HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi Nitrogen, dan Nilai Biologis Perlakuan
Peubah P1 0,86±0,09 74,03±1,34 B 40,27±3,4 28,39±0,85A
Konsumsi PK (kg/h) Kecernaan PK (%) Retensi Nitrogen (g/h) Nilai Biologis (%)
P2 0,96±0,03 70,88±2,57 B 46,01±5,44 29,93±3,47A
P3 0,77±0,13 54,93±2,86 A 47,34±6,52 35,22±4,17B
Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Konsumsi Protein Kasar Konsumsi protein kasar pada perlakuan P2 (jerami padi + konsentrat + daun murbei) lebih tinggi dibanding dengan ransum P1 (jerami padi + konsentrat) dan P3 (jerami padi + daun murbei), yaitu 0,96 kg/h dibanding 0,86 dan 0,77 kg/h. Konsumsi PK pada perlakuan P3 memiliki nilai terendah, tetapi masih memenuhi standar kebutuhan sapi pedaging jantan kerangka sedang dengan bobot badan 200 250 kg dan pertambahan bobot badan (PBB) harian 0,5 – 1,1 kg yaitu sebanyak 0,554 – 0,782 kg (NRC, 1996). Pertambahan bobot badan yang diperoleh pada ternak percobaan adalah 0,79 – 0,97 kg/e/h (P1=0,91; P2=0,97; P3=0,79 kg/e/h) dan konsumsi protein kasar pada ternak tersebut sebesar 0,77 – 0,96 kg/h. Ransum yang diberikan mengandung PK yang sama (isoprotein) sehingga perbedaan konsumsi PK pada ternak percobaan diduga ada kaitannya dengan konsumsi bahan kering, selain perbedaan sumber protein dan kualitas protein dari masing-masing ransum. Konsumsi bahan kering ransum P2 memiliki nilai tertinggi (7,01 ± 0,20 kg/e/h) dibandingkan ransum P1 (6,27 ± 0,64 kg/e/h) dan P3 (5,64 ± 0,97 kg/e/h). Rendahnya konsumsi bahan kering pada ransum P3 kemungkinan disebabkan oleh sifat berdebu ransum dan bau yang menyengat karena daun murbei diberikan ke ternak dalam bentuk giling tepung, akibatnya palatabilitas menurun sehingga berpengaruh terhadap konsumsi.
32
Konsumsi bahan kering dengan konsumsi protein kasar memiliki korelasi yang sangat nyata (P<0,01) dengan derajat korelasi (r) sebesar 1. Hal tersebut menggambarkan bahwa antara konsumsi bahan kering dan konsumsi protein kasar memiliki korelasi linier yang sempurna. Korelasi tersebut bernilai positif (+), yaitu setiap peningkatan konsumsi bahan kering diikuti dengan peningkatan konsumsi protein kasar. Sedangkan korelasi determinasi (r2 = R) yang diperoleh sebesar 0,999 menunjukkan bahwa 99,9% proporsi keragaman nilai peubah Y (konsumsi PK) dapat dijelaskan oleh nilai peubah X (konsumsi BK) melalui hubungan linier. Sisanya, yaitu 0,1 % dijelaskan oleh hal-hal lain. Korelasi tersebut memiliki persamaan regresi y = 0,138x – 0,008. Hal ini sejalan dengan Syamsu (2003) yang menyatakan bahwa palatabilitas seiring dengan konsumsi BK juga sejalan dengan konsumsi PK.
Gambar 4. Persamaan Regresi Konsumsi PK dengan PBB
Nilai r sebesar 0.781 menunjukkan bahwa konsumsi PK dan PBB berkorelasi linier yang positif. Derajat determinasi yang diperoleh dari kedua peubah sebesar 61%, artinya besarnya sumbangan X terhadap naik turunnya Y adalah 61%, sedangkan 39% disebabkan oleh faktor lain. Persamaan regresi yang diperoleh adalah y=1,096x-0,059 (Gambar 4). Semakin banyak protein yang masuk ke dalam tubuh ternak maka akan menambah bobot badan ternak yang bersangkutan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yulistiani (2008) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi protein kasar maka semakin tinggi pula pertambahan bobot badan yang diperoleh.
33
Kecernaan Protein Kasar Kecernaan protein kasar ransum P3 (jerami padi+daun murbei) sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan dengan ransum P1 (jerami padi+konsentrat) dan P2 (jerami padi+konsentrat+daun murbei), yaitu 54,93% dibanding 74,04% dan 70,88%, walaupun masih dalam kisaran normal menurut Makkar (1993) yaitu sebesar 54,9 – 93,4%. Rendahnya kecernaan PK ransum P3 diduga disebabkan sumber PK sebagian besar berasal dari protein tanaman, yaitu daun murbei yang berada di dalam isi sel sehingga lebih sulit untuk didegradasi karena terhalang oleh dinding sel (Russel, 1992). Hans (1997) menambahkan bahwa adanya dinding sel pada sel tumbuhan digunakan untuk mempertahankan bentuk sel dan melindungi sel dari kerusakan mekanis. Hal ini digambarkan dengan semakin tingginya N feses yang dikeluarkan pada ransum P3 dibanding ransum P1 dan P2, yaitu 1,69±0,13b kg/h dibanding 1,45±0,05a dan 1,63±0,03b kg/h. Nasution (1984), menyatakan bahwa koefisien cerna protein menurun dengan semakin banyaknya N feses yang dikeluarkan. Rendahnya kecernaan PK pada ransum dengan perlakuan P3 diduga pula karena murbei berpotensi sebagai bypass protein sehingga sebagian protein kasar dicerna di pasca rumen.
Gambar 5. Persamaan Regresi Konsumsi PK dengan Kecernaan PK Kecernaan protein kasar berkorelasi positif dengan konsumsi protein kasar, dimana derajat korelasi antara kedua peubah tersebut sebesar 0,611 (P<0,05). Persamaan regresi yang diperoleh dari korelasi antara kecernaan protein dan konsumsi protein adalah y = 47,78x+26,189 (Gambar 5). Pada penelitian yang 34
dilakukan oleh Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan urea-dedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menunjukkan bahwa tingkat konsumsi dipengaruhi oleh tingkat kecernaan suatu bahan pakan. Retensi Nitrogen dan Nilai Biologis N Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein adalah menghitung nilai neraca nitrogen. Semakin tinggi nilai retensi nitrogen, semakin sedikit nitrogen yang terekskresi ke urine, sehingga kualitas protein ransum semakin baik, karena sebagian besar protein ransum yang tercerna dapat terdeposit ke dalam tubuh. Ternak pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata jika dilihat dari retensi nitrogen. Berdasarkan nilai biologis, ransum P3 (jerami padi+daun murbei) sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan ransum P1 (jerami padi+konsentrat) dan P2 (jerami padi+konsentrat+daun murbei), hal ini menunjukkan bahwa daun murbei mengandung protein yang berkualitas baik. Hal ini sesuai dengan Boorman (1980) yang mengatakan bahwa retensi nitrogen akan lebih besar jika ransum tersebut mengandung protein berkualitas baik. Kualitas protein ransum P3 yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh kandungan asam amino yang lengkap pada daun murbei. Hal tersebut didukung oleh Machii et al. (2002), dimana daun murbei memiliki asam amino yang tergolong lengkap. Hasil penelitian terhadap kadar amonia rumen, VFA rumen dan alantoin urin tertera pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Amonia Rumen, Alantoin Urin, dan VFA Total Peubah Amonia Rumen (mM) VFA Total (mM) Alantoin Urin (g/h)
Perlakuan P1 19,22±1,08 75,33±7,54 a 1,73±0,08B
P2 19,66±0,29 108,75±20,32 b 2,23±0,18C
P3 19,37±2,06 89,12±3,12 ab 1,28±0,14 A
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan perbedaan nyata (P<0,05) dengan huruf kecil
35
Kadar Amonia Konsentrasi NH3 rumen merupakan salah satu cara untuk menilai fermentabilitas protein pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikroba rumen, juga merupakan salah satu kunci bagi sintesis protein mikroba rumen. Apabila protein pakan tahan terhadap degradasi maka konsentrasi amonia menjadi rendah dan sintesis mikroba rumen terhambat. Konsentrasi memperlihatkan
amonia
rumen
dari
masing-masing
perlakuan
tidak
adanya perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa semua perlakuan masih dalam kadar yang cukup untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen menurut McDonald et al. (2002) berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM, sedangkan konsentrasi amonia rumen yang dihasilkan dari keseluruhan perlakuan berkisar antara 19.22-19.66 mM. Relatif tingginya kadar amonia rumen yang diperoleh pada penelitian ini lebih diakibatkan oleh ketersediaan protein sebagai sumber amonia yang tinggi dalam semua ransum perlakuan. Ransum yang digunakan pada penelitian ini merupakan isoprotein dengan kandungan protein kasar sebesar 13,7%. Diketahui bahwa untuk sintesis protein mikroba disamping membutuhkan amonia sebagai sumber nitrogen, juga membutuhkan energi, asam amino asal protein pakan yang bermutu sebagai kerangka karbon. VFA Total Rumen Hasil pencernaan fermentatif karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat berupa asam asetat, propionat, dan butirat, serta gas CH4 dan CO2 sebagai hasil samping (Arora, 1989). Secara umum, semakin tinggi konsentrasi VFA mengindikasikan proses fermentasi semakin efektif, meskipun demikian, konsentrasi VFA yang terlampau tinggi dapat berdampak mengganggu keseimbangan sistem rumen. Produksi VFA rumen nyata dipengaruhi oleh ransum perlakuan (P<0,05), dimana ransum jerami padi dan konsentrat (P1) memiliki nilai terendah dibanding ransum kombinasi jerami padi, konsentrat dengan daun murbei (P2) dan ransum jerami padi dan daun murbei (P3), yaitu sebesar 75,33 mM banding 89,12 dan 108,75 mM. Ketiga perlakuan masih berada pada kisaran normal, yaitu antara 70 sampai 130 mM (France & Dijkstra, 2005). Namun ransum P1 memiliki konsentrasi VFA total 36
lebih rendah menurut Sutardi (1980), yaitu sebesar 80-160 mM, hal ini diduga karena penggunaan VFA sebagai kerangka karbon dalam pembentukan protein mikroba dan tidak adanya senyawa DNJ (1-deoxynojirimycin) yang dapat membantu proses fermentabilitas sehingga karbohidrat mudah tercerna. Rendahnya konsentrasi VFA rumen pada perlakuan P1 juga disebabkan ransum tersebut banyak mengandung pati sehingga tidak terbentuk VFA namun terbentuk asam laktat, hal tersebut juga terlihat dari cukup tingginya konsentrasi alantoin urin yang menggambarkan mikro organisme di dalam rumen berkembang dengan baik. Tingginya produksi VFA total ransum P2 kemungkinan disebabkan tersedianya karbohidrat non struktural dalam jumlah yang cukup dan berkesinambungan karena adanya senyawa DNJ yang dapat menghambat hidrolisis karbohidrat non struktural sehingga membantu proses fermentasi dalam rumen dengan menyediakan RAC (Readily Available Carbohydrate) secara berkesinambungan dalam sistem rumen sehingga fermentabilitas pakan berserat tinggi seperti jerami padi menjadi lebih baik. RAC atau karbohidrat non struktural merupakan salah satu cara peningkatan fermentabilitas bahan pakan dalam sistem rumen dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai agen lepas lambat RAC. Pada daun murbei terdapat senyawa aktif yang dapat menjadi agen lepas lambat RAC, yaitu senyawa 1-deoxynojirimycin (DNJ) sebanyak 0,24% yang mampu menghambat hidrolisis karbohidrat non struktural asal konsentrat atau daun murbei dalam sistem rumen (Oku et al., 2006). Sebaliknya rendahnya konsentrasi VFA total pada ternak dengan perlakuan P3 diduga karena kurangnya RAC yang diperoleh dari konsentrat sehingga mikroba rumen banyak menggunakan karbohidrat struktural yang relatif sulit difermentasi. Produksi Alantoin Urin Produksi alantoin urin ransum P2 sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding ransum P1 dan P3, yaitu 2,23 g/h banding 1,73 dan 1,28 g/h, hal tersebut juga diikuti dengan tingginya VFA total pada ransum P2. Puastuti (2005), menyatakan tingginya produksi VFA total menunjukkan aktivitas fermentasi yang meningkat karena produksi purin yang tinggi sebagai indikator sintesis mikroba rumen. Alantoin, asam urat, xanthin dan hipoxanthin merupakan produk degradasi purin yang dapat dideteksi dalam urin. Alantoin dalam urin dapat mengestimasi besarnya kontribusi protein mikroba rumen terhadap induk semangnya (Chen et al., 1992). 37
Produksi alantoin yang diekskresikan melalui urin menunjukkan pola yang sama dengan sintesa protein mikroba. Hal ini sejalan dengan Laconi (1998) dimana terdapat korelasi positif antara protein mikroba yang disintesis dengan ekskresi alantoin di dalam urin. Jika ekskresi alantoin dalam urin tinggi sebagai indikasi bahwa nitrogen banyak yang diserap oleh mikroba rumen dan digunakan untuk sintesis protein mikroba rumen sehingga kecernaan menjadi meningkat. Gambar 6 memperlihatkan adanya korelasi yang sangat nyata (P<0,01) antara alantoin urin dengan kecernaan PK dengan persamaan regresi y=0,0334x – 0,4784 dengan derajat korelasi sebesar 0,713 dan derajat determinasi sebesar 50,84% diantara keragaman total nilai-nilai Y dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan nilai-nilai X.
Gambar 6. Persamaan Regresi Alantoin Urin dengan Kecernaan PK Ransum jerami padi dan konsentrat mendukung perkembangan mikroba rumen yang baik untuk proses fermentasi, dengan indikator ekskresi alantoin urin yang lebih tinggi dibandingkan ransum jerami padi dan tepung daun murbei. VFA total yang diperoleh ransum P3 tidak berbeda nyata dengan ternak yang diberi perlakuan P1 dan P2, namun kadar alantoin urin ransum P3 memiliki nilai terendah yang menggambarkan rendahnya perkembangan bakteri rumen dan akan berdampak pada tingkat degradasi pakan yang menjadi rendah pula. Hal tersebut diduga karena murbei berpotensi sebagai bypass protein sehingga sebagian protein kasar dicerna di pasca rumen yang menyebabkan kecernaan di rumen menjadi rendah dan berakibat terhambatnya perkembangan mikroba rumen Ekskresi alantoin dalam urin pada penelitian ini berkisar antara 1.28 – 2.23 g/h. Nilai tersebut lebih rendah dari Laconi (1998) dan Erwanto (1995), yaitu 2.85 –
38
5.10 g/h, dan 2.41 – 5.81 g/h pada sapi dewasa dengan ransum yang mengandung agen defaunasi dan suplementasi sulfur. Sedangkan penelitian Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan ureadedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menghasilkan konsentrasi alantoin urin masing-masing sebesar 10,2; 8,6 dan 10,4 (g/h). Pada penelitian ini diperoleh hasil yang terbaik untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah ransum kombinasi murbei dan konsentrat, sedangkan berdasarkan penelitian
Yulistiani
(2008)
ransum konsentrat
terbaik
untuk
menunjang
pertumbuhan mikroba rumen. Secara keseluruhan, proses fermentasi pakan dalam rumen sapi yang mendapat ransum perlakuan P2 lebih efektif dibandingkan dengan P1 dan P3, ditandai dengan konsentrasi VFA total dan ekskresi alantoin yang lebih tinggi. Siklus Nitrogen Siklus nitrogen diperlihatkan pada Gambar 7. dimana perlakuan penambahan tepung daun murbei nyata menurunkan persentase N tercerna. Hal tersebut diduga karena sumber protein pada daun murbei berada pada isi sel, sehingga terhalang oleh dinding sel dan menyebabkan sulit tercerna. Ternak dengan perlakuan P1 memiliki persentase N tercerna tertinggi, sedangkan P3 memiliki persentase terendah.
Gambar 7. Persentase N Tercerna dan N Teretensi Sebaliknya, penambahan tepung daun murbei nyata meningkatkan persentase N teretensi. dimana ternak yang diberi perlakuan P3 memiliki nilai tertinggi dan P1 memiliki nilai terendah. Berdasarkan uji Duncan, ternak dengan perlakuan P1 dan P2
39
berbeda nyata dengan perlakuan P3. Hal ini diduga karena daun murbei memiliki kualitas protein yang lebih baik dibanding dengan konsentrat. Jumlah N yang didegradasi dalam rumen dan dikonversi menjadi protein mikroba menentukan efisiensi penggunaan ransum oleh ruminansia. Jika ransum mempunyai efisiensi konversi N yang tinggi, maka protein mikroba lebih banyak diproduksi dan sedikit N yang diekskresikan lewat urin. Hal tersebut sejalan dengan Puastuti (2005) dimana semakin tinggi konversi N maka semakin tinggi pula protein mikroba dan semakin sedikit N yang diekskresikan melalui urin.
40