6
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembiakan Streptomyces katrae pada Formulasi Media Beras, Jagung dan Limbah Baglog Jamur S. katrae merupakan aktinomiset dari golongan Streptomyces yang pertama diisolasi dari tanah di daerah India oleh Gupta dan Chopra (1963). Himmah (2011) berhasil mengisolasi aktinomiset dari tanah persawahan di daerah Bogor dengan kode isolat ATS 6. Setelah dilakukan identifikasi didapatkan bahwa aktinomiset berkode isolat ATS 6 ini termasuk kedalam genus Streptomyces dan memiliki kesamaan maksimum hingga 98% dengan sekuen parsial gen 16S rRNA S. katrae dengan nomor aksesi HQ60777.1. Isolat ini yang dibiakan dalam berbagai formulasi beras dan jagung dalam penelitian ini.
Gambar 1 Koloni S. katrae pada media YCED
a
b
c
d
Gambar 2 a) koloni S. katrae pada beras, b) koloni S. katrae pada beras dan limbah baglog jamur, c) koloni S. katrae pada jagung d) koloni S. katrae pada jagung dan limbah baglog jamur Koloni S. katrae dalam media agar terlihat berwarna putih pada awal pertumbuhan, sekitar umur 3-4 hari. Setelah berumur 7 hari, miselium mulai bersporulasi dan terjadi perubahan warna menjadi agak merah muda. Warna merupakan salah satu cara membedakan aktinomiset yang satu dengan yang lainnya (Madigan et al. 2012). Jika dilihat dari morfologinya, koloni S. katrae terlihat seperti berdebu atau bertekstur beludru (Gambar 1). Koloni yang berdebu tersebut
7 merupakan kumpulan miselium aerial. Spora aktinomiset bersifat hidrofobik serta resisten terhadap keadaan kering (Hirsch & Ensign 1976). S. katrae memiliki dua macam miselium, yaitu miselium substrat yang masuk dan menembus media agar, dan miselium aerial yang berada diatas permukaan media dan menghasilkan spora (Holt et al. 1994). Formulasi beras maupun jagung yang telah ditambahkan limbah baglog jamur berhasil menjadi media pembiakan S. katrae dengan adanya miselium berwarna putih yang mulai tumbuh pada hari ke-3 (Gambar 2). Pada saat berumur 5 hari koloni mulai berwarna merah muda menandakan spora mulai terbentuk. Pertumbuhan koloni S. katrae pada media formulasi terhitung lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan pada media agar. Hal ini terjadi karena spora dari inokulum awal sebelum diinokulasikan pada formulasi sudah menghasilkan spora yang matang, sehingga ketika dimasukan kedalam formulasi dapat dengan mudah berkembangbiak. Media formulasi juga lebih cocok memenuhi kebutuhan hidup S. katrae dibanding pada media agar dalam hal kebutuhan nutrisinya. Formulasi yang dirancang terbagi menjadi delapan formulasi. Yaitu: FB1 (beras 100%), FB2 (beras 90% dan limbah baglog jamur 10%), FB3 (beras 75% dan limbah baglog jamur 25%), FB4 (beras 50% dan limbah baglog jamur 50%), FJ1 (jagung 100%), FJ2 (jagung 90% dan limbah baglog jamur 10%), FJ3 (jagung 75% dan limbah baglog jamur 25%), dan FJ4 (jagung 50% dan limbah baglog jamur 50%). Kedelapan formulasi ini berhasil menjadi media tumbuh S. katrae dengan jumlah populasi per gram yang berbeda. Berdasarkan hasil pembiakan S. katrae pada media formulasi beras (Tabel 1) pada saat berumur 5 hari, FB3 menunjukan pertumbuhan paling tinggi dibandingkan media formulasi lain. Hal ini belum bisa menjadi patokan bahwa FB3 merupakan media formulasi terbaik, terlihat pada pengamatan formulasi saat berumur 10 hari, pertumbuhan maksimal ditunjukan oleh FB2, walaupun menurut uji selang berganda Duncan tidak berbeda nyata. Media formulasi FB1, FB3 dan FB4 telah menunjukan pertumbuhan populasi maksimalnya pada umur 10 hari. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah populasi pergram pada pengamatan selanjutnya. Media formulasi FB2 baru tercapai pertumbuhan maksimalnya pada umur 15 hari. Menurut Hirsch dan Ensign (1976) spora Streptomyces berkecambah secara maksimal pada umur 14 hari, setelah itu perkecambahan spora mulai berkurang. Hal ini terlihat pada umur media formulasi mencapai 20 hari, semua jenis media formulasi mengalami penurunan jumlah populasi. Diduga hal ini terkait dengan nutrisi pada media yang semakin berkurang serta ruang tumbuh yang semakin sempit. Tabel 1 Jumlah populasi S. katrae pada formulasi beras dan limbah baglog jamur Kode formulasi H+5 FB1 9.01ab ± 6.22 FB2 12.30ab ± 4.57 FB3 15.72b ± 13.45 FB4 2.32a ± 0.98 *
Jumlah populasi (x 107 cfu/gram)* H+10 H+15 H+20 59.20a ± 68.71 26.04a ± 26.04 23.76a ± 17.00 84.24a ± 74.51 124.80b ± 68.14 93.76b ± 63.72 45.20a ± 57.92 13.88a ± 9.46 1.08a ± 0.78 8.40a ± 7.40 2.68a ± 3.10 0.44a ± 0.38
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
8
Jumlah Populasi
Berdasarkan grafik jumlah populasi S. katrae per gram pada formulasi beras (Gambar 3), terlihat bahwa formulasi FB2 menunjukan jumlah populasi S. katrae yang paling tinggi dari semua waktu pengamatan kecuali pengamatan 5 hari pertama. Ketika dilakukan uji selang berganda Duncan, menunjukan hasil yang berbeda nyata pada penghitungan populasi umur 15 dan 20 hari. Hal ini menunjukan bahwa penambahan limbah baglog jamur sebanyak 10% pada media beras berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan S. katrae. 140 120 100 80 60 40 20 0
FB1 FB2 FB3 FB4 H+5
H+10 H+1 5 Hari Pengamatan
H+20
Gambar 3 Jumlah populasi S. katrae per gram (x107) pada formulasi beras Sulaeman (2011) menganalisis kandungan unsur hara dari limbah baglog jamur, diantaranya C sebanyak 49%, N sebanyak 0.6%, P sebanyak 0.7%, K sebanyak 0.02%, Ca sebanyak 1.6%, Mg sebanyak 0.34%, Zn sebanyak 182 ppm/100 g, dan Fe sebanyak 1597 ppm/100 g. Kekayaan unsur hara ini diduga yang menyebabkan FB2 lebih disukai sebagai media tumbuh dari pada FB1. Namun, penambahan limbah baglog jamur sebanyak 25 % hingga lebih tinggi cenderung menurunkan daya tumbuh S. katrae. Hal ini terjadi karena pada penambahan limbah baglog jamur lebih dari 25 %, jumlah nutrisi utamanya yaitu beras juga menjadi sedikit (FB3:75% beras + 25% limbah baglog, FB4: 50% beras + 50% limbah baglog). Tabel 2 Jumlah populasi S. katrae pada formulasi jagung dan limbah baglog jamur Jumlah populasi (x 107 cfu/gram) Kode formulasi H+5 H+10 H+15 H+20 FJ1 21.37bc ± 10.25 75.60b ± 51.19 50.00ab ± 52.17 22.20ab ± 15.70 FJ2 26.62c ± 16.78 69.60b ± 35.84 107.60b ± 99.99 45.20b ± 37.45 FJ3 7.94ab ± 7.31 6.80a ± 4.15 4.54a ± 4.12 2.60a ± 2.53 FJ4 1.48a ± 1.05 3 .36a ± 4.28 2.25a ± 4.33 0.31a ± 0.12 *
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
9 Hasil penghitungan populasi pada media formulasi jagung (Tabel 2), menunjukan hasil yang relatif sama dengan media formulasi beras. Puncak tertinggi pertumbuhan populasi S. katrae terjadi pada umur 10 hari untuk FJ1, FJ3 dan FJ4, sedangkan pada FJ2 umur maksimal pertumbuhannya adalah 15 hari (Gambar 4). Namun, ketika diuji dengan uji selang berganda Duncan menunjukan bahwa FJ1 dan FJ2 tidak berbeda nyata.
Jumlah Populasi
120 100 80
FJ1 FJ2 FJ3 FJ4
60 40 20 0 H+5
H+10
H+15
H+20
Hari Pengamatan
Gambar 4 Jumlah populasi S. katrae per gram (x107) pada formulasi jagung Madigan et al. (2012) melaporkan bahwa media selektif dari Streptomyces adalah media yang mengandung bahan mineral polimer seperti pati dan casein. Streptomyces secara khas menghasilkan enzim hidrolitik ekstraseluler yang dapat merombak dan memanfaatkan polisakarida (pati, selulosa, hemiselulosa), protein, lemak, dan beberapa strain dapat menggunakan hidrokarbon, lignin, tanin dan polimer lain yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa beras dan jagung merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan S. katrae karena pati, lemak dan protein yang dikandung keduanya. Pembiakan S. katrae pada media formulasi beras maupun media formulasi jagung harus memperhatikan beberapa hal agar daya tumbuh populasi maksimal. Pertama, ketika memindahkan inokulum awal S. katrae, lebih baik inokulum disemprotkan secara menyebar pada media formulasi atau media formulasi langsung diaduk setelah diinokulasikan bakteri. Tujuannya agar S. katrae dapat tumbuh lebih cepat dalam mengkolonisasi media formulasi. Kedua, maksimal setiap 5 hari sekali, tutup wadah media formulasi harus dibuka untuk melancarkan aerasi oksigen, karena S. katrae berkembang baik pada kondisi aerob atau oksigen terjaga ketersediannya. Formulasi FB2 dan FJ2 dipilih sebagai formulasi terbaik pada pembiakan S. katrae dalam berbagai formulasi ini, karena jumlah populasi S. katrae pada kedua formulasi tersebut paling tinggi dibanding formulasi lainnya.
10 Pengujian Formulasi S. katrae terhadap Daya Tumbuh Benih Padi FB2 dan FJ2 yang telah ditumbui S. katrae, dilakukan pengujian selanjutnya untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan benih padi dengan metode seed coating. Pada pengamatan daya kecambah (Tabel 3) menunjukan perlakuan kontrol lebih tinggi dari perlakuan FB2 dan FJ2. Namun, setelah dilakukan uji selang berganda Duncan hasilnya tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan, formulasi tidak terlalu berpengaruh terhadap daya berkecambah benih padi. Tabel 3 Pengaruh perlakukan seed coating FB2 dan FJ2 pada perkecambahan benih padi Kode formulasi Kontrol FB2 FJ2
Daya Kecambah (%)* 90.48a 82.14a 86.90a
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Perlakuan seed coating pada benih padi mengunakan formulasi FB2 dan FJ2 berpengaruh terhadap tinggi tunas dan panjang akar. Pada pengamatan tunas (Tabel 4) menunjukan bahwa perlakuan seed coating pada benih padi menggunakan FB2 lebih berpengaruh terhadap rata-rata tinggi tunas padi daripada perlakuan FJ2 dan kontrol, terlihat dari lebih tingginya tunas dari benih perlakuan FB2. Setelah dilakukan uji selang berganda Duncan, FB2 menunjukan hasil yang berbeda nyata terhadap kontrol, tetapi tidak menunjukan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan FJ2, sedangkan FJ2 menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap kontrol maupun FB2. Tabel 4 Pengaruh perlakukan seed coating FB2 dan FJ2 pada perkecambahan benih padi Kode formulasi Kontrol FB2 FJ2
Tinggi tunas (cm) * 14.16a 16.49b 15.30ab
Panjang akar (cm) * 8.10a 8.90a 8.20a
*
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Panjang akar tanaman pada semua perlakuan (Tabel 4) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata setelah dilakukan uji selang berganda Duncan, walaupun perlakuan FB2 memiliki rata-rata panjang akar lebih panjang daripada kontrol dan FJ1 (Gambar 5). Aplikasi benih padi yang menggunakan FB2 maupun FJ2, terlihat S. katrae mulai tumbuh dan mengkolonisasi benih padi hingga berkembangbiak di sekitar perakaran (Gambar 6). Aktinomiset berperan melindungi perakaran dari serangan patogen tanah (Sabaratnam & Traquairt 2002).
11 Pengujian formulasi S. katrae terhadap Penekanan Populasi Xanthomonas oryzae pv oryzae pada Kecambah Padi X. oryzae pv. oryzae merupakan bakteri penyebab penyakit Hawar Daun Bakteri atau Kresek (Agrios 2005). Bakteri ini dapat terbawa benih dan bertahan dalam waktu yang cukup lama, karena bakteri berada pada fase dorman ketika berada dalam benih. X. oryzae biasanya terdapat pada bagian bawah glume dan terkadang berada pada endosperma (Singh & Mathur 2004).
Gambar 5 Kolonisasi S. katrae pada perakaran benih padi
Gambar 6 Kecambah benih padi berumur 10 hari setelah perlakuan seed coating dengan FB2, FJ2 dan kontrol Himmah (2011) mengemukakan bahwa dengan metode cross-streak pada media agar, S. katrae dapat menekan pertumbuhan Xoo dengan mekanisme antibiosis. Hal inilah yang mendasari dilakukan pengujian pada benih padi yang terinfeksi secara alami oleh Xoo di alam. Berdasarkan hasil penghitungan (Tabel 5) menunjukan bahwa kedua formulasi dapat menekan jumlah inokulum Xoo, terutama FB2. Mekanisme penghambatan yang mungkin terjadi adalah antibiotik yang dikeluarkan S. katrae diserap oleh perakaran tanaman, sehingga dapat menghambat perkembangan Xoo pada benih padi. Perbedaan jumlah populasi X. oryzae pv oryzae hasil pencawanan terlihat jelas pada Gambar 7.
12 Tabel 5 Jumlah koloni X. oryzae pv. oryzae hasil pembiakan pada media YDCA dari gerusan 20 kecambah padi Jumlah koloni (x 107 cfu/g) 6.68 1.6 4
Kode formulasi Kontrol FB2 FJ2
a
b
c
Gambar 7 koloni X. oryzae pv oryzae berumur satu hari hasil pembiakan pada media YDCA dari gerusan kecambah padi, a) benih padi perlakuan seed coating FB2, b) FJ2 , c) kontrol Secara umum, pengaruh aktinomiset terhadap tanaman diketahui dapat memberikan keuntungan, seperti antibiotik yang dihasilkannya. Meguro et al. (2006), melaporkan bahwa Streptomyces sp. strain MBR-52 dapat mengeluarkan sebuah hormon yang dapat memicu pertumbuhan akar. Mohamed & Benali (2010) juga melaporkan bahwa antibiotik yang dihasilkan Streptomyces dapat melindungi benih dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan aplikasi seed coating. Antibiotik yang berhasil diisolasi dari Streptomyces serta fungsinya di alam cukup banyak, seperti streptomycin yang diisolasi dari S. griseus ternyata mampu menjadi agens antagonis terhadap bakteri Gram negatif, amphotericin B yang diisolasi dari S. nodosus dapat menjadi agens antagonis terhadap cendawan, erythromycin yang diisolasi dari Saccharopolyspora erythraea dapat menjadi agens antagonis terhadap bakteri Gram positif serta jenis antibiotik lainnya (Madigan et al. 2012).