HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil seleksi kasus terpilih sebanyak tiga ekor kucing yang didiagnosa secara PA sebagai penderita FIP, yakni kasus pertama (P/11/09) kucing mix, kasus kedua (P/36/09) Kucing Persia jantan berusia sembilan tahun, dan kasus ketiga (P/78/10) Kucing Siam jantan delapan tahun. Anamnesa yang diperoleh untuk ketiga kucing antara lain mukosa kuning atau pucat, dehidrasi, mulut berbau, hipersalivasi, anoreksia, dispneu, dan mati beberapa jam sampai dua hari setelah dirawat. Tiga sampel kasus yang didapat menunjukkan bahwa kucing yang terinfeksi berjenis kelamin jantan dan berumur antara delapan sampai sembilan tahun dengan berbagai macam ras terutama ras murni. Hal ini sesuai dengan penelitian Pesteanu-Somogyi (2006) bahwa identifikasi semua kucing yang terdiagnosa FIP selama lebih dari enam belas tahun menunjukkan kucing jantan dengan ras murni (purebreed) memiliki prevalensi lebih tinggi terinfeksi FIP. Abyssinian, Bengal, Birman, Himalayan, Ragdoll, dan Rex memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan ras lainnya. Namun, masih menurut Pesteanu-Somogyi (2006) kucing muda memiliki resiko lebih besar terkena FIP sehingga berbeda dengan umur sampel yang berumur delapan sampai sembilan tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh imunitas yang dimiliki kucing yang berusia tua sudah menurun sedangkan pada kucing muda belum terbentuk sistem imunitas yang stabil setelah antibodi maternal hilang. Catatan hasil nekropsi yang diperoleh dari setiap kucing yang dievaluasi secara umum menunjukkan bahwa pada ketiga kasus ditemukan mukosa pucat dan ikterus, pneumonia, dan hepatitis serta multifokus nekrotik pada hati. Kemudian hydrothorax dan hydropsascites pada kasus yang kedua dan ketiga, serta ditemukan pankreatitis pada kasus yang pertama dan kedua. Perubahan lain yang juga ditemukan ialah subkutis ikterus, hipertropi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan, endokarditis, nefritis, enteritis, serositis, gastroenteritis, splenitis, serta vasa injectio otak. Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pengamatan patologi anatomi menunjukkan ketiga kucing terinfeksi FIP.
Ikterus atau jaundice yang terjadi pada ketiga kasus disebabkan meningkatnya
kadar
bilirubin
pada darah
atau dapat
disebut
dengan
hiperbilirubinemia. Konsentrasi bilirubin yang tinggi yaitu lebih dari 2 mg/dl dapat memicu terjadinya jaundice, jaringan menjadi berwarna kuning khususnya pada jaringan yang banyak mengandung elastin, seperti aorta dan sklera. Terjadinya hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang meningkat akibat hemolisis. Lisisnya sel darah memberikan beban yang lebih berat pada hati menghasilkan bilirubin.
Penyebab lain ialah menurunnya
produksi, konjugasi, dan sekresi bilirubin oleh hepatosit akibat penyakit pada hati yang bersifat akut atau kronis serta terganggunya aliran empedu (cholestasis) (McGavin, Zachary 2007) sehingga ikterus yang terjadi pada kasus ini disebabkan oleh kerusakan hati terutama pada duktus empedu. Lisisnya sel darah kemungkinan dapat disebabkan oleh tingginya kadar tiroid dalam darah (hipertiroid). Lisisnya sel darah terutama sel darah merah (eritrosit) menyebabkan gangguan aliran oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen dalam jaringan disebut iskemia. Iskemia dan faktor lain dari luar seperti kebakaran dan trauma, racun bahan kimia, virus dan mikroorganisme lain serta toksinnya merupakan penyebab umum terjadinya nekrosa.
Fokus nekrosa
umumnya terlihat pada keadaan dengan infeksi bakteri, kapang, dan virus, serta mikroorganisme tersebut umumnya ditemukan pada analisis histologi jaringan (Cheville 2006). Perubahan patologi anatomi tidak hanya terjadi pada hati tetapi juga terjadi pada organ lain seperti ginjal, pankreas, limpa, bahkan sampai otak. Hal ini sesuai dengan penelitian Kipar et al (2005) yang menjelaskan bahwa tiga dari lima kucing yang diteliti terpapar FIP memperlihatkan lesi pyogranulomatus di berbagai organ, seperti hati, ginjal, pankreas, peritoneum dan limpa. Garner et al (2008) juga menjelaskan bahwa musang yang terpapar FIP menunjukkan adanya massa nodular pucat pada mesenterium, parenkim hati, limpa, dan ginjal serta terjadi efusi di intraabdominal. Virus FIP bereplikasi di daerah epitel saluran pernafasan atau daerah orofaring. Antibodi terhadap virus ini terbentuk dan virus menempati makrofag sebagai inangnya. Virus beredar ke seluruh tubuh melalui makrofag dan terlokasi
di dinding vena dan bagian perivaskuler. Virus bereplikasi kembali di daerah perivaskuler kemudian membentuk reaksi jaringan yang akan membentuk lesi klasik pyogranulomatus di berbagai organ, seperti hati, ginjal dan usus (Tilley, Smith 2000). Lesi sebagian besar terlihat pada organ di bagian rongga abdomen dan sedikit di bagian rongga thoraks hal ini sesuai dengan pernyataan Pedersen (2009) bahwa target jaringan virus FIP pertama kali menuju limfonodus di mesenterium, serosa usus, dan sebagian kecil pada pleura dan omentum. Beberapa virus juga tampak mencapai meningen terutama di bagian posterior ventral permukaan otak, ependima di sepanjang ventrikel, dura mater di sumsum tulang belakang dan uvea serta retina mata.
Tabel 2 Patologi anatomi hati kucing yang terpapar FIP. Kasus Patologi anatomi
P/11/09 1. mukosa kuning, scirrhous atrophy 2. pneumonia, suppurative (diffuse) 3. hipertropi ventrikel kiri, dilatasi ventrikel kanan 4. hepatitis, pembendungan (mild) 5. pankreatitis (moderate) 6. enteritis kataralis 7. nefritis supuratif (bilateral, severe)
P/36/09 1. mukosa ikterus, dehidrasi 2. subkutis ikterus, perlemakan banyak (obesitas) 3. pneumonia interstitialis 4. edema pulmonum 5. dilatasi ventrikel kanan, hipertropi ventrikel kiri 6. hydropascites, hydrothoraks 7. serositis (peritonitis) granulomatous 8. gastroenteritis 9. perihepatitis granulomatous 10. pankreatitis granulomatous 11. spleenitis granulomatous 12. kongesti ginjal dan vasa injectio otak
P/78/10 1. mukosa pucat 2. ulcus pada sudut pertemuan maxilla dan mandibula 3. endokarditis valvulus (kiri, mildmoderate) 4. pneumonia (severe, difus granulmatous) 5. hydrothoraks ± 200 ml (severe) 6. multifokus nekrotik pada hati disertai fibrin (mild) 7. ditemukan fibrin pada permukaan limpa 8. granulomatous nefritis (diffuse, severe, bilateral)
Hydropsascites atau edema yang terjadi di daerah peritoneum merupakan gambaran khas yang terlihat pada penderita FIP. Edema adalah akumulasi cairan di antara jaringan dan rongga tubuh. Edema dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
edema lokal dan edema umum. Edema lokal disebabkan oleh blokade limfatik, sedangkan edema umum disebabkan oleh mekanisme meningkatnya tekanan hidrostatik darah atau menurunnya tekanan osmotik koloid protein plasma. Menurut Cheville (2006), ascites adalah akumulasi cairan pada intraperitoneal akibat retensi ion natrium dan air, hipoalbunemia, dan menurunnya tekanan osmotik koloid. Ascites tidak selalu muncul pada kenaikan tekanan hidrostatik pada semua spesies, contohnya ligasi vena portal pada anjing tidak menyebabkan terjadinya akumulasi cairan di rongga peritoneum. Selain itu, edema juga dapat terjadi di antara jaringan. Ascites dapat mengindikasikan berbagai macam kondisi patologis seperti congestive heart failure, nefrosis, malignant neoplasma, dan peritonitis (Colville, Bassert 2008). Peritonitis pada kasus kedua berasosiasi pada pembesaran abdomen akibat hidrops acites. Peritonitis terlihat pada lebih dari 58% dan pleuritis sekitar 11% kucing dengan effusive FIP (Sharif 2010), dengan demikian pada kasus kedua kucing mengalami effusive FIP. Pada kasus ketiga, kucing juga mengalami effusive FIP karena diperoleh keadaan patologi anatomi berupa hydrothoraks sebanyak kurang lebih 200 ml. Sedangkan pada kasus pertama tidak ditemukan keadaan peritonitis maupun hydrothoraks sehingga dapat diartikan bahwa kucing tersebut menderita noneffusive FIP meskipun terdapat kemungkinan sudah berjalan menuju effusive FIP. Menurut Pedersen (2009), cairan yang ditemukan pada rongga abdomen berwarna sedikit kuning, keruh seperti berawan dan bersifat pekat (mucinous). Cairan tersebut mengandung banyak protein dan terlihat beberapa limfosit, neutrofil, dan sel plasma diertai adanya fibrin. Total protein yang terkandung antara 3,9 sampai 9,8mg/µl dengan kadar globulin 50 sampai 82% sedangkan total sel yang terhitung antara 1600 sampai 25000 per mikroliter. Efusi cairan karena infeksi FIP berwarna kuning terang sampai gelap dan dapat pula sedikit berwarna hijau tergantung tingkatan bilirubin dan biliverdin yang terkandung di dalamnya. Pemeriksaan mikroskopis organ hati pada ketiga kasus ditemukan peradangan multifokus yang disertai infiltrasi sel radang pada daerah porta, kongesti, degenerasi, dan nekrosa sedangkan koloni bakteri berbentuk batang ditemukan di dalam vena pada kasus yang kedua.
Koloni bakteri tersebut
kemungkinan berasal dari infeksi sekunder yang sudah terjadi pada kucing kedua dan tidak terjadi pada kucing pertama dan ketiga. Mekanisme efek sinergisme antara infeksi virus dan bakteri ialah merusak lapisan mukosa organ. Setelah lima sampai tujuh hari infeksi virus, fungsi fagositik akan menurun sehingga ada kemungkinan bakteri akan masuk dan menginfeksi.
Untuk itu dibutuhkan
vaksinasi sebagai pencegahan terhadap serangan virus dan menurunkan efek sinergisme antara virus dan bakteri (McGavin, Zachary 2007). Degenerasi diawali dengan perubahan morfologi sel diantaranya ukuran sel membesar, pucat, transparan dan relatif tidak berstruktur dan lisis. Degenerasi yang terjadi pada hati kucing yang terpapar FIP adalah degenerasi hidropis. Sel akan membengkak, air di sitoplasma akan keluar sehingga sitoplasma sel terlihat kosong. Degenerasi hidropis juga biasa disebut dengan ballooning degeneration. Pola degenerasi ini pada umumnya disebabkan oleh kebakaran, toksin bakteri dan penyakit viral epiteliotropik (Cheville 2006). Hasil pengamatan histopatologis terlihat adanya ballooning degeneration yang ditandai dengan sel-sel yang membengkak, kosong, dan sudah tidak memiliki inti sehingga dapat disimpulkan bahwa hati tersebut mengalami degenerasi.
Tabel 3 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/11/09. Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta (vena porta) 1. peradangan + multifokus 2. nekrosa + + 3. kongesti + 4. infiltrasi sel + radang 5. karyomegali, + karyopiknotis 6. degenerasi + hidropis
Tabel 4 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/36/09. Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta (vena porta) 1. kongesti + 2. edema (jarak + antar sel renggang) 3. koloni bakteri + 4. karyopiknotis + 5. degenerasi + hidropis 6. nekrosa + + Tabel 5 Gambaran histopatologi hati kucing yang terpapar FIP pada kasus P/78/10. Histopatologi Intralobular Interlobular Segitiga porta (vena porta) 1. peradangan + multifokus 2. infiltrasi sel + radang 3. kongesti + 4. degenerasi + hidropis 5. nekrosa + + Gambaran selanjutnya adalah kongesti atau pembendungan pada pembuluh darah vena. Kongesti menandakan adanya peningkatan aliran darah menuju jaringan dan sedikitnya darah yang dikembalikan ke pembuluh darah dari jaringan.
Kongesti pada segala keadaan hanyalah manifestasi dari beberapa
perubahan karakteristik aliran darah dan merupakan hal yang mendasari terjadainya proses patologis. Variasi jenis kongesti dipengaruhi oleh durasi (akut atau kronis) dan tingkat keparahan (lokal atau general) (Slauson, Cooper 2002). Kongesti seperti yang terlihat pada Gambar 3 terlihat dengan banyaknya pembendungan di bagian sinusoid dan hal tersebut tidak terlihat pada organ yang normal. Pembendungan menyebabkan warna organ menjadi lebih merah daripada keadaan normalnya sehingga terlihat bintik-bintik merah pada bagian yang mengalami kongesti.
Kongesti menyebabkan aliran darah menjadi terganggu
sehingga dapat terjadi degenerasi dan menuju ke arah nekrosa karena jaringan
kekurangan oksigen.
Kongesti umum yang terjadi pada organ kucing dapat
disebabkan oleh komplikasi dari segala pemicu. Vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung dan paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum terjadi pada FIP dimana semua lesi patologi anatomi ini dapat ditemukan pada pemeriksaan nekropsi (Hartmann 2003). Gambaran selanjutnya adalah nekrosa, yang menampilkan bentuk sel hepatosit yang tidak beraturan. Inti tidak terlihat serta sitoplasma yang tidak terlihat seragam. Nekrosa merupakan kematian jaringan yang terjadi pada hewan hidup. Nekrosa terlihat dengan adanya koagulasi, pucat, banyaknya sel yang mati yang tekstur maupun warnanya tidak sama dengan sel normal pada umumnya (Cheville 2006). Fokus nekrosa yang ditunjukkan oleh Gambar 5 memperlihatkan kerusakan yang terpusat dengan sel-sel yang tidak beraturan dan di sekitar fokus nekrosa tersebut sel-sel hepatosit mulai mengalami kerusakan. Sel juga berwarna eosinofilik atau berwarna sedikit merah. Fokus nekrosa tersebut tidak hanya terlihat pada satu lokasi tetapi terdapat di sebagian besar lapang pandang (multifokus nekrosa). Penyakit penderitanya.
yang
disebabkan
oleh
virus
dapat
menekan
antibodi
Perubahan yang dapat dilihat pada pengamatan histopatologi
adalah infiltrasi sel radang, yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada daerah yang dekat dengan pembuluh darah untuk menyerang atau menghancurkan agen patogen yang ada di daerah tersebut. Sel yang berpengaruh pada infeksi akibat virus adalah limfosit.
Pada pengamatan hati yang terpapar FIP juga
ditemukan beberapa limfosit namun disertai dengan makrofag dan sel plasma. Proses berkumpulnya, pematangan dan pengeluaran virus dapat memicu adanya cytophatic effects, antara lain terbentuknya badan inklusi, sitolisis, dan fusi sel (Kreier, Mortensen 1990). Namun menurut Kipar et al (2005), karakteristik sel radang pada vaskulitis yang disebabkan FCoV didominasi oleh monosit (makrofag) dengan sedikit neutrofil dan limfosit. Lesio menunjukkan monosit menempel pada sel endotel atau keluar dari pembuluh darah melalui sirkulasi atau membentuk fokus peradangan pada dinding pembuluh darah. Perbedaan jumlah limfosit atau makrofag yang mendominasi pada infiltrasi sel radang penderita FIP
tidak berpengaruh pada tingkat keparahan penyakit karena keduanya dapat menandakan adanya antigen major histocompatibility complex (MHC) II yang disebabkan oleh FCoV. Gambaran mikroskopik hati yang terpapar FIP ditemukan infiltrasi sel radang, yaitu berkumpulnya sel-sel radang terutama pada daerah yang dekat dengan pembuluh darah. Pada pengamatan hati yang terpapar FIP juga ditemukan beberapa limfosit namun disertai dengan makrofag dan sel plasma. Menurut Takano et al (2009), neutrofil survival factors yang diproduksi oleh makrofag memiliki peran dalam perkembangan lesi pyogranulomatus selama infeksi FCoV.
K K 16 µm
Gambar 3 Hati, P/11/09, kongesti (K) dengan balooning degeneration (tanda panah). Pewarnaan HE.
L
16 µm
Gambar 4
Hati, P/36/09, infeksi sekunder. Bakteri berbentuk batang (tanda panah) di dalam lumen pembuluh darah (L). Pewarnaan HE.
N
64 µm
Gambar 5
Hati, P/36/09, fokus nekrosa (N), sel-sel hepatosit tidak beraturan dan berwarna eosinofilik. Pewarnaan HE.
B L B
200 µm
Gambar 6 Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang (B) di daerah pembuluh darah. Lumen (L). Pewarnaan HE.
M L
N 32 µm
Gambar 7
Hati, P/78/10, infiltrasi sel radang dengan dominasi makrofag (M) dan limfosit (L) serta sedikit neutrofil (N). Pewarnaan HE.