IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Produksi Minyak Bintaro Kasar (Crude)
Buah bintaro memiliki bentuk bulat dan berwarna hijau (Gambar 17a) dan ketika tua akan berwarna merah (Gambar 17b). Buah bintaro merupakan buah drupa (buah biji) yang terdiri dari tiga lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian terluar buah), mesocarp (lapisan tengah berupa serat seperti sabut kelapa) seperti tampak pada Gambar 17c dan endocarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa) seperti tampak pada Gambar 17d. Biji yang terdapat di dalam endokarp terdiri dari satu sampai dua biji berbentuk ellips atau oval dalam satu buah. Walapun memiliki bentuk indah namun buah Bintaro tidak dapat dikonsumsi, karena mengandung zat yang bersifat racun (cerberin) terhadap manusia (Khanh 2001).
(a)
(b) (b)
(c) (d) Gambar 17. Buah bintaro (a) buah bintaro muda (b) buah bintaro tua (c) mesokarp (d) endocarp Proses produksi minyak bintaro kasar diawali dengan proses pengupasan buah sampai penyaringan seperti dijelaskan pada Gambar 18. Bintaro yang dapat dijadikan minyak harus yang sudah tua yang memiliki warna merah. Bintaro yang sudah jatuh ke tanah dapat juga diolah meskipun kulit luarnya sudah berwarna cokelat. Proses pengupasan dilakukan dengan membelah buah bintaro menjadi dua bagian. Bintaro memiliki kulit yang tebal dan berserat. Maka perlu bantuan golok untuk membelahnya menjadi dua bagian.pada bagian tengah buah terdapat biji bintaro yang masih terlapisi cangkang. Untuk menghilangkan cangkang, cukup dengan bantuan pisau dan dicungkil bijinya keluar. Biji bintaro yang baru dicungkil dan belum dikeringkan akan berwarna putih (Gambar 19).
26
Pengupasan Pengeringan Penggilingan Pengepresan Degumming Gambar 18. Bagan alir proses produksi minyak bintaro
Gambar 19. Biji bintaro Untuk menurunkan kadar air biji dan mempermudah proses pemisahan minyak, biji dikeringkan pada terlebih dahulu. Pengeringan juga memudahkan proses pemecahan biji. Menurut Norris (1982), minyak yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode pemanasan, dan komposisi kimia biji. Menurut Swern (1979), pemanasan dapat memberikan sifat plastis biji, mengurangi kelarutan fosfatida, destruksi kapang dan bakteri, serta dapat meningkatkan fluiditas minyak. Pemanasan yang terlalu lama pada suhu yang tinggi akan menurunkan mutu organoleptik minyak. Suhu oven yang digunakan pada penelitian ini adalah 55 °C. Suhu tersebut didasarkan atas pernyataan oleh Whiteley et al (1949) bahwa suhu yang baik untuk ekstraksi minyak secara mekanis adalah 50 – 60 °C, karena pada suhu tersebut lemak sudah mencair sekaligus dapat menggumpalkan protein yang terdapat pada dinding sel dan memecahkan emulsi protein dengan lemak. Biji bintaro dikeringkan di dalam rumah kaca selama1-2 minggu, tergantung kondisi matahari. Setelah 1-2 minggu di dalam rumah kaca, pengeringan dilanjutkan dengan menggunakan oven pengering (Gambar 20a). Biji bintaro diletakkan pada layer-layer bertingkat pada ruang oven dan dilaliri udara panas. Suhu udara panas yang dikenakan pada biji bintaro 55 0C. Pengeringan menggunakan alat ini selama satu hari, dan biji bintaro akan berwarna putih kehitaman (Gambar 20b). Kadar air akhir biji bintaro setelah pengeringan sebesar 9%.
27
(a) (b) Gambar 20. (a) oven pengering (b) biji bintaro setelah dikeringkan Proses pengempaan minyak dengan menggunakan alat kempa tipe hotpress hidrolik (Gambar 21b). Alat kempa dilengkapi dengan pemanas (hotpress) pada bagian yang bersentuhan dengan biji. Suhu yang digunakan dipertahankan 75 0C selama proses pengepresan. Tujuan pemanasan agar minyak lebih mudah dan cepat keluar, yang secara langsung akan meningkatkan rendemen. Biji bintaro sebelum di press harus dikecilkan ukurannya terlebih dahulu dengan alat pengecil ukuran bijibijian (Gambar 21a). Pengecilan ukuran ini bertujuan untuk memperluas permukaan kontak, sehingga secara tidak langsung minyak mudah keluar saat di kempa. Biji yang sudah dikecilkan ukurannya kemudian dibungkus dengan kain saring berwarna putih. Kain saring akan berfungsi sebagai penyaring kotoran dan ampas kasar saat minyak keluar, sedangkan penggunaan kain warna putih agar minyak tidak bereaksi dengan pewarna kain pada saat pengepresan karena perlakuan panas yang dikenakan pada minyak. Dengan demikian minyak tetap berwarna jernih (Gambar 21c). Hasil samping dari proses pengempaan adalah ampas (bungkil) (Gambar 22) yang masih mengandung sedikit minyak.
(a) (b) (c) Gambar 21. (a) alat pengecil ukuran (b) alat hotpress hidrolik (c) minyak setelah di press
Gambar 22. Bungkil Minyak mentah bintaro perlu di degumming sebelum digunakan lebih lanjut. Degumming minyak merupakan proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat,
28
residu, air, dan resin, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak (Hambali dkk 2007). Pemurnian ini dilakukan dengan pemberian asam fosfat dengan konsentrasi 20% kedalam minyak bintaro dan ditambahkan air panas. Perbandingan minyak, asam fosfat, dan air secara berurutan adalah 1 liter minyak : 0.3 ml asam fosfat : 1.5 liter air panas. Setelah dicampur dalam satu wadah (Gambar 23a), kemudian dilakukan pengadukan secara konstan. Kemudian didiamkan selama 4-5 jam, maka kotoran (gum) akan mengendap kebagian bawah dan minyak di bagian atas, sedangkan air dibagian tengah. Setelah kotoran (gum) dikeluarkan, minyak dicuci kembali dengan air panas sampai endapan kotoran (gum) habis sehingga didapat minyak yang bersih (Gambar 23b). Hasil rendemen dari degumming minyak bintaro dapat dilihat pada Tabel 9.
(a) (b) Gambar 23. (a) proses degumming (b) minyak hasil degumming Tabel 9. Hasil rendemen dari proses degumming
Asal biji
Bintaro 4.2
Massa bahan yg dipress (kg) 12
Massa ampas
Volume minyak
Massa minyak
Rendemen ekstraksi
(kg) 6,1
(liter) 5,8
(kg) 5,14
(%) 42,8
Degumming liter 5
% 0,862
Rendemen biokerosene (%) 36,89
Sifat Termofisik Minyak Bintaro 4.2.1 Densitas
Densitas adalah massa bahan tiap satuan volume. Densitas minyak tanah pada suhu kamar adalah 0,780 gr/ml dan densitas minyak bintaro pada suhu kamar adalah 0,886 g/ml. Dengan bertambah tingginya suhu, densitas minyak tanah mengalami penurunan. Pada Gambar 24 diperlihatkan penurunan masing-masing bahan. Kenaikkan suhu mengakibatkan bergesernya jarak molekul dalam minyak tanah menjadi lebih besar, sehingga akibat bertambahnya jarak antara molekul, jumlah molekul yang mengisi satu satuan volume menjadi lebih kecil sedangkan volumenya menjadi lebih besar.
29
Gambar 24. Pengaruh suhu terhadap densitas (a) minyak tanah, (b) minyak bintaro Besarnya penurunan densitas minyak tanah mengikuti persamaan ρ = -0.03ln(T) + 0.887 dengan besarnya koefisien determinan 0.964. Sedangkan besarnya penurunan densitas minyak bintaro mengikuti persamaan ρ = -0.02ln(T) + 0.982 dengan besarnya koefisien determinan 0.953. Menurut Reid dalam Bird et al (1987) dengan adanya kenaikkan suhu, jarak molekul dalam minyak tanah menjadi lebih besar, sehingga akibat bertambahnya jarak antara molekul, jumlah molekul yang mengisi satu satuan volume menjadi lebih kecil. 4.2.2 Viskositas Dari hasil pengujian dengan menggunakan viskometer Brookfield, viskositas minyak minyak tanah dan minyak bintaro menjadi semakin kecil dengan bertambahnya suhu. Pada suhu kamar viskositas minyak bintaro adalah 43 cP. Pada Gambar 25 ditampilkan penurunan viskositas kedua minyak tersebut.
Gambar 25. Pengaruh suhu terhadap viskositas (a) minyak tanah, (b) minyak bintaro Kenaikkan suhu akan mengakibatkan turunnya ikatan antar molekul, yang secara langsung berpengaruh terhadap tegangan geser dari fluida tersebut. Dapat dilihat bahwa dengan naiknya nilai T atau bertambah besarnya suhu, angka viskositas menjadi lebih kecil. Pada minyak tanah viskositasnya
30
hanya turun 0.5 cP sampai suhu 70, berbeda dengan minyak bintaro yang turunnya lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pada minyak tanah ikatan antar molekulnya sudah mencapai batas maksimum, sehingga meskipun diberikan perlakuan panas tetap tidak mempengaruhi ikatan antar molekul. Berbeda dengan minyak bintaro, karena hanya dilakukan proses degumming satu kali dan tanpa ada proses netralisasi. Penurunan viskositas minyak tanah mengikuti persamaan μ = -0.015T+ 3.55 dengan besarnya koefisien determinan 0.75. Sedangkan penurunan viskositas minyak bintaro mengikuti persamaan μ = -0.71T + 61.2 dengan besarnya koefisien determinan 0.943. Dengan adanya kenaikkan suhu, besarnya tegangan geser dan koefisien gesek dari minyak terhadap dinding menjadi lebih kecil dengan demikian minyak lebih mudah naik melalui sumbu. 4.2.3 Kapilaritas Kapilarisasi adalah gejala naiknya suatu fluida yang disebabkan oleh gaya kohesi atau gaya tarik menarik antara partikel yang sejenis, misalnya partikel minyak dengan partikel minyak, dan gaya adesi atau gaya tarik menarik antara partikel yang berbeda jenis misalnya partikel minyak dengan partikel lain (Fayala et al 2004).
(a)
(b) Gambar 26. Pengaruh suhu terhadap daya kapilaritas (a) minyak tanah dan (b) minyak bintaro Angka viskositas minyak mampu mempengaruhi sifat kapilaritas minyak. Semakin besar viskositas minyak maka akan semakin lambat minyak bergerak sepanjang sumbu. Pada Gambar 26 diatas diperlihatkan pengaruh suhu terhadap waktu yang diperlukan minyak sepanjang sumbu pada setiap kenaikkan jarak setengah centimeter. Dari grafik terlihat bahwa dengan kenaikan suhu kurva
31
kapilaritas semakin landai mendekati sumbu x. Ini menunjukan dengan kenaikan suhu mampu mempercepat kenaikan minyak pada sumbu. Selain berpengaruh terhadap angka viskositas, kenaikan suhu mengakibatkan angka densitas menjadi semakin kecil. Dengan bertambah kecilnya densitas, ikatan antar molekul akan semakin renggang menyebabkan ikatan pertikel tersebut mudah begerak bebas. Sehingga menyebabkan perubahan ketinggian yang dapat dicapai terhadap waktu menjadi menjadi lebih kecil atau dengan kata lain kecepatan naiknya minyak sepanjang sumbu menjadi lebih cepat, hal ini sesuai dengan persamaan kapilarisasi h=2γcosθ / ρrɡ 4.2.4 Nilai Kalor Nilai kalor didefinisikan sebagai suatu angka yang menyatakan jumlah panas atau kalori yang dihasilkan dari proses pembakaran satu satuan massa bahan bakar dengan udara atau oksigen. Nilai kalor didapatkan dari konversi nilai densitas, sehingga nilai kalor dipengaruhi oleh densitas. Semakin besar densitas minyak maka nilai kalornya akan semakin rendah (Susilo 2007). Untuk mengukur nilai kalor digunakan alat bomb calorimeter (Gambar 27). Berdasarkan data dan hasil perhitungan, nilai kalor minyak bintaro yaitu 32699.57 kJ/kg, sedangkan minyak tanah memiliki nilai kalor yang lebih tinggi dibandingkan minyak bintaro, yaitu 43530 kJ/kg (World bank energy departemen 1985). Hubungan nilai kalor dengan jenis minyak disajikan pada Gambar 28.
Gambar 27. Bomb calorimeter
Gambar 28. Perbandingan nilai kalor
32
4.3
Uji Kompor Bahan Bakar Minyak Tanah dan Bahan Bakar Minyak Bintaro 4.3.1 Pengukuran Temperatur Api
Pengukuran temperatur api ini dimaksudkan untuk mengetahui bukaan katup yang menghasilkan api berwarna biru dengan temperatur api berwarna biru tertinggi yang mampu dihasilkan oleh kompor. Berdasarkan hal tersebut, maka mencari bukaan katup yang menghasilkan api berwarna biru dengan temperatur tertinggi dapat diketahui dengan mencari bukaan katup yang mampu menghasilkan temperatur api berwarna biru tertinggi, yang selanjutnya akan digunakan sebagai referensi dalam pengujian selanjutnya, yaitu pengujian daya dan efisiensi kompor. 4.3.2 Pengukuran Temperatur Api pada Kompor dengan Bahan Bakar Minyak Tanah Pada pengujian temperatur api dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah, pendekatan profil api biru mampu dihasilkan pada bukaan katup 45 0 sampai 700 (data terlampir). Diluar bukaan tersebut, tidak lagi menghasilkan pendekatan api berwarna biru, namun banyak terdapat beberapa warna merah, sehingga pengambilan data tidak dilakukan. Temperatur optimum dari api berwarna biru yang dihasilkan kompor bahan bakar minyak tanah ditunjukkan pada tabel di bawah. Tabel 10. Data temperatur pada kompor bahan bakar minyak tanah Bukaan katup
700
Tinggi pengukuran (mm)
Temperatur termokopel (0C)
Rata-rata
1
2
20
740
606
40
758
147
673 452
60
749
109
429
80
313
109
211
100
297
83
190
120
792
83
438
140
316
117
216
160
416
150
283
180
691
145
418
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa temperatur rata-rata api tertinggi dicapai pada tinggi pengukuran temperatur 20 mm, sebesar 673 0C, dengan bentuk kontur api berwarna biru yang ditampilkan pada Gambar 29.
33
Gambar 29. Profil api biru kompor bahan bakar minyak tanah 4.3.3 Pengukuran Temperatur Api pada Kompor dengan Bahan Bakar Bintaro Pengujian temperatur api pada kompor dengan menggunakan bahan bakar minyak bintaro ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11. Data temperatur pada kompor bahan bakar bintaro Temperatur Tinggi termokopel Bukaan pengukuran Rata-rata (0C) katup (mm) 1 2
3600
20
185
179
40
197
59
182 128
60
209
47
128
80
119
45
82
100
101
38
69
120
252
36
144
140
97
42
70
160
124
45
84
180
172
45
109
Pengujian temperatur api pada kompor bahan bakar minyak bintaro dilakukan pada bukaan katup 3600 dan 4700 (data terlampir). Diluar bukaan katup tersebut, cukup sulit untuk mendapatkan nyala api yang stabil waktu yang cukup lama, sehingga tidak dilakukan pengambilan data. Pada bukaan dibawah 3600 nyala api tidak bertahan lama dan api padam. Begitu juga bukaan di atas 4700, karena bukaan yang terlalu besar mengakibatkan minyak yang keluar cukup banyak dan menggenangi ruang bakar, hal ini menyebabkan api padam. Pengujian temperatur api dengan bahan bakar minyak bintaro cenderung sulit, karena api yang dihasilkan tidak mencapai permukaan bagian atas dari sarangan kompor. Api yang dihasilkan dari pembakaran belum bisa melebihi tinggi sarangan dan hanya temperatur radiasi api yang mampu sampai keatas. Berdasarkan Tabel 11, terlihat bahwa temperatur tertinggi didapatkan pada bukaan katup 3600 dengan tinggi pengukuran temperatur 20 mm sebesar 182 0C, dengan bentuk kontur api yang ditampilkan pada Gambar 30.
34
Gambar 30. Profil api kompor bahan bakar minyak bintaro Perbandingan temperatur yang dihasilkan antara kompor bahan bakar minyak tanah dengan kompor bahan bakar minyak bintaro ditampilkan pada Gambar 31.
Gambar 31. Hubungan tinggi pengukuran dan temperatur api Dari Gambar 31 diatas tampak bahwa kompor bahan bakar minyak bintaro mempunyai ratarata temperatur api yang lebih rendah dibandingkan dengan kompor bahan bakar minyak tanah, walaupun dengan bukaan katup yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada kompor bahan bakar bintaro kandungan minyak bintaro mempunyai nilai kalor yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah, sehingga energi panas yang dibebaskan juga lebih rendah, oleh karena itu rata-rata temperaturnya juga lebih rendah dari minyak tanah. 4.3.4 Penentuan Daya Kompor Pengukuran daya kompor dilakukan berdasarkan pada bukaan katup yang mampu menghasilkan api biru dengan temperatur tertinggi, seperti yang telah diketahui dari pengukuran temperatur api. 1.
Pengujian Daya Kompor Bahan Bakar Minyak Tanah
Pengujian daya pada kompor ini dilakukan pada bukaan katup bahan bakar sebesar 70 0. Dari pengujian didapatkan data konsumsi minyak terpakai, selanjutnya diperoleh besarnya daya kompor standar, ditunjukkan pada Tabel 12.
35
Tabel 12. Konsumsi bahan bakar dan daya kompor bahan bakar minyak tanah Temperatur Minyak (0C) Awal
Akhir
Berat Minyak Terpakai (g)
Daya (Kilo Watt)
30
28.1
39.3
58
1.403
2
30
28.2
41.7
50
1.209
3
30
28.3
36.8
50
1.209
4
30
28.6
42
60
1.451
54.5
1.318
Percobaan
Waktu (menit)
1
Rata-rata
Besarnya daya kompor pada tabel diatas dihitung berdasarkan persamaan 2. Sebagai contoh perhitungan, digunakan data percobaan ke-1 dari Tabel 12 diatas. Data tersebut adalah:
Sehingga daya kompor:
1.403 Kilo Watt Daya rata-rata pada Tabel 12 merupakan rata-rata dari setiap pengukuran. 2.
Pengukuran Daya Kompor Bahan Bakar Bintaro
Data pengujian daya pada kompor ini dilakukan pada bukaan katup 360 0 dengan mengunakan bahan bakar minyak bintaro ditampilkan pada Tabel 13. Dari pengujian didapatkan data konsumsi minyak terpakai, yang selanjutnya diperoleh besarnya daya kompor bahan bakar bintaro. Tabel 13. Konsumsi bahan bakar dan daya kompor bahan bakar minyak bintaro Temperatur Minyak (0C) Awal Akhir
Berat Minyak Terpakai (g)
Daya (Kilo Watt)
30
30
0.545
28.2
31
28
0.509
28.3
30
30
0.545
28.6
30
31
0.564
29.75
0.541
Percobaan
Waktu (menit)
1
30
28.1
2
30
3
30
4
30 Rata-rata
36
Gambar 32. Perbandingan daya kompor Hasil rata-rata total perhitungan daya antara kompor bahan bakar minyak tanah dan kompor bahan bakar minyak bintaro ditampilkan dalam Gambar 32. Terlihat bahwa kompor bahan bakar minyak bintaro mempunyai daya yang lebih rendah dibandingkan dengan kompor bahan bakar minyak tanah, walaupun dengan bukaan katup yang lebih besar. Berat jenis dapat mempengaruhi titik didih bahan bakar. Semakin berat molekul zat tersebut, cenderung menjadi tinggi titik didih zat tersebut. Dengan kata lain, semakin tinggi berat jenis suatu zat, maka semakin tinggi titik didih zat tersebut, maka bahan bakar semakin sulit menjadi uap. Dengan demikian bahan bakar semakin sulit bereaksi dengan oksigen, untuk itu diperlukan suhu lingkungan yang tinggi agar dapat terjadi campuran gas dengan oksigen. Campuran gas ini biasa disebut mixture (Inovatif 2008). Sedangkan nilai viskositas yang lebih tinggi menyebabkan minyak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengalir ke ujung sumbu, sehingga akan memerlukan temperatur lebih tinggi untuk lebih cepat mengalir. 4.4
Pengaruh Ketinggian Sarangan Kompor (flame holder) Temperatur Api
Terhadap
Dalam upaya mendapatkan kompor berbahan bakar nabati, dimana bahan bakar ini merupakan bahan bakar terbarukan, maka perlu desain kompor baru yang dapat memakai bahan bakar nabati tersebut. Kekurangan utama pada bahan bakar nabati adalah nilai kalor yang rendah dan viskositasya yang tinggi, bisa mencapai 15 kali viskositas minyak tanah. Upaya pertama adalah melakukan modifikasi kompor untuk disesuaikan dengan karakteristik minyak nabati tersebut. Angka viskositas yang tinggi menyebabkan daya kapilaritas semakin kecil. Sedangkan nilai kalor yang rendah pada minyak nabati menyebabkan temperatur api kecil setelah mencapai permukaan atas saragan kompor. Hal ini akan mempengaruhi panas yang dihasilkan dan lama waktu yang digunakan untuk memasak. Modifikasi yang dilakukan adalah memodifikasi tinggi sarangan kompor minyak tanah, merupakan modifikasi dari desain yang telah ada untuk memperoleh kinerja kompor yang lebih baik. Perpindahan panas yang terjadi pada kompor meliputi perpindahan panas konduksi, konveksi, dan radiasi. Pada keadaan mantap, kehilangan panas dari hasil pembakaran terjadi melalui permukaan dinding dan melalui saluran udara dan gas hasil pembakaran. Untuk mengetahui tinggi sarangan yang sesuai dengan bahan bakar minyak bintaro, maka analisis hanya dilakukan pada sarangan kompor atau permukaan dinding sarangan, sehingga dapat diketahui sebaran temperatur pada sarangan kompor (flame holder).
37
Untuk mengetahui temperatur api tertinggi yang mampu dihasilkan pada ketinggian sarangan kompor 5 cm, 6 cm, 7 cm, dan 8 cm dilakukan dengan pendekatan laju kehilangan panas pada masingmasing ketinggian.
Gambar 33. Hubungan ketinggian dengan laju kehilangan panas Ketinggian sarangan standar dari kompor adalah 11 cm. Dari grafik di atas laju kehilangan panas tertinggi yaitu pada kompor minyak tanah, hal ini karena nilai kalor dari minyak tanah lebih tinggi, maka panas yang hilang ke lingkungan lebih besar. Semakin rendah sarangan kompor dan mendekati sumber api, laju kehilangan panas semakin kecil. Pada Gambar 33 diatas ditunjukkan dengan penurunan kurva laju kehilangan panas pada bahan bakar minyak bintaro disetiap ketinggian. Pada ketinggian 5 cm laju kehilangan panasnya sebesar 76.6 W dan pada ketinggian 11 cm laju kehilangan panasnya 142.8 W. Ketinggian sarangan kompor juga berpengaruh terhadap nilai koefisien pindah panas konveksi. Pada saat kecepatan udara yang sama dengan jarak yang berbeda menyebabkan nilai koefisien konveksi yang semakin menurun. Semakin besar jarak, maka akan mengakibatkan nilai koefisien konveksi yang menurun (Nurdianto, 2004). Dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 34.
Gambar 34. Hubungan koefisien konveksi dengan ketinggian sarangan Nilai koefisien konveksi pada kompor bahan bakar minyak bintaro paling tinggi yaitu pada ketinggian 5 cm sebesar 12.12 W/m2 0C dan paling rendah pada ketinggian 11 cm sebesar 10.01 W/m2 0 C. Hubungan antara nilai koefisien konveksi dengan temperatur yang dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 35.
38
Gambar 35. Hubungan nilai koefisien konveksi dengan temperatur Gambar 35 di atas menunjukkan bahwa dengan semakin kecil nilai koefisien konveksinya, temperatur yang dihasilkan belum tentu semakin tinggi. Pada nilai h 10.01 W/m2 0C temperatur yang dihasilkan 454.77 0C, nilai h 10.81 W/m2 0C temperatur yang dihasilkan menurun menjadi 450.50 0C. kemudian temperatur meningkat pada nilai h 11.17 W/m2 0C menjadi 451.95 0C, nilai h 11.60 W/m2 0 C temperaturnya 476.75 0C, dan nilai h 12.12 W/m2 0C temperaturnya turun menjadi 443.97 0C. Pada minyak tanah dengan nilai h 10.45 W/m2 0C temperatur yang dihasilan 730.77 0C, Karena minyak tanah memiliki nilai kalor yang tinggi, sehingga pada nilai h 10.45 W/m2 0C temperatur yang dihasilkan juga tinggi, meskipun nilai koefisien konveksinya lebih rendah dari minyak bintaro. Untuk melihat pengaruh ketinggian sarangan dengan temperatur api, yang disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36. Hubungan ketinggian sarangan dengan temperatur api Pada ketinggian paling rendah yaitu 5 cm temperaturnya adalah 443.97 0C dan pada ketinggian sarangan standar atau ketinggian 11 cm temperaturnya adalah 454.77 0C. Dari perhitungan diatas didapatkan hubungan antara nilai koefisien konveksi, ketinggian sarangan kompor, dan temperatur yang dihasilkan. Pada ketinggian sarangan kompor 6 cm yang memberikan kondisi paling baik, dengan nilai koefisien konveksi, ketinggian sarangan kompor, dan temperatur berturut-turut adalah 11.60 W/m2 0C, 6 cm, dan 476.75 0C. 4.5
Uji pada Sarangan Kompor (Flame Holder) Termodifikasi
Dalam suatu proses pembakaran, beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain bahan bakar, udara (oksigen), nilai kalor, dan reaksi kimia. Selain itu, perbandingan campuran bahan bakar dan udara memegang peranan yang penting pula dalam menentukan hasil proses pembakaran itu sendiri yang secara langsung mempengaruhi reaksi pembakaran yang terjadi serta hasil keluaran (produk) proses pembakaran (Firmansyah 2008).
39
Suatu nyala api adalah penyebaran sendiri secara terus menerus yang dibatasi oleh daerah pembakaran dengan kecepatan subtonic (dibawah kecepatan suara), atau dengan kata lain nyala api merupakan gelombang panas yang terjadi akibat reaksi kimia eksotermis yang cepat. Bentuk nyala api sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh profil kecepatan perambatan nyala api (flame propagation) dan pengaruh hilangnya panas ke dinding tabung (flame quenching). Campuran bahan bakar dan oksidator dapat mendukung terjadinya nyala api dalam daerah konsentrasi tertentu. Batas daerah tersebut disebut batas bawah dan batas mampu nyala (flammability). Sebagai contoh, campuran gas alam dan udara tidak akan menyebabkan nyala api jika proporsi dari gas kurang dari 4% atau lebih dari 15%. Pada konsentrasi rendah, meskipun mungkin terjadi penyalaan lokal, energi yang disediakan tidak cukup untuk memanaskan lapisan gas didekatnya ketemperatur nyala. Seiring dengan naiknya tekanan parsial dari bahan gas, energi juga ikut naik ke titik yang akan menyalakan bahan bakar gas di dekatnya dan menyebarkan nyala api (Firmansyah 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik nyala adalah temperatur, tekanan, rasio campuran, dan struktur hidrokarbon. Pengaruh komposisi campuran sangat penting terhadap kecepatan pembakaran, nyala hanya akan merambat pada konsentrasi campuran tertentu. Konsentrasi bahan bakar minimum dalam campuran yang sudah menyala dinamakan batas nyala terbawah, dan biasanya konsentrasi bahan bakar dan udara dikondisikan pada keadaan standar yaitu campuran stoikiometeri. Dengan penambahan konsentrasi bahan bakar pada campuran, maka campuran akan kaya dan oksigen berkurang, kecepatan pembakaran turun dan api akan padam, hal ini juga berkaitan dengan batas nyala yang dinamakan batas nyala atas (Firmansyah 2008). Modifikasi dilakukan terhadap desain kompor yang ada dipasar, berdasarkan pada tinggi api yang dihasilkan oleh minyak bintaro yang tidak mampu mencapai permukaan sarangan kompor dengan ketinggian 11 cm. Rendahnya temperatur yang dihasilkan kompor bahan bakar minyak bintaro pada ketinggian tersebut, tidak memungkinkan untuk digunakan pada proses memasak. Selain itu ketinggian api yang dihasilkan minyak bintaro pada proses uji nyala pada sumbu lebih rendah dibandingkan dengan minyak tanah (Gambar 37).
(a) (b) Gambar 37. Perbandingan nyala api (a) minyak bintaro (b) minyak tanah Dari Gambar 37 di atas tampak bahwa nyala api dengan bahan bakar minyak tanah lebih merata pada sumbu dibandingkan nyala api dengan bahan bakar minyak bintaro. Adanya perbedaan itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya reaksi pembakaran, sifat termofisik minyak itu sendiri, dan jenis senyawa penyusun minyak tersebut yang berbeda. Minyak bintaro memiliki angka densitas, viskositas, dan kapilaritas yang tinggi dibandingkan minyak tanah. Reaksi pembakaran terjadi pada fase uap, dimana jika angka densitas tinggi, maka sulit terjadi fase penguapan dan dibutuhkan temperatur yang lebih tinggi. Kesulitan terjadinya fase uap menyebabkan proses pencampuran dengan oksigen tidak terjadi keseimbangan.
40
Jika nyala api tersebut ditutup dengan sarangan kompor (flame holder), pada nyala api bahan bakar minyak tanah akan terbentuk nyala api yang ideal berwarna biru dan tidak berjelaga. Karena jumlah O2 (udara) yang bercampur dengan bahan bakar dibatasi, sehingga campuran bahan bakar dan oksigen tercampur dengan rasio campuran yang baik. Pada nyala api minyak bintaro pemasangan sarangan kompor (flame holder) standar akan menyulitkan api untuk tetap menyala stabil. Udara yang masuk ke ruang bakar semakin sedikit, lama-kelamaan nyala api akan padam. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah O2 (udara) yang masuk ke dalam ruang bakar tidak seimbang dengan bahan bakar. Untuk memperbaiki nyala api minyak bintaro pada sarangan kompor dapat dilakukan dengan cara memotong sarangan kompor. Tujuan dari memotong sarangan kompor ini adalah mendekatkan sumber api dengan alat memasak. Pemotongan sarangan dilakukan mengacu pada hasil pengujian nyala api dan dilakukan pengujian temperatur api. Pengukuran temperatur api dilakukan pada bukaan katub 2700, dimana bukaan katub ini lebih kecil dari bukaan katub yang digunakan pada pengujian temperatur api minyak bintaro dengan sarangan kompor standar. Hasil perhitungan dan pengujian temperatur api pada setiap pemotongan sarangan kompor disajikan pada Gambar 38 sebagai berikut:
Gambar 38. Grafik temperatur api pada setiap pemotongan Pemotongan sarangan dilakukan untuk tiap 1 cm. Gambar perbandingan sarangan sebelum dengan sesudah pemotongan terlihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 7. Pada Gambar 38, kurva temperatur api tertinggi dihasilkan pada sarangan dengan ketinggian 6 cm. Pada ketinggian 6 cm, merupakan ketinggian yang memberikan hasil terbaik untuk jenis bahan bakar minyak bintaro. Pada ketinggian tersebut dapat dikatakan pencampuran antara bahan bakar dan oksigen terjadi kesetimbangan. Pengujian temperatur dari ketinggian 8 cm sampai ketinggian 6 cm memperlihatkan kurva semakin keatas, namun pada sarangan dengan tinggi 5 cm, temperatur api kembali turun dibandingkan tinggi sarangan 6 cm. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan temperatur ini adalah pencampuran yang tidak seimbang antara bahan bakar dan udara. Untuk melihat gradien temperatur api diatas sarangan kompor, dilakukan dengan menguji temperatur setiap 2 cm dari permukaan atas dari sarangan kompor. Hal ini untuk mengetahui perbedaan temperatur yang dihasilkan sebelum dan sesudah modifikasi saragan kompor. Hasil pengujian ditampilkan pada Gambar 39.
41
Gambar 39. Perbandingan temperatur api sebelum dan sesudah modifikasi Dari grafik terlihat bahwa dengan pemotongan sarangan menjadi lebih rendah dari standarnya mampu menaikkan temperatur api minyak bintaro. Dengan meningkatnya temperatur api, maka meningkat pula daya yang dihasilkan pada kompor. Daya berkaitan dengan jumlah konsumsi bahan bakar yang digunakan, dikarenakan nyala api yang terbentuk cukup baik sehingga bahan bakar yang dikonsumsi bertambah.
Gambar 40. Perbandingan daya sebelum dan sesudah modifikasi Gambar 40 diatas memperlihatkan peningkatan daya kompor minyak bintaro yang cukup besar dibandingkan sebelum modifikasi. Meskipun bukaan katup yang digunakan pada kompor bahan bakar minyak bintaro lebih tinggi, namun konsumsi dan daya yang dihasilkan tidak mampu melebihi daya yang dihasilkan kompor bahan bakar minyak tanah. 4.6
Uji Coba Pemanasan Air
Sebelum melakukan pemanasan air, pertama-tama memilih ukuran panci yang digunakan. Ukuran panci berkaitan dengan daya kompor yang dihasilkan. Dari daya nilai kompor, dapat diketahui ukuran panci/bejana yang tepat untuk digunakan dalam pengujian pemanasan air. Umumnya semakin besar daya yang dihasilkan pada suatu kompor, maka diameter panci/bejana yang digunakan juga semakin besar. Tabel 14 memperlihatkan hubungan daya terhadap diameter panci.
42
Tabel 14. Diameter bejana panci untuk tingkat daya tertentu Tingkat daya maksimum
Diameter panci (cm)
0.981 – 1.325 1.325 – 1.741 1.741 – 2.235 2.235 – 2.816 2.816 – 3.489 3.489 – 4.262
20 22 24 26 28 30
Volume air (± 2/3 volume panci) (liter) 2.20 2.70 3.50 5.70 7.30 9.30
Pada pengujian daya, rata-rata daya yang dihasilkan kompor bahan bakar minyak tanah 1.318 Kw dan kompor bahan bakar minyak bintaro 0.515 Kw. Untuk daya kompor bahan bakar minyak bintaro, mempunyai nilai lebih rendah dari tingkat daya maksimum sesuai Tabel 14, sehingga untuk uji pemanasan air, selanjutnya digunakan panci dengan diameter 20 cm dengan volume air sebesar 2.2 liter atau 2/3 dari volume total panci. Ukuran diameter panci dan volume air yang telah diketahui diatas digunakan sebagai acuan dalam setiap pengujian pemanasan air. 4.6.1 Hubungan Kenaikan Temperatur Air dengan waktu pemanasan Uji pemanasan air pada kompor sumbu termodifikasi ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan jumlah bahan bakar terpakai yang dibutuhan untuk memanaskan air sampai mendidih. Uji coba untuk memanaskan air dilakukan pada semua jenis bahan bakar kompor dan pada ketinggian sarangan kompor sebelum dan sesudah modifikasi. Volume air yang digunakan adalah 2.2 liter dan panci yang digunakan berdiameter 20 cm. Hubungan kenaikan temperatur air dengan waktu pemanasan untuk masing-masing jenis bahan bakar ditunjukkan pada Gambar 42.
Gambar 41. Hubungan kenaikan temperatur air dengan waktu pemanasan Waktu yang digunakan kompor bahan bakar minyak tanah untuk memanaskan air sampai temperatur 100 0C lebih cepat yaitu pada menit ke-26. Sedangkan pada kompor bahan bakar minyak bintaro dengan ketinggian sarangan kompor standar sampai menit yang sama dengan minyak tanah tetapi temperatur air yang mampu dicapai hanya 43 0C. Pada kompor bahan bakar minyak bintaro dengan modifikasi sarangan kompor, pada menit ke-26 temperatur air mampu mencapai 80 0C, jika dilanjutkan pemanasannya temperatur air mampu mencapai 100 0C pada menit ke 45.
43