29
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Individu Umur Umur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktifitas seseorang (Khomsan et al. 2007). Orang yang mempunyai umur lebih muda cenderung memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh terdapat pada kisaran umur 30-49 tahun baik pada contoh obes (72%) maupun contoh normal (64%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri et al. (2005), yang menyatakan bahwa pada umur 40-59 tahun seseorang cenderung obesitas dibandingkan dengan umur yang lebih muda. Hal ini diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Umur contoh normal antara 24 tahun hingga 54 tahun dengan rata-rata 36.0±9.0 tahun. Umur contoh obes antara 26 tahun hingga 53 tahun dengan rata-rata 42.8±7.4 tahun. Sebaran status gizi contoh berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah ini. Tabel 6. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Umur Obes No. 1. 2. 3.
Umur (Tahun) 19-29 30-49 50-64 Total Rata-rata±SD
n 2 18 5 25
Normal % 8 72 20 100
42.8±7.4
n 6 16 3 25
% 24 64 12 100 36.0±9.0
Jenis Kelamin Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi obesitas pada perempuan lebih besar (26.9%) dibanding laki-laki (16.3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar contoh adalah perempuan baik pada contoh obes (60%) maupun contoh normal (72%). Hal ini seiring dengan penelitian yang dilakukan oleh Gutierrez-Fisac et al. (2004) yang menyatakan bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Janghorbani et al. (2007) juga menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-laki dan perempuan. Studi longitudinal pada Alumni Universitas Harvard menunjukkan bahwa pria setengah baya mempunyai rentang umur lebih panjang 40% apabila
30
badannya ramping dibandingkan yang berbadan gemuk. Badan ramping dan pengendalian konsumsi kalori umumnya berkaitan sangat erat. Pria-pria ramping ini juga berisiko terserang jantung 60% lebih kecil (Khomsan 2005). Tabel 7 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan jenis kelamin. Tabel 7. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Jenis Kelamin Obes No. 1. 2.
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total
n 10 15 25
Normal % 40 60 100
n 7 18 25
% 28 72 100
Pendidikan Pendidikan formal seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan yang tinggi pula (Pranadji 1988). Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir contoh obes, memiliki persentase terbesar pada tingkat SMA (52%). Pendidikan terakhir contoh normal memiliki persentase terbesar pada tingkat Perguruan Tinggi (60%). Dari hal tersebut diketahui bahwa pendidikan terakhir contoh normal lebih tinggi dibandingkan contoh obes. Sebaran status gizi contoh berdasarkan pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. Tabel 8. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Pendidikan Terakhir Obes No. 1. 2. 3. 4.
Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Perguruan Tinggi Total
n 2 2 13 8 25
Normal % 8 8 52 32 100
n 0 1 9 15 25
% 0 4 36 60 100
Pendapatan Menurut Harper et al (1986), pendapatan seseorang atau keluarga akan menentukan daya beli terhadap pangan. Semakin meningkatnya pendapatan seseorang maka akan terjadi perubahan di dalam susunan menunya setiap hari. Tabel 9 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat pendapatan. Persentase pendapatan contoh perbulan yang terbesar adalah pada kisaran 2-3.9 Juta rupiah baik pada contoh obes (56%) maupun contoh normal (48%). Sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.
31
Tabel 9. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Pendapatan Obes No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pendapatan <1 Juta 1-1.9 Juta 2-3.9 Juta 4-6 Juta >6 Juta Total
n 4 6 14 1 0 25
Normal % 16 24 56 4 0 100
n 3 10 12 0 0 25
% 12 4 48 0 0 100
Besar Keluarga Menurut Sukarni (1989), besar keluarga akan mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga. Besar keluarga ditentukan dengan cara mendata jumlah anggota keluarga. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi dan kesehatan. Tabel 10 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan besar keluarga. Besar keluarga contoh dengan status gizi normal berkisar dari satu orang sampai tujuh orang dengan rata-rata 4.0±1.5 orang. Besar keluarga contoh dengan status gizi obes berkisar dari dua orang sampai enam orang dengan rata-rata 4.0±1.0 orang. Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase terbesar terdapat pada besar keluarga yang terdiri dari <4 orang baik pada contoh obes (60%) maupun contoh normal (64%). Sebaran status gizi contoh berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Besar Keluarga Obes No. 1. 2.
Besar Keluarga <4 orang >4orang Total Rata-rata±SD
n 15 10 25
Normal % 60 40 100
n 16 9 25
4.0±1.0
% 64 36 100 4.0±1.5
Riwayat Obes pada Orangtua Faktor genetik atau riwayat obes pada orangtua berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada seseorang. Jika kedua orangtua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang anak-anaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40% (Anwar & Khomsan 2009). Menurut Hidayati et al. (2006) jika keduaorangtua tidak obesitas, memiliki peluang sebesar 14%. Tabel 11 menunjukkan bahwa persentase terbesar riwayat obes adalah pada kelompok tidak keduanya baik pada contoh obes (52%) maupun contoh normal (92%). Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa riwayat obes pada orangtua tidak selalu menentukan anak tersebut akan menjadi obes. Faktor
32
lingkungan yang berperan terhadap kejadian obesitas seseorang. Hal ini seiring dengan penelitian yang dilakukan Badan Internasional Obesity Task Force (IOTF) dari badan WHO yang mengurusi masalah kegemukan pada anak menyebutkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh 1% dari kejadian obesitas pada anak sedangkan 99% disebabkan oleh faktor lingkungan (Anonim 2007). Dari Tabel 11 juga menunjukkan bahwa contoh obes memiliki riwayat obes pada orangtua (ayah/ibu/keduanya) yang lebih besar yaitu 12 contoh dibandingkan dengan contoh normal yaitu dua contoh (ayah/ibu). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) contoh maka peluang contoh menjadi obes semakin tinggi. Sebaran status gizi contoh berdasarkan riwayat obes pada orangtua dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini. Tabel 11.Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Riwayat Obes pada Orangtua Obes No. 1. 2. 3. 4.
Riwayat Obes Ayah Ibu Keduanya Tidak Keduanya Total
Normal
n 2 6 4 13 25
% 8 24 16 52 100
n 1 1 0 23 25
% 4 4 0 92 100
Pengetahuan Gizi Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan penting
yang
menentukan
konsumsi
pangan
keluarga.
Individu
yang
berpengetahuan gizi baik akan mempunyai konsumsi pangan keluarga yang baik pula. Skor pengetahuan gizi contoh normal berkisar dari 30 sampai 100 dengan skor rata-rata 79.8±18.3. Skor pengetahuan gizi contoh obes berkisar dari 50 sampai 100 dengan skor rata-rata 83.4±13.0. Tabel 12 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi. Tabel 12. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Pengetahuan Gizi Obes No. 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Gizi Baik (>80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%) Total Rata-rata±SD
n 17 7 1 25
% 68 28 4 100 83.4±13.0
Normal n % 15 60 5 20 5 20 25 100 79.8±18.3
Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa pengetahuan gizi contoh dengan status gizi obes (68%) dan normal (60%) berada pada tingkat pengetahuan gizi baik. Sisanya contoh dengan status gizi obes termasuk pada tingkat pengetahuan gizi sedang yaitu 7 orang (28%) dan 1 orang contoh (4%) dengan tingkat pengetahuan gizi rendah. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.427) antara contoh obes dan contoh normal.
33
Pada contoh dengan status gizi normal terdapat 5 orang contoh (20%) dengan tingkat pengetahuan gizi sedang dan rendah. Tabel 13 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi. Tabel 13. Sebaran Contoh berdasarkan Jawaban yang Benar dari Pertanyaan tentang Pengetahuan Gizi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Pengetahuan gizi Susunan menu gizi seimbang yaitu nasi, ikan, tempe, sayur kangkung, jeruk Fungsi makan pagi yang cukup bagi orang dewasa yaitu meningkatkan produktivitas kerja Dengan bertambahnya umur, kalori yang dikonsumsi sebaiknya dikurangi Sebelum membeli makanan kemasan, sebaiknya membaca label makanan terlebih dahulu Protein berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh Karbohidrat berfunsi sebagai sumber tenaga bagi tubuh Kalsium berfungsi membantu pembentukan tulang dan gigi Peranan lemak yaitu mempertahankan suhu tubuh pada keadaan suhu di luar tubuh rendah Tanda obesitas yaitu berat badan saat ini lebih berat dibandingkan berat idealnya Bagian tubuh yang menyimpan kelebihan lemak pada pria yaitu pinggang dan rongga perut Bagian tubuh yang menyimpan kelebihan lemak pada wanita yaitu pinggul dan paha Gejala fisik penderita obesitas yaitu perut menggantung ke bawah, lipatan kulit lebih tebal Faktor yang mempengaruhi terjadinya obesitas yaitu faktor genetik Penyebab internal obesitas yaitu permasalahan metabolisme (hormonal) Makanan yang dapat memicu terjadinya obesitas yaitu makanan tinggi lemak stres dapat menyebabkan seseorang makan berlebih Risiko kesehatan penderita obesitas yaitu cenderung lebih sering sakit Penyakit yang ditimbulkan oleh obesitas yaitu jantung Gangguan bernafas dialami oleh penderita obesitas Hal yang dialami oleh penderita obesitas ketika mengalami gangguan persendian yaitu nyeri pada sendi diikuti dengan pembengkakan
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat
Obes (n=25)
Normal (n=25)
Total (n=50)
n 25
% 100
n 25
% 100
n 50
% 100
24
96
24
96
48
96
11
44
12
48
23
46
25
100
24
96
49
98
22
88
21
84
43
86
22
88
23
92
45
90
24
96
23
92
47
94
18
72
19
76
37
74
24
96
22
88
46
92
24
96
21
84
45
90
15
60
17
68
32
64
24
96
21
84
45
90
21
84
17
68
38
76
14
56
15
60
29
58
23
92
24
96
47
94
12
48
13
52
25
50
21
84
20
80
41
82
24
96
21
84
45
90
22
88
18
72
40
80
22
88
19
76
41
82
hasil persentase pertanyaan,
pertanyaan tentang kalori yang dikonsumsi ketika bertambah umur memiliki hasil yang rendah dibanding dengan pertanyaan lainnya yaitu 46%. Hal ini berarti masih kurangnya pengetahuan contoh tentang makanan yang dikonsumsi ketika umur bertambah. Contoh sebaiknya mengurangi makanan yang dikonsumsi
34
ketika umur contoh bertambah. Pada contoh obes dan normal, pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh semua contoh adalah pertanyaan tentang susunan menu yang bergizi seimbang. Hal ini dapat diketahui bahwa contoh mengetahui bahwa contoh susunan menu yang bergizi seimbang adalah nasi, ikan, tempe, sayur kangkung, dan jeruk. Selain itu, pertanyaan tentang hal yang dilakukan sebelum membeli makanan kemasan juga dapat dijawab dengan benar oleh seluruh contoh obes. Konsumsi Serat Serat pangan sempat cukup lama diabaikan sebagai faktor penting dalam gizi makanan. Hal ini mungkin disebabkan serat pangan tidak menghasilkan energi. Selain itu kekurangan serat tidak menimbulkan gejala spesifik seperti halnya yang terjadi pada kekurangan zat-zat gizi tertentu. Melalui penelitian epidemiologis telah dibuktikan peranan fisiologis serat pangan terhadap usus. Kurangnya konsumsi serat pangan dapat menyebabkan timbulnya “civilization western diseases” (penyakit ala masyarakat Barat) seperti penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan kanker usus (Astawan & Wresdiyati 2004). Konsumsi serat adalah asupan makanan dalam bentuk serat dengan memperhatikan aspek kuantitasnya. Aspek kuantitas berkaitan dengan jumlah zat gizi yang dianjurkan (Suhardjo 1989). Survei kuantitatif yang paling sering digunakan diantaranya adalah metode recall (mengingat). Tabel 14 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan konsumsi serat per hari. Tabel 14. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Konsumsi Serat Per Hari No. 1 2 3
Konsumsi Serat/hari (g) < 20 20-35 > 35 Total Rata-rata±SD
Obes n 19 6 0 25
Normal % 76 24 0 100
14.9±7.4
n 24 0 1 25
% 96 0 4 100 13.4±6.4
Tabel 14 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah pada konsumsi serat kurang dari 20 gram baik pada contoh obes (76%) dan contoh normal (96%). Rata–rata konsumsi serat contoh obes dan normal berturut-turut sebesar 14.9±7.4 gram dan 13.4±6.4 gram. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.757) antara contoh obes dan contoh normal. Konsumsi serat pada masing-masing contoh tidah jauh berbeda dan masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) serat yang dianjurkan yaitu 20-35
35
gram per hari (Devi 2010). Secara umum, contoh masih kurang mengonsumsi serat. Hal ini disebabkan contoh mengonsumsi buah dan sayur yang kurang pada setiap harinya, padahal buah dan sayur merupakan sumber serat pangan yang baik. Jahari dan Sumarno (2001) melaporkan bahwa rata-rata tingkat konsumsi serat penduduk Indonesia adalah 10.5 gram/orang/hari. Penelitian yang dilakukan di Bogor oleh
Amalia (2002) menemukan bahwa rata-rata
konsumsi serat di desa dan kota Bogor sebanyak 12.3 gram/kapita/hari. Diet yang tinggi kandungan seratnya lebih cepat menyebabkan rasa kenyang dan memperlama rasa kenyang tersebut. Hal ini akan menurunkan jumlah konsumsi energi sehingga akan mengurangi kemungkinan kelebihan energi di dalam tubuh. Adanya serat juga akan mengurangi penyerapan gizi sehingga akan mengurangi konsumsi energi ke dalam tubuh. Penelitian Southgate dan Durnin (1970) di Inggris dalam Astawan&Wresdiyati (2004) menunjukkan bahwa peningkatan kadar serat di dalam diet dapat menurunkan penyerapan energi secara nyata. Penelitian di India Selatan menunjukkan bahwa jumlah energi yang dapat diserap tubuh hanya sekitar 90% dari yang dikonsumsi, sedangkan energi yang terbuang melalui feses orang sehat rata-rata sekitar 250 kkal/hari. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan jumlah energi yang terbuang melalui feses orang-orang Barat yang hanya sekitar 100 kkal/hari. Tabel 15 menunjukkan perkiraan konsumsi serat pangan berdasarkan status gizi contoh. Tabel 15. Perkiraan Konsumsi Serat Pangan berdasarkan Status Gizi Contoh Bahan Pangan Beras Tepung-tepungan Kacang-kacangan Sayuran Buah-buahan
Obes Rata-rata(g/org)
Serat (g)
381.4 29.5 83.3 73.1 94.1
3.8 0.2 2.6 2.9 3.6
Normal Rata-rata(g/org) Serat (g) 367.2 43.2 94.2 68.2 87.6
3.7 0.3 1.9 2.8 3.6
Tabel 15 menunjukkan golongan bahan pangan beras, contoh obes mengonsumsi lebih banyak beras (nasi) yaitu sebesar 381.4 gram. Pada golongan bahan pangan tepung-tepungan, contoh normal mengonsumsi lebih banyak makanan yang berbahan dasar tepung yaitu sebesar 43.2 gram. Pada golongan bahan pangan kacang-kacangan, contoh normal pun mengonsumsi lebih banyak makanan yang berbahan dasar kacang-kacangan seperti kacang merah, kacang tanah, kacang kedelai, oncom, tempe dan tahu yaitu sebesar 43.2 gram. Pada golongan bahan pangan sayuran contoh obes lebih banyak mengonsumsi sayuran yaitu sebesar 73.1 gram. Pada golongan bahan pangan
36
buah-buahan, contoh obes pun lebih banyak mengonsumsi buah-buahan yaitu sebesar 94.1 gram. Dari Tabel menunjukkan bahwa golongan bahan pangan beras dan buah-buahan yang menyumbang paling banyak asupan serat pada contoh. Frekuensi Konsumsi Sumber Serat Pangan Frekuensi Konsumsi Nasi Nasi merupakan bahan pangan pokok bagi sekitar 90% penduduk Indonesia. Beras mengandung protein antara 40-80%. Kandungan beras dalam mengisi kandungan gizi tersebut semakin besar pada lapisam penduduk yang berpenghasilan rendah. Komposisi kimia beras berbeda-beda bergantung pada varietas dan cara pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung berbagai unsur mineral dan vitamin. Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90%) dan sebagian kecil adalah pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi nasi dapat dilihat pada Tabel 16 dibawah ini. Tabel 16. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Nasi Jenis Pangan Nasi
Obes Jumlah yang mengonsumsi (%) 100
Rata-rata frekuensi (kali/minggu) 14.8
Normal Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 100 17.4
Tabel 16 menunjukkan bahwa contoh obes mengonsumsi nasi sebanyak 14.8 kali per minggu sedangkan contoh normal mengonsumsi nasi sebanyak 17.4 kali per minggu. Ini dapat diartikan bahwa frekuensi konsumsi nasi per minggu nya lebih tinggi pada contoh normal dibandingkan dengan contoh obes. Hal ini disebabkan contoh obes telah menyadari berat badan contoh lebih dari normal sehingga contoh membatasi konsumsi nasi. Beras giling (nasi) mempunyai kadar serat sebesar 1 gram untuk ¾ gelas atau 100 gram (Almatsier 2006). Frekuensi Konsumsi Kacang-kacangan Kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang gude, kacang kara, umumnya dikenal sebagai sumber protein. Kacang-kacangan dalam bentuk kering atau hasil olahannya, walaupun mengandung protein dengan nilai biologi sedikit lebih rendah daripada lauk hewani karena mengandung lebih sedikit asam amino esensial metionin, merupakan sumber protein yang baik. Disamping itu, kacang-kacangan kaya akan vitamin B,
37
kalsium, fosfor, zat besi, mangan, seng, tembaga, dan kalium. Kandungan serat yang tinggi dalam kacang-kacangan dihubungkan dalam pencegahan penyakitpenyakit jantung koroner, divertikular, apendisitis, kanker usus besar dan diabetes mellitus. Kacang-kacangan dan biji-bijian juga merupakan sumber serat pangan yang sangat potensial, terutama jika dikonsumsi dalam keadaan utuh. Pengolahan kacang-kacangan menjadi tepung tentu akan mengurangi kadar seratnya karena sebagian serat terdapat pada bagian kulit yang terbuang pada proses penepungan ( Astawan & Wresdiyati 2004). Porsi lauk nabati yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa sebanyak 100-150 gram atau 4-6 potong tempe sehari. Tempe dapat diganti dengan tahu atau kacang-kacangan kering (Almatsier 2001). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi kacang-kacangan dapat dilihat pada Tabel 17 dibawah ini. Tabel 17. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Kacangkacangan Jenis Pangan Tempe Tahu Kc. Merah Kc. Hijau Kc. Tanah
Obes Jumlah yang mengonsumsi (%) 100 100 28 12 28
Rata-rata frekuensi (kali/minggu) 3.3 3.1 1.4 1.3 1.6
Normal Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 100 3.5 100 3.3 24 2.1 16 1.5 36 2.1
Tabel 17 menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi tempe pada contoh normal lebih besar (3.5 kali/minggu) dibandingkan dengan contoh obes yaitu (3.3 kali/minggu). Tempe mempunyai kadar serat sebesar 3.5 g untuk dua potong sedang atau 50 gram (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi tahu pada contoh obes sebanyak 3.1 kali/minggu dan contoh normal 3.3 kali/minggu. Tahu mempunyai kadar serat sebesar 0.555 g untuk satu biji besar atau 110 gram (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi kacang merah pada contoh obes sebanyak 1.4 kali/minggu dan contoh normal 2.1 kali/minggu. Konsumsi kacang merah pada contoh normal lebih besar daripada contoh obes. Kacang merah mempunyai kadar serat sebesar 4 g untuk dua sendok makan atau 20 gram (Almatsier 2006). Frekuensi konsumsi kacang hijau pada contoh obes sebanyak 1.3 kali/minggu dan contoh normal 1.5 kali/minggu. Kacang hijau mempunyai kadar serat sebesar 7.5 g untuk dua sendok makan atau 20 gram (Almatsier 2006)
38
Frekuensi konsumsi kacang tanah pada contoh obes sebanyak 1.6 kali/minggu dan contoh normal 2.1 kali/minggu. Kacang tanah mempunyai kadar serat sebesar 2.175 g untuk dua sendok makan atau 15 gram (Almatsier 2006) Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber zat gizi dan zat-zat non gizi yang keduanya berperan penting bagi kesehatan tubuh. Sebagai sumber zat gizi, sayuran dan buah-buahan berperan dalam mengatur pertumbuhan, pemeliharaan, dan penggantian sel-sel pada tubuh manusia. Belakangan ini peranan zat-zat non gizi pada sayuran dan buah-buahan menjadi semakin penting dalam pencegahan dan pengobatan berbagai macam penyakit (Astawan 2004). Mengonsumsi sayuran dan buah-buahan sangat perlu dilakukan untuk meraih tingkat kesehatan yang optimal. Pentingnya sayuran dan buah-buahan, sehingga WHO (World Health Organization) dan para ahli gizi di Amerika Serikat menganjurkan agar paling sedikit mengonsumsi tiga porsi sayuran dan dua porsi buah-buahan setiap harinya (Astawan & Wresdiyati 2004). Konsumsi buah dan sayur sangat penting dalam pola makan seimbang. Hal ini disebabkan buah dan sayur
mengandung
vitamin
dan
mineral,
serat
makanan,
dan
zat-zat
phytochemical yang diperlukan tubuh (Sekarindah & Rozaline 2006). Menurut penelitian, konsumsi sayuran dan buah-buahan di Indonesia meningkat rata-rata 3.9% per tahun selama periode 1995-2010. Hal ini menggambarkan, secara tidak langsung
adanya
peningkatan
kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
mengonsumsi sayur dan buah yang bermanfaat bagi kesehatan (Kusumo 2010). Analisis kuantitatif didasarkan atas kelompok buah dan sayur serta frekuensi konsumsinya perminggu. Frekuensi Konsumsi Buah Komponen terbesar buah-buahan adalah air. Oleh karena itu, kandungan serat pangan dalam buah-buahan lebih rendah. Komponen terbesar dari serat pangan pada buah-buahan adalah senyawa pektin dan lignin. Selain sebagai sumber serat pangan, buah-buahan juga merupakan sumber vitamin yang sangat baik (khususnya vitamin B dan C) dan mineral (Astawan & Wresdiyati 2004). Mengonsumsi buah-buahan merupakan salah satu kebiasaan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari konsumsi buah-buahan setiap harinya (Kusumo 2010).
39
Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase konsumsi apel terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (32%) maupun contoh normal (28%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien apel adalah provitamin A (karotenoid), vitamin B, dan vitamin C; mineral besi, kalsium, fosfor, dan potassium/kalium; ellagic acid,caffeic acid, dan khlorogenic acid (antikanker); pektin; serta serat (Wirakusumah 2010). Buah apel mempunyai kadar serat sebesar 1.275 g untuk 1 buah apel berukuran kecil atau 85 gram (Almatsier 2006). Buah apel juga mengandung fitokimia, yaitu suatu antioksidan untuk melawan radikal bebas yang berasal dari polusi. Zat ini juga berfungsi mengurangi kadar kolesterol jahat (LDL) yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah (Kusumo 2010). Penelitian oleh beberapa ahli dari Cornell University menunjukkan bahwa hanya buah apel yang memiliki kandungan quercetin. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa (ekstrak) apel segar mampu menyediakan antioksidan yang setara dengan 1500 mg vitamin C (Kusumo 2010). Manfaat dari buah apel adalah menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan tekanan darah tinggi, menstabilkan gula darah, mengurangi nafsu makan, membunuh virus infeksi, meningkatkan kolesterol baik (HDL), memperlancar sistem pencernaan, mempertahankan kesehatan urat saraf dan sebagai antikanker (Wirakusumah 2010). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi buah-buahan dapat dilihat pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buahbuahan. Buah Obes - Apel - Mangga - Pisang - Jeruk - Pepaya Normal - Apel - Mangga - Pisang - Pir - Jeruk
< 1 Kali n %
Frekuensi Per Minggu 1-2 Kali < 3 Kali n % n %
Total n
%
4 4 3 3 2
16 16 12 12 8
7 4 10 10 9
28 16 40 40 36
0 4 2 4 1
0 16 8 16 4
11 12 15 17 12
44 48 60 68 48
3 0 2 0 2
12 0 8 0 8
8 6 3 4 10
32 24 12 16 40
5 3 4 3 5
20 12 16 12 20
16 9 9 7 17
64 36 36 28 68
Persentase konsumsi mangga terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (24%) maupun contoh normal (16%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buah mangga adalah vitamin C, provitamin A
40
(karotenoid),
vitamin
E,
dan
niasin;
mineral
fosfor,
kalsium,
dan
potassium/kalium; flavonoid; serta serat (Wirakusumah 2010). Kandungan serat dalam buah mangga sebesar 2.2 g untuk 1 buah mangga berukuran sedang atau 90 gram (Almatsier 2006). Di dalam mangga terkandung kalium dengan kadar yang cukup tinggi (189mg/100 gram). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa jika seseorang menambahkan sepotong buah tinggi kalium ke dalam pola makan sehari-hari, maka risiko terkena stroke fatal dapat dikurangi sebesar 40% (Kusumo 2010). Manfaat dari mangga adalah sebagai desinfektan bagi tubuh dan membersihkan darah; menurunkan panas tubuh; menghilangkan bau tubuh; sebagai antikanker dan antioksidan; serta memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi (Wirakusumah 2010). Persentase terbesar konsumsi pepaya pada contoh normal adalah konsumsi sebanyak 7 kali/minggu (8%) dan 3-6 kali/minggu (8%). Persentase terbesar konsumsi buah pepaya pada contoh obes adalah konsumsi selama 1-2 kali/minggu (36%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien pepaya adalah provitamin A dan vitamin C; mineral besi, potassium/kalium, dan magnesium; flavonoid; enzim papain; dan serat. Kandungan serat pada buah pepaya sebesar 4.75 gram untuk 1 potong berukuran sedang atau 110 gram (Almatsier 2006). Manfaat dari buah pepaya adalah sebagai antioksidan dan antikanker, memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, membantu pemecahan serat makanan sehingga feses lebih mudah dikeluarkan, dan menyembuhkan luka, infeksi, dan alergi (Wirakusumah 2010). Persentase konsumsi pisang terbesar pada contoh normal yaitu 12% pada kategori 3-6 kali/minggu dan 1-2 kali/minggu. Persentase terbesar pada contoh obes yaitu sebesar 40% pada kategori 1-2 kali/minggu. Kandungan zat gizi dan fitonutrien pisang adalah karbohidrat dalam bentuk pati dan gula; provitamin A (karotenoid), asam folat, vitamin B2 (riboflavin), dan vitamin C; mineral besi, potasium/kalium, dan magnesium; dan pektin. Kandungan serat pada buah pisang sebesar 1.4 gram untuk 2 buah pisang berukuran kecil atau 50 gram (Almatsier 2006). Manfaat buah pisang adalah memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, mengurangi asam lambung dan mengobati gangguan lambung, sebagai antioksidan dan antikanker, menurunkan kadar kolesterol dalam darah, baik untuk darah dan jantung, dan menjaga keseimbangan air di dalam tubuh (Wirakusumah 2010).
41
Konsumsi buah pir terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (16%) maupun contoh normal (16%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buah pir adalah gula dalam bentuk fruktosa; vitamin C, provitamin A (karotenoid), dan asam folat; mineral besi, potassium/kalium, dan tembaga; dan serat. Kandungan serat buah pir sebesar 11.05 gram untuk ½ buah pir berukuran sedang (Almatsier 2006). Manfaat buah pir adalah menurunkan demam, melancarkan saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, mengencerkan dan menghilangkan dahak, dan sebagai antioksidan (Wirakusumah 2010). Persentase konsumsi buah jeruk terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (40%) maupun contoh normal (40%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buah jeruk adalah provitamin A, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat; mineral besi, kalsium, fosfor, dan potassium/kalium; dan flavonoid, coumarin, dan pektin. Kandungan serat buah jeruk sebesar 0.275 gram untuk 2 buah jeruk berukuran sedang atau 110 gram (Almatsier 2006). Manfaat buah jeruk adalah meningkatkan kekebalan tubuh, sebagai antioksidan dan antikanker, memerangi infeksi, menurunkan kadar kolesterol, mencegah dan mengobati sariawan, dan mengobati demam (Wirakusumah 2010). Frekuensi Konsumsi Sayur Kandungan serat pangan pada sayuran lebih tinggi dibandingkan buahbuahan. Kadar serat pangan pada sayuran berkisar antara 2-3 gram per 100 gram. Sebagian besar serat pangan dalam sayuran larut dalam air sehingga konsumsi serat pangan dalam bentuk sayuran segar (seperti lalapan) lebih efisien dibandingkan konsumsi serat pangan dalam sayuran olahan (seperti sayuran kaleng). Kandungan serat pangan pada bahan-bahan tersebut sangat bervariasi, dipengaruhi oleh tingkat kematangan bahan, varietas, dan cara pengolahan. Seperti halnya buah-buahan, sayuran juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik (Astawan & Wresdiyati 2004). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi pangan jenis sayuran dapat dilihat pada Tabel 19 dibawah ini.
42
Tabel 19. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayur Obes - Kangkung - Bayam - Wortel - Buncis - Kol Normal - Kangkung - Bayam - Wortel - Buncis - Kc.Panjang
< 1 Kali n %
Frekuensi Per Minggu 1-2 Kali < 3 Kali n % n %
Total n
%
0 1 0 0 0
0 4 0 0 0
11 15 20 17 11
44 60 80 68 44
1 1 2 2 2
4 4 8 8 8
12 17 22 19 13
48 68 88 76 52
0 2 0 0 0
0 8 0 0 0
12 10 12 14 10
48 40 48 56 40
1 6 7 2 2
4 24 28 8 8
13 18 19 16 12
52 72 76 64 48
Tabel 19 menunjukkan bahwa persentase konsumsi wortel terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (80%) maupun contoh normal (48%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien wortel adalah provitamin A (karotenoid); mineral kalsium, fosfor, dan potassium/kalium; caumarin dan lutein; serta serat (Wirakusumah 2010). Kandungan serat wortel sebesar 3 gram untuk ½ gelas wortel atau 50 gram (Almatsier 2006). Diantara jenis sayuran lain, kandungan beta karoten dalam wortel adalah yang tertinggi, yaitu rata-rata 12.000 IU, sedangkan kebutuhan tubuh akan beta karoten per hari, menurut para ahli, adalah 15.000-25.000 IU (Kusumo 2010). Manfaat wortel adalah menurunkan
kolesterol
darah,
baik
untuk
kesehatan
mata
(mencegah
xeropthalmia), memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi, sebagai antikanker, menjaga kesehatan hati, dan menurunkan tekanan darah (Wirakusumah 2010). Persentase konsumsi kangkung terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (44%) maupun contoh normal (48%). Kangkung berfungsi sebagai penenang (sedatif) dan mampu membawa zat gizi ke saluran pencernaan. Itulah sebabnya, tanaman ini mempunyai kemampuan menetralkan racun di dalam tubuh. Selain mengandung vitamin A, vitamin B1 dan vitamin C, kangkung juga mengandung protein, kalsium, fosfor, zat besi, karoten, hentriakontan dan sitosterol. Di Filipina, kangkung biasa digunakan untuk menyembuhkan sembelit dan obat bagi mereka yang sedang melakukan diet. Akar kangkung juga berguna untuk mengobati penyakit wasir. Kandungan serat kangkung sebesar 2 gram untuk 1 gelas kangkung atau 100 gram (Almatsier 2006). Manfaat lain dari kangkung adalah mengurangi nyeri saat haid, menghentikan
mimisan,
mengatasi
sakit
kepala,
mengatasi
ambeien,
43
melancarkan air seni, mengurangi ketombe, mengatasi gusi bengkak, dan mengatasi eksim (Kusumo 2010). Konsumsi bayam terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (60%) maupun contoh normal (40%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien bayam adalah provitamin A (karotenoid), vitamin C, dan asam folat; mineral besi, kalsium, potassium/ kalium, dan mangan; serta klorofil dan saponin (Wirakusumah 2010). Kandungan serat bayam sebesar 2.45 gram untuk ¾ gelas bayam atau 75 gram (Almatsier 2006). Zat besi yang terkandung dalam bayam memiliki peran langsung dan penting untuk mengatasi kelelahan. Terkait dengan zat besi, bayam juga merupakan sumber vitamin C, yang terlibat dalam penyerapan zat besi oleh tubuh (Kusumo 2010). Manfaat bayam adalah baik untuk kesehatan sistem pencernaan, menurunkan risiko serangan kanker, sebagai antidiabetes, menurunkan berat tubuh, menurunkan kolesterol darah, dan mencegah anemia (Wirakusumah 2010). Konsumsi kol terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (44%) maupun contoh normal (36%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien kol adalah provitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin B1, dan vitamin B2; mineral kalsium, potassium/kalium, klor, yodium, fosfor, sodium, dan sulfur; klorofil,
flavonoid,
fenol,
coumarin,
dan
glutamin;
selulosa
dan
serat
(Wirakusumah 2010). Kandungan serat kol sebesar 4.725 gram untuk ¾ gelas atau 75 gram (Almatsier 2006). Manfaat kol adalah menghambat pertumbuhan tumor, mencegah kanker usus dan lambung, melumpuhkan racun-racun aditif yang berbahaya, membantu melenyapkan alkohol dalam darah, memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, menurunkan kolesterol darah, mencegah terjadinya penyakit jantung koroner, menekan timbulnya infeksi, membantu dalam pengendalian diabetes dan stimulant estrogen (Wirakusumah 2010). Di beberapa negara, kacang panjang digunakan untuk mengobati rematik, arthritis, dan gangguan saluran kemih. Sayuran ini berkhasiat untuk menjaga kulit dari gangguan jerawat, membantu pemulihan luka bakar, peluruh air seni, mengatasi diare, eksim, gangguan ginjal, gatal-gatal. Kandungan gizi kacang panjang adalah vitamin A, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin C, protein, tiamin, riboflavin, fosfor, zat besi, potassium folat, magnesium, mangan, kalori, sodium, karbohidrat, kalsium. Sayuran ini berguna untuk mengendalikan kadar gula darah, mengatasi hipertensi, memperkecil risiko stroke dan serangan
44
jantung, meningkatkan fungsi organ pencernaan, menurunkan risiko kanker dan membantu mengatasi sembelit serta memiliki sifat diuretik (peluruh kencing) tingkat sedang. Dalam 100 gram kacang panjang mengandung 45 kkal, kalsium 49 mg, fosfor 34 mg, zat besi 0.8 mg, karotenoid 422 mcg, dan vitamin C 21 mg. Kandungan serat kacang panjang tergolong tinggi maka baik dikonsumsi oleh penderita diabetes. Kandungan serat kacang panjang sebesar 3.74 gram untuk ¾ gelas atau 75 gram (Almatsier 2006). Manfaat lain kacang ini adalah untuk melancarkan
buang
air
(Sekarindah&Rozaline 2006).
besar
dan
menurunkan
kadar
kolesterol
Persentase konsumsi kacang panjang terbesar
terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (44%) maupun contoh normal (40%). Persentase konsumsi buncis terbesar terdapat pada kategori 1-2 kali/minggu baik pada contoh obes (68%) maupun contoh normal (56%). Kandungan zat gizi dan fitonutrien buncis adalah provitamin A (karotenoid), vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C; mineral potassium, fosfor, dan sodium; gum guar dan pektin; enzim protease inhibitor, dan serat (Wirakusumah 2010). Kandungan serat buncis sebesar 6.65 gram untuk ½ gelas atau 50 gram (Almatsier 2006). Manfaat buncis adalah menurunkan kolesterol darah, menurunkan tekanan darah, mengontrol insulin dan gula darah, memperlancar saluran pencernaan dan mencegah konstipasi, mencegah kanker usus besar dan kanker payudara, mencegah hemorrhoid dan masalah pencernaan lainnya, mengobati tukak lambung, dan pembentuk otot (Wirakusumah 2010). Konsumsi Fast food Fast food sudah merambah ke negara-negara Asia termasuk Indonesia. Makanan ini banyak digemari oleh dewasa bahkan remaja dan anak-anak. Selain memiliki rasa yang enak, iklan yang gencar, fast food juga mulai menjadi tren sendiri di kalangan kita. Di Amerika, kejadian obesitas meningkat bersamaan dengan makin maraknya fast food di negara tersebut. Jenis-jenis fastfood yang sering dijumpai adalah pizza, burger, hotdog, kentang goreng (fried fries), ayam goreng (fried chicken), chicken nugget (Freitag 2010). Tabel 20 menunjukkan persentase terbesar konsumsi semua jenis fast food kecuali chicken nugget terdapat pada kategori kurang dari 1 kali/minggu baik pada contoh obes maupun contoh normal. Pada konsumsi chicken nugget hanya terdapat satu orang contoh dengan status gizi normal selama 3-6
45
kali/minggu. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.741) antara contoh obes dan contoh normal. Daging ayam yang telah menjadi chicken nugget dapat jauh berbeda dengan daging ayam biasa. Sepotong daging ayam bagian dada yang telah digoreng dan siap makan, setiap 100 gramnya mengandung energi sebanyak 187 kkal, sedangkan ayam yang sudah menjadi chicken nugget dan telah digoreng memiliki kandungan energi mencapai 334 kkal atau hampir mencapai 2 kali lipatnya. Selain itu, terdapat fakta bahwa asam lemak jenuhnya dapat meningkat dari 1.29 gram menjadi 4.94 gram. Hal ini merupakan suatu penambahan yang tidak sedikit bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan karena asam lemak jenuh yang tinggi tidak baik bagi jantung (Freitag 2010). Sebaran status gizi contoh berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dapat dilihat pada Tabel 20 dibawah ini. Tabel 20. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Frekuensi Konsumsi Fast food Jenis Fast food
Fried chicken Pizza Spaghetti Fried fries Hamburger Chicken nugget
Obes Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 48 0.8 16 2 8 0.5 20 1.1 4 0.5 4 0.5
Normal Jumlah yang Rata-rata mengonsumsi frekuensi (%) (kali/minggu) 40 1.3 28 0.8 40 1.1 32 0.5 16 0.9 -
Tabel 20 menunjukkan bahwa jumlah yang mengonsumsi fried chicken pada contoh obes lebih banyak (48%) jika dibandingkan dengan contoh normal (40%). Frekuensi konsumsi fried chicken contoh tidak berbeda jauh (0.8 kali/minggu dan 1.3 kali/minggu). Jumlah yang mengonsumsi pizza pada contoh normal lebih banyak (28%) jika dibandingkan dengan contoh obes (16%), tetapi frekuensi konsumsi pizza pada contoh obes lebih sering (2 kali/minggu) dibandingkan dengan contoh normal (0.8 kali/minggu). Frekuensi konsumsi spaghetti pada contoh normal adalah 1.1 kali/minggu dan
contoh obes 0.5
kali/minggu. Jumlah yang mengonsumsi spaghetti pada contoh normal lebih banyak (40%) jika dibandingkan dengan contoh obes (8%). Jumlah yang mengonsumsi fried fries pada contoh normal lebih banyak (32%) jika dibandingkan dengan contoh obes (20%), tetapi frekuensi konsumsi fried fries pada contoh obes lebih sering (1.1 kali/minggu) dibandingkan dengan contoh normal (0.5 kali/minggu). Frekuensi konsumsi hamburger pada contoh
46
normal adalah 0.9 kali/minggu dan contoh obes 0.5 kali/minggu. Jumlah yang mengonsumsi hamburger pada contoh normal lebih banyak (16%) jika dibandingkan dengan contoh obes (4%). Chicken nugget hanya dikonsumsi oleh contoh obes yaitu sebanyak 0.5 kali/minggu oleh satu orang contoh (4%). Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,741) antara contoh obes dan contoh normal. Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang diikuti oleh 6212 anak dan remaja yang berumur antara 4 hingga 19 tahun, menunjukkan bahwa terdapat 30% lebih yang mengonsumsi makanan fast food. Berdasarkan penelitian ini, anak yang mengonsumsi fast food ternyata juga memperoleh energi 187 kkal lebih tinggi, lemak 9 gram lebih tinggi, karbohidrat 24 gram lebih tinggi, gula 26 gram lebih tinggi, minuman dengan gula 228 gram lebih banyak, serat 26 gram lebih sedikit, susu 65 gram lebih sedikit, sayur dan buah 45 gram lebih sedikit (Freitag 2010). Penelitian ini telah membuktikan bahwa orang yang sering mengonsumsi fast food akan lebih banyak mendapatkan energi tetapi tidak mendapatkan zat gizi lainnya. Hal ini menjadi alasan fast food sering dikatakan makanan yang tidak bergizi dan sering dikatakan sebagai junk food atau makanan tidak bermutu. Di dalam fast food, terdapat kalori dalam jumlah tinggi, lemak dan gula sederhana yang mampu meningkatkan risiko untuk menjadi gemuk bahkan obesitas. Selain itu, kandungan vitamin yang seharusnya ada di dalam sayur dan buah menjadi lebih jarang dikonsumsi oleh penikmat fast food (Freitag 2010). Aktivitas Fisik Perkembangan peradaban manusia menuju ke semakin dominannya pekerjaan mental daripada pekerjaan fisik mengakibatkan kurang gerak dan kelebihan berat badan, serta gangguan metabolisme (Indriati 2010). Pengaruh aktivitas fisik yang rendah terhadap obesitas telah banyak dibuktikan dari berbagai macam penelitian. Dengan semakin majunya teknologi yang diciptakan manusia, kebutuhan manusia untuk melakukan aktivitas fisik berkurang secara drastis (Freitag 2010). Tabel 21 menunjukkan sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik.
47
Tabel 21. Sebaran Status Gizi Contoh berdasarkan Tingkat Aktivitas Fisik Obes No. 1. 2. 3. 4.
Kategori Tingkat aktivitas Fisik Sangat Ringan (<1.40) Ringan (1.4-1.69) Sedang (1.70-1.99) Berat (2.00-2.39) Total Rata-rata±SD
Normal
n
%
n
%
14 11 0 0 25
56 44 0 0 100
9 16 0 0 25
36 64 0 0 100
1.4±0.1
1.4±0.1
Tabel 21 menunjukkan bahwa pada contoh obes mempunyai tingkat aktivitas fisik yang sangat ringan (56%). Pada contoh normal, persentase terbesar adalah kategori tingkat aktivitas fisik yang ringan (72%). Contoh obes maupun normal mempunyai rata-rata tingkat aktivitas fisik sebesar 1.4±0.1 Ratarata tingkat aktivitas fisik pada contoh tergolong sama. Hal ini disebabkan contoh obes dan normal mempunyai kegiatan pekerjaan yang hampir sama. Berdasarkan uji beda t-test, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,427) antara contoh obes dan contoh normal. Tabel 22 menunjukkan sebaran alokasi waktu contoh berdasarkan jenis dan lama kegiatan. Tabel 22. Alokasi Waktu Contoh berdasarkan Jenis dan Lama Kegiatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Kegiatan Tidur Mandi/berpakaian/berdandan Makan Pekerjaan Rumah Tangga Ibadah/sholat Bekerja di kantor Naik mobil/bus/angkot Mengendarai mobil Mengendarai motor Berjalan tanpa beban Kegiatan waktu luang Olahraga Duduk Pekerjaan pertanian Berdiri membawa beban Mengasuh anak
Alokasi waktu (Jam) Obes
Normal
6.6 0.6 0.7 0.7 0.8 4.5 0.3 0.2 0.4 0.9 4.5 0.0 3.5 0.1 0.1 0.0
7.1 0.9 1.1 1.5 1.2 4.2 0.5 0.0 0.2 0.2 5.4 0.2 1.2 0.1 0.0 0.1
Tabel 22 menunjukkan bahwa waktu tidur tidak jauh berbeda antara contoh obes (6.6 jam) dan contoh normal (7.1 jam). Perbedaan waktu tidur contoh selama 0.5 jam. Tubuh memerlukan istirahat yang cukup, artinya tidak berlebihan dan kekurangan. Menurut Astawan (2008), kebutuhan tidur bervariasi
48
pada masing-masing orang, umumnya 6-8 jam perhari. Perbedaan alokasi waktu yang digunakan adalah ketika melakukan duduk, contoh obes selama 3.5 jam sedangkan contoh normal selama 1.2 jam, terdapat perbedaan 2.2 jam antara keduanya. Perbedaan alokasi waktu juga terdapat pada kegiatan waktu luang, contoh dengan status gizi obes selama 4.5 jam sedangkan contoh dengan status gizi normal selama 5.4 jam, terdapat perbedaan 0.8 jam diantara keduanya. Menonton televisi merupakan salah satu dari kegiatan waktu luang contoh. Kebiasaan menonton televisi sambil ngemil juga harus dikurangi. Umumnya, snack menjadi makanan selingan yang sering dikonsumsi secara berlebihan pada saat menonton televisi. Kegiatan menonton televisi yang termasuk dalam aktivitas ringan harus selalu diimbangi dengan aktivitas fisik lain yang bersifat lebih mengeluarkan energi. Oleh karena itu, sebaiknya, melakukan olahraga tiga kali seminggu masing-masing selama 50-60 menit (Anwar & Khomsan 2009). Hubungan Antar Variabel Tingkat konsumsi serat pangan sangat bervariasi antar negara, antar daerah, antar musim, dan antar individu. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi lingkungan, kemampuan daya beli, jenis kelamin dan pola makan masyarakat. Tabel 23 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, umur contoh tidak memiliki hubungan dengan konsumsi serat contoh (r=0.167 p=0.248). Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur contoh tidak mengggambarkan konsumsi serat mencukupi setiap harinya. Tabel 23 menunjukkan hubungan umur dengan variabel lain. Tabel 23. Hubungan Umur dengan Variabel Lain Variabel Lain Konsumsi serat Aktivitas Fisik Konsumsi Fast food
r 0.167 0.033 0.091
p 0.248 0.821 0.529
Menurut Astawan dan Wresdiyati (2004), faktor umur pada kaum pria tidak berpengaruh terhadap jumlah konsumsi serat pangan. Namun, pada wanita yang lebih muda tingkat konsumsi serat pangannya lebih tinggi jika dibandingkan wanita yang lebih tua. Perbedaan ini dapat dilihat pada wanita muda Parahiyangan yang gemar mengonsumsi lalap dalam jumlah yang cukup besar. Pada umur lanjut konsumsi serat akan semakin menurun karena perubahan susunan gigi-geligi yang mempengaruhi proses pengunyahan dan pencernaan makanan. Tabel 23 juga menunjukkan bahwa umur contoh tidak memiliki
49
hubungan yang signifikan dengan aktivitas fisik contoh (r=0.033 p=0.821). Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur tidak menggambarkan aktivitas fisik contoh akan mengalami peningkatan. Semakin bertambahnya umur contoh, diduga erat kaitannya dengan banyaknya contoh yang mengalami gangguan kesehatan, sehingga dengan adanya gangguan kesehatan tersebut dapat mengakibatkan aktivitas fisik contoh mengalami penurunan. Umur contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi fast food contoh (r= 0.091 p=0.529). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin bertambahnya umur contoh tidak menggambarkan konsumsi fast food contoh semakin tinggi. Tabel 24 menunjukkan hubungan status gizi dengan variabel lain. Tabel 24. Hubungan Status Gizi dengan Variabel Lain Variabel Lain Konsumsi serat Konsumsi fast food Aktivitas fisik Faktor Genetik
r 0.108 0.063 -0.200 0.308
p 0.457 0.665 0.163 0.030
Tabel 24 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, konsumsi serat contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi contoh (r=0.108 p=0.457). Hasil tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai IMT (status gizi) contoh tidak menggambarkan konsumsi serat yang telah tercukupi setiap hari. Hal ini juga menunjukkan bahwa contoh dengan status gizi obes dan normal belum dapat memenuhi kebutuhan seratnya setiap hari. Konsumsi fast food contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi contoh (r=0.063 p=0.665). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besarnya nilai IMT (status gizi) contoh tidak menggambarkan semakin tingginya konsumsi fast food contoh. Penelitian
Virgianto dan Purwaningsih
(2006) mengatakan bahwa variasi jenis makanan cepat saji bukanlah faktor risiko untuk terjadinya obesitas. Setelah dilakukan uji korelasi, ternyata memang tidak didapatkan hubungan antara variasi jenis makanan cepat saji dengan terjadinya obesitas. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa aktivitas fisik contoh tidak memiliki hubungan yang negatif dengan status gizi contoh (r=-0.200 p=0.163). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tingginya nilai IMT (status gizi) contoh maka aktivitas fisik contoh akan semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh jenis pekerjaan dan kegiatan setiap harinya pada hari kerja yang relatif sama. Selain itu, contoh dengan status gizi obes lebih berpeluang terhadap risiko mengalami
50
gangguan persendian, sehingga anggota tubuhnya akan mengalami sakit jika digerakkan terlalu sering. Penelitian menunjukkan ada hubungan yang bertolak belakang antara IMT dan aktivitas fisik. Menurun dan rendahnya tingkat aktivitas fisik dipercaya sebagai salah satu hal yang menyebabkan obesitas. Tren kesehatan terkini juga menunjukkan prevalensi obesitas meningkat bersamaan dengan meningkatnya perilaku sedentary dan berkurangnya aktivitas fisik (WHO 2000). Tabel 24 juga menunjukkan bahwa faktor genetik contoh memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi contoh (r=0.308 p=0.030). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai IMT yang menggambarkan status gizi contoh maka semakin tinggi juga peranan faktor genetik contoh. Menurut Anwar dan Khomsan (2009), faktor genetik berperan penting terhadap munculnya kegemukan pada seseorang. Jika kedua orangtua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang anak-anaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40%. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat badan seseorang. Hal ini merupakan faktor keturunan dari orang tua yang sulit dihindari. Bila ayah atau ibu memiliki kelebihan berat badan, hal ini dapat diturunkan pada anak. Obesitas yang disebabkan oleh lingkungan pada generasi sebelumnya dapat tertanam di dalam gen generasi tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi berikutnya (Mustofa 2010). Tabel 25 menunjukkan hubungan pengetahuan gizi dengan variabel lain. Tabel 25. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Variabel Lain Variabel Lain Umur Pendidikan Konsumsi serat Konsumsi fast food Aktivitas fisik
r 0.276 0.172 0.083 0.144 -0.172
p 0.052 0.231 0.567 0.318 0.233
Tabel 25 menunjukkan bahwa hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa
umur
contoh
tidak
memiliki
hubungan
yang
signifikan dengan
pengetahuan gizi contoh (r=0.276 p=0.052). Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya umur contoh tidak menggambarkan pengetahuan gizi contoh akan semakin baik. Pengetahuan gizi contoh yang tergolong baik tidak berdasarkan pertambahan dari umur contoh. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
51
konsumsi serat contoh (r=0.083 p=0.567). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh yang baik tidak menggambarkan konsumsi serat contoh tercukupi pada setiap harinya. Hal ini dapat terjadi karena terdapat individu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik tetapi tidak mempraktekkan sesuai dengan pengetahuan gizi yang dimilikinya. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa pengetahuan gizi contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi fast food contoh (r=0.144 p= 0.318). Hal ini dapat diartikan bahwa pengetahuan gizi yang tergolong baik tidak menggambarkan konsumsi fast food contoh semakin tinggi. Pengetahuan gizi contoh juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan aktivitas fisik contoh (r=-0.172 p= 0.233). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin baiknya pengetahuan gizi contoh maka aktivitas fisik contoh akan semakin rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pengetahuan gizi contoh (r=0.172 p=0.231). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya pendidikan tidak menggambarkan pengetahuan gizi contoh akan semakin baik. Pengetahuan gizi contoh yang tergolong baik tidak berdasarkan pada pendidikan contoh. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan gizi adalah perkumpulan sosial dan media informasi seperti membaca buku, membaca koran, internet sehingga dapat menyebabkan pengetahuan contoh bertambah, tetapi media informasi tidak diteliti dalam penelitian ini. Tabel 26 menunjukkan hubungan pendapatan dengan variabel lain. Tabel 26. Hubungan Pendapatan dengan Variabel Lain Variabel Lain Pendidikan Konsumsi serat Konsumsi fast food
r 0.221 0.054 0.130
p 0.124 0.709 0.368
Tabel 26 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, pendapatan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pendidikan contoh (r=0.221 p=0.124). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan tidak menggambarkan pendapatan contoh akan semakin tinggi pula. Hal ini terlihat pada contoh yang mempunyai pendidikan terakhir pada tingkat perguruan tinggi mempunyai pendapatan yang lebih rendah dari contoh yang mempunyai pendidikan terakhir pada tingkat SMA. Pendapatan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi fast food contoh (r=0.130 p=0.368).
52
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
semakin
tingginya
pendapatan
tidak
menggambarkan semakin tingginya konsumsi fast food contoh. Hal ini diduga kaitannya dengan beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu anggaran pendapatan yang ada akan digunakan untuk keperluan biaya yang lain. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa pendapatan contoh tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi serat contoh (r=0.054 p=0.709). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya pendapatan contoh tidak mengggambarkan konsumsi serat mencukupi setiap harinya. Menurut Astawan dan Wresdiyati (2004), tingkat pendapatan seseorang sangat mempengaruhi
jumlah
konsumsi
serat
pangan.
Semakin
tinggi
tingkat
pendapatan, tingkat konsumsi bahan hewani (daging, ikan telur) seseorang cenderung meningkat, sedangkan konsumsi bahan nabati seperti nasi, jagung, sayuran dan buah cenderung berkurang. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah konsumsi serat pangan menurun dengan meningkatnya jumlah pendapatan.