IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat laju alir udara yang berbeda (0 liter/menit, 10 liter/menit, 30 liter/menit dan 70 liter/menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi yang berasal dari kran atas menunjukkan kualitas lebih baik dibanding sebelumnya. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan polutan dari lindi terjadi pada perlakuan
pemberian
udara pada
laju aerasi
70 liter/menit. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 2 - Tabel Lampiran 4. 4.1.1
Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD5, COD, E. coli, NH3 dan Sulfida Pengolahan aerasi merupakan cara tradisional dalam pengolahan lindi. Cara ini
efektif dalam menghilangkan pencemar organik terlarut yang terdapat dalam lindi (Abbas et al., 2009). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 yang ada dalam lindi mengalami penurunan. Besar penurunan tiap jam dari masing-masing laju aerasi sebagaimana disajikan pada Gambar 13 dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5 dari keempat laju aerasi disajikan pada Gambar 14.
Gambar 13. Fluktuasi nilai BOD5 pada 4 taraf laju aerasi 56
Gambar 13 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan laju aerasi tertinggi (70 liter/menit) menyebabkan BOD5 mengalami penurunan yang drastis dan mencapai nilai terendah (73,12 ppm) dalam waktu yang paling singkat yakni pada jam ke 2. Pada laju aerasi 30 liter/menit, BOD5 minimum (81,36 ppm) dicapai pada jam ke 5, sedangkan pada perlakuan dengan laju aerasi 10 liter/menit dan 0 liter/menit, nilainilai BOD5 pada jam ke 2 dan jam ke 5 masih jauh lebih tinggi dibanding nilai BOD5 pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai BOD5 terdapat pada perlakuan pemberian udara dengan laju aerasi 70 liter/menit (Gambar 14). Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa laju aerasi berpengaruh terhadap laju penurunan nilai BOD5. Metcalf dan Eddy (2003) mengemukakan bahwa penghilangan BOD5 terjadi sebagai akibat degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi zatzat lain yang lebih sederhana. Disamping itu, menurut Park et al. (2004), penurunan BOD5 juga dapat disebabkan bahan organik terlarut dapat teroksidasi langsung akibat keberadaan oksigen.
Gambar 14. Efektivitas penurunan BOD5 (%) dari masing-masing laju aerasi
57
Perhitungan terhadap laju penguraian BOD5 pada empat taraf laju aerasi dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)) dengan hasil disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Laju penguraian BOD5 (k) tiap jam pada 4 tingkat laju aerasi Gambar 15 memperlihatkan bahwa perlakuan pengolahan
lindi dengan
memberikan udara pada laju 70 liter/menit selalu mempunyai laju penguraian BOD5 tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian udara dengan laju 30 liter/menit dan 10 liter/menit. Laju penguraian BOD5 pada perlakuan tanpa aerasi memiliki nilai terendah. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shofuan (1996) yang melakukan penelitian dengan mengolah limbah cair dari rumah sakit di Jakarta dengan menerapkan beberapa tekanan aerasi yang berbeda mendapatkan bahwa tekanan aerasi berpengaruh terhadap penurunan nilai BOD5.
Berdasarkan hasil penelitiannya, laju penurunan BOD5 (k)
tertinggi terjadi pada tekanan aerasi 2 atm yang dilakukan selama 5 jam, yakni sebesar 0,4465. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), nilai k dalam kondisi normal berkisar antara 0,05 – 0,3 per hari.
58
Laju penguraian BOD5 dari pengolahan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit selama 4 jam ternyata hampir mendekati nilai laju penguraian BOD5 dengan menggunakan aerasi bertekanan 2 atm yang dilakukan Shofuan (1996) yakni 0,4587 (Gambar 15).
Bila mengacu pada pendapat Peterson dan Cummin dalam
Goldman dan Horne (1983) seperti pada Tabel 26, maka perlakuan dengan laju aerasi 70 liter/menit, 30 liter/menit dan 10 liter/menit tergolong cepat mulai dari jam ke 1 hingga jam ke 6. Tabel 26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD5 Nilai k Kriteria > 0,01 Cepat 0,005 - 0,01 Moderat < 0,005 Lambat Sumber : Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)
Di dalam limbah cair yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses ada makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa bahan organik yang biodegradable (BOD5). Proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme membutuhkan oksigen yang cukup (Sugiharto, 1987). Oleh karenanya, selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Bahan organik (BOD5) dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi bahan yang mudah menguap, diantaranya CO2.
Pemanfaatan bahan organik dalam
limbah cair yang diproses menjadi sel-sel tubuh mikroorganisme mengakibatkan jumlah mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi. Nilai MLVSS sering dijadikan sebagai petunjuk tidak langsung jumlah mikroorganisme yang berada dalam bahan yang diproses. Nilai ini penting diketahui untuk mendapatkan saat mikroorganisme berada dalam jumlah maksimal, terutama untuk dijadikan sebagai sumber lumpur aktif yang akan dimasukkan ke dalam tangki pemrosesan yang akan digunakan dalam proses pengolahan berikutnya dengan tujuan agar pengolahan berikutnya menjadi lebih cepat dalam volume tertentu. Fluktuasi nilai MLVSS selama 6 jam proses aerasi yang diperoleh dari hasil percobaan disajikan pada Gambar 16.
59
Gambar 16. Fluktuasi nilai MLVSS pada 4 taraf laju aerasi Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai MLVSS dari perlakuan pemberian udara dengan laju 70 liter/menit mencapai maksimal (2166 mg/l) terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding perlakuan lain yakni pada jam ke 2, sedangkan pada laju aerasi 30 liter/menit dicapai pada jam ke 5 (2029 mg/l). Pada laju aerasi 10 liter/menit nilai MLVSS masih di bawah nilai MLVSS dari perlakuan 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit, nilai MLVSS maksimum dan nilai BOD5 minimum tercapai pada waktu yang sama (Gambar 13 dan Gambar 16). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara nilai MLVSS (jumlah mikroorganisme) dengan jumlah makanan yang tersisa (BOD5). Informasi ini penting artinya dalam menentukan waktu saat proses aerasi sebaiknya dihentikan apabila hanya BOD5 saja yang menjadi target untuk dihilangkan dalam proses pengolahan lindi dan akan memanfaatkan lindi yang diproses pada saat tersebut sebagai bahan lumpur aktif. Pada dasarnya, proses pengolahan limbah cair dengan cara memberikan udara pada laju yang tinggi ke dalam air limbah ditujukan untuk meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam bahan yang diproses. Oksigen penting artinya karena oksigen diperlukan dalam jumlah cukup agar mikroorganisme aerobik maupun fakultatif aktif dalam mendegradasi bahan pencemar yang biodegradable. Semakin tinggi laju aerasi membuat oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi polutan yang biodegdradable menjadi semakin terpenuhi dan tidak menjadi faktor pembatas bagi
60
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak dibanding pada proses pengolahan yang dilakukan dengan memberikan udara pada laju yang lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian udara menyebabkan oksigen terlarut (dissolve oxygen (DO)) pada lindi menjadi meningkat (Gambar 17).
Gambar 17. Fluktuasi nilai DO pada 4 taraf laju aerasi Gambar 17 memperlihatkan bahwa laju aerasi 70 liter/menit memberikan sumbangan terhadap peningkatan DO yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding laju aerasi 30 liter/menit,10 liter/menit dan tanpa aerasi (0 liter/menit). Hal ini pula yang menyebabkan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan bahan organik yang non biodegradable (COD) dengan tingkat efektifitas tertinggi (74,53%) dibanding perlakuan dengan laju aerasi yang lebih rendah (30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit) (Gambar 18 dan Gambar 19). Menurut Park et al. (1994), suplai udara yang tinggi dapat berperan dalam oksidasi secara langsung bahan-bahan organik yang non biodegradable sehingga dapat menurunkan kandungan COD dalam air limbah.
61
Gambar 18. Nilai COD pada jam ke 6
Gambar 19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6 Kenaikan konsentrasi oksigen sebagai akibat pemberian udara dengan laju yang tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang toksik terhadap proses enzimatik metabolisme bakteri anaerob sehingga mengakibatkan pertumbuhan bakteri anaerob yang umumnya merupakan bakteri patogen menjadi terhambat (Park et al., 1994). Hal ini ditunjukkan oleh jumlah E. coli (bakteri yang umum digunakan 62
sebagai
petunjuk keberadaan bakteri patogen) yang semakin rendah dengan
meningkatnya
laju aerasi. Pada proses pengolahan dengan laju aerasi 70 liter/menit
selama 6 jam ternyata mampu menyebabkan nilai E. coli terendah (450 MPN/100 ml) (Gambar 20) dengan efektifitas penghilangan E. coli tertinggi (66,49%) dan berbeda nyata dibanding
perlakuan dengan laju aerasi 30 liter/menit, 10 liter/menit dan
0 liter/menit (Gambar 21). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Seaman et al. (2009) yang mendapatkan bahwa E. coli dan Salmonella spp berkurang akibat proses aerasi. Park et al. (1994) mengemukakan bahwa pemberian udara pada laju yang tinggi menyebabkan pembentukan radikal bebas berupa anion superoksida (O2-) yang dalam air akan bereaksi membentuk hidrogen peroksida (H2O2). H2O2 disamping sebagai oksidator kuat, juga mempunyai sifat desinfektan.
Gambar 20. Nilai E. coli pada jam ke 6
63
Gambar 21. Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke 6 Selain BOD5, COD dan E. coli sebagai sumber masalah dan sering terdapat dalam lindi, maka NH3 juga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya, NH3 harus ditekan jumlahnya. NH3 dalam lindi dapat berasal dari degradasi biologi asam amino maupun nitrogen organik. Secara individu atau berikatan dengan senyawa lain, NH3 dapat berpengaruh terhadap toksisitas lindi (Clement et al., 1993). NH3 merupakan racun utama bagi kehidupan akuatik (Kurniawan et al., 2006). Pada konsentrasi 0,43 ppm hingga 2,1 ppm, NH3 sudah dapat mematikan Ciprinus carpio (Hasan dan Machintosh, 1986). Bahan lain yang juga dapat menjadi masalah bagi lingkungan adalah sulfida. Bahan ini juga menjadi penyebab bau busuk yang menyengat sama seperti halnya dengan NH3. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah NH3 dan sulfida sebagai akibat proses aerasi selama 6 jam mengalami penurunan (Gambar 22 dan Gambar 23) dengan efektifitas penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing laju aerasi seperti yang disajikan pada Gambar 24. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), penurunan kedua bahan polutan ini disebabkan suplai oksigen ke dalam air limbah mampu mengaktifkan bakteri yang memanfaatkan NH3 dan sulfida menjadi bahan lain yang kurang berbahaya sehingga menyebabkan kedua bahan tersebut menjadi berkurang. Selain itu, menurut Achmad (2004), proses aerasi juga dapat menyebabkan terjadi oksidasi langsung terhadap NH3 dan sulfida menjadi nitrat dan sulfat.
64
Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi NH3 pada efluen yang dihasilkan melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit sebesar 2,33 ppm. Konsentrasi tersebut masih bersifat toksik bagi kehidupan akuatik. Oleh karena itu, pada efluen ini perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan jumlah NH3 yang masih ada. Salah satu caranya dengan menggunakan zeolit agar NH3 dapat dijerap karena menurut Sutarti dan Rachmawati (1994) zeolit memiliki afinitas yang tinggi terhadap NH3.
Gambar 22. Kadar amoniak (NH3) pada jam ke 6
Gambar 23. Kadar sulfida pada jam ke 6 65
Gambar 24. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada jam ke 6 Gambar 22 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada lama aerasi yang sama (pada jam ke 6), semakin tinggi laju aerasi akan menyebabkan jumlah NH3 dan sulfida pada efluen semakin rendah. Perbedaan kemampuan dalam menurunkan jumlah NH3 dan sulfida tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam mensuplai oksigen ke dalam limbah cair yang diproses. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, suplai oksigen lebih besar dibanding pada laju aerasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pemanfataan NH3 dan sulfida oleh bakteri menjadi lebih besar pula. Selain itu, pada laju aerasi yang tinggi, proses oksidasi secara langsung baik pada NH3 maupun sulfida menjadi nitrat dan sulfat juga berjalan lebih cepat dibanding pada laju aerasi yang rendah. Proses aerasi menyebabkan amoniak (NH3) menjadi nitrat, sulfida menjadi sulfat (SO42-) dan bahan organik yang mengandung phosphor akan diubah menjadi phosphat. Sebagai produk yang dihasilkan dari proses aerasi, nitrat, sulfat maupun phosphat relatif tidak berbahaya bagi kehidupan aquatik. Secara rinci, gambaran reaksi perubahan NH3 dan sulfida dikemukakan Achmad (2004) sebagai berikut: NH3 NH4+ 4FeS
+ 2O2
-------- NH4+ ------- 2H+
+ NO3-
+ 9O2 + 10H2O ------ 4Fe(OH)3
66
+ H2 O
+ SO42- + 8H+
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lindi yang diberi perlakuan pemberian udara cenderung memiliki kandungan nitrat, sulfat dan phosphat yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan yang tidak diberi udara (Gambar 25, 26 dan 27).
Gambar 25. Kadar nitrat (NO3-) pada jam ke 6
Gambar 26. Kadar sulfat (SO42-) pada jam ke 6
67
Gambar 27. Kadar fosfat pada jam ke 6 Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan lindi dengan memberikan udara pada laju yang tinggi memberikan suatu keuntungan dengan semakin berkurang bahanbahan yang bersifat toksik pada efluennya, diantaranya: BOD5, COD, NH3 dan sulfida dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding apabila pengolahan dilakukan dengan pemberian udara pada laju yang lebih rendah. 4.1.2
Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solid (TDS), pH dan Logam Terlarut Efektivitas penghilangan polutan lindi merupakan fungsi dari besarnya laju aerasi
dan lama aerasi. Fenomena ini terkait dengan perubahan populasi bakteri yang mendegradasi polutan yang ada pada lindi. Semakin meningkat laju aerasi dan semakin lama aerasi akan menyebabkan semakin banyak populasi bakteri pendegradasi hingga akhirnya semakin banyak pula jumlah polutan yang dapat diubah ke dalam bentuk yang tidak toksik (Attar, Bina dan Moeinian, 2005). Besarnya perubahan kadar polutan pada lindi dapat dideteksi oleh nilai TDS. Nilai TDS biasa dijadikan sebagai indikator kadar polutan baik organik maupun anorganik yang masih ada dalam lindi yang diproses (Khoury et al., 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai TDS terus mengalami penurunan dan penurunan nilai TDS tiap jam makin besar pada laju aerasi yang makin besar. Hal ini mengindikasikan selama aerasi berlangsung, polutan organik maupun anorganik terus berkurang. Nilai TDS tiap jam dari masing-masing laju aerasi disajikan pada Gambar 28. 68
Gambar 28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi Pada jam ke 6, nilai TDS terendah didapatkan pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi 70 liter/menit yakni sebesar 2850 ppm dengan efektivitas penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut terbesar dan nyata berbeda dari perlakuan lainnya yakni sebesar 12,83% (Gambar 28 dan Gambar 29).
Gambar 29. Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi 69
Perbedaan nilai TDS sebagai akibat pemberian udara pada laju yang berbeda berkaitan dengan perbedaan jumlah bahan padatan terlarut yang dapat diendapkan. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan jumlah kandungan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada efluen yang diambil dari kran atas dan kran bawah setelah lindi diaerasi selama 6 jam (Gambar 30 - Gambar 33).
Gambar 30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6
Gambar 31. Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6 70
Gambar 32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi pada jam ke 6
Gambar 33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat laju aerasi pada jam ke 6 71
Tabel 27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan kran bawah pada jam ke 6 Selisih Kadar Logam Mikro antara Kran Atas dan Kran Bawah (ppm) Jenis Logam 0 liter/menit 10 liter/menit 30 liter/menit 70 liter/menit Cu 0,005a 0,018ab 0,039b 0,104c Zn
0,005a
0,016a
0,042a
0,380b
Mn
0,073a
0,962ab
2,22b
4,670c
Fe
1,215a
3,230a
6,135b
8,615b
Pb
0,002a
0,003a
0,005a
0,009a
Cd
0,006a
0,022ab
0,048b
0,080c
Cr
0,016a
0,063ab
0,120b
0,234c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Logam menjadi berkurang pada efluen yang berasal dari kran atas dan makin meningkat jumlahnya di bagian bawah. Hal ini menunjukkan terjadi pengendapan logam terlarut akibat proses aerasi. Pada perlakuan dengan laju aerasi yang lebih besar, selisih jumlah logam terlarut antara efluen yang dikeluarkan dari kran atas dan bawah menjadi semakin besar (Tabel 27). Menurut Park et al., (1994), proses aerasi dapat menyebabkan suasana menjadi lebih oksidatif. Selanjutnya Suriawiria (1993) mengemukakan bahwa suasana yang lebih oksidatif dapat menyebabkan logam terlarut menjadi mengendap. Manahan (2005) menggambarkan reaksi dari proses pengendapan besi dalam pengolahan air limbah melalui cara aerasi sebagai berikut. 4Fe2+ + O2
+ 10H2O ----- 4Fe(OH)3(s) + 8H+
Menurut Achmad (2004), reaksi tersebut dikatalisis oleh bakteri besi thiobacillus ferroxidans. Selama proses aerasi berlangsung, pH juga terus mengalami peningkatan. Dari proses aerasi yang dilakukan selama 6 jam, pH tertinggi (9,05) terdapat pada perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit (Gambar 34).
72
Gambar 34. pH tiap jam pada empat laju aerasi Peningkatan pH yang semakin tinggi sebagai akibat pemberian udara pada laju yang semakin besar berkaitan dengan perubahan senyawa yang bersifat asam yang ada dalam limbah cair yang diproses menjadi senyawa yang lebih basa seperti yang digambarkan oleh Achmad (2004) sebagai berikut. O2 + H2O ------ 2OHCO2 + OH- ----- HCO3HCO3- + OH- ----
CO32-
H2S + OH- ----- HS- + H2O Jumlah logam terlarut yang lebih rendah pada efluen yang dikeluarkan dari kran atas dibanding jumlah logam terlarut pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah akibat aerasi, juga berkaitan dengan terjadinya peningkatan pH pada lindi yang diproses. Menurut Hardjowigeno (2010), dalam kondisi pH yang lebih rendah, logam berada dalam kondisi terlarut; sedangkan apabila pH mengalami kenaikan, maka logam terlarut akan bereaksi dengan OH- membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan senyawa besi dan mangan hidroksida yang mudah mengendap akibat proses aerasi seperti yang digambarkan Ahmad (2004) sebagai berikut. 4Fe(HCO3)2 + O2 + H2O 2Mn(HCO3)2
+ O2
----- 4 Fe(OH)3(s) + 8CO2
--- 2MnO2(s) + 4CO2 + 2H2O
73
Logam terlarut terutama yang dalam keadaan bebas dapat bersifat toksik (Vigneault dan Campbell, 2005). Hal ini berarti peningkatan pH akibat aerasi dapat memberikan dampak positif karena logam terlarut yang lebih bersifat toksik akan berkurang akibat pengendapan sehingga efluen yang dihasilkan menjadi lebih aman dialirkan ke lingkungan.
Sebaliknya, pada endapan karena mengandung kadar logam yang lebih
tinggi, maka endapan ini menjadi lebih berpotensi untuk dijadikan pupuk cair. Secara visual perbedaan efluen yang berasal dari kran atas dari ke 4 laju aerasi disajikan pada Gambar 35.
70 l/mnt
30 l/mnt
10 l/mnt
0 l/mnt
Anaerobik
Gambar 35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui empat tingkat laju aerasi 4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa Pengolahan lanjutan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda (5 - 10 mesh, 10 - 20 mesh, 20 - 30 mesh) memberikan efektivitas yang berbeda dalam menurunkan polutan lindi. Secara umum, efluen yang telah melewati zeolit menunjukkan kualitas yang lebih baik dibanding bila pengolahan hanya dilakukan dengan cara aerasi saja. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 6.
74
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi 70 liter/menit yang dilewatkan melalui zeolit memperlihatkan kualitas yang lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini terlihat dari nilai TDS, NH3, sulfida dan kadar logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) serta bahan organik (BOD dan COD) pada efluen yang telah melewati zeolit mengalami penurunan. Secara rinci, hasil percobaan ini akan diuraikan di bawah ini. 4.2.1
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS Nilai TDS pada efluen yang dilewatkan melalui zeolit lebih rendah dibanding nilai
TDS pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Hal ini ditunjukan oleh penurunan nilai TDS setelah efluen hasil aerasi 70 liter/menit dilewatkan melalui zeolit (Gambar 36). Penurunan nilai TDS ini terjadi karena sejumlah bahan terlarut mampu ditahan oleh zeolit. Penurunan nilai TDS pada ketiga efluen menunjukkan bahwa pada awal penuangan nilai TDS akan mengalami penurunan hingga pada volume tertentu untuk kemudian nilai TDS akan meningkat kembali sebagai akibat kompleks jerapan maupun ruang pori zeolit mulai dijenuhi oleh polutan. Nilai TDS dari penuangan ke 1 hingga ke 40 pada efluen dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh menunjukkan nilai terendah. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit ukuran 20 – 30 mesh paling efektif dalam menurunkan polutan lindi. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai TDS dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh terdapat pada penuangan ke 20, yakni sebesar 30,70% (Gambar 37).
Gambar 36. Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 75
Gambar 37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit Zeolit ukuran kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) secara fisik kurang efektif dalam penyaringan karena ada bahan yang tidak mengalami penyaringan dibandingkan zeolit yang lebih halus (20 – 30 mesh) sehingga menyebabkan kemampuan menurunkan polutan dari zeolit berukuran lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) menjadi lebih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang lebih kasar lebih tinggi dibanding nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran lebih halus. Kemampuan yang lebih tinggi dari zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh dalam menurunkan nilai TDS dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh juga berkaitan dengan kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh yang lebih tinggi dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh (Tabel 28). Menurut Tan (1993), KTK berkaitan dengan kemampuan dalam menukar ion. Tabel 28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian Ukuran Partikel Zeolit KTK (me/100 g) 5 – 10 mesh
66,65a
10 – 20 mesh
100,15a
20 – 30 mesh
157,92b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
76
Selain berkaitan dengan kemampuan zeolit dalam menjerap polutan terlarut, KTK juga berkaitan dengan kemampuan dalam menjerap air. Semakin tinggi KTK, semakin tinggi pula kemampuan zeolit dalam menjerap molekul air.
Hal ini pula yang
menyebabkan jumlah efluen yang mampu melewati zeolit berukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) pada saat-saat awal penuangan lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) (Gambar 38).
Gambar 38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit (volume bahan yang dialirkan 150 ml) Gambar 38 memperlihatkan bahwa setiap kali penuangan (penuangan pertama hingga penuangan keenam), jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. Pada zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh, jumlah lindi yang dituangkan ke zeolit (150 ml) baru akan sama dengan jumlah efluen yang keluar melalui zeolit tersebut pada penuangan keempat. Pada zeolit berukuran partikel 10 – 20 mesh, jumlah efluen baru akan sama dengan jumlah lindi yang masuk ke media filter tersebut pada penuangan keenam, sedangkan pada zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, jumlah lindi yang masuk ke zeolit dan keluar sebagai efluen baru akan sama pada penuangan ketujuh. 77
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) nyata memiliki kemampuan menjerap air lebih tinggi dibanding zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh). Air dapat dijerap oleh zeolit dikarenakan zeolit memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi. 4.2.2
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH3, Sulfida, BOD5 dan COD Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan aerasi pada laju 70
liter/menit ternyata masih menyisakan NH3 sebesar 2,33 ppm dan sulfida 1,17 ppm pada efluennya. Namun setelah efluen tersebut dilewatkan melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda, ketiga efluennya menunjukkan kadar NH3 dan sulfida lebih rendah dibanding sebelum dilewatkan melalui zeolit (tanpa zeolit) (Gambar 39). Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu menurunkan NH3 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Adapun efektivitas penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 40.
Gambar 39. Kadar NH3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit Gambar 39 memperlihatkan bahwa kadar NH3 dan sulfida terendah terdapat pada efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, yakni 1,07 ppm dan 0,82 ppm; sedangkan Gambar 40 menunjukkan bahwa efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH3 dan sulfida yang tersisa, juga terdapat pada zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, yakni sebesar 53,73% dan 30,02%.
78
Gambar 40. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada masing-masing ukuran partikel zeolit Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 mesh – 30 mesh) lebih mampu dan memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH3. Kemampuan ini juga berkaitan erat dengan kapasitas tukar kation (KTK) zeolit pada ukuran 20 – 30 mesh lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar (10 – 20 mesh atau 5 – 10 mesh). Penjerapan NH3 oleh zeolit terjadi melalui proses pertukaran dengan ion yang dijerap sebelumnya. Di lain pihak, pada zeolit berukuran 20 – 30 mesh, karena ukuran partikel pada zeolit tersebut lebih kecil dibanding zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh menyebabkan jumlah senyawa sulfida yang terperangkap dalam poripori zeolit tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini ditunjukkan oleh kadar sulfida dalam efluen setelah melewati zeolit berukuran 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding kadar sulfida yang terdapat pada efluen yang melewati zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh.
Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan NH3,
Suyartono dan Husaini (1991) mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung NH3 sebesar 0,3 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, kadar NH3 berkurang menjadi 0,02 ppm. Disamping mempunyai kemampuan menurunkan NH3 dan sulfida yang masih tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit, zeolit ternyata juga mampu menurunkan BOD5 dan COD yang masih tersisa. Hal ini ditunjukan oleh nilai BOD5 dan COD pada efluen setelah dilewatkan pada zeolit dari ketiga ukuran 79
partikel lebih rendah dibanding sebelumnya (tanpa zeolit) (Gambar 41). Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) lebih mampu menurunkan nilai BOD5 dan COD yang masih tersisa dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar ( 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh). Demikian halnya dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5 dan COD yang masih tersisa, efektivitas tertinggi dalam menurunkan kedua bahan ini juga terjadi pada zeolit berukuran 20 – 30 mesh yakni 47,96% dan 50,15% (Gambar 42). Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan COD, Suyartono dan Husaini (1991) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung COD sebesar 20,82 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, 10 hari dan 30 hari, kadar COD berkurang berturut-turut menjadi 10,62 ppm, 6,72 ppm dan 4,79 ppm.
Gambar 41. Kadar BOD5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit
80
Gambar 42. Efektivitas penurunan BOD5 dan COD pada masing-masing ukuran partikel zeolit Kemampuan yang tinggi dari zeolit berukuran lebih halus dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar dalam menurunkan nilai BOD5 dan COD dari limbah cair berkaitan erat dengan ukuran partikel yang lebih halus yang menyebabkan ukuran rongga menjadi lebih kecil dibanding partikel yang berukuran lebih kasar. Semakin kecil ukuran rongga, maka zeolit akan semakin mampu menyaring polutan yang lewat. Selain lebih mampu menurunkan NH3, sulfida, BOD5 dan COD; ternyata zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh juga lebih mampu menurunkan E. coli dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh seperti yang ditunjukan oleh data yang dihasilkan pada penelitian ini sebagai berikut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Husaini (1993) yang juga mendapatkan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan
46
45
39
E fe k tivita s P e n u ru n a n E . coli (% )
Nilai E. coli (MPN/10 ml)
E. coli dari limbah cair yang diproses.
35 30
32
20 25 Tanpa
5 – 10
zeolit
mesh
10 – 20 20 – 30 mesh
mesh
55
60
45 32,5 30
22,5
15
0 5 – 10 m esh 10 – 20 m esh 20 – 30 m esh
Penggunaan Zeolit
Penggunaan Zeolit
Gambar 43. Nilai E. coli pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit
Gambar 44. Efektivitas penurunan nilai E. coli dari ketiga ukuran partikel zeolit 81
4.2.3
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut dan pH Kemampuan zeolit dalam menukar ion menyebabkan zeolit sering dimanfaatkan
dalam menurunkan bau yang disebabkan oleh amoniak (NH3) dan sulfida yang terdapat dalam limbah cair. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Zorpas et al. (2000), zeolit juga dapat menurunkan kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dalam air limbah. Sebagian dari logam-logam tersebut seperti Cu, Zn, Mn dan Fe merupakan hara mikro bagi tanaman. Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menjerap logam-logam tersebut yang masih ada pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit agar dihasilkan efluen yang lebih aman dialirkan ke lingkungan dengan jumlah logam terlarut yang lebih rendah. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa logam terlarut yang masih tersisa di dalam efluen hasil olahan aerasi dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam ternyata masih mampu diturunkan lagi dengan cara melewatkannya melalui zeolit. Kadar beberapa logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada masing-masing efluen setelah efluen tersebut melewati zeolit yang berbeda ukuran partikelnya disajikan pada Tabel 29, sedangkan efektivitas dari penurunan logam terlarut dari ketiga ukuran partikel zeolit disajikan pada Gambar 45. Tabel 29. Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen dilewatkan melalui zeolit Kadar logam terlarut pada efluen (ppm) Media Filter Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr Tanpa zeolit
0,021a
0.070a
0,235a
2,380a
0,022a
0,030a
0,0410a
Zeolit 5 – 10 mesh
0,016a
0,057ab
0,177b
1,790ab
0,014ab
0,020b
0,0290b
Zeolit 10 – 20 mesh
0,014ab
0,048bc
0,156b
1,490bc
0,010b
0,014bc
0,0250bc
Zeolit 20 – 30 mesh
0,008b
0,034c
0,139b
0,850c
0,006b
0,010c
0,022c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Penggunaan zeolit sebagai penjerap logam menyebabkan kompleks jerapan dijenuhi oleh logam tersebut. Zeolit yang telah jenuh karena mengandung hara mikro dapat dijadikan bahan pembenah tanah. Hasil penelitian Suherman et al. (2005) menunjukkan bahwa penggunaan zeolit mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Khusus untuk zeolit yang telah digunakan pada proses penyaringan polutan lindi, karena mengandung logam berat lainnya, maka tidak disarankan untuk digunakan pada tanaman pangan.
Zeolit ini dapat dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan untuk meningkatkan
kesuburan tanaman-tanaman hias yang ada di sepanjang jalan-jalan kota. 82
Efe ktivita s Pe nuruna n Loga m M ikro (% )
72,92
75
66,52
64,47
64,19
65
56,67
55
51,55
52,91 46,24
45 35 25
40,96 33,18
33,74
31,46
24,51
23,57
37,32
36,25
38,88 34,82 29,07
24,76
19,24
15 Cu
Zn
Mn
Fe
Pb
Cd
Cr
Loga m M ikro 5 - 1 0 m e sh
1 0 - 2 0 m e sh
2 0 -3 0 m e sh
Gambar 45. Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ke 3 ukuran partikel zeolit Zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan logam terlarut. Hal ini berkaitan dengan KTK dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh yang lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) (Tabel 28). Semakin tinggi nilai KTK, semakin besar pula kemampuan zeolit dalam menjerap dan menukar ion. Ukuran partikel zeolit yang berbeda ternyata menyebabkan perbedaan pH pada efluennya. pH dari efluen yang telah melewati
zeolit lebih rendah dibanding pH
sebelumnya (Gambar 46). Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat terjadi pertukaran antara ion H+ yang ada pada zeolit dengan ion logam yang terdapat dalam lindi. pH dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding pH dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh juga akibat KTK pada zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. Zeolit dengan KTK yang tinggi memiliki potensi yang lebih besar untuk menghasilkan H+ melalui proses pertukaran ion dibanding zeolit dengan KTK rendah. Semakin banyak H+ yang ditukar dengan logam-logam terlarut menyebabkan H+ semakin banyak pada efluen sehingga pH efluen semakin rendah.
83
Gambar 46. pH dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan melalui zeolit 4.2.4
Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS) dan Jumlah Padatan Mengendap Selain kemampuan dalam menurunkan logam terlarut dan bahan organik dari lindi
yang diolah, hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam menentukan ukuran partikel zeolit yang layak digunakan untuk menurunkan polutan yang masih tersisa dari lindi terolah adalah total suspended solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Hasil penelitian ini mendapatkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap yang terdapat pada efluen dari tiga ukuran partikel zeolit seperti yang terdapat pada Gambar 47 dan Gambar 49. Zeolit yang telah jenuh oleh polutan memiliki efektivitas yang rendah. Apabila zeolit ini akan digunakan kembali sebagai penjerap polutan, maka upaya untuk meningkatkan kapasitas penjerapan zeolit tersebut dapat dilakukan melalui proses regenerasi. Regenerasi secara fisik dapat dilakukan melalui pemanasan, namun hal ini hanya untuk menghilang air yang terjerap di dalam zeolit. Zeolit yang jenuh dengan polutan berupa logam yang terjerap dapat diregenerasi (dihilangkan polutannya) melalui cara kimia melalui penggunaan garam (NaCl), asam (H2SO4) atau basa (NaOH) untuk mengeluarkan polutan-polutan yang terjerap. Hasil penelitian Widianti (2007) didapatkan bahwa penggunaan 0,5 N NaCl; 0,2 N H2SO4 atau 0,2 N NaOH menunjukkan nilai KTK tertinggi.
84
E f e k tiv ita s P e n u r u n a n T S S (% )
Gambar 47. TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit
85
7 7 ,0 3
65 4 8 ,1 2
45 3 0 ,9 3
25 5 – 1 0 m e sh
1 0 – 2 0 m e sh
2 0 – 3 0 m e sh
P e n g g u n a a n Z e o lit
Gambar 48. Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit
85
Gambar 49. Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit TSS berkaitan dengan kekeruhan dan kekeruhan berkaitan dengan pencemaran pada badan-badan air penerima terutama berkaitan dengan kemampuan sinar matahari menembus ke bagian yang lebih bawah dari badan air. Semakin tinggi TSS, badan air akan semakin keruh dan hal ini dapat menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton. Apabila fotosintesis berkurang akan berakibat pada penurunan jumlah oksigen terlarut. Hal ini akan berakibat buruk bagi kehidupan biotik dalam badan air penerima. Jumlah padatan mengendap berkaitan dengan jumlah bahan-bahan yang mengendap yang terkandung dalam efluen yang dihasilkan. Jumlah padatan mengendap dapat berpengaruh buruk bagi badan air penerima karena berkaitan langsung dengan proses pendangkalan pada badan air penerima. Apabila terjadi pendangkalan pada badan air penerima berarti akan menambah biaya dalam pengelolaan badan air. Oleh karena itu, dalam pemilihan ukuran partikel zeolit yang akan digunakan dalam proses pengolahan lindi untuk menurunkan polutan yang masih tersisa, kedua hal ini juga perlu mendapatkan perhatian.
86
Hasil penelitian ini, seperti yang disajikan
pada Gambar 47 dan Gambar 49
menunjukkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan melalui zeolit berukuran 5 – 10 mesh dan 10 – 20 mesh lebih tinggi dibanding nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan pada zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh. TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang telah melewati zeolit berkaitan dengan ukuran partikel zeolit karena ukuran partikel zeolit berpengaruh terhadap ukuran rongga, selanjutnya ukuran rongga berkaitan langsung dengan kemampuan zeolit dalam melewatkan bahan padatan yang berukuran sangat halus yang menempel pada partikel zeolit sebagai akibat proses penggerusan saat pembuatan partikel pada ukuran yang diinginkan. mesh atau 10 – 20 mesh)
Zeolit yang berukuran lebih kasar (5 – 10
memiliki rongga yang
lebih besar dibanding zeolit
berukuran 20 – 30 mesh. Oleh karenanya, kemampuan melewatkan bahan padatan dari zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh
lebih besar dibanding zeolit
berukuran 20 – 30 mesh. 4.2.5
Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II Sebagai akibat perbedaan kemampuan dalam menurunkan polutan dari ketiga
ukuran partikel zeolit menyebabkan perbedaan visual dari efluennya. Secara visual, efluen yang dilewatkan pada masing-masing ukuran partikel zeolit ditampilkan pada Gambar 50.
Efluen dari zeolit 5 – 10 mesh
Efluen dari zeolit 10 – 20 mesh
Efluen dari zeolit 20 – 30 mesh
Gambar 50. Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit 87
Gambar 50 menunjukkan bahwa efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh lebih cerah dibanding efluen dari zeolit berukuran partikel lebih kasar. Perbedaan warna dari ketiga efluen tersebut berkaitan dengan kandungan polutan yang masih tersisa. Oleh karena zeolit dengan ukuran partikel 20 – 30 mesh lebih mampu menurunkan beberapa parameter pencemar seperti NH3, sulfida, BOD5, COD, logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), TSS dan padatan mengendap maka zeolit dengan ukuran partikel 20 – 30 mesh lebih layak digunakan dalam pengolahan lanjutan dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. 4.2.6
Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang Dihasilkan Efektivitas penurunan polutan dari pengolahan 1 tahap (pengolahan aerasi pada laju
0, 10, 30 atau 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit berukuran 5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh atau 20 – 30 mesh) serta kadar beberapa parameter pencemar yang terdapat pada efluen dari masing-masing pengolahan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Pengolahan Tahap I (%) * Polutan
Efektivitas Penurunan Polutan Lindi melalui Pengolahan Tahap II (%) ** 5 - 10 10 - 20 20 - 30 mesh mesh mesh
0 l/mnt
10 l/mnt
30 l/mnt
70 l/mnt
BOD5
3,87a
29,98b
70,32c
74,63c
8,15a
17,92a
47,96b
COD
2,11a
14,63a
50,71b
15,27a
30,09ab
50,15b
NH3
-1,67a
24,38b
60,93c
74,53c 66,60c
14,22a
40,95b
53,73b
Sulfida
-2,20a
23,24b
55,51c
74,67c
8,85a
13,31a
30,02b
TDS
-0,31a
3,82b
6,25b
12,83c
14,04a
17,89a
30,70b
Cu
2,38a
9,76b
29,27c
48,78d
23,81a
33,33a
61,90b
Zn
1,12a
10,23b
17,05c
20,45c
19,24a
31,46ab
51,55b
Mn
0,13a
14,07b
28,39c
70,22d
24,51a
33,74ab
40,96b
Fe
0,03a
11,07b
26,00c
38,74d
24,76a
37,32b
64,47c
Pb
1,87a
3,62b
3,85b
15,38c
36,25a
56,67b
72,92c
Cd
0,76a
20,00b
40,00c
53,85c
34,82a
52,91ab
66,52b
Cr
0,56a
19,10b
38,20c
53,93d
29,07a
38,88ab
46,24b
E. coli
-7,29a
14,59b
42,02c
66,49d
22,50a
32,50ab
55,00b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris berdasarkan pengolahan tahap 1 atau pengolahan tahap 2 tidak berbeda nyata pada taraf 1%. * Efektivitas pengolahan tahap I (pemberian udara (aerasi) pada laju 0, 10, 30 dan 70 liter/menit). ** Efektivitas pengolahan tahap II (pengolahan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit pada ukuran partikel 5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh atau 20 – 30 mesh)).
88
Tabel 31. Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan Pada Efluen Hasil Olahan 1 Tahap *
Pada Efluen Hasil Olahan 2 Tahap **
Nilai
Nilai
Gol. A
Gol. B
Gol. C
Gol. D
pH
9,05a
8,25a
6-9
6-9
6-9
6-9
DO (ppm)
10,2a
9,2a
6
4
3
0
BOD5 (ppm)
80,76a
41,74b
2
3
6
12
COD (ppm)
166,15a
82,56b
10
25
50
100
E. coli (MPN/100 ml)
450a
200b
1000
5000
10000
10000
NH3 (ppm)
2,33a
1,07b
0,5
-
-
-
Sulfida (ppm)
1,17a
0,82b
0,002
0,002
0,002
-
TDS (ppm)
2850a
1975b
1000
1000
1000
2000
TSS (ppm)
128,8a
37,90b
50
50
400
400
2,45a
0,2b
-
-
-
-
Cu (ppm)
0,021a
0,008b
0,02
0,02
0,02
0,2
Zn (ppm)
0,070a
0,034b
0,05
0,05
0,05
2
Mn (ppm)
0,235a
0,139b
1
-
-
-
Fe (ppm)
2,380a
0,850b
0,3
-
-
-
Pb (ppm)
0,022a
0,006b
0,03
0,03
0,03
1
Cd (ppm)
0,030a
0,010b
0,01
0,01
0,01
0,01
Cr (ppm)
0,041a
0,022b
0,05
0,05
0,05
0,01
Parameter Pencemar
Baku Mutu***
Padatan Mengendap (ml/150ml)
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris tidak berbeda nyata pada taraf 1%.. * Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit. ** Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh. *** Baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2001.
Tabel 31 menunjukkan bahwa kadar
polutan pada efluen hasil pengolahan 2
tahap dengan memberikan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang memiliki ukuran partikel 20 – 30 mesh nyata lebih rendah dibanding kadar polutan pada efluen hasil pengolahan hanya dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan lanjutan dengan menggunakan zeolit efektif dalam menurunkan polutan yang masih tersisa. 89
Beberapa parameter pencemar yang masih di atas baku mutu untuk golongan D (pertanian), meskipun efluen tersebut telah diolah dengan cara aerasi pada laju 70 liter/menit adalah BOD, COD, nilai TDS, TSS, Cu, Cd dan Cr. Parameter yang dapat diturunkan lagi hingga di bawah baku mutu melalui pengolahan tahap II dengan cara melewatkan efluen tersebut melalu zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh adalah COD, nilai TDS, Cu dan Cd. Pengolahan yang disarankan untuk mendapatkan efluen yang aman dialirkan ke lingkungan adalah melalui pengolahan dua tahap, yakni pada tahap pertama pengolahan dilakukan melalui pemberian udara dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam yang dilanjutkan dengan pengolahan tahap kedua dengan cara melewatkannya melalui zeolit berukuran 20 - 30 mesh.
Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan menurunkan
sejumlah polutan dari pengolahan dua tahap lebih tinggi dibanding pengolahan satu tahap yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter pencemar yang lebih rendah dibanding pengolahan satu tahap.
90
4.3
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian empat jenis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan dolomit)
pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000, 5000 dan 6000 ppm) untuk menjadikan endapan hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit sebagai bahan pupuk cair memberikan hasil yang berbeda. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan ini disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada 11 dosis yang berbeda dilanjutkan dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) ternyata menyebabkan perbedaan pada beberapa parameter kimia (nilai TDS, pH dan Ca2+) pada sentrat dan kadar beberapa logam mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) maupun bahan organik pada endapan. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian kapur jenis CaO dan Ca(OH)2 menyebabkan perubahan terhadap nilai TDS, pH dan Ca2+ dengan pola perubahan yang serupa. Pola perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan yang disebabkan oleh pemberian kapur jenis CaCO3 dan dolomit. Pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda ternyata juga berpengaruh terhadap jumlah logam mikro dan bahan organik yang dapat diendapkan. Beberapa logam mikro dalam endapan mengalami penurunan dan beberapa logam mikro lainnya justru mengalami peningkatan bila dosis kapur yang diberikan makin ditingkatkan; sedangkan jumlah bahan organik yang dapat diendapkan ternyata makin meningkat bila dosis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan dolomit) yang diberikan makin tinggi. Secara rinci, nilai dari masing-masing parameter tersebut akan diuraikan di bawah ini. 4.3.1 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, pH, dan Kadar Ca2+ pada Sentrat Hasil percobaan mendapatkan bahwa pemberian kapur yang berbeda pada lindi yang akan dijadikan bahan pupuk cair ternyata menyebabkan perbedaan nilai TDS pada sentrat. Secara rinci, nilai TDS pada sentrat dari masing-masing dosis kapur disajikan pada Tabel 32.
91
Tabel 32. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 3000 4000 5000 6000
CaO 2765 bc 2695 abc 2467,5 a 2642,5 ab 2905 c 3347,5 d 3702,5 e 5662,5 f 6900 g 7710 h 8287,5 i
Ca(OH)2 2785 b 2700 b 2442,5 a 2617,5 ab 2755 b 3082,5 c 3662,5 d 4785 e 5977,5 f 7095 g 7352,5 h
CaCO3 2912,5 a 2860 a 2797,5 a 2785 a 2752,5 a 2725 a 2685 a 2680 a 2670 a 2670 a 2690 a
Dolomit 2895 a 2932,5 ab 2942,5 ab 2957,5 ab 2962,5 ab 2967,5 ab 2980 ab 3072,5 abc 3205 bc 3325 cd 3497,5 d
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Tabel 32 maupun Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa nilai TDS pada sentrat akibat pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis rendah (500 ppm hingga dosis kurang dari 1000 ppm) mengalami penurunan dan mencapai minimum pada dosis 1000 ppm; sedangkan pada dosis lebih dari 1000 ppm, nilai TDS mengalami peningkatan yang tajam sejalan dengan dosis CaO atau Ca(OH)2 yang makin meningkat. Sejalan dengan penelitian ini, Amuda (2005) yang menggunakan bahan kimia FeCl3 sebagai bahan untuk mengendapkan bahan terlarut dari lindi TPA sampah mendapatkan bahwa penggunaan FeCl3 pada dosis 1000 ppm juga menyebabkan penurunan polutan yang maksimal yang ditunjukkan oleh nilai TDS pada lindi yang diproses menunjukkan nilai terendah. Hasil penelitiannya menunjukkan pada pemberian FeCl3 di atas 1500 ppm mulai terjadi peningkatan garam besi dalam larutan yang ditunjukan oleh peningkatan nilai TDS pada lindi yang diproses. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan pemberian
CaO dan
Ca(OH)2 terdapat kemiripan pola dalam perubahan nilai TDS pada sentrat.
Pola
perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan dari perlakuan kapur jenis CaCO3 maupun dolomit. Gambar 51 hingga Gambar 56 menunjukkan bahwa perubahan nilai TDS, Ca2+ bahkan pH dari perlakuan CaCO3 maupun dolomit tidak sebesar perubahan pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Perbedaan perilaku ini berkaitan dengan sifat kapur tersebut.
92
Tabel 32, Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa penggunaan kapur jenis CaCO3 atau dolomit pada dosis 500 ppm hingga 6000 ppm tidak mengakibatkan penurunan yang berarti terhadap nilai TDS pada sentrat.
Nilai TDS dari perlakuan
CaCO3 berangsur-angsur menurun dan mencapai minimum (2670 ppm) pada dosis 4000 ppm hingga 5000 ppm. Nilai TDS minimum dari perlakuan pemberian CaCO3 tersebut masih berada di atas nilai TDS minimum (2467,5 ppm dan 2442,5 ppm) dari perlakuan
pemberian
1000 ppm
CaO dan Ca(OH)2. Nilai TDS pada sentrat dari
perlakuan pemberian CaCO3 pada dosis di atas 5000 ppm baru menunjukkan peningkatan. Sebaliknya, pada pemberian dolomit, nilai TDS pada sentrat justru terus mengalami peningkatan secara berangsur mulai dari dosis 500 ppm hingga 6000 ppm.
Gambar 51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi)
93
Gambar 52. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) Nilai pH dari perlakuan pemberian CaCO3 ternyata juga mengalami peningkatan secara berangsur dengan peningkatan pH yang jauh lebih rendah dari peningkatan pH dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 55 dan Gambar 56). Demikian juga halnya dengan pH dari perlakuan pemberian dolomit yang juga mengalami peningkatan secara berangsur apabila dosis pemberiannya makin ditingkatkan. Perbedaan pola perubahan nilai TDS dan pH berkaitan dengan reaksi yang terjadi dalam lindi akibat pemberian jenis dan dosis kapur yang berbeda. Pada perlakuan CaO, setelah bahan tersebut dicampur dengan lindi maka CaO akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam lindi, kemudian terurai membentuk ion-ion. Menurut Manahan (2005), reaksi CaO dalam air sebagai berikut. CaO + H2O -------> Ca(OH)2 Kemudian Ca(OH)2 dalam air akan berubah menjadi ion Ca2+ dan OH- sebagai berikut. Ca(OH)2 ------> Ca2+ + 2OH-
94
Demikian juga pada perlakuan pemberian kapur jenis Ca(OH)2 dalam air, Ca(OH)2 akan langsung bereaksi sebagai berikut (Manahan, 2005). Ca(OH)2 ------> Ca2+ + 2OHBerdasarkan reaksi
seperti
yang
digambarkan di atas, pemberian CaO atau
Ca(OH)2 ke dalam lindi akan menghasilkan bahan yang sama berupa Ca2+ dan OH-. Kedua bahan tersebut (Ca2+ dan OH-) selanjutnya juga dapat mempengaruhi bahan lain yang terlarut yang terdapat dalam lindi berupa koloid. Muatan negatif pada koloid
baik
logam-logam
koloid
organik
terlarut
maupun
maupun
koloid -
anorganik yang terdapat dalam lindi makin meningkat bila konsentrasi OH makin meningkat. Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2010), muatan negatif dari koloid dapat meningkat sebagai akibat terjadi disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal seperti gambar berikut.
OH
+
OH-
------>
O-
+
H2O
Pada pH rendah (masam), H+ terikat erat. Namun bila pH naik, maka H+ menjadi mudah lepas mengakibatkan muatan negatif dari koloid menjadi meningkat. Muatan ini disebut muatan tergantung pH. Pada koloid organik, sumber muatan negatif terutama berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus phenol (-OH). Muatan tersebut adalah muatan tergantung pH, artinya dalam keadaan masam, H+ dipegang kuat oleh gugus karboksil atau phenol. Menurut Hardjowigeno (2010), ikatan H+ pada gugus karboksil atau phenol menjadi berkurang bila pH menjadi lebih tinggi. Ikatan yang lemah tersebut memudahkan terjadi disosiasi H+ yang menyebabkan H+ terlepas hingga pada gugus tersebut menjadi bermuatan negatif. Makin tinggi pH, makin tinggi pula disosiasi H+ menyebabkan muatan negatif pada koloid menjadi makin tinggi. Muatan negatif yang terbentuk dapat menyebabkan terjadi interaksi antara koloid dengan logam yang terlarut termasuk dengan Ca2+, baik Ca2+ yang berasal dari lindi maupun Ca2+ yang berasal dari penambahan kapur. Hasil interaksi antara muatan positif dari logam terlarut dengan muatan negatif dari koloid membentuk senyawa kompleks berbentuk flok yang mudah untuk diendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Hasil penelitian Harmsen (1983) menunjukkan bahwa pada pH tinggi, logam terlarut menjadi berkurang 95
karena membentuk komplek dengan asam humik. Berdasarkan hasil penelitian Umar, Aziz dan Yusoff (2010), pada pH sedikit di atas netral, 30 – 100% Cu dan 0 – 95% Zn umumnya berada dalam kondisi berikatan dengan koloid. Menurut Vigneault dan Campbell (2005), hal ini dapat menurunkan toksisitas lindi yang diproses akibat logam terlarut berkurang. Pembentukan flok yang mudah mengendap antara Ca atau logam terlarut dengan koloid menyebabkan kadar Ca2+ maupun logam-logam terlarut lainnya menjadi makin menurun dalam sentrat. Ca2+ maupun logam terlarut lainnya merupakan bahan padatan terlarut yang mempengaruhi nilai TDS.
Apabila bahan-bahan tersebut berkurang
mengakibatkan nilai TDS menurun hingga sentrat lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Gambaran dari reaksi pengikatan antara koloid organik dengan koloid anorganik yang dijembatani oleh Ca2+ seperti yang dikemukakan oleh Peterson (1947) dalam Supardi (1988) sebagai berikut. --------- liat – Ca – OOC – R – COO – Ca – liat --------Gambaran ikatan kompleks antara liat dan liat dengan Ca sebagai penghubung seperti yang dikemukakan oleh Foth (1978) sebagai berikut.
Permukaan Liat
-
+ Ca +
- Permukaan Liat
+ Ca +
-
Permukaan Liat
Penurunan nilai TDS pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 tidak hanya disebabkan oleh penurunan jumlah Ca2+ dan logam-logam terlarut lainnya sebagai akibat terjadi pengikatan logam tersebut oleh koloid yang membentuk endapan. Penurunan nilai TDS dari perlakuan tersebut juga dapat disebabkan oleh penurunan jumlah logam terlarut akibat terjadi reaksi antara logam terlarut dengan OH- membentuk senyawa hidroksida yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah. Sebagai contoh, gambaran dari reaksi pembentukan senyawa hidroksida logam seperti yang dikemukakan oleh Mohajit (2001) sebagai berikut. Fe 3+ + 3OH- -------> Cr3+
+ 3OH-
-------->
96
Fe(OH)3 (s) Cr(OH)3 (s)
Pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2, bila dosis pemberian kapur tersebut terus ditingkatkan ternyata menyebabkan pH juga mengalami peningkatan, melebihi peningkatan pH dari perlakuan CaCO3 dan dolomit (Gambar 55 dan Gambar 56). pH yang makin meningkat menggambarkan konsentrasi OH- juga makin meningkat. Namun pada konsentrasi OH- yang makin tinggi, menurut Davis dan Masten (2004) justru dapat menyebabkan pembentukan senyawa baru antara logam terlarut dan OH- berlebih yang ada dalam larutan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) lebih tinggi dibanding sebelumnya. Proses ini menyebabkan jumlah padatan terlarut pada sentrat akan mengalami peningkatan kembali. Davis dan Masten (2004) mengemukakan bahwa pada pH di atas netral hingga ± pH 9, logam-logam terlarut seperti Cu, Zn dan Pb memiliki solubilitas yang minimum dan akan membentuk endapan dalam bentuk senyawa hidroksida. Namun pada pH > 9, ketiga logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang mudah larut (Gambar 64). Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 dengan dosis 1000 ppm, pH mencapai 10,35 hingga 10,55 (Tabel 33) dan pada pH tersebut nilai TDS pada sentrat mencapai minimum. Pada kondisi ini, meskipun ada beberapa logam mikro terlarut yang mengalami pelarutan kembali seperti Cu, Zn, Pb dan Cd, namun ada pula logam mikro lainnya yang masih mengalami pengendapan seperti Mn, Fe dan Cr. Pada pH tersebut jumlah padatan terlarut pada sentrat mencapai minimum sebagai akibat logam-logam terlarut yang berinteraksi dengan OH- atau berinteraksi dengan koloid membentuk senyawa yang mudah mengendap berada dalam jumlah yang lebih banyak dibanding logam-logam terlarut lainnya yang melarut kembali karena membentuk senyawa komplek dengan OH- yang berlebih. Kadar Ca2+ pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 dengan dosis 1500 ppm menunjukkan nilai yang paling minimum (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 1000 ppm menyebabkan muatan bergantung pH yang terbentuk akibat penambahan kapur maksimal dalam mengikat Ca2+ baik yang berasal dari lindi maupun kapur. Apabila dari kedua
dosis
pemberian
jenis kapur tersebut terus ditingkatkan (di atas 1500 ppm) sementara
volume lindi tetap, Ca2+ pada sentrat mulai mengalami peningkatan. Diduga pada dosis > 1500 ppm, jumlah muatan bergantung pH yang terbentuk akibat penambahan kapur kurang dari jumlah Ca2+ yang ada pada larutan menyebabkan ada Ca2+ yang tidak diikat dan tetap berada dalam bentuk terlarut.
97
Kelebihan Ca2+ tersebut menjadi salah satu bahan padatan terlarut yang sulit terendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Kelebihan Ca2+ tersebut dapat mempengaruhi nilai TDS pada sentrat.
Gambar 53. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi)
Gambar 54. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan) 98
Kemiripan pola perubahan nilai TDS, kadar Ca2+ dan pH pada sentrat
dari
perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 51 - Gambar 56) berkaitan pada tiga hal, yakni: 1) Kedua jenis kapur tersebut memiliki perbedaan bobot molekul (BM) yang relatif sempit (BM CaO = 56 dan BM Ca(OH)2 = 74), 2) pada larutan, kedua jenis kapur tersebut akan bereaksi membentuk bahan yang sama yakni Ca2+ dan OH- sehingga pada konsentrasi yang sama hampir menyumbangkan Ca2+ dan OH- ke dalam larutan dalam jumlah yang hampir sama, dan 3) reaksi CaO atau Ca(OH)2 dalam air membentuk ion Ca2+ dan OH- tidak mencapai kejenuhan hingga pada dosis 6000 ppm.
Gambar 55. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian kapur yang disentrifugasi
Gambar 56. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian kapur yang dikocok 99
Pada dosis 500 ppm hingga 4000 ppm, konsentrasi Ca2+ yang terlarut yang terdapat pada sentrat dari perlakuan CaCO3 masih mengalami penurunan secara berangsur dan penurunan mencapai maksimum pada dosis pemberian yang relatif tinggi (4000 hingga 5000 ppm) (Gambar 53 dan Gambar 54). Fenomena tersebut terjadi disebabkan penambahan CaCO3 pada lindi menyebabkan terbentuk ion Ca2+, OH- dan HCO3menyebabkan pada dosis yang makin meningkat terjadi sedikit peningkatan pH. Reaksi peruraian CaCO3 dalam air menjadi ion-ion seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CaCO3 CO32-
------>
+ 2H2O
Ca2+
------->
+ CO32HCO3-
+
OH-
Jumlah OH- yang dihasilkan akibat pemberian CaCO3 lebih rendah dibanding jumlah OHyang dihasilkan akibat pemberian CaO atau Ca(OH)2. Disamping itu, CaCO3 bersifat garam. Diduga pemberian bahan ini ke dalam lindi pada dosis yang lebih tinggi akan tercapai kejenuhan hingga CaCO3 yang diberikan akan langsung mengendap. Pola perubahan nilai TDS, pH maupun kadar Ca2+ pada sentrat dari perlakuan pemberian dolomit menunjukkan pola yang berbeda dibanding perlakuan CaO maupun Ca(OH)2 dan sedikit menyerupai pola perubahan nilai TDS, pH dan kadar Ca2+ akibat pemberian CaCO3 (Gambar 51 hingga Gambar 56).
Hal ini disebabkan pemberian
dolomit ke dalam lindi akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian CaO maupun Ca(OH)2 karena dari hasil reaksi dolomit dengan air yang terdapat dalam lindi, selain akan menghasilkan CaCO3 juga menghasilkan MgCO3 seperti yang digambarkan oleh Hardjowigeno (2010) sebagai berikut. CaMg(CO3)2 -----> Ca2+ + Mg2+ + 2CO32CO32- yang dihasilkan dari reaksi tersebut akan bereaksi dengan air membentuk ion hidroksil (OH-) seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut. CO32-
+ 2H2O
------->
HCO3-
+
OH-
Pada suhu kamar (20oC), CaCO3 memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah (0,0006170), sedangkan MgCO3 memiliki solubilitas yang lebih tinggi (0,039) dibanding CaCO3 (Wikipedia, 2007). Oleh karena itu, MgCO3 lebih sulit untuk diendapkan dibanding CaCO3. Apabila dosis dolomit ditingkatkan, maka kadar MgCO3 yang masuk 100
dalam larutan mengalami peningkatan. Hal ini akan menambah bahan padatan terlarut pada sentrat karena MgCO3 yang dihasilkan dari perlakuan dolomit akan membentuk ion-ion Mg2+ dan CO32- yang secara otomatis berpengaruh terhadap besaran nilai TDS dan pH karena Mg2+ termasuk bahan padatan terlarut, sedangkan CO32- akan bereaksi dengan air membentuk HCO3- dan OH- yang menyebabkan larutan sedikit mengalami peningkatan pH. Keberadaan Mg2+ dalam larutan tersebut dapat menyebabkan pada dosis yang sama, perlakuan dolomit memiliki nilai TDS dan pH sedikit lebih tinggi dibanding CaCO3. Pada dosis kurang dari 2000 ppm, kadar Ca2+ yang terdapat pada sentrat sebagai akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit ke dalam lindi relatif lebih tinggi dibanding kadar Ca2+ yang berasal dari perlakuan CaO maupun Ca(OH)2 (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini, akibat jumlah OH- yang dihasilkan dari perlakuan CaCO3 dan dolomit lebih rendah dibanding jumlah OH- yang dihasilkan dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Dampak selanjutnya, kemampuan mendisosiasi H+ pada koloid menjadi rendah mengakibatkan jumlah muatan negatif yang terbentuk pada koloid yang dihasilkan dari perlakuan CaCO3 dan dolomit juga menjadi lebih rendah dibanding perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Padahal, muatan negatif yang terbentuk mampu mengikat Ca2+ baik yang berasal dari lindi maupun yang berasal dari pemberian kapur. Secara rinci, pH dari keempat jenis kapur pada 11 dosis yang berbeda yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. pH pada sentrat dari perlakuan kapur Dosis (ppm) CaO Ca(OH)2
CaCO3
Dolomit
500
9,33 a
9,18 a
8,3 a
8,7 a
750
9,70 ab
9,55 ab
8,43 a
8,73 a
1000
10,50 abc
10,38 abc
8,5 a
8,73 a
1250
10,88 abc
10,7 abc
8,7 a
8,73 a
1500
11,50 bc
11,35 bc
8,73 a
8,78 a
1750
11,68 c
11,65 c
8,78 a
8,78 a
2000
11,83 c
11,80 c
8,8 a
8,78 a
3000
12,05 c
12 c
8,85 a
8,8 a
4000
12,15 c
12,1 c
8,85 a
8,83 a
5000
12,23 c
12,18 c
8,85 a
8,85 a
6000
12,25 c
12,18 c
8,85 a
8,85 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
101
4.3.2 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan. Demikian halnya dengan jumlah logam mikro non essensial (Pb, Cd dan Cr) dalam endapan, juga berbeda (Gambar 57 - Gambar 63). Secara rinci, gambaran kandungan logam-logam tersebut dalam endapan dari masing-masing jenis kapur dapat dilihat pada Gambar 57 – Gambar 63.
Gambar 57. Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur
Gambar 58. Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur
102
Gambar 59. Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur
Gambar 60. Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur
103
Gambar 61. Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur
Gambar 62. Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur
104
Gambar 63. Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur Kadar logam mikro essensial Cu dan Zn dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO maupun Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 57 dan Gambar 58). Demikian halnya kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm, juga lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 61 dan Gambar 62). Perilaku ini seperti yang dikemukakan oleh Davis dan Masten (2004) terjadi sebagai akibat pada pH yang semakin tinggi (di atas 9), logam-logam tersebut akan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang lebih tinggi sehingga pada pH > 9 logam tersebut cenderung berada dalam kondisi terlarut dan tetap berada dalam sentrat. Amer (1998) mengemukakan bahwa umumnya, tetapi tidak semua, presipitasi (pengendapan) logam hidroksida terjadi pada pH 8,5 sampai 9,5. Perubahan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd pada pH tinggi sebagai berikut (Davis dan Masten, 2004): • Pada pH > 9, Cu akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cu2+ + 2OH- ----- Cu(OH)2 (s) Cu(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Cu(OH)42-
105
• Pada pH > 9, Zn akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Zn2+ + 2OH- ----- Zn(OH)2 (s) Zn(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Zn(OH)42• Pada pH > 9, Pb akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Pb2+ + 2OH- ----- Pb(OH)2 (s) Pb(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Pb(OH)42• Pada pH > 9, Cd akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut. Cd2+ + 2OH- ----- Cd(OH)2 (s) Cd(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Cd(OH)42Perilaku kelarutan dari ke empat logam mikro (Cu, Zn, Pb dan Cd) pada berbagai pH digambarkan oleh Davis dan Masten (2004) sebagai berikut.
Gambar 64. Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai pH (Davis dan Masten, 2004)
106
Gambaran di atas menunjukkan bahwa solubilitas (kelarutan) akan menurun dan mencapai minimum pada pH antara ± 9 (pada Cu, Zn dan Pb) hingga pH ± 11 (pada Cd), tergantung jenis logamnya. Apabila pH ditingkatkan lagi dari pH pada titik minimum maka pada logam tersebut akan terbentuk senyawa kompleks dengan kelarutan yang semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm, kadar Cu, Zn, Pb dan Cd dalam endapan lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm.
Pada dosis 500 ppm, 1000 ppm dan 6000 ppm dari
perlakuan CaO maupun Ca(OH)2, pH berkisar antara 9,3 hingga 12,15. Oleh karenanya, apabila pH ditingkatkan lagi lebih dari 6000 ppm akan mengakibatkan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd akan semakin banyak berada dalam kondisi terlarut. Pada perlakuan pemberian kapur jenis CaCO3 maupun dolomit; kadar logam Cu, Zn, Pb dan Cd yang terdapat dalam endapan pada dosis yang makin tinggi dari 500 ppm hingga 6000 ppm justru masih menunjukkan peningkatan.
Hal ini berbeda dengan
perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Pada dosis yang sama, pH sebagai akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit lebih rendah dibanding pH akibat penambahan CaO maupun Ca(OH)2. Hal ini menunjukkan jumlah OH- akibat pemberian CaCO3 maupun dolomit lebih rendah dibanding peningkatan pH akibat pemberian CaO maupun Ca(OH)2 (Tabel 33). Nilai pH sebagai akibat pemberian CaCO3 dan dolomit hingga dosis 6000 ppm ternyata masih berada pada kisaran pH < 9.
Peningkatan konsentrasi OH- yang
menyebabkan pH masih berada dibawah pH 9 sebagai akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit menyebabkan logam Cu, Zn, Pb dan Cd masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan. Pada pH < 9, keempat logam tersebut (Cu, Zn, Pb dan Cd) belum membentuk senyawa komplek dengan solubilitas yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Pemberian CaO, Ca(OH)2, CaCO3 maupun dolomit) ternyata menyebabkan peningkatan jumlah logam Mn dan Fe pada endapan sejalan dengan pemberian kapur tersebut pada dosis yang semakin meningkat (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan solubilitas (kelarutan) dari logam besi (Fe) maupun Mangan (Mn) akan semakin rendah pada pH yang semakin tinggi sehingga mudah untuk diendapkan. Semakin tinggi dosis kapur yang diberikan mengakibatkan semakin tinggi pH. Semakin tinggi pH berarti semakin tinggi pula konsentrasi OH - dalam larutan dan hal ini akan menyebabkan semakin besar pula peluang untuk terjadi interaksi antara Mn atau Fe terlarut dengan OH- yang ada dalam larutan membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi lebih terakumulasi dalam
107
endapan. Menurut Vogel (1979), pembentukan senyawa hidroksida yang mudah mengendap dari Mn dan Fe dapat terjadi hingga pH 14. Perilaku yang sama dengan logam Mn dan Fe juga diperlihatkan oleh logam Cr. Kadar logam Cr dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO atau Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian kedua jenis kapur tersebut pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 63). Menurut Vogel (1979), pada pH > 9 hingga pH 12, Cr masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi pembentukan logam Cr menjadi senyawa hidroksida yang mudah mengendap ditunjukan oleh Vogel (1979) sebagai berikut: Cr3+ + 3OH- ----- Cr(OH)3 (s) Pada dosis 6000 ppm, kadar logam Mn dan Fe dari perlakuan CaCO3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini disebabkan pada dosis tersebut, pH dari perlakuan pemberian CaCO3 dan dolomit lebih rendah dibanding pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH)2. Otomatis, konsentrasi OH- dalam larutan yang diberi perlakuan CaCO3 dan dolomit juga lebih rendah yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pembentukan jumlah senyawa hidroksida maupun senyawa kompleks yang mudah mengendap yang terbentuk dari koloid dengan kedua logam tersebut lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Logam Cu, Zn, Mn dan Fe yang terdapat dalam endapan hasil pengolahan lindi dapat digunakan sebagai sumber hara mikro essensial; sedangkan logam-logam Pb, Cd dan Cr merupakan logam berat yang termasuk logam mikro non essensial yang belum diketahui manfaatnya bagi tanaman, bahkan logam tersebut apabila masuk ke dalam sistem metabolisme dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, ketiga logam tersebut (Pb, Cd dan Cr) perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jika bahan pupuk cair hasil olahan lindi mengandung ketiga logam tersebut, maka kadar dari logam-logam tersebut yang berada dalam bahan pupuk cair harus berada di bawah baku mutu. Berdasarkan aturan yang ditetapkan Menteri Pertanian tahun 2003, batas maksimal Pb dan Cd yang diperbolehkan dalam pupuk cair organik adalah : Pb kurang dari 50 ppm dan Cd kurang dari 10 ppm. Batas maksimal logam Cu, Mn, Pb dan Cd dalam pupuk cair anorganik adalah Cu 0,25% (2500 ppm), Mn 0,25% (2500 ppm), Pb 0,125% (1250 ppm) dan Cd 0,125% (1250 ppm). Jika dilihat dari jumlah logam tersebut dalam endapan lindi hasil penambahan 1000 ppm CaO dan Ca(OH)2 yang dijadikan sebagai perlakuan terpilih dari tahap percobaan ini dan kadar logam-logam tersebut yang ada pada endapan 108
lindi hasil penambahan CaCO3 dan dolomit juga pada dosis 1000 ppm seperti yang disajikan pada Tabel 34, kadar keempat logam tersebut (Cu, Mn, Pb dan Cd) dari perlakuan pemberian keempat jenis kapur pada dosis 1000 ppm masih berada di bawah baku mutu. Kisaran kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dari perlakuan pemberian masing-masing jenis kapur pada dosis 1000 ppm sebagai berikut. Tabel 34. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur Logam Mikro Non
Kadar Maksimal
Jenis Kapur
Dalam Pupuk Cair*
Essensial
CaO
Ca(OH)2
CaCO3
Dolomit
Cu (ppm)
8,23b
8,59b
5,2ª
12,24c
Zn (ppm)
30,02a
31,56a
17,99b
19,28b
Mn (ppm)
230,57c
196,48b
155,04a
184,94b
Fe (ppm)
320,95b
302,36ab
287,77a
320,72b
Pb (ppm)
10,34b
11,40b
4,29 a
10,52b
Cd (ppm)
6,93 a
8,27 a
8,81 a
8,46 a
Cr (ppm)
2,05ab
2ab
2,49b
1,31 a
Organik
Anorganik
Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan Tidak disebutkan < 50 ppm
0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan 0,25% (2500 ppm) Tidak disebutkan 0,125% (1250 ppm) 0,125% (1250 ppm) Tidak disebutkan
< 10 ppm Tidak disebutkan
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Angka di atas merupakan rata-rata dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan. * Standar minimal pupuk cair berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 09/Kpts/TP.260/I/2003
4.3.3
Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 65, ternyata
pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik pada endapan. Gambaran jumlah bahan organik pada endapan dari masing-masing jenis kapur sebagai berikut.
109
Gambar 65. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian kapur pada tiga dosis yang berbeda Gambar 65 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan menyebabkan jumlah bahan organik dalam endapan makin tinggi. Pada dosis 6000 ppm dari keempat jenis kapur menunjukkan jumlah bahan organik yang lebih tinggi dibanding pada dosis 500 ppm ataupun 1000 ppm. Fenomena ini dapat disebabkan pada pH yang tinggi sebagai akibat pemberian kapur pada dosis 6000 ppm, logam dan koloid organik dapat lebih berinteraksi membentuk flok yang mudah untuk diendapkan sehingga keduanya menjadi lebih terakumulasi dalam endapan. Gambar 66 menunjukkan bahwa jumlah bahan organik pada endapan dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 lebih tinggi dibanding pada perlakuan CaCO3 dan dolomit. Kondisi ini terkait dengan kemampuan CaO dan Ca(OH)2 dalam menyumbangkan lebih banyak OH- sehingga kedua jenis kapur tersebut lebih mampu dalam memicu terjadinya disosiasi H+ pada koloid organik dibanding CaCO3 dan dolomit. Hal ini menyebabkan CaO dan Ca(OH)2 lebih mampu dalam menyebabkan pembentukan flok yang mudah mengendap antara koloid organik dengan logam terlarut dibanding CaCO3 maupun dolomit.
110
Gambar 66. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur
4.3.4 Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur) Dari hasil penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 35 didapatkan bahwa nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat dari kedua perlakuan fisik yang berbeda (sentrifugasi atau pengocokan) menunjukkan hasil yang berbeda.
Nilai TDS yang
terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dan nyata berbeda dibanding nilai TDS pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan, sedangkan pH pada perlakuan sentrifugasi meskipun lebih tinggi, namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan pengocokan. Di lain pihak, rata-rata Ca dalam sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi justru lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pengocokan. Diduga gaya sentrifugal dapat lebih membantu memperlancar terjadi reaksi antara air yang ada dalam lindi dengan kapur sehingga proses peruraian kapur menjadi Ca2+ dan OH- lebih intensif dibanding pada proses pengocokan. Hal ini selanjutnya mengakibatkan pada perlakuan sentrifugasi jumlah Ca2+ dan OH- menjadi lebih banyak dalam larutan dibanding proses pengocokan (Tabel 35).
111
Tabel 35. Nilai TDS, pH dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda Sifat Kimia Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 3523a 3672b pH 10,00a 9,96a Ca (ppm) 12,45a 10,66b Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Keberadaan OH- yang lebih banyak dalam larutan pada perlakuan sentrifugasi menyebabkan peluang terbentuknya senyawa kompleks yang mudah mengendap dari logam terlarut dengan koloid menjadi lebih banyak dan keberadaaan OH- yang tinggi juga dapat menyebabkan peluang terbentuk senyawa hidroksida dari logam Mn dan Fe akan semakin besar menyebabkan kedua logam tersebut akan makin banyak pada endapan. Kedua hal ini akan menyebabkan nilai TDS pada sentrat menjadi lebih rendah.
Gambar 67. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur)
112
1285
Kadar Bahan Organik (ppm)
1300
1250 1180 1200
1150
1100 Sentrifugasi
Pengocokan Prose Fisik
Gambar 68. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan kapur)
4.3.5
Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur) Hal yang juga harus diperhatikan dalam penentuan jenis dan dosis kapur yang
dipilih untuk diterapkan dalam pengolahan lindi menjadi bahan pupuk cair adalah nilai TDS dan kadar Ca2+ pada sentrat. Nilai dari kedua parameter tersebut harus minimal karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Ca yang masih tersisa yang terdapat pada sentrat karena sentrat nantinya akan dibuang ke lingkungan setelah endapan lindi hasil pengolahan aerasi selesai diproses menjadi bahan pupuk cair melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan.
Apabila nilai TDS pada sentrat
memiliki nilai terendah maka diharapkan di dalam sentrat mengandung polutan dengan kadar yang paling rendah, baik yang berupa Ca2+ yang berasal dari pemberian kapur, logam-logam terlarut lainnya maupun bahan organik yang memang sudah ada sebelumnya dalam lindi. Semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, semakin rendah pula bahan-bahan yang tidak diinginkan yang terkandung di dalamnya sehingga menyebabkan sentrat menjadi semakin aman untuk dibuang ke lingkungan. Di lain pihak, semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, berarti semakin tinggi kadar logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan hingga endapan ini memiliki peluang yang lebih baik untuk difungsikan sebagai sumber hara bagi tanaman. 113
Selain nilai TDS pada sentrat, kadar Ca2+ pada sentrat selayaknya juga menjadi dasar dalam penentuan dosis terpilih karena apabila kadar Ca2+ pada sentrat yang berasal dari lindi maupun Ca2+ yang berasal dari kapur yang ditambahkan pada saat pembuatan pupuk cair masih tinggi dan sentrat tersebut dibuang ke lingkungan, dikhawatirkan Ca2+ dapat menjadi sumber pencemaran, mengingat Ca2+ merupakan salah satu bahan yang dapat menyebabkan kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan dapat menyebabkan sabun tidak berbusa. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan pemborosan dalam penggunaan sabun. Selain itu, kesadahan juga dapat menyebabkan terjadi kerak pada ketel uap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 1000 ppm memiliki nilai TDS yang paling rendah dan kadar Ca2+ dalam sentrat juga relatif rendah dibanding pada dosis lainnya maupun dibanding perlakuan CaCO3 maupun dolomit (Gambar 51 - Gambar 54). Nilai TDS pada sentrat mencapai minimum pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menggambarkan kadar padatan terlarut pada sentrat berada pada kondisi paling minim sekaligus mencerminkan secara keseluruhan jumlah logam terlarut atau bahan organik yang dapat diendapkan mencapai maksimum dengan kadar logam mikro, khususnya Cu, Mn, Pb dan Cd masih berada di bawah baku mutu untuk digunakan sebagai pupuk cair berdasarkan baku mutu yang dikeluarkan Menteri Pertanian tahun 2003 (Tabel 34). Dengan alasan tersebut di atas, maka perlakuan yang mewakili perlakuan kapur dan dianggap layak digunakan dalam proses pembuatan pupuk cair baik melalui proses lanjutan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan adalah pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2. Namun demikian, bila dilihat dari data pada Tabel 34, pada perlakuan pemberian 1000 ppm Ca(OH)2, kadar logam berat Pb dan Cd pada endapan yang akan dijadikan pupuk cair lebih tinggi dibanding kadar logam tersebut pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Oleh karenanya endapan lindi yang layak dijadikan pupuk cair berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Gambaran visual dari sentrat dari perlakuan kapur disajikan pada Gambar 69.
114
Gambar 69. Sentrat setelah proses sentrifugasi Gambar 69 menunjukkan pada 2 botol yang paling kanan yang berisi sentrat dari perlakuan pemberian 6000 ppm kapur (CaO dan Ca(OH)2) yang disentrifugasi berwarna bening dan tembus pandang. Namun bukan berarti di dalam cairan tersebut mengandung kadar bahan terlarut yang minimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, nilai TDS dan kadar Ca pada sentrat dari perlakuan tersebut paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. 4.4 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat maupun Endapan Perlakuan pemberian bahan oksidator KMnO4 pada empat dosis yang berbeda (0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa pemberian 1000 ppm kapur (CaO atau Ca(OH)2) pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata memberikan hasil yang berbeda terhadap beberapa parameter kimia pada sentrat maupun pada endapan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan pembuatan pupuk cair dari bahan tersebut disajikan pada Tabel Lampiran 9 dan 10. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan KMnO4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO4 yang diberikan semakin tinggi menyebabkan peningkatan nilai TDS dan kadar Mn pada 115
sentrat.
Pada perlakuan pemberian KMnO4 yang semakin tinggi, pH hanya sedikit
mengalami perubahan hingga tidak berbeda nyata dibanding tanpa penambahan KMnO4. Namun demikian, ada kecenderungan, pH makin menurun dengan semakin tinggi dosis KMnO4 yang diberikan. Di lain pihak, pada perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan pH yang nyata lebih tinggi dibanding tanpa penambahan KMnO4. Pada perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO4 ditingkatkan menyebabkan kadar beberapa logam mikro pada endapan cenderung mengalami peningkatan. Meskipun demikian, ada juga logam mikro lainnya yang mengalami penurunan sejalan dengan dosis KMnO4 yang makin meningkat. Kondisi tersebut juga terjadi pada perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2, kadar beberapa logam mikro pada endapan ada yang mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 cenderung mengalami penurunan bila dosis KMnO4 makin ditingkatkan. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2 lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa kapur. Secara rinci, nilai-nilai dari parameter kimia yang diukur saat percobaan ini akan diuraikan di bawah ini. 4.4.1 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Nilai TDS, pH, Kadar Mn dan Ca, pada Sentrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan terhadap beberapa parameter kimia (nilai TDS, kadar Mn dan pH) pada sentrat. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Gambar 70, 71 dan 72.
116
Gambar 70. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO4 Nilai TDS mengalami peningkatan sejalan dengan makin meningkatnya dosis KMnO4 (Gambar 70). Peningkatan nilai TDS ini ternyata berkaitan dengan peningkatan kadar Mn pada sentrat. Kadar Mn pada sentrat akibat pemberian KMnO4 pada dosis 0,03% lebih tinggi dibanding kadar Mn akibat pemberian KMnO4 pada dosis 0,02%, 0,01% dan 0% (Gambar 71).
Gambar 71. Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO4 117
Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), apabila KMnO4 ditambahkan ke dalam larutan yang bersifat basa, KMnO4 tersebut akan bereaksi dengan air menghasilkan endapan MnO2. Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO4-
+
H2O
------->
MnO2 (s)
+
OH-
Lindi yang digunakan dalam percobaan ini bersifat basa karena memiliki pH 8 hingga pH 9. KMnO4
Merujuk pada reaksi di atas, apabila pada lindi tersebut diberikan
pada dosis yang
makin
meningkat
tanpa penambahan
kapur dapat
menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menghasilkan endapan MnO2 dan OH-. Namun demikian, dengan semakin tinggi konsentrasi KMnO4 yang diberikan, sedangkan volume lindi sama, tetap akan menyebabkan lebih banyak MnO4- tersisa yang tetap berada dalam larutan mengakibatkan MnO4- pada sentrat menjadi lebih banyak dibanding jumlah MnO4- pada sentrat yang berasal dari perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis yang lebih rendah. Oleh karena MnO4- merupakan salah satu bahan padatan terlarut yang dapat mempengaruhi nilai TDS, maka bila bahan tersebut pada sentrat makin meningkat sebagai akibat pemberian KMnO4 pada dosis yang makin meningkat menyebabkan nilai TDS juga makin meningkat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan pH akibat pemberian KMnO4 pada dosis yang makin tinggi. Namun hal ini tidak menyebabkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan tanpa kapur dan tanpa KMnO4 (Gambar 72). Penurunan pH dapat diakibatkan oleh H+ yang dihasilkan dari reaksi pembentukan logam hidroksida. H+ merupakan penyebab kemasaman. Reaksi pembentukan H+ digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO4-
+ 3Fe2+ + 7 H2O
----->
MnO2(s) + 3Fe(OH)3(s) + 5H+
Reaksi di atas menunjukkan bahwa OH- yang dihasilkan dari MnO4- dan H2O akan digunakan oleh logam terlarut Fe2+ membentuk logam hidroksida (Fe(OH)3) yang mudah mengendap dengan menghasilkan H+. Di lain pihak, pada dosis KMnO4 yang sama terdapat perbedaan nilai TDS maupun kadar Mn pada sentrat antara perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur (CaO atau Ca(OH)2) dengan perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 (Gambar 70 dan 71). Pada dosis KMnO4 yang sama, nilai TDS dari perlakukan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan
118
penambahan CaO ataupun Ca(OH)2 lebih rendah dibanding nilai TDS pada perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH)2. Hal ini dapat disebabkan pada perlakuan yang ditambahkan CaO atau Ca(OH)2 terjadi peningkatan konsentrasi OH- yang ditunjukkan oleh nilai pH yang lebih tinggi dibanding tanpa penambahan bahan tersebut (Gambar 72). Peningkatan konsentrasi OH- menyebabkan koloid terdisosiasi sehingga muatan negatif dari koloid juga meningkat yang mengakibatkan jumlah logamlogam terlarut termasuk Mn yang berasal dari penambahan KMnO4 maupun Ca yang berasal dari penambahan kapur akan berikatan dengan koloid tersebut membentuk flok yang mudah mengendap. Selanjutnya dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan), flok tersebut akan membentuk endapan. Disamping itu, jumlah senyawa hidroksida yang mudah mengendap yang terbentuk dari logam Mn atau logam terlarut lainnya dengan OHjuga makin tinggi. Kedua hal tersebut menyebabkan jumlah Mn maupun logam-logam terlarut lainnya dalam sentrat makin berkurang. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan nilai TDS pada sentrat. Pada
perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO atau
Ca(OH)2, apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, juga menyebabkan pH menjadi menurun (Gambar 72). Penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan suasana menjadi lebih basa dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur tersebut. Pada kondisi suasana lebih basa akan lebih banyak OH- dalam larutan. Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), OH- berlebih yang ada dalam larutan akan digunakan oleh ion permanganat (MnO4-) membentuk ion manganat (MnO42-). Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut. MnO4-
+
OH-
----------->
MnO42-
Penggunaan OH- dalam pembentukan ion manganat (MnO42-) oleh ion permanganat (MnO4-) mengakibatkan pH pada perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis yang makin meningkat yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 akan mengalami penurunan. Apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, MnO4- yang akan menggunakan OH- dalam larutan akan makin banyak hingga pH akan menurun.
119
Gambar 72. pH pada sentrat dari perlakuan KMnO4 4.4.2
Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro pada Endapan Gambar 73 sampai dengan Gambar 79 menunjukkan bahwa pemberian bahan
oksidator KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar logam mikro dalam endapan. Pada perlakuan tanpa kapur, semakin meningkat KMnO4 yang diberikan menyebabkan logam Cu, Zn, Mn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan makin meningkat. Hal ini dapat disebabkan pemberian KMnO4 pada lindi yang bersifat basa menyebabkan pembentukan endapan mangan dioksida (MnO2) dan juga dihasilkan ion hidroksil (OH-). Reaksi tersebut seperti yang digambarkan oleh Cotton dan Wilkinson (1989) sebagai berikut: MnO4-
+
H2O
------->
MnO2(s) +
OH-
OH- yang dihasilkan dari reaksi tersebut tidak menyebabkan pH > 9 (Gambar 72), sehingga OH- yang dihasilkan akan digunakan untuk berikatan dengan logam terlarut yang ada dalam lindi membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan dengan cara sentrifugasi maupun pengocokan. Secara lengkap, contoh reaksi pengendapan logam besi sebagai akibat pemberian KMnO4 digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut:
120
MnO4-
+ 3Fe2+ + 7 H2O
----->
MnO2(s) + 3Fe(OH)3(s) + 5H+
Reaksi di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis KMnO4 yang diberikan akan menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menjadikan semakin banyak MnO2 pada endapan, endapan logam hidroksida dan H+. Kondisi sebaliknya terjadi pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2. Apabila dosis KMnO4 ditingkatkan justru menyebabkan kadar logam Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan menjadi makin rendah sebagai akibat terjadi reaksi yang justru memanfaatkan OH- oleh MnO4- membentuk senyawa lain.
Cotton dan Wilkinson (1989)
menggambarkan reaksi permanganat pada suasana sangat basa dengan kadar KMnO 4 yang makin meningkat sebagai berikut: MnO4- + OH- -----> MnO42- + H2O Reaksi tersebut menggambarkan bahwa perlakuan pemberian KMnO4 pada pH tinggi sebagai akibat penambahan kapur tidak menghasilkan OH-, tetapi justru memanfaatkan OH- yang ada dalam larutan dengan menghasilkan ion manganat (MnO42-). Semakin tinggi KMnO4 berarti kadar MnO4- dalam larutan semakin tinggi karena menurut Cotton dan Wilkinson (1989), KMnO4 dalam larutan akan berubah menjadi ion K+ dan MnO4-. Apabila jumlah MnO4- semakin banyak maka jumlah OH- yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan MnO4- membentuk MnO42- juga semakin banyak hingga menyebabkan jumlah OH- dalam larutan yang seharusnya bereaksi dengan logam terlarut membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan menjadi semakin sedikit. Hal inilah yang menyebabkan pada dosis KMnO4 yang semakin tinggi, bila ditambahkan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2, pH semakin menurun dan kadar logam (Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd) dalam endapan juga semakin menurun.
121
Gambar 73. Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO4
Gambar 74. Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO4
122
Gambar 75. Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO4
Gambar 76. Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO4
123
Gambar 77. Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO4
Gambar 78. Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO4
124
Gambar 79. Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO4 Gambar 80 memperlihatkan bahwa pada dosis KMnO4 yang semakin meningkat, baik tanpa maupun dengan penambahan kapur menyebabkan kadar Ca dalam sentrat semakin menurun. Hal ini diduga merupakan akibat terbentuk senyawa yang mudah mengendap dari Ca. Di lain pihak, pada perlakuan tanpa kapur, bila dosis KMnO4 ditingkatkan menyebabkan penurunan kadar Cr dalam endapan, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan kapur justru berlaku sebaliknya, Cr dalam endapan makin bertambah bila dosis KMnO4 makin tinggi. Hal ini diduga pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm kapur akan menyebabkan logam Cr mengalami pengendapan (Gambar 79).
125
Gambar 80. Kadar Ca (ppm) pada sentrat dari perlakuan KMnO4 4.4.3
Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Bahan Organik pada Endapan Hasil penelitian
seperti
yang
disajikan
pada
Gambar 81 dan Gambar 82
menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar bahan organik dalam endapan. Tabel tersebut terlihat bahwa baik pada perlakuan tanpa maupun dengan penambahan CaO atau Ca(OH)2, semakin tinggi konsentrasi KMnO4 yang diberikan menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan semakin menurun. Hal ini dapat terjadi pada perlakuan tanpa kapur akibat proses oksidasi bahan organik oleh KMnO4 dengan bantuan H+ yang dihasilkan dari reaksi antara MnO4-, logam terlarut dan air membentuk logam hidroksida yang mudah mengendap. Reaksi tersebut digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut: MnO4-
+ 3Fe2+ + 7 H2O
----- > MnO2 + 3Fe(OH)3(s) + 5H+
H+ yang dihasilkan dari reaksi di atas akan digunakan untuk mengoksidasi bahan organik. Sebagai contoh reaksi toluena dengan KMnO4 adalah sebagai berikut (Takeuchi, 2008). 5C6H5CH3 + 6MnO4- + 18 H+ –> 5C6H5COOH + 6Mn+2 126
Berdasarkan reaksi di atas, apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, maka MnO4- yang dihasilkan akan semakin banyak. Demikian halnya dengan H+ yang dihasilkan juga semakin banyak dan H+ tersebut akan digunakan untuk proses oksidasi bahan organik. Apabila proses oksidasi semakin intensif, maka bahan organik akan menjadi berkurang. Pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO maupun Ca(OH)2, bahan organik dalam endapan juga semakin menurun bila dosis KMnO4 yang diberikan semakin meningkat. Pada kasus ini, penurunan bahan organik dapat disebabkan pada dosis KMnO4 yang semakin meningkat akan terjadi penggunaan OH- oleh MnO4berlebih membentuk MnO42-. Penggunaan OH- akan menyebabkan terjadi penurunan jumlah OH- dalam larutan hingga berdampak pada penurunan pembentukan jumlah muatan negatif pada koloid organik. Penurunan pembentukan muatan negatif pada koloid organik selanjutnya mengakibatkan proses pengikatan logam terlarut oleh koloid organik membentuk flok yang mudah diendapkan juga makin berkurang. Gambaran rata-rata kadar bahan organik dari perlakuan pemberian KMnO4 pada empat dosis yang berbeda disajikan pada Gambar 81 dan kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO4 tanpa maupun dengan penambahan kapur (CaO atau Ca(OH)2) disajikan pada Gambar 82.
Gambar 81. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4 pada empat dosis yang berbeda
127
Gambar 82. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4 Gambar 82 menunjukkan bahwa pada dosis KMnO4 yang sama, perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2 menyebabkan kadar bahan organik dalam endapan lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH)2. 4.4.4
Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO4) Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan nilai dari beberapa parameter
kimia pada sentrat maupun endapan sebagai akibat proses fisik yang berbeda. Nilai TDS, kadar Ca dan Mn yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dibanding nilai dari ketiga parameter tersebut yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan.
Hal sebaliknya terjadi pada nilai dari
beberapa parameter kimia yang terdapat pada endapan. Kadar logam mikro maupun bahan organik yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih tinggi dibanding nilai dari parameter tersebut yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan pengocokan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sentrifugasi pada lindi yang diberi perlakuan penambahan KMnO4 lebih mampu mengendapkan logam-logam terlarut dan bahan organik dibanding proses pengocokan. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 36, Gambar 83 dan Gambar 84. 128
Tabel 36. Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) Parameter Sentrifugasi Pengocokan TDS (ppm) 2692a 2722a pH 9,62a 9,54a Ca (ppm) 1,35a 1,59a Mn (ppm) 0,31a 0,53b Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Gambar 83. Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4)
Gambar 84. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda (perlakuan penambahan KMnO4) 129
4.4.5
Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMnO4) Hal terpenting dalam penentuan dosis KMnO4 yang akan diterapkan dalam
pembuatan pupuk cair dari lindi adalah nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Mn dan Ca yang ada pada sentrat setelah KMnO4 atau kapur ditambahkan pada saat proses pengolahan. Nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat yang diinginkan adalah yang paling minimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan KMnO4 pada dosis 0,01% baik tanpa maupun dengan penambahan kapur memberikan nilai TDS dan kadar Mn pada sentrat lebih rendah dibanding perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis 0,02% maupun 0,03% (Gambar 70 dan Gambar 71). Pada perlakuan pemberian 0,01% KMnO4 yang ditambahkan kapur (1000 ppm CaO atau Ca(OH)2) menunjukkan kadar logam mikro essensial Cu, Zn dan Fe pada endapan lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian KMnO4 0,02% atau 0,03%. Atas dasar hal tersebut, pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan dari perlakuan penambahan KMnO4 yang dipilih untuk diaplikasikan pada percobaan rumah kaca adalah endapan yang dihasilkan dari perlakuan penambahan 0,01% KMnO4 baik dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO. 4.4.6
Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi Kelayakan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi TPA sampah ditentukan oleh kadar
hara makro dan hara mikro serta jumlah bakteri patogen yang terdapat di dalamnya. Jumlah bakteri patogen diindikasikan oleh jumlah E. coli. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan kadar hara makro, hara mikro dan jumlah E. coli yang terdapat pada endapan lindi dengan atau tanpa penambahan kapur maupun KMnO4 yang diujicobakan pada percobaan rumah kaca serta kesesuaiannya dengan Standar Minimal Pupuk Cair yang telah ditetapkan Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2003 seperti yang disajikan pada Tabel 37, 38 dan 39. Kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) maupun kadar logam mikro non essensial (Pb dan Cd) dalam edapan lindi yang dijadikan bahan pupuk cair masih berada di bawah Standar Minimal Pupuk Cair Organik yang ditetapkan Menteri Pertanian RI tahun 2003, sedangkan kadar E. coli tidak disebutkan dalam standar tersebut, namun kadar E. coli yang terdapat dalam bahan pupuk cair dari lindi masih berada di bawah standar mutu air baku untuk minum.
130
Tabel 37. Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian Lindi Lindi disentrifugasi Lindi dikocok Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO dikocok Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
Kadar Hara Makro dalam Endapan (ppm) N
P
K
Ca
Mg
Persyaratan Pupuk Organik Cair *
S
6,23 121,42 98,26
12,32 31,43 26,75
87,33 845,68 731,65
97,46 393,60 326,41
91,06 264,50 234,43
8,42 16,80 12,39
375,83
121,44
948,11
8300
959,50
48,53
324,54
97,76
827,68
7970
873,98
37,52
144,55
62,47
1040,58
523,05
324,77
28,26
137,21
54,27
1015,63
496,29
296,38
24,92
306,40
93,90
1023,08
8146,10
897,50
39,23
287,42
86,77
986,73
7612,36
864,93
32,84
Lauxin
6500
5100
9100
3300
2100
-
Alami
88000
10000
21700
-
1000
-
Kontanik
158100
63500
61700
-
1100
116300
Petrovita
88200
62100
64700
4,66
3000
189000
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
131
Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Pupuk Tunggal
N tidak disebutkan
Ntotal ≥ 20%
P2O5 tidak disebutkan
P2O5 < 8%
Pupuk Majemuk
Total N, P2O5 dan K2O ≥ 10%
K2O tidak disebutkan
K2O < 15%
Tabel 38. Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian
Kadar Logam Mikro (ppm) Cu
Zn
Mn
Fe
Pb
Cd
Cr
Lindi
0,13
0,45
4,91
11,00
0,03
0,11
0,28
Lindi disentrifugasi
9,66
12,52
165,58
261,65
12,88
7,02
2,17
Lindi dikocok
5,98
8,19
126,51
240,94
7,05
6,23
1,71
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
9,83
35,68
264,81
348,24
13,53
7,86
2,27
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
6,63
24,36
196,33
293,65
7,15
7,06
1,83
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
13,75
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
19,28
435,27
316,76
13,96
9,09
1,98
12,96
418,21
258,87
9,93
8,23
2,17
16,72
39,42
429,25
362,82
16,25
9,62
2,43
12,77
30,55
410,87
305,88
14,32
8,84
1,87
20,00
8,00
24,70
-
-
-
-
85
30,00
85,00
16
-
-
-
Kontanik
< 0,003
363700
-
9000
-
-
-
Petrovita
1000
37,22
57,58
2000
-
-
-
Alami
Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Pupuk Tunggal
Pupuk Majemuk
Zn < 2500 ppm
7,79
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok Lauxin
Persyaratan Pupuk Organik Cair *
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
132
Pb < 50 ppm
Cu < 2500 ppm Cu < 10000 ppm
Cd < 10 ppm
Mn < 2500 ppm Fe < 400 pm
Tabel 39. Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian
Kadar Logam Mikro dalam Endapan (ppm) E. coli (MPN/100 ml) 530
Bahan Organik (ppm) 150
Lindi disentrifugasi
4280
920
Lindi dikocok
3970
840
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
2030
1300
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
1940
1220
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
1880
900
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
1690
840
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
1260
1160
1130
1080
Lindi
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi. * Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003
133
Persyaratan Pupuk Organik Cair *
C-organik ≥ 6% E. coli tidak disebutkan
Persyaratan Pupuk Anorganik Cair * Pupuk Tunggal
C-organik tidakdisebutkan E. coli tidak disebutkan
Pupuk Majemuk
C-organik tidak disebutkan E. coli tidak disebutkan
4.5 Hasil Percobaan Rumah Kaca Pemberian pupuk cair ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik dibanding tanpa pemberian bahan tersebut. Namun di lain pihak, pemberian pupuk cair sebagai pupuk daun yang mengandung logam mikro seperti halnya Pb, Cd dan Cr dapat menimbulkan kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Hal ini dapat terjadi apabila pemberian bahan tersebut menyebabkan kadar logam mikro Pb, Cd dan Cr dalam bagian tanaman yang dikonsumsi manusia berada di atas ambang batas yang dapat ditoleransikan. Oleh karena itu, pemantauan terhadap kadar logam tersebut dalam bagian tanaman yang akan dikonsumsi manusia harus sangat diperhatikan. Hasil percobaan rumah kaca dengan mengaplikasikan pupuk cair berbahan dasar lindi maupun pupuk cair komersial sebagai pupuk daun memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini diperlihatkan oleh tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah yang bervariasi dan berbeda nyata dibanding kontrol. Dari hasil percobaan ini juga didapatkan bahwa pengaplikasian pupuk cair berbahan dasar lindi sebagai pupuk daun ternyata tidak menyebabkan kadar beberapa logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan rumah kaca disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan nilai dari masing-masing parameter yang diperoleh dari percobaan rumah kaca akan diuraikan di bawah ini. 4.5.1 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang tidak diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 85 - Gambar 87, sedangkan hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95. Di antara pupuk cair yang tidak diperkaya dengan hara NPK menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan penambahan 1000 ppm CaO menunjukkan bobot brangkasan, bobot buah dan jumlah buah tertinggi.
134
Gambar 85. Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK)
Gambar 86. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) 135
Gambar 87. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK) Gambar 92 - Gambar 95 menunjukkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Data pada Tabel 40 menunjukkan bahwa pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot barngkasan, jumlah buah dan bobot buah) dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding kontrol. Tabel 40 juga memperlihatkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial juga nyata lebih tinggi dibanding kontrol dan tidak berbeda nyata dibanding tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pemberian 1000 CaO yang diperkaya dengan hara NPK maupun perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 yang diperkaya dengan hara makro NPK. Jumlah parameter yang nyata berbeda maupun tidak berbeda nyata dibanding kontrol dari perlakuan-perlakuan yang dicobakan disajikan pada Tabel 40.
136
Tabel 40. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial Perlakuan
Tinggi Tanaman
Bobot Brangkasan
Jumlah Buah
Bobot Buah
Σ parameter yang Nyata Berbeda Dibanding Kontrol + NPK
Kontrol
26,50 a
8,34 a
0,5 a
1,49 a
-
-
+ NPK
27,75 ab
9,01 a
1,0 ab
3,32 ab
-
-
Lindi S
28,50 abc
9,13 a
1,5 abc
4,67 ab
-
-
Lindi P
28,00 ab
9,13 a
1,0 ab
3,36 ab
-
-
Lindi S + NPK
31,50 bcde
12,82 abcd
2,5 abc
9,24 abcd
1
-
Lindi P + NPK
31,00 bcde
12,42 abcd
2,5 abc
7,65 abc
1
-
Lindi + CaO 1000 ppm S
29,00 abcd
12,29 abcd
2,5 abc
8,42 abcd
-
-
Lindi + CaO 1000 ppm P
28,50 abc
10,92 abc
2,0 abc
6,21 ab
-
-
Lindi + CaO 1000 ppm S + NPK
32,50 de
17,24 cd
7,0 e
24,23 g
4
4
Lindi + CaO 1000 ppm P + NPK
32,00 cde
16,37 bcd
5,0 de
17,71 defg
4
4
Lindi + KMnO4 0,01% S
28,50 abc
10,75 abc
2,0 abc
6,32 ab
-
-
Lindi + KMnO4 0,01% P
28,50 abc
10,47 ab
1,5 abc
5,07 ab
-
-
Lindi + KMnO4 0,01% S + NPK
32,00 cde
15,79 bcd
3,5 cd
12,53 bcdef
4
3
Lindi + KMnO4 0,01% P + NPK
31,50 bcde
14,26 abcd
3,0 bcd
9,83 abcde
2
-
29,00 abcd
11,58 abcd
2,5 abc
8,28 abcd
-
-
28,50 abc
10,64 ab
1,5 abc
5,55 ab
-
-
32,00 cde
16,77 bcd
6,5 e
22,39 fg
4
4
32,00 cde
16,08 bcd
5,0 de
17,64 cdefg
4
4
Alami
32,50 de
16,59 bcd
6,0 e
19,68 efg
4
4
Lauxin
32,00 cde
16,93 bcd
3,0 cd
11,24 abcde
3
3
Petrovita
32,50 de
16,52 bcd
6,5 e
23,23 g
4
4
Kontanik
34,00 e
17,90 d
7,0 e
25,54 g
4
4
Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% S Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% P Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% S + NPK Lindi + CaO 1000 ppm + KMnO4 0,01% P + NPK
Ket : Angka yang diikuti oleh hiruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata dibanding kontrol pada taraf 1% S = Sentrifugasi P = Pengocokan
Tabel 40 memperlihatkan bahwa diantara perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi, pertumbuhan (tinggi dan bobot brangkasan) dan produksi tanaman (jumlah buah dan bobot buah) tertinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol pada keempat parameter tersebut terdapat pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang disentrifugasi atau dikocok dan
137
diperkaya dengan hara NPK maupun pada perlakuan penambahan 1000 ppm CaO dan KMnO4 0,01% yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK. Pada perlakuan penambahan KMnO4 0,01% yang disentrifugasi dan diperkaya dengan hara NPK, parameter yang nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian NPK hanya untuk tiga parameter saja, yakni tinggi, bobot brangkasan dan jumlah buah. Pada perlakuan pemberian pupuk cair dari lindi (tanpa penambahan kapur atau KMnO4) yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK, meskipun pada keempat parameter (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah) memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding kontrol, namun tiga dari keempat parameter tersebut yakni bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah belum menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kontrol. Pada perlakuan tersebut hanya tinggi tanaman saja yang berbeda nyata dibanding kontrol. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO maupun pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 menyamai pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial. Pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO maupun penambahan 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 yang diberi perlakuan fisik sentrifugasi atau pengocokan mengandung hara makro N, P, Ca dan S tertinggi serta hara mikro seperti Cu, Zn, Mn dan Fe yang juga cukup tinggi (Tabel 37 dan Tabel 38). Apabila jumlah hara tersebut tercukupi, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan menjadi lebih baik. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol, juga lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding pertumbuhan dan produksi dari tanaman yang hanya diberi NPK (Tabel 40). Hal ini disebabkan pada pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ini, juga terdapat unsur hara makro NPK dan unsur hara mikro essensial yang lebih tinggi dibanding kedua perlakuan tersebut. Kadar hara makro NPK dan hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe pada pupuk cair komersial disajikan pada Tabel 41. Pada masing-masing pupuk cair komersial, jumlah unsur tersebut bervariasi. Akibat keberadaan hara NPK pada pupuk cair komersial lebih tinggi dilengkapi dengan hara mikro essensial pada pupuk cair komersial, maka kebutuhan tanaman akan unsur-unsur tersebut menjadi lebih terpenuhi dibanding kontrol. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), unsur N dibutuhkan tanaman dalam penyusunan
138
protein dan meningkatkan kadar selulosa, unsur P dibutuhkan tanaman untuk menyusun jaringan tanaman, pembentukan bunga dan organ untuk reproduksi, sedangkan unsur K dibutuhkan tanaman untuk pengembangan sel dan mengatur tekanan osmosis. Jenis dan jumlah unsur hara makro dan hara mikro yang terkandung pada masing-masing pupuk cair komersial yang digunakan pada penelitian ini bervariasi. Secara rinci, kadar unsur hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar hara makro maupun hara mikro yang terkandung dalam pupuk cair komersial disajikan pada Tabel 41.
139
Tabel 41. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian Kadar Logam Mikro (ppm)
Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian N Lindi
P
K
Ca
Mg
S
Cu
Zn
Mn
Fe
6,23
12,32
87,33
97,46
91,06
8,42
0,13
0,45
4,91
11,00
121,42
31,43
845,68
393,60
264,50
16,80
9,66
12,52
165,58
261,65
98,26
26,75
731,65
326,41
234,43
12,39
5,98
8,19
126,51
240,94
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi
375,83
121,44
948,11
8300
959,50
48,53
9,83
35,68
264,81
348,24
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok
324,54
97,76
827,68
7970
873,98
37,52
6,63
24,36
196,33
293,65
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
144,55
62,47
1040,58
523,05
324,77
28,26
13,75
19,28
435,27
316,76
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok
137,21
54,27
1015,63
496,29
296,38
24,92
7,79
12,96
418,21
258,87
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi
306,40
93,90
1023,08
8146,10
897,50
39,23
16,72
39,42
429,25
362,82
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok
287,42
86,77
986,73
7612,36
864,93
32,84
12,77
30,55
410,87
305,88
Lauxin
6500
5100
9100
3300
2100
-
20,00
8,00
24,70
-
Alami
88000
10000
21700
-
1000
-
85
30,00
85,00
16
158100
63500
61700
-
1100
116300
< 0,003
363700
-
9000
88200
62100
64700
4,66
3000
189000
1000
37,22
57,58
2000
Lindi disentrifugasi Lindi dikocok
Kontanik
Petrovita
140
4.5.2
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Hasil penelitian yang terkait dengan jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan
bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair yang diproses melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Gambar 88 - Gambar 91. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui proses fisik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan yang ditunjukkan oleh jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses sentrifugasi lebih tinggi dibanding jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses pengocokan. Hal ini disebabkan pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui sentrifugasi mengandung hara makro dan hara mikro lebih tinggi dibanding kadar hara tersebut yang ada dalam bahan pupuk cair yang diolah melalui proses pengocokan mengakibatkan kebutuhan akan unsur-unsur tersebut pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses sentrifugasi lebih terpenuhi dibanding pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pengocokan. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui proses fisik yang berbeda disajikan pada Tabel 41.
141
Gambar 88. Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan
Gambar 89. Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan
142
Gambar 90. Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan
Gambar 91. Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi atau pengocokan
143
Hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe, meskipun dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, namun memiliki fungsi yang sangat vital. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Cu berfungsi dalam metabolisme protein dan karbohidrat, Zn berfungsi untuk asimilasi CO2 dan metabolisme N,
Mn berfungsi untuk sintesis protein dan karbohidrat, sedangkan Fe
berfungsi sebagai penyusun klorofil, protein maupun enzim dan berperanan dalam perkembangan kloroplas. Di lain pihak, unsur N, P, K, Ca, Mg dan S merupakan unsur hara makro essensial, unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak. Umumnya unsurunsur tersebut dibutuhkan tanaman untuk proses metabolisme. Menurut Novizan (2005), sebagai unsur hara essensial, Ca diperlukan tanaman untuk digunakan dalam proses metabolismenya dan fungsi Ca tidak dapat digantikan oleh unsur hara lainnya. Kekurangan unsur ini akan menyebabkan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang tidak semestinya.
4.5.3 Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Upaya memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi melalui penambahan hara makro NPK masing-masing sebesar 10% ternyata berpengaruh terhadap keempat parameter yang diukur (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah maupun bobot buah) yang ditunjukkan oleh nilai dari keempat parameter tersebut dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi
dibanding
tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa penambahan NPK. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan unsur hara makro NPK pada bahan pupuk cair yang berasal dari lindi memang sangat perlu karena NPK merupakan unsur hara makro essensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Fenomena tersebut juga mengindikasikan unsur NPK dalam bahan pupuk cair dari hasil olahan lindi kurang memadai untuk mencapai pertumbuhan tanaman yang lebih baik apabila dosis pemberian disamakan dengan pupuk cair komersial. Perbedaan pertumbuhan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan unsur hara NPK dengan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa NPK disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95, sedangkan gambaran visualnya disajikan pada Gambar 96 - Gambar 99.
144
Gambar 92. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK
Gambar 93. Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK
145
Gambar 94. Bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK
Gambar 95. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK 146
Lindi + KMnO4 S + NPK
Lindi + KMnO4 P + NPK
Kontrol
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 96. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO4
Kontrol
Lindi + 1000 ppm CaO (S)
Lindi + 1000 ppm CaO (P) + NPK
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 97. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan CaO
147
Lindi (S) + NPK
Lindi + 1000 ppm CaO (S) + NPK
Kontrol
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 98. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan atau tanpa penambahan CaO yang diperkaya dengan hara NPK
Kontrol Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO (P) + NPK
Lindi + 0,01% KMnO4 + 1000 ppm CaO (S) + NPK
Ket : S = sentrifugasi P = pengocokan + NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O
Gambar 99. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan penambahan KMnO4 dan CaO yang diperkaya dengan hara NPK
148
4.5.4
Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Kadar Pb, Cd dan Cr pada Buah Cabai Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa pada buah cabai yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi mengandung logam mikro Pb, Cd dan Cr. Kadar ketiga logam mikro tersebut dalam buah cabai yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam mikro tersebut yang dapat ditoleransikan disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam Pb, Cd dan Cr yang dapat ditoleransikan Perlakuan Jenis Logam
Lindi + NPK
Pb (ppm) Cd (ppm) Cr (ppm) Sumber:
* ** S P
Lindi + 0,01% KMnO4 + NPK
Lindi + 1000 ppm CaO + NPK
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 + NPK
Kadar logam Mikro dalam bagian tanaman yang dikonsumsi yang dapat ditoleransikan
S
P
S
P
S
P
S
P
0,823
0,815
1,237
1.148
0,926
0,874
1,426
1,252
2 **
0,031
0.026
0,039
0.028
0,033
0,033
0,039
0.027
0,04 **
0,18
0.14
0,16
0.16
0,21
0,17
0,25
0,18
0,05 – 0,27 *
= = = =
WHO dalam Amir et al., (2009) Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (1989) sentrifugasi pengocokan
Efek toksik dari bahan yang tidak diinginkan dalam sistim biologis baru terjadi apabila bahan tersebut berada pada tubuh dalam konsentrasi yang cukup untuk menghasilkan manisfestasi toksik (Achmad, 2004). Konsentrasi bahan kimia akan memberikan efek toksik dikenal dengan istilah baku mutu. Jumlah bahan kimia di bawah baku mutu yang masuk ke dalam tubuh masih dapat dikeluarkan melalui urine (Darmono, 2001). Tabel 42 menunjukkan bahwa kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai yang berasal dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi masih berada di bawah ambang batas yang dapat ditoleransikan. Atas dasar pendapat yang dikemukakan Achmad (2004) dan Darmono (2001), maka dapat dikatakan bahwa pupuk cair berbahan dasar lindi masih relatif aman digunakan pada pertanaman karena menghasilkan buah cabai dengan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr masih berada dalam batas toleransi.
149
4.5.5
Desain IPAL TPA Sampah untuk Menghasilkan Efluen Layak Buang dan Pupuk Cair Upaya menjadikan lindi TPA sampah Galuga menjadi efluen layak buang dan pupuk cair membutuhkan perubahan dalam pengelolaan lindi. Instalasi Pengolahan Lindi (IPAL) yang ada di TPA sampah perlu dimodifikasi agar IPAL dapat menghasilkan dua produk tersebut. Beberapa tahapan pengolahan diperlukan yang masing-masing membutuhkan tempat (kolam) tersendiri.
Secara bagan, desain
tersebut sebagai berikut. AREAL
TPA
SAMPAH 1
1
2
1
1
1
2
2
2
2
3 4 5 8
6
9
7 10
Keterangan: 1. Saringan yang ada di masing-masing outlet TPA sampah 2. Saluran menuju ke kolam pengendapan 3. Kolam pengendapan 4. Saluran menuju ke kolam aerasi 5. Kolam aerasi 6. Saluran untuk mengalirkan efluen hasil aerasi bagian atas menuju kolam zeolit 7. Kolam zeolit 8. Saluran untuk mengalirkan endapan hasil aerasi menuju kolam pembuatan bahan pupuk cair 9. Kolam pembuatan bahan pupuk cair 10. Saluran untuk mengalirkan sentrat menuju kolam zeolit 11. Outlet menuju lingkungan
Gambar 100. Desain IPAL TPA sampah yang disarankan
150
11
Outlet yang ada di TPA sampah perlu dilengkapi dengan penyaring (1) untuk memisahkan lindi dari bahan-bahan sampah padat. Setelah melewati saringan tersebut, lindi yang keluar dari outlet TPA sampah dapat mengandung bahan padatan yang mudah mengendap (settleable), bahan padatan tersuspensi (suspended solid) dan bahan padatan terlarut (dissolve solid). Sebelum proses pengolahan dilakukan, bahan padatan yang mudah mengendap diendapkan dahulu di kolam pengendapan (3) guna memaksimalkan efektivitas pengolahan aerasi dalam menghasilkan efluen layak buang. Oleh karena itu, lindi yang keluar dari outlet di TPA sampah setelah melalui proses penyaringan di outlet, lindi langsung dialirkan ke kolam pengendapan untuk dibiarkan selama ± 1 jam untuk kemudian lindi yang sudah tidak mengandung bahan-bahan yang mudah mengendap dialirkan ke kolam aerasi (5) untuk mendapatkan perlakuan pemberian udara dengan kecepatan tinggi (70 liter/menit) selama 6 jam. Lindi yang telah diaerasi didiamkan selama ± 1 jam agar flok yang terbentuk baik berupa senyawa hidroksida maupun senyawa komplek yang berasal dari koloid organik/anorganik dan logam, mengendap. Setelah itu, 4/5 bagian atas dari volume
lindi dialirkan ke kolam zeolit (7) untuk
diminimalkan polutan-polutan terlarut yang masih tersisa, sebelum lindi dialirkan ke lingkungan dan 1/5 bagian volume lindi yang berada di bagian bawahnya dialirkan ke kolam pembuatan bahan pupuk cair (9) untuk diberi tambahan bahan pengendap (CaO) dengan dosis 1000 ppm dan perlakuan fisik (pemutaran dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit atau pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam) agar bahanbahan yang ada di dalamnya tercampur merata. Perlakuan fisik tersebut dapat digantikan dengan cara pemutaran dengan baling-baling atau alat lainnya yang dijalankan oleh kincir angin. Cara ini diharapkan dapat mengurangi bioaya operasional. Flok-flok yang terbentuk (senyawa logam hidroksida atau senyawa komplek yang berasal dari koloid dan logam) didiamkan selama ½ jam agar mengendap. Setelah itu, cairan bening yang ada di atas endapan (sentrat) dialirkan ke kolam zeolit untuk diminimalkan polutan yang masih tersisa, sebelum sentrat dilairkan ke lingkungan. Endapan yang ada di kolam 9 siap dipanen sebagai bahan pupuk cair.
151