlihat bahwa pendapatan keluarga remaja di SMK negeri lebih tinggi dan bervariasi daripada SMK swasta. Hampir separuh remaja di SMK negeri (46,0%) memiliki pendapatan keluarga yang berada pada selang Rp2.000.001,00 – Rp3.000.000,00. Sementara pada SMK Swasta, tiga perlima dari remaja (60,0%) memiliki pendapatan keluarga dibawah atau sama dengan Rp1.000.000,00 (Tabel 10). Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) pada pendapatan keluarga remaja diantara kedua sekolah.
38
Tabel 10 Sebaran remaja berdasarkan pendapatan keluarga, jenis kelamin dan asal sekolah, nilai rata-rata dan koefisien uji beda Pendapatan perbulan (Rp) ≤ 1.000.000 1.000.001-2.000.000 2.000.001-3.000.000 3.000.000-4.000.000 ≥ 4.000.001 Total Rata-rata (Rp) p-value t-test Keterangan
Laki-Laki n % 20 40,0 15 30,0 14 28,0 1 2,0 0 0,0 50 100,0
Perempuan n % 16 32,0 19 38,0 11 22,0 3 6,0 1 2,0 50 100,0 1.000.0011.000.000 2.000.000 0,393
SMK Negeri SMK Swasta n % n % 6 12,0 30 60,0 16 32,0 18 36,0 23 2 4,0 46,0 4 8,0 0 0,0 1 2,0 0 0,0 50 100,0 50 100,0 2.000.0011.000.000 3.000.000 0,000***
: *** = signifikan pada selang kepercayaan 99%
Besar Keluarga. Menurut BKKBN, keluarga dikategorikan menjadi keluarga kecil (jumlah anggota keluarga ≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang). Berdasarkan besar keluarganya, separuh remaja laki-laki (50,0%) dan hampir tiga perlima remaja perempuan (58,0%) berasal dari keluarga berukuran sedang. Hasil uji beda t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0,1) diantara keduanya, dimana remaja perempuan berasal dari keluarga yang jumlah anggotanya lebih banyak daripada remaja laki-laki. Rata-rata besar keluarga pada remaja laki-laki adalah 4,86 orang dengan standar deviasi 1,14 orang, sedangkan rata-rata besar keluarga pada remaja perempuan adalah 5,34 orang dengan standar deviasi 1,57 orang (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran remaja berdasarkan besar keluarga, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Besar Keluarga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥8 orang) Total Rata-rata±sd (orang) p-value t-test Keterangan
Laki-Laki
Perempuan
n % n % 22 44,0 15 30,0 25 29 50,0 58,0 3 6,0 6 12,0 50 100,0 50 100,0 4,86±1,14 5,34±1,57 0,084*
SMK SMK Negeri Swasta n % n % 19 38,0 18 36,0 28 27 56,0 54,0 3 6,0 5 10,0 50 100,0 50 100,0 4,90±1,27 5,30±1,49 0,151
: * = signifikan pada selang kepercayaan 90%
Berdasarkan asal sekolahnya, hampir tiga perlima remaja (56,0%) di SMK negeri dan lebih dari separuh remaja (54,0%) di SMK swasta juga berasal dari
39
keluarga berukuran sedang. Hasil uji beda t-test tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (p>0,1) antara remaja di kedua sekolah. Rata-rata besar keluarga remaja di SMK negeri adalah 4,90 orang dengan standar deviasi 1,27 orang, sedangkan di SMK swasta adalah 5,30 orang dengan standar deviasi 1,49 orang.
Karakteristik Peer group Teman dekat. Menurut Hurlock (1980) remaja biasanya memiliki dua hingga tiga teman dekat, teman dekat ini akan saling mempengaruhi satu sama lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tiga perlima remaja laki-laki (58,0%) dan lebih dari separuh remaja perempuan (54,0%) memiliki teman dekat lebih dari enam orang. Hasil yang sama juga terlihat menurut asal sekolah remaja, dimana tiga perlima remaja (60,0%) di SMK negeri dan lebih dari separuh remaja (52,0%) di SMK swasta memiliki teman dekat lebih dari enam orang dan tidak ada satu pun remaja yang tidak memiliki teman dekat (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran remaja berdasarkan jumlah teman dekat, jenis kelamin dan asal sekolah Jumlah teman dekat 0 orang 1-3 orang 4-6 orang >6 orang Total
Laki-Laki n % 0 0,0 11 22,0 10 20,0 29 58,0 50 100,0
Perempuan n % 0 0,0 10 20,0 13 26,0 27 54,0 50 100,0
SMK Negeri n % 0 0,0 9 18,0 11 22,0 30 60,0 50 100,0
SMK Swasta n % 0 0,0 12 24,0 12 24,0 26 52,0 50 100,0
Keragaman Usia. Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa pertemanan dengan orang yang usianya lebih tua atau lebih muda akan berbeda dengan pertemanan yang hanya terdiri dari orang-orang yang usianya sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 30,0 persen remaja laki-laki dan 34,0 persen remaja perempuan yang menyatakan bahwa semua anggota peer group-nya berusia sama. Sementara itu, lebih dari tiga perlima remaja (62,0%) baik laki-laki maupun perempuan menyatakan memiliki anggota peer group yang berusia lebih muda, dan sisanya 40,0 persen remaja laki-laki dan 48,0 persen remaja perempuan menyatakan memiliki anggota peer group yang berusia lebih tua (Tabel 13). Berdasarkan asal sekolahnya, sebesar 32,0 persen remaja di SMK negeri dan SMK swasta menyatakan anggota kelompok mereka hanya terdiri dari usia
40
yang sama, sementara 62,0 persen remaja SMK negeri dan SMK swasta menyatakan memiliki anggota yang usianya lebih muda. Selain itu, 48,0 persen remaja di SMK negeri dan 64,0 persen remaja di SMK swasta menyatakan memiliki anggota yang usianya lebih tua (Tabel 13). Tabel 13 Sebaran remaja menurut keragaman usia anggota peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Keragaman Usia Usia sama Lebih muda Lebih tua
Laki-Laki n % 15 30,0 31 62,0 20 40,0
Perempuan n % 17 34,0 31 62,0 24 48,0
SMK Negeri n % 16 32,0 31 62,0 24 48,0
SMK Swasta n % 16 32,0 31 62,0 32 64,0
Keragaman Jenis Kelamin. Hasil penelitian ini menunjukkan lebih dari separuh remaja laki-laki (54,0%) menyatakan memiliki anggota peer group dari jenis kelamin yang berbeda, sedangkan lebih dari tiga perlima remaja perempuan (62,0%) menyatakan anggota peer group-nya hanya terdiri dari jenis kelamin yang sama (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih terbuka terhadap
penerimaan
lawan
jenis
sebagai
bagian
dalam
kelompoknya
dibandingkan remaja perempuan. Sementara berdasarkan asal sekolahnya, hampir tiga perlima remaja (58,0%) di SMK negeri menyatakan anggota kelompok mereka hanya terdiri dari jenis kelamin yang sama, dan pada SMK swasta ditemukan hasil yang sama (50,0%) antara remaja yang menyatakan anggota kelompoknya hanya terdiri dari jenis kelamin yang sama dan remaja yang menyatakan anggota kelompoknya terdiri dari jenis kelamin yang berbeda (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran remaja berdasarkan keragaman jenis kelamin anggota peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Keragaman Jenis Kelamin Jenis kelamin sama Jenis kelamin tidak sama Total
Laki-Laki n %
Perempuan n %
SMK Negeri n %
SMK Swasta n %
23
46,0
31
62,0
29
58,0
25
50,0
27
54,0
19
38,0
21
42,0
25
50,0
50
100,0
50
100,0
50
100,0
50
100,0
41
Asal Lingkungan Peer Group. Asal lingkungan peer group dalam penelitian ini dibagi menjadi lingkungan satu kelas, satu sekolah, satu lingkungan rumah dan satu aktivitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar lingkungan pertemanan remaja adalah kombinasi dari berbagai lingkungan yang ada. Lebih dari seperempat remaja laki-laki (26,0%) menyatakan memiliki teman pada semua jenis lingkungan, sedangkan lebih dari dua perlima remaja perempuan (42,0%) menyatakan memiliki teman pada kombinasi dua lingkungan saja (Tabel 15). Pada tabel terlihat bahwa sebaran remaja laki-laki cenderung mengelompok di lingkungan yang beragam, sedangkan remaja perempuan cenderung mengelompok di lingkungan yang terbatas. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan pertemanan remaja laki-laki lebih beragam daripada remaja perempuan. Berdasarkan asal sekolahnya, dua perlima remaja (40,0%) di SMK negeri memiliki teman dari dua kombinasi lingkungan pertemanan dan pada SMK swasta ditemukan hasil yang sama (26,0%) antara remaja yang memiliki teman pada kombinasi dua lingkungan dan tiga lingkungan pertemanan (Tabel 15). Tabel 15 Sebaran remaja berdasarkan asal lingkungan peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Jenis lingkungan Satu kelas Satu sekolah Satu lingkungan rumah Satu aktivitas Kombinasi 2 lingkungan Kombinasi 3 lingkungan Kombinasi 4 lingkungan Total
Laki-Laki n % 1 2,0 3 6,0
Perempuan n % 9 18,0 5 10,0
SMK Negeri n % 4 8,0 3 6,0
SMK Swasta n % 6 12,0 5 10,0
7
14,0
1
2,0
3
6,0
5
10,0
5
10,0
3
6,0
5
10,0
3
6,0
12
24,0
21
42,0
20
40,0
13
26,0
9
18,0
11
22,0
7
14,0
13
26,0
13
26,0
0
0,0
8
16,0
5
10,0
50
100,0
50
100,0
50
100,0
50
100,0
Lama Pertemanan. Hampir separuh remaja laki-laki (48,0%) dan hampir tiga perempat (70,0%) remaja perempuan menyatakan bahwa mereka mengenal anggota peer group-nya selama lebih dari 24 bulan. Sementara itu tidak ada satupun remaja yang menyatakan mengenal anggota peer group-nya kurang dari
42
enam bulan (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa remaja telah cukup lama mengenal anggota peer group-nya, dan juga terlihat bahwa remaja laki-laki lebih terbuka dalam pertemanan baru dibandingkan remaja perempuan, terbukti dengan lama pertemanan pada remaja laki-laki yang lebih beragam. Hasil yang sama juga ditemukan menurut asal sekolahnya, dimana hampir tiga perlima remaja (58,0%) di SMK negeri dan tiga perlima remaja (60,0%) di SMK swasta telah mengenal anggota peer group-nya lebih dari 24 bulan. Tabel 16 Sebaran remaja berdasarkan lama pertemanan dengan peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Lama pertemanan < 6 Bulan 6 - 12 bulan 12 – 24 bulan > 24 bulan Kombinasi Total
Laki-Laki n % 0 0,0 4 8,0 13 26,0 24 48,0 9 18,0 50 100,0
Perempuan n % 0 0,0 3 6,0 9 18,0 35 70,0 3 6,0 50 100,0
SMK Negeri n % 0 0,0 4 8,0 8 16,0 29 58,0 9 18,0 50 100,0
SMK Swasta n % 0 0,0 3 6,0 14 28,0 30 60,0 3 6,0 50 100,0
Pemimpin Peer Group. Hampir tiga perempat remaja laki-laki (74,0%) dan sebagian besar remaja perempuan (84,0%) menyatakan tidak ada pemimpin dalam peer group mereka. Namun, apabila ada pemimpin dalam peer group mereka, remaja laki-laki lebih banyak yang menyatakan bahwa pemimpin itu adalah orang yang lebih tua diantara mereka. Sementara remaja perempuan menyatakan jika bukan orang yang lebih tua maka ia sendiri yang menjadi pemimpin dalam peer group. Tabel 17 Sebaran remaja berdasarkan pemimpin dalam peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Pemimpin Tidak ada Remaja contoh Salah satu anggota kelompok Orang yang lebih tua Total
Laki-Laki n % 37 74,0 1 2,0
Perempuan n % 42 84,0 3 6,0
SMK Negeri n % 44 88,0 3 6,0
SMK Swasta n % 36 72,0 1 2,0
4
8,0
2
4,0
0
0,0
6
12,0
8 50
16,0 100,0
3 50
6,0 100,0
3 50
6,0 100,0
7 50
14,0 100,0
43
Berdasarkan asal sekolahnya, sebagian besar remaja (88,0%) di SMK negeri dan hampir tiga perempat remaja (72,0%) di SMK swasta menyatakan tidak ada pemimpin dalam peer group mereka. Namun jikapun ada pemimpin, sebesar 14,0 persen remaja di SMK swasta menyatakan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang lebih tua, sedangkan 6,0 persen remaja di SMK negeri menyatakan pemimpin itu adalah dirinya sendiri atau orang yang lebih tua diantara mereka. Atribut Penciri. Suatu kelompok biasanya memiliki atribut yang sama untuk mencirikan kelompok mereka sehingga memiliki rasa keterikatan dengan kelompoknya. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa lebih dari separuh remaja laki-laki (52,0%) dan lebih dari dua perlima remaja perempuan (44,0%) menyatakan tidak ada atribut khusus yang mencirikan peer group mereka. Namun jika ada, sebesar 20,0 persen remaja perempuan dan 10,0 persen remaja laki-laki memiliki atribut berupa pakaian, topi, tas, atau sepatu yang sama. Hasil yang sama juga terlihat berdasarkan asal sekolahnya, sebagian besar remaja (80,0%) di SMK negeri dan lebih dari tiga perlima remaja (78,0%) di SMK swasta menyatakan tidak ada atribut khusus dalam peer group mereka. Jika pun ada, sebesar 10,0 persen remaja di SMK negeri dan 20,0 persen remaja di SMK swasta menyatakan atribut itu berupa pakaian, topi, tas atau sepatu yang seragam. Tabel 18 Sebaran remaja menurut atribut penciri peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Jenis Atribut Tidak ada Pakaian/topi/tas/sepatu yang seragam Bahasa kelompok Model rambut Lainnya
Kegiatan
Peer
% 44,0
SMK Negeri n % 40 80,0
SMK Swasta n % 39 78,0
10
20,0
5
10,0
10
20,0
3 3 0
6,0 6,0 0,0
3 2 2
6,0 4,0 4,0
3 4 0
6,0 8,0 0,0
Laki-Laki
Perempuan
n 26
% 52,0
n 22
5
10,0
2 3 2
4,0 6,0 4,0
Group.
Sebesar
44,0
persen
remaja
laki-laki
mengungkapkan kegiatan yang mereka lakukan bersama peer group-nya adalah olahraga dan sekedar berkumpul saja. Sementara itu, sebesar 50,0 persen remaja perempuan menyatakan bentuk kegiatan yang mereka lakukan dengan peer group-
44
nya adalah sekedar berkumpul untuk mengobrol. Selain itu, hasil juga menunjukkan bahwa remaja perempuan tidak ada yang terlibat dalam kegiatan OSIS/MPK, dan dari sebaran remaja terlihat bahwa variasi kegiatan remaja lakilaki lebih banyak daripada remaja perempuan. Sementara berdasarkan asal sekolah, sebesar 44,0 persen remaja di SMK negeri dan 50,0 persen remaja di SMK swasta menyatakan bahwa kegiatan yang mereka lakukan bersama peer group mereka adalah sekedar berkumpul saja untuk mengobrol. Tabel 19 Sebaran remaja berdasarkan kegiatan peer group, jenis kelamin dan asal sekolah Jenis kegiatan Ekstrakurikuler Olahraga Seni OSIS/MPK Karang taruna/remaja masjid Bimbingan belajar/study club Kumpul-kumpul saja
Laki-Laki n % 4 8,0 22 44,0 7 14,0 3 6,0
Perempuan n % 8 16,0 5 10,0 6 12,0 0 0,0
SMK Negeri n % 5 10,0 15 30,0 10 20,0 1 2,0
SMK Swasta n % 7 14,0 12 24,0 3 6,0 2 4,0
4
8,0
3
6,0
5
10,0
2
4,0
2
4,0
6
12,0
3
6,0
5
10,0
22
44,0
25
50,0
22
44,0
25
50,0
Frekuensi Pertemuan. Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar dari frekuensi pertemuan remaja laki-laki (38,0%) berkisar antara 3-4 hari dalam seminggu, sedangkan lebih dari dua perlima remaja perempuan (44,0%) menyatakan bahwa pertemuan dengan peer group-nya berkisar antara 5-7 hari dalam seminggu. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) frekuensi pertemuan antara remaja laki-laki dan perempuan, dimana remaja perempuan lebih sering bertemu dengan peer group-nya dibandingkan dengan remaja laki-laki (Tabel 20). Sementara berdasarkan asal sekolahnya, persentase terbesar dari frekuensi pertemuan remaja pada SMK negeri (38,0%) dan remaja di SMK swasta (42,0%) adalah setiap hari. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) diantara remaja pada kedua sekolah, dimana frekuensi pertemuan remaja di SMK swasta dengan peer group-nya lebih sering daripada remaja di SMK negeri (Tabel 20).
45
Tabel 20 Sebaran remaja berdasarkan frekuensi pertemuan dengan peer group, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Frekuensi pertemuan 1-2 hari seminggu 3-4 hari seminggu 5-6 hari seminggu Setiap hari Total Rata-rata±sd (hari) p-value t-test
Laki-Laki Perempuan n % n % 7 14,0 4 8,0 19 2 4,0 38,0 6 12,0 22 44,0 18 36,0 22 44,0 50 100,0 50 100,0 4,70±2,09 5,84±1,50 0.002**
SMK Negeri SMK Swasta n % n % 7 14,0 4 8,0 14 28,0 7 14,0 10 20,0 18 36,0 19 38,0 21 42,0 50 100,0 50 100,0 4,86±2,05 5,68±1,66 0,030**
Keterangan : ** = signifikan pada selang kepercayaan 95%
Lama Berkumpul. Penelitian ini memisahkan lamanya berkumpul antara siang hari dan malam hari. Batas pertemuan di siang hari adalah antara jam 06.00 WIB hingga 18.00 WIB, sedangkan malam hari dimulai pukul 18.00 WIB. Pada siang hari lebih dari separuh remaja laki-laki (54,0%) berkumpul dengan peer group-nya antara 1-4 jam, sedangkan 36,0 persen remaja perempuan berkumpul antara 7,1-10 jam. Uji beda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) lama berkumpul di siang hari remaja laki-laki dan perempuan, dimana remaja perempuan menghabiskan waktu berkumpul lebih lama dibandingkan remaja laki-laki. Berdasarkan asal sekolah, sebesar 46,0 persen remaja di SMK negeri dan 38,0 remaja di SMK swasta berkumpul dengan peer group-nya di siang hari antara 1-4 jam. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antara remaja pada kedua sekolah, dimana remaja di SMK negeri lebih lama berkumpul di siang hari daripada remaja di SMK swasta (Tabel 21). Tabel 21 Sebaran remaja berdasarkan lama berkumpul dengan peer group pada siang hari, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Lama Berkumpul 0 jam/hari 1 - 4 jam/hari 4,1 - 7 jam/hari 7,1 - 10 jam/hari Total Rata-rata±sd (jam) p-value t-test
Laki-Laki Perempuan n % n % 13 26,0 2 4,0 27 15 30,0 54,0 7 14,0 14 34,0 3 6,0 18 36,0 50 100,0 50 100,0 2,80±2,54 5,84±3,18 0,000***
Keterangan : ** = signifikan pada selang kepercayaan 95% *** = signifikan pada selang kepercayaan 99%
SMK Negeri SMK Swasta n % n % 4 8,0 11 22,0 23 19 46,0 38,0 5 10,0 16 32,0 18 36,0 4 8,0 50 100,0 50 100,0 4,98±3,51 3,66±2,85 0,042**
46
Pada malam hari, sebesar 44,0 persen remaja laki-laki dan 76,0 persen remaja perempuan menyatakan tidak berkumpul dengan peer group-nya. Namun, dapat terlihat bahwa lama berkumpul remaja laki-laki pada malam hari tersebar di setiap kategori, sedangkan remaja perempuan menyatakan tidak ada yang berkumpul dengan peer group-nya lebih dari 3,5 jam pada malam hari. Hasil uji beda t-test menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) diantara keduanya, dimana pada malam hari remaja laki-laki menghabiskan waktu berkumpul lebih lama dibandingkan remaja perempuan. Berdasarkan asal sekolahnya, sebesar 68,0 persen remaja di SMK negeri dan 52,0 persen remaja di SMK swasta menyatakan tidak berkumpul dengan peer group-nya di malam hari. Namun, terlihat juga bahwa remaja di SMK swasta menghabiskan waktu yang lebih lama saat berkumpul dengan peer group-nya di malam hari daripada remaja di SMK negeri. Hanya saja penelitian ini tidak memisahkan waktu berkumpul antara weekdays dan weekend sehingga lama remaja berkumpul dengan peer group yang lebih dari 7 jam dimungkinkan terjadi pada di hari libur atau weekend. Tabel 22 Sebaran remaja berdasarkan lama berkumpul dengan peer group pada malam hari, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Lama Berkumpul 0 1 - 3,5 jam/hari 3,6 - 6 jam/hari 6,1 - 8 jam/hari Total Rata-rata±sd (jam) p-value t-test
Laki-Laki Perempuan n % n % 22 38 44,0 76,0 18 36,0 12 24,0 8 16,0 0 0,0 2 4,0 0 0,0 50 100,0 50 100,0 1,93±2,09 0,46±0,95 0,000***
SMK Negeri SMK Swasta n % n % 34 26 68,0 52,0 14 28,0 16 32,0 2 4,0 6 12,0 0 0,0 2 4,0 50 100,0 50 100,0 0,72±1,21 1,67±2,10 0,007**
Keterangan : ** = signifikan pada selang kepercayaan 95% *** = signifikan pada selang kepercayaan 99%
Keterikatan dengan Peer Group Keterikatan adalah derajat ketertarikan yang dirasa oleh individu terhadap suatu kelompok (Baron & Byrne 2005). Keterikatan remaja dengan peer group dapat menunjukkan besarnya pengaruh peer group pada remaja. Pada penelitian ini keterikatan dikategorikan menjadi rendah (skor persen <33,33%), sedang (skor persen 33,33%-66,67%) dan tinggi (skor persen >66,67%).
47
Berdasarkan kategori keterikatan, lebih dari separuh remaja laki-laki (56,0%) berada pada kategori sedang, sedangkan hampir tiga perlima remaja perempuan (58,0%) berada pada kategori rendah. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,1) antara remaja laki-laki dan perempuan dalam keterikatan dengan peer group dimana rata-rata skor persen keterikatan remaja laki-laki adalah 31,75 persen dengan standar deviasi 13,43 persen, sedangkan remaja perempuan adalah 30,13 persen dengan standar deviasi 14,50 persen (Tabel 23). Berdasarkan asal sekolahnya, separuh remaja di SMK negeri (58,0%) berada pada kategori rendah dan lebih dari separuh remaja di SMK swasta (54%) berada pada kategori keterikatan sedang. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antara keterikatan di SMK negeri dan SMK swasta. Rata-rata skor persen keterikatan di SMK negeri adalah 27,71 persen dengan standar deviasi 13,81 persen, sedangkan di SMK Swasta adalah 34,17 persen dengan standar deviasi 13,42 persen. Artinya, keterikatan remaja di SMK swasta lebih tinggi daripada remaja di SMK negeri (Tabel 23). Tabel 23 Sebaran remaja berdasarkan kategori keterikatan dengan peer group, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Kategori keterikatan Tinggi Sedang Rendah Total Rata-rata±sd (skor persen) p-value t-test
Laki-Laki n % 0 0,0 28 56,0 22 44,0 50 100,0
Perempuan n % 1 2,0 20 40,0 29 58,0 50 100,0
SMK Negeri n % 0 0,0 21 42,0 29 58,0 50 100,0
SMK Swasta n % 1 0,0 27 54,0 22 44,0 50 100,0
31,75±13,43
30,13±14,50
27,71±13,81
34,17±13,42
0,562
0,020**
Keterangan : ** = signifikan pada selang kepercayaan 95%
Keterikatan remaja dengan peer group-nya terlihat dari 57,0 persen remaja yang menyatakan selalu siap sedia setiap diajak pergi oleh teman-temannya, juga 68,0 persen remaja menyatakan akan marah jika ada yang menjelekkan kelompoknya, dan 49,0 persen remaja lebih suka menceritakan masalahnya kepada teman daripada keluarga (Gambar 4).
48
Laki-laki
Perempuan
SMK Negeri
SMK Swasta
38%
40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
33%
32% 24%
27%
Selalu siap diajak pergi
24% 24%
28%
30%
32%
36%
20%
Lebih baik menceritakan masalah kepada teman daripada keluarga
Marah jika ada yang menjelekkan kelompok
Gambar 4 Sebaran remaja berdasarkan jawaban keterikatan dengan peer group
Karakter Hormat Santun. Pada penelitian ini, karakter hormat dan santun dikategorikan menjadi tinggi (skor persen >80%), sedang (skor persen 60%-80%), dan rendah (<60%). Berdasarkan kategori tersebut, lebih dari tiga perlima remaja laki-laki (64,0%) berada pada kategori rendah, sedangkan lebih dari tiga perlima remaja perempuan (62,0%) berada pada kategori sedang. Hasil uji beda t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) pada hormat santun antara remaja laki-laki dan perempuan. Rata-rata skor persen hormat dan santun remaja perempuan adalah 63,17 persen dengan standar deviasi 9,08 persen dan remaja laki-laki adalah 57,39 persen dengan standar deviasi 9,37 persen, yang artinya remaja perempuan memiliki sikap hormat dan santun yang lebih baik daripada remaja laki-laki (Tabel 24). Tabel 24 Sebaran remaja menurut kategori karakter hormat santun, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Laki-Laki Perempuan SMK Negeri SMK Swasta Kategori karakter n % n % n % n % Tinggi 1 2,0 2 4,0 2 4,0 1 2,0 Sedang 17 34,0 31 25 23 46,0 62,0 50,0 Rendah 32 17 34,0 23 46,0 26 64,0 52,0 Total 50 100,0 50 100,0 50 100,0 50 100,0 Rata-rata±sd (skor 57,39±9,37 63,17±9,08 60,56±10,75 60,00±8,46 persen) p-value t-test 0,002** 0,774 Keterangan : ** = signifikan pada selang kepercayaan 95%
49
Berdasarkan asal sekolahnya, separuh dari remaja di SMK negeri (50,0%) berada pada kategori sedang, sementara lebih dari separuh remaja di SMK swasta (52,0%) berada pada kategori rendah dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,1) diantara kedua sekolah tersebut (Tabel 24), dimana rata-rata skor remaja di SMK negeri adalah 60,56 persen dengan standar deviasi 10,75 persen dan remaja di SMK swasta adalah 60,00 persen dengan standar deviasi 8,46 persen (Tabel 24). Berdasarkan tiga dari 12 pernyataan hormat santun, 55 persen remaja menyatakan mereka akan menegur tegas teman yang memanggil mereka dengan julukan yang tidak disukainya meskipun itu hanya bercanda. Sementara itu, 76 persen remaja menyatakan tidak pernah bicara dengan nada yang tinggi pada orang yang lebih tua, dan 77 persen remaja menyatakan selalu patuh pada aturan jam pulang malam yang telah disepakati bersama orangtua (Gambar 5). Laki-laki
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Perempuan
SMK Negeri
43% 33% 31% 22%
33%
35%
SMK Swasta
24%
Menegur tegas teman yang memanggil dengan nama julukan meskipun hanya bercanda
49%
41%
Tidak pernah bicara dengan nada tinggi pada orang yang lebih tua
39% 38% 28%
Selalu patuh pada aturan jam pulang malam yang disepakati bersama orangtua
Gambar 5 Sebaran remaja berdasarkan jawaban pernyataan hormat santun
Empati. Pada penelitian ini, hasil pengukuran empati dikategorikan menjadi tinggi (>80%), sedang (60%-80%), dan rendah (<60%). Berdasarkan kategori, hampir tiga perempat remaja laki-laki (72%) dan hampir tiga perlima remaja perempuan (58%) berada pada kategori rendah. Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,1) kemampuan empati antara remaja laki-laki dan perempuan, dimana rata-rata skor empati remaja laki-laki adalah 56,58 persen dengan standar deviasi 11,52 persen dan remaja perempuan adalah 58,91 persen dengan standar deviasi 7,89 persen (Tabel 25). Berdasarkan asal sekolahnya, lebih dari tiga perlima remaja di SMK negeri (62,0%) dan remaja di SMK swasta (68,0%) berada pada kategori rendah.
50
Uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,1) pada karakter empati diantara kedua sekolah tersebut, dimana rata-rata skor remaja di SMK negeri adalah 58,08 persen dengan standar deviasi 11,62 persen dan remaja di SMK swasta adalah 57,41 persen dengan standar deviasi 7,91 persen (Tabel 25). Tabel 25 Sebaran remaja berdasarkan kategori karakter empati, jenis kelamin dan asal sekolah serta nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien uji beda Kategori karakter Tinggi Sedang Rendah Total Rata-rata±sd (skor persen) p-value t-test
Laki-Laki n % 1 2,0 13 26,0 36 72,0 50 100,0
Perempuan n % 0 0,0 21 42,0 29 58,0 50 100,0
SMK Negeri n % 1 2,0 18 36,0 31 62,0 50 100,0
SMK Swasta n % 0 0,0 16 32,0 34 68,0 50 100,0
56,58±11,52
58,91±7,89
58,08±11,62
57,41±7,91
0,240
0,738
Berdasarkan tiga dari delapan pernyataan tentang empati, sebesar 94 persen remaja menyatakan akan berusaha membantu korban bencana alam dengan menyumbangkan uang dan barang yang dimiliki. Sementara itu, 87 persen remaja menyatakan akan memberikan uang minimal seribu pada anak kecil pemintaminta, dan 73 persen remaja menyatakan membantu teman yang kesulitan membayar SPP agar tidak sampai putus sekolah (Gambar 6). Laki-laki
60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Perempuan
46% 48% 46% 48%
Berusaha membantu korban bencana alam dengan menyumbangkan uang dan barang yang dimiliki
SMK Negeri
48% 39%
41%
SMK Swasta
46%
Memberikan uang minimal seribu pada anak kecil peminta-minta
32%
41% 37% 36%
Membantu teman yang kesulitan membayar SPP agar tidak putus sekolah
Gambar 6 Sebaran remaja berdasarkan jawaban pernyataan empati
Penelitian ini meminta remaja untuk menyebutkan perilaku kebaikan yang pernah dilakukannya. Hasil menunjukkan bahwa persentase terbesar dari jawaban remaja tentang perilaku kebaikan yang pernah mereka lakukan adalah membantu teman, terdapat 48,0 persen remaja laki-laki dan 50,0 persen remaja perempuan
51
yang menyatakannya. Perilaku seperti menaati peraturan dan patuh pada orang tua adalah jenis perilaku yang tidak dilakukan oleh remaja laki-laki. Sedangkan melerai pertikaian dan jujur adalah jenis perilaku yang tidak dilakukan oleh remaja perempuan (Tabel 26). Sementara berdasarkan asal sekolahnya, lebih dari separuh remaja (52,0%) di SMK Negeri dan hampir separuh remaja (46,0%) di SMK Swasta menyatakan perilaku baik yang sering dilakukan adalah membantu teman. Pada remaja di SMK Swasta, perilaku seperti melerai pertikaian, jujur, dan menaati peraturan adalah remaja perilaku yang tidak dilakukan atau tidak menjadi perilaku baik yang dipentingkan oleh remaja (Tabel 26). Tabel 26 Sebaran remaja berdasarkan perilaku kebaikan yang pernah di lakukan, jenis kelamin dan asal sekolah Jenis Perilaku Baik Membantu orang lain Beribadah/beramal Membantu orang tua Melerai pertikaian Bersikap hormat dan sopan Jujur Menaati peraturan Mengingatkan pada hal baik Patuh pada orang tua
Laki-Laki n % 22 44,0 6 12,0 6 12,0 1 2,0
Perempuan n % 19 38,0 4 8,0 10 20,0 0 0,0
SMK Negeri n % 24 48,0 6 12,0 7 14,0 1 2,0
SMK Swasta n % 17 34,0 4 8,0 9 18,0 0 0,0
3
6,0
8
16,0
4
8,0
7
14,0
1 0
2,0 0,0
0 2
0,0 4,0
1 2
2,0 4,0
0 0
0,0 0,0
3
6,0
7
14,0
6
12,0
4
8,0
0
0,0
4
8,0
2
4,0
2
4,0
Perilaku Bullying Peran Pelaku. Kategori peran pelaku bullying dibagi menjadi bully (pelaku utama), assisting the bully (pembantu pelaku utama) dan reinforcing the bully (penyetuju). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari tiga perlima remaja laki-laki (66,0%) dan sebagian besar remaja perempuan (86,0%) adalah seorang bully. Sementara 22,0 persen remaja laki-laki dan 8,0 persen perempuan merupakan pelaku assisting the bully. Selain itu, didapatkan pula 12,0 persen remaja laki-laki dan 6,0 persen remaja perempuan yang merupakan pelaku reinforcing the bully. Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p<0,05) antara remaja laki-laki dan perempuan dalam peran pelaku bullying yang mereka lakukan. Berdasarkan asal sekolahnya, sebagian besar remaja di SMK negeri (80,0%) dan 72,0 persen remaja di SMK swasta adalah seorang bully.
52
Sementara 10,0 persen remaja di SMK negeri dan 20,0 persen remaja di SMK swasta merupakan pelaku assisting the bully. Selain itu, ditemukan pula 10,0 persen remaja di SMK negeri dan 8,0 persen remaja di SMK swasta yang merupakan pelaku reinforcing the bully. Hasil uji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan (p>0,1) peran pelaku bullying remaja pada kedua sekolah (Tabel 27). Tabel 27 Sebaran remaja berdasarkan peran pelaku bullying, jenis kelamin dan asal sekolah Peran pelaku bullying Bully Assisting the bully Reinforcing the bully Total p-value t-test
Laki-Laki Perempuan n % n % 33 43 66,0 86,0 11 22,0 4 8,0 6 12,0 3 6,0 50 100,0 50 100,0 0,040**
SMK Negeri SMK Swasta n % n % 40 36 80,0 72,0 5 10,0 10 20,0 5 10,0 4 8,0 50 100,0 50 100,0 0,640
Keterangan: ** = signifikan pada selang kepercayaan 95%
Berdasarkan tiga dari 18 pernyataan perilaku bullying, peran pelaku bully pada remaja dapat dilihat dari 89,0 persen remaja yang mengaku memberikan julukan kasar pada temannya, dan 55,0 persen remaja mengaku menatap sinis siswa tertentu saat bertemu, serta 85,0 persen remaja mengaku membuat gossip tentang siswa tertentu (Gambar 7). Laki-laki 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Perempuan
SMK Negeri
SMK Swasta
44% 45% 47% 42%
41% 44% 42% 43% 33% 22%
Memberi julukan kasar
29% 26%
Menatap sinis siswa tertentu
Membuat gosip tentang siswa tertentu
Gambar 7 Sebaran remaja berdasarkan jawaban pernyataan peran pelaku bully
Bentuk Bullying. Kategori bentuk bullying dibagi menjadi bullying fisik, bullying verbal, dan bullying nonverbal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persen terbesar bentuk bullying yang dilakukan remaja laki-laki (36,4%) seimbang antara bullying fisik dan verbal, sedangkan pada remaja perempuan (44,2%) lebih banyak yang melakukan bullying verbal (Tabel 28). Sementara berdasarkan asal sekolah, persen terbesar bentuk bullying yang dilakukan oleh remaja di SMK
53
negeri (47,5%) adalah bullying verbal, sedangkan pada SMK swasta persen terbesar bentuk bullying yang dilakukan remaja (33,3%) seimbang antara bullying fisik dan verbal (Tabel 28). Hal ini menunjukkan bahwa remaja di SMK negeri lebih banyak melakukan bullying secara verbal, sedangkan remaja di SMK swasta selain ditemukan bullying secara verbal juga banyak ditemukan bullying fisik. Tabel 28 Sebaran pelaku bully menurut bentuk bullying, jenis kelamin dan asal sekolah Bentuk bullying Fisik Verbal Nonverbal Fisik&verbal Verbal&nonverbal Fisik,verbal&nonverbal Total
Laki-Laki
Perempuan
n 12 12 3 6 0 0 33
n 8 19 5 8 2 1 43
% 36,4 36,4 9,1 18,2 0,0 0,0 100,0
% 18,6 44,2 11,6 18,6 4,7 2,3 100,0
SMK Negeri n % 8 20,0 19 47,5 5 12,5 6 15,0 2 5,0 0 0,0 40 100,0
SMK Swasta n % 12 33,3 12 33,3 3 8,3 8 22,2 0 0,0 1 2,8 36 100,0
Berikut adalah beberapa contoh pernyataan terkait bullying yang diungkapkan oleh remaja contoh: K005 (17 tahun), laki-laki, SMK negeri “Saya suka memanas-manasi teman yang sedang berkonflik agar suasana di kelompok lebih ramai” K008 (17 tahun), laki-laki, SMK negeri “Saya pernah memukul teman saya karena selalu mengejek saya dan tidak ada yang mau membantu, itu saya lakukan karena emosi saja” R010 (17 tahun), perempuan, SMK negeri “Saya suka mengejek teman karena sangat seru” N007 (17 tahun), laki-laki, SMK swasta “Saya pernah menggampar orang karena orang itu mengejek saya”
Penelitian ini meminta remaja untuk menyebutkan perilaku buruk yang pernah mereka lakukan. Persentase terbesar dari perilaku buruk yang pernah dilakukan oleh remaja baik laki-laki (20,0%) maupun perempuan (22,0%) adalah melanggar aturan. Sementara perilaku seperti bergosip dan menyakiti diri sendiri adalah remaja perilaku yang tidak dilakukan oleh remaja laki-laki, sedangkan pada remaja perempuan perilaku seperti provokator, menghilangkan barang orang lain, merokok, mencuri, tawuran, dan mabuk adalah jenis perilaku yang tidak
54
mereka lakukan. Berdasarkan asal sekolah, persentase terbesar perilaku buruk yang sering dilakukan remaja di SMK negeri (28,0%) adalah melanggar aturan, sedangkan remaja di SMK swasta (20,0%) adalah berbohong. Perilaku seperti mencuri, tawuran, mabuk dan menyakiti diri sendiri adalah jenis perilaku buruk yang tidak dilakukan oleh remaja di SMK negeri. Sementara perilaku seperti malas, provokator, menghilangkan barang orang, mengejek orang dan merokok adalah jenis perilaku yang tidak dilakukan oleh remaja di SMK swasta (Tabel 29). Tabel 29 Sebaran remaja berdasarkan perilaku buruk yang pernah dilakukan jenis kelamin dan asal sekolah Jenis Perilaku Buruk Malas Melanggar aturan Provokator Membentak orang tua Menjahili orang lain Memukul orang/berkelahi Melawan orang tua Tidak menghargai orang lain Temperamen Berbahasa kasar Menghilangkan barang orang lain Mengacuhkan orang Berbohong Mengejek orang lain Merokok Mencontek Bergosip Mencuri Tawuran Mabuk Menyakiti diri sendiri
Laki-Laki n % 4 8,0 10 20,0 1 2,0 2 4,0 3 6,0
Perempuan n % 0 0,0 11 22,0 0 0,0 3 6,0 5 10,0
SMK Negeri n % 4 8,0 14 28,0 1 2,0 2 4,0 4 8,0
SMK Swasta n % 0 0,0 7 14,0 0 0,0 3 6,0 4 8,0
8
16,0
1
2,0
4
8,0
5
10,0
3
6,0
6
12,0
5
10,0
4
8,0
2
4,0
5
10,0
5
10,0
1
2,0
5 1
10,0 2,0
3 2
6,0 4,0
2 1
4,0 2,0
6 2
12,0 4,0
1
2,0
0
0,0
1
2,0
0
0,0
3 7 1 1 1 0 1 5 2 0
6,0 14,0 2,0 2,0 2,0 0,0 2,0 10,0 4,0 0,0
4 10 4 0 4 5 0 0 0 1
8,0 20,0 8,0 0,0 8,0 10,0 0,0 0,0 0,0 2,0
4 7 5 1 4 1 0 0 0 0
8,0 14,0 10,0 2,0 8,0 2,0 0,0 0,0 0,0 0,0
3 10 0 0 1 4 1 5 2 1
6,0 20,0 0,0 0,0 2,0 8,0 2,0 10,0 4,0 2,0
Hubungan Antar Variabel Hubungan Karakteristik Keluarga dan Remaja, serta Karakteristik Peer Group dengan Keterikatan dengan Peer Group, Karakter dan Peran Pelaku Bullying Remaja. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pada remaja laki-laki, semakin sering frekuensi pertemuan remaja dengan peer group
55
maka semakin tinggi keterikatan remaja dengan peer group-nya (p<0,01). Selain itu, semakin tinggi usia ibu maka semakin baik karakter hormat santun dari remaja (p<0,01) dan semakin tinggi pendapatan keluarga maka kecenderungan remaja menjadi pelaku assisting the bully semakin rendah (p<0,05). Sementara pada remaja perempuan, semakin sering frekuensi pertemuannya dengan peer group membuat karakter hormat santun remaja menjadi rendah (p<0,05). Selain itu, semakin tinggi usia ibu akan semakin baik karakter empati remaja (p<0,05) dan semakin tinggi usia ayah maka kecenderungan remaja menjadi pelaku assisting the bully semakin rendah (p<0,05) (Tabel 30). Tabel 30 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dan remaja serta karakteristik peer group dengan keterikatan dengan peer group, karakter dan pelaku bullying berdasarkan jenis kelamin Terikat
Hormat Santun
Empati
Bully
Assist
Reinforce
Usia
0,079
0,169
-0,035
-0,211
-0,197
0,003
Usia ayah Usia ibu Pendidikan ibu Pendapatan keluarga Besar keluarga Frekuensi pertemuan
-0,191
0,099
Variabel Lakilaki
Perem puan
0,209
0,046
-0,068
0,038
-0,188
**
0,388
0,251
-0,011
-0,122
-0,096
-0,107
-0,085
-0,116
-0,135
-0,097
0,061
-0,254
0,049
-0,085
-0,196
-0,289*
-0,146
0,241
-0,258
-0,088
0,139
0,195
0,253
0,395**
0,010
0,205
0,054
0,263
0,094
Usia
-0,215
0,214
0,164
0,187
-0,137
-0,143
Usia ayah
0,271
-0,039
0,241
-0,030
-0,287*
0,046
0,069
0,087
*
0,328
0,007
-0,196
0,109
-0,118
-0,057
-0,146
0,043
0,144
-0,051
0,047
-0,105
-0,274
-0,076
0,008
-0,007
-0,018
0,001
0,245
-0,026
-0,246
-0,024
0,223
-0,351*
-0,152
0,115
0,062
-0,057
Usia ibu Pendidikan ibu Pendapatan keluarga Besar keluarga Frekuensi pertemuan
Pada remaja di SMK negeri, semakin sering frekuensi pertemuan remaja dengan peer group-nya maka semakin tinggi keterikatannya dengan peer group (p<0,01). Selain itu, semakin tinggi usia remaja dan usia ibu dari remaja maka
56
kecenderungan remaja untuk menjadi pelaku assisting the bully semakin rendah (p<0,05). Pada remaja di SMK swasta, semakin tinggi usia ayah dan ibu dari remaja maka karakter empati remaja semakin baik (p<0,05). Sementara semakin tinggi pendidikan ibu dan semakin tinggi pendapatan keluarga dari remaja maka karakter empati remaja semakin rendah (p<0,05). Selain itu, semakin sering pertemuan remaja dengan peer group maka kecenderungan remaja menjadi pelaku bully semakin tinggi (p<0,05) (Tabel 31). Tabel 31 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dan remaja serta karakteristik peer group dengan keterikatan dengan peer group, karakter dan pelaku bullying berdasarkan asal sekolah Terikat
Hormat Santun
Empati
Bully
Assist
Reinforce
Usia
-0,166
0,198
0,072
-0,005
-0,324*
-0,241
Usia ayah Usia ibu Pendidikan ibu Pendapatan keluarga Besar keluarga Frekuensi pertemuan
-0,110 -0,248
0,021 0,250
0,167 0,257
-0,152 -0,118
-0,208 -0,341*
-0,023 -0,142
-0,039
-0,031
-0,013
-0,115
0,168
0,140
0,064
-0,033
-0,116
-0,162
-0,039
-0,033
0,133
-0,215
0,003
-0,101
-0,143
0,044
0,366**
0,023
0,242
-0,125
0,057
-0,040
Usia
-0,101
0,143
0,040
-0,081
-0,149
0,059
Usia ayah
0,171
0,110
0,313*
0,139
-0,161
0,042
Usia ibu
0,098
0,167
0,329*
0,098
-0,071
0,099
0,057
-0,204
-0,331*
0,017
0,077
-0,008
0,046
-0,017
-0,359*
-0,242
0,012
-0,068
0,020
0,131
0,265
0,161
-0,077
0,080
0,080
-0,086
-0,067
0,301*
0,226
0,169
Variabel SMK negeri
SMK swasta
Pendidikan ibu Pendapatan keluarga Besar keluarga Frekuensi pertemuan
Hubungan Keterikatan dengan Peer Group dengan Karakter dan Peran Pelaku Bullying. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan negatif nyata (p<0,05) antara keterikatan dengan hormat santun pada remaja, serta hubungan sangat nyata (p<0,01) dengan peran assisting the bully dan reinforcing
57
the bully pada remaja laki-laki. Sementara pada remaja perempuan, terdapat hubungan negatif yang sangat nyata (p<0,01) antara keterikatan dengan hormat santun dan empati. Berdasarkan asal sekolah, hanya terlihat hubungan yang nyata (p<0,05) antara keterikatan dengan hormat santun pada remaja di SMK negeri. Sementara di SMK swasta, keterikatan dengan peer group berhubungan negatif yang sangat nyata (p<0,01) dengan hormat santun dan hubungan negatif nyata (p<0,05) dengan empati remaja. Selain itu, keterikatan juga memiliki hubungan yang nyata (p<0,05) dengan peran pelaku bully, assisting the bully dan hubungan sangat nyata (p<0,01) dengan peran pelaku reinforcing the bully (Tabel 32). Tabel 32 Hasil uji korelasi keterikatan dengan peer group dengan karakter dan peran pelaku bullying Variabel
Keterikatan dengan Peer Group
Laki-laki Perempuan SMK Negeri SMK Swasta
Hormat Santun
Empati
Bully
Assist
Reinforce
-0,403** -0,460**
-0,030 -0,452**
0,193 0,118
0,413** 0,145
0,401** 0,278
-0,343*
-0,174
0,033
0,093
0,262
-0,547**
-0,309*
0,304*
0,394*
0,442**
Hubungan Karakter Hormat Santun dengan Peran Pelaku Bullying. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan negatif yang nyata (p<0,05) antara hormat santun dengan peran pelaku assisting the bully dan hubungan negatif yang sangat nyata (p<0,01) dengan peran pelaku reinforcing the bully pada remaja perempuan. Sementara berdasarkan asal sekolahnya, terlihat hubungan negatif yang nyata (p<0,05) antara hormat santun dengan peran pelaku bully dan hubungan negatif yang sangat nyata (p<0,01) dengan peran pelaku assisting the bully dan reinforcing the bully di SMK swasta (Tabel 33). Tabel 33 Hasil uji korelasi hormat santun dengan peran pelaku bullying Variabel
Hormat Santun
Bully
Assist
Reinforce
Laki-laki Perempuan SMK Negeri
-0,213 -0,175 -0,054
-0,272 -0,311* -0,246
-0,302* -0,377** -0,261
SMK Swasta
-0,332*
-0,366**
-0,414**
58
Hubungan Karakter Empati dan Peran Pelaku Bullying. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan negatif sangat nyata (p<0,01) antara empati dengan peran pelaku assisting the bully pada remaja perempuan, sedangkan berdasarkan asal sekolah terlihat adanya hubungan negatif nyata (p<0,05) antara empati dengan peran pelaku bully pada SMK negeri dan peran assisting the bully pada remaja di SMK swasta (Tabel 34). Tabel 34 Hasil uji korelasi empati dengan peran pelaku bullying Variabel
Empati
Bully
Assist
Reinforce
Laki-laki Perempuan SMK Negeri
-0,142 -0,214 -0,306*
-0,062 -0,417** -0,139
-0,097 -0,249 -0,145
SMK Swasta
-0,013
-0,321*
-0,165
Pembahasan Hasil penelitian ini menemukan bahwa secara umum remaja yang sudah memasuki periode remaja akhir (late adolescence) memiliki keterikatan dengan peer group yang rendah. Hal ini senada dengan Baron dan Byrne (2005) dan Santrock (2007) yang menyatakan keterikatan remaja dengan peer group paling kuat terjadi pada masa usia remaja awal dan akan menurun pada saat mereka beranjak ke usia remaja akhir. Sementara itu, bila dilihat dari karakteristik peer group yang diikuti remaja, terlihat bahwa remaja laki-laki memiliki peer group yang lebih bervariasi keanggotaannya dibandingkan remaja perempuan. Hal ini terlihat dari beragamnya usia dan jenis kelamin anggota kelompok pada masingmasing jenis kelamin remaja. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa remaja lakilaki lebih terbuka dalam pertemanan daripada remaja perempuan. Hogg (1992) dalam Nurhuda (2008) mengungkapkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi keterikatan atau kohesi kelompok adalah interaksi dan keakraban. Keakraban serta interaksi diantara sesama anggota kelompok, baik fisik maupun verbal, dapat meningkatkan pandangan positif diantara anggota kelompok. Oleh karenanya, keterikatan peer group juga dapat diidentifikasi dari banyaknya waktu yang dihabiskan remaja bersama peer group untuk berinteraksi
59
dan membangun keakraban. Hasil menunjukkan bahwa remaja perempuan lebih banyak bertemu dengan peer group-nya dibandingkan remaja laki-laki. Menurut Papalia et al. (2009) pertemanan remaja perempuan cenderung lebih dekat dibandingkan laki-laki, dan karena berfokus pada keakraban maka remaja perempuan lebih sering berkumpul dengan teman-temannya dibandingkan lakilaki. Frekuensi pertemuan remaja laki-laki yang tidak sesering remaja perempuan dapat disebabkan oleh beragamnya lingkungan pertemanan remaja laki-laki, yang tidak hanya berada di lingkungan sekolah atau rumah saja seperti kebanyakan remaja perempuan. Remaja laki-laki banyak yang melakukan aktivitas di luar sekolah seperti olahraga futsal dan kegiatan band yang tidak melakukan pertemuan setiap hari dan biasanya dilakukan setelah pulang sekolah. Hal ini seperti yang diungkapkan Papalia et al. (2009), bahwa pertemanan anak laki-laki lebih fokus kepada aktivitas bersama ketimbang percakapan, biasanya berupa kegiatan olahraga dan permainan kompetitif. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Peplau, Sears dan Taylor (2000), bahwa dibandingkan laki-laki, perempuan lebih suka berkumpul untuk mengobrol dengan teman-teman dekatnya, dan memperlihatkan bahwa mengobrol dapat membantu mereka membentuk dasar dari hubungan. Sementara, laki-laki menekankan memilih berbagi kegiatan bersama teman-teman dekatnya. Analisis mengenai karakter remaja menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara remaja laki-laki dan perempuan dalam hal empati. Meskipun tidak berbeda nyata, skor persen empati remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Saputri (2010) yang mana tidak terdapat hubungan nyata antara laki-laki dan perempuan dalam kemampuan berempati. Goleman (2009) menyebutkan ketepatan empati merupakan kecakapan paling esensial dari kemampuan sosial, mengindikasikan perempuan cenderung lebih baik dalam dimensi empati daripada laki-laki. Sementara itu, karakter hormat santun menunjukkan perbedaan yang nyata antara remaja laki-laki dan perempuan, dimana skor persen hormat santun perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini juga didukung oleh pernyataan perilaku kebaikan yang pernah dilakukan remaja, dimana remaja perempuan lebih banyak yang melakukan perbuatan hormat santun dibandingkan remaja laki-laki.
60
Hasil identifikasi peran pelaku bullying menemukan bahwa peran yang paling banyak dilakukan oleh remaja adalah sebagai bully. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Nurhuda (2008) dan Saputri (2010) yang menemukan peran pelaku terbanyak pada remaja adalah assisting the bully. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa remaja perempuan lebih memiliki kecenderungan menjadi pelaku bully daripada remaja laki-laki. Hal ini juga tidak sejalan dengan penelitian Nurhuda (2008) yang menemukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki proporsi yang seimbang dalam peran sebagai bully. Penelitian juga menunjukkan remaja perempuan cenderung melakukan bullying verbal dan remaja laki-laki melakukan bullying fisik dan verbal dalam proporsi yang sama. Namun dalam hal bullying fisik, apabila dibandingkan diantara kedua jenis kelamin terlihat bahwa proporsi remaja laki-laki yang melakukan bullying tipe fisik lebih besar. Hal ini senada dengan penelitian Olweus (2003), Nurhuda (2008), dan Saputri (2010) yang menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan bullying fisik dan perempuan lebih banyak melakukan bullying verbal serta nonverbal. Selain itu, pernyataan perilaku buruk yang pernah dilakukan remaja menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak yang terlibat dalam perkelahian dan tawuran. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan fisik lebih banyak pada remaja laki-laki, sedangkan remaja perempuan lebih banyak yang melakukan perbuatan seperti tidak menghargai orang lain, mengacuhkan, mengejek dan bergosip. Selain melihat perbandingan antar jenis kelamin, dilakukan juga perbandingan menurut asal sekolah remaja. Remaja yang berlatar belakang SMK negeri ternyata lebih banyak yang melakukan bully dan cenderung berbentuk bullying verbal. Sementara itu, remaja dengan latar belakang SMK swasta melakukan bullying fisik dan verbal dalam proporsi yang sama. Penemuan ini menunjukkan bahwa baik siswa SMK negeri maupun swasta sama-sama beresiko melakukan bullying. Perbedaan latar belakang keluarga dari siswa di SMK Negeri dapat menjadi satu pemicu terjadinya saling ejek diantara mereka. Sementara itu latar belakang sekolah juga dapat menjadi penyebab terjadinya bullying di SMK swasta yang para siswanya memang sering terlibat dalam peristiwa tawuran pelajar, sehingga tindakan bullying yang terjadi tidak berhenti pada verbal saja,
61
namun bisa berlanjut pada tindakan fisik. Swearer dan Doll (2001) mengatakan bahwa saat remaja berinteraksi dengan teman-temannya, mereka dapat menoleransi julukan kasar, saling dorong, dan penghinaan verbal yang tidak akan mereka toleransi jika dilakukan oleh orang di luar peer group mereka. Hasil uji korelasi antara keterikatan peer group, karakter dan perilaku bullying menunjukkan bahwa keterikatan dengan peer group remaja memiliki hubungan negatif signifikan dengan karakter dan hubungan positif signifikan dengan perilaku bullying remaja. Hal tersebut terlihat jelas pada kelompok remaja laki-laki dan kelompok remaja di SMK swasta yang memiliki keterikatan dengan peer group lebih tinggi. Sementara itu, pada kelompok remaja perempuan dan kelompok remaja di SMK negeri yang keterikatan dengan peer group-nya rendah menunjukkan bahwa keterikatan mereka dengan peer group hanya akan mempengaruhi kualitas karakter mereka. Hasil penelitian Garnier dan Stein (2001) terhadap remaja usia 18 tahun, juga menemukan bahwa peer group memiliki pengaruh nyata terhadap penggunaan narkoba dan kenakalan pada remaja. Ini mengindikasikan bahwa keterikatan remaja dengan peer group kurang mendukung untuk meningkatkan potensi karakter pada diri remaja dan justru mendukung dalam hal-hal yang buruk seperti perilaku bullying. Besarnya peranan peer group dalam kehidupan remaja disebabkan oleh kebutuhan dari remaja untuk disukai oleh teman-temannya dan ini membuat kebanyakan dari mereka akan melakukan hal apapun yang dapat membuat mereka diterima oleh kelompoknya (Santrock 2007). Karakter hormat santun pada remaja terlihat tidak memiliki hubungan signifikan dengan peran sebagai bully, kecuali pada SMK swasta. Hasil juga menunjukkan bahwa remaja perempuan yang memiliki rata-rata hormat santun lebih tinggi justru lebih banyak yang menjadi pelaku bully. Hormat santun yang cenderung tinggi di sini adalah hormat santun pada orang lain atau yang lebih tua dari mereka, sedangkan hormat santun pada sesama mereka cenderung rendah. Hasil yang sama juga didapatkan antara karakter empati dengan peran bully, dimana tidak terlihat adanya hubungan yang signifikan kecuali pada remaja di SMK negeri. Rasa empati remaja timbul saat melihat penderitaan orang lain, namun mereka cenderung menganggap hal seperti memberikan nama yang buruk
62
pada orang lain adalah hal yang biasa dalam hubungan pertemanan dan tidak akan menimbulkan penderitaan bagi orang tersebut. Menariknya, penelitian ini menemukan bahwa remaja laki-laki yang berasal dari keluarga yang berpendapatan lebih rendah cenderung berhubungan dengan meningkatnya skor perilaku assisting the bully. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena remaja lakilaki dari keluarga berpendapatan rendah melakukan assisting the bully agar dapat diterima oleh kelompoknya. Pengakuan perilaku kebaikan dan buruk dari remaja memperlihatkan bahwa remaja telah dapat membedakan hal yang baik dan buruk, yang menurut Lickona (1991) remaja telah sampai pada tahap moral knowing atau kesadaran moral. Namun melihat banyaknya remaja yang menjadi pelaku bully dan masih sangat sedikit remaja yang berada pada kategori tinggi dalam karakter menunjukkan bahwa remaja belum sampai pada tahap moral feeling dan moral action, yang mana jika mereka sudah merasakan keinginan untuk melakukan hal yang baik maka mereka akan selalu melakukan hal tersebut. Hasil juga menunjukkan bahwa usia orangtua mempengaruhi kualitas karakter dari remaja, dimana semakin tinggi usia orangtua maka karakter remaja semakin baik. Usia orangtua yang lebih tinggi menandakan tingkat kedewasaan yang lebih tinggi, sehingga dapat lebih baik dalam menanamkan karakter pada anaknya. Namun, hal yang menarik adalah pendidikan ibu dan pendapatan keluarga remaja yang semakin tinggi justru membuat empati remaja menjadi semakin rendah. Hal ini mungkin terjadi karena remaja dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi terbiasa untuk tercukupi segala kebutuhannya, sehingga mereka kurang memiliki kesadaran sosial terhadap lingkungan disekitarnya. Temuan ini juga menunjukkan adanya konsistensi bahwa pendidikan ibu berhubungan erat dengan status pendapatan keluarga. Hanya saja, semakin tinggi pendidikan ibu dan pendapatan keluarga tidak menunjukkan kualitas karakter remaja yang lebih baik. Artinya, ada faktor lain dalam keluarga yang mungkin berhubungan langsung dengan karakter, seperti praktek pengasuhan. Karakteristik dari remaja sendiri juga merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagai manusia yang terus tumbuh dan berkembang, perilaku remaja tidak selalu hanya dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya saja,
63
namun mereka memiliki pemikiran dan kepribadian sendiri. Berdasarkan hasil yang ada, tampak bahwa peer group memiliki peranan yang lebih kuat terhadap remaja dibandingkan faktor keluarga dan karakteristik remaja itu sendiri. Namun, Baron dan Byern (2005) mengungkapkan meskipun pengaruh dari peer group sangat kuat dalam kehidupan remaja namun remaja memiliki keinginan untuk mempertahankan otoritas atas diri mereka sendiri. Selain itu, jenis kelamin juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan karakter dan perilaku seseorang. Laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan dalam memahami, menyikapi dan melakukan suatu hal mengingat keduanya memiliki karakteristik yang juga berbeda. Namun, manusia adalah makhluk yang selalu berkembang sesuai dengan usianya. Usia remaja adalah usia peralihan menuju kedewasaan, yang artinya adalah remaja telah mulai mampu berpikir dan bertindak secara mandiri. Santrock (2007) menyatakan bahwa di usia remaja akhir, remaja mulai mengembangkan gaya keputusan yang lebih mandiri dari pengaruh peer group dan orang tua.