20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Kontrol Gabah, Beras, dan Jagung (No Choice Test) Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi tikus terhadap umpan gabah, beras, dan jagung (no choice test) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada perlakuan kontrol (no choice test) Perlakuan
Hewan Uji
Rerata
Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
Gabah
11,227 aA
4,723 aA
5,888 bA
7,279 aA
Beras
5,512 bB
6,055 aA
7,746 aA
6,437 aA
Jagung
5,246 bB
1,939 bB
2,334 cB
3,173 bB
Rerata
7,328 aA
5,323 bAB
4,029 bB
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa konsumsi gabah pada tikus sawah merupakan yang tertinggi (11,227 g), kemudian diikuti beras (5,512 g) dan terakhir jagung (5,246 g). Berdasarkan Uji Duncan α=5% dan 1%, hasil pengujian konsumsi gabah berbeda sangat nyata terhadap konsumsi beras dan jagung. Hal ini menunjukkan bahwa tikus sawah lebih menyukai gabah daripada beras dan jagung. Pada pengujian terhadap tikus rumah menunjukkan hasil bahwa konsumsi beras merupakan yang tertinggi (6,055 g), kemudian dilanjutkan dengan gabah (4,723 g) dan terakhir jagung (1,939 g). Selisih konsumsi umpan beras dan gabah sangat sedikit dan tidak berbeda nyata (Uji Duncan α=5% dan 1%), sedangkan konsumsi umpan jagung berbeda nyata terhadap jenis umpan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus rumah lebih menyukai umpan beras dan gabah dibandingkan jagung karena kandungan nutrisi protein dan karbohidrat jagung yang lebih sedikit dibandingkan beras (Suharjo dan Kusharto 1998).
21
Konsumsi umpan beras memiliki nilai tertinggi karena beras merupakan pakan utama yang disukai oleh tikus rumah. Pada pengujian terhadap tikus pohon menunjukkan hasil bahwa konsumsi beras merupakan yang tertinggi (7,746 g), kemudian dilanjutkan dengan gabah (5,888 g) dan terakhir jagung (2,334 g). Pada pengujian ini, umpan beras yang dikonsumsi berbeda nyata dengan umpan lainnya (α=5%) namun tidak berbeda nyata dengan umpan gabah pada taraf α=1%. Jumlah konsumsi beras dan gabah lebih tinggi jika dibandingkan dengan jagung. Hal ini disebabkan perilaku dari tikus itu sendiri, yaitu mengerat dan mengupas kulit dari biji, sehingga tikus lebih banyak mengonsumsi beras dan gabah yang masih memiliki kulit luar yang keras. Selain itu, tikus pohon juga cenderung untuk mengonsumsi makanan dari kelompok serealia, antara lain beras dan gabah (Sipayung et al 1987). Tikus sawah memiliki nilai rerata konsumsi tertinggi (7,328 g) dan berbeda nyata terhadap dua spesies tikus lainnya (α=5%), namun tidak berbeda nyata dengan tikus rumah pada taraf α=1%. Tingkat konsumsi rerata pada gabah merupakan yang tertinggi (7,279 g) walaupun tidak berbeda nyata dengan umpan beras (Uji Duncan α=5% dan 1%), namun berbeda nyata terhadap umpan jagung. Hal ini menunjukkan bahwa gabah lebih disukai oleh ketiga spesies tikus karena perilaku tikus dalam mengupas kulit dari biji untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh terus menerus. Ketiga spesies tikus tersebut lebih menyukai gabah dan beras dibandingkan jagung karena kandungan nutrisi protein dan karbohidrat jagung lebih sedikit dibandingkan dengan gabah dan beras (Suharjo dan Kusharto 1998). Kandungan protein gabah dan beras relatif sama, sedangkan faktor yang menyebabkan beras kurang disukai oleh tikus karena beras tidak memiliki lapisan kulit luar yang keras, sehingga tikus cenderung lebih suka untuk mengonsumsi gabah (Aryata 2006).
22
Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Rodentisida vs Gabah vs Beras vs Jagung (Multiple Choice Test) Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi terhadap perlakuan multiple choice test dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 4. Tabel 3 Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada perlakuan multiple choice test Perlakuan
Hewan Uji
Rerata
Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
Gabah
4,583 aA
2,662 bB
3,265 bB
3,503 aA
Beras
1,223 bB
5,961 aA
6,476 aA
4,553 aA
Jagung
0,906 bB
1,137 bB
1,538 cbB
1,193 bB
Rodentisida
0,008 bB
1,024 bB
0,479 cB
0,503 bB
Rerata
1,680 aA
2,696 aA
2,939 aA
Jumlah konsumsi (g)
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).
Tikus Sawah
7 6 5 4 3 2 1 0
Tikus Rumah Tikus Pohon
Gabah
Beras
Jagung
Rodentisida
Umpan Gambar 4 Konsumsi rerata tiga spesies tikus pada perlakuan multiple choice test
Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa konsumsi tikus sawah terhadap gabah memiliki nilai rerata tertinggi (4,583 g) yang berbeda sangat nyata (α=1%) terhadap dua jenis umpan lainnya dan rodentisida. Hal ini menunjukkan bahwa tikus sawah lebih menyukai gabah dibandingkan dengan
23
rodentisida dan umpan lainnya. Umpan lain yang disukai oleh tikus sawah adalah beras, yang menempati urutan kedua setelah gabah. Pada pengujian terhadap tikus rumah menunjukkan hasil bahwa konsumsi beras memiliki nilai rerata tertinggi (5,961 g) dan berbeda sangat nyata (α=1%) terhadap dua jenis umpan lainnya dan rodentisida. Hal ini menunjukkan bahwa tikus rumah lebih menyukai beras dibandingkan dengan rodentisida dan umpan lainnya. Umpan lain yang disukai oleh tikus rumah adalah gabah (2,662 g) yang menempati urutan kedua setelah beras, kemudian dilanjutkan dengan jagung (1,137 g) dan terakhir rodentisida (1,024 g). Pada pengujian terhadap tikus pohon menunjukkan hasil bahwa konsumsi tikus pohon terhadap beras memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi (6,476 g) dan berbeda sangat nyata (α=1%) terhadap rodentisida dan dua jenis umpan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus pohon lebih menyukai beras dibandingkan dengan rodentisida dan umpan lainnya. Pada pengujian ini, jumlah rodentisida yang dikonsumsi paling sedikit (0,479 g) dan berbeda nyata dengan umpan lainnya (α=5%) namun tidak berbeda nyata dengan umpan gabah dan jagung pada taraf α=1%. Tikus pohon memiliki nilai konsumsi rerata tertinggi (2,939 g) walaupun tidak berbeda nyata terhadap dua spesies tikus lainnya (α=5% dan 1%). Konsumsi umpan pada tiga spesies tikus terjadi karena pada metode multiple choice terdapat alternatif umpan yang tidak beracun, sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan secara tidak langsung mencegah dalam mengonsumsi umpan beracun. Tingkat konsumsi rerata beras terhadap dua jenis umpan lainnya dan rodentisida merupakan yang tertinggi (4,553 g) walau tidak berbeda nyata dengan gabah (α=5% dan 1%), namun berbeda nyata terhadap jagung dan rodentisida.
24
Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Rodentisida vs Umpan (Bi Choice Test) Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi terhadap perlakuan bi choice test dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Konsumsi rerata terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada perlakuan bi choice test Perlakuan
Hewan Uji
Rerata
Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
Gabah
6,656 aA
6,789 aA
8,514 aA
7,319 aA
Rodentisida
0,083 bB
0,193 bB
0,235 bB
0,170 bB
Beras
4,289 aA
6,166 aA
9,020 aA
6,492 aA
Rodentisida
0,133 bB
0,598 bB
0,286 bB
0,339 bB
Jagung
4,340 aA
2,859 aA
3,133 aA
3,444 aA
Rodentisida
0,013 bB
2,783 aA
3,735 aA
2,177 bA
Rerata Umpan
5,095 aA
5,271 aA
6,889 aA
0,076 bB
1,191 bB
1,418 bB
Rerata Rodentisida
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital).
Pada pengujian terhadap tikus sawah, umpan yang diberikan ternyata lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan rodentisida. Pada setiap perlakuan yang diujikan terhadap tikus sawah, konsumsi umpan dan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%). Tikus sawah lebih memilih untuk mengonsumsi umpan yang diberikan dibandingkan dengan rodentisida brodifakum. Dari ketiga perlakuan tersebut, konsumsi gabah pada perlakuan gabah vs rodentisida memiliki nilai tertinggi (6,656 g), karena gabah merupakan pakan utama yang paling disukai oleh tikus sawah sesuai dengan habitatnya di persawahan dimana selalu tersedia tanaman padi, sedangkan konsumsi rodentisida pada perlakuan jagung vs rodentisida merupakan yang terendah (0,013 g). Konsumsi tikus sawah terhadap
25
rodentisida pada setiap perlakuan sangat rendah karena adanya umpan lain yang tidak beracun, yaitu beras, gabah, dan jagung. Pada pengujian terhadap tikus rumah menunjukkan hasil bahwa perbandingan konsumsi antara beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%), sedangkan perbandingan konsumsi jagung dengan rodentisida tidak berbeda nyata. Konsumsi rerata umpan gabah relatif sama dengan umpan beras, begitu juga dengan rodentisida yang dikonsumsi pada kedua perlakuan ini. Hal ini menunjukkan bahwa tikus rumah lebih memilih untuk mengonsumsi umpan beras dan gabah daripada rodentisida. Dari ketiga perlakuan tersebut, konsumsi jagung pada perlakuan jagung vs rodentisida merupakan yang terendah (2,859 g) sedangkan konsumsi rodentisida merupakan yang tertinggi (2,783 g) dan tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan beberapa ekor tikus rumah lebih menyukai rodentisida dibandingkan jagung. Pada pengujian terhadap tikus pohon menunjukkan hasil bahwa konsumsi antara beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%), dimana konsumsi beras pada perlakuan beras vs rodentisida menunjukkan nilai yang tertinggi (9,020 g) dibandingkan kedua umpan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tikus pohon lebih menyukai umpan dasar yang memiliki kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi dibandingkan dengan rodentisida. Pada perlakuan jagung vs rodentisida, jumlah konsumsi jagung dengan rodentisida relatif sama dan tidak berbeda nyata dimana konsumsi jagung menunjukkan nilai yang terendah (3,735 g), sedangkan konsumsi rodentisida merupakan yang tertinggi (3,133 g). Hal ini dikarenakan beberapa ekor tikus pohon lebih menyukai rodentisida dibandingkan umpan jagung. Rerata umpan dan rodentisida pada setiap spesies tikus menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara umpan dan rodentisida, dimana tikus pohon memiliki nilai konsumsi rerata umpan tertinggi (6,889 g) dan tikus rumah memiliki rerata rodentisida tertinggi (1,191 g). Jumlah konsumsi rerata rodentisida yang dimakan oleh tiga spesies tikus menunjukkan jumlah konsumsi yang sangat sedikit pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan oleh perilaku tikus yang ingin mencicipi umpan baru namun selanjutnya mengalami penurunan jumlah konsumsi akibat jera umpan.
26
Rasio Konsumsi Rodentisida/Umpan terhadap Tikus Hasil yang diperoleh dari rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan (%) pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon Perlakuan
Hewan Uji
Rerata
Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
A
0,120 aA
10,080 bB
5,490 bB
5,230 bB
B
1,620 aA
2,830 bB
3,040 bB
2,497 bB
C
6,230 aA
8,670 bB
3,540 bB
6,147 bB
D
0,230 aA
52,510 aA
55,890 aA
36,210 aA
Rerata
2,000 bB
18,502 aA
16,990 aA
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital). A = Rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Rodentisida brodifakum vs gabah C = Rodentisida brodifakum vs beras D = Rodentisida brodifakum vs jagung
Berdasarkan hasil pada Tabel 5, menunjukkan bahwa pada tikus sawah rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan perlakuan C merupakan yang tertinggi (6,230%), relatif sama dengan perlakuan lainnya dan tidak berbeda nyata (α=5% dan 1%). Jika dilihat dari rasio konsumsi rodentisida/umpan, tikus sawah sangat sedikit mengonsumsi rodentisida dengan jumlah kematian 1-2 ekor. Hal ini disebabkan tikus sawah memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap racun, karena sebelumnya tikus ini telah memiliki pengalaman akibat pemberian rodentisida terus-menerus saat berada di lapang. Pada tikus rumah, perlakuan D merupakan yang tertinggi (52,510%) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (α=5% dan 1%). Hal ini terlihat dari jumlah kematian tikus rumah yang sangat besar karena telah mengonsumsi rodentisida dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan konsumsi umpan yang sedikit. Pada tikus pohon, perlakuan D merupakan rasio konsumsi rodentisida yang tertinggi (55,890%) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya
27
(α=5% dan 1%). Hal ini tidak berbeda dengan tikus rumah, dimana konsumsi rodentisida lebih banyak dibandingkan umpan yang tersedia dan menyebabkan kematian yang sangat besar. Rerata rasio konsumsi rodentisida/umpan pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan D merupakan yang tertinggi (36,210%) dan berbeda nyata dengan rerata perlakuan lainnya (α=5% dan 1%), sedangkan rerata rasio konsumsi rodentisida/umpan pada baris yang sama menunjukkan bahwa tikus rumah dan tikus pohon memiliki rasio yang tinggi dan berbeda nyata dengan tikus sawah (α=5% dan 1%).
Kematian dan Konsumsi Hewan Uji Hasil yang diperoleh dari kematian hewan uji pada saat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kematian dan konsumsi hewan uji pada saat perlakuan Mati (ekor)
Lama kematian (hari)
Konsumsi total rodentisida (g)
Konsumsi rerata rodentisida (g)
A
1
4
0,080
0,080
B
2
3,5
0,830
0,415
C
1
3
0,780
0,780
D
0
0
0
0
A
3
4,333
7,070
2,356
B
1
3
0,760
0,760
C
4
3,75
5,490
1,372
D
7
4,857
20,938
2,991
A
4
3,25
4,110
1,027
B
1
3
1,878
1,878
C
0
0
0
0
D
8
5,625
31,322
3,915
Perlakuan Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
28 Keterangan: A = Rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Rodentisida brodifakum vs gabah C = Rodentisida brodifakum vs beras D = Rodentisida brodifakum vs jagung
Berdasarkan hasil pada Tabel 6, menunjukkan bahwa konsumsi rodentisida yang menyebabkan kematian pada tikus relatif sama antar perlakuan, kecuali pada perlakuan D. Pada pengamatan didapat kisaran lama kematian tikus berkisar 3 sampai 5 hari. Konsumsi total rodentisida tertinggi tikus sawah terdapat pada perlakuan B (0,830 g) dengan jumlah tikus yang mati 2 ekor dan konsumsi rerata 0,415 g per ekor tikus. Konsumsi total rodentisida tertinggi tikus rumah terdapat pada perlakuan D (20,938 g) dengan jumlah tikus yang mati 7 ekor dan konsumsi rerata 2,991 g per ekor tikus. Konsumsi total rodentisida tertinggi tikus pohon terdapat pada perlakuan D (31,322 g) dengan jumlah tikus yang mati 8 ekor dan konsumsi rerata 0,415 g per ekor tikus. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tikus yang mati karena lebih banyak mengonsumsi rodentisida dibandingkan yang tetap hidup. Pada umumnya tikus mengonsumsi rodentisida yang cukup tinggi dan kematiannya cukup banyak.
Perubahan Bobot Tubuh Tikus Dalam setiap perlakuan dilakukan penimbangan sebelum dan setelah perlakuan untuk mengetahui perubahan bobot dan rata-rata bobot tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada masing-masing perlakuan. Bobot tubuh awal tikus diperoleh dari penimbangan sebelum diberikan perlakuan dan bobot tubuh akhir tikus diperoleh dari penimbangan setelah dilakukan lima hari perlakuan. Secara umum, bobot tikus akan mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan dengan rodentisida. Perubahan bobot tubuh tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada saat perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pada Tabel 7, menunjukkan bahwa kenaikan perubahan bobot tikus sawah terjadi pada perlakuan A (0,540 g) dan perlakuan D (0,010 g). Hal ini disebabkan tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida. Sementara itu, penurunan perubahan bobot tikus sawah terjadi pada perlakuan B (-0,047 g) dan C (-0,980 g). Jika dilihat dari konsumsi umpan,
29
perlakuan B dan perlakuan C tikus lebih banyak mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida namun bobot tubuhnya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan tikus merasa dalam cekaman pada saat mencicipi rodentisida dan jumlah rodentisida yang dimakan oleh tikus sawah sudah bekerja sehingga mengganggu fisiologis tikus dan akhirnya berpengaruh terhadap penurunan bobot tubuh. Tabel 7 Perubahan bobot tubuh terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada saat perlakuan Bobot awal (g)
Bobot akhir (g)
Bobot rerata (g)
Perubahan bobot (g)
A
88,870
89,410
89,140
0,540
B
87,420
86,995
87,207
-0,047
C
88,570
87,590
88,080
-0,980
D
92,470
92,480
92,475
0,010
A
105,780
106,420
106,100
0,640
B
104,690
104,920
104,805
0,230
C
107,070
106,400
106,735
-0,670
D
113,893
113,864
113,878
-0,029
A
135,866
135,623
135,744
-0,243
B
112,314
112,731
112,522
0,417
C
125,681
126,916
126,298
1,235
D
134,088
131,322
132,705
-2,766
Perlakuan Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
Keterangan: A = Rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Rodentisida brodifakum vs gabah C = Rodentisida brodifakum vs beras D = Rodentisida brodifakum vs jagung
Kenaikan perubahan bobot tikus rumah terjadi pada perlakuan A (0,640 g) dan perlakuan B (0,230 g). Sementara itu, penurunan perubahan bobot tikus rumah terjadi pada perlakuan C (-0,670 g) dan D (-0,029 g). Sementara itu,
30
kenaikan perubahan bobot tikus pohon terjadi pada perlakuan B (0,417 g) dan perlakuan C (1,235 g), sedangkan penurunan perubahan bobot tikus pohon terjadi pada perlakuan A (-0,243 g) dan D (-2,766 g). Pada perlakuan D terhadap tikus rumah dan tikus pohon terjadi penurunan bobot tubuh dan jumlah kematian yang besar, hal ini karena jumlah konsumsi umpan sangat sedikit dan konsumsi rodentisida yang cukup banyak sehingga tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan brodifakum dalam jumlah yang cukup (lethal dose) akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya akan menjadi lambat.
Konsumsi Gabah pada Masa Istirahat Hasil yang diperoleh dari konsumsi gabah terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon pada masa istirahat dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Konsumsi gabah terhadap tikus sawah, tikus rumah, tikus pohon pada masa istirahat Perlakuan
Tikus Sawah
Tikus Rumah
Tikus Pohon
Rerata
A
6,677 abAB
8,164 aA
8,940 aA
7,927 aA
B
7,472 abAB
7,130 aA
7,660 abA
7,420 abA
C
5,508 bB
7,226 aA
6,575 abA
6,436 bA
D
8,432 aA
7,627 aA
7,786 abA
7,948 aA
Rerata
7,022 aA
7,536 aA
7,740 aA
Keterangan: Angka dalam kolom yang sama, dan angka dalam baris rerata diikuti oleh huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang ganda Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil) dan α=1% (huruf kapital). A = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs beras vs gabah vs jagung B = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs gabah C = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs beras D = Setelah perlakuan rodentisida brodifakum vs jagung
Tikus yang telah diberi perlakuan rodentisida dan umpan selama lima hari berturut-turut, kemudian diberikan umpan gabah selama tiga hari berturut-turut. Pemberian umpan gabah pasca perlakuan bertujuan untuk mengadaptasikan tikus kembali, untuk diberi perlakuan berikutnya. Berdasarkan hasil pada Tabel 8 menunjukkan bahwa konsumsi gabah tikus sawah pada semua perlakuan
31
mengalami penurunan dibandingkan kontrol. Hal ini terjadi karena pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh tikus sawah, sehingga dapat menurunkan konsumsi terhadap gabah. Konsumsi gabah tikus rumah dan tikus pohon pada semua perlakuan mengalami kenaikan dibandingkan kontrol. Peningkatan konsumsi gabah setelah perlakuan menunjukkan bahwa tikus mengonsumsi rodentisida lebih sedikit sehingga kondisi tubuh tikus tidak mengalami keracunan dan memerlukan kebutuhan pakan yang tinggi.
Gejala Keracunan Brodifakum merupakan rodentisida generasi kedua yang paling potensial untuk mengendalikan tikus, memiliki cara kerja mengganggu kerja vitamin K dalam proses pembekuan darah. Gejala keracunan yang terlihat pada saat pengamatan pengujian rodentisida terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan metode multiple choice test dan bi choice test setelah mengonsumsi rodentisida antikoagulan (brodifakum 0,005%) pada umumnya sama, yaitu terjadinya penurunan aktivitas, tikus menjadi lemas dan pergerakannya lambat atau tidak agresif. Selain itu gejala yang tampak adalah pendarahan atau keluarnya darah dari lubang-lubang alami tikus seperti mulut dan anus, namun ada beberapa tikus yang tidak menunjukkan gejala pendarahan di luar tubuh saat terjadi kematian. Hal ini sangat berkaitan dengan reaksi fisiologis di dalam masing-masing tubuh tikus itu sendiri, serta seberapa parah terjadinya proses pendarahan di dalam tubuh tikus tersebut. Menurut Priyambodo (2009) racun kronis bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh kapiler.
Gambar 5 Gejala pendarahan pada mulut tikus
32
Gambar 6 Gejala pendarahan pada anus tikus
Pembahasan Umum Pengujian rodentisida antikoagulan terhadap tiga spesies tikus hama dengan menggunakan metode multiple choice test menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu tikus lebih memilih mengonsumsi umpan dibandingkan rodentisida. Hal ini dapat terjadi karena pada metode multiple choice terdapat alternatif umpan lain yang tidak beracun, sehingga tikus mempunyai pilihan lain dalam mengonsumsi umpan yang telah disediakan dan secara tidak langsung mencegah tikus dalam mengonsumsi umpan beracun. Pada pengujian kontrol, konsumsi tikus sawah menunjukkan bahwa gabah lebih disukai dibandingkan beras dan jagung yang relatif sama. Pada pengujian rodentisida dengan menggunakan metode bi choice test, setiap jenis umpan yang diberikan lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan rodentisida dan berbeda nyata pada perlakuan lainnya. Rasio konsumsi rodentisida terhadap umpan menunjukkan bahwa tikus sawah lebih menyukai umpan yang tersedia dibandingkan dengan rodentisida, dimana hal tersebut dapat terlihat dari jumlah kematian tikus sawah yang sangat sedikit. Beberapa faktor yang menyebabkan tikus sawah tidak mengonsumsi rodentisida, yaitu saat tikus masih berada di lapang sudah sering diaplikasikan rodentisida berbahan aktif brodifakum, sehingga ketika diujikan tikus sawah sudah mengenali serta mencurigai rodentisida tersebut. Tikus sawah adalah jenis hama pengganggu pertanian utama dan sulit dikendalikan karena tikus sawah mampu “belajar” dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh manusia sebelumnya (Sudarmaji 2005). Selain itu, perlakuan adaptasi yang kurang di
33
dalam laboratorium pengujian yang menyebabkan tikus sawah kurang nyaman dengan kondisi lingkungan sekitar. Tikus merupakan hewan yang mempunyai keempat macam indera yang dapat berkembang secara baik yaitu indera perasa, peraba, penciuman, dan pendengaran sehingga dengan keempat indera yang dimiliki secara baik maka tikus mempunyai sinyal yang dapat dijadikan tanda bahaya bagi ketiga jenis spesies tikus pada waktu perlakuan yang sama di laboratorium. Tikus sawah mempunyai tingkat kepekaan atau sensitifitas yang tinggi dibandingkan dengan dua spesies tikus lain yang diujikan (tikus rumah dan tikus pohon). Tikus sawah lebih menyukai gabah karena perilaku tikus dalam mengupas kulit dari biji untuk mengurangi pertumbuhan gigi serinya yang tumbuh terus menerus. Pengujian kontrol pada tikus rumah menunjukkan bahwa umpan beras lebih disukai dibandingkan umpan lainnya. Hal ini dikarenakan habitat tikus rumah umumnya berada di perumahan, dimana selalu tersedia beras sebagai sumber pakannya. Pada pengujian rodentisida dengan menggunakan metode bi choice test menunjukkan hasil bahwa perbandingan konsumsi antara umpan beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%), sedangkan perbandingan konsumsi umpan jagung dengan rodentisida tidak berbeda nyata. Hal ini juga terlihat pada rasio konsumsi rodentisida/umpan yang menunjukkan bahwa perlakuan D menunjukkan nilai tertinggi, ini berarti bahwa tikus rumah cukup banyak mengonsumi rodentisida dan kurang menyukai jagung. Penurunan bobot tikus rumah disertai kematian yang tinggi terjadi pada perlakuan rodentisida dan umpan jagung, hal ini karena jumlah konsumsi umpan sangat sedikit dan konsumsi rodentisida yang cukup banyak sehingga tikus yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan brodifakum dalam jumlah yang cukup (lethal dose) akan mengalami penurunan aktivitas, hewan menjadi lemas, dan pergerakannya akan menjadi lambat. Beberapa faktor lain yang menyebabkan tikus rumah memilih untuk mengonsumsi rodentisida adalah rodentisida brodifakum belum banyak digunakan di areal perumahan, sehingga tikus rumah tidak mengalami kecurigaan terhadap rodentisida dan umpan yang diberikan.
34
Pengujian kontrol pada tikus pohon menunjukkan bahwa umpan beras lebih disukai dan berbeda nyata (α=5%) terhadap umpan gabah dan jagung. Pada pengujian rodentisida dengan menggunakan metode bi choice test, perbandingan konsumsi antara umpan beras dan gabah dengan rodentisida berbeda sangat nyata (α=5% dan 1%) sedangkan konsumsi umpan jagung dengan rodentisida relatif sama dan tidak berbeda nyata. Pada pengujian rasio konsumsi rodentisida/umpan didapatkan hasil bahwa perlakuan D menunjukkan nilai tertinggi, hal ini berarti bahwa tikus pohon cukup banyak mengonsumi rodentisida dan kurang menyukai jagung. Selain itu penurunan bobot tubuh tikus pohon disertai kematian yang tinggi terjadi pada perlakuan D, dimana tikus mengonsumsi umpan dalam jumlah sangat sedikit dan konsumsi rodentisida yang cukup banyak. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan tikus pohon di habitat aslinya (semak belukar) belum sering dikendalikan dengan rodentisida brodifakum, sehingga tikus pohon kurang mengenali dan curiga terhadap rodentisida brodifakum ketika diujikan di laboratorium.