108
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan Berdasarkan hasil identifikasi konflik kewenangan yang diperoleh dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan dari lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Kawasan Kepulauan Seribu, seperti pada Tabel 34 berikut. Konflik yang terjadi di Kawasan ini yang terjadi antara institusi pemerintah lebih banyak disebabkan oleh adanya kurang memahaminya akan tugas, fungsi dan kewenangan dan perbedaan interpretasi terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang mendukung tugas, fungsi dan kewenangan dari lembaga tersebut. Selain itu keberadaan Kabupaten Kepulauan Seribu yang baru berjalan kurang lebih 2 tahun belum dapat memberikan sumbangsih yang signifikan baik pengaturan dan pengelolan internal Pemerintah Kabupaten sendiri maupun langkah-langkah untuk pengayoman
terhadap
masyarakat
sehingga
instansi-instansi
yang
berada
dibawahnya belum dapat bekerja secara optimal. Benturan kepentingan dan keinginan serta ego sektoral yang terjadi diantara instansi dan lembaga yang berperan dalam pengelolaan kawasan Kepulauan Seribu tidak terlepas dari belum adanya pembagian kewenangan yang jelas dan tegas baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah maupun antara instansi yang berada dijajarannya yang berkaitan dengan kewenangan terhadap fungsi (1) perijinan, (2) perencanaan , dan (3) fungsi pengawasan dan pengendalian yang cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi dengan instansi lain sehingga seringkali terjadi overlapping tugas dan kewenangan dan duplikasi kebijakan sehinga program kerja yang dijalankan tidak berjalan secara efektif dan efisien yang
109
mengena pada sasaran pembangunan. Badan Perencanan Pembangunan Daerah (Bappeda/Bapekab) belum dimanfaatkan dan bekerja sebagai suatu badan koordinasi yang bertugas mengkoordinir kegiatan pembangunan mulai dari tahapan perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi dari beberapa instansi yang berperan di kawasan ini. Kawasan Kepulauan Seribu yang merupakan suatu kawasan Taman Nasional Laut yang secara yuridis dan fakta merupakan suatu daerah konservasi dan perlindungan sekaligus sebagai kawasan pariwisata dengan pulau-pulau kecil yang dijadikan resort membawa dilematis tersendiri dan kompleksitas permasalahan baik yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat yang ada didalamnya. Balai Taman Nasional serta Instansi terkait lainnya yang berfungsi dan pemegang kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengelolaan serta perlindungan terhadap kawasan tersebut selama ini belum mampu secara optimal melindungi kawasan yang menjadi daerah konservasi dan belum mampu membawa masyarakat untuk lebih memahami dan mengerti akan keberadaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu akibatnya masih terdapat kegiatan dan usaha baik yang dilakukan masyarakat lokal maupun pendatang yang dilakukan secara illegal baik dari penangkapan ikan hias dengan mempergunakan bom dan potassium, mengambil terumbu karang untuk diperdagangkan yang cenderung merusak kawasan yang merupakan daerah konservasi tersebut. Tumpang tindih tugas, fungsi dan kewenangan lebih disebabkan karena belum semua aparat memahami akan tugas, fungsi dan kewenangan dalam kontek pengelolaan secara terpadu sehingga baik fungsi Badan Perencana Daerah (Bapeda) maupun Bapekab belum didayagunakan secara optimal dan Instansi terkait dengan program pembangunan terkesan jalan sendiri-sendiri (parsial)
110
sebagai akibatnya, pembangunan yang dilakukan tidak efektif (mubazir) dan tidak tepat sasaran akibat sering berbenturan dengan aktifitas pembangunan lain. Kemudian pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Propinsi ke Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu hanya terbatas pada wilayah Administrasi saja
belum pada kewenangan secara menyeluruh sehingga hal ini menjadi hambatan dalam pengelolaan pembangunan secara keseluruhan. Adapun bentuk konflik yang terjadi antara lain : (A) Konflik kewenangan : (1) pemberian ijin usaha pariwisata dan
perikanan,
(2)
pembangunan
sarana
dan
prasarana
pariwisata,
(3)
pembangunan sarana dan prasarana budidaya laut, (4) pemberdayaan masyarakat kepulauan, (5) penegakan hukum dan peraturan. (B) Konflik pemanfaatan : (1) Pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata, (2) Pemanfaatan untuk kegiatan perikanan (penangkapan/budidaya laut), (3) Pemanfaatan untuk kegiatan konservasi. Pada table 35 terlihat peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan kelembagaan. Tabel 35. Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang berkaitan dengan Pengaturan Kewenangan Kelembagaan No 1.
Peraturan Perundang-undangan UU No.5/1990 tentang Konservasi dan Ekosistemnya
Uraian •
•
2.
UU No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
•
3.
UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
• •
Tanggungjawab pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati Tanggungjawab pembinaan konservasi yang berkaitan dengan penegakan hokum Tanggungjawab terhadap pemberian izin usaha pariwisata Pengelolaan Kawasan tertentu Perencanaan Tata Ruang yang meliputi wilayah darat, laut dan udara
Lembaga yang berwenang • Pemerintah Pusat cq. Dephutbun dan Pemda • POLRI, TNI AL dan PPNS dari Dephutbun
Fungsi Manajemen • Implementasi
• Pemerintah Pusat cq. Deppersenbud dan Pemda • Pemerintah Pusat cq. Depdagri • Untuk perencanaan tata ruang daratan menjadi wewenang Pemda Prop. Namun untuk wilayah laut belum diatur
• Perizinan
• Pengawasan dan Pengendalian
• Perencanaan • Perencanaan
111
wilayah darat, laut dan udara
•
•
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemberian Izin Pemanfaatan Ruang
perencanaan tata ruang daratan menjadi wewenang Pemda Prop. Namun untuk wilayah laut belum diatur secara tegas • Pemda Kabupaten
• Perencanaan • Perizinan
• Pemda Kabupaten
4.
UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
•
Koordinasi Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Pemerintah Pusat cq. Menteri LH dan Pemda cq. BAPPEDA dan BAPEDALDA
• Perencanaan dan Implementasi
5.
UU No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
•
Kewenangan pengelolaan sumberdaya alama pada wilayah daratan saja sedangkan untuk wilayah lautan menjadi wewenang Pemerintah Pusat Pengelolaan sumberdaya di wilayah laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, pengaturan tata ruang dan penegakan hukum Pemberian izin untuk kegiatan-kegiatan usaha dibidang kepariwisataan seperti usaha kawasan pariwisata, penginapan dan usaha rekreasi dan hiburan umum Pemberian izin pengusahaan Pariwisata
• Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
• Implementasi
UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
•
6.
UU No.24 Tahun 1979 Tentang Penyerahan sebagian urusan Pemerintah dalam bidang Kepariwisataan kepada Dati I.
•
7.
UU No.18 Tahun 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
•
• Pemerintah Daerah
• PerencanaanImplementasi Pengawasan dan Pengendalian
• Pemerintah Daerah cq. Dinas Pariwisata
• Perizinan
• Pemerintah Pusat cq. Departemen Kehutanan dan Perkebunan
• Perizinan
112
8.
Keppres No.32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
•
•
Kewenangan menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan lindung Tanggungjawab pengendalian pemanfaatan ruang dikawasan lindung meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban Pembentukan Kabupaten Administratif Kepuluan Seribu
• Pemerintah Daerah Propinsi
• Pemerintah Kabupaten
9.
PPNo.55 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kab. Administratif Kep. Seribu
•
10.
Perda No.6 Tahun 1999 Tentang RTRW DKI Jakarta
•
Pembentukan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta
11.
Perda No.11 Tahun 1992 Tentang Penataan dan Pengelolaan PulauPulau di Kep. Seribu Perda No.4 Tahun 2001Tentang Pembentukan Kec. Kep. Seribu Utara dan Selatan
•
Penataan dan Pengelolaan PulauPulau di Kepulauan Seribu
• Pemerintah Propinsi dan Kabupaten
•
Pembentukan Kecamatan Kep. Seribu Selatan dan Utara
• Pemerintah Propinsi dan Kabupaten
12.
• Pemerintah Pusat • Pemerintah Propinsi dan Kabupaten • Pemerintah Propinsi dan Kabupaten
• Perencanaan
• Pengawasan dan Pengendalian
•
PerencanaanImplementasi Pengawasan dan Pengendalian • PerencanaanImplementasi Pengawasan dan Pengendalian • Perencanaan • Pengawasan dan Pengendalian • Perencanaan • Pengawasan dan Pengendalian
Penentuan Prioritas Alternatif Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Kepulauan Seribu Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 162/Kpts-II/1995 telah menetapkan wilayah Kepulauan Seribu menjadi Taman Nasional dengan luas 108.000 Ha yang kemudian pengelolaan kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu diserahkan kepada Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 yang dikelola dengan sistem zonasi.
Keberadaan Kawasan Kepulauan Seribu bukan hanya
diperuntukan untuk kegiatan konservasi dan pariwisata akan tetapi juga berpotensi besar terhadap pengembangan budidaya laut/marikultur.
113
Dari hasil penelitian dengan melakukan wawancara terhadap semua stakeholders yang berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Kepulauan Seribu baik dari unsur Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah dan lembaga non-pemerintah serta masyarakat lokal mendapatkan beragam informasi tentang pendapatnya tentang alternatif pemanfaatan Kawasan Kepulauan Seribu. Pendekatan yang dilakukan adalah pada besarnya manfaat dan kerugian bila Kawasan tersebut dikelola sebagai kawasan konservasi, pariwisata dan budidaya laut/marikultur. Penentuan prioritas Alternatif Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Kepulauan Seribu dilakukan dengan Analisis Hierarki Proses (AHP) dari pendapat key person (informan) dengan hasil seperti pada Tabel 36 dan 37 berikut. Tabel 36. Rekapitulasi Hasil Pengolahan Vertikal dari Manfaat dan Persepsi Responden terhadap Prioritas/Alternatif Pemanfaatan Ruang No.
Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas Pemanfaatan 1. Marikultur 0,090 3 0,677 1 2. Gabungan 3. Konservasi dan Pariwisata 0,234 2 Komponen Aspek 1. Manfaat Ekonomi 0,323 2 0,588 1 2. Manfaat Lingkungan 3. Manfaat Sosial 0,089 3 Komponen Kriteria 1. Manfaat Ekonomi 0,277 1 ¬ Peningkatan pendapatan ¬ Berkembangnya sektor Informal 0,46 2 2. Manfaat Lingkungan ¬ Pelindung pantai 0,161 2 ¬ Media Biota Laut 0,045 3 0,382 1 ¬ Nilai Etetika 3. Manfaat Sosial 0,078 1 ¬ Penyerapan Tenaga Kerja ¬ Sarana Rekreasi 0,011 2 Sumber : Pengolahan data primer Program Expert Choice versi 9.0
114
Tabel 37. Rekapitulasi Hasil Pengolahan Vertikal dari Kerugian dan Persepsi Responden terhadap Prioritas/Alternatif Pengelolaan No.
Komponen Alternatif Kebijakan Bobot Prioritas Pemanfaatan 0,409 2 1. Marikultur 0,114 3 2. Gabungan 0,477 1 3. Konservasi dan Pariwisata Komponen Aspek 0,258 2 1. Kerugian Ekonomi 0,105 3 2. Kerugian Lingkungan 0,637 1 3. Kerugian Sosial Komponen Kriteria 1. Kerugian Ekonomi 0,226 1 ¬ Membutuhkan Modal 0,032 2 ¬ Biaya Operasional & Pemeliharaan 2. Kerugian Lingkungan 0,072 1 ¬ Pencemaran 0,020 2 ¬ Kerusakan Karang 0,013 3 ¬ Perangkap Sediment 3. Kerugian Sosial 0,531 1 ¬ Perubahan Budaya Hidup 0,106 2 ¬ Kecemburuan Sosial Sumber : Pengolahan data primer Program Expert Choice versi 9.0
Hasil analisa AHP dalam kerangka manfaat dan biaya diperoleh bahwa alternatif pemanfatan ruang di Kepulauan Seribu adalah sebagai kawasan gabungan dengan perbandingan B/C nilai terbesar yaitu 5,93, yang berarti pencapaian bobot ini menghasilkan scenario yang optimal karena memberikan nilai B/C > 1. Hal ini disebabkan oleh karena dalam analisa ini turut memperhitungkan manfaat dan biaya pengembangan budidaya laut (marikultur) ditinjau dari aspek ekonomi, social dan lingkungan. Pengelolaan kawasan Kepulauan Seribu sebagai kawasan budidaya laut (marikultur) memberikan nilai manfaat lebih kecil daripada nilai kerugian (0,090 dan 0,409), dengan nilai perbandingan antara manfaat dan kerugian sebesar 0,220.
115
Mengingat kondisi masyarakat dan kondisi lingkungan saat ini, kegiatan budidaya dapat diterima dan harus dilakukan dengan persayaratan kegiatan dapat berjalan secara bersama dengan kegiatan lain sesuai dengan zona yang telah ditentukan. Bila ditinjau dari segi kerugian. Bila budidaya laut (marikultur) berdiri sendiri (tunggal)
melakukan
kegiatannya
di
Kawasan
Kepulauan
Seribu
(secara
menyeluruh) maka akan memberikan nilai kerugian sebesar (0,409) karena akan berdampak negatif seperti terjadinya pencemaran, kerusakan karang dan perangkap sediment/pendangkalan akan tetapi bila dilakukan secara gabungan (Konservasi, Pariwisata dan Marikultur) maka akan memberikan kerugian kecil (0,114), sedangkan bila ditinjau dari segi manfaat maka akan memberikan nilai manfaat lebih besar dari nilai kerugian. Dengan mengacu pada hasil AHP diatas, maka untuk mengharmoniskan jalannya proses kegiatan tanpa adanya permasalahan/konflik dari berbagai pengguna
sumberdaya
pesisir
dan
laut
di
Kawasan
Kepulauan
Seribu,
direkomendasikan agar masing-masing stakeholders agar kembali pada zona/ruang yang telah ditetapkan sesuai perencanaan dan tata ruang yang telah ada dengan meningkatkan aplikasi teknologi budidaya yang selalu diperbaiki dan ramah lingkungan untuk kesinambungan usaha dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat Kepulauan Seribu pada umumnya serta meningkatkan koordinasi dan kemitraan diantara pelaku pengelola kawasan. Penyebab utama terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Kawasan Kepulauan Seribu adalah adanya penggunaan pemanfaatan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dan illegal seperti eksplotasi terumbu karang untuk dikomersilkan, penangkapan ikan-ikan hias dengan menggunakan potassium dan bom yang berakibat rusaknya ekosistem disebagian pulau yang berdekatan dengan pulau-
116
pulau resort dan keberadaan resort wisata sudah ada sebelum adanya Balai Taman Nasional Laut yang berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan, selain itu namun semua perencanaan, peraturan dan perundang-undangan yang ada dan berlaku di kawasan tersebut belum semuanya ditaati para pengguna sehingga menimbulkan
konflik dan rusaknya beberapa sumberdaya pesisir dan
lautan yang ada. Dari sisi penegakan hukum oleh aparat terutama dari Balai Taman Nasional
dan Pemda masih dirasa sangat lemah dan belum optimal, hal ini
disebabkan karena fungsi dan kewenangan yang berlaku belum jelas serta masih lemahnya fungsi pengawasan dari lembaga yang berwenang sehingga penerapan sanksi terjadap pelanggaran yang terjadi juga terkesan lemah. Dengan
adanya
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999,
tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonomi, maka Pemerintah Daerah dapat bertindak
sesuai fungsi dan
kewenangannya sendiri dalam menghadapi permasalahan diatas.
Sebagaimana
tertuang pada Pasal 10 ayat 2 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, secara tegas dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan dalam memelihara kelestarian lingkungan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut seperti melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, mengelola kekayaan laut sebatas 12 mil, penaturan tata ruang dan penegakan hokum, yang selanjutnya dipertegas lagi dalam Bab II Pasal 3 butir 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 bahwa kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, mengelola kekayaan laut sebatas 12 mil merupakan kewenangan Daerah. Sehubungan dengan hal itu, maka Pemerintah Daerah perlu menindaklanjutinya dengan segera mengaplikasikannya didaerahnya.
117
Tabel 38. Hasil Analisis Metode AHP dengan model BCA dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang No. 1. 2. 3.
Prioritas Ruang Marikultur Gabungan Konservasi Pariwisata
Analitycal Hierarchy Process Prioritas Prioritas Manfaat Kerugian 0,090 0,409 0,677 0,114 dan 0,234 0,477
B/C Ratio 0,22 5,93 0,49
Berdasarkan Nilai Ratio Konsistensi, manfaat dan biaya harus berkisar antara 0,00 s/d 0,14 atau masih berada dibawah 0,10 perseratus, dengan hasil perolehan bobot-bobot tersebut pada Tabel 38 berarti para responden konsisten dalam pemberian nilai pembobotan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 12 dan 13 dibawah ini :
118
LEVEL 1 Tujuan Utama
Manfaat Pengembangan Marikultur
EKONOMI (0,323)
LEVEL 2 Aspek
LEVEL 3 Kriteria
LEVEL 4 Prioritas Kebjakan
Penig. Pdptn (0,277)
sector informal (0,46)
LINGKUNGAN (0,588)
Perlin. Pantai (0,16)
KNSRVSI & PRWSTA (0,234)
Media Biota (0,045)
Nilai Estetika (0,382)
GABUNGAN (0,677)
SOSIAL (0,089)
Tenaga Kerja (0,078)
Rekreasi (0,011)
MARIKULTUR (0,090)
Gambar 12. Hierarki manfaat pengembangan Marikultur LEVEL 1 Tujuan
Kerugian Pengembangan Marikultur
Utama
EKONOMI (0,258)
LEVEL 2 Aspek
LEVEL 3 Kriteria
LEVEL 4 Prioritas Kebjakan
Modal (0,226)
Biaya O &P (0,032)
Pence maran (0,072)
KNSRVSI & PRWSTA (0,477)
LINGKUNGAN (0,105)
Rusak karang (0,020)
Pergkap Sdimen (0,013)
GABUNGAN (0,114)
SOSIAL (0,637)
Budaya Hidup (0,531)
Cemburu Sosial (0,106)
MARIKULTUR (0,409)
Gambar 13. Hierarki kerugian pengembangan Marikultur
119
Dari hasil analisis (Tabel 38) menunjukan bahwa prioritas pengembangan Marikultur di kawasan Kepulauan Seribu pada pemanfaatan ruang gabungan, memberikan nilai manfaat terbesar yaitu 0,677 terdiri dari manfaat ekonomi 0,323 lingkungan 0,588 dan manfaat sosial 0,089, sedangkan alternatif pengelolaan kawasan untuk pengembangan Konservasi & Pariwisata memberikan total nilai kerugian terbesar yaitu
0,477 terdiri dari kerugian ekonomi 0,258, kerugian
lingkungan 0,105 dan kerugian sosial 0,637. Apabila masing-masing alternatif dibandingkan antara nilai manfaat dan kerugian diperoleh hasil alternatif pemanfaatan ruang Kawasan Kepulauan Seribu sebagai
kawasan Gabungan (Pariwisata,
Konservasi dan Marikultur
yang
memperhatikan Konservasi) memberikan nilai terbesar yaitu 5,93, yang berarti pencapaian bobot ini menghasilkan skenario yang optimal karena memberikan nilai B/C > 1. Hal ini disebabkan oleh karena dalam analisis ini turut memperhitungkan manfaat dan kerugian/biaya pengembangan Marikultur ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Sehingga alternatif pengelolaan Kawasan Kepulauan Seribu sebagai kawasan pengembangan marikultur yang biasanya menguntungkan bila ditinjau dari aspek ekonomi, tapi dalam analisis ini terlihat bahwa hasil tidak menguntungkan bila melibatkan ketiga aspek tersebut.
Oleh karena itu, untuk
kepentingan jangka panjang dengan melibatkan ketiga aspek tersebut menghasilkan pengelolaan yang optimal dari segi pelestarian pesisir dan laut pada pulau-pulau kecil maupun keberlangsungan pengembangan ketiga kegiatan tersebut. Pengelolaan kawasan Kepulauan Seribu sebagai kawasan Konservasi dan pariwisata memberikan nilai manfaat lebih kecil daripada resiko kerugian (0,234 dan 0,477) tapi nilai perbandingan antara manfaat dan biaya/kerugian sebesar 0,49 artinya bila dilihat dari prinsip “Benefit Cost Analysis” mendekati nilai optimal B/C
120
ratio = 1, hal ini disebabkan
karena memang dampak dari pengembangan
pariwisata terhadap ekonomi dan sosial masyarakat memberi nilai positif, namun dampak dari segi lingkungan memberi nilai negatif karena sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan keberadaan sumberdaya pesisir dan laut khususnya keberadaan terumbu karang cukup besar akibat ulah pengelola kegiatan pariwisata (Resort),
seperti
adanya
pembuangan
jangkar
sembarangan,
kegiatan
diving/snorkeling, pembuangan sampah/limbah, tumpahan minyak selain adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan juga menyebabkan nilai B/C ratio < 1, kemudian pengaruh kegiatan konservasi terhadap pariwisata dan masyarakat setempat adalah terbatasnya ruang gerak untuk melakukan kegiatan karena terlalu sempitnya ruang/zona pemanfaatan yang diberikan. Sedangkan nilai manfaat yang diperoleh pariwisata (Resort) dan konservasi lebih besar dibandingkan budidaya laut (marikultur) yaitu 0,234 dan 0,090. Pengelolaan kawasan Kepulauan Seribu sebagai kawasan pengembangan Marikultur memberikan nilai manfaat lebih kecil daripada nilai kerugian (0,090 dan 0,409), dengan nilai perbandingan antara manfaat dan biaya/kerugian sebesar 0,220. Bila dilihat dari prinsip “Benefit Cost Analysis” tidak termasuk optimal karena nilai B/C ratio < 1, yang artinya kelayakan kegiatan ini tidak dapat diterima, tapi bila kegiatan ini tetap akan dilaksanakan maka syarat yang harus dipenuhi oleh petani budidaya laut adalah melakukan diversifikasi komoditas budidaya laut, melakukan kegiatan budidaya ikan yang mudah pemeliharaannya, memerlukan modal relatif kecil dan masa pemeliharaan yang relatif pendek.
Kemudian melakukan
kerjasama/kemitraan antara petani budidaya laut dengan pengusaha resort dalam upaya pemasarannya, secara teknis melakukan aplikasi teknologi yang ramah lingkungan yang tidak mencemari lingkungan, tidak memperluas areal penanaman
121
karena keterbatasan ruang serta dalam upaya pengelolaan terpadu antara usaha budidaya laut dengan kegiatan kepariwisataan. Menjadikan usaha budidaya laut sebagai usaha pokok yang dapat menjadi sumber mata pencaharian baru selain sebagai nelayan yang berjalan bersama-sama dengan kegiatan lainnya pada zona pemanfaatan yang sesuai dengan zona yang telah ditentukan dengan kegiatan konservasi dan pariwisata (Resort) berdasarkan konsep Rencana Tata Runag Wilayah Kepulauan Seribu. Dari hasil analisis AHP dalam kerangka manfaat dan biaya, ditinjau dari segi kerugian/biaya, bila Pengembangan Marikultur berdiri sendiri (tunggal) melakukan kegiatannya di kawasan Kepulauan Seribu (secara menyeluruh) maka akan memberikan nilai kerugian besar (0,409) dari pada nilai manfaat, karena akan berdampak merusak terumbu karang yang dilindungi, dan bila dilakukan secara gabungan antara konservasi, pariwisata (resort) dan marikultur maka kegitan marikultur memberikan kerugian/biaya yang kecil (0,114), sedangkan ditinjau dari segi manfaat maka akan memberi nilai manfaat (0,677) lebih besar dari pada nilai kerugian, yang berarti ada tidaknya kegiatan ini tidak berpengaruh terhadap kawasan dan bila kegiatan marikultur akan dilakukan maka kegiatan tersebut dapat dilakukan bila berjalan bersama-sama karena akan lebih memudahkan dalam kerjasama dan pengawasan, dengan ketentuan bahwa koordinasi dan komunikasi dari ketiga aspek berjalan baik. Persepsi para responden terhadap krieteria penentuan prioritas/alternatif pemanfaatann ruang ditinjau dari segi manfaat dan kerugian kurang lebih 78% responden memilih pemanfaatan ruang konservasi, pariwisata dan marikultur yang memperhatikan konservasi.
Persepsi ini tergantung dari masing-masing asal
responden bekerja karena tugas dan fungsi yang mengikat mereka. Secara garis
122
besar dari mereka memilih pemanfaatan yang optimal (gabungan) karena dari ketiga kegiatan yang ada dalam kondisi saat ini harus memperhatikan lingkungan dan makhluk yang ada didalamnya.
Bila salah satu (marikultur) dihilangkan maka
dikhawatirkan akan terjadi pendegradasian sumberdaya laut akan semakin parah karena ketiadaan alternatif usaha lain, sehingga untuk amannya maka ketiganya harus berjalan secara bersama atau terpadu (Integrated) demi keberlangsungan (sustainable) dan kelestarian sumberdaya pesisir dan laut yang ada di Kawasan Kepulauan Seribu dan juga demi keberlangsungan kehidupan masyarakat yang akan datang. Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) mengandung tiga unsure (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi (lingkungan) dan social, dikatakan berkelanjutan,apabila secara ekonomis dapat efisien serta layak, secara ekologis lestari (ramah lingkungan), dan secara social berkeadilan.
Apabila kita terapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan pembangunan sumberdaya kelautan khususnya pulau-pulau kecl, maka secara teknis dapat didefinisikan bahwa “Pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable marine development) adalah suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia terutama stakeholders, sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) yang mampu disediakan oleh kawasan pesisir dan laut tersebut”.
Sementara itu yang dimaksud daya dukung lingkungan kawasan
pesisir dan lautan adalah kemampuan tersebut dalam (1) menyediakan ruang (space) untuk kehidupan manusia yang sehat dan nyaman beserta segenap kegiatan pembangunannya, (2) menyediakan sumberdaya alam untuk kepentingan
123
manusia baik melalui penggunaan langsung maupun melalui proses atau pengolahan, (3) menyerap atau menetralisir limbah (asimilasi), dan (4) melakukan fungsi-fungsi penunjang kehidupan (life-supporting functions), termasuk siklus biogeokimia, siklus hidrologi dan lainnya (Dahuri, 1991). Menurut Bengen (2002), dalam konsep pembangunan (sustainable
development),
baik
pengembangan
laut/marikultur mempunyai 4 dimensi
pariwisata
berkelanjutan dan
budidaya
yaitu (1) dimensi ekologis, (2) dimensi
ekonomis, (3) dimensi sosial, dan (4) dimensi hukum dan kelembagaan. Berpijak dari konsep pembangunan berkelanjutan seperti disebutkan diatas dengan melihat kondisi yang ada (existing) di Kepulauan Seribu , maka dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut : Pertama, dimensi ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah berarti dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil harus memperhatikan dampaknya terhadap ekologi agar tidak mengganggu fungsi dari ekologi dan kapasitas ekosistemnya, dimana ada 5 persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlanjutan yaitu : (a) Keharmonisan ruang (spasial harmony), antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk kepentingan pelestarian (konservasi) lingkungan yang dituangkan dalam peta tata ruang. Suatu wilayah pesisir dan lautan tidak semuanya dimanfaatkan untuk pembangunan (development zone), tetapi sebagian harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Dalam hal ini yang dimaksud Zona preservasi adalah lokasi dalam wilayah pesisir dan laut yang mengandung sumberdaya alam (flora, fauna dan mikroba), dan komponen ekosistem yang bersifat endemic, langka, atau sangat berperan dan menentukan kelangsungan hidup ekosistem, dimana tidak
124
diperkenankan adanya kegiatan pembangunan kecuali untuk penelitian dan pendidikan.
Sedangkan zona konservasi merupakan wilayah dimana
diperbolehkan berlangsungnya kegiatan pembangunan tetapi dengan laju atau pada tingkat yang sangat terbatas misalnya snorkeling dan menyelam (diving) dikawasan terumbu karang. Sementara itu zona pembangunan (utilization zone) adalah kawasan yang dperuntukan untuk pembangunan termasuk kegiatan pariwisata dan budidaya laut/marikultur. Menurut Odum (1976) dan Clark (1998) didalam Dahuri 2002, bahwa perbandingan proporsi luasan antara ketiga zona tersebut adalah 20 : 20 : 60 persen.
Selanjutnya dari 60% untuk zona
pembangunan dibagi-bagi untuk kegiatan pembangunan kepariwisataan, budidaya laut, pertambangan dan energi, kepelabuhan dan transportasi yang disesuaikan dengan pengembangan
daya dukung lingkungannya.
marikultur
di
Kepulauan
Seribu
Artinya dalam kontek harus
memperhatikan
keharmonisan pembangunan di upland pulau, baik pembangunan sarana prasarana pelabuhan maupun kegiatan masyarakat dalam sanitasi lingkungan dengan kegiatan dipesisir dan lautan yang seyogiayanya tetap terjaga dengan baik agar kegiatan marikultur dan wisata bahari dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable). (b) Tingkat/laju (rate) pemanfaatan sumberdaya dapat pulih (perikanan) tidak boleh melampaui kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut pada kurun waktu tertentu, (c) Pembuangan limbah ke perairan tidak melebihi kapasitas asimilasi (assimilative capacity) lingkungan pesisir dan laut dan tidak menjadikannya sebagai keranjang sampah,
125
(d) Dalam memodifikasi bentang alam pesisir dan lautan atau membangun prasarana pelabuhan dan sebagainya harus sesuai dengan kaidah-kaidah alam (design and construction with nature) (e) Keuntungan dari kegiatan pariwisata dan budidaya laut (economic rent) harus dapat diinvestasikan (financial sustainability)
untuk menjaga kelestarian
(konservasi) alam dalam bentuk retribusi atau pajak yang nantinya dialikasikan untuk pembangunan masyarakat kepuluan secara umum (rent transfer) Dalam kaitan dengan wilayah Kepulauan Seribu yang sebagian besar merupakan Wilayah Taman Nasional Laut dimana pengelolaannya berdasarkan zonasi, sudah sepantasnya membuat sistem zonasi pengelolaan yang sesuai dengan
kepentingan
mengenyampingkan mempercepat
semua
kepentingan
pemahaman
dan
pihak
(stakeholders)
masyarakat
dengan
kepulauan.
tanggungjawab
masyarakat
tidak
Untuk
lebih
lokal
akan
pentingnya menjaga kelestarian dan konservasi sumberdaya alam yang ada yang juga berfungsi sebagai lahan usaha budidaya dan wisata bahari maka pembentukan “daerah perlindungan laut” (Marine Protected Area) sudah saatnya untuk diimplementasikan pada setiap pulau di Kepulauan Seribu yang memenuhi persyaratan baik sisi ekologis, ekonomi, social dan budaya serta politik (kepentingan regional).
Dalam bagian lain, menurut Rahardjo (2003),
bahwa kebijakan yang dapat diambil adalah dengan melakukan kegiatan penataan kembali mencakup penataan lokasi maupun pembatasan kepadatan komoditi budidaya dengan persyaratan ekologi yang sesuai dengan daya dukungnya.
Dari hasil penelitiannya di Kelurahan Pulau Kelapa dengan
mempertimbangkan aspek ekologi dan ekonomi maka rumput laut lebih sesuai dikembangkan di kluster P. Panjang, kluster P. Putri, kluster P. Genteng, dan
126
kluster P. Melintang. Sementara itu ikan kerapu lebih sesuai dikembangkan di kluster P. Panjang sedangkan budidaya teripang lebih sesuai dikembangkan di kluster P. Putri dan kluster P. Jukung. Interaksi antara budidata laut dan wisata bahari, menggunakan input lingkungan dan kebutuhan zonasi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Ipih Ruyani (2003) yang menyatakan bahwa bardasarkan hasil analisis kesesuaian antara kegiatan
perikanan budidaya,
pariwisata bahari, pantai dan konservasi laut di Kelurahan Pulau Kelapa dengan katagori sangat sesuai, sesuai dan sesuai bersyarat sampai tidak sesuai untuk kawasan tertentu, dimana hampir semua kawasan sesuai untuk perikanan budidaya (marikultur). Kedua, dimensi ekonomi merepresentasikan permintaan (demand side) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah termaksud.
Permintaan tersebut tidak hanya dari penduduk setempat yang
bermukim diwilayah pesisir dan lautan yang dikelola melainkan pula berasal dari penduduk luar (untuk eksport). Oleh sebab itu, untuk menjamin keberlanjutan pembangunan adalah bagaimana kita mengelola agar permintaan terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tersebut tidak melampaui kemampuan wilayah, implikasinya adalah bahwa kita harus mengusahakan peningkatan daya dukung lingkungan melalui penerapan Iptek yang tepat, benar dan aplikable serta alternatif usaha yang dapat dilakukan seluruh lapisan masyarakat secara masal agar dapat memutar roda perekonomian masyarakat secara berkesinambungan.
Menurut hasil penelitian Rahardjo (2003),
menyatakan bahwa di Kelurahan Pulau Kelapa khususnya ada tiga komoditi yang dapat dikembangkan sebagai usaha budidaya laut yang secara ekonomis bernilai tinggi yaitu rumput laut, ikan kerapu dan teripang yang mempunyai nilai
127
ekonomis tinggi dan propitable.
Kemudian menurut Ipih Ruyani (2003),
pemilihan komoditi potensial didasarkan kepada permintaan pasar, kesesuaian kawasan, ketersediaan saprodi, ketersediaan teknologi, dan kemampuan sumberdaya manusia. Pada saat yang sama kita mengupayakan pengendalian jumlah penduduk, pengendalian (optimalisasi) tingkat konsumsi/pemanfaatan sumberdaya alam/kapita, mekanismme pasar dan kebijakan dengan program pemerintah secara proporsional. Disisi lain bahwa manfaat atau keuntungan dari pembagunan harus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat/daerah dan mensejahterakan penduduk sekitar Kepulauan Seribu serta dapat menstimulasi pengembangan sektor-sektor informal di masyarakat.
Selanjutnya menurut Rahardjo (2003),
pada prinsipnya kebijakan yang dapat diambil untuk meningkatkan keuntungan dan
menekan
biaya
se-efisien
mungkin,
mengurangi
investasi
dan
meningkatkan produktivitas sehingga pada akhirnya dapat mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan. Disamping itu juga ketersediaan akan saprodi, terutama benih/bibit dan pakan ikan rucah menjadi kendala penting dalam budidaya komoditi potensial, standarisasi bibit dan upaya untuk menghasilkan bibit unggul pada komoditi rumput laut masih jauh dari harapan. Selanjutnya menurut Lilik S. (2003), menyatakan bahwa untuk melakukan kegiatan yang merupakan gabungan dari kegiatan wisata bahari dan budidaya laut, maka khususnya di Kelurahan Pulau Kelapa perlu dikembangkan “Graha Mina Wisata” dibeberapa kawasan pulau yang memenuhi persyaratan baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun social dengan melibatkan peranserta masyarakat lokal secara aktif dalam pengelolaannya. Dari kegiatan ini diharapkan agar antara kegiatan wisata bahari dan budidaya laut dapat berjalan secara sinergi sehingga
128
masyarakat lokal mendapat alternatif usaha sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam (penangkapan) dapat ditekan dan usaha konservasi secara tidak langsung dapat dilaksanakan. Ketiga, dimensi sosial dalam kontek pembangunan berkelanjutan adalah dicirikan oleh terjadinya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha (terserapkan tenaga kerja), seluruh anggota masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan adanya partisipasi aktif (prinsip comanagement) dari masyarakat dalam pembangunan wilayah Kepulauannya. Salah satu aspek terpenting penyempurnaan paradigma pembangunan manusia adalah dalam perlakukannya terhadap isu-isu lingkungan.
The World
Commision on Environment and Development menempatkan kemiskinan dan lingkungan sebagai hubungan sebab akibat, dimana kemiskinan merupakan sebab utama dari kerusakan lingkungan.
Oleh karenanya pengentasan
kemiskinan merupakan prasarat dan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian dimensi sosial dalam pembangunan
berkelanjutan
mensyaratkan pentingnya pengembangan kebijakan dan program-program yang berorientasi langsung kepada kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan), pemenuhan dan perlindungan terhadap masyarakat miskin, pengembangan hak dan kepemilikan terhadap sumberdaya dan terjadinya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas politik. Kondisi masyarakat kepulauan seribu yang sebagian besar adalah nelayan dengan tingkat pendidikan rata-rata rendah (umumnya hanya tamat Sekolah Dasar) yang tidak ditunjang dengan pengetahuan yang cukup mengenai
pentingnya
menjaga
sumberdaya
pesisir
dan
laut,
sangat
129
memungkinkan terjadinya degradasi lingkungan.
Oleh karenanya sangat
diperlukan kegiatan-kegiatan yang berbentuk pendidikan dan penyuluhan baik oleh instansi pemerintah maupun non pemerintah dalam upaya lebih meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial serta kesadaran dan keperdulian akan pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam (Rahardjo, 2003). Keempat, dimensi Hukum dan Kelembagaan. Aktifitas pembangunan yang berkelanjutan tidak akan dapat berjalan secara optimal dan efektif bila tidak didukung dengan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan serta kelembagaan baik dari perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan sendiri maupun proses implementasinya.
Dari hasil analisis fungsi dan
kewenangan dari lembaga atau Instansi yang berperan dalam pembangunan di Kawasan Kepulauan Seribu menunjukan adanya konflik pemanfaatan maupun kewenangan terutama antara kegiatan konservasi, pariwisata maupun dengan perikanan. Aspek yang perlu diperhatikan adalah implementasi dari penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan harus jelas, tegas dan konsisten serta transparan agar tidak menimbulkan pemahaman (interpretasi) yang berbeda diantara pihak-pihak yang berperan. Aspek lain yang juga harus menjadi perhatian bagi aparat pengelola adalah sistem koordinasi antar lembaga terkait baik koordinasi dari mulai tahap perencanaan program, implementasi sampai pada pemantauan dan evaluasi, dengan lebih merevitalisasi peran Badan Perencana Daerah baik yang ada di level Propinsi maupun Kabupaten agar azas keterpaduan (integrated) baik secara vertical maupun horizontal agar tercipnya kerjasama yang harmonis dan sinergis, disamping itu tauladan dari aparatur akan kedisiplinan tugas dan
130
tanggungjawabnya perlu ditingkatkan sehingga masyarakat dapat menilai secara positif dan dapat mendukung program pembangunan secara aktif. Aspek berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat lokal Kepulauan Seribu dalam prisip-prinsip Co-management harus lebih
dikembangkan
dan
ditingkatkan
disamping
itu
juga
penguatan
kelembagaan masyarakat seperti “Forum Rembuk Warga” yang ada harus terus digalakan agar dapat berfungsi sebagai filter pembangunan dan tercerminan kebutuhan masyarakat sehingga apa yang menjadi kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dapat diterima sebagai suatu bagian dari kehendak masyarakat dan kebutuhannya yang diakomodir dan diimplementasikan dalam bentuk pembangunan agar lebih efektif dan efisien (tidak mubazir) serta tujuan ingin mensejahterakan masyarakat dapat tercapai.
Analisis Fungsi dan Wewenang Kelembagaan Keterlibatan
pemerintah
dalam
pengelolaan
sumberdaya
alam
dan
(perikanan), secara penuh dan atau hanya parsial, memiliki alasan-alasan dasar atau prinsip yang sama dengan keterlibatan pemerintah pada sektor ekonomi lain yang dijalankan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan tersebut diwujudkan dalam tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi (Nikijuluw VPH, 2002).
Fungsi alokasi dilakukan pemerintah melalui
regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi distribusi dijalankan pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang yang dilaksanakan juga dalam bentuk keberpihakan kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah dalam kondisi
131
atau situasi yang sebenarnya. Sedangkan fungsi stabililisasi dilakukan pemerintah agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya tidak berpotensi instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan social ekonomi masyarakat. Fungsi dan wewenang kelembagaan yang berhubungan dengan pengelolaan Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan sekitarnya antara lain : Pertama, Fungsi dan Kewenangan Pengelolaan dan Pengembangan Budidaya laut (Dinas Perikanan dan Kelautan) Dalam pengelolaan perikanan pada umumnya dan budidaya laut khususnya, instansi yang bertanggungjawab adalah Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Propinsi DKI Jakarta dan Sudin Perikanan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, sehingga wewenang dalam pemberian izin usaha budidaya dikeluarkan oleh Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta setelah mendapat rekomendasi dari Sub Dinas Perikanan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta, mempunyai tugas
menyelenggarakan
penyusunan,
perencanaan,
perumusan
kebijakan,
pelaksanaan dan pengendalian dibidang peternakan, perikanan dan kelautan. Untuk menyelenggarakan tugasnya, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan mempunyai fungsi : (1) perumusan kebijakan teknis dibidang peternakan, perikanan dan kelautan, (2) penyelenggaraan usaha-usaha peningkatan peternakan, perikanan dan kelautan, (3) pembinaan dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan SDM dibidang peternakan, perikanan dan kelautan, (4) pengendalian atas usaha pencegahan dan perlindungan terhadap organisme pengganggu ternak dan perikanan, (5) penyelenggaraan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, (6) pemberian pelayanan perizinan dibidang peternakan, perikanan dan
132
kelautan, (7) pengumpulan dan penelitian serta penyajian informasi bidang peternakan, perikanan dan kelautan, (8) penyusunan pedoman, petunjuk teknis dalam pelaksanaan tugas, (9) pengawasan terhadap peredaran benih, komoditas dan olahan hasil perikanan dan kelautan. Kedua, Fungsi dan Kewenangan Pengelolaan Kepariwisataan (Dinas Pariwisata) Instansi yang berwenang dalam mengelola kegiatan pariwisata untuk tingkat pusat adalah Departemen Pariwisata Seni dan Budaya melelui Direktorat Jenderal Pariwisata (Ditjen Pariwisata), dan di Daerah adalah Dinas Pariwisata Propinsi dan Kabupaten. Berdasarkan Keputusan Menteri Pariwisata Seni dan Budaya Nomor : Kep-144/MPSB/1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Pasenibud antara lain dijelaskan bahwa fungsinya antara lain (1) koordinasi pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kebijaksanaan dan pelayanan di bidang pariwisata, (2) analisis dan evaluasi data dan perencanaan regional dibidang pariwisata, dan (3) promosi dan hubungan kerjasama regional dan internasionak dibidang pariwisata. Fungsi dan wewenang dari Dinas Pariwisata berdasarkan Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
dan
Sekretariat
DPRD
Propinsi
DKI
Jakarta,
mempunyai
tugas
menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan, pelayanan, koordinasi serta pengawasan dan pengendalian kepariwisataan Daerah. Untuk meleksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Dinas Pariwisata mempunyai fungsi : (1) perumusan kebijakan teknis, (2) penyusunan rencana dan program kegiatan, (3)
pembinaan
dan
pengembangan
industri
dan
bisnis
pariwisata,
(4)
pengembangan dan pengelolaan atraksi pariwisata, (5) pengembangan tata ruang
133
dan kawasan destinasi pariwisata, (6) pelaksanaan tugas riset dan pengembangan kepariwisataan daerah, (7) pembinaan sumberdaya alam, sumberdaya perkotaan, sumberdaya manusia dan pemberdayaannya sebagai potensi pariwisata, (8) penyelenggaraan pemasaran, promosi,
publikasi dan media kepariwisataan,
pembinaan hubungan dan advokasi internasional, (9) pemberian izin tertentu dibidang
kepariwisataan,
(10)
penyelenggaraan
dan
pembinaan
hubungan
kerjasama kelembagaan kepariwisataan regional dan internasional.
Kawasan
Kepulauan Seribu yang merupakan suatu kawasan konservasi sekaligus sebagai kawasan pariwisata (resort) pulau-pulau kecil, Dinas pariwisata sebagai instansi yang berwenang dalam melaksanakan fungsinya terbentur dengan status kawasan sebagai kawasan konservasi dibawah wewenang Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sehingga kondisi ini menyebabkan fungsi dan kewenangannya belum dapat dijalankan secara optimal, sebab dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam dan Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, dinyatakan bahwa izin pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Parsenibud dan Gubernur Kepala daerah, bila tidak ada perubahan yang signifikan terhadap peraturan perundangan yang mengaturnya akan dapat menghambat pengembangan pawisata pada kawasan Taman Nasional karena jalur birokrasi yang terlalu panjang. Ketiga, Fungsi dan Kewenangan Pengelolaan Konservasi (Dephut) Kegiatan sektor Konservasi merupakan menjadi tugas dan tanggungjawab serta wewenang Departemen Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PKA). Lembaga/Instansi yang ada di Daerah yang melaksanakan tugas dan fungsi Ditjen PKA adalah Balai Konservasi Sumberdaya
134
Daya Alam (BKSDA). Pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu dilaksanakan oleh Balai TNKpS, yang berada dibawah dan bertanngungjawab kepada Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PKA), Departemen Kehuatanan melalui Keputusan Menhut Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional. Pada Tahun 2002 sgtruktur Balai TNSKpS disempurnakan kembali melalui Keputusan Menhut Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1900 Pasal 30, Taman Nasional mempunyai fungsi sebagai (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Balai TNKpS dalam mengelola TNKpS mempunyai visi “Mewujudkan Kelestarian Manfaat TNKpS bagi Masyarakat Secara Berkesinambungan dan Berkeadilan. Dalam merealisasikan visi tersebut, Balai TNKpS mempunyai 3 misi melindungi
dan
mengamankan
yaitu
(1)
ekosistem TNKpS, (2) mengawetkan dan
memelihara keragaman hayati dan ekosistem TNKpS, (3) menemu-kenali dan mengembangkan pola-pola pemanfaatan lestari keragaman hayati dan ekosistem TNKpS. Sistem zonasi di TNKpS telah diterapkan sebanyak dua kali yaitu periode antara tahun 1986-1998 sesuai Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986 yang membagi kawasan TNKpS kedalam 4 zona, yaitu Zona Inti, Zona Pelindung, Zona Pemanfaatan dan Zona Penyangga. Sumberdaya alam dalam taman nasional terdiri dari sumberdaya alam hayati dan non hayati yang keberadaannya relatif kompleks, baik variasi jenisnya maupun kelimpahannya. Dalam konsep konservasi taman nasional, sumberdaya ini secara eksplisit
135
pemanfaatannya diarahkan sedemikian rupa agar dapat menunjang dan atau mengakses segala kepentingan, seperti penelitian dan pendidikan, pariwisata alam, dan kegiatan yang menunjang budidaya. Agar sumberdaya alam taman nasional dapat dimanfaatkan secara seimbang, lestari, dan sesuai potensi masing-masing bagian taman nasional, maka konsepsi pemanfaatan sumberdaya tersebut diarahkan pada konsep zonasi sesuai UU Nomor 5 Tahun 1990, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 dan ketentuan pelaksanaanya. Kalau melihat dan mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan dan Surat Keputusan Menhut bahwa yang berperan dan mempunyai kewenangan penuh dalam pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah Balai TNKpS. Namun dalam perjalanannya Balai TNKpS belum melaksanakannya secara optimal terutama dalam hal perizinan pembukaan suatu kawasan pulau untuk dijadikan resort wisata yang berada dalam kawasan
sering berbenturan dengan sektor
pariwisata dan Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
baik dari
peraturan perundang-undangannya maupun tugas dan fungsi antara keduanya. Keempat, Fungsi dan kewenangan dalam Perencanaan Pembangunan (BAPEDA/Bapekab) Instansi
yang
berperan
dalam
perencanaan pembangunan adalah Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) yang berada di propinsi dan Kabupaten yang bertanggungjawab kepada Kepala Daerah.
Berdasarkan Perda
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta, mempunyai tugas membantu Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah dibidang perencanaan pembangunan Daerah, peneltian dan pengembangan serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan di Daerah.
Bappeda serta jajarannya sampai ke
136
Kabuparen
mempunyai
fungsi
(1)
perumusan
kebijakan
teknis
dibidang
perencanaan, (2) pengkoordinasian penyusunan program perencanaan jangka panjang, menengah, arah dan kebijakan umum tahunan APBD strategi dan prioritas tahunan
APBD,
(3)
pengkoordinasian
kebijakan
perencanaan
dibidang
pembangunan perekonomian, pembangunan fisik, pembangunan kesejahteraan masyarakat, tata praja, dan aparatur serta keuangan, (4)
pengkoordinasian
penyusunan program secara terpadu antara perangkat daerah, antar daerah, antar sektor dan antar lintas pelaku lainnya, (5) pengkoordinasian kebijakan teknis dalam lingkup perencanaan daerah, (6) penyusunan RAPBD dalam satu tim anggaran yang dikoordinasikan Sekretaris Daerah, (7) pengkoordinasian serta pelaksanaan penelitian dan pengembangan perencanaan daerah, (8) pemantauan persiapan dan perkembangan pelaksanaan perencanaan daerah, (9) pengkoordinasian evaluasi perencanaan daerah dan (10) pengelolaan dukungan teknis dan administrative. Peran Bappeda sebagai koordinator perencanaan dan pembangunan daerah belum difungsikan secara optimal sehingga masih terjadi perencanaan pembangunan yang tidak sejalan dan sinergi dengan institusi lain dalam intern institusi pemerintah sendiri. Kelima, Fungsi dan kewenangan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (BAPEDALDA) Instansi atau Lembaga yang berwenang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) yang mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta, mempunyai fungsi (1) perumusan kebijakan teknis dibidang pencegahan dan penanggulangan
137
pencemaran kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan, (2) pengkoordinasian pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan, dan pemulihan kualitas lingkungan, (3) pengembangan program
kelembagaan
dan
peningkatan
kapasitas
pengendalian
dampak
lingkungan, (4) pelaksanaan pembinaan teknis pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan, dan pemulihan kualitas lingkungan, (5) pembinaan dan pengendalian teknis AMDAL, (6) pengawasan dan penyidikan pelaksanaan
pengendalian
pengkoordinasian
pembinaan
dampak teknis
dan
kerusakan
laboratorium
lingkungan,
lingkungan
(7)
Daerah,
(8)
pengujian/analisis data laboratorium di bidang lingkungan, (9) dan pengendalian dukungan teknis dan administrative. Kawasan Kepulauan Seribu yang juga sebagai Kawasan Taman Nasional Laut, dimana Balai Taman Nasional Laut (BTNL) Kepulauan Seribu sebagai institusi yang bertanggungjawab
terhadap
kawasan
konservasi
yang
ada
harus
dapat
berkoordinasi dengan BPLHD sebagai institusi dari pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup agar tidak terjadi overlapping dalam pengelolaan kawasan tersebut. Keenam, Fungsi dan kewenangan dalam Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Instansi atau lembaga yang berwenang dalam pemberdayaan masyarakat adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dimana dalam melaksanakan tugasnya dikoordinasikan oleh Assisten Kesejahteraan Masyarakat.
Berdasarkan Perda
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta, mempunyai fungsi (1) perumusan dan penyiapan kebijakan fasilitas pelaksanaan ketahanan masyarakat, sosial budaya, pemberdayaan
perempuan,
usaha
ekonomi
masyarakat
dan
pemanfaatan
138
sumberdaya alam dan teknologi tepat guna, dan (2) pengelolaan dukungan teknis dan administrasi.
Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Propinsi DKI Jakarta
telah melaksanakan program Pemberdayaan Perekonomian Masyarakat Kelurahan (PPMK) untuk wilayah Kepulauan Seribu yang dilaksanakan sejak tahun 2002 hingga sekarang dalam bentuk pemberian pinjaman dana (keuangan) untuk modal usaha yang dikelola oleh masyarakat sendiri dengan pola pinjaman bergilir (revolving fund). Secara lebih lengkap mengenai fungsi dan wewenang dari masing Instansi dan Lembaga yang terlibat dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 39, 40 dan 41 berikut. Tabel 39. Matrik Fungsi dan Wewenang dari masing-masing Lembaga/Instansi Yang terlibat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kawasan Kepulauan Seribu Sektor Konservasi
Fungsi Manajemen Perizinan Prencanan Implementasi Monev Ditjen Ditjen PKA UKSDA, Balai BAPEKAB PKA dan Taman ,BTNSL, BAPEKAB, Nasional & UKSDA, BPM Masyarakat BPLHD, BPM.
Budidaya Laut
Dinas Perikana n
Pariwisata
Ditjen PKA, Pariwista & Diparkab
Diskan & Diskan, BAPEKAB, Swasta & BPM Masyarakat, BPM Ditjen PKA, UKSDA, Pariwisata, PARSENBUD, Diparkab & DIPARDA & BAPEKAB, Swasta, BPM BPM
BAPEKAB , DISKAN & BPLHD, BPM UKSDA, DIPARDA, Ditjen Par , BAPEKAB & BPLHD, BPM
Wasdal Balai Taman Nasional, TNI AL, BPLHD KAB DISKAN, TNI AL, BPLHD KAB, BPM Ditjen PKA, Ditej Par BPLHD & TNI AL, Dinas pariwisata
139
Tabel 41. Pengaturan Fungsi dan Kewenangan Kelembagaan Pengelolaan Wilayah Kepulauan Seribu KEGIATAN FUNGSI Desiminasi Informasi
KONSERVASI BAPPEKAB & BTNL/Unit KSDA
BUDIDAYA LAUT/MARIKULTUR BAPPEKAB & Diskan Kabupaten
Perencanaan
BAPPEKAB & BTNL/Unit KSDA
BAPPEKAB & Diskan Kabupaten
Perizinan
Ditjen PKA dan Unit KSDA/BTNL
Diskan Kab & Diskan DKI Jakarta
Implementasi
Unit KSDA/BTNL
Monitoring/Evaluasi
BAPPEKAB, BPLHDKAB Masyarakat
Swasta,Masyarakat, dan BPM serta Dinas Perikanan, BAPPEKAB, BPLHDKAB & Masyarakat, BPM
&
PARIWISATA BAPPEKAB & Dinas Pariwisata Kabupaten BAPPEKAB & Dinas Pariwisata Kabupaten/Unit KSDA/BTNL BAPPEKAB, Dinas Pariwisata Kab.& Unit KSDA/BTNL Diparta, BPM & Masyarakat BAPPEKAB, BPLHDKAB & Masyarakat, BPM
Analisis Sensitivitas untuk Penentuan Perubahan Prioritas Alternatif Terhadap Perubahan Bobot Kriteria Sebagaimana sebuah analisis multikriteria menurut Triantapphylliu and Alfonso (1977), “Analysis Hierarchy Process” (AHP) harus dilengkapi dengan analisis sensitivitas.
Analisis sensitivitas ini digunakan untuk dapat melihat kelayakan
pendapat responden untuk dijadikan landasan pengambilan keputusan dengan AHP. Dengan menggunakan analisis sensitivitas dapat dilihat komponen atau elemen dari struktur hierarki yang paling sensitive terhadap perubahan bobotnya sehingga menghasilkan perubahan alternatif. Ditingkat operasional Analisis sensitivitas digunakan untuk dapat melihat seberapa besar pengaruh criteria (level 2) menentukan alternatif prioritas (level 4). Sensitivitas perubahan prioritas alternatif (level 4) dengan berubahnya bobot criteria (level 2) dapat dijelaskan dengan menggunakan simulasi terhadap hasil Analisis sensitivitas pendapat key person (informan). Simulasi dilakukan dengan menaikan
140
dan menurunkan bobot masing-masing criteria sebesar 10%. Analisis ini dikerjakan dengan menggunakan program expert choise versi 9.0 Berdasarkan gambar 6. terlihat bahwa criteria yang paling sensitive terhadap perubahan bobot untuk merubah prioritas alternatif adalah dalam kriteria lingkungan dengan bobot
64,9%,
sedangkan sebaliknya kriteria yang paling rendah
sensitivitasnya adalah kriteria sosial dengan bobot 7,2%. Artinya perubahan bobot pada kriteria lingkungan akan mempengaruhi pada alternatif-alternatif kegiatan pembangunan (kegiatan Marikultur, Konservasi dan Pariwisata)
(A)
(B)
Gambar 14. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap pendapat Key Person (Informan)
141
Jika dilakukan simulasi dengan menaikan bobot kriteria lingkungan menjadi 74,9% maka akan dapat menurunkan bobot kegiatan Gabungan (Marikultur, Konservasi dan Pariwisata) menjadi 60,9% dan menaikan kegiatan Konservasi dan pariwisata menjadi 24,0% serta bobot kegiatan Marikultur menjadi 9,1%.
(A)
(B)
Gambar 15. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap kriteria Lingkungan dinaikan sebesar 10%.
142
Jika dilakukan simulasi dengan menurunkan bobot kriteria lingkungan menjadi 54,9% maka akan dapat menaikan bobot kegiatan Gabungan (Marikultur, Konservasi dan Pariwisata) menjadi 67,9% dan menurunkan kegiatan Konservasi dan pariwisata menjadi 23,2% serta bobot kegiatan Marikultur menjadi 8,9%.
(A)
(B)
Gambar 16. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap kriteria lingkungan diturunkan sebesar 10%.
143
Jika dilakukan simulasi dengan menaikan bobot kriteria ekonomi menjadi 37,5% maka akan dapat menaikan bobot kegiatan Gabungan (Marikultur, Konservasi dan Pariwisata) menjadi 68,1% dan menurunkan kegiatan Konservasi dan pariwisata menjadi 23,1% serta bobot kegiatan Marikultur menjadi 8,9%.
(A)
(B)
Gambar 17. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap kriteria ekonomi dinaikan sebesar 10%.
144
Jika dilakukan simulasi dengan menurunkan bobot kriteria ekonomi menjadi 18,3% maka akan dapat menurunkan bobot kegiatan Gabungan (Marikultur, Konservasi dan Pariwisata) menjadi 66,7% dan menaikan kegiatan Konservasi dan pariwisata menjadi 24,1% serta bobot kegiatan Marikultur menjadi 9,2%.
(A)
(B)
Gambar 18. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap
kriteria ekonomi dinaikan sebesar 10%.
145
Jika dilakukan simulasi dengan menaikan bobot kriteria sosial menjadi 17,1% maka akan dapat menurunkan bobot kegiatan Gabungan (Marikultur, Konservasi dan Pariwisata) menjadi 66,5% dan menaikan kegiatan Konservasi dan pariwisata menjadi 23,8% serta bobot kegiatan Marikultur menjadi 9,2%.
(A)
(B)
Gambar 19. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap kriteria sosial dinaikan sebesar 10%.
146
Jika dilakukan simulasi dengan menurunkan bobot kriteria sosial menjadi 0,4% maka akan dapat menaikan bobot kegiatan Gabungan (Marikultur, Konservasi dan Pariwisata) menjadi 67,6% dan menurunkan kegiatan Konservasi dan pariwisata menjadi 24,0% serta bobot kegiatan Marikultur menjadi 9,0%.
(A)
(B)
Gambar 20. (A) Performance dan (B) Dynamic Sensitivity Analysis terhadap kriteria sosial diturunkan sebesar 10%.
147
Berdasarkan hasil analisis simulasi tersebut terlihat bahwa perubahan bobot alternatif kegiatan terbesar adalah pada perubahan bobot kriteria Lingkungan. Kegiatan Marikultur tidak sensitive terhadap perubahan kriteria, karena grafiknya yang mendekati garis mendatar. Pada perubahan bobot kriteria hingga kenaikan atau penurunan 10% ternyata tidak merubah urutan prioritas kegiatan pengelolaan yaitu pengelolaan secara Gabungan prioritas pertama, kemudian kegiatan Konservasi dan Pariwisata prioritas kedua dan Marikultur prioritas ketiga. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas tersebut menunjukan bahwa pendapat para responden memiliki konsistensi yang tinggi karena perubahan urutan prioritas kegiatan hanya dapat terjadi jika ada perubahan bobot kriteria yang besar. Dengan demikian dapat direkomendasikan bahwa berdasarkan AHP pada pengelolaan Kawasan Kepulauan Seribu maka alternatif kegiatan yang akan dilakukan adalah dengan memperhatikan aspek lingkungan melalui kegiatan pengelolaan gabungan antara kegiatan Marikultur, Pariwisata dan Konservasi yang dilaksanakan secara sinergi dan terpadu (integrated) untuk menciptakan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan (sustainable). Berdasarkan hasil AHP yang menunjukan bahwa prioritas pertama kegiatan pengelolaan Kawasan Kepulauan Seribu adalah kegiatan pengelolaan Gabungan (Marikultur, Pariwisata dan Konservasi) dengan memperhatikan aspek Lingkungan (Biogeofisik) kawasan maka kondisi tersebut sejalan dengan keberadaan Kawasan Kepulauan Seribu yang sebagian besar wilayahnya berstatus sebagai Kawasan Taman Nasional Laut sehingga upaya-upaya pelestarian (konservasi) mutlak dilakukan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di Kawasan Kepulauan Seribu tidak hanya terfokus pada upaya perlindungan (konservasi) terhadap sumberdaya
148
alam dan keanekaragaman hayati yang ada, tetapi juga dilakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Sebagai salah satu alternatif mata pencaharian penduduk lokal
yang sedang dan akan dikembangkan adalah kegiatan budidaya laut
(Marikultur) dan Pariwisata (Wisata Bahari) adalah kegiatan budidaya laut yang ramah lingkungan dengan memperhatikan kondisi sumberdaya yang ada dan daya dukung lingkungannya. Begitu juga pengembangan wisata bahari diarahkan kepada wisata alam (eco-tourism). Kedua kegiatan tersebut dilaksanakan secara sinergi dan terpadu yang melibatkan semua stakeholders yang ada dengan mengutamakan pengelolaan
berbasis masyarakat lokal (Community based management) untuk
peningkatan pendapatan dan kesejahteraanya dan mengurangi tekanan eksplotasi sumberdaya alam yang berlebihan dan mempunyai kecenderungan
menurun
(terdegradasi).
Arahan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Kepulauan Seribu Untuk Pengembangan Marikultur Upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan baik konflik pemanfaatan dan kewenangan dalam pengelolaan kawasan Kepulauan Seribu digunakan analisis KEKEPAN/SWOT
yaitu
analisis
alternatif
yang
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk memformulasikan prioritas kebijakan dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil laut dalam suatu kegiatan. Selanjutnya untuk mentransformasikan KEKEPAN kedalam penanganan konflik maka perlu melihat kombinasi antara factor eksternal (dampak langsung dari luar) dengan factor internal (dampak langsung dari dalam). Lingkungan eksternal yang dimaksud antara lain peluang dan ancaman (Opportunity dan Threats) yang
149
disingkat EFAS (External Strategy Factors Summary) dan lingkungan internal antara lain kekuatan dan kelemahan (Strenght dan Weakness) yang disingkat IFAS (Internal Strategy Factors Summary). Kedua factor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis
KEKEPAN/SWOT sebagai berikut : I. Identifikasi Aspek Internal dan Eksternal A. Aspek Internal Kepulauan Seribu A.1. Kekuatan (Strength) Dari hasil pengamatan dilapangan dan masukan dari berbagai
sumber,
dapat
didiskripsikan beberapa kekuatan yang dimiliki oleh Kawasan Kepulauan Seribu antara lain : Tabel 42. Penelaahan Faktor-faktor Internal dan Eksternal Kode S1 S2 S3 S4 S5
Definisi Kekuatan Keanekaragaman ekosistem laut yang tinggi (terumbu karang, padang lamun, ikan hias) merupakan asset obyek wisata yang menarik Kondisi biogeofisik perairan menunjang kegiatan Marikultur Keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kepulauan Seribu Keberadaan Fasilitas Pembenihan Ikan (Hatchery) Keberadaan Lembaga Penelitian (LON LIPI) dalam meningkatkan potensi pengembangan Marikultur, Konservasi dan SDM
A.2. Kelemahan (Weakness) Dari hasil pengamatan dilapangan dan masukan dari berbagai sumber maka dapat didiskripsikan beberapa kelemahan yang dimiliki oleh Kawasan Kepulauan Seribu antara lain : Kode W1 W2
Definisi Kelemahan Kurangnya pemahaman tentang konservasi dan pengelolaan lingkungan Belum ada aturan yang jelas mengenai hak pengusahaan areal budidaya laut sehingga terjadi pengkaplingan lahan secara sepihak
150
W3 W4 W5
budidaya laut sehingga terjadi pengkaplingan lahan secara sepihak Diversifikasi komoditas budidaya laut yang kurang Masyarakat terbiasa sebagai nelayan penangkap ikan, sehingga perlu waktu menjadi petani budidaya ikan Fasilitas permodalan yang terbatas
B. Aspek Eksternal Kepulauan Seribu B.1. Peluang (Opportunity) Dari hasil pengamatan dilapangan dan masukan dari berbagai sumber maka dapat didiskripsikan beberapa peluang yang dimiliki oleh Kawasan Kepulauan Seribu antara lain : Kode O1 O2 O3 O4 O5
Definisi Peluang Berkembangya sektor informal yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah Penguatan peran pendampingan dari LSM dan Perguruan Tinggi Meningkatnya jumlah Wisman dan Wisnus kemungkinan pula multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat lokal dan PAD Pengembangan industri hulu dan hilir seperti industri pakan, hatchery dan pengolahan pasca panen Permintaan pasar domestik dan eksport akan hasil laut dan budidaya cukup besar yang dapat meningkatkan nilai produksi baik secara kualitas maupun kuantitas
B.2. Ancaman (threats) Dari hasil pengamatan dan penelitian dilapangan serta masukan dari berbagai sumber maka dapat didiskripsikan beberapa ancaman yang dimiliki oleh Kawasan Kepulauan Seribu, antara lain : Kode T1 T2 T3 T4 T5
Definisi Ancaman Degradasi Sumberdaya Alam dan Pencemaran akibat aktivitas Marikultur yang tidak ramah lingkungan Pencemaran kualiras air di Kawasan Kepulauan yang berasal dari teluk Jakarta Terjadinya intervensi budaya luar terhadap budaya lokal Terjadinya kesenjangan pembangunan antar pulau dan tidak sesuai daya dukung Lalu lintas pelayaran/transportasi yang melepaskan zat-zat pencemar
151
Tabel 43. Penentuan Prioritas Faktor Internal dan Eksternal Kode S S1
S2 S3 S4 S5
W1 W2 W3 W4 W5 O O1 O2 O3 O4 O5
Komponen SWOT Faktor Internal Kekuatan (Strenght) Keanekaragaman ekosistem laut yang tinggi (terumbu karang, padang lamun, ikan hias) merupakan asset obyek wisata bahari yang menarik Kondisi biogeofisik perairan menunjang kegiatan Marikultur Keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kepulauan Seribu Keberadaan Fasilitas Pembenihan Ikan (Hatchery) Keberadaan Lembaga Penelitian (LON LIPI) dalam meningkatkan potensi pengembangan Marikultur, Konservasi dan SDM Kelemahan (Weakness) Kurangnya pemahaman tentang konservasi dan pengelolaan lingkungan Belum ada aturan yang jelas mengenai hak pengusahaan areal budidaya sehingga terjadi pengkaplingan lahan secara sepihak Diversifikasi komoditas budidaya laut yang kurang Masyarakat terbiasa sebagai nelayan penangkap ikan, sehingga perlu waktu menjadi petani budidaya ikan Fasilitas permodalan yang terbatas Faktor Eksternal Peluang (Opportunity) Berkembangya sektor informal yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah Penguatan peran pendampingan dari LSM dan Perguruan Tinggi Meningkatnya jumlah Wisman dan Wisnus kemungkinan pula multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat lokal dan PAD Pengembangan industri hulu dan hilir seperti industri pakan, hatchery dan pengolahan pasca panen Permintaan pasar domestik dan eksport akan hasil laut dan budidaya cukup besar yang dapat meningkatkan nilai produksi baik secara kualitas maupun kuantitas Ancaman (Threats)
Bobot
Prioritas
0,613 0,083
1 3
0,330
1
0,024
5
0,130
2
0,047
4
0,089 0,009
3 4
0,005
5
0,046 0,016
1 2
0,013
3
0,208 0,105
2 1
0,045
2
0,014
4
0,031
3
0,014
4
0,089
4
152
T1
0,040 Degradasi SDA dan Pencemaran akibat aktivitas Marikultur yang tidak ramah lingkungan T2 Pencemaran kualitas air di Kawasan Kepulauan 0,008 yang berasal dari teluk Jakarta T3 Terjadinya intervensi budaya luar terhadap 0,005 budaya lokal T4 Terjadinya kesenjangan pembangunan antar 0,022 pulau dan tidak sesuai daya dukung T5 Lalu lintas pelayaran/transportasi yang 0,014 melepaskan zat-zat pencemar Sumber : Pengolahan data primer Program Expert Choice versi 9.0
1 4 5 2 3
Dari Table 43 diatas yang ditetapkan ada 5 (lima) Kekuatan, 5 (lima) Kelemahan, 5 (lima) peluang, dan 5 (lima) ancaman berdasarkan kondisi yang ada dan terjadi dilapangan.
Setelah dilakukan proses analisis dengan melihat nilai
kepentingan (bobot prioritas) dari unsure-unsur dalam SWOT, dapat ditetapkan bahwa dari komponen kekuatan (strength) yang mempunyai nilai kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah kondisi biofisik perairan menunjang kegiatan marikultur (0,330), dari komponen kelemahan (weakness) yang mempunyai nilai kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah diversifikasi komoditas budidaya laut yang kurang (0,046) dan dari komponen peluang (opportunity) yang mempunyai nilai kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah Peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah (0,105) serta dari komponen ancaman (threats) yang mempunyai nilai kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah degradasi sumberdaya alam dan pencemaran (0,040). Berpijak dari hasil analisis seperti tersebut diatas, maka disusunlah bentukbentuk arahan kebijakan dan program yang merupakan hasil kombinasi dari aspek internal dan eksternal yang ada dan terjadi di Kawasan Kepulauan Seribu.
153
II.
Penyusunan Kebijakan dan Program dalam Pengelolaan Kawasan Kepulauan Seribu Penyusunan
prioritas
kebijakan
dan
program
dilakukan
dengan
mengkombinasikan antara komponen yang telah disusun dalam analisis SWOT baik factor Internal (kekuatan dan kelemahan) maupun factor eksternal (peluang dan ancaman) terdiri dari 4 pilar kebijakan dan 18 program yang dapat diimplementasikan
yaitu
kebijakan
pengembangan
pariwisata
bahari,
pengembangan budidaya laut/marikultur, kebijakan konservasi dan kebijakan pengembangan aksesiblitas dan kapasitas kelembagaan yang ada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Table 44 berikut ini : Tabel 44. Penentuan Prioritas Kebijakan dan Program Pengelolaan Sumberdaya Di Kawasan Kepulauan Seribu No. 1.
2.
3.
Kebijakan dan Program Pengembangan Pariwisata Bahari a) Peningkatan kondisi pulau yang diperuntukan wisata bahari b) Meningkatkan koordinasi dan kemitraan dengan pemilik resort pulau wisata c) Pengembangan SDM lokal untuk pariwisata d) Peningkatan promosi wisata bahari secara nasional, regional dan internasional e) Pengembangan wisata bahari yang ramah lingkungan (ecotourism) Pengembangan Budidaya Laut (Marikultur) a) Pengembangan komoditas budidaya laut yang beragam dan aplikable untuk masyarakat kepulauan sesuai permintaan pasar b) Implementasi zonasi pemanfaatan budidaya laut secara konsisten dalam RTRW c) Penerapan teknologi budidaya laut yang ramah lingkungan d) Pembentukan akses pasar dan akses ke lembaga keuangan (KUD, KUT dan Perbankan) Konservasi Lingkungan Pulau dan Perairan a) Penerapan kawasan konservasi secara konsisten didalam RTRW
Bobot 0,250 0,122
Prioritas 1 3
0,424
1
0,254 0,071
2 5
0,129
3
0,250 0,549
1 1
0,074
4
0,248
2
0,129
3
0,250 0,081
1 4
154
konsisten didalam RTRW b) Penegakan hukum dan peraturan 0,360 perundang-undangan secara konsisten dan transparan c) Peningkatan pemahaman tentang konservasi 0,159 melalui pendidikan dan penyuluhan 0,399 d) Peningkatan kesadaran tentang Sanitasi dan kebersihan lingkungan 0,250 4. Pengembangan Aksesibilitas dan Kapasitas Kelembagaan a) Peningkatan peran LSM, Lembaga Penelitian 0,100 dan Perguruan Tinggi dalam penelitian dan pendampingan b) Peningkatan profesionalitas aparat pengelola 0,157 secara teknis dan manajerial 0,422 c) Peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam prinsip Co-Management d) Mendefinisikan kembali tugas, fungsi dan 0,269 mekanisme koordinasi institusi dalam pengelolaan terpadu (integrated management ) e) Peningkatan aksesibilitas internal dan 0,051 eksternal dengan penambahan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi Sumber : Pengolahan data primer Program Expert Choice versi 9.0
2 3 1 1 4 3 1 2
5
Dari hasil analisis KEKEPAN/SWOT pada Tabel diatas ditetapkan ada 5 (lima) Kekuatan, 5 (lima) Kelemahan, 5 (lima) peluang, dan 5 (lima) ancaman berdasarkan kondisi yang ada dan terjadi dilapangan. Setelah dilakukan proses analisis KEP, KEP, KAN dan KAN diperoleh 18 (delapan belas) program dengan 4 (empat) pilar Kebijakan yang dapat diterapkan dalam menangani konflik pemanfaatan dan kewenangan yang terjadi di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, antara lain : A.
Kebijakan Pengembangan Pariwisata Bahari. Kebijakan pengembangan pariwisata bahari dapat aplikasikan dengan menerapkan 5 (lima) program antara lain : 1)
Peningkatan kondisi pulau yang diperuntukan wisata bahari
155
2)
Meningkatkan koordinasi dan kemitraan dengan pemilik resort pulau wisata
3)
Pengembangan SDM lokal untuk pariwisata
4)
Peningkatan promosi wisata bahari secara nasional, regional dan internasional
5)
Pengembangan wisata bahari yang ramah lingkungan (ecotourism) Dari kelima program tersebut diatas yang menjadi prioritas utama
adalah dengan meningkatkan koordinasi dan kemitraan dengan pemilik resort pulau wisata dengan bobot prioritas tertinggi (0,424), kemudian disusul pengembangan SDM lokal dan seterusnya. Potensi wisata bahari di Kepulauan Seribu perlu dikembangkan lebih sempurna karena didukung dengan daya tarik alam, kegiatan rekreasi, olahraga bahari
dan
peninggalan
sejarah
merupakan
bagian
yang
melengkapi
pengembangannya yang dilakukan secara terpadu (integrated) dengan upaya perlindungan kawasan konservasi. Pada dasarnya tempat yang akan dijadikan obyek wisata bahari harus memiliki daya tarik yang dapat membangkitkan minat pengunjung. Daya tarik yang dimaksud antara lain daerah pantai yang panjang, landai dan berpasir putih, keindahan pemandangan alam didarat, keindahan bawah laut dan memiliki ciri social khas pada ekosistemnya. Selain itu perlu diperhatikan adalah aksesibilitas yang memadai atau mungkin lebih dikembangkan. Dalam upaya percepatan pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu perlu ditingkatkan koordinasi dengan instansi terkait dan melakukan kemitraan dengan pemilik pulau wisata (resort).
Bentuk kemitraan yang
156
dimaksud adalah kemitraan antara masyarakat lokal kepulauan dengan segala sisi kehidupan baik masyarakat nelayan maupun pembudidaya. Berdasarkan
Surat
Keputusan
Gubernur
DKI
Jakarta
Nomor
:
Cb.11/1/20/70 tentang Penetapan Peruntukan Pulau-Pulau di Gugusan Kepulauan Seribu
sebagai kawasan obyek wisata hingga saat ini sudah
dilaksanakan, namun upaya pemberdayaan terhadap masyarakat lokal masih kurang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2000 tentang pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat mengarahkan bahwa pengembangan pulau-pulau kecil harus memperhatikan adat istiadat, norma, social budaya serta kepentingan masyarakt setempat,
sehingga
harus
diupayakan
agar
dapat
diupayakan
untuk
melaksanakan program masyarakat setempat dalam rangka community development. Kepulauan Seribu yang merupakan suatu kawasan konservasi, maka pola pengembangan pariwisata adalah pariwisata bahari yang ramah lingkungan (eco-tourism) agar antara pemanfaatan dan keseimbangan lingkungan dapat terjaga.
Ecotourisme atau eko-wisata berorientasi pada terpeliharanya
ekosistem dan secara tidak langsung harus dapat memberikan pendapatan tambahan kepada masyarakat setempat, harus dapat memberikan ruang gerak pada masyarakat lokal suatu pilihan untuk mendapatkan nilai tambah. Dengan demikian eko-wisata menggabungkan suatu komitmen terhadap alam dengan suatu tanggungjawab social.
Umpan bali dari kesempatan ekonomi dan
lapangan kerja bagi penduduk setempat dapat meningkatkan dukungan terhadap program konservasi dan mengurangi tekanan terhadap wilayah alam
157
yang dilindungi. Pola “ecotourism” didalam kawasan yang dilindungi (Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu) dapat dijelaskan sebagai berikut : 1)
Ecotourisme merupakan salah satu segmen dari wisata alam, yang mengutamakan elemen alam (terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, budaya lokal dsb) di kawasan Kepulauan Seribu sebagai atraksinya. Aset alam dan budaya lokal didalam kawasan turut dilestarikan
2)
Didalan kawasan yang dilindungi (Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu), perilaku pengunjung terkendali sesuai dengan peraturan yang ada, maka secara tidak langsung daya dukung kawasan terus dipantau dan tidak melebihi daya dukung
3)
Ecotourisme didalam Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu membutuhkan sarana wisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Sarana wisata ini hendaknya dibangun dan dikelola bersama dengan masyarakat lokal.
4)
Untuk keberhasilan wisata Ecotourisme , diperlukan pemandu-pemandu (guide) untuk memberikan panduan bagi wisatawan agar dapat ikut serta melestarikan kawasan, dimana tenaga kerjanya dapat dilakukan oleh masyarakat lokal.
5)
Pembukaan kawasan yang dilindungi untuk keperluan Ecotourisme dapat turut memberikan tambahan pendapatan pada kawasan tersebut yang digunakan untuk pendapatan kawasan yang dilindungi untuk pemeliharaan, rehabilitasi dan peningkatan konservasi.
6)
Daerah Perlindungan Laut (DPL) disetiap pulau yang dibangun dapat dijadikan sebagai lokasi wisata alam laut yang dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi masyarakat lokal.
158
B.
Kebijakan Pengembangan Budidaya Laut/Marikultur Kebijakan pengembangan budidaya lauti dapat diimplementasikan dalam 4 (empat) program kerja antara lain : 1)
Pengembangan komoditas budidaya laut yang beragam dan dapat diterapkan masyarakat kepulauan sesuai permintaan pasar
2)
Implementasi zonasi pemanfaatan budidaya laut secara konsisten
3)
Penerapan teknologi budidaya laut yang ramah lingkungan
4)
Pembentukan akses pasar dan akses ke lembaga keuangan (KUD, KUT dan Perbankan) Dari keempat program tersebut diatas yang menjadi prioritas utama
adalah dengan pengembangan komoditas budidaya laut yang beragam dan aplikable untuk masyarakat kepulauan sesuai permintaan pasar dengan bobot prioritas tertinggi (0,549), kemudian penerapan teknologi budidaya laut yang ramah lingkungan. Pengembangan
budidaya
laut/marikultur
harus
mampu
mendayagunakan potensi yang ada , sehingga dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan secara keseluruhan. Bertolak dari hal tersebut, maka kegiatan budidaya laut/marikultur diharapkan memberikan kontribusi dan kesempatan
berusaha,
penyedian
bahan
baku
industri,
mendorong
pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah dan devisa negara. Pada saat yang sama, kegiatan tersebut harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdayanya dan lingkungan
dengan
teknis
budidaya
yang
ramah
lingkungan
serta
mempertahankan prinsip konservasi dalam rangka mewujudkan kawasan
159
budidaya laut/marikultur yang berkelanjutan (sustainable), berdaya saing dan berkeadilan (equity). Sistem usaha budidaya laut/marikultur yang mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan, dan berkelanjutan maka pengembangannya harus didasarkan pada (1) potensi dan kesesuaian kawasan (toleran terhadap fluktuasi kualitas perairan) untuk suatu jenis komoditas,
(2)
kemampuan dan aspirasi masyarakat setempat dalam
mengadopsi dan menerapkan teknologi yang mudah, murah agar masyarakat dapat mengaplikasikan secara masal, (3) dan pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu (integrated marine culture).
Kebijakan Pasar dan Kelembagaan Mengingat kegiatan ekonomi yang terdapat di Kepulauan Seribu umumnya adalah kegiatan perikanan, maka sebagai salah satu langkah dalam rangka pengelolaan produksi dan memasarkan hasilnya adalah dengan mengembangkan akses pasar dimana secara garis besar ada 3 (tiga) bentuk atau sasaran yaitu (1) pasar didalam kawasan kepulauan sendiri (penduduk dan wisatawan), (2) pasar diluar Kepulauan Seribu/domestik (wilayah Jakarta dan sekitarnya), dan (3) pasar luar negeri (eksport).
Secara detail dapat dilihat pada Gambar 21 dibawah ini.
Pasar didalam kawasan Kepulauan sendiri dimaksudkan adalah produk perikanan baik yang berasal dari hasil tangkapan maupun hasil budidaya dapat dipasarkan kepada penduduk dan para wisatawan yang mengunjungi pulau-pulau resort baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui pemilik resort.
Peluang pasar
lainnya adalah pasar diluar Kepulauan Seribu/domestik diwilayah Jakarta dan sekitarnya. Kondisi peamasaran selama ini memang lebih banyak dilakukan dengan
160
Pasar diluar P. Seribu
Kemitraan Usaha dengan Pengusaha Resort
Eksport
Pasar didalam Pulau Seribu Penduduk
Wisatawan
Penangkapan Ikan bernilai eknomis tinggi
Ikan bernilai ekonomis I sedang/rendah
Bibit ikan
Budidaya Laut ekonomis tinggi Teripang
Industri Hilir Ikan Asin
Rumput Laut
Ikan rucah
Kerapu
Usaha Industri Hulu
Jenis Ikan Lain (Sepat&Platak)
Kerupuk Ikan Pengasapa n Teripang
Industri Pakan
Pembibitan Ikan
Produk Olahan
Lembaga Keuangan Modal
Kios/Koperasi/ Usaha informal
Serap Tenaga Kerja
Peralatan
Investor/Pemodal Gambar 21. Alternatif Pengembangan Sistem Marikultur di Kepulauan Seribu
161
memasarkannya diluar Kepulauan Seribu utamanya ke wilayah Jakarta.
Untuk
pasar eksport juga memberikan peluang yang cukup besar, mengingat komoditas yang dihasilkan merupakan komoditas ekport, namun tidak semua nelayan/petani Kepulauan Seribu mendapatkan akses yang luas dalam kegiatan eksport, hal ini terjadi karena memang kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan masih perlu ditingkatkan terutama dalam pembentukan kelembagaan nelayan/petani di Kawasan Kepulauan Seribu.
Kemitraan Usaha, Produk dan Jasa Dalam kemitraan usaha yang bergerak dibidang pariwisata bukan hanya menentukan jenis dan jumlah produksi perikanan yang harus diproduksi, disamping itu para pengusaha psriwisata ini juga dapat memperkenalkan teknis atau proses produksi serta kemungkinan pengusaha memberikan sarana penunjang produksi bagi para nelayan, sehingga kemitraan usaha produksi merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam pembentukan kelembagaan pemasaran dengan pola kemitraan di Kawasan Kepulauan Seribu. Mengingat kehidupan sebagian besar masyarakat lokal adalah nelayan maka dengan pola kemitraan semacam ini para nelayan tetap dapat bekerja bebas sesuai dengan kemampuannnya dibidang produksi, namun dengan derajat kontrol tertentu sesuai dengan komoditas yang diusahakan. Kemitraan yang memungkinkan dapat dibentuk dalam perikanan tangkap dan budidaya adalah dengan nelayan lokal yang melakukan penangkapan disekitar pantai (nelayan-nelayan kecil menengah) dan petani budidaya, yang akan lebih efektif bila dilakukan dengan kelembagaan kelompok nelayan perikanan/koperasi perikanan yang professional karena sulit dilakukan kemitraan secara langsung dengan individu. Ada beberapa keuntungan
162
yang akan diperoleh bagi kelompok nelayan kecil dengan melibatkan diri pada pola kemitraan ini dengan pengusaha pariwisata antara lain nelayan tidak perlu bersaing dengan nelayan-nelayan besar dalam memasarkan hasil tangkapan dan dapat melakukan komunikasi langsung dengan calon pembeli dengan tetap menjaga agar tidak terjadi monopoli usaha sehingga terjadi ketergantungan yang saling merugikan kedua belah pihak atau salah satu pihak yang dirugikan. Untuk komoditas budidaya (ikan kerapu dsb) kemitraan usaha dapat dilakukan secara “definitive” jika dibandingkan dengan kegiatan penangkapan ikan disekitar pantai, karena pengusaha pariwisata dan petani budidaya ikan kerapu dapat lebih jelas dalam kontrak jumlah komoditas, waktu dan harga. Keuntunagan yang dapat diperoleh antara lain petani budidaya memiliki alternatif pasar selain pasar ekspor dan juga cash harian dapat terbantu mengingat kegiatan eksport tidak dilakukan setiap hari atau setiap minggu. Dari kondisi ini petani budidaya sebaiknya juga memiliki pola budidaya yang disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan. Dari pihak pariwisata memiliki beberapa keuntungan antara lain mendapatkan supply produk lebih rutin dan lebih jelas dan dapat mengkomunikasikan secara langsung mengenai kualitas, ukuran serta jumlah.
Bila bentuk kemitraan ini dapat
dilaksanakan dan dirancang dengan baik, maka pergerakan ekonomi Kepulauan Seribu akan lebih baik. Selain bentuk kemitraan dalam transaksi produk tetapi juga dapat dilakukan dalam bentuk “jasa”.
Nelayan dengan fasilitas dan keterampilannya dapat
melakukan diversifikasi usaha dengan menawarkan jasa “Wisata Bahari” berupa menyewakan perahu/kapal pada para tamu resort pulau wisata yang mengunjungi Kepulauan Seribu.
Kegiatan ini secara sinergis dapat dilakukan, pemilik resort
merelakan sebagian lokasi pantainya untuk tambat perahu-perahu nelayan sehingga
163
dapat menawarkan jasanya kepada pawa wisatawan.
Dari pihak pemilik resort
sendiri keuntungan yang dapat diperoleh adalah berupa diversifikasi jasa yang ditawarkan pada para pengunjung/wisatawan, sehingga pada akhirnya para nelayan akan turut membantu dalam menjaga keamanan lingkungan (safety) dan pelestarian sumberdaya alam karena melibatkan masyarakat lokal (community based management). Mekanisme kemitraan usaha yang dilakukan yaitu dalam menjalankan fungsi dan peran dalam
kemitraan yakni para nelayan/masyarakat terlebih dulu
membentuk kelompok yang menekuni kegiatan ekonomi dengan karakteristik yang jelas.
Kelompok ini dapat berupa kelompok-kelompok dengan kelembagaan
berdasarkan
komoditas
ataupun
kelembagaan
dengan
konsep
koperasi.
Kelembagaan ini berfungsi ganda baik sebagai penyedia kebutuhan kegiatan produksi, juga jika memungkinkan dapat memberikan bantuan dalam hal modal ataupun bantuan konsultasi.
Disamping itu juga berfungsi sebagai penerima
produksi sekaligus sebagai lembaga yang berhubungan dengan pemasaran pada pengusaha pariwisata yang ada disekitar Kepulauan Seribu. Menurut Rahardjo (2003), agar semua sistem dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan kepatuhan (compliance) dari masing-masing komponen sektor yang berinteraksi. Untuk menjamin kepatuhan tersebut perlu dikembangkan sistem insentif dan disinsentif yang baik yang didukung dengan kebijakan finansial dari suatu kelembagaan (institusi) yang mempunyai wewenang dalam penegakan (enforcement) serta regulasi atau pengaturan yang adil. Satu hal yang penting adalah terbentuknya kelembagaan ini hendaknya memang atas dasar partisipasi dan kebutuhan bersama dari para nelayan dan petani sehingga kesepakatan dalam aturan-aturan usaha dapat dipatuhi bersama
164
dan untuk memberikan kontribusi pada kedua belah pihak maka untuk mencapai kesepakatan jangka panjang tentunya sangat dibutuhkan keterbukaan, tranparansi, komunikasi dan koordinasi bagi keduanya. Dilihat dari komposisi PDRB berdasarkan lapangan usaha terlihat kontribusi paling
besar
diperoleh
dari
sektor
perikanan
yaitu
sebesar
50,7%
(Rp.80.278.000.000). Hal ini sesuai dengan letak geografis yang dikelilingi lautan. Kontribusi terbesar kedua adalah dari sektor hotel dan restoran sebesar 26,5% (Rp. 41.960.000.000), karena sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan di Kepulauan Seribu yaitu melalui wisata baharinya. Kontribusi terbesar ketiga dan keempat adalah dari sektor Transportasi dan sektor jasa-jasa (termasuk jasa pemerintahan) yang masing-masing adalah 6,5% (Rp. 10.292.000.000) dan 6,2%.(Rp. 9.817.000.000). Sedangkan sektor-sektor yang lain kontribusinya relatif kecil terhadap PDRB yaitu dibawah 5%.
PDRB Kepulauan Seribu tahun 1999
didekati dari proporsi jumlah Kelurahan yang ada di Wilayah Jakarta Utara dan besarnya kontribusi setiap penduduk di Kepulauan Seribu terhadap PDRB Jakarta Utara mempunyai kontribusi sebesar 0,47% atau sekitar Rp. 158,34 milyar. Secara lengkap dapat terlihat pada Tabel 45 berikut ini. Tabel 45. Komposisi Nilai PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha, Tahun 1999 LAPANGAN USAHA Pertanian, Perternakan, Kehutanan & Perikanan Pertanian, Peternakan & Kehutanan Perikanan Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan Hotel & Restoran Hotel dan Restoran Transportasi (didominasi oleh angkutan laut) Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Produk Domestik Regional Bruto Sumber : LPEM UI
KOMPOSISI (%) 51,7 1,0 50,7 1,0 1,8 1,0 30,9 26,5 6,5 0,7 0,2 6,2 100,0
NILAI (Juta Rp.) 81,862 1,583 80,278 1,583 2,850 1,583 48,927 41,960 10,292 1,108 317 9,817 158,340
165
Secara grafik dapat dilihat pada Gambar 22 sebagai berikut :
60 50 40
Perikanan Hotel & Restoran Transportasi Jasa-Jasa
% 30
20 10 0 Lapangan Usaha
Gambar 22. Grafik Komposisi Nilai PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Untuk memotivasi kembali tumbuh dan berkembangnya kegiatan budidaya laut pada khususnya dan aktivitas perikanan pada umumnya perlu dilakukan pembenahan dari input sumberdaya, input industri dan input kebijakan. Menurut Rahardjo (2003), bahwa input sumberdaya meliputi teknis budidaya, saprodi dan daya dukung. Sedangkan input industri antara lain pengolahan dan pemasaran. Kemudian input kebijakan yakni informasi pasar dan kebijakan tata ruang.
166
C.
Kebijakan Konservasi Pulau dan Lingkungan Perairan Kebijakan konservasi dapat diimplementasikan dalam 4 (empat) program kerja antara lain : 1)
Penerapan kawasan konservasi secara konsisten didalam RTRW
2)
Penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan secara konsisten dan transparan
3)
Peningkatan pemahaman tentang konservasi melalui pendidikan dan penyuluhan
4)
Peningkatan kesadaran tentang Sanitasi dan kebersihan lingkungan
Dari keempat program tersebut diatas yang menjadi prioritas utama adalah Peningkatan kesadaran tentang sanitasi dan kebersihan lingkungan dengan bobot prioritas tertinggi (0,399), kemudian disusul dengan upaya penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan secara konsisten dan transparan. Pembangunan wilayah pesisir berkaitan erat dengan upaya optimalisasi pemanfaatan berbagai peruntukan termasuk usaha komersial, rekreasi dan wisata, perikanan tangkap dan budidaya. Umumnya aktifitas tersebut berada pada daerah yang sama sehingga terjadi benturan kepentingan, terutama aktifitas yang membutuhkan kualitas lingkungan yang spesifik. Oleh karena itu penanganan lingkungan ini harus dilakukan secara bersama-sama dan terpadu (integrated). Pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan PPNo.55
Tahun
2001
Tentang
Pembentukan
Kabupaten
Administratif
Kepulauan Seribu memberikan wewenang dan tanggungjawab terhadap aspek yang menyangkut konservasi sumberdaya alam. Alternatif program seperti yang tersebut diatas dapat diaplikasikan dalam upaya konservasi lingkungan pulau dan perairan yang tidak hanya dilakukan di zona inti dalam wilayah Taman
167
Nasional Laut tapi juga harus dilakukan pada zona-zona lain terutama zona pemanfaatan dalam upaya mendukung konservasi Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu secara keseluruhan baik sebagai kawasan konservasi, pariwisata maupun untuk mendukung aktifitas budidaya laut, sehingga terjalin keterpaduan yang saling mendukung antara kegiatan satu dengan kegiatan lainnya. Dalam pengelolaan lingkungan pesisir dan lautan kawasan Kepulauan Seribu, peran serta dan keikutsertaan masyarakat dalam keterlibatannya adalah sebagai peran sentral yang tidak dapat dilepaskan. Paling tidak ada tiga alasan utama pentingnya melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan pesisir, yaitu (1) sebagai langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggungjawab setermpat terhadap program pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan; (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi, dan sikap masyarakat setempat, dan (3) masyarakat mempunyai hak untuk urun rembuk dalam menentukan program-program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayahnya. Peranserta masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga factor utama yang mendukungnya, yaitu (1) kemauan, (2) kemampuan dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berperanserta. Faktor kemauan peranserta bersumber pada factor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang sangat kompleks dan sulit diamati dan diketahi dengan pasti. Faktor kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan tergantung pada banyak factor saling berinteraksi, terutama factor pendidikan dan pengalamanan
168
dan ketersedian permodalan, yang tercermin pada sikap mental, dan ketrampilan.
Faktor kesempatan masyarakat dalam proses pengelolaan
lingkungan dipengaruhi banyak factor yang saling berinteraksi, terutama factor ketersediaan sarana dan prsarana fisik yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pengelolaan lingkungan, kelembagaan yang mengatur interaksi, birokrasi yang mengatur serta factor social budaya masyarakat yang akan sangat menentukan corak perilaku masyarakat dalam proses pengelolaan lingkungan. Dalam pelaksanaan kegiatan konservasi sudah saatnya dilakukan pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) pada setiap pulau yang berbasis masyarakat lokal, baik yang diperuntukan untuk konservasi, budidaya laut sekaligus sebagai daerah pengembangan wisata bahari. Pembentukan DPL tersebut harus memperhatikan kriteria-kriteria kelayakan baik dilihat dari sisi lingkungan, ekonomi, social dan politik. D. Kebijakan Pengembangan Aksesibilitas dan Kapasitas Kelembagaan Kebijakan pengembangan aksesibilitas dan kapasitas kelembagaan dapat aplikasikan dengan menerapkan 5 (lima) program antara lain : Peningkatan peran LSM, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi dalam penelitian dan pendampingan 1)
Peningkatan profesionalitas aparat pengelola secara teknis dan manajerial
2)
Peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam prinsip Co-Management
3)
Mendefinisikan kembali tugas, fungsi dan mekanisme koordinasi institusi dalam pengelolaan terpadu (integrated management )
4)
Peningkatan aksesibilitas internal dan eksternal dengan penambahan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi
169
Dari kelima program tersebut diatas yang menjadi prioritas utama adalah Peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam prinsip CoManagement dengan bobot prioritas tertinggi (0,422), kemudian disusul dengan mendefinisikan kembali tugas, fungsi dan mekanisme koordinasi institusi dalam pengelolaan
terpadu
(integrated
management),
kemudian
peningkatan
profesionalitas aparat pengelola baik secara teknis maupun manajerial, disusul peningkatan peran LSM, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi dalam kegiatan penelitian dan peran pendampingan dan yang terakhir adalah pengembangan
aksesibilitas
baik
internal
maupun
eksternal
dengan
penambahan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi . Peningkatan kapasitas kelembagaan adalah dalam upaya untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesusai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya, yang mempunyai kemampuan antara lain : 1)
Mampu
mengakomodasikan
segala
kebutuhan
dan
kepentingan
masyarakat baik dari sisi teknis maupun manajerial 2)
Mampu berkoordinasi dengan pihak instansi terkait dalam suasana keterpaduan dan sinergis
3)
Mampu mengembangkan peraturan-peraturan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif dan efisien.
Pendekatan Co-management Pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan dari hasilkan dari proses politik, dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan diimplentasikan melalui proses negosiasi antar berbagai stakeholders.
Oleh karena itu, keberhasilan segenap kaidah pembangunan
170
berkelanjutan sangat bergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholders tersebut. Agar stakeholders terdorong keinginannya memiliki minat dan komitmen politik dalam pembangunan maka pendekatan pembangunan masa lalu yang sentralistik dan top-down harus diubah dengan pendekatan pembangunan yang bersifat partisipatif. Pengelolaan bersama antar pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal (LSM) sudah saatnya diterapkan. Co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga seharusnya merupakan gabungan antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan sumberdaya alam, sejak perencanaan hingga evaluasi pengelolaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 23 berikut ini. Co-manajemen Perikanan
Pemerintah
Nelayan/Pem budidaya
Pembagian tanggungjawab dan wewenang PSBM
Informatif
Pendam pingan Instruktif Konsultatif Kooperaif
Pengelolaan oleh Pemerintah Gambar 23. Konsep Co-Management
171
Jadi dalam Co-management, bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah hubungan kerjasama dari 2 (dua) pendekatan, yaitu pengelolaann yang dilakukan pemerintah dan yang dilakukan oleh masyarakat lokal diharapkan akan mampu mencapai tatanan hubungan kerjasama (cooperation), komunikasi (communication), sampai pada hubungan kemitraan (partnership).
Implikasi Otonomi Daerah Dalam Pengembangan Marikultur Implikasi langsung dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah beralihnya kewenangan kepada daerah (semula menjadi kewenangan pusat) dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangannya di daerah, agar menjadi peluang daerah yang prospektif dalam mengelola sumberdaya kelautan dalam batas-batas yang telah ditetapkan.
Berarti luas wilayah kewenangan pemerintah
daerah menjadi bertambah, sehingga memberikan harapan yang menjadi peluang bagi daerah, khususnya dalam hal jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas sumberdaya alam hayati dan non hayati, dan sumberdaya yang dapat digali dan dioptimalkan, seperti sumberdaya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata. Sesuai dengan visi dan misi pembangunan yang ingin menjadikan Kawasan Kepulauan
Seribu
sebagai
“Ladang
dan
Taman Kehidupan Bahari yang
Berkelanjutan” maka dalam pembangunannya harus memperhatikan potensi dan daya dukung kawasan yang ada.
Potensi sumberdaya untuk budidaya
laut/marikultur yang ada menurut hasil penelitian LPM-IPB tahun 2002 bahwa Kepulauan Seribu mempunyai areal pengembangan budidaya laut seluas 1.641,25 ha untuk budidaya rumput laut dengan luas efektif (50%) seluas 820,66 ha,
172
kemudian luas untuk budidaya ikan seluas 359,39 ha dengan luas efektif (50%) seluas 143,79 ha tersebar pada 5 (lima) kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Kelapa, Kelurahan Pulau Harapan, Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Tidung dan Kelurahan Pulau Pari. Potensi pengembangan budidaya laut di Kepulauan Seribu diperkirakan seluruhnya mencapai 2.000,74 Ha.
Potensi tersebut merupakan
potensi kotor karena belum memperhitungkan jalur pelayaran dan pembuatan rumah jaga.
Sedangkan potensi efektifnya mencapai 964,45 hektar.
Potensi tersebut
diperoleh dengan memperhitungkan kondisi perairan yang meliputi bathimetri dan kesesuaian kondisi perairan untuk budidaya rumput laut dan ikan. Berdasarkan kriteria yang ada antara lain (1) dekat dengan pulau pemukiman agar keamanan kegiatan budidaya terjamin, (2) terletak pada perairan yang memiliki kualitas air yang baik (berdasarkan aspek biogeofisik-kimia), (3) bebas dari predator, (4) terlindung dari angin dan badai, dan (5) terdapat kegiatan budidaya yang sudah ada dan berjalan mantap, maka lokasi budidaya laut (marikultur) di
Kawasan Kepulauan
Seribu diarahkan sebagai berikut : Tabel 46. Arahan Lokasi Budidaya Laut/Marikultur di Kepulauan Seribu NO. 1.
JENIS BUDIDAYA Ikan Kerapu
LOKASI (PERAIRAN) Pulau Harapan, Harapan, Kongsi, Tidung Besar, Tidung Kecil, Kelapa, dan Pulau Air 2. Ikan Baronang Pulau Harapan, Kongsi, Pari, Kelapa, dan Pulau Pramuka 3. Teripang Pulau Pramuka 4. Rumput Laut Pulau Harapan, Panggang, Pramuka, Kongsi, dan Pari 5. Kerang Mutiara Pulau Pamegaran Sumber : Pemantapan RTRW Kab. Administrasi Kepulauan Seribu, 2001 (diolah) Sedangkan potensi pariwisata yang ada
di Kepulauan Seribu berorientasi
kepada wisata bahari sesuai dengan karakteristik geografis Kepulauan Seribu yang
173
terdiri dari banyak pulau yang dihubungi oleh laut dan karakteristik kehidupan masyarakat setempat cukup besar. Panorama laut di wilayah ini menjadi daya tarik alamiah bagi wisatawan. Panorama seperti pada saat matahari terbit dan matahari terbenam menjadi daya tarik tersendiri. Keindahan bawah laut juga dapat dinikmati dengan cara menyelam (scuba diving), snorkeling, berlayar, mendayung, berenang dan memancing, kegiatan berjemur dan bermain di pantai juga dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Dinamika kehidupan masyarakat setempat sebagai masyarakat bahari sesungguhnya dapat menjadi daya tarik wisata.
Kegiatan masyarakat sebagai
nelayan dapat menjadi daya tarik tersendiri, khususnya di pulau-pulau pemukiman. Berbagai jenis ikan dan hasil laut bisa menjadi komoditi yang memiliki nilai jual untuk ditawarkan kepada para wisatawan. Sementara itu, alat perlengkapan penangkapan ikan dapat diperkenalkan kepada para pendatang/wisatawan, seperti, karamba jaring apung, bagan, alat pancing serta perahu. Kegiatan wisata yang berbasis laut dapat ditawarkan di Kepulauan Seribu adalah berenang, menyelam, snorkeling, berlayar dan lain-lain.
Arahan lokasi
(perairan) yang diperuntukan untuk kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 47 berikut : Tabel 47. Arahan Lokasi Wisata Bahari di Kawasan Kepulauan Seribu NO. 1. 2.
JENIS WISATA BAHARI Berenang (swimming/snorkeling) Menyelam (diving)
3.
Berlayar/Memancing dsb
LOKASI (PERAIRAN) Pulau Perak, Panjang, Tondan, Sepa Kecil, Gosong, Sepa Besar, dan Melintang Timur Pulau Kayu Angin, Bira, Putri Gundul,Tondan Timur, Tondan Barat, Semut Besar, Belanda, Sepa Besar, Bira Besar, Bira Kecil, Kayu Angin Genteng, dan Melintang Besar Disemua gugusan Kepulauan Seribu
Sumber : Pemantapan RTRW Kab. Administrasi Kepulauan Seribu, 2001 (diolah)
174
Pada tahun 1992, Pemerintah Daerah (Pemda DKI Jakarta) telah menetapkan 43 buah pulau yang dapat dijadikan resort. Saat ini hanya 9 buah pulau yang sudah dijadikan resort wisata, 7 diantaranya berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 2 lainnya berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Ayer, Bidadari, Bira Besar, Hantu, Kotok Tengah, Kotok Timur, Putri, Matahari dan Sepa. Resort Pulau Ayer dan Pulau Bidadari terletak di Kepulauan Seribu Selatan sedangkan ketujuh resort lainnya berada di Kepulauan Seribu Utara. Seluruh resort yang ada dikelola oleh swasta sedangkan yang dikelola oleh Pemerintah belum ada. Sehingga bentuk pengembangan marikultur yang dapat dilakukan di Kawasan kepulauan Seribu adalah menggabungkan dengan kegiatan lain yang mempunyai potensi besar juga yaitu kegiatan wisata bahari. Antara kegiatan marikultur dan wisata bahari dilaksanakan secara sinergi dengan
prinsip keterpaduan dan
keberlanjutan dengan memperhatikan aspek pelestarian (konservasi) sumberdaya alam yang ada. Dalam kontek pengelolaan sumberdaya alam (budidaya laut dan wisata bahari)
di
kawasan
Kepulauan
Seribu,
model
co-management
sangat
direkokemdasikan mengingat kenyataan dilapangan bahwa masyarakat local (setempat) mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap sumberdaya alam dikawasan tersebut.
Artinya,
pengelolaan
sumberdaya alam harus mampu
175
menampung kepentingan dan aspirasi masyarakat local. Dengan justifikasi tersebut model co-management menjadi salah satu pilihan yang perlu diterapkan. Dengan terbentuknya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam PP nomor 55 tahun 2001, maka format otonomi daerah dengan kewenangan yang terdesentralisasi memungkinkan partisipasi masyarakat terbuka secara luas dan hak untuk mengatur rumah tangga sendiri serta dapat menentukan prioritas pembangunan,
diyakini
akan
mampu
meredam
kecenderungan
penolakan
masyarakat terhadap perubahan yang ditawarkan, dengan kata lain komitmen masyarakat untuk merubah sikap dan perilaku sosial, ekonomi dan politik dapat dioptimalkan karena pada dasarnya mereka sendirilah yang merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan dengan fasilitasi dari pemerintah. Dukungan masyarakat melalui keterlibatan mereka dalam proses pencarian data dan fakta lapangan, sangat bermanfaat bagi perencanaan pemgembangan marikultur yang efektif dan sesuai dengan aspirasi dan tuntutan partisipasi masyarakat lokal. Menyadari hal tersebut, pemberdayaan dan kemitraan harus mampu membentuk kesadaran dan melibatkan partisipasi aktif seluruh stakeholders (nelayan, pembudidaya ikan, LSM dan kelembagaan lain yang terkait) untuk ikut menjaga kelangsungan sumberdaya perikanan. Pada proses ini Otonomi Daerah menjadi signifikan, yakni dalam segi pengelolaan dan pelestarian lingkungan dan sumberdayanya. Berarti dimensi nilai-nilai dan kearifan lokal serta kelembagaan tradisional dapat diadopsi bagi kepentingan melestarikan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan. Oleh karena itu keberhasilan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 akan sangat tergantung pada sejauh mana pihak-pihak yang terkait mampu bersikap rasional.
176
Sebaliknya jika pelaksanaan
UU tersebut diwarnai sikap emosional maka akan
muncul sejumlah kerawanan : (1) Adanya kemungkinan munculnya arogansi legeslatif, sementara SDM dari segi pendidikan relatif rendah, (2) Adanya kemungkinan muncul arogansi territorial baik yang bersifat vertical maupun horizontal antara pemerintahan daerah kabupaten/kota, (3) Adanya kemungkinan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam (SDA) sebagai akibat dorongan ingin memperkuat keuangan daerah yang akan berakibat pada kerusakan lingkungan hidup. Diharapkan dengan berkembangnya kegiatan budidaya laut (marikultur) yang sinergi dengan kegiatan wisata bahari dan konservasi dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif mata pencaharian bagi masyarakat yang dapat mendorong perkembangan
ekonomi,
peningkatan
pendapatan
yang
selanjutnya
dapat
mensejahterakan petani pembudidaya pada khususnya serta masyarakat Kepulauan Seribu secara keseluruhan pada umumnya.
Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan PulauPulau Kecil Secara Terpadu dalam Pengembangan Marikultur Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau meminimalisir atau menghindari terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya Kawasan Kepulauan Seribu adalah dengan melakukan pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil
secara terpadu, mengingat selain
potensinya sebagai suatu kawasan wisata bahari, sebagai kawasan konservasi tetapi juga berpotensi sebagai kawasan pengembangan marikultur. Strategi yang dapat digunakan untuk keberhasilan pengelolaan sebagai kawasan pengembangan gabungan (Pengembangan Marikultur, Wisata Bahari dan
177
Konservasi) dengan pendekatan IZCM adalah dengan menciptakan mekanisme untuk integrasi dan koordinasi dengan semua stakeholders (Burbridge, et al, 1996 didalam Sinurat MR, 2000).
Integrasi dapat menciptakan harmonisasi seluruh
kebijakan dan peraturan antara yang dikeluarkan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten.
Selain itu akan tercipta koordinasi fungsional yang lebih baik antar
pihak-pihak pengelola sumberdaya dan lembaga-lembaga terkait. Dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka sangat jelas manfaat dari sumberdaya kelautan itu akan dirasakan Pemda dan masyarakat setempat.
Berdasarkan Otonomi Daerah ini, Pemda Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan dan pengelolaan pulau-pulau kecil secara terpadu,
mulai
dari
aspek
perencanaan,
pemanfaatan,
pengawasan
dan
pengendalian sumberdaya dalam upaya menerapkan pembangunan secara berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kawasan Kepulauan Seribu secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
Perencanaan dan
pengelolaan
dinamis
tersebut
dilakukan
secara
kontinu
dan
dengan
mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat lokal pengguna wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada (Bengen, 2003).
178
Berdasarkan perspektif pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
terpadu,
maka
berdasarkan pengelolaan
pengelolaan berbasis
dan
pengembangan
marikultur
harus
ekosistem yang pada dasarnya adalah
bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil agar total dampaknya tidak melebihi kapasistas fungsionalnya, dimana menurut Bengen (2003) setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia yakni : (1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumberdaya alam, dan (4) penerima limbah (Ortolano, 1984). Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan bagi pengembangan marikultur dan wisata bahari yaitu : (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988, dinyatakan bahwa koordinasi yaitu upaya yang dilaksanakan Kepala Daerah guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan semua instansi vertical pelaksana tugas, semua instansi vertical dengan dinas di daerah. Sehingga koordinasi merupakan peran sentral dalam meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antar pihak. Mengingat
bahwa suatu pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap utama :
perencanaan,
implementasi,
monitoring
dan
evaluasi,
maka
jiwa/nuansa
keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi.