HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Longsor pada Wilayah Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan pada 32 titik longsor, terdapat 2 karakteristik longsor yang ditemui, yaitu 1) gelinciran tanah (earth flow) (30 kasus atau 94%), dan 2). penurunan muka tanah/a mblesan (subsidence) (2 kasus atau 6%). Rekapitulasi hasil pengamatan ke 32 titik longsor tersebut disajikan pada Lampiran 4. Wilayah pengamatan meliputi tiga Kecamatan di Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Banjarwangi, Kecamatan Singajaya dan Kecamatan Peundeuy.
Jumlah Kejadian Longsor
Hasil pengamatan terhadap frekuensi kejadian longsor disajikan pada Gambar 8.
25 20 15
Subsidence Earth Flow
10 5 0 Banjarwangi
Singajaya
Peundeuy
Gambar 8. Hasil Pengamatan Longsor di tiga Kecamatan di Kabupaten Garut Berdasarkan seluruh kejadian tanah longsor, 23 titik tanah longsor terjadi di Kecamatan Banjarwangi meliputi 2 titik penurunan muka tanah (subsidence) dan 21 titik gelinciran tanah (earth flow), di Kecamatan Singajaya terjadi 5 titik tanah longsor dan tanah longsor di Kecamatan Peundeuy ditemukan 4 titik. Keseluruhan lo kasi tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 9. Tipe longsor gelinciran tanah (earth flow) merupakan tipe gerakan tanah aliran bahan rombakan dan tanah yang jenuh air dalam kondisi kental dan
plastis. Longsoran tipe ini berkomposisi material yang kaya akan liat dan mengembang bila basah sehingga menyebabkan berkurangnya gaya kohesi antar butir tanah. Disamping itu, kondisi lokasi penelitian yang berbukit-bukit dan memiliki kelerengan terjal menyebabkan tanah longsor tipe ini banyak ditemukan. Disamping faktor tersebut, rusaknya vegetasi dan pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan resiko terjadinya tanah longsor setiap tahun terus meningkat.
Gambar 9 menunjukkan tipe longsor
gelinciran tanah yang terjadi di wilayah penelitian, yaitu di Kecamatan Banjarwangi. Tabel 9. Lokasi dan Tipe Tanah Longsor di wilayah Penelitian No
Tipe Tanah Longsor
Jumlah Kasus
Lokasi Kec.
Banjarwangi
:
Kp.
Wanahayu,
Kp.
Padahurip, Kp. Genteng (3 titik) , Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik) , Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Pasir Kondang, Kp.
1.
Earth Flow
Sindang
Panon,
Kp.
Ciwayang,
21
Kp.
Mekartani (2 titik), Kp. Sukawangi, dan Kp. Pancasura (2 titik) Kec. Singajaya : Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Cibitung, Kp. Cikadu dan Kp. Cipari Kec. Peundeuy : Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Cinambo dan Kp. Secang
2.
Subsidence
Kec. Banjarwangi : Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari
Sumber : Di olah dari data primer
5
4
2
Gambar 9. Longsor Tipe Gelinciran Tanah di Kecamatan Banjarwangi Gelinciran tanah yang terjadi di lokasi penelitian disebabkan oleh peningkatan beban tanah yang terdapat pada lereng perbukitan yang terjal. Proses terjadinya tanah longsor ini dimulai dari aktivitas masyarakat membuka lahan untuk kegiatan bercocok tanam dan membangun infrastruktur (rumah dan jalan). Selanjutnya diikuti oleh berbagai aktivitas lainnya : mengolah tanah, mengalirkan air (untuk sawah) dan memotong lereng. Saat musim penghujan, tanah -tanah yang telah diolah ini tidak mampu lagi menahan beban yang terdapat diatasnya, disamping itu mekanisme dari dalam tanah ikut mendorong terjadinya gelinciran tanah, yaitu adanya lapisan tanah yang kedap air sehingga membuat badan lereng bergerak ke bawah (akibat bertambahnya beban). Keadaan wilayah di sekitar lokasi kejadian longsor (zona longsor) dapat dikategorikan menjadi 3 kondisi, yaitu rawan longsor, potensial dan stabil. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi yang mencirikan/karakteristik keadaan zona tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 10. Kajian karakteristik keadaan zona longsor (Tabel 10), mengindikasikan 57% (18 titik zona longsor) tergolong dalam kondisi rawan terjadinya longsor, kondisi stabil terdapat 34% (11 titik zona longsor) dan potensial mengalami longsor 9% (3 titik zona longsor) (Gambar 10). Wilayah yang termasuk dalam ke 3 kategori zona longsor seperti terdapat dalam Tabel 11.
34%
Kondisi zona longsor : Stabil
57% 9%
Potensial Rawan
Gambar 10. Kondisi Zona Longsor di Wilayah Penelitian Tabel 10. Karakteristik Zona Longsor di Lokasi Penelitian Zona Longsor Potensial
No
Karakteristik /ciri-ciri
1
Retakan-retakan tanah pada tapak di sekitar lokasi tanah longsor
Sangat jelas
Terlihat (tidak nyata)
Tidak terlihat
2
Keadaan dan panjang lereng di sekitar lokasi tanah longsor
Relatif segaram
Seragam
Relatif bervariasi
3
Jejak erosi longsor
Intensif
Rendah
Tidak terlihat
4
Gawir longsor
Terlihat
Terlihat
Tidak terlihat
5
Kedaan vegetasi
Pohon tumbuh miring searah lereng
-
-
6
Aktivitas masyarakat di bagian atas lereng
Intensif
intensif
rendah
7
Kejadian longsor (baru sekali terjadi/sering)
Sering terjadi
baru terjadi
-
8
Sumber air tanah di lokasi tanah longsor
Banyak muncul terutama di musim hujan
Banyak muncul terutama di musim hujan
tidak terlihat
sekitar
Rawan
lokasi
Stabil
Sumber : diolah dari data primer
Keadaan zona longsor yang tergolong rawan dicirikan oleh 1) tingkat kelerengan yang sangat terjal, 2) retakan-retakan pada tubuh lereng terlihat cukup jelas 3) reruntuhan kecil material tan ah banyak ditemukan di sekitar titik longsor, 4) pada wilayah ini hampir sebagian besar kondisinya tanpa vegetasi (hanya ditumbuhi semak dan tanaman semusim), 5) a ktivitas pertanian di bagian atas lereng cenderung sangat intensif dan 6) ditemukannya jejak erosi pada permukaan tanah yang berupa erosi lembar (sheet erosion ), yang dicirikan dari pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya .
Erosi yang terjadi ini disebabkan kekuatan jatuh butir hujan dan tingginya aliran permukaan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada zona longsor yang tergolong rawan akan terjadinya longsor, adalah banyaknya sumber air yang muncul dari tebing -tebing perbukitan. Mata air ini secara terus menerus mengeluarkan air. Menurut masyarakat setempat, sumber air ini akan semakin banyak pada saat musim penghujan dan berangsur menurun jumlahnya pada saat musim kemarau. Hal ini salah satu yang membedakan antara kondisi pada zona longsor yang rawan dengan zona yang stabil. Tabel 11. Kondisi Zona Longsor pada Lokasi Penelitian No
Karakteristik Zona Longsor
Lokasi
Jumlah Kasus
%
11
34
3
9
18
57
Kp. Genteng, Kp. Jabeng I dan II, Kp. 1.
Stabil
Cikadu,
Mekartani, Jajawai,
Kp.
Kp. Kp.
Cipari,
Kp.
Cinambo,
Kp.
Cilangari,
Kp.
Pasirkondang dan Kp. Pancasura 2.
Potensial
Kp. Wanahayu, Kp. Pad ahurip dan Kp.Kadulempeng Kp. Singkur, Kp. Jabeng III, Kp. Cibeureuem I dan II, Kp. Cibitung, Kp.
3.
Rawan
Cikupa,
Secang,
Kp.
Kp.
Toblong,
Kp.
Cibangkong,
Kp.
Ciparai, Kp. Sindang Panon, Kp. Pancasura I dan II, Kp. Mekartani II, Kp. Ciudian, dan Kp. Jayamukti. Sumber : Diolah dari data primer
Keadaan zona longsor yang termasuk stabil pada lokasi penelitian tersebar pada 11 titik (34%). Kondisi stabil dari bahaya tanah longsor ini didukung oleh keadaan lereng yang relatif lebih kompak dan landai, tidak ditemukannya adanya retakan -retakan pada tubuh lereng serta keadaan vegetasi cukup baik (dibeberapa lokasi masih ditemukan tegakan tanaman keras seperti sengon, bambu, dan tanaman hortikultura lainnya).
Kondisi zona yang cukup stabil terhadap longsor tersebut dapat berubah menjadi rawan longsor, apabila aktivitas yang mendukung terjadinya tanah longsor bertambah besar. Kondisi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor antara lain adalah aktivitas yang dapat membahayakan stabilitas lereng, seperti : aktivitas memotong lereng, membuka lahan untuk kegiatan pertanian dan pembangunan infrastruktur (jalan dan pemukiman). Luasnya areal tanah longsor yang terjadi di lokasi penelitian memiliki korelasi dengan volume material longsor. Material tanah longsor di lokasi penelitian terdiri dari campuran tanah, batuan dan sisa-sisa tumbuhan yang terdapat di permukaan tanah. Besarnya volume material longsor yang terlihat pada lokasi tanah longsor cenderung dipengaruhi oleh luasnya bidang longsor dan tebalnya solum tanah pada titik longsor tersebut. Namun dari hasil analisis terhadap seluruh titik longsor yang diamati, ternyata besarnya volume longsor memiliki hubungan yang rendah dikaitkan dengan berbagai faktor utama penyebab longsor. Memprediksi besar volume longsor yang akan terjadi menjadi sulit jika terkait dengan berbagai faktor penyebab tanah longsor. Dengan kata lain, kejadian tanah longsor atau kondisi zona longsor dapat diprediksikan dari berbagai faktor-faktor utama penyebab tanah longsor, tetapi besar volume material yang akan bergerak menjadi tanah longsor sulit diprediksikan. Secara substansial besarnya volume longsor yang akan terjadi dipengaruhi oleh tebal lapisan tanah yang akan bergerak turun akibat beban yang terdapat dibagian atas lereng dan berkurangnya daya tahan geser tanah. Permasalahannya setiap bagian dari bidang lereng memiliki daya tahan geser tanah yang berbeda sehingga sukar membuat suatu penampang perkiraan volume longsor. Intensitas kejadian tanah longsor setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan aparat desa di lokasi penelitian kejadian tanah longsor dalam 5 tahun terakhir semakin sering
ditemukan, terutama di lahan -lahan yang telah dikelola masyarakat baik untuk pertanian dan infrastruktur. Gambar 11 menunjukkan intensitas kejadian longsor
Jumlah Kejadian Longsor Jumlah Kejadian Longsor
4 ta hun terakhir di wilayah penelitian. 25 20 15 10 25 20
5 0 2001
2002
2003
> 2004
15
10 Gambar 11. Kejadian Longsor Sejak Tahun 2001 di Lokasi Penelitian 5
Pada tahun 2001 paling tidak tercatat 5 kejadian longsor yaitu di Kp. 0
Padahurip, Kp. Genteng, Kp. Toblong, Kp. Kadulempeng dan Kp. Jajawai. 2003 2001 2002 > 2004 Sedangkan tahun 2002 tercatat tambahan 2 kejadian, yaitu di Kp. Jabeng dan Kp. Sindang Panon. Pada tahun 2003 terjadi 5 kasus, yaitu di Kp. Wanahayu, Kp. Cibeureum, Kp. Cikupa , Kp. Pancasura dan Kp. Jayamukti. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk di lokasi bencana longsor, kejadian longsor biasanya terjadi pada saat musim hujan. Pada musim hujan longsor hampir setiap saat dapat terjadi, terutama apabila curah hujan semakin tinggi, biasanya kejadian longsor diawali oleh semakin banyaknya limpasan air yang mengalir turun dari atas bukit, selanjutnya material longsor berupa pasir ataupun sisa -sisa tanaman perlahan bergerak turun, terkadang terjadi begitu cepat. Landform dan Karakteristik Fisik Tanah Bentang lahan di lokasi penelitian didominasi oleh perbukitan yang memiliki kelerengan terjal. Kondisi alamiah ini menjadi salah satu faktor
pendorong kejadian longsor di wilayah penelitian. Sangat sulit sekali menemukan suatu bentang lahan yang relatif datar dan landai. Keadaan ini membuat masyarakat harus melakukan modifikasi terhadap lahan apabila ingin membangun fasilitas umum seperti : jalan dan pemukiman. Dari hasil analisis, besarnya sudut lereng menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam setiap
Frekuensi Frekuensi Kumulatif Longsor Kumulatif
kejadian longsor, seperti terlihat pada Gambar 12. 35 33 31 29 27 25 23 21 19 17 15 13 11 9 7 5 3 1 1
3
5
7
9
11 13 1 5 17 19 21 23 25 2 7 29 31 33 35 37 39 41 4 3 45 47
o
Slope Kemiringan Lereng (.. )
Gambar 12 . Hubungan Kelerengan (slope) dan Frekuensi Tanah Longsor Gambar 12 menunjukkan pengaruh terbesar (titik kritis) sudut kelerengan mulai terlihat pada kemirinagn lereng =31o. Frekuensi kejadian longsor pada tingkat kelerengan =31 o ditemukan sebanyak 23 kasus, pada kelerengan 21o – 30o ditemukan 5 kasus dan pada kemiringan lereng
= 20 0 ditemukan 4 titik
longsor (Tabel 12). Tabel 12. Frekuensi Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Kemiringan Lereng No
Kemiringan o Lereng (… )
1.
= 20
2.
21 – 30
3.
= 31 o
Kp. Jabeng II & III, Kp. Cilangari, Kp.
o
o
Lokasi
Sindang Panon o
Kp. Cipari, Kp. Cikupa, Kp.Jayamukti, Kp. Pancasura dan Kp. Sukawangi Kp. Wanahayu, Kp. Padahurip, Kp. Genteng, Kp. Singkur, Kp. Jabeng,
Kp. Cibeureum, Kp.
Jumlah
%
4
12
5
16
23
72
Cibitung, Kp. Cikadu, Kp. Toblong, Kp. Cinambo, Kp. Secang, Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. Pasirkondang, Kp. Ciudian, Kp. Mekartani dan Kp. Pancasura Sumber : Diolah dari data primer
Hal yang mendapat perhatian dari suatu kejadian longsor tipe gelinciran (terkait dengan faktor kelerengan) adalah besarnya sudut kemiringan lereng. Dari keseluruhan titik kejadian longsor, 30 kasus titik longsor dengan tipe gelinciran tanah terjadi akibat dari besarnya sudut kelerengan. Walaupun pada beberapa titik kasus, longsor juga terjadi pada lereng yang relatif landai, terutama longsor dengan tipe amblesan (subsidence) (dalam hal ini ditemukan 2 kasus amblesan tanah yaitu di Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari) dari 2 kasus tersebut, 1 kasus longsor dengan tipe amblesan terjadi pada lahan persawahan dengan kemiringan lereng 17o. Berdasarkan pengamatan di lapangan, amblesan tanah disebabkan oleh adanya ruang kosong pada lapisan bawah tanah, sehingga tanah permukaan menjadi turun. Kekosongan bagian bawah permukaan tanah ini besar kemungkinan karena adanya aliran air bawah tanah, sehingga secara perlahan aliran tersebut membawa material tanah yang dilaluinya, sehingga bagian tanah tersebut menjadi hilang daya tahan tanahnya. Aliran bawah tanah ini terlihat dari munculnya mata air pada kaki bukit di lokasi yang mengalami amblesan. Ketebalan tanah berperan juga dalam kejadian tanah longsor. Pada wilayah kajian terlihat semakin tebal tanah maka semakin banyak ditemukan kejadian longsor. Frekuensi kejadian longsor tertinggi ditemukan pada ketebalan tanah antara 100 – 200 cm. Gambar 13 menunjukkan hubungan antara ketebalan tanah dengan jumlah kejadian longsor. Di lokasi penelitian ditemukan 23 kasus longsor pada ketebalan tanah antara 100 – 200 cm, sedangkan pada lokasi dengan ketebalan tanah lebih dari 100 cm terjadi 9 kasus seperti pada
Ketebalan
tanah
berpengaruh
terhadap
beban
lereng
yang
menjadikann ya berpotensi longsor. Secara teoritis, lapisan tanah tebal pada lereng terjal (>30 o) sangat berpotensi untuk menjadi tanah longsor terutama di musim hujan. Air hujan yang jatuh akan masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi dan apabila pada lapisan bawah tanah terdapat bagian kedap air (lapisan bahan induk) maka akumulasi simpanan air hujan tersebut akan menurunkan daya rekat (kohesi) tanah sehingga dengan kondisi terus berlanjut menyebabkan daya tahan geser tanah akan lebih rendah dari daya geser tanah (µ s < µ k). Tabel 13. Ketebalan Tanah di Lokasi Tanah Longsor 35
2.
Kp.
23 21 19 17 15 13 11 9 7 5 3 1
Kadulempeng,
Kp.
Jajawai,
Jumlah Kasus
%
9
28
23
72
Kp.
Sindang Panon, Kp. Pancasura (2 titik) ,
< 100
Kp.
Mekartani,
Kp.
Sukawangi,
Kp.
Jayamukti dan Kp. Ciudian Kp.
Wanahayu,
Kp.
Padahurip,
Kp.
Pasir
100 - 200
Kondang, Kp. (cm Ciwayang, Ketebalan Tanah )
Kp.
Mekartani (2 titik), Kp. Sukawangi,
Kp.
Cibeureum (2 titik),
21 0
20 0
19 0
18 0
17 0
16 0
15 0
14 0
13 0
12 0
11 0
90
(3 titik) , Kp. Cibangkong, Kp. Ciparai, Kp. 10 0
70
60
50
40
Genteng (3 titik), Kp. Singkur, Kp. Jabeng
30
1.
Lokasi
80
Frekuensi Kumulatif Longsor
No
33 31
Ketebalan Tanah 29 27 (cm) 25
Kp. Cibitung, Kp.
Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Jabeng dan Kp. Cilangari
Ketebalan Tanah (cm)
21 0
20 0
19 0
18 0
17 0
16 0
15 0
14 0
13 0
12 0
11 0
90 10 0
80
70
60
50
40
35 33 31 29 27 25 23 21 19 17 15 13 11 9 7 5 3 1 30
Frekuensi Kumulatif Longsor
Sumber : Diolah dari data primer
Gambar 13. Hubungan Ketebalan Tanah dan Frekuensi Tanah Longsor Warna tanah di lokasi penelitian merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat di dalam tanah tersebut. Pada 3 kecamatan lokasi penelitian terlihat bahwa warna tanah didominasi oleh warna coklat hingga coklat kekuningan. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Pada lapisan bawah tanah longsor, dimana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe. Di persawahan kondisi drainasenya buruk (daerah yang selalu tergenang air), maka seluruh tanah cenderung berwarna keabu-abuan hingga coklat kekuningan karena senyawa Fe terdapat dalam keadaan reduksi (Fe++). Pada tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak terendam air, terdapat pada kebun -kebun campuran masyarakat, dimanan warna tanah cenderung coklat hingga coklat kemerahan. Terkait dengan longsor, warna tanah menjadi salah satu indikator kondisi drainase tanah.
Pada tanah yang drainasenya buruk
seperti tanah sawah pada lokasi penenlitian terlihat sangat rentan mengalami longsor. Dikaitkan dengan tekstur tanah, maka terlihat bahwa tekstur tanah di 3 kecamatan wilayah studi tergolong kedalam liat berlempung hingga liat berat (heavy clay) atau kandungan liat > 60% (Balai Penelitian Tanah, 2004). Menurut masyarakat di lokasi penelitian, kondisi tanah pada musim kemarau cenderung pecah -pecah dan mengeras, namun pada musim hujan tanah menjadi liat dan plastis (lengket). Menurut Hirnawan (1997), kondisi tanah seperti ini memiliki potensi kembang (ekspansi) tinggi mencapai >25% dan dalam kondisi sangat basah menyebabkan parameter ketahahannya (kohesi tanah) turun hingga 32,20%, demikian pula untuk sudut geser dalamnya turun 17,28%. Secara
umum, aneka tanah ekspansif berasal dari pelapukan sedimen tersier dan endapan vulkanik kuarter. Jenis tanah seperti ini banyak mengandung mineral monmorilonit, ilit, halosit dan mineral non-lempung lainnya, yaitu kuarsa dan plagioklas. Dalam hal ini liat jenis monmorilonit memiliki sifa t plastis dan mengembang jika basah sehingga mudah terdispersi. Menurut Bouyoucus (1935) dalam Arsyad (2000), liat yang memiliki nisbah silika terhadap sesquioksida (SiO2/(Fe2O3 + Al 2O 3) lebih dari 2.0 memiliki sifat plastis dan mengembang jika basah sehingga agregatnya tidak begitu stabil dalam . Tanah yang mengandung liat dalam jumlah tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh buitr-butir liat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat. Akan tetapi jika tanah demikian ini mempunyai struktur yang mantap, yaitu tidak mudah terdispersi maka infiltrasi masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu hebat(Arsyad, 2000). Terkait dengan kondisi lapangan, antara kenampakan erosi dan tanah longsor terkadang sulit dilihat hubungannya Di beberapa lokasi kasus tanah longsor, kejadian erosi masih terlihat, namun di lokasi longsor lainnya terkadang erosi tidak terlihat secara nyata Untuk menentukan karakteristik tanah pada wilayah kajian, digunakan klasifikasi tanah berdasarkan metode SCS (Soil Conservation service ). Selanjutnya dengan metode ini digunakan untuk menentukan bilangan kurva (curve
number).
Langkah
penentuan
bilangan
kurva
adalah
dengan
menggabungkan data tipe hidrologi tanah dengan data penggunaan lahan. Berdasarkan metode SCS seluruh wilayah kajian termasuk dalam kategori Hidrologi Tanah Kelompok D, yaitu tanah-tanah yang memiliki sifat mengembang secara nyata jika basah, liat berat dan plastis (Arsyad, 2000). Selanjutnya jika dikaitkan dengan laju infiltrasi minimum, maka kelompok ini
memiliki nilai yang paling rendah, yakni hanya 0-1 mm/jam. Artinya sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan. Secara teoritis, laju aliran permukaan yang tinggi mengakibatkan meningkatnya resiko terjadinya erosi. Hal ini terlihat jelas pada lokasi penelitian, dimana bekas-bekas kejadian erosi terlihat nyata, baik dari kondisi permukaan tanah, maupun dari hasil sedimentasi yang terkumpul pada bagian bawah lereng (tumit) dan pada air sungai yang menjadi keruh. Terkait dengan fenomena tanah longsor dan erosi sebagai mana yang telah dijelaskan diatas, Gambar 14 menunjukkan intensitas tanah longsor dan erosi permukaan yang dapat teramati dilapangan.
Dari
keseluruhan kejadian longsor yang diamati, 19 kasus (60%) terjadi pada lahan yang tidak menunjukkan adanya erosi intensif, 9 kasus (28%) memperlihatkan tanah longsor terjadi pada areal yang mengalami erosi intensif dan 4 kasus (12%) tanah longsor terjadi pada areal dengan tingkiat erosi rendah (Tabel 14).
28%
Kenampakan erosi : Tidak intensif rendah 59%
intensif
13%
Gambar 14. Frekuensi Kenampakan Erosi di 3 Kecamatan di Kabupaten Garut Tabel 14. Kenampakan Erosi di Lokasi Tanah Longsor No
Kenampakan Erosi
Lokasi Kp.
1.
Erosi intensif
Wanahayu,
Kp.
Padahurip,
Jumlah
%
9
28
4
12
Kp.
Cibitung, Kp. Cinambo, Kp. Kadulempeng, Kp. Ciudian dan Kp. Pancasura
2.
Erosi Rendah
Kp. Jabeng II,
Kp. Sukawangi, Kp.
Ciudian III dan Kp. Ciparai
Kp. Genteng, Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik) , Kp. Cibeureum, Kp. Cikadu, Kp.
3.
Erosi tidak intensif
Cipari, Kp. Cikupa, Kp. Toblong, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Cilangari,
19
60
Kp. Pasir Kondang, Kp. Sindang Panon, Kp. Mekartani dan Kp. Jayamukti Sumber : Diolah dari data primer
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, terlihat bahwa pada sebagian besar kasus longsor yang terjadi di lokasi penelitian 19 kasus (60%) terjadi pada lahan yang tidak menunjukkan adanya erosi di permukaan. Terkait dengan metode klasifikasi tanah SCS, (secara teoritis) tanah yang termasuk dalam kelompok hidrologi D akan memiliki resiko longsor yang rendah (jika dikaitkan dengan laju infiltrasi), karena sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi run off akibat hanya sebagian kecil hujan masuk kedalam tanah (mengisi pori-pori) untuk selanjutnya menjadi cadangan air tanah. Namun kenyataannya kelompok tanah ini memiliki resiko longsor yang paling tinggi karena sebagian besar air hujan menjadi infiltrasi dan selanjutnya meningkatkan volume tanah. Kondisi seperti ini dimungkin terjadi pada waktu musim hujan. Berdasarkan berbagai ciri fisik tanah di lokasi penelitian, berdasarkan metode SCS termasuk dalam kelompok D. Penggunaan lahan (landuse ) dan Aktivitas Manusia Penggunaan lahan (landuse) di lokasi penelitian dibedakan me njadi beberapa tipe, yaitu 1) lahan tanaman semusim, 2) persawahan, 3) kebun talun (agroforestry), dan pemukiman (infrastruktur). Penggunaan lahan untuk budidaya khususnya jenis sayur-sayuran memanfaatkan lahan eks perkebunan teh. Masyarakat memanfaatkan lahan ini secara tidak syah karena desakan kebutuhan ekonomi. Secara topografi, lahan eks perkebunan teh ini tidak layak dijadikan lahan budidaya pertanian karena kelerengan yang terjal sehingga tingkat erosinya berpeluang sangat tinggi.
Gambar 15 menunjukkan 3 tipe penggunaan lahan, yaitu 1) kebun teh yang diokupasi masyarakat menjadi kebun sayuran, 2) lahan persawahan terletak pada lembah-lembah perbukitan dengan kondisi topografi relatif lebih landai, terutama setelah sebagian masyarakat memodifikasi tingkat kelerengan dengan membuat teras dan 3) talun/kebun campuran, dimana masyarakat biasa menanam tanaman keras disamping juga tanaman semusim. Pemukiman penduduk disesuaikan dengan kondisi wilayah yang berbukit dan berlereng terjal. Penduduk yang ingin membangun rumah harus memotong lereng untuk memperoleh bidang tanah yang datar. Sehingga posisi sebagian besar bagian belakang rumah penduduk langsung berbatasan dengan tebing/lereng yang telah dipotong. Kebun talun milik penduduk biasanya berada pada bagian puncak bukit dan ditanami dengan berbagai tanaman keras seperti : sengon, kelapa, bambu, pisang, nangka, suren dan tanaman musiman (singkong dan kacang -kacangan). Tipe longsor gelinciran tanah (earth flow) banyak dijumpai pada lahan-lahan persawahan yang dikelola secara intensif seperti yang sering terjadi pada lokasi penelitian (Gambar 16). Kejadian tanah longsor tertinggi terjadi di persawahan sebanyak 25 kasus, kebun campuran sebanyak 4 kasus, tanah longsor yang terjadi di lokasi pemukiman dan infrastruktur (tebing jalan) sebanyak 2 kasus, dan tanah longsor yang ditemukan pada kebun sayuran hanya ditemukan 1 kasus (Tabel 15).
1
2
Keterangan : 1. Kebun tanaman semusim (sayuran). 2. Persawahan 3. Kebun campuran 3
Gambar 15 . Tipe Penggunaan Lahan (landuse) di Lokasi Penelitian
Jumlah Kasus Longsor
30
25 25 20 15 10
4
5
1
2
0 Sawah intensif
Kebun Tan. Semusim
Kebun Campuran
Pemukiman + Infrastruktur
Penggunaan Lahan
Gambar 16. Jumlah Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Tabel 15. Kejadian Tanah Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan No
Penggunaan Lahan (Landuse )
Lokasi
Jumlah
%
25
78
4
12
1
60
Kp. Genteng (3 titik) , Kp. Padahurip, Kp. Singkur, Kp. Jabeng (3 titik), Kp. Cibitung,
1.
Persawahan
Kp. Cikadu, Kp. Cipari, Kp. Cikupa (3 titik), Kp. Kadulempeng, Kp. Jajawai, Kp. Cibangkong, Kp. Pancasura (2 titik), Kp. Cilangari dan Kp. Ciparai (2 titik).
2. 3.
4.
Kebun campuran Kebun tanaman
Kp. Cibeureum (2 titik), Kp. Secang, dan Kp. Karangagung Kp. Wanahayu
semusim (sayuran) Infrastruktur (jalan dan perumahan
Kp. Toblong dan Kp. Cinambo
2
Sumber : Diolah dari data primer
Tingginya kasus tanah longsor di lokasi persawahan harus dijadikan pelajaran bahwa pemanfaatan lahan (land use ) untuk aktivitas ini perlu
memperhatikan berbagai aspek guna mencegah terjadinya tanah longsor. Penyebab utama terjadinya tanah longsor di persawahan, diantaranya karena pemanfaatan air yang melebihi daya tahan geser tanah. Pada awal musim tanam, masyarakat memanfaatkan
air secara berlebihan dengan cara
memasukkan air ke persawahan. Akibatnya jika lahan sawah yang telah menampung cukup banyak air ditambah oleh air hujan yang ditampung akan terjadi akumulasi air di sebagian besar lahan persawahan sehingga jika kondisi ini terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan akan menyebabkan tanah longsor. Guna mencegah terjadinya longsor di lahan persawahan, salah satu upaya yang dapat dilakuakn adalah meminimalisir jumlah pemakaian air, terutama ketika musim hujan. Hal ini untuk mencegah terjadinya tanah longsor yang diakibatkan daya tahan geser tanah yang semakin lemah akibat akumulasi air yang terdapat di atasnya. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis) Berdasarkan hasil analisis PCA (Principal Component Analisis) dihasilkan 5 faktor utama dari 16 variabel prediktor longsor. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 1 adalah warna tanah (v 2), sawah (v13) dan Infrastruktur penutup lahan (v 15) dengan nilai keragaman 24,9%. Variabel prediktor longsor yang me ncirikan faktor 2 adalah panjang lereng (v 8) dan tingkat kelerengan (slope) (v9) dan bentuk lembah sungai (v13) dengan nilai keragaman 20.3 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 3 adalah kerapatan vegetasi (v6) dan diameter pohon (v 7) dengan nilai keragaman 13.9 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 4 adalah tekstur tanah (v4) dengan nilai keragaman 9.8 %. Variabel prediktor longsor yang mencirikan faktor 5 adalah ketebalan tanah (v1) dengan nilai keragaman 8.2 %. Tabel 10 menunjukkan hasil lengkap analisis komponen utama (PCA).
Kemudian untuk melihat pola pengelompokkan berbagai variabel prediktor longsor, maka dilakukan analisis gerombol dengan menggunakan hierarchical classification dengan metode tetangga terdekat (nearest neighbor method), atau sering disebut sebagai single linkage method , sehingga dihasilkan pengelompokkan seperti pada Gambar 17. Analisis yang dilakukan adalah pengelompokan yang mengikuti sebaran datanya sendiri. Berdasarkan metode ini, klasifikasi (pengelompokan data) tidak memerlukan keputusan awal secara a priori baik mengenai jumlahnya maupun keputusan mengenai keserupaannya (kedekatannya). Dalam kaitan analisis gerombol ini, PCA dipergunakan sebagai cara pembakuan data dan mengubah susunan data menjadi tidak saling berkorelasi atau saling tegak lurus (orthogonal). Berdasarkan
hasil
analisis
menggunakan
metode
hierarchical
classification maka terlihat dari 16 variabel prediktor penyebab longsor, menunjukkan kecenderungan bergerombol membentuk 5 kelompok (cluster) dengan derajat similaritas > 40%. Tabel 16. Hasil Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisis). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Variabel Prediktor Ketebalan tanah Warna tanah Erosi Tekstur tanah Jenis Tanaman Kerapatan Diameter batang Panjang lereng Slope Kejadian longsor Kondisi perbukitan Bentuk lembah Sungai Sawah Kebun campuran Infrastruktur Usaha konservasi Akar Ciri Proporsi Total
v1 v2 v3 v4 v5 v6 v7 v8 v9 v10 v11 v12 v13 v14 v15 v16
Faktor 1
Faktor 2
-0,07516 0,93457* -0,66304 0,05370 -0,21878 0,09355 -0,45553 -0,26714 0,13709 0,14390 0,12920
-0,03977 0,17492 0,55606 0,06198 -0,12985 -0,32988 -0,13496 -0,74529* 0,89409* -0,02588 0,90126*
-0,11914 0,10171 -0,01606 0,02626 0,69555 0,7568* -0,7022* 0,09017 -0,17519 0,65320 -0,02827
0,00869 0,10743 0,03513 0,9414* -0,52538 0,19300 0,10788 0,01929 0,07159 0,51344 0,08074
0,88361* -0,00267 -0,02566 0,01605 0,11202 -0,30625 0,02370 0,16450 -0,09086 0,15280 0,03226
0,68997
0,54124
0,13374
-0,17021
0,06042
0,89212* 0,66801 0,74316* -0,07276 3,98905 0,24932
0,08276 -0,04466 0,43308 -0,31181 3,24351 0,20272
0,02125 0,10214 -0,04121 0,39657 2,22931 0,13933
0,19471 0,00799 -0,01691 0,07722 1,57286 0,09830
-0,12390 -0,17518 -0,04793 0,56154 1,31562 0,08223
Sumber : Data primer diolah Keterangan : * = Nyata pada p<0,05 (Factor loading >0,70)
Faktor 3
Faktor 4
Faktor 5
Gambar 17 memperlihatkan pengelompokan variabel paling optimal pada tingkat keragaman 47,31%. Penentuan cluster pada metode ini dilakukan dengan mempertimbangkan banyaknya kelompok variabel yang terbentuk terhadap tingkat keragamannya. Artinya, penambahan jumlah cluster yang terbentuk harus diikuti oleh peningkatan keragaman secara nyata. Pada titik ini, seluruh variabel prediktor penyebab tanah longsor bergerombol menjadi 5 kelompok besar. Penetapan jumlah kelas tersebut dengan pertimbangan tingkat keragaman variabel yang dihasilkan dapat menggambarkan sebaran seluruh set variabel (data) hasil pengamatan. Hal lainnya adalah bahwa variabel yang berkorelasi sebenarnya merupakan duplikasi penggunaan data, maka sebenarnya cukup dipakai salah satu (pewakil) saja. Keragaman
Variabel
Gambar 17. Analisis Gerombol Menggunakan Hierarchical Classification Kelompok 1 merupakan gabungan dari 4 variabel penjelas : kedalaman tanah (v1), panjang lereng (v 8), jenis tanaman (vegetasi) (v5) dan Usaha konservasi (v16) dengan variabel pewakilnya adalah kedalaman tanah (v 1). Kelompok 2 merupakan gabungan dari 3 variabel penjelas : tekstur tanah (v 4),
kerapatan vegetasi (v 6) dan kejadian longsor (v10) dengan variabel pewakilnya adalah tekstur tanah (v4). Kelompok 3 merupakan gabungan 2 variabel penjelas : kondisi erosi yang terlihat (v3) dan diameter tegakan vegetasi (v7) dengan variabel pewakilnya adalah kondisi erosi yang terlihat (v 3). Kelompok 4 merupakan gabungan dari 2 variabel penjelas : tingkat kelerengan (slope) (v9) dan
kondisi perbukitan (v11) dengan variabel pewakilnya adalah tingkat
kelerengan (slope) (v9). Kelompok 5 merupakan gabungan 5 variabe l penjelas : warna tanah (v 2), sawah (v13), infrastruktur (v15), bentuk lembah sungai (v 12) dan kebun campuran (v14) dengan variabel pewakilnya adalah sawah (v13). Dengan menerapkan metode hierarchical classification maka selanjutnya diperoleh 5 variabel penjelas yang dapat dijadikan sebagai pewakil dari 16 faktor yang diduga sebagai penyebab utama tanah longsor di lokasi penelitian. Variabel penjelas tersebut terdiri dari : kedalaman tanah (v1), tekstur tanah (v 4), kondisi erosi yang terlihat (v3), tingkat kelerengan (slope) (v 9) dan sawah (v13). Berdasarkan uraian tersebut,
terdapat 2 variabel penjelas yang
menunjukkan peran sifat fisik tanah sebagai penyebab tanah longsor, yaitu kedalaman tanah (v 1), dan tekstur tanah (v4). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi fisik tanah di lokasi penelitian menjadi salah satu faktor utama yang memberikan kontribusi dalam kejadian tanah longsor. Kedalaman tanah memiliki kontribusi dalam meningkatkan beban pada lereng, sehingga apabila beban pada lereng melebihi daya tahan gesernya, maka tanah cenderung bergerak turun. Selain dari hal tersebut, faktor lain yang mudah di amati adalah warna tanah. Warna tanah (v2) merupakan faktor fisik tanah yang paling mudah diamati dilapangan. Hal ini terkait dengan kandungan liat dan bahan organik tanah. Terkait dengan kandungan liat, kondisi tanah di lahan persawahan yang berwarna keabuan hingga coklat kekuningan memiliki sifat ekspansif, yaitu memiliki sifat kembang
kerut sehingga pada musim hujan akan meningkat jumlah volume air yang dapat di tahan. Faktor utama lain yang memiliki pengaruh dalam fenomena tanah longsor adalah kondisi penggunaan lahan, terutama persawahan. Dari hasil pengamatan hal ini telah terlihat bahwa kejadian longsor di lokasi penelitian tertinggi frekuensinya ditemukan di lahan persawahan. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah besarnya volume air yang ditampung oleh sawah sehingga meningkatkan beban tanah, sehingga apabila gaya dorong pada tanah tersebut lebih besar dari gaya tahan, maka tanah akan bergerak turun. Faktor kondisi vegetasi yang telah rusak turut mempengaruhi kejadian tanah longsor. Secara teoritis, vegetasi memiliki peran besar dalam menjaga kemantapan struktur tanah dan meningkatkan infiltrasi. Pengaruh vegetasi nyata terhadap ketahanan massa tanah melalui peningkatan kandungan fraksi pasir dari massa tanah di zona perakaran. Penurunan ketahanan massa tanah akibat musim hujan menjadi lebih kecil dari pada tanah tak bervegetasi (Hirnawan, 1997). Pada lokasi penelitian terlihat bahwa kondisi vegetasi tidak memiliki peran yang optimal dalam mencegah terjadinya tanah longsor, karena sebagian besar lahan telah beralih fungsi menjadi kebun sayuran/persawahan. Faktor utama lainnya yang berperan besar dalam tanah longsor adalah tingkat kelerengan (v9). Faktor kemiringan lahan (slope) tidak diragukan lagi pengaruhnya dalam proses terjadinya tanah longsor. Sebagai mana telah diuraikan pada bagian awal pembahasan, pada lokasi penelitian >90% kejadian tanah longsor disebabkan tingginya tingkat kelerengan. Selain keseluruhan faktor utama yang telah dijelaskan diatas, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah data kejadian tanah longsor yang terjadi dilokasi penelitian. Hal ini penting artinya dalam investigasi tanah longsor karena data ini akan menunjukkan frekuensi kejadian tanah longsor di suatu lokasi. Lokasi yang
pernah mengalami kejadian tanah longsor biasanya cenderung akan terus mengalami longsor di masa mendatang. Mengingat sifat dari kejadian tanah longsor itu sendiri yang cenderung terus terjadi apabila tidak dilakukan upaya pencegahan di lokasi yang rawan terjadinya tanah longsor.
Uji Statistika Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran terhadap 32 titik longsor di lokasi penelitian, selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh berbagai variabel terhadap kejadian longsor. Dalam hal ini, dipilih 3 (tiga) variabel tujuan (respon) (Y) yaitu tipe longsor (y1), kondisi zona longsor (y2) dan volume longsor (y3), sedangkan variabel bebasnya (predictor) terdiri dari karakteristik fisik tanah (4 variabel penjelas), vegetasi (3 variabel penjelas), lereng (2 variabel penjelas), landform (3 variabel penjelas), landuse (3 variabel penjelas), dan usaha konservasi (1 variabel penjelas). Hasil analisis multiple regression memberikan gambaran bahwa dari 3 variabel tujuan (y 1, y 2 dan y 3) terhadap 16 variabel predictor menunjukkan derajat hubungan (korelasi) yang rendah.
Tabel 11 menunjukkan hasil analisis
hubungan antara variabel tujuan dengan variabel predictor. Tabel 17. Derajat Hubungan Antara Variabel pada Analisis Multiple Regression Faktor Utama Penyebab Tanah Longsor. Nilai
Variabel Tujuan (Y) Tipe longsor (y 1) Zona longsor (y 2) Volume Longsor (y3)
R-Sq 62.89 66.41 24.42
Keterangan R-Sq (adj) 57.39 59.95 21.90
Terbaik
Keterangan : R-Sq : Derajat hubungan antara variabel
Dengan menggunakan 5 variabel prediktor (penduga) penyebab longsor yang terpilih dengan menggunakan metode analisis gerombol yaitu ketebalan
tanah (v1), keadaan erosi (v3), tekstur tanah (v4), slope (v9) dan landuse /sawah (v13) maka diperoleh model persamaan regresi keadaan zona longsor sebagai berikut : Y = 1.55 + 0.00186 v1 - 0.061 v3 + 0.038 v 4 + 0.0216 v9 - 0.100 v13 di mana : Y
: keadaan zona longsor,
v1
: tebal tanah ,
v3
: keadaan erosi,
v4
: tekstur tanah
v9
: slope,
v 13
: landuse (sawah). Model analisis regresi berganda ini menunjukkan respon yang diberikan
oleh variabel tujuan, yaitu Y terhadap berbagai nilai yang diberikan kepada variabel penduga, yaitu v1, v3, v4, v 9 dan v13. Nilai yang dimasukkan dalam hal ini mengacu pada nilai yang digunakan dalam mengukur suatu variabel bebas seperti yang terdapat pada Tabel 2. Variabel respon (Y) tersebut diatas memiliki 3 nilai, yaitu 1 (zona stabil), 2 (zona potensial longsor) dan 3 (zona rawan longsor). Selanjutnya dari setiap nilai variabel prediktor hasil pengukuran di lapangan akan diperoleh suatu nilai yang apabila dimasukkan ke dalam model di atas akan menghasilkan suatu nilai yang akan menunjukkan kondisi zona longsor di suatu wilayah. Dalam hal ini nilai berbagai variabel prediktor (variabel bebas) yang digunakan juga berpedoman pada kriteria yang telah disusun dalam metodologi penelitian. Tiap variabel prediktor dalam model tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kerentanan zona longsor. Ketebalan tanah (v1) memberikan kontribusi terhadap meningkatnya resiko longsor yang (mungkin) akan terjadi pada zona longsor. Peningkatan beban lereng ini dapat terjadi melalui beberapa cara, antara lain dengan bertambahnya volume air yang dapat
ditampung tanah pada musim hujan. Disamping itu, tanah itu sendiri merupakan beban yang dapat menyebabkan material diatas lereng bergerak turun. Pada lokasi penelitian, ketebalan tanah yang mulai rentan longsor terjadi pada ketebalan tanah 140 – 200 cm, dimana jumlah kasus longsor yang ditemui 23 kasus. Kondisi zona longsor berpotensi menjadi tanah longsor jika faktor-faktor utama penyebab longsor seperti tingkat kelerengan, penggunaan lahan, vegetasi dan infratsuktur mendukung terjadinya tanah longsor. Faktor besarnya erosi (v 3) yang terjadi di lokasi longsor secara signifikan belum dapat dijadikan indikator terhadap kondisi zona longsor. Data hasil pengamatan
terhadap erosi yang
terjadi di permukaan, hanya menunjukkan 9 kasus (28%) longsor yang terjadi pada tanah yang mengalami erosi. Tekstur tanah (v 4) di lokasi penelitian tergolong dalam lempung berliat hingga liat berat. Kondisi zona longsor pada lereng yang mengalami longsor memiliki tekstur tanah yang rentan terhadap longsor dan apabila faktor penyebab longsor lainnya, seperli lereng, tebal tanah, landuse mendukung terjadinya longsor, maka besar peluang zona longsor akan mengalami longsor. Kondisi tekstur tanah dan struktur tanah sangat mempengaruhi kecepatan infiltra si dan kandungan air permukaan tanah. Air permukaan yang berasal dari curah hujan sebagian akan meresap kedalam tanah atau batuan melalui pori-pori tanah atau rekahan -rekahan yang terdapat pada batuan dan sebagian lagi akan mengalir di atas permukaan tanah . Hal ini akan menyebabkan perubahan pada sifat fisik tanah, yaitu menurunnya gaya kohesi tanah, sehingga kekuatan geser tanah berkurang, sedangkan bobot massa tanahnya bertambah. Akibat lain dari aliran permukaan, yaitu akan menimbulkan penggerusan (erosi) terutama pada daerahdaerah terjal atau tebing aliran sungai, sehingga lereng bagian bawah menjadi
lebih terjal dan dapat mempercepat terjadinya gerakan tanah pada lereng bagian atasnya. Faktor kelerengan (v 9) adalah unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap kerentanan zona longsor. Lereng yang curam dan memiliki arah yang seragam cenderung memiliki resiko bergerak (longsor), terutama apabila faktor tersebut ditunjang oleh tebalnya tanah dan beban yang terdapat diatasnya. Karakter suatu lereng sa ngat bervariasi terhadap terjadinya longsor dan faktor keterjalan sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan energi (tegangan) pada lereng tersebut.
Penambahan beban volume dan
melemahnya daya ikat materi penyusun lereng dengan batuan dasar (bedrock) sebagai akibat adanya peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk kedalam materi tersebut dapat menyebabkan kelongsoran tanah. Pada kenyataannya tidak semua lahan dengan kondisi yang miring mempunyai potensi untuk longsor. Hal ini tergantung pada karakter lereng (beserta materi penyusunnya) terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng tersebut terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan (landuse ) (v13) untuk persawahan, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat menyebabkan meningkatnya
potensi
longsor.
Pada
lokasi
penelitian,
terlihat
bahwa
persawahan intensif memberikan kontribusi besar terhadap kejadian longsor, terutama dengan bertambahnya volume air yang ditampung pada lahan persawahan menyebabkan meningkatnya beban lereng.
Lahan persawahan
dibuat dengan melakukan modifikasi dan memotong lereng. Aktivitas ini menyebabkan sudut lereng semakin tinggi sehingga memperbesar potensi terjadinya tanah longsor. Selain itu, tanah yang kehilangan vegetasi penutup akan menjadi retak-retak pada musim kemarau dan pada musim penghujan air akan mudah meresap kedalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan tanah jenuh air sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya tanah longsor. Disamping itu, karakteristik hujan di lokasi penelitian yang tergolong tinggi menyebabkan pada musim hujan persawahan menjadi tempat penampungan air yang apabila terus berlanjut, sangat potensial menjadi tanah longsor. Fungsi yang telah dibangun di atas masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut terkait dalam beberapa hal, yaitu 1) jumlah titik pengamatan tanah longsor masih terlalu sedikit, sehingga peluang terjadinya error dalam menetapkan variabel dan pengukuran masih sangat besar dan 2) pemilihan variabel yang diamati belum memberikan keterkaitan secara nyata terhadap fenomena tanah longsor,