44
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 2002 dan 2007
diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan hutan sekunder dan tegalan dengan laju penurunan berturut-turut 66 ha/tahun dan 5 ha/tahun. Sementara itu peningkatan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan lain dengan laju bervariasi seperti untuk kebun campuran 39 ha/tahun, belukar 23 ha/tahun, pemukiman 5 ha/tahun dan sawah 4 ha/tahun. Analisis Sidik ragam (anova) perubahan penggunaan lahan dari tahun 1984 – 2007 disajikan pada Lampiran 1. Luas penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 2002 dan 2007 di DAS Paninggahan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Penggunaan Lahan Tahun 1984, 1992, 2002 dan 2007 DAS Paninggahan Penggunaan lahan Belukar
Thn 1984 Ha
%
Thn. 1992
Thn. 2002
Ha
Ha
%
%
Thn. 2007 Ha
%
176.96
3.01
998.30
16.96
824.00
14.00
831.20
14.12
4883.68
82.97
3544.30
60.21
3481.70
59.15
3151.80
53.54
128.39
2.18
556.80
9.46
782.10
13.29
1088.50
18.49
31.82
0.54
94.90
1.61
142.30
2.42
146.90
2.50
Sawah
359.88
6.11
511.80
8.69
473.40
8.04
487.40
8.28
Tegalan
305.57
5.19
180.20
3.06
182.80
3.11
180.40
3.06
Hutan Sekunder Kebun Campuran Pemukiman
Hasil analisis penggunaan lahan menunjukan dari tahun 1984, 1992, 2002 dan 2007 terdapat kecenderungan perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun campuran (Gambar 19), dan bila lokasinya memungkinkan (memiliki lereng yang relatif landai, lahan tersebut berubah menjadi tegalan). Wilayah datar di pinggiran danau secara perlahan berubah menjadi sawah dan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka wilayah pemukiman semakin meluas menggantikan lahan sawah. Di pinggir Danau Singkarak yang landai, digunakan untuk lahan sawah, sementara itu, wilayah yang terjal di pinggir danau dijadikan daerah bisnis untuk mendukung pariwisata seperti pasar rumah makan dan toko cindera mata. Tegalan dibuka di daerah-daerah dengan kelerengan sedang, dengan lokasi di pinggir hutan. Wilayah yang terjal dan berkapur yang banyak terdapat di Paninggahan tidak dapat dimanfaatkan oleh
45 penduduk sehingga dibiarkan menjadi semak belukar (Gambar 20). Sebagian besar hutan di DAS Paninggahan merupakan hutan sekunder, karena pada awalnya daerah tersebut merupakan kebun kopi yang dibiarkan menjadi hutan kembali. Hutan alami dan pinus terdapat di puncak-puncak bukit DAS Paninggahan.
Peta Penggunaan Lahan Tahun 1984
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2007
Peta Penggunaan Lahan Tahun 1992
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2002
Gambar 19. Penggunaan Lahan Tahun 1984, 1992, 2002 dan 2007
46
Gambar 20. Beberapa Jenis Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Jenis penggunaan lahan hutan sekunder terdiri dari bermacam-macam variasi tanaman berkayu, pada jenis ini hutan sekunder, primer dan pinus menjadi satu kelas klasifikasi. Hutan sekunder sendiri pada awalnya merupakan perkebunan kopi yang tidak terawat sehingga kemudian tumbuh berbagai jenis tanaman lain disekelilingnya. Kebun campuran dikelola oleh penduduk lokal dengan bermacam-macam jenis tanaman tahunan seperti durian, alpukat jeruk, nangka, cengkeh dan kemiri. Pola tanam di lahan sawah adalah padi-padi-padi, sedangkan untuk tegalan tanaman yang diusahakan adalah cabai, jagung dan bawang. Pada Gambar 20 terlihat bahwa pinggiran Danau Singkarak yang landai, digunakan untuk lahan sawah, sementara itu, wilayah yang terjal dijadikan daerah bisnis untuk mendukung pariwisata seperti pasar rumah makan dan toko cindera
47 mata. Tegalan dibuka di daerah-daerah dengan kelerengan sedang, dengan lokasi di pinggir hutan. Wilayah yang terjal dan berkapur yang banyak terdapat di Paninggahan tidak dapat dimanfaatkan oleh penduduk sehingga dibiarkan menjadi semak belukar. Kebun campuran didominasi oleh tanaman kopi karena sebenarnya pada awalnya wilayah tersebut merupakan kebun kopi. Hutan sekunder masih terdapat di puncak-puncak tebing di Paninggahan, namun berpotensi untuk berubah menjadi lahan budidaya pertanian oleh penduduk. Pada Gambar 20, terlihat terdapat jalan setapak yang biasa digunakan oleh penduduk untuk menuju tempat berladang baik dengan berjalan kaki ataupun dengan motor. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan dari hutan sekunder menjadi kebun campuran terkait dengan semakin tingginya tingkat kebutuhan hidup masyarakat sehingga mereka berusaha meningkatkan produktivitas lahan yang ada untuk menambah pendapatan. Berdasarkan pengamatan dari tahun 1984 – 2007 dapat disimpulkan bahwa mendatang. Wilayah hilir DAS yang landai sudah padat dengan sawah dan tegalan, sehingga kemungkinan terjadi perubahan sangat kecil. Potensi Produksi Air DAS Paninggahan pada Berbagai Skenario Penggunaan Lahan
Model simulasi debit dikembangkan untuk memungkinkan mempelajari karakteristik debit sebagai konsekuensi modifikasi biofisik DAS, termasuk apabila terjadi perubahan penggunaan lahan. Fluktuasi debit hasil simulasi dan pengukuran disajikan pada Gambar 21. Validasi MODDAS menggunakan data hujan – debit harian Sungai Batang Sabarang periode pengamatan Bulan Maret sampai dengan Juli 2006 menunjukkan hasil yang memuaskan dengan koefisien kemiripan 0.60. Parameter hasil kalibrasi adalah sebagai berikut : -
Kapasitas simpan air maksimum (WHC) : 678.30 mm
-
Konstanta resesi : 0.02
-
Cadangan air bawah permukaan inisial (SS) : 672.70 mm
-
Cadangan air bawah tanah inisial : 836.26 mm
Salah satu faktor yang menyebabkan nilai koefisien kemiripan yang rendah adalah pemilihan data hujan yang kurang mewakili daerah penelitian. Curah hujan merupakan parameter input yag memiliki kontribusi besar terhadap
48 karakteristik debit. Wilayah Paninggahan mempunyai variasi curah hujan yang tinggi antara wilayah hulu dan hilir, sementara pada MODDAS diasumsikan curah hujan dianggap homogen untuk seluruh DAS. Sementara itu simulasi aliran dasar menunjukan nilai dibawah aliran dasar hasil pengukuran. Kondisi ini dimungkinkan karena kalibrasi parameter MODDAS dilakukan pada musim kemarau sehingga menghasilkan konstanta resesi yang rendah. Kalibrasi parameter MODDAS dilakukan pada musim kemarau karena ketersediaan data pasangan curah hujan dan debit yang terpanjang hanya terdapat pada periode tersebut. Kalibrasi dengan menggunakan data terukur selama satu tahun nantinya diharapkan dapat meningkatkan nilai koefisien kemiripan karena akan mencakup satu siklus hidrologi yang lengkap yaitu musim hujan dan kemarau. Berdasarkan parameter hasil kalibrasi diketahui bahwa DAS Paninggahan memiliki rata-rata ketebalan solum yang masih baik, yang dapat dilihat dari nilai WHC sebesar 678.30. Kondisi penutupan lahan yang masih didominasi hutan sekunder menyebabkan kapasitas maksimum tanah menyimpan air masih besar. Kondisi ini menyebabkan curah hujan yang turun akan lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah sehingga kemungkinan terjadinya aliran permukaan relatif kecil. Sementara itu laju penurunan debit (konstanta resesi) yang kecil yaitu 0.02 menunjukkan pelepasan air yang lambat sehingga memungkinkan lebih banyaknya air tertahan di lahan.
49 0
120
20 100 40
60
debit (m 3 /detik)
80
60
100
Hujan (mm) Debit Pengukuran
120
curah hujan (m m )
80
Debit Simulasi 40 140
160 20 180
0 9-Mar-06
200
29-Mar-06
18-Apr-06
8-May-06
28-May-06
17-Jun-06
7-Jul-06
27-Jul-06
Gambar 21. Simulasi Model Debit Harian, Sungai Sabarang, DAS Paninggahan, Periode Mei – Juli 2006 Dalam penelitian ini karakteristik debit berdasarkan penggunaan lahan dimodelkan dengan MODDAS sedangkan penggunaan lahan menggunakan data tahun 2007 sehingga didapatkan karakteristik debit tahun 2007. Data hujan menggunakan data ARR Sabarang dan Aro, periode data yang digunakan adalah tahun normal yaitu tahun 2006 dan 2007, hasil yang didapatkan disajikan pada Gambar 22.
50 0
70
20 60 40
50
debit (m 3 /detik)
80 40 Hujan (mm) Debit Simulasi
100
30 120
curah hujan (m m )
60
140
20
160 10 180
0 1-Jan-07 31-Jan-07 2-Mar-07
200 1-Apr-07 1-May-07 31-May-07 30-Jun-07 30-Jul-07 29-Aug-07 28-Sep-07 28-Oct-07 27-Nov-07 27-Dec-07
Gambar 22. Pola Debit Simulasi Selama 1 Tahun Asumsi yang digunakan untuk menentukan skenario penggunaan lahan adalah bahwa perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi karakteristik debit di suatu DAS. Sebagai contoh jika wilayah hutan yang merupakan kawasan penyangga berkurang, maka pada musim hujan, curah hujan yang turun di wilayah tersebut akan lebih banyak terkonversi menjadi aliran permukaan sehingga debit di musim hujan akan semakin meningkat dibandingkan sebelumnya. Sebaliknya pada musim kemarau, karena simpanan air hanya sedikit, maka debit menjadi lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Asumsi tersebut didukung oleh hasil penelitian Guo et al, 2008 yang melakukan penelitian di DAS Danau Poyang, menunjukkan
bahwa
vegetasi
dan
tanaman
musiman,
mempengaruhi
evapotranspirasi, penambahan luas hutan akan menurunkan debit di musim hujan dan akan meningkatkan debit di musim kemarau. Sementara itu menurunnya luas hutan akan meningkatkan resiko banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Simulasi debit dengan MODDAS pada beberapa skenario menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi karakteristik debit di suatu DAS. Pada Tabel 9 diketahui bahwa secara umum, jika luas hutan
51 berkurang maka terjadi peningkatan debit total, rata-rata dan debit puncak dalam setahun. Namun jika dilihat dari debit minimum terjadi penurunan, kecuali pada skenario 3 yang berdasarkan hasil proyeksi di tahun 2020, kawasan hutan masih relatif luas dibandingkan dengan skenario 1 dan 2. Nilai Qmaks/Qmin juga meningkat untuk setiap skenario, ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan yang cenderung mengurangi wilayah resapan air di DAS akan meningkatkan resiko kerentanan DAS terhadap kekeringan dan kebanjiran. Artinya, pada musim hujan akan terjadi peningkatan jumlah debit sementara itu di musim hujan debit yang tersedia semakin berkurang. Dari tiga skenario penggunaan lahan diketahui bahwa walaupun kawasan hutan berkurang hingga mencapai batas minimal yang masih diperbolehkan oleh pemerintah (30% dari luas DAS), namun kawasan tersebut tergantikan oleh kebun campuran yang didominasi oleh tanaman tahunan yang mempunyai karakteristik sama dengan tanaman hutan yang didominasi oleh tanaman tahunan. Kondisi ini menyebabkan fungsi hulu DAS sebagai kawasan penyangga masih terpelihara. Komposisi luas penggunaan lahan untuk masing-masing skenario disajikan pada Tabel 8, sedangkan potensi produksi air disajikan pada Tabel 9. Tabel 8. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Beberapa Skenario Penggunaan lahan Belukar Hutan Sekunder Kebun Campuran Pemukiman Sawah Tegalan
Luas Penggunaan Lahan (Ha) thn 2007 831.2 3151.8 1088.5 146.9 487.4 180.4
skenario 1 882.93 1765.86 2001.308 294.31 588.62 353.172
skenario 2 588.62 1471.55 588.62 1765.86 1177.24 294.31
skenario 3 76 1570 3500 200 350 190
52 Tabel 9. Potensi Produksi Air pada Beberapa Skenario Bulan
th 2007 Januari 10.107 Pebruari 7.679 Maret 4.719 April 2.358 Mei 1.649 Juni 1.795 Juli 0.934 Agustus 0.530 September 1.527 Oktober 0.492 Nopember 1.216 Desember 4.026 Total 37.032 Qrata 3.086 Qmaks 10.107 Qmin 0.492 Qmaks/Qmin 20.536
Q (m3/detik) skenario 1 skenario 2 10.155 10.377 7.813 8.121 4.757 4.907 2.251 2.191 1.640 1.728 1.914 2.221 0.913 0.676 0.517 0.421 1.553 1.584 0.420 0.189 1.311 1.687 4.076 4.234 37.321 38.336 3.110 3.195 10.155 10.377 0.420 0.189 24.179 54.937
skenario 3 10.122 7.819 4.750 2.250 1.640 1.908 0.923 0.512 1.550 0.430 1.262 4.062 37.228 3.102 10.122 0.430 23.544
Berdasarkan analisis potensi produksi dapat disimpulkan bahwa wilayah DAS Paninggahan secara hidrologi masih relatif stabil. Penggunaan lahan yang didominasi hutan sekunder menyebabkan wilayah hulu sebagai kawasan penyangga masih berfungsi baik, sehingga laju penurunan debit relatif kecil yang ditandai dengan kecilnya nilai konstanta resesi. Wilayah DAS yang berbatasan langsung dengan Danau Singkarak, menyebabkan cadangan air bawah permukaan dan cadangan air bawah tanah besar karena pengaruh interaksi antara danau dengan daratan (Cochonneau. et al, 2007). Hasil analisis potensi produksi air pada beberapa skenario menunjukkan bahwa pengurangan hutan sekunder akan mengakibatkan peningkatan produksi air di musim hujan dan akan menurunkan produksi air di musim kemarau. Pada kejadian hujan puncak sebesar 97.6 mm menghasilkan debit berturut-turut adalah 30.90 m3/detik, 33.51 m3/detik, 39.59 m3/detik dan 33.59 m3/detik. Perubahan penggunaan lahan dengan meluasnya daerah irigasi dan pemukiman pada skenario 2 akan meningkatkan rasio debit maksimum dan minimum hingga melewati batas
53 yang dapat ditolerir (kurang dari 30, Prastowo, 2003). Wilayah pemukiman akan meningkatkan wilayah kedap air sehingga curah hujan yang terjadi akan segera terkonversi menjadi aliran permukaan, sementara itu lahan pertanian seperti sawah dan tegalan yang meluas menyebabkan ketebalan solum menipis akibat pengaruh pengolahan tanah dan erosi. Selanjutnya kondisi ini akan menurunkan kapasitas tanah menyimpan air sehingga curah hujan yang turun memiliki potensi besar menjadi aliran permukaan. Hasil pemantauan sejak tahun 1992 – 2006 terhadap karakteristik debit DAS Lembang (152.5 km2) dan DAS Sumani (537.5 km2) yang juga terletak di wilayah Danau Singkarak, menunjukkan bahwa di DAS Lembang terjadi perubahan karakteristik yang sangat mencolok, dimana rasio Qmaks/Qmin mengalami peningkatan dari 6.06 hingga mencapai 22.11 (Tabel 10). Kondisi ini kemungkinan disebabkan dibukanya kawasan hulu DAS dari hutan menjadi kawasan hutan non perkebunan, sehingga akan mengurangi fungsi penyangga hutan. Sementara itu di DAS Sumani yang langsung berbatasan dengan Danau Singkarak dan merupakan hilir dari DAS Lembang memiliki rasio Qmaks/Qmin lebih kecil dibandingkan dengan DAS Lembang. Sudah adanya pengaturan air untuk keperluan domestik merupakan penyebab yang paling mungkin terjadi mengingat Sungai Sumani mengalir di tengah Kota Solok. Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air secara fisik diketahui bahwa aliran Sungai Sumani terlihat keruh di musim hujan, ini menunjukkan telah terjadinya erosi yang cukup tinggi di DAS Lembang-Sumani.
54 Tabel 10. Debit Sungai Bt. Lembang dan Sumani Tahun 1992 - 2006 Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Debit (m3/dtk) S. Bt. Lembang S. Bt. Sumani 1992 2002 2006 1992 2002 2006 10.22 5.49 6.22 26.76 18.56 20.07 5.82 1.00 5.44 20.64 11.02 15.62 4.88 6.01 6.43 18.59 26.05 12.39 6.42 6.03 5.82 21.03 26.44 22.45 4.29 5.81 3.90 25.18 24.59 14.05 2.93 4.39 4.51 13.44 18.38 8.01 13.78 0.94 3.14 14.87 11.87 12.91 3.13 1.23 0.63 12.13 12.44 7.40 2.61 1.88 2.66 11.75 15.02 10.13 2.27 3.97 3.85 7.41 15.98 19.23 4.65 12.79 8.36 18.37 28.72 35.51 6.34 20.68 12.90 18.63 16.67 25.40
Qtotal 67.34 70.21 63.87 208.81 225.73 203.18 Qrata 5.61 5.85 5.32 17.40 18.81 16.93 Qmaks 13.78 20.68 12.90 26.76 28.72 35.51 Qmin 2.27 0.94 0.63 7.41 11.02 7.40 Qmaks/Qmin 6.06 22.11 20.38 3.61 2.61 4.80 Untuk mengetahui pengaruh pengelolaan lahan terhadap karakteristik debit dilakukan pengamatan terhadap debit sesaat pada saat pengolahan tanah, fase vegetatif, saat panen dan bera. Pengamatan yang dilakukan meliputi volume debit dan aliran permukaan. Hasil analisis debit sesaat pada beberapa fase tanam menunjukkan bahwa pada saat tanam dan fase vegetatif, air lebih banyak tertahan di lahan, kondisi ini ditandai dengan kecilnya volume aliran permukaan pada saat hujan. Kebutuhan irigasi di lahan sawah lebih besar dibandingkan dengan tegalan. Irigasi di lahan sawah selain dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air padi, air digunakan untuk pengolahan tanah dan penggenangan. Padi membutuhkan air lebih banyak dibandingkan tanaman hortikultura semusim yang ditanam di tegalan. Secara keseluruhan kebutuhan irigasi dominan di DAS Paninggahan terdapat pada lahan sawah. Berikut disajikan pola hujan-debit sesaat pada beberapa kondisi pengelolaan lahan Gambar 23, hasil analisis debit disajikan pada Tabel 11.
55
8
0
Debit T otal
6
3
debit (m /detik)
5
T inggi Hujan
10
Interflow
5
15
Baseflow
4
20
3
25
2
30
1
35
0
40 1
6
11
16
21
26
31
curah hujan (mm)
7
36
waktu pengamatan
Periode pengolahan tanah (24 Mei 2006 jam 0.00 – 24 Mei 2006 jam 19.24) 10
0 T inggi hujan
Baseflow
10
6 15 4 20 2
25
0
30 0
25
50
75
100
125
waktu pengamatan
150
175
200
Periode fase vegetatif (18 Juni 2006 jam 14.24 – 19 Juni 2006 jam 10.40) Gambar 23. Karakteristik Hujan-Debit Sesaat pada Berbagai Fase Tanam
curah hujan (mm)
Interflow
3
debit (m /detik)
5
Debit T otal
8
56 16
0 T inggi Hujan
14
5
Debit T otal
10
Baseflow
8
15
6
20
curah hujan (mm)
Interflow
10
3
debit (m /detik)
12
4 25
2
30
0 0
50
100
150
200
250
waktu pengamatan
300
350
400
450
Periode fase generatif (9 Juli 2006 jam 9.36 – 10 Juli 2006 jam 18.48) 70
0
60
T inggi Hujan Interflow
10
Baseflow
3
40
15 30 20
20
25
10
30
0 0
50
100
150
200
250
waktu pengamatan
300
350
400
Periode bera (20 April 2007 jam 15.06 – 22 April 2007 jam 2.24) Gambar 23. (lanjutan)
curah hujan (mm)
50
debit (m /detik)
5
Debit T otal
57 Tabel 11. Hasil Analisis Debit pada Berbagai Fase Tanam Fase Pengolahan tanah Vegetatif Generatif Bera
Curah hujan (mm) 64 37.2 33.8 28.2
DRO (mm) 0.03 0.4 2.09 3.89
Kr 0.0005 0.0108 0.0618 0.1379
Interflow (mm) 0.01 0.22 0.71 1.26
Baseflow (mm) 9.94 10.59 10.66 12.63
Tc (menit) 30 462 36 48
Keterangan : DRO : Direct Runoff (aliran permukaan langsung) Kr : Koefisien aliran permukaan Tc : Time concentration (waktu konsentrasi)
Aliran permukaan atau direct runoff (DRO) adalah aliran yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Bentuk aliran inilah yang paling penting sebagai penyebab erosi. Aliran permukaan terjadi ketika tanah sudah jenuh yaitu pada saat kapasitas infiltrasi maksimum terlewati. Pada periode pengolahan tanah, air lebih banyak tertahan di lahan untuk mengisi cadangan air tanah, setelah lahan dikeringkan. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah juga besar karena tanah yang sawah yang tadinya kering akan sulit diolah apabila tidak cukup air. Inilah faktor yang menyebabkan aliran permukaan pada periode ini sangat kecil dibandingkan dengan periode lainnya. Pada fase vegetatif air dibutuhkan untuk penggenangan sawah, sementara pada fase generatif sampai panen, genangan dikurangi dan akhirnya dikeringkan, sehingga pada periode ini aliran permukaan yang terjadi tidak banyak dimanfaatkan dan pada akhirnya ketika terjadi hujan aliran permukaan yang terjadi pada masa ini akan lebih besar dibandingkan dengan periode lainnya. Aliran air bawah permukaan (interflow) adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak masuk cukup dalam disebabkan adanya lapisan kedap air. Air ini mengalir di bawah permukaan tanah pada kedalaman 30 – 40 cm, kemudian keluar ke permukaan tanah di bagian bawah lereng atau masuk ke sungai Aliran air bawah tanah (Baseflow) adalah aliran air yang masuk dan terperkolasi jauh ke dalam tanah menjadi air bawah tanah (ground water). Air bawah tanah mengalir di dalam tanah dengan lambat masuk ke dalam sungai dan danau. Air bawah tanah tidak mengandung bahan tersuspensi atau kapur sehingga kelihatan jernih. Air bawah tanah merupakan sumber air bagi sungai, danau atau
58 waduk atau reservoir pada musim kemarau Aliran sungai adalah air yang mengalir di dalam saluran-saluran yang jelas, seperti sungai. Aliran sungai dapat tetap atau tersendat (intermittent). Air sungai dapat berwarna jernih atau pekat berwarna coklat mengandung sedimen tergantung dari sumber airnya. Sungai yang bersumber dari aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah akan jernih sedangkan yang bersumber utama dari aliran permukaan akan keruh oleh sedimen yang dikandungnya. Berdasarkan bentuk hidrograf diketahui bahwa DAS Paninggahan merupakan DAS berbentuk kipas dengan kondisi topografi yang curam, sehingga waktu respon DAS (Tc) relatif singkat. Kondisi DAS tersebut sangat rentan terhadap masalah erosi, karena topografi yang curam berpotensi menghasilkan aliran air dengan kecepatan yang tinggi sehingga akan menggerus permukaan tanah-tanah terbuka. Berdasarkan hasil analisis hidrograf diketahui bahwa jumlah air yang paling banyak tertahan di lahan terjadi pada fase pengolahan tanah sebanyak 54.02 mm, berikutnya berturut-turut fase vegetatif (25.98 mm), fase generatif (20.28 mm) dan fase bera (10.28 mm). Kebutuhan Irigasi di DAS Paninggahan pada Berbagai Skenario Penggunaan Lahan
Di DAS Paninggahan terdapat tiga daerah irigasi (DI) yaitu Bandar Bunian (116.87 Ha), Bandar Pauh X Koto (164 Ha) dan Bandar Piaman (325 Ha). Pasokan irigasi untuk Bandar Bunian dan Bandar Pauh X Koto didapatkan dari saluran irigasi yang sudah dibuat oleh Dinas PU Pengairan. Pola tanam di kedua DI ini adalah tanam padi 3 kali setahun. Untuk Bandar Piaman karena posisinya terletak di tepi Danau Singkarak, menyebabkan wilayah yang terletak sekitar 100 m dari tepi danau akan tenggelam di musim hujan (Januari – Juni) dan kering pada musim kemarau (Juli – Nopember) ketika ketinggian muka air danau kurang dari 362 m. Fluktuasi tinggi muka air danau disajikan pada Gambar 24. Analisis ketersediaan dan kebutuhan irigasi dilakukan untuk wilayah yang tidak terpengaruh elevasi pasang surut air danau yaitu Bandar Bunian dan Bandar Pauh.
59 364.00
0
363.50
100
363.00
200
362.50
362.00 400 361.50 500 361.00 600
C urah H ujan (m m )
tinggi m uka air danau (m )
300
360.50 700 360.00 curah hujan 359.50
800
tinggi muka air danau 900
358.50
1000
De
cAp 98 r A u -9 9 gD e 99 cAp 99 r A u -0 0 gD e 00 cAp 00 r A u -0 1 gD e 01 cAp 01 r A u -0 2 g D e -0 2 cAp 02 r A u -0 3 gD e 03 cAp 03 r A u -0 4 gD e 04 cAp 04 r A u -0 5 gD e 05 cAp 05 r A u -0 6 g D e -0 6 cAp 06 r A u -0 7 gD e 07 cAp 07 r A u -0 8 gD e 08 c08
359.00
waktu pengamatan
Gambar 24. Fluktuasi Tinggi Muka Air Danau Singkarak dan Curah Hujan Kebutuhan irigasi tanaman semusim dihitung untuk dua jenis penggunaan lahan yaitu sawah dan tegalan. Pola tanam di lahan sawah adalah padi – padi – padi dengan awal tanam di bulan September yang merupakan awal musim hujan. Tanaman padi yang digunakan adalah varietas lokal yaitu Anak Daro dan Cisokan dengan umur tanaman sekitar 110 hari. Untuk tegalan, pola tanam eksisting di lokasi penelitian adalah cabe – bawang - jagung. Kebutuhan irigasi padi sawah, hasil perhitungan neraca air perlu ditambah dengan kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan penggenangan tanah. Kebutuhan irigasi bulanan lahan sawah dan tegalan disajikan pada Gambar 25. Hasil analisis neraca air tanaman perkomoditas disajikan pada Lampiran 2.
60 400 saw ah
kebutuhan air (mm)
tegalan 300
200
100
0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
bulan
Gambar 25. Kebutuhan Irigasi Sawah dan Tegalan Berdasarkan Gambar 25, diketahui bahwa untuk lahan sawah, kebutuhan air terbesar terjadi pada awal tanam yaitu pada Bulan September, Januari dan Mei. Irigasi dibutuhkan untuk keperluan pengolahan tanah, pembibitan dan penggenangan awal. Sementara itu untuk lahan tegalan, kebutuhan air sebagian besar sudah tercukupi dari curah hujan di lokasi penelitian. Bahkan di Bulan Nopember dan Desember tidak diperlukan irigasi suplementer. Hasil simulasi neraca air menawarkan beberapa skenario pilihan pemberian irigasi dengan resiko penurunan hasil yang akan diperoleh. Pilihan yang ditawarkan adalah pemberian irigasi 100% kebutuhan air tanaman sampai dengan 0% (tanpa irigasi). Dengan diketahuinya volume irigasi suplementer yang ditawarkan dan potensi hasil yang diperoleh, maka pengguna dapat memilih volume irigasi yang diberikan untuk tanaman setiap fase fenologi tanaman. Pada umumnya tanaman akan sangat rentan terhadap resiko kekeringan pada awal pertumbuhannya dan pada saat memasuki masa pembungaan, sehingga kekurangan air pada fase ini akan menyebabkan resiko penurunan hasil yang besar. Ini artinya prioritas irigasi lebih diutamakan untuk kedua fase ini bila kondisi sumberdaya air terbatas. Analisis ketersediaan irigasi di daerah irigasi (DI) Bunian dan Pauh X Koto Singkarak menunjukan hasil bahwa kedua DI tersebut masih dalam kondisi baik dimana pengairan yang diberikan masih mencukupi kebutuhan irigasi dengan
61 pola tanam padi - padi – padi sepanjang tahun (Tabel 12). Tabel 12. Potensi Pasokan dan Kebutuhan Irigasi di DAS Paninggahan Bulan
Kebutuhan Kebutuhan irigasi irigasi (mm) (l/dtk/ha)
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
258.43 112.09 148.15 67.21 321.46 138.13 157.00 80.69 354.79 153.75 59.13 7.48
1.21 0.52 0.69 0.31 1.50 0.64 0.73 0.38 1.66 0.72 0.28 0.03
Kebutuhan Irigasi (l/dtk) Bunian (117 Ha) 140.96 61.14 80.80 36.66 175.34 75.34 85.63 44.01 193.51 83.86 32.25 4.08
Pauh (164 Ha) 197.80 85.79 113.39 51.44 246.04 105.72 120.16 61.75 271.55 117.67 45.26 5.72
Ketersediaan Irigasi (l/dtk) Bunian (117 Ha) 363 341 338 213 347 332 316 329 346 336 316 298
Pauh (164 Ha) 468 436 467 429 396 408 378 410 433 447 384 508
Pada kenyataannya debit yang tersedia di saluran irigasi tidak hanya digunakan untuk pengairan di sawah. Irigasi untuk tegalan juga memanfaatkan sumber air tersebut. Karena kenyataan tersebut maka dilakukan analisis ketersediaan dengan menggabungkan antara kebutuhan irigasi sawah dan tegalan dan antara luas sawah dan tegalan. Ketersediaan irigasi dari kedua saluran irigasi digabung dan dianggap bahwa volume tersebut tetap, mengingat hasil analisis potensi produksi air yang dilakukan pada beberapa skenario tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil analisis ketersediaan dan kebutuhan irigasi disajikan pada Tabel 13. Hasil analisis potensi ketersediaan dan kebutuhan irigasi pada tahun 2007, skenario 1 dan 3 menunjukan bahwa terjadi defisit air pada awal tanam padi yaitu di Bulan Mei dan September. Sementara itu berdasarkan skenario 2 dengan mempertahankan luas hutan 30% serta meningkatnya luas pemukiman, sawah dan tegalan 100%, akan menyebabkan peningkatan kebutuhan air irigasi yang besar sehingga mengakibatkan defisit di awal masa tanam, fase generatif di MK II dan vegetatif di MH. Defisit tersebut terjadi karena pada awal tanam padi, kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pembibitan dan penggenangan relatif besar. Status
62 ketersediaan irigasi dinyatakan defisit apabila rasio antara kebutuhan dan ketersediaan irigasi kurang dari 75%. Potensi pasokan dan kebutuhan irigasi pada beberapa skenario dsajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Potensi Pasokan dan Kebutuhan Irigasi pada Beberapa Skenario Bulan
Kebutuhan irigasi (mm)
Kebutuhan irigasi (l/dtk/ha)
Kebutuhan irigasi (l/dtk) thn 2007
skenario 1
skenario 2
skenario 3
Ketersediaan Irigasi (l/dtk)
Januari
318.16
1.48
991.58
996.33
1398.42
979.71
831
Pebruari
178.90
0.83
557.56
560.24
786.33
550.89
777
Maret
228.13
1.06
711.01
714.41
1002.72
702.50
805
April
103.25
0.48
321.80
323.34
453.83
317.95
642
Mei
398.79
1.86
1242.85
1248.81
1752.79
1227.98
743
Juni
192.01
0.90
598.42
601.28
843.94
591.25
740
Juli
242.59
1.13
756.07
759.69
1066.27
747.02
694
Agustus
196.22
0.92
611.55
614.48
862.46
604.23
739
September
429.04
2.00
1337.14
1343.55
1885.75
1321.14
779
Oktober
271.62
1.27
846.54
850.59
1193.86
836.40
783
Nopember
59.13
0.28
184.29
185.18
259.91
182.09
700
Desember
7.48
0.03
23.31
23.42
32.87
23.03
806
= Pemenuhan irigasi < 75% Salah satu cara untuk mengatasi masalah defisit ketersediaan air pada penelitian ini adalah dengan melakukan pengaturan waktu tanam dengan selang waktu sebulan. Daerah irigasi yang diairi dibagi menjadi 2, sebagai contoh pada bulan September penanaman dilakukan pada 50% dari total luasan sawah dan tegalan dan sisa lahan berikutnya ditanami pada Bulan Oktober, demikian seterusnya. Potensi pasokan dan kebutuhan irigasi dengan pengaturan waktu tanam disajikan pada Tabel 14.
63 Tabel 14. Potensi Pasokan dan Kebutuhan Irigasi pada Beberapa Skenario dengan Pengaturan Selang Waktu Tanam Satu Bulan Bulan
Kebutuhan irigasi (mm)
Kebutuhan irigasi (l/dtk)
Kebutuhan irigasi (l/dtk/ha)
thn 2007
skenario 1
skenario 2
skenario 3
Ketersediaan Irigasi (l/dtk)
Januari
325.64
1.52
507.45
509.88
715.64
501.37
831
Pebruari
437.34
2.04
681.50
684.77
961.11
673.34
777
Maret
340.22
1.59
530.17
532.71
747.69
523.82
805
April
251.40
1.17
391.76
393.63
552.49
387.07
642
Mei
466.00
2.17
726.17
729.65
1024.11
717.48
743
Juni
513.47
2.40
800.15
803.98
1128.44
790.57
740
Juli
380.73
1.78
593.28
596.13
836.70
586.18
694
Agustus
353.22
1.65
550.43
553.06
776.26
543.84
739
September
509.72
2.38
794.30
798.11
1120.20
784.79
779
Oktober
576.41
2.69
898.22
902.52
1266.75
887.47
783
Nopember
212.88
0.99
331.73
333.32
467.83
327.76
700
Desember
66.61
0.31
103.80
104.30
146.39
102.56
806
= Pemenuhan irigasi < 75% Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa dengan pengaturan waktu tanam potensi ketersediaan irigasi yang ada masih mencukupi kebutuhan irigasi untuk tahun 2007, skenario 1 dan 3. Pada skenario 3 dimana terjadi peningkatan luas daerah irigasi 100%, maka tidak hanya waktu tanam saja yang harus diubah, melainkan sistem pertanaman padi dari padi sawah ke padi ladang. Dasar rekomendasi tersebut adalah 1) Kebutuhan air padi ladang lebih sedikit dibandingkan dengan padi sawah, .2) Wilayah pengembangan lahan sawah selanjutnya akan menyebar dibagian tengah DAS yang lokasinya berlereng dan memiliki curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah hilirnya. Selanjutnya mengingat perkembangan penggunaan lahan dan kebutuhan air semakin meningkat, sementara di kawasan Danau Singkarak secara keseluruhan masih terjadi konflik antara pemanfaatan air danau untuk pembangkit listrik dan irigasi. Maka masalah keterbatasan sumberdaya air akan semakin serius. Penanganan yang tepat dalam konsep ”proportional water sharing” merupakan salah satu solusi. Dalam konsep tersebut akan diatur bagaimana mekanisme pembagian air baik itu dalam bentuk fisik maupun kompensasi atas jasa lingkungan tempat air diproduksi (DAS).