IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. SIFAT FISIKO KIMIA SEKAM PADI Sekam padi merupakan biomassa limbah pertanian yang berbentuk curah dan memiliki densitas kamba yang sangat rendah sehingga proses penanganan dan tranportasi menjadi tidak efisien. Untuk mengetahui kualitas sekam padi secara lebih spesifik maka dilakukan pengujian sifat fisiko kimia sekam padi sehingga dapat dijadikan sebagai parameter peningkatan kualitas sekam padi setelah dilakukan proses densifikasi menjadi biopelet. Hasil analisis sifat fisiko kimia sekam padi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisiko kimia sekam padi Komponen
Satuan
Nilai
Kadar air
%bb
10.62 ± 0.00
Lemak
%bk
0.26 ± 0.00
Serat Kasar
%bk
45.43 ± 0.01
Kadar abu
%bb
17.07 ± 0.00
Kadar zat terbang
%bb
78.96 ± 0.10
Kadar karbon terikat
%bb
3.98 ± 0.11
Densitas kamba Nilai kalor
3
kg/m
126.92 ± 0.00
kkal/kg
3450 ± 0.00
Berdasarkan hasil pengujian sifat fisiko kimia sekam padi pada Tabel 4, diketahui bahwa sekam padi memiliki kadar air 10.62% (bb). Kadar air sekam padi mempengaruhi kualitas biopelet dimana kadar air yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor pembakaran dan begitu juga sebaliknya. Sekam padi memiliki kadar lemak sebesar 0.26% (bk). Kadar lemak yang rendah mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas biomassa karena dapat mengurangi asap yang ditimbulkan pada proses pembakaran. Keberadaan komponen lemak juga dapat meningkatkan nilai kalor biomassa sehingga semakin tinggi kadar lemak pada suatu biomassa maka nilai kalorinya semakin tinggi pula. Komponen lemak juga dapat menjadi pelumas yang dapat mempermudah proses densifikasi biomassa menjadi biopelet. Sekam padi memiliki kadar serat kasar sebesar 45.43% (bk). Tingginya kadar serat kasar sekam padi menyebabkan sekam padi mempunyai sifat fisik yang keras, sehingga proses penggilingan sekam padi menjadi lebih sulit dan lama. Sekam padi mempunyai kadar karbon terikat yang sangat rendah yaitu 3.98% (bb). Hal tersebut dikarenakan tingginya kadar abu dan kadar zat terbang pada sekam padi. Sekam padi memiliki kadar abu dan kadar zat terbang berturut-turut sebesar 17.07% (bb) dan 78.96% (bb). Salah satu unsur penyusun abu adalah silika. Semakin tinggi kadar silika pada suatu biomassa maka semakin tinggi pula kadar abu pada biomassa tersebut. Masturin (2002) menyatakan bahwa kandungan abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor sehingga kualitas bahan bakar biomassa tersebut menurun. Kadar zat terbang juga dapat menurunkan kualitas sekam padi sebagai bahan bakar karena dapat menimbulkan banyak asap pada saat proses pembakaran. Kadar zat terbang dipengaruhi oleh jenis bahan baku sehingga perbedaan jenis bahan baku akan berpengaruh terhadap kadar zat menguap.
12
Sekam padi memiliki densitas kamba sebesar 126.92 kg/m3. Densitas kamba sekam padi lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis biomassa lainnya seperti bungkil jarak yang memiliki densitas kamba 355.10 kg/m3 (Zamirza 2010). Oleh sebab itu, proses densifikasi sekam padi menjadi biopelet diharapkan dapat meningkatkan densitas kamba sekam padi sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam proses transportasi. Nilai kalor merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas suatu bahan bakar (Grover et al. 2002). Sekam padi memiliki nilai kalor sebesar 3450 kkal/kg. Nilai kalor tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kalor briket limbah biomassa stem tembakau yang berkisar antara 2789-2969 kkal/kg (Nugrahaeni 2008), akan tetapi nilai kalor sekam padi belum bisa mencapai standar nilai kalor untuk biomassa yang ditetapkan oleh Amerika (4752 kkal/kg), Jerman (4680 kal/kg), Austria (4320 kkal/kg), dan Prancis (4056 kkal/kg).
4.2. SIFAT FISIKO KIMIA ARANG SEKAM PADI Arang merupakan residu yang dihasilkan pada proses karbonisasi suatu bahan yang mengandung karbon pada kondisi terkendali di dalam ruangan tertutup (Masturin 2002). Karbonisasi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memperbaiki karakteristik pembakaran biomassa karena dapat meningkatkan kadar karbon terikat pada biomassa, sehingga dapat meningkatkan nilai kalor pembakaran. Karbonisasi juga dapat mengurangi asap yang ditimbulkan pada saat arang diaplikasikan sebagai bahan bakar karena sebagian besar komponen zat terbang telah terlepas pada saat proses karbonisasi. Karbonisasi sekam padi bertujuan untuk memperbaiki karakteristik pembakaran biopelet sekam padi. Sekam padi yang digunakan pada proses karbonisasi diperoleh dari losses penyaringan setelah sekam digiling. Pemanfaatan losses tersebut mampu meningkatkan rendemen biopelet yang dihasilkan. Karbonisasi sekam padi dilakukan menggunakan tabung kiln pada suhu 400 oC selama 5 jam. Rendemen arang sekam yang diperoleh adalah sebesar 35.71%. Rendemen arang sekam yang dihasilkan pada proses karbonisasi dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu karbonisasi. Hasil penelitian Liliana (2010) menunjukkan bahwa karbonisasi bungkil jarak menghasilkan arang dengan rendemen yang berbanding terbalik terhadap tingginya suhu karbonisasi. Semakin tinggi suhu karbonisasi maka rendemen arang yang dihasilkan semakin rendah. Pada suhu 400 oC, proses karbonisasi bungkil jarak menghasilkan rendemen sebesar 40%, sedangkan pada suhu 500 oC, rendemen arang bungkil jarak yang dihasilkan turun menjadi 32.17%. Hasil analisis sifat fisiko kimia arang sekam disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan sifat fisiko kimia sekam padi setelah dilakukan proses karbonisasi. Arang sekam padi mempunyai kadar air sebesar 0.15%. Kadar air tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar air sekam padi (10.62%). Jumlah kadar air yang rendah dapat meningkatkan kualitas arang sekam sebagai bahan bakar. Kadar karbon terikat pada arang sekam meningkat signifikan menjadi 29.37%. Nilai tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar karbon terikat sekam padi tanpa karbonisasi (3.98%). Peningkatan kadar karbon terikat pada arang sekam disebabkan karena adanya penurunan kadar zat terbang pada arang sekam padi setelah dilakukan proses karbonisasi. Arang sekam memiliki nilai kalor sebesar 4630.50 ± 24.75 kkal/kg. Proses karbonisasi dapat meningkatkan nilai kalor rata-rata sekam padi sebesar 1180.50 kkal/kg.
13
Tabel 5. Hasil analisis sifat fisiko kimia arang sekam padi Komponen
Satuan
Nilai
Kadar air
%bb
0.15 ± 0.00
Kadar abu
%bb
49.94 ± 0.13
Kadar zat terbang
%bb
20.69 ± 0.01
Kadar karbon terikat
%bb
29.37 ± 0.14
kkal/kg
4630.50 ± 24.75
Nilai Kalor
4.3. BIOPELET SEKAM PADI Biopelet dibuat dari limbah biomasa sekam padi dengan penambahan arang sekam sebanyak 0%, 10%, dan 20% (b/b). Peletisasi dilakukan menggunakan ring die pellet mill yang memiliki dies berdiameter 8 mm dan memiliki kapasitas produksi 300 kg/jam. Penggunaan arang sekam dibatasi hingga 20% dari berat total bahan baku. Hal tersebut disesuaikan dengan kemampuan mesin untuk melakukan proses densifikasi terhadap tingkat kekerasan bahan baku yang digunakan. Penambahan arang sekam di atas 20% dapat meningkatkan gaya gesekan pada lubang dies yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan mesin, yaitu dies menjadi lebih cepat aus. Untuk menurunkan gaya gesekan tersebut, ditambahkan minyak jelantah sebesar 5% dari berat total bahan baku (sekam dan arang sekam) yang dapat berfungsi sebagai pelumas pada lubang dies sehingga mengurangi gaya gesekan yang ditimbulkan pada proses densifikasi. Minyak jelantah dipilih sebagai pelumas karena harganya murah dan mudah didapatkan dalam jumlah besar. Analisis sifat fisiko kimia biopelet didasarkan pada beberapa parameter, antara lain : kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon terikat, densitas kambah, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Biopelet yang dihasilkan memiliki panjang yang berkisar antara 15-30 mm, seperti disajikan pada Gambar 4.
(A) (B) (C) Gambar 4. Biopelet sekam padi, (A) 0% arang sekam; (B) 10% arang sekam; (C) 20% arang sekam
4.3.1. Kadar air Kadar air merupakan salah satu parameter penentukan kualitas biopelet yang berpengaruh terhadap nilai kalor pembakaran, kemudahan menyala, daya pembakaran, dan jumlah asap yang dihasilkan selama pembakaran. Tingginya kadar air biopelet dapat menurunkan nilai kalor pembakaran, menyebabkan proses penyalaan menjadi lebih sulit, dan menghasilkan banyak asap pada proses pembakaran. Kadar air juga dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya tekanan mesin pada proses densifikasi. Tekanan yang tinggi menyebabkan biopelet yang terbentuk semakin padat, halus, dan seragam, sehingga partikel biomasa dapat saling mengisi pori-pori yang kosong dan menurunkan
14
molekul air yang dapat menempati pori-pori tersebut. Nilai kadar air rata-rata biopelet dapat dilihat pada Gambar 5. Kadar air biopelet memiliki nilai yang berbanding terbalik dengan jumlah persentase arang sekam yang digunakan. Semakin tinggi persentase arang yang ditambahkan pada campuran bahan baku biopelet, maka kadar air biopelet yang dihasilkan semakin rendah. Hal tersebut dikarenakan arang sekam memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan sekam padi sehingga penambahan arang sekam menyebabkan kadar air biopelet yang dihasilkan semakin rendah pula. Banyaknya jumlah arang sekam yang ditambahkan juga dapat meningkatkan kerapatan partikel penyusun biopelet, sehingga diduga mampu mengurangi rongga udara antar partikel penyusun biopelet yang dapat terisi oleh molekul air.
7 6 4.82
Kadar Air (%)
5 4
3.61 3.10
3 2 1 0 0%
10% Presentase Arang
20%
Gambar 5. Kadar air biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang Berdasarkan hasil analisis ragam, persentase penggunaan arang terhadap kadar air biopelet sekam padi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α = 0.05). Persentase arang 10% dan 20% memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar air biopelet, sedangkan persentase arang 0% dan 10% serta 0% dan 20% memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar air biopelet (Lampiran 3). Kadar air biopelet dengan penggunaan arang sekam sebesar 0%, 10%, dan 20% secara berturut-turut adalah 4.82%, 3.61%, dan 3.10%. Kadar air tersebut jauh lebih rendah dibandingkan kadar air sekam padi (10.62%) dan telah memenuhi standar kadar air biopelet yang ditetapkan oleh beberapa negara di Eropa, seperti yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan nilai kadar air biopelet di beberapa negara Standar kadar air (%) d) Hasil penelitian 3.10 – 4.82 d)
Austria
Jerman
Swedia
Italia
(ONORM M 7135)
(DIN 51371)
(SS 18 71 70)
(CTI - R 04/5)
< 10
< 12
≤ 10
≤ 10
Hahn (2004)
15
4.3.2. Kadar abu Kadar abu merupakan bahan sisa dari proses pembakaran yang sudah tidak memiliki nilai kalor atau tidak memiliki unsur karbon lagi (Nugrahaeni 2008). Jumlah abu yang dihasilkan pada proses pembakaran dipengaruhi oleh jenis biomassa yang digunakan. Salah satu unsur penyusun abu adalah silika. Semakin tinggi kadar silika pada biomassa, maka abu yang dihasilkan dari proses pembakaran akan semakin tinggi pula. Abu merupakan komponen yang tidak diinginkan pada proses pembakaran karena dapat membentuk kerak pada ruang pembakaran dan akhirnya terjadi karat (Ramsay 1982). Keberadaan abu juga dapat menurunkan efisiensi pembakaran karena abu merupakan komponen yang tidak menghasilkan energi (El Bassam dan Maegaard 2004). Kadar abu biopelet sekam padi yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 15.24 – 20%. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biopelet bungkil jarak yang diteliti oleh Liliana (2010) dimana nilai kadar abu yang dihasilkan berkisar antara 4 - 6%. Tingginya kandungan silika diduga sebagai faktor penyebab tingginya kadar abu pada biopelet sekam padi. Kadar abu biopelet sekam padi belum memenuhi standar kadar abu biopelet yang ditetapkan oleh beberapa negara maju, seperti: Austria (<0.5%), Jerman (<1.5%), Amerika (<2%), dan Perancis (≤6%). Hasil analisis kadar abu biopelet sekam padi disajikan pada Gambar 6. Peningkatan kadar abu berbanding lurus dengan peningkatan persentase arang sekam yang digunakan. Hal tersebut diduga karena arang sekam memiliki nilai kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan sekam padi, sehingga kadar abu campuran antara sekam padi dan arang sekam semakin tinggi seiring dengan meningkatnya konsentrasi arang sekam yang digunakan.
20.00
20 17.47 15.14 Kadar Abu (%)
15
10
5
0 0%
10% Presentase Arang
20%
Gambar 6. Kadar abu biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang
Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa persentase penggunaan arang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu biopelet (α = 0.05). Persentase arang 0%, 10%, dan 20% memberikan nilai kadar abu yang berbeda nyata satu sama lain pada biopelet yang dihasilkan. Kadar abu terendah sebesar 15.24% dihasilkan oleh biopelet dari 100% sekam padi, sedangkan kadar abu tertinggi dihasilkan oleh biopelet
16
dengan penggunaan 20% arang, yaitu sebesar 20.00%. Tingginya kadar abu merupakan salah satu kelemahan pada biopelet sekam padi. Hal tersebut dikarenakan abu dapat menginduksi proses pembentukan slag yang dapat menurunkan efisiensi pembakaran (Compete 2009), akan tetapi, abu sekam padi dapat dimanfaatkan sebagai abu gosok, campuran bahan bangunan, dan agen pemucat minyak (Widowati 2001). Abu sekam padi tersusun dari silika (94.5%), alkali, dan logam pengotor (Priyosulistyo, 1999). Silika merupakan bahan kimia yang bersifat amorf dan dapat diaplikasikan di bidang elektronik, mekanik, seni, dan pembuatan senyawa-senyawa kimia, termasuk pembuatan zeolit (Sriyanti et al. 2005).
4.3.3. Kadar zat terbang Kadar zat terbang dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur banyaknya asap yang dihasilkan pada saat pembakaran. Semakin tinggi jumlah kadar zat terbang dari suatu bahan bakar maka jumlah asap yang dihasilkan semakin tinggi. Kadar zat terbang merupakan zat yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa yang masih terdapat di dalam arang selain air (Hendra dan Pari 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar zat terbang berbanding terbalik dengan peningkatan persentase arang sekam yang digunakan. Semakin tinggi persentase arang sekam yang digunakan, maka kadar zat terbang biopelet semakin rendah dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan sebagian kecil zat terbang pada biopelet dengan penambahan arang sekam telah terlepas pada saat proses karbonisasi sekam padi. Kadar zat terbang yang dihasilkan pada biopelet sekam padi berkisar antara 68.14 – 79.94%. Kadar zat terbang rata-rata terendah sebesar 68.14% dimiliki oleh biopelet dengan penambahan 20% arang sekam, sedangkan kadar zat terbang tertinggi dihasilkan oleh biopelet yang terbuat dari 100% sekam padi. Hasil analisis kadar zat terbang biopelet sekam padi disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 5), persentase penggunaan arang sekam memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar zat terbang biopelet sekam padi (α = 0.05). Persentase arang 0% memberikan pengaruh yang sama dengan persentase arang 10% terhadap kadar zat terbang biopelet sekam padi dan berbeda dengan persentase arang 20%.
90 80
79.94 72.86 68.14
Kadar Zat Terbang (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 0%
10% Persentase Arang
20%
Gambar 7. Kadar zat terbang biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang
17
4.3.4. Kadar karbon terikat Karbon terikat merupakan komponen fraksi karbon (C) yang terdapat di dalam bahan selain air, abu, dan zat terbang, sehingga keberadaan karbon terikat pada biopelet sekam padi dipengaruhi oleh nilai kadar abu dan kadar zat terbang pada biopelet tersebut. Pengukuran karbon terikat menunjukkan jumlah material padat yang dapat terbakar setelah komponen zat terbang dihilangkan dari bahan tersebut (Speight 2005). Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa persentase penggunaan arang sekam memberikan nilai kadar karbon terikat yang berbeda nyata (α = 0.05) pada biopelet sekam padi. Persentase penggunaan arang sekam 0% dan 10% serta 0% dan 20% memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar karbon terikat pada biopelet sekam padi, sedangkan persentase penggunaan arang sekam 10% dan 20% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar karbon terikat pada biopelet sekam padi. Hasil analisis kadar karbon terikat pada biopelet sekam padi disajikan pada Gambar 8.
20
Kadar Karbon Terikat (%)
15 11.85 9.68
10
5
4.92
0
0%
10% Persentase Arang
20%
Gambar 8. Kadar karbon terikat biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang Pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa nilai kadar karbon terikat rata-rata tertinggi sebesar 11.85% dimiliki oleh biopelet dengan persentase penggunaan arang sekam sebesar 20%, sedangkan kadar karbon terikat rata-rata terendah sebesar 4.92% diperoleh dari biopelet dengan persentase penggunaan arang sekam 0%. Peningkatan jumlah persentase arang sekam menyebabkan terjadinya kenaikan kadar karbon terikat pada biopelet sekam padi. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh penambahan arang sekam yang telah mengalami proses karbonisasi. Proses karbonisasi dapat menurunkan kadar zat terbang pada biomassa, sehingga penggunaan arang sekam pada formulasi bahan baku juga dapat meningkatkan kadar karbon terikat.
18
4.3.5. Densitas kamba Parameter lain yang digunakan untuk mengukur kualitas biopelet adalah densitas kamba. Semakin tinggi nilai densitas kamba pada suatu bahan maka proses penanganan dan transportasi bahan tersebut semakin mudah. Tinggi atau rendahnya densitas kamba suatu bahan ditentukan oleh berat jenis bahan tersebut (Hartoyo 1983). Demirbas (1999) menambahkan bahwa densitas kamba juga ditentukan oleh tekanan yang digunakan pada proses densifikasi. Peningkatan densitas kamba biopelet sekam padi berbanding lurus dengan peningkatan persentase arang sekam yang digunakan. Penambahan arang sekam dapat meningkatkan kerapatan partikel penyusun biopelet. Rongga udara di antara susunan partikel sekam padi dapat terisi penuh oleh partikel arang sekam yang berukuran lebih kecil, sehingga dapat meningkatkan massa biopelet per satuan volume. Biopelet sekam padi memiliki nilai densitas kamba yang berkisar antara 676.77 – 741.56 kg/m3. Tingginya nilai densitas kamba memungkinkan biopelet digunakan untuk unit pembakaran kecil dengan menggunakan kompor (Lehtinkangas 1999). Pada Gambar 9, dapat diketahui bahwa densitas kamba biopelet terendah sebesar 676.77 kg/m3 dimiliki oleh biopelet yang terbuat dari 100% sekam padi, sedangkan densitas kamba tertinggi sebesar 741.56 kg/m3 dimiliki oleh biopelet yang terbuat dari sekam padi dengan persentase penggunaan arang sekam sebesar 20%. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa persentase arang sekam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α = 0.05) terhadap densitas kamba biopelet sekam padi. Densitas kamba biopelet sekam padi dengan penggunaan arang sekam 0% berbeda nyata dengan biopelet yang ditambahkan arang sekam 10% dan 20%, sedangkan persentase penggunaan arang sekam 10% dan 20% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata satu sama lain.
800
Densitas Kamba (Kg/m3)
700
676.77
728.43
741.56
600 500 400 300 200 100 0 0%
10% Presentase Arang
20%
Gambar 9. Densitas kamba biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang
19
4.3.6. Nilai kalor Nilai kalor merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas bahan bakar padat dari limbah biomassa (Grover et al. 2002). Semakin tinggi nilai kalor, maka kualitas bahan bakar semakin baik. Nilai kalor berbanding lurus dengan kerapatan bahan baku (Sudrajat 1984), dan berbanding terbalik dengan kadar abu (Nurhayati 1974). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kalor yang terdapat pada biopelet sekam padi berkisar antara 3590.82 - 4450.36 kkal/kg. Nilai kalori tertinggi sebesar 4450.36 kkal/kg dimiliki oleh biopelet dengan penambahan arang sekam sebesar 20%, sebaliknya nilai kalor terendah sebesar 3590.82 kkal/kg dimiliki oleh biopelet tanpa penambahan arang sekam. Biopelet dengan penambahan arang sekam sebesar 10% mempunyai nilai kalor sebesar 4329.63 kkal/kg. Hasil analisis nilai kalor rata-rata biopelet sekam padi disajikan pada Gambar 10. Nilai kalor berbanding lurus dengan nilai karbon terikat biopelet sekam padi. Hal tersebut dapat dikarenakan semakin banyaknya bahan padat yang dapat terbakar, sehingga nilai kalor yang dihasilkan juga semakin besar. Nilai kalor juga dipengaruhi oleh kadar air. Tingginya kadar air dapat menurunkan nilai kalor pembakaran biopelet karena sebagian kalor digunakan untuk menguapkan air di awal proses pembakaran. Penambahan arang sekam dapat meningkatkan nilai kalor biopelet sekam padi karena arang sekam memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan sekam padi. Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa persentase penggunaan arang sekam pada semua taraf memberikan nilai kalor yang berbeda nyata (α = 0.05%) pada biopelet sekam padi.
5000 4329.63
Nilai Kalor (kkal/kg)
4000
4450.36
3590.82
3000
2000
1000
0 0%
10% Persentase Arang
20%
Gambar 10. Nilai kalor biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang
Ditinjau dari nilai kalor, kualitas biopelet sekam padi yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi standar kualitas bahan bakar biomassa yang digunakan pada beberapa negara maju, seperti: Austria, Swedia, Jerman, dan Italia. Perbandingan nilai kalor biopelet hasil penelitian dengan standar nilai kalor biopelet pada beberapa negara maju disajikan pada Tabel 7.
20
Tabel 7. Perbandingan nilai kalor biopelet di beberapa negara Standar nilai kalor (kkal/kg) e) Hasil penelitian 3590.82 – 4450.36 e)
Austria
Jerman
Swedia
Italia
(ONORM M 7135)
(DIN 51371)
(SS 18 71 70)
(CTI- R 04/5)
≥ 4299.3
≥ 4036.6
4179.9 – 4657.6
≥ 4036.6
Hahn (2004)
4.3.7. Keteguhan tekan Uji keteguhan tekan merupakan parameter untuk menentukan daya tahan biopelet pada saat proses transportasi. Semakin tinggi nilai keteguhan tekan biopelet, maka semakin kuat pula daya tahan biopelet pada saat kegiatan transportasi. Analisis ragam menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada semua taraf. Hal tersebut diduga karena proses pembuatan biopelet menggunakan mesin dapat menghasilkan produk seragam dengan kualitas yang relatif sama dari segi keteguhan tekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biopelet sekam padi memiliki nilai keteguhan tekan berkisar antara 7.59 – 10.54 kg/cm2. Pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa nilai keteguhan tekan biopelet tertinggi sebesar 10.54 kg/cm2 dimiliki oleh biopelet dengan penambahan arang sekam sebanyak 10%, sedangkan nilai keteguhan tekan terkecil sebesar 7.59 kg/cm2 dimiliki oleh biopelet tanpa penambahan arang sekam. Adapun biopelet dengan penambahan arang sekam sebanyak 20% memiliki nilai keteguhan tekan sebesar 8.99%.
16
Keteguhan Tekan (kg/cm2)
14 12 10.54 10 8
8.99 7.59
6 4 2 0 0%
10% Persentase Arang
20%
Gambar 11. Keteguhan tekan biopelet sekam padi pada berbagai persentase arang Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan jumlah persentase arang sekam padi yang digunakan berbanding terbalik dengan tingkat keteguhan tekan biopelet. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada formulasi optimum yang dapat membuat tingkat keteguhan tekan maksimal. Nilai keteguhan tekan biopelet dipengaruhi oleh ukuran partikel serbuk bahan yang digunakan pada proses pengempaan. Semakin kecil dan seragam ukuran serbuk bahan yang
21
digunakan, maka nilai keteguhan tekan akan semakin tinggi. Dibutuhkan pula serbuk bahan yang berukuran lebih kecil dalam jumlah perbandingan tertentu sehingga dapat meningkatkan kerapatan biopelet dengan cara mengisi rongga udara yang terdapat diantara partikel yang berukuran seragam. Semakin sedikit rongga udara pada biopelet, maka nilai keteguhan tekannya akan semakin tinggi. Hasil uji ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa penggunaan arang sekam tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α = 0.05) terhadap nilai keteguhan tekan biopelet. Biopelet dengan penambahan arang sekam 10% mempunyai nilai keteguhan tekan terbaik.
4.4. UJI KERAGAAN BIOPELET SEKAM PADI Uji keragaan biopelet bertujuan untuk melihat performa biopelet sekam padi ketika diaplikasikan sebagai bahan bakar. Pada uji keragaan biopelet digunakan kompor biomassa tipe UB-03-1 (Universitas Brawijaya) dengan kapasitas bahan bakar biopelet maksimal 3 kg. Uji keragaan biopelet dilakukan dengan menggunakan metode water boiling test. Parameter utama yang diamati pada uji tersebut adalah laju konsumsi dan efisiensi pembakaran biopelet.
4.4.1. Laju konsumsi biopelet Laju konsumsi biopelet merupakan jumlah massa biopelet yang terbakar dalam satu satuan waktu. Pada briket biomassa, laju pembakaran dipengaruhi oleh densitas kamba dimana semakin tinggi kerapatan briket, maka proses pembakaran semakin sulit sehingga laju konsumsi briket menurun dan begitu pula sebaliknya (Komarudin dan Irwanto 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada biopelet dengan penambahan arang sekam 20% memiliki laju konsumsi tercepat yaitu 1.85 kg/jam, sementara biopelet tersebut memiliki nilai densitas kambah tertinggi. Sebaliknya, biopelet tanpa penambahan arang sekam yang memiliki nilai densitas kamba terendah, memiliki laju konsumsi biopelet terlambat yaitu 1.76 kg/jam. Hasil penelitian laju pembakaran (konsumsi) biopelet sekam padi tidak sepenuhnya sesuai dengan teori yang ada. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh suplai oksigen pada saat proses pembakaran berlangsung. Pada penelitian ini, kompor biomassa yang digunakan tidak dilengkapi kipas pengatur suplai oksigen di dalam ruang pembakaran, sehingga keberadaan oksigen pada saat proses pembakaran cenderung fluktuatif. Hal tersebut menyebabkan proses pembakaran tidak stabil dan mempengaruhi laju konsumsi biopelet. Hasil uji laju konsumsi biopelet sekam padi disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil uji laju konsumsi biopelet sekam padi Persentase arang
Waktu pendidihan
Massa biopelet yang
Laju konsumsi
(%)
1 L air (menit)
terpakai (g)
biopelet (kg/jam)
0
7.13 ± 1.31
206.18 ± 20.23
1.76 ± 0.17
10
6.39 ± 0.66
194.77 ± 15.73
1.84 ± 0.25
20
6.10 ± 1.40
180.13 ± 19.41
1.85 ± 0.46
Pada Tabel 8, diketahui bahwa waktu pendidihan 1 L air berbanding terbalik dengan persentase arang sekam yang digunakan. Waktu pendidihan air tercepat selama 6.10 menit dimiliki oleh biopelet dengan persentase penggunaan arang sekam 20%, sedangkan waktu pendidihan air terlama dimiliki oleh biopelet dengan persentase penggunaan arang sekam 0%. Perbedaan waktu pendidihan air
22
diduga karena adanya perbedaan nilai kalor pembakaran pada setiap biopelet sekam padi dengan penggunaan persentase arang sekam yang berbeda. Semakin tinggi nilai kalor biopelet maka waktu pendidihan air akan semakin cepat. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 10), persentase penggunaan sekam padi 0%, 10%, dan 20% tidak berbeda nyata (α = 0.05) satu sama lainnya terhadap waktu pendidihan air. Laju konsumsi biopelet adalah massa biopelet yang terpakai untuk mendidihkan air selama proses pendidihan air. Kemudahan menyala diduga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi laju konsumsi biopelet. Penggunaan persentase arang sekam yang semakin tinggi menyebabkan proses penyalaan semakin sulit. Hal tersebut dikarenakan untuk mencapai titik api pada biopelet sekam padi dengan persentase arang sekam yang semakin tinggi diperlukan kalor yang lebih tinggi sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan pembakaran biopelet yang terbuat dari 100% sekam padi. Berdasarkan Tabel 8, peningkatan laju konsumsi biopelet berbanding lurus dengan peningkatan persentase arang yang digunakan. Laju konsumsi biopelet berkisar antara 1.76 – 1.85 kg/jam. Sebagai pembanding, hasil penelitian Liliana (2010) menunjukkan bahwa laju konsumsi biopelet bungkil jarak pagar pada proses pembakaran dengan menggunakan kompor biopelet yang dilengkapi dengan kipas pengatur suplai oksigen, berkisar antara 0.66 – 0.83 kg/jam. Laju konsumsi biopelet tertinggi dimiliki oleh biopelet dengan penggunaan persentase arang sekam 20%, sedangkan laju kosumsi biopelet terendah dimiliki oleh biopelet dengan penggunaan persentase arang sekam 0%. Hasil uji ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa penggunaan persentase arang sekam tidak berbeda nyata (α = 0.05) terhadap laju konsumsi biopelet sekam padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembakaran biopelet pada berbagai perlakuan menghasilkan nyala api berwarna merah pada awal proses pembakaran. Warna nyala api berubah menjadi merah-kebiruan dan asap yang dihasilkan berkurang setelah nyala api stabil. Asap jelaga berwarna hitam juga terbentuk di awal proses pembakaran.
4.4.2. Efisiensi pembakaran Efisiensi pembakaran merupakan salah satu parameter dari uji keragaan biopelet sekam padi, yaitu perbandingan antara energi yang dibutuhkan untuk mendidihkan 1 liter air terhadap energi biopelet yang dilepaskan pada saat proses pembakaran. Kualitas pembakaran semakin baik seiring dengan tingginya efisiensi pembakaran. Hasil uji efisiensi pembakaran biopelet dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan arang sekam pada biopelet cenderung menurunkan efisiensi pembakaran. Efisiensi pembakaran rata-rata biopelet berkisar antara 8.34 – 9.40%, dimana efisiensi tertinggi dimiliki oleh biopelet tanpa penambahan arang sekam, sedangkan efisiensi terendah dimiliki oleh biopelet dengan penambahan arang 10%. Efisiensi pembakaran biopelet sekam yang dihasilkan pada penelitian ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan efisiensi pembakaran biopelet bungkil jarak pagar pada hasil penelitian Liliana (2010). Biopelet yang terbuat dari 100% bungkil jarak pagar dengan diameter 11 mm memiliki efisiensi pembakaran sebesar 33.79%. Hal tersebut dikarenakan pada kompor biopelet bungkil jarak pagar yang digunakan terdapat kipas yang dapat mengatur suplai oksigen di ruang pembakaran, sehingga proses pembakaran lebih stabil dan sempurna, sedangkan pada penelitian digunakan kompor biomassa yang tidak dilengkapi oleh kipas pengatur suplai oksigen. Efisiensi pembakaran yang dimiliki oleh biopelet pada setiap perlakuan memiliki perbedaan yang tidak signifikan. Hasil uji ragam (Lampiran 12), persentase penggunaan arang sekam pada semua taraf perlakuan tidak berpengaruh nyata (α = 0.05) terhadap efisiensi pembakaran biopelet sekam padi.
23
Tabel 9. Hasil uji efisiensi pembakaran biopelet sekam padi Persentase arang
Energi untuk mendidihkan
Kalori biopelet yang
Efisiensi
(%)
1 L air (kkal)
terbakar (kkal)
(%)
0
69.04 ± 0.96
738.18 ± 63.69
9.40 ± 0.81
10
69.79 ± 1.30
840.78 ± 65.17
8.34 ± 0.71
20
69.29 ± 0.82
800.46 ± 92.61
8.74 ± 0.96
Berdasarkan beberapa parameter sifat fisiko kimia dan hasil uji keragaan biopelet yang terdiri atas: kadar abu, nilai kalor, keteguhan tekan, dan efisiensi pembakaran, maka biopelet dengan penambahan arang sekam 10% ditetapkan sebagai biopelet dengan formulasi terbaik. Dengan kandungan nilai kalor sebesar 4329.63 kkal/kg, biopelet dengan penambahan arang sekam 10% memiliki nilai kalor jauh lebih besar dibandingkan biopelet tanpa penambahan arang sekam (3590.82 kkal/kg) dan sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kalor biopelet dengan penambahan arang 20% (4450.36 kkal/kg). Namun demikian, biopelet dengan penambahan arang sekam 10% memiliki kualitas yang lebih baik pada kadar abu dan keteguhan tekan, sedangkan efisiensi pembakaran menunjukkan hasil yang relatif sama pada setiap perlakuan. Kadar abu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap daya tahan kompor biomassa. Kadar abu yang tinggi dapat mempercepat pembentukan karat pada kompor, sehingga umur pakai kompor menjadi lebih singkat. Nilai keteguhan tekan berpengaruh pada proses penanganan (handling) biopelet, terutama pada proses transportasi dan penggudangan. Biopelet dengan penambahan arang sekam 10% selanjutnya digunakan sebagai basis untuk perhitungan kesetimbangan massa dan analisis energi pada proses produksi biopelet untuk skala laboratorium.
4.5. KESETIMBANGAN MASSA DAN ENERGI PEMBUATAN BIOPELET SEKAM PADI Perhitungan kesetimbangan massa pada proses pembuatan biopelet bertujuan untuk mengetahui rendemen proses produksi biopelet sekam padi untuk skala laboratorium. Kesetimbangan massa dihitung pada setiap tahap proses produksi biopelet, yaitu: penggilingan, penyaringanan, karbonisasi, pencampuran, peletisasi, dan pengeringan. Rendemen diperoleh bedasarkan data input, output, dan losses yang diperoleh pada setiap proses. Proses penggilingan dilakukan menggunakan disc mill dengan ukuran saringan sebesar 3 mm. Pada tahap ini, dihasilkan rendemen sebesar 94.44%. Proses penggilingan menghasilkan serbuk sekam padi dengan ukuran bervariasi, yaitu berkisar antara 16 – 100 mesh. Untuk memperoleh serbuk sekam berukuran ≥ 50 mesh, selanjutnya dilakukan proses pemisahan secara manual dengan menggunakan alat pengayak (saringan) berukuran 50 mesh. Proses pengayakan menghasilkan rendemen serbuk sekam padi sebesar 23.52% dan by product berupa sekam padi berukuran <50 mesh sebesar 76.48%. By product selanjutnya dikarbonisasi menjadi arang sekam menggunakan tabung kiln dan menghasilkan rendemen sebesar 35.71%. Serbuk sekam berukuran ≥50 mesh dan arang sekam dicampurkan, lalu ditambahkan minyak jelantah dan dicetak menjadi biopelet dengan menggunakan pellet mill. Proses peletisasi tersebut menghasilkan rendemen sebesar 75.78%. Biopelet yang dihasilkan dari proses peletisasi kemudian dikeringkan di dalam rumah kaca. Rendemen yang dihasilkan pada proses pengeringan adalah sebesar 95.99%. Berdasarkan nilai rendemen yang
24
diperoleh pada setiap tahapan proses, maka dapat diketahui kesetimbangan massa proses keseluruhan untuk pembuatan biopelet sekam padi untuk skala laboratorium seperti yang disajikan pada Gambar 12.
Sekam padi
10 kg
Penggilingan
Serbuk sekam
9.44 kg <50 mesh
Penyaringan
Serbuk sekam
≥50 mesh
Karbonisasi
7.22 kg
By product (Bio-oil, gas metan), losses 4.64 kg
2.22 kg
Serbuk sekam Arang sekam 0.22 kg
Excess arang sekam 2.36 kg
Pencampuran 1
Campuran serbuk sekam dan arang sekam
Minyak jelantah
2.44 kg
Pencampuran 2
0.12 kg Peletisasi
Losses 0.64 kg
Biopelet
Uap air
1.92 kg
Pengeringan
0.05 kg Biopelet
1.87 kg
Gambar 12. Kesetimbangan massa keseluruhan proses produksi biopelet sekam padi pada skala laboratorium
Proses produksi biopelet menghasilkan rendemen sebesar 18.76%. Pada proses penggilingan, terdapat losses sebesar 0.56 kg yang disebabkan karena adanya sekam padi yang terbuang pada saat diumpankan ke dalam disc mill pada proses penggilingan. Selain itu, terdapat pula sekam padi yang menempel pada bagian silinder penyaring disc mill sehingga dapat mengurangi massa sekam padi yang
25
diperoleh setelah proses penggilingan dan dihitung sebagai losses. Output proses penggilingan sekam padi sebanyak 9.44 kg selanjutnya diayak dan menghasilkan output berupa sekam padi berukuran ≥50 mesh sebanyak 2.22 kg. By product sekam padi berukuran < 50 mesh selanjutnya diumpankan pada proses karbonisasi yang menghasilkan output berupa arang sekam sebanyak 2.58 kg. Serbuk sekam padi berukuran ≥ 50 mesh yang diperoleh pada proses pengayakan selanjutnya ditambahkan arang sekam sebanyak 10% (b/b) dan dilakukan proses pencampuran. Selanjutnya campuran sekam dan arang sekam ditambahkan minyak jelantah sebanyak 4.77% (b/b), lalu diumpankan pada proses peletisasi. Dengan demikian, input campuran bahan baku pada proses peletisasi adalah sebanyak 2.56 kg (2.22 kg sekam, 0.22 kg arang sekam, dan 0.12 kg minyak jelantah). Proses peletisasi menghasilkan output berupa biopelet sekam padi sebanyak 1.92 kg. Pada proses peletisasi, terdapat losses sebesar 0.64 kg yang terjadi karena banyaknya biopelet yang tertinggal di dalam dies dan proses densifikasi yang tidak sempurna sehingga menghasilkan biopelet yang mudah terurai. Biopelet kemudian dikeringkan di dalam rumah kaca selama ±4 jam. Proses pengeringan menyebabkan biopelet kehilangan bobot sebesar 0.05 kg yang diduga sebagai uap air yang terlepas ke udara. Output yang dihasilkan pada akhir proses produksi biopelet terdiri atas 1.87 kg biopelet, 2.36 kg excess arang sekam, dan 4.64 kg by product (bio-oil dan gas metan). Excess arang sekam tersebut tidak dihitung sebagai losses karena dapat digunakan pada proses produksi untuk batch selanjutnya. Analisis energi bertujuan untuk mengetahui besarnya energi input yang dibutuhkan dan energi output yang dihasilkan pada proses pembuatan biopelet sekam padi dalam setiap satu satuan massa. Kebutuhan energi dihitung berdasarkan besarnya daya dan lama waktu pemakaian alat pada setiap tahapan proses pembuatan biopelet, yaitu proses penggilingan, karbonisasi, dan peletisasi. Perhitungan energi dilakukan dengan menggunakan basis bahan baku input sebesar 10 kg sekam padi dan output berupa 1.87 kg biopelet, 2.36 kg excess arang sekam, dan 4.64 kg by product. Proses penggilingan dilakukan menggunakan disc mill yang digerakkan oleh energi mekanik dari motor listrik dengan daya 1 HP. Untuk melakukan penggilingan sekam padi sebanyak 10 kg, dibutuhkan waktu selama 5.25 menit atau 315 detik. Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 13, energi yang dibutuhkan untuk proses penggilingan adalah sebesar 563.75 kkal. Proses karbonisasi dilakukan dengan menggunakan alat karbonisasi tipe kiln dengan tinggi tabung 30 cm dan diameter 19 cm. Alat karbonisasi bekerja dengan menggunakan daya listrik sebesar 5593 watt selama ±5 jam. Pada proses peletisasi, digunakan pellet mill dengan kapasitas produksi sebesar 300 kg/jam. Untuk menggerakkan pellet mill, diperlukan energi mekanik yang berasal dari motor listrik dengan daya 1 HP. Proses peletisasi 2.56 kg bahan baku menjadi 1.94 kg biopelet (berdasarkan Gambar 12) membutuhkan waktu selama 0.96 menit atau 57.6 detik. Dengan cara perhitungan energi yang sama dengan proses penggilingan, energi yang dibutuhkan pada proses karbonisasi dan peletisasi secara berturut-turut adalah 24161.76 kkal dan 103.09 kkal. Energi input total yang diperlukan pada proses pembuatan biopelet dengan basis input 10 kg sekam padi adalah 24828.59 kkal. Energi output yang dihasilkan berasal dari biopelet, arang sekam, dan by product. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 14, energi output total yang diperoleh dari biopelet dan excess karbon adalah sebesar 19024.39 kkal. Losses energi output sebesar 5804.20 kkal diperkirakan terjadi pada by product yang dihasilkan dan tidak diperhitungkan sebagai energi output. Proses transformasi sekam padi menjadi biopelet mampu meningkatkan nilai kalor pembakaran biomassa sekam padi dari 3450.00 kkal/kg menjadi 4329.62 kkal/kg (terjadi peningkatan sebesar 879.62 kkal/kg). Biopelet dengan penambahan 10% arang sekam mampu meningkatkan nilai kalor sekam padi sebesar 25.49%. Perhitungan energi untuk proses produksi biopelet tanpa penambahan arang sekam dilakukan sebagai pembanding. Total energi yang diperlukan untuk membuat biopelet tanpa penambahan arang sekam berdasarkan perhitungan pada Lampiran 14 adalah 356.59 kkal/kg.
26
Energi input sebesar 356.59 kkal mampu meningkatkan nilai kalor sekam padi dari 3450.00 kal/kg menjadi 3590.82 kkal/kg (terjadi peningkatan sebesar 140.82 kkal/kg). Biopelet tanpa penambahan arang sekam mampu meningkatkan nilai kalor sekam padi sebesar 4.08%.
4.6. DESAIN PROSES PRODUKSI BIOPELET SEKAM PADI Desain proses merupakan rancangan suatu proses yang bertujuan untuk mentransformasi bahan baku menjadi produk, baik secara fisik maupun kimia. Desain proses terdiri atas desain rancang bangun konseptual dan desain rancang bangun detail. Desain rancang bangun konseptual merupakan suatu proses sistematis, objektif, dan investigatif dimana kebutuhan dasar teknis, karakteristik operasi, dan batasan-batasan yang ada dari rencana suatu pabrik dievaluasi dan didefinisikan (Tim Penulis BRDST 2008). 4.6.1. Diagram alir proses Pada desain proses produksi biopelet sekam padi, digunakan asumsi – asumsi sebagai berikut: Kapasitas produksi biopelet 100 kg/jam Bahan baku sekam padi Perbandingan sekam padi dan arang sekam pada formulasi bahan baku adalah 9:1, dengan penambahan minyak jelantah 5% (b/b) Berdasarkan batasan-batasan di atas, maka diagram alir proses (process flow diagram) dapat disusun dengan tahapan proses sebagai berikut: 1. Proses persiapan awal (pretreatment) dengan melakukan penjemuran sekam padi di bawah panas matahari di dalam rumah kaca. Proses ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada sekam padi menjadi ≤ 10% sehingga dapat memudahkan proses penggilingan. 2. Sekam padi selanjutnya digiling dengan menggunakan disc mill. Proses penggilingan akan menghasilkan serbuk sekam padi dengan ukuran yang beragam, yaitu dengan ukuran partikel yang berkisar antara 16 – 100 mesh. Tujuan proses penggilingan ini adalah untuk mempermudah proses peletisasi dan meningkatkan kerapatan biopelet. 3. Serbuk sekam padi selanjutnya disaring menggunakan vibrating screener dengan ukuran saringan 50 mesh. Proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan serbuk sekam berukuran <50 mesh yang selanjutnya diumpankan pada proses pirolisis. 4. Untuk menghasilkan arang sekam, serbuk sekam padi selanjutnya digunakan untuk proses pirolisis. Menurut Yaman (2004), pirolisis dapat didefinisikan sebagai proses penguraian biomassa secara langsung menggunakan panas tanpa bantuan oksigen. Suhu yang digunakan pada proses pirolisis berkisar antara 400-800 oC. Proses pirolisis menghasilkan produk berupa gas, cairan, dan arang padat. Jumlah proporsi produk yang dihasilkan bergantung pada metode pirolisis dan karakteristik biomassa yang dijadikan sebagai bahan baku (United Nation 1994). Pada pirolisis sekam padi, akan dihasilkan produk berupa arang sekam (karbon), bio-oil dan gas. Hasil penelitian Natarajan dan Sundaraman (2009) menunujukkan proses pirolisis sekam padi pada fix bed reactor dapat menghasilkan produk berupa 27.19 – 30.11% bio-oil, 32.83 – 38.42% gas, dan 32.53 – 39.98% material padat (arang). Proses pirolisis dilakukan pada suhu antara 400 – 600 oC dengan laju panas 60 oC/ menit, panjang reaktor 300 – 500 mm, dan ukuran partikel sekam padi 0.60 – 1.18 mm. 5. Serbuk sekam padi dan arang sekam kemudian dicampurkan dengan perbandingan 9 : 1 (b/b) dan ditambahkan minyak jelantah sebanyak 5% (b/b). Proses ini akan menghasilkan campuran antara partikel sekam dan arang sekam yang telah terdistribusi secara merata. Tipe mixer yang cocok digunakan untuk proses pencampuran bahan berbentuk serbuk adalah ribbon mixer.
27
6. Formulasi bahan baku (campuran sekam dan arang sekam) selanjutnya diumpankan ke dalam mesin pellet (pellet mill) untuk didensifikasi menjadi biopelet. Diasumsikan bahwa pellet mill mampu melakukan proses densifikasi pada semua ukuran partikel sekam padi setelah proses penggilingan. Terdapat dua jenis pellet mill yang dapat digunakan untuk melakukan densifikasi biomassa menjadi biopelet, yaitu flat die pellet mill dan ring die pellet mill. Pada desain proses ini, akan digunakan flat die pellet mill. Hal tersebut dikarenakan pada flat die pellet mill terdapat beberapa kelebihan sebagai berikut (Anonim 2011): - Proses perawatan (maintanance) lebih mudah dibandingkan ring die pellet mill. - Proses penggantian die dan roller lebih cepat sehingga proses produksi lebih efisien. - Berukuran lebih kecil dan lebih ringan sehingga memungkinkan untuk produksi dengan skala kecil. - Bahan baku di dalam pellet mill dapat dilihat ketika proses peletisasi berlangsung, sehingga lebih memudahkan proses perbaikan jika terdapat suatu masalah pada saat proses peletisasi berlangsung. 7. Biopelet yang dihasilkan selanjutnya dimasukkan ke dalam rotary screener untuk dipisahkan dari bahan baku yang tidak terdensifikasi menjadi biopelet. Bahan baku yang tidak terdensifikasi menjadi biopelet selanjutnya diumpankan kembali ke dalam mixer. 8. Biopelet selanjutnya masuk ke dalam wadah penampung yang dilengkapi blower dan diturunkan suhunya hingga mencapai suhu ruang. Diagram alir proses produksi biopelet sekam padi disajikan pada Gambar 13. Berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa total produksi biopelet sekam padi dengan penambahan arang sekam 10% pada Lampiran 15, untuk menghasilkan biopelet dengan kapasitas produksi 100 kg/jam, dibutuhkan input sekam padi sebesar 120 kg/jam. Produk lain yang dihasilkan pada proses produksi biopelet adalah berupa 10.5 kg gas dan 9 kg bio-oil.
28
Minyak Jelantah 5 kg/jam
Sekam padi : 120 kg/jam
Input
Formulasi bahan: 105 kg/jam
Serbuk sekam padi (50-100 mesh): 90 kg/jam
Ribbon mixer
Disc mill 2.2 kW
Pellet mill
1 kW
Vibrating Screener Serbuk sekam padi (<50 mesh): 30 kg/jam
Losses: 1 kg/jam 7.5 kW 2.5 kW
Biopelet : 104 kg/jam Arang sekam: 10 kg/jam
Losses : 1 kg/jam Rotary screener
Kondensor 1
Kondensor 2 Output Bio-oil: 3 kg/jam
Bio-oil: 6 kg/jam
Biopelet : 103 kg/jam 2.0 kW
Losses: 1 kg/jam Bak penampung 1
Bak penampung 2 Pyrolizer
Gas: 10.5 kg/jam Bak penampung 3
Gambar 13. Diagram alir desain proses produksi biopelet sekam padi
29
4.6.2. Utilitas dan Sistem Kontrol Untuk mendukung peralatan dan proses utama, utilitas merupakan komponen yang sangat menentukan pada proses pengoperasian peralatan utama. Tanpa utilitas ini maka pabrik tidak akan dapat dioperasikan (Tim BRDST 2010). Utilitas dapat berupa listrik, air, berserta peralatan pendukung lainnya. Sumber listrik dapat berasal dari jaringan PLN, generator, atau kombinasi antara keduanya dengan generator sebagai cadangan. Listrik digunakan untuk kebutuhan elektrifikasi dalam pengoperasian motor pengaduk, pompa, serta kebutuhan lainnya. Berdasarkan diagram proses produksi biopelet sekam padi (Gambar 13), maka untuk kebutuhan elektrifikasi peralatan utama dibutuhkan input energi listrik sebesar 15.20 kW. Air dapat berasal dari ledeng, air tanah, sungai, atau sumber lainnya yang dipandang paling ekonomis. Pemenuhan kebutuhan air untuk kondensor pada proses pirolisis dapat diperoleh dari air ledeng. Berdasarkan desain proses produksi biopelet pada Gambar 13, dibutuhkan beberapa jenis peralatan mekanikal, elektrikal, dan proses. Agar produksi dapat berjalan dengan baik, semua peralatan pada setiap kategori harus dioperasikan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pengoperasian dari peralatan tersebut harus terkoordinasi dan diatur sedemikian sehingga kondisi operasi yang diinginkan dapat tercapai. Sistem kontrol menyediakan peralatan yang dibutuhkan oleh operator untuk dapat mengatur dan mengoperasikan pabrik secara aman dan efisien. Sistem kontrol dapat dibagi menjadi dua kategori umum, yaitu kontrol hidup-mati (on-off control) dan kontrol modulasi (modulating control). On-off control menghasilkan keadaan-keadaan yang bersifat diskret, seperti menghidupkan atau mematikan lampu, motor, atau pompa. Sementara modulating control bersifat kontinu. Pabrik modern dengan skala besar biasanya sudah menggunakan sistem kontrol otomatis untuk efisiensi proses dan minimalisasi kesalahan operator (human error). Namun, untuk pabrik skala kecil, saat ini sistem kontrol manual sudah memadai. Selain itu, sistem kontrol otomatis juga akan meningkatkan biaya awal pembangunan plant secara signifikan. Berdasarkan kebutuhan pengaturan yang diperlukan, maka untuk desain proses produksi biopelet sekam padi seperti disajikan pada Gambar 13 cukup menggunakan sistem on-off control yang dioperasikan langsung oleh operator dari sebuah panel kontrol.
4.6.3. Spesifikasi peralatan Untuk keperluan perancangan pabrik, peralatan yang digunakan harus memenuhi spesifikasi sebagai berikut. - Rumah kaca. Diperlukan dua unit rumah kaca untuk pengeringan sekam padi dan biopelet dengan kapasitas 2 ton/hari. - Disc mill. Spesifikasi disc mill ditentukan berdasarkan ukuran partikel sekam padi yang dibutuhkan untuk proses pirolisis dan peletisasi. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan sekam padi dengan ukuran partikel 0.60 – 1.18 mm, maka digunakan disc mill dengan ukuran saringan 2 mm. Untuk menggerakkan disc mill, digunakan motor listrik dengan daya 2.2 kW. Untuk mencapai target produksi biopelet 100 kg/jam, maka digunakan disc mill dengan kapasitas minimal 150 kg/jam. - Vibrating screener. Vibrating screener dengan kapasitas 150-200 kg/jam digunakan untuk memisahkan serbuk sekam padi berukuran <50 mesh yang selanjutnya diumpankan pada proses pirolisis. Untuk mengoperasikan vibrating screener, digunakan motor listrik dengan daya 1 kW. - Alat pirolisis. Untuk kapasitas produksi biopelet 100 kg/jam, maka dibutuhkan alat pirolisis yang mampu menghasilkan arang sekam sebanyak 10 kg/jam. Reaktor dibuat berdasarkan kebutuhan massa arang sekam yang dibutuhkan untuk formulasi bahan baku pembuatan biopelet. Proses
30
-
-
-
-
pirolisis pada fixed bed reactor didesain untuk dapat menghasilkan produk berupa 35% arang sekam, 35% gas, dan 30% bio-oil. Untuk menghasilkan arang sekam sebanyak 10 kg/jam, maka diperlukan umpan berupa serbuk sekam padi sebanyak 30 kg/jam. Jika serbuk sekam padi memiliki densitas kamba 90 kg/m3, maka dibutuhkan alat pirolisis dengan volume reaktor sebesar 3 m3. Selain menghasilkan ±10 kg arang sekam, pirolisis juga akan menghasilkan ±10.50 kg gas ±9 kg bio-oil, dan 0.50 kg losses. Gas yang dihasilkan pada proses pirolisis dapat digunakan untuk mensuplai panas pada ruang pembakaran pirolisis. Untuk menjalankan sirkulasi air pada kondensor, akan digunakan pompa dengan daya 125 watt. Ribbon mixer. Ribbon mixer digunakan untuk mencampurkan serbuk sekam padi dan arang sekam agar dapat terdistribusi secara merata sebelum didensifikasi menjadi biopelet. Untuk kapasitas produksi biopelet 100 kg/jam, maka ribbon mixer didesain dengan kapasitas 100 -120 kg/jam. Ribbon mixer harus dilengkapi dengan katup pengumpan yang dapat diatur secara manual untuk memasukkan bahan baku ke dalam pellet mill. Untuk menggerakkan ribbon mixer, digunakan motor listrik dengan daya 2.5 kW. Pellet mill. Flat die pellet mill digunakan untuk proses densifikasi sekam padi menjadi biopelet dengan kapasitas 100-120 kg/jam. Untuk menggerakkan pellet mill, digunakan motor listrik dengan daya 7.5 kW. Rotary screener. Rotary screener dikelilingi lobang dengan diameter 5 mm dimana terdapat ulir pada dinding bagian dalam silinder yang berfungsi menggerakkan biopelet keluar screener. Pada bagian bawah screener terdapat dua buah wadah yang masing-masing berfungsi untuk menampung biopelet dan material yang tidak terdensifikasi. Energi mekanik untuk memutar rotary screener diperoleh dari motor listrik dengan daya sebesar 2 kW. Blower. Blower digunakan untuk menurunkan suhu biopelet yang keluar dari rotary screener dan dipasang pada wadah penampung biopelet. Untuk penyimpanan sementara, digunakan 2 buah wadah penampung biopelet yang dilengkapi 4 buah blower dengan kapasitas masing-masing sebesar 1 ton.
31