43
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Banjarnegara Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak pada jalur pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah sebelah Barat yang membujur dari arah Barat ke Timur. Terletak di antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’ - 109º45’50” Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten
Pekalongan,
sebelah
timur
berbatasan
dengan
Kabupaten
Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas (BPS 2007). Luas wilayah Kabupaten Banjarnegara tercatat 106.970,997 hektar (Ha) atau sekitar 3,29 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah (3,25 juta Ha). Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100 sampai 500 m di atas permukaan laut (m dpl) sebesar 37,04 persen, kemudian antara 500 sampai 1.000 m dpl sebesar 28,74 persen, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24,4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9,82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah, dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan (BPS 2007). Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Bulan basah umumnya lebih banyak dari bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Banjarnegara sebesar 4.269 mm per tahun, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pejawaran sebesar 2.282 mm per tahun (BPS 2007). Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak 910.513 jiwa, terdiri dari 454.986 laki-laki dan 455.527 perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km2. Kepadatan rumahtangga menurut kecamatan, tertinggi adalah Kecamatan Banjarnegara, Purworejo Klampok dan Rakit dengan kepadatan masing-masing sebesar 546 rumahtangga per km2, 535 rumahtangga per km2 dan 441 rumahtangga per km2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan
44
tahun 2007 secara umum mengalami penurunan. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran. Tabel 5 menyajikan sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Punggelan, Kecamatan Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara. Jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Kecamatan Pejawaran (masing-masing sebesar 1,64% dan 11,01%) lebih tinggi daripada di Kecamatan Punggelan (masing-masing sebesar 0,65% dan 6,06%). Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Punggelan, Kecamatan Pejawaran dan Kabupaten Banjarnegara Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Gizi Baik (%) Punggelan 0,65 6,06 91,27 Pejawaran 1,64 11,01 85,96 Banjarnegara 0,56 8,6 89,68 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2008)
Gizi Lebih (%) 2,02 1,39 1,16
Kecamatan Punggelan Kecamatan Punggelan merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 10.284,01 Ha yang terdiri dari 17 desa. Batas wilayah Kecamatan Punggelan adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pandanarum dan Kecamatan Kalibening, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wanadadi dan Kecamatan Rakit, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga. Kecamatan Punggelan merupakan wilayah yang topografinya bergelombang dan berbukit dan sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan (BPS 2007). Penduduk Kecamatan Punggelan pada akhir tahun 2007 sebanyak 70.877 jiwa, dengan jumlah rumahtangga 18.057 dan rata-rata anggota rumahtangga 4 orang serta kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43,8 persen, sektor jasa 5,50 persen, sektor perdagangan 3,96 persen, sektor transportasi dan industri masing-masing 0,97 persen dan 2,19 persen, sedangkan yang bekerja di sektor lainnya mencapai 41,08 persen. Sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai penentu
keberhasilan
sektor-sektor
lainnya
di
Kecamatan
Punggelan
digolongkan masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan
45
Tingkat Pertama (SLTP) yang mencapai 55,85 persen. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan tamatan Akademi maupun Perguruan Tinggi (AK/PT) masing-masing hanya sebesar 7,7 persen dan 1,37 persen. Kemudian yang masih sekolah atau belum tamat SD, tidak tamat SD dan yang tidak pernah sekolah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali masingmasing sebesar 17,31 persen, 13,45 persen, dan 5,07 persen. Kecamatan Pejawaran Kecamatan Pejawaran merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 5.224,97 Ha yang terdiri dari 17 desa. Kecamatan Pejawaran berbatasan langsung dengan tiga kecamatan dan satu kabupaten. Sebelah utara Kecamatan Pejawaran berbatasan dengan Kecamatan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagentan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Penduduk Kecamatan Pejawaran berjumlah 41.829 jiwa, dengan jumlah rumahtangga 11.929 dan rata-rata anggota rumahtangga 4 orang. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 21.056 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 20.773 jiwa. Rata-rata
tingkat
pendidikan
penduduk
Kecamatan
Pejawaran
didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 46 persen. Dominasi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pejawaran adalah sebagai petani dan buruh tani dengan persentase 66,7 persen dan 29,7 persen (BPS 2007). Ketahanan Pangan Rumahtangga Ketahanan pangan memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya, untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Ketahanan pangan rumahtangga ditentukan berdasarkan tingkat konsumsi energi (TKE) sesuai dengan kecukupan gizi yang seharusnya dipenuhi. Ketahanan pangan rumahtangga dimasukkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Rumahtangga dikatakan tahan pangan jika TKE anggota rumahtangga lebih besar dari kecukupan energi yang dibutuhkan (TKE>90%), 2) Rumahtangga disebut rawan pangan jika TKE anggota rumahtanga antara 70-90 persen, dan 3) Rumahtangga disebut sangat rawan pangan jika TKE anggota rumahtangga kurang dari 70 persen (Zeitlin & Brown 1990).
46
Berdasarkan kriteria tersebut, ditemukan rumahtangga di wilayah penelitian yang terkategori sangat rawan pangan merupakan sebagian besar sebanyak 112 rumahtangga (37,3%), rawan pangan sebanyak 95 rumahtangga (31,7%) dan tahan pangan merupakan sebagian kecil sebanyak 93 rumahtangga (31,0%). Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangannya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga Tingkat kecukupan energi rumahtangga responden dalam penelitian ini diperoleh melalui metode Food Frequencies Questionnaire (FFQ) untuk rumahtangga selama seminggu terakhir, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan energi rumahtangga yang dianjurkan. Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumahtangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Secara umum rumahtangga di wilayah penelitian belum mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan rata-rata tingkat kecukupan rumahtangga hanya sebesar 83,8 persen. Rata-rata kecukupan rumahtangga di Kecamatan Punggelan (sebesar 92,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Pejawaran (sebesar 75,4%), seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan
Tabel
6
dapat
diketahui
bahwa
sebagian
besar
rumahtangga di wilayah penelitian masih berada pada kondisi rawan pangan, bahkan sangat rawan pangan. Sebagian besar rumahtangga di Kecamatan Pejawaran terkategori sangat rawan pangan, yaitu sebesar 50,0 persen,
47
sebaliknya di Kecamatan Punggelan, sebagian besar rumahtangga terkategori tahan pangan, yaitu sebesar 38,7 persen. Hal ini berarti kondisi rumahtangga di Kecamatan Punggelan lebih baik dibandingkan dengan di Kecamatan Pejawaran yang ditunjukkan dengan lebih banyaknya rumahtangga yang tahan pangan di Kecamatan Punggelan. Tabel 6 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 37 24,7 75 50,0 55 36,7 40 26,7 58 38,7 35 23,3 150 100,0 150 100,0 92,2 ± 33,1 75,4 ± 30,0
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Rawan Pangan Rawan Pangan Tahan Pangan Total Rata-rata ± SD
Total n % 112 37,3 95 31,7 93 31,0 300 100,0 83,8 ± 32,6
Karakteristik Rumahtangga Rumahtangga contoh merupakan keluarga inti (nuclear family), yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga. Umur Orang Tua Umur orang tua diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia remaja (1319 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dewasa lanjut (51-75 tahun) dan lansia (≥76 tahun) menurut Turner JS & Helms DB (1991), diacu dalam Gabriel (2008). Berdasarkan klasifikasi tersebut maka sebagian besar ayah terkategori berusia dewasa madya (63,8%) dengan usia rata-rata 35 tahun. Pada rumahtangga di kedua kecamatan, umur ayah juga terkategori dewasa madya, berturut-turut sebesar 66,2 persen pada Kecamatan Punggelan dan sebesar 61,2 persen pada Kecamatan Pejawaran, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu terkategori berusia dewasa muda (55,3%) dengan usia rata-rata 30 tahun. Baik rumahtangga di Kecamatan Punggelan maupun di Kecamatan Pejawaran, sebagian besar ibu terkategori dewasa muda, masing-masing sebesar 56,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan 54,0 persen pada Kecamatan Pejawaran.
48
Tabel 7 Sebaran rumahtangga berdasarkan umur orang tua Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n %
Umur Orang Tua Ayah Remaja (13-19 tahun) Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Lansia (≥76 tahun) Total Rata-rata ± SD Ibu Remaja (13-19 tahun) Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Lansia (≥76 tahun) Total Rata-rata ± SD
Total n
%
0 0,0 47 31,8 98 66,2 3 2,0 0 0,0 148 100,0 34,8 ± 7,4
0 0,0 54 36,8 90 61,2 3 2,0 0 0,0 147 100,0 34,7 ± 7,2
0 0,0 101 34,2 188 63,8 6 2,0 0 0,0 295 100,0 34,7 ± 7,3
2 1,3 85 56,7 61 40,7 2 1,3 0 0,0 150 100,0 30,0 ± 7,1
3 2,0 81 54,0 66 44,0 0 0,0 0 0,0 150 100,0 29,9 ± 6,6
5 1,7 166 55,3 127 42,3 2 0,7 0 0,0 300 100,0 30,0 ± 6,8
Tidak terdapat ayah dan ibu contoh yang terkategori lanjut usia (lansia). Kategori umur remaja hanya terdapat pada ibu yaitu sebesar 1,7 persen, dan pada Kecamatan Pejawaran persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 2,0 persen. Faktor umur ibu berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak. Ibu yang lebih berumur cenderung lebih berpengalaman dalam merawat anak. Sedangkan ibu muda cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Besar Keluarga Besar keluarga diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang) menurut Hurlock (1998), diacu dalam Gabriel (2008). Rumahtangga contoh merupakan keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri dari ayah, ibu dan anakanak. Dari Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar keluarga contoh pada kedua kecamatan terkategori keluarga kecil (59,3%) dengan rata-rata 5 orang, masingmasing sebesar 60,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan sebesar 58,0 persen pada Kecamatan Pejawaran. Persentase terbesar untuk kategori keluarga besar terdapat di Kecamatan Pejawaran yaitu sebesar 4,7 persen. Hal ini berarti bahwa
49
rumahtangga di Kecamatan Pejawaran kurang dapat memenuhi kebutuhan gizi anggotanya. Tabel 8 Sebaran rumahtangga berdasarkan besar keluarga Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 91 60,7 87 58,0 54 36,0 56 37,3 5 3,3 7 4,7 150 100,0 150 100,0 4,5 ± 1,4 4,6 ± 1,4
Besar Keluarga Keluarga Kecil (≤4 orang) Keluarga Sedang (5-7orang) Keluarga Besar (≥8 orang) Total Rata-rata ± SD
Total n % 178 59,3 110 36,7 12 4,0 300 100,0 4,6 ± 1,4
Seperti yang dikemukakan oleh Suhardjo (1989a), hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata terutama pada rumahtangga yang sangat miskin. Pemenuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Semakin besar jumlah anggota rumahtangga, semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi setiap individu di dalamnya. Terutama anak balita yang merupakan golongan paling rawan terhadap kekurangan gizi. Pendidikan Orang Tua Menurut Berg (1986), tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas pangan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Tabel 9 menyajikan sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh. Tingkat pendidikan ayah dan ibu menyebar dari tidak sekolah sampai akademi/perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ayah sebagian besar contoh relatif rendah.
Persentase
ayah
yang
berpendidikan
tamat
sekolah
dasar
(SD)/sederajat dan tidak tamat SD merupakan yang tertinggi (berturut-turut 60,4%
dan
14,3%)
sedangkan
yang
paling
sedikit
adalah
perguruan
tinggi/akademi (2,7%). Pada tiap kecamatan juga sebagian besar ayah berpendidikan tamat SD/sederajat, masing-masing sebesar 69,4 persen pada Kecamatan Punggelan dan 51,4 persen pada Kecamatan Pejawaran. Persentase ayah yang berpendidikan tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat dan perguruan tinggi pada Kecamatan Punggelan lebih tinggi dibandingkan pada Kecamatan Pejawaran, berturut-turut sebesar 17,6 persen tamat SLTP/sederajat, sebesar 10,8 persen tamat SLTA/sederajat dan sebesar 4,1 persen tamat perguruan tinggi.
50
Tabel 9 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan orang tua Tingkat Pendidikan (Tahun) Ayah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % N %
Total n
%
9 6.1 23 15.6 102 69.4 8 5.4 3 2.0 2 1.4 147 100.0 5.6 ± 2.4
5 3.4 19 12.8 76 51.4 26 17.6 16 10.8 6 4.1 148 100.0 7.1 ± 3.2
14 4.7 42 14.2 178 60.3 34 11.5 19 6.4 8 2.7 295 100.0 6.4 ± 2.9
6 4.0 12 8.0 113 75.3 18 12.0 1 0.7 0 0.0 150 100.0 6.0 ± 1.8
1 0.7 16 10.7 73 48.7 38 25.3 16 10.7 6 4.0 150 100.0 7.6 ± 2.8
7 2.3 28 9.3 186 62.0 56 18.7 17 5.7 6 2.0 300 100.0 6.8 ± 2.5
Tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu juga relatif rendah. Sebagian besar ibu berpendidikan tamat SD/sederajat (62,0%), hanya 5,7 persen yang tamat SLTA/sederajat dan 2,0 persen yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Menurut Sanjur (1982), tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Tingkat pendidikan ibu lebih berpengaruh terhadap perbaikan konsumsi anggota keluarga, khususnya anak-anak, daripada tingkat pendidikan ayah. Pada rumahtangga di tiap kecamatan juga sebagian besar ibu berpendidikan tamat SD/sederajat, masing-masing sebesar 48,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan sebesar 75,3 persen pada Kecamatan Pejawaran. Ibu yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi hanya terdapat di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 4,0 persen. Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa tidak ada ibu dan sedikit sekali ayah (1,4%) pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran yang menempuh pendidikan hingga akademi atau perguruan tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan keluarga pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran lebih rendah dibandingkan keluarga pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan. Rendahnya tingkat pendidikan ibu berdampak pada kemampuan untuk menyediakan pangan dengan
kualitas
dan
kuantitas
yang
cukup
yang
terbatas,
sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi pangan dan gizi, dan berakibat buruk
51
terhadap status gizi anak balita. Pada ayah, tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi. Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Suhardjo (1996), pengetahuan gizi berhubungan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Walaupun rumahtangga memiliki daya beli yang cukup namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannnya, baik kualitas, kuantitas maupun ragamnya. Sebaran tingkat pengetahuan gizi ibu dapat dilihat pada Tabel 10. Pada umumnya tingkat pengetahuan gizi ibu berkisar antara 0 persen sampai 90 persen, dengan rata-rata sebesar 39,3 persen. Tingkat pengetahuan gizi ibu sebagian besar (64,3%) masih terkategori rendah. Hal ini diduga berkaitan dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah, yaitu sebagian besar (62,0%) berpendidikan tamat SD/sederajat. Menurut Pranadji (1988), pendidikan formal seseorang
dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya.
Seseorang
yang
mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, tingkat pengetahuan gizi ibu yang terkategori rendah (sebesar 42,7%) lebih sedikit daripada di Kecamatan Pejawaran (sebesar 86,0%). Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 64 42,7 129 86,0 71 47,3 18 12,0 15 10,0 3 2,0 150 100,0 150 100,0 52,2 ± 26,9 26,3 ± 24,2
Total n % 193 64,3 89 29,7 18 6,0 300 100,0 39,3 ± 28,7
Rata-rata tingkat pengetahuan gizi ibu di Kecamatan Punggelan lebih tinggi daripada tingkat pengetahuan gizi ibu di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 52,2 persen pada Kecamatan Punggelan dan 26,3 persen pada Kecamatan Pejawaran. Hanya 6,0 persen ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi baik, dan di Kecamatan Punggelan persentasenya lebih besar dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 10,0 persen. Sebagian besar ibu dianggap masih kurang dalam menjawab secara tepat beberapa pengetahuan gizi dari daftar pertanyaan yang diajukan. Beberapa pertanyaan yang dijawab
52
salah oleh responden seperti mengenal jenis makanan sumber protein nabati dan hewani, makna garis merah dan hijau pada kartu menuju sehat (KMS), serta mengenal jenis makanan yang mengandung zat besi dan vitamin A. Pertanyaan yang dijawab kurang tepat oleh responden seperti mengenal golongan yang rawan gizi, mengenal jenis makanan yang mengandung yodium, serta jenis makanan yang mengandung vitamin C. Pertanyaan yang dijawab tepat oleh responden seperti mengenal jenis makanan bergizi dan mengenal ciri-ciri anak yang bergizi baik. Pekerjaan Orang Tua Jenis pekerjaan ayah cukup bervariasi, diantaranya petani, buruh tani, buruh bangunan/industri, pedagang, wirausaha, supir, guru, PNS dan lain-lain. Dari Tabel 11 terlihat bahwa pada umumnya ayah bekerja sebagai petani (52,9%). Pada tiap kecamatan juga sebagian besar ayah bekerja sebagai petani, masing-masing sebesar 25,7 persen untuk Kecamatan Punggelan dan sebesar 80,3 persen untuk Kecamatan Pejawaran, lebih besar daripada Kecamatan Punggelan. Tabel 11 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan orang tua Pekerjaan Orang Tua Ayah Petani Buruh tani Buruh bangunan/industri Pedagang Supir Guru Tukang ojek Wirausaha Lainnya* Total Ibu Tidak bekerja Petani Buruh tani Buruh bangunan/industri Pedagang Guru Wirausaha Lainnya* Total
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n %
Total n
%
38 36 13 19 7 5 7 10 13 148
25,7 24,3 8,8 12,8 4,7 3,4 4,7 6,8 8,8 100,0
118 16 2 5 2 3 0 1 0 147
80,3 10,9 1,4 3,4 1,4 2,0 0,0 0,7 0,0 100,0
156 52 15 24 9 8 7 11 13 295
52,9 17,6 5,1 8,1 3,1 2,7 2,4 3,7 4,4 100,0
103 9 5 12 7 5 4 5 150
68,7 6,0 3,3 8,0 4,7 3,3 2,7 3,3 100,0
34 89 21 3 2 1 0 0 150
22,7 59,3 14,0 2,0 1,3 0,7 0,0 0,0 100,0
137 98 26 15 9 6 4 5 300
45,7 32,7 8,7 5,0 3,0 2,0 1,3 1,6 100,0
Keterangan: *lainnya = penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, karyawan swasta, PNS, pembantu rumahtangga
53
Berbeda dengan halnya ayah, sebagian besar ibu tidak bekerja (45,7%) atau bekerja sebagai ibu rumahtangga yang merawat dan mendidik anaknya. Hanya ada 32,7 persen ibu yang membantu suaminya bekerja sebagai petani. Persentase ibu tidak bekerja lebih banyak pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 68,7 persen. Hal ini diduga karena pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, pendapatan rumahtangganya telah mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga ibu tidak perlu membantu ayah bekerja. Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Alokasi pengeluaran rumahtangga dibedakan ke dalam pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Persen pengeluaran untuk pangan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk pangan dari total pendapatan sebesar 70 persen atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70 persen (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995, diacu dalam Tanziha 2005). Sebaran alokasi pengeluaran pangan dan non pangan dapat dilihat pada Tabel 12. Sebagian besar (75,3%) rumahtangga terkategori pendapatan menengah (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995) karena mengalokasikan pengeluarannya untuk pangan sebesar 30-70 persen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harper et al. (1986) bahwa pengeluaran untuk pangan di Indonesia masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga yaitu lebih dari 50 persen, yang dapat dilihat dari rata-rata alokasi pengeluaran pangan di kedua kecamatan yang lebih dari 50 persen. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan
54
gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Alokasi pengeluaran non pangan berkebalikan dengan pengeluaran pangan. Sebagian besar (75,3%) rumahtangga juga terkategori berpendapatan menengah karena mengalokasikan pengeluaran untuk non pangan sebesar 3070 persen. Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan alokasi pengeluaran rumahtangga Alokasi Pengeluaran
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n %
Pengeluaran Pangan/Kapita/Bulan <30% 6 4,0 30-70% 109 72,7 >70% 35 23,3 Total 150 100,0 Rata-rata ± SD 59,3 ± 15,0 Pengeluaran Non Pangan/Kapita/Bulan <30% 35 23,3 30-70% 109 72,7 >70% 6 4,0 Total 150 100,0 Rata-rata ± SD 40,7 ± 15,0
Total n
%
14 9,3 117 78,0 19 12,7 150 100,0 52,6 ± 16,2
20 6,7 226 75,3 54 18,0 300 100,0 56,0 ± 16,0
19 12,7 117 78,0 14 9,3 150 100,0 47,4 ± 16,2
54 18,0 226 75,3 20 6,7 300 100,0 44,0 ± 16,0
Secara umum, rata-rata alokasi pengeluaran pangan sebesar 56,0 persen lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata alokasi pengeluaran non pangan sebesar 44,0 persen. Pada kedua kecamatan, persentase alokasi pengeluaran pangan tidak berbeda jauh, yaitu berada pada kategori menengah sebesar 30-70 persen, masing-masing sebesar 72,7 persen pada Kecamatan Punggelan dan 78,0 persen pada Kecamatan Pejawaran.. Keterkaitan antara pendapatan dan ketahanan pangan dapat dijelaskan dengan Hukum Engels. Hukum Engels menjelaskan bahwa pada saat terjadinya penurunan pendapatan, porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin meningkat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan pendapatan, maka porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin mengecil. Hasil penelitian ini mendukung Teori Engels, yaitu rata-rata responden membelanjakan 56,0 persen dari total pendapatannya untuk kebutuhan pangan (Soekirman 2000). Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi Umur Anak Balita Anak yang diambil pada penelitian ini adalah yang berumur 24 hingga 59 bulan atau yang disebut anak balita (bawah lima tahun). Pembatasan umur
55
anak balita ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kelompok umur ini termasuk rawan terhadap kondisi kerawanan pangan rumah tangga yang penampakannya terlihat dari rendahnya status gizi anak. Jika umur anak balita dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok umur, yaitu kelompok umur 24-35 bulan, 36-47 bulan dan 48-59 bulan, maka kuantitas persentase anak balita hampir tersebar merata, yaitu berturut-turut 36,7 persen, 33,0 persen dan 30,3 persen, dengan rata-rata berumur 41 bulan. Sebaran anak balita berdasarkan umurnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran anak balita berdasarkan umur Umur Anak Balita 24-35 bulan 36-47 bulan 48-60 bulan Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 3 35,3 57 38,0 43 28,7 56 37,3 54 36,0 37 24,7 150 100,0 150 100,0 42,1 ± 10,6 40,1 ± 9,8
Total n % 110 36,7 99 33,0 91 30,3 300 100,0 41,1 ± 10,2
Rata-rata umur anak balita pada kedua kecamatan juga tidak berbeda jauh. Pada Kecamatan Punggelan rata-rata umur anak balita adalah 42 bulan dan pada Kecamatan Pejawaran adalah 40 bulan. Jenis Kelamin Anak Balita Jumlah anak balita yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah 300 anak. Setelah diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa anak balita yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 45,0 persen, sedangkan anak balita perempuan sebesar 55,0 persen. Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 64 42,7 71 47,3 86 57,3 79 52,7 150 100,0 150 100,0
Total n 135 165 300
% 45,0 55,0 100,0
Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yaitu setiap saat harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup manusia. Pangan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, serta untuk memperoleh energi agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Terutama bagi anak balita yang
56
sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan serta membutuhkan cukup zat gizi untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, yang layak, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Widowati & Djoko 2001). Konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi yang disebut pola konsumsi pangan. Kebutuhan pangan harus diperoleh dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap gizi dan kesehatan (Hardinsyah 2000). Jenis dan jumlah pangan dalam pola konsumsi pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989a). Pola konsumsi pangan terkait dengan kualitas dan kuantitas zat gizi dari pangan yang dikonsumsi sehingga dapat mempengaruhi status gizi. Pola konsumsi pangan anak balita yang masih dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan orang tua disajikan pada Tabel 15. Pola konsumsi pangan anak balita didasarkan atas kelompok pangan pokok dan sumber protein berdasarkan
kontribusi
energi
dan
protein
terhadap
konsumsi
sehari.
Pengklasifikasian pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein anak balita adalah tunggal (memberikan kontribusi >95% kkal dan gram dalam sehari), ganda (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, B≥10% kkal dan gram) dan beranekaragam (pangan A memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan B, dan pangan B memberikan kontribusi lebih besar daripada pangan C, C≥5% kkal dan gram) (Martianto D 17 Agustus 2009, komunikasi pribadi). Tabel 15 Pola konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian Kelompok Pangan Pangan pokok Pangan sumber protein
Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Kecamatan Punggelan Kecamatan Pejawaran Jagung - mie – beras (nasi) – Beras (nasi) – mie – roti roti Telur – tempe/tahu/kacangIkan asin – tempe/tahu/kacangkacangan dan olahannya – ikan – kacangan – telur – ayam ayam
Pola konsumsi pangan pokok anak balita di wilayah penelitian terkategori beranekaragam, yaitu terdiri dari beras (nasi), jagung, mie dan roti. Bahan pangan pokok dianggap yang terpenting di dalam suatu susunan hidangan makanan, dan biasanya dapat segera terlihat di atas piring karena
57
merupakan kuantum terbesar di antara bahan pangan yang dikonsumsi. Bahan pangan pokok merupakan sumber utama kalori atau energi. Jenis pangan serealia (beras, jagung dan gandum) memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan kadar protein yang memadai sebagai sumber energi (Winarno 1995). Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran cukup berbeda. Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Kecamatan Punggelan terkategori beranekaragam, yaitu beras (nasi), mie dan roti. Pangan pokok utama di Kecamatan Punggelan adalah beras atau nasi. Beras (nasi) memberikan kontribusi 62 persen energi dalam konsumsi sehari dari kelompok pangan pokok, mie memberikan kontribusi 13 persen energi dalam konsumsi sehari dan roti memberikan kontribusi 6 persen energi dalam konsumsi sehari. Pola konsumsi pangan pokok anak balita di Kecamatan Pejawaran terkategori beranekaragam, yaitu jagung, mie, beras (nasi) dan roti. Pola konsumsi pangan pokok di Kecamatan Pejawaran didominasi oleh jagung. Jagung memberikan kontribusi 43 persen energi dalam konsumsi sehari, mie memberikan kontribusi 16 persen energi, beras (nasi) memberikan kontribusi 12 persen energi dalam konsumsi sehari dan roti memberikan kontribusi 5 persen energi dalam sehari. Kontribusi bahan pangan pokok dan sumber protein dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Pola konsumsi pangan di kedua kecamatan berdasarkan kontribusi energi dan protein dalam konsumsi sehari Kelompok Pangan
Pangan pokok
Pangan sumber protein
Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Kecamatan Punggelan Kecamatan Pejawaran Kontribusi Kontribusi Bahan Pangan Bahan Pangan (%) (%) Beras (nasi) 62 Jagung 43 Mie 13 Mie 16 Beras (nasi) 12 Roti 6 Roti 5 Telur 34 Ikan asin 51 Tempe/tahu/kacangTempe/tahu/kacangkacangan dan 33 kacangan dan 26 olahannya olahannya Ikan 17 Telur 11 Ayam 12 Ayam 9
Pola konsumsi pangan sumber protein anak balita terkategori beranekaragam,
yaitu
terdiri
dari
ikan
(ikan
asin
dan
ikan
segar),
tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Golongan bahan pangan yang memberikan kontribusi protein adalah sumber protein hewani dan nabati, atau yang biasa disebut bahan pangan lauk pauk. Hasil ternak (daging) memiliki nilai
58
biologi protein tertinggi. Penelitian Puslitbang Gizi Bogor membuktikan bahwa penggunaan tempe sebagai salah satu bahan utama pangan tambahan dapat meningkatkan berat badan dan memperbaiki status gizi anak (Winarno 1995). Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Punggelan tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Pejawaran, hanya berbeda persentase kontribusi proteinnya. Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Punggelan yaitu telur, tempe/tahu/kacang-kacangan dan olahannya, ikan (baik ikan asin maupun ikan segar) dan ayam. Telur memberikan kontribusi 34 persen protein dalam konsumsi sehari, tempe/tahu/kacang-kacangan memberikan kontribusi 33 persen protein, ikan memberikan kontribusi 17 persen protein dan ayam memberikan kontribusi 12 persen protein dalam konsumsi sehari. Pola konsumsi pangan sumber protein di Kecamatan Pejawaran, yaitu ikan (baik ikan asin dan segar), tempe/tahu/kacang-kacangan, telur dan ayam. Ikan memberikan kontribusi
51
persen
kontribusi
protein,
tempe/tahu/kacang-kacangan
memberikan kontribusi 26 persen protein dalam konsumsi sehari, telur memberikan kontribusi 11 persen protein dalam sehari dan ayam memberikan kontribusi 9 persen protein dalam sehari. Ikan segar cukup banyak dikonsumsi oleh anak balita di Kecamatan Punggelan, namun di Kecamatan Pejawaran konsumsi ikan segar sangat sedikit, justru konsumsi ikan yang banyak adalah berupa ikan asin. Hal ini karena ikan asin mudah dalam pengangkutan dan pendistribusiannya serta dapat disimpan dalam waktu yang lama selama proses distribusi. Perbedaan pola konsumsi pangan pokok dan pangan sumber protein di kedua kecamatan disebabkan karena perbedaan daya beli. Daya beli dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Punggelan lebih tinggi daripada di Kecamatan Pejawaran, sehingga pangan pokok dan pangan sumber protein yang dikonsumsi lebih beragam dan harganya lebih mahal atau dengan kata lain lebih baik secara kuantitas dan kualitas. Selain itu, perbedaan pola konsumsi ini juga disebabkan oleh perbedaan agroekologi di kedua kecamatan dan kemudahan akses. Tanaman jagung banyak ditanam di Kecamatan Pejawaran sehingga jagung dijadikan pangan pokok di sana. Proses distribusi, terutama distribusi pangan, di Kecamatan Punggelan lebih mudah karena merupakan dataran rendah, dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran yang merupakan dataran tinggi dan masih banyaknya jalan tanah.
59
Khomsan (2003) menambahkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi makanan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada atau dalam hal ini tahan pangan. Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita Tabel 17 menyajikan data mengenai rata-rata konsumsi serta tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Konsumsi energi anak balita rata-rata adalah 975 kkal per hari atau memenuhi 93,5 persen angka kecukupan gizi (AKG). Konsumsi protein rata-rata adalah 24,5 gram per hari atau memenuhi 97,3 persen AKG. Dilihat dari rata-rata konsumsi energi dan protein, dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein anak balita di wilayah penelitian sudah baik. Rata-rata konsumsi energi di Kecamatan Punggelan sebesar 1033,7 kkal per hari dan di Kecamatan Pejawaran sebesar 916,1 kkal per hari. Rata-rata konsumsi protein di Kecamatan Punggelan sebesar 27,1 gram per hari dan di Kecamatan Pejawaran sebesar 23,7 gram per hari. Tabel 17 Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan zat gizi anak balita Kecamatan Punggelan Pejawaran Tingkat Tingkat Konsumsi Konsumsi Kecukupan Kecukupan Zat Gizi Zat Gizi Zat Gizi Zat Gizi
Zat Gizi
Energi (kkal) Protein (g)
Total Konsumsi Zat Gizi
Tingkat Kecukupan Zat Gizi
1033,7
95,9
916,1
91,1
975
93,5
27,1
100,2
23,7
94,4
25,4
97,3
Jika tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menjadi defisit berat (<70%), defisit sedang (70-90%) dan cukup (>90%) (Martianto et al. 2008) berdasarkan kecamatan maka sebarannya dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Tingkat kecukupan energi anak balita sebagian besar terkategori cukup (45,3%), sebesar 22,0 persen terkategori defisit sedang dan 32,7 persen terkategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan energi adalah 93,5 persen, yang terkategori baik. Rata-rata tingkat kecukupan energi anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan memiliki rata-rata lebih tinggi (95,9%) dibandingkan dengan rumahtangga di Kecamatan Pejawaran yang rata-rata tingkat kecukupan energinya sebesar 91,1 persen.
60
Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Defisit berat (<70%) Defisit sedang (70-90%) Cukup (>90%)
Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 52 34,7 46 30,7 30 20,0 36 24,0 68 45,3 68 45,3 150 100,0 150 100,0 95,9 ± 43,6 91,1 ± 34,5
Total n % 98 32,7 66 22,0 136 45,3 300 100,0 93,5 ± 39,4
Persentase tingkat kecukupan energi defisit berat, lebih tinggi di Kecamatan Punggelan dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 34,7 persen. Persentase tingkat kecukupan energi defisit sedang, lebih tinggi di Kecamatan Pejawaran dibandingkan dengan di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 24,0 persen. Dan persentase tingkat kecukupan energi cukup, sama untuk kedua kecamatan, yaitu sebesar 45,3 persen. Tingkat kecukupan protein anak balita sebagian besar terkategori cukup (47,3%), sebanyak 20,3 persen terkategori defisit sedang dan sebanyak 32,3 persen yang terkategori defisit berat. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan memiliki rata-rata lebih tinggi (100,2%)
dibandingkan dengan rumahtangga di Kecamatan Pejawaran,
walaupun secara umum tingkat kecukupan protein anak balita pada tiap kecamatan adalah baik. Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan protein Tingkat Kecukupan Protein Defisit berat (<70%) Defisit sedang (70-90%) Cukup (>90%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 55 36,7 42 28,0 21 14,0 40 26,7 74 49,3 68 22,7 150 100,0 150 100,0 100,2 ± 54,1 94,4 ± 40,8
Total n % 97 32,3 61 20,3 142 47,3 300 100,0 97,3 ± 47,9
Persentase tingkat kecukupan protein cukup, lebih tinggi di Kecamatan Punggelan dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 49,3 persen. Persentase tingkat kecukupan protein defisit sedang, lebih tinggi di Kecamatan Pejawaran dibandingkan di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 26,7 persen. Dan persentase tingkat kecukupan protein defisit berat, lebih tinggi di Kecamatan Punggelan dibandingkan di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 36,7 persen. Dari rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein pada Tabel 18 dan 19 di atas,
61
dapat diketahui bahwa rumahtangga di Kecamatan Pejawaran memiliki tingkat kecukupan energi dan protein lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan. Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita Terdapat prioritas pembagian makan kepada anak balita. Tabel 20 menunjukkan frekuensi konsumsi pangan anak balita di kedua kecamatan. Pangan pokok sebagai sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi anak balita di wilayah penelitian adalah beras atau nasi. Frekuensi konsumsi pangan tersebut lebih dari 1 kali sehari atau selalu dikonsumsi setiap waktu makan. Namun terdapat perbedaan frekuensi konsumsi nasi antara Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran, frekuensi konsumsi nasi di Kecamatan Punggelan adalah lebih dari 1 kali sehari sedangkan di Kecamatan Pejawaran adalah kurang dari 1 kali per minggu atau sangat jarang. Jagung sering dikonsumsi oleh anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran dan menjadi pangan pokok, namun secara umum jagung dikonsumsi kurang dari 1 kali per minggu. Pangan sumber karbohidrat lain yang berasal dari umbi-umbian, seperti singkong dan ubi, lebih sering dikonsumsi di Kecamatan Peiawaran dibandingkan di Kecamatan Punggelan, yaitu dikonsumsi kurang dari 3 kali per minggu. Frekuensi konsumsi singkong dan ubi di Kecamatan Punggelan adalah kurang dari 1 kali per minggu. Pangan sumber karbohidrat lain yang berasal dari terigu, seperti roti, dikonsumsi oleh anak balita dengan frekuensi kurang dari 1 kali per minggu, sedangkan mie dikonsumsi kurang dari 3 kali per minggu. Pangan sumber protein nabati (kacang-kacangan dan olahannya) jarang dikonsumsi oleh anak balita, atau dengan frekuensi kurang dari 3 kali per minggu. Namun frekuensi konsumsi tempe atau tahu di Kecamatan Punggelan sangat sering yaitu lebih dari 1 kali sehari, sedangkan di Kecamatan Pejawaran sangat jarang yaitu kurang dari 1 kali per minggu. Biasanya orang tua berbelanja bahan pangan ini pada hari pasar, yaitu setiap lima hari sekali. Pangan sumber protein hewani (berupa daging, ayam, telur dan susu) sangat jarang dikonsumsi atau dengan frekuensi kurang dari 1 kali per minggu. Konsumsi daging sapi dan kambing di wilayah penelitian terbatas hanya pada saat hari raya. Anak balita sangat sering mengkonsumsi ikan (berupa ikan asin), dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan, terutama di Kecamatan Pejawaran. Di Kecamatan Punggelan frekuensi konsumsi ikan asin tidak sering seperti di Kecamatan Pejawaran, yaitu kurang dari 3 kali per minggu.
62
Tabel 20 Frekuensi konsumsi pangan anak balita di wilayah penelitian Jenis Bahan Pangan Nasi Jagung Singkong Ubi Mie Roti Tempe/tahu Daging sapi/kambing Ayam Ikan Telur Susu Sayur Buah Minyak Gula
Frekuensi Konsumsi Pangan Punggelan Pejawaran Total >1 kali sehari <1 kali perminggu > 1 kali sehari <1 kali perminggu >1 kali sehari < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <3 kali perminggu < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <3 kali perminggu < 1 kali perminggu <3 kali perminggu <3 kali perminggu < 3 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu >1 kali sehari <1 kali perminggu < 3 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu <3 kali perminggu >1 kali sehari > 1 kali sehari <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu <1 kali perminggu <1 kali perminggu < 1 kali perminggu >1 kali sehari >1 kali sehari > 1 kali sehari <3 kali perminggu <3 kali perminggu < 3 kali perminggu >1 kali sehari >1 kali sehari > 1 kali sehari >1 kali sehari <3 kali perminggu > 1 kali sehari
Sayur dikonsumsi dengan frekuensi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan. Sayur dikonsumsi di setiap waktu makan, karena pada umumnya tiap rumah menanamnya di pekarangan rumah mereka. Jenis sayuran yang biasa dikonsumsi adalah daun singkong, kol, bayam, sawi putih, wortel dan daun melinjo. Jenis sayuran yang dikonsumsi tersebut bervariasi antar daerah penelitian, tergantung pada sayuran yang tersedia di lokasi masing-masing dan tergantung musim. Buah-buahan dikonsumsi dengan frekuensi kurang dari 3 kali per minggu. Jenis buah yang biasa dikonsumsi adalah pisang, duku, rambutan, salak, jeruk dan apel hijau, namun tergantung musim. Buah juga tergantung pada buah yang diproduksi di wilayah setempat. Minyak dan gula dikonsumsi lebih dari 1 kali sehari atau di setiap waktu makan, hal ini dikarenakan kedua bahan pangan tersebut biasa dipakai saat masak dan gula sering digunakan untuk membuat teh manis, sedangkan frekuensi konsumsi gula di Kecamatan Pejawaran adalah kurang dari 3 kali per minggu. Tabu Makanan Tabu atau pantangan terhadap makanan masih dijalankan pada anak balita. Anak balita ditabukan makan sayap dan kaki ayam dengan alasan sudah menjadi tradisi sejak dahulu, walaupun orang tua balita tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Orang tua balita juga menabukan pisang emas untuk anaknya dengan alasan pamali dimakan sampai setelah anak balita tersebut menikah. Jenis bahan pangan lain yang ditabukan pada anak balita adalah es.
63
Alasan yang dikemukakan oleh orang tua anak balita yaitu es dapat menyebabkan anak menjadi besar dan gendut. Bahan pangan yang ditabukan pada anak balita disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Bahan pangan yang menjadi tabu bagi anak balita Tabu Makanan
Kecamatan Punggelan
Kecamatan Pejawaran
Sayap dan kaki ayam
Tidak ada
Ada
Pisang emas
Ada
Tidak ada
Es
Ada
Tidak ada
Pantangan
atau
tabu
Catatan Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi bagian lain dari daging ayam Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena anak balita masih dapat mengkonsumsi jenis pisang lain yang tidak jauh berbeda kandungan gizinya Tabu terhadap makanan ini tidak mempengaruhi status gizi karena es tidak mengandung zat gizi yang penting untuk pertumbuhan anak balita
makanan
adalah
suatu
larangan
untuk
mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Tabu atau pantangan makanan di wilayah penelitian terkait dengan budaya. Tabu makanan yang ada terkait dengan sistem nilai yang berasal dari adat-adat yang diwariskan nenk moyang kepada generasi penerusnya, namun tidak ada ancaman budaya atau pun hukuman jika melanggar tabu ini. Tabu makanan pada anak balita ini bersifat permanen karena telah ada sejak dahulu, namun dalam perkembangannya banyak masyarakat yang tidak menganut tabu makanan ini. Masyarakat tidak mengetahui alasan mengapa makanan tersebut ditabukan dan sejak kapan tabu makanan tersebut dimulai. Tabu yang berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan bagi anak-anak yang masih di bawah perawatan dan asuhan wanita tersebut (Suhardjo 1989a). Status Gizi Anak Balita Status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan,
dan
penggunaan zat gizi pangan (Riyadi 2001). Menurut Soekirman (2000), faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi pangan dan keadaan kesehatan. Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1990).
64
Status gizi anak balita ditentukan dengan menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO (1995), yaitu indeks untuk berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil pengukuran dengan indeks ini selanjutnya ditentukan dengan menggunakan nilai z-skor yang direkomendasikan oleh NCHS/WHO. Kelebihan menggunakan z-skor adalah hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Husaini 1988, diacu dalam Masithah 2002). Status Gizi Anak Balita berdasarkan Berat Badan menurut Umur Menurut Riyadi (2001), berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. BB/U dipengaruhi TB/U dan BB/TB. Jika di suatu masyarakat tidak ada wasting atau kurus, BB/U dan TB/U memberikan informasi yang sama, yaitu merefleksikan pengalaman gizi dan kesehatan jangka panjang. Perubahan jangka pendek, khususnya penurunan BB/U mengungkap perubahan BB/TB. BB/U rendah merefleksikan TB/U rendah, BB/TB rendah atau keduanya, maka istilah kurang gizi global telah digunakan untuk menjelaskan indikator ini, yang mencakup kurang gizi kronis dan akut. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menunjukkan bahwa ratarata nilai z-skor adalah -1,5 SD, yang diklasifikasikan sebagai status gizi baik (-2 ≤ nilai z-skor ≤ 2). Rata-rata nilai z-skor BB/U yang berasal dari rumah tangga di Kecamatan Punggelan lebih tinggi dibandingkan rumah tangga di Kecamatan Pejawaran, yaitu -1,4 SD. Sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks BB/U dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U Status Gizi (BB/U) Gizi buruk (<-3 SD) Gizi kurang (-3 SD s/d <-2 SD) Gizi baik (-2 SD s/d 2 SD) Gizi lebih (>2 SD) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 10 6,7 21 14,0 32 21,3 32 21,3 107 71,3 97 64,7 1 0,7 0 0,0 150 100,0 150 100,0 -1,4 ± 1,1 -1,7 ± 1,1
Total n % 31 10,3 64 21,3 204 68,0 1 0,3 300 100,0 -1,5 ± 1,1
Klasifikasi status gizi balita berdasarkan indeks BB/U menunjukkan bahwa sebagian besar balita memiliki kategori status gizi baik (68,0%). Akan
65
tetapi masih terdapat balita dengan status gizi kurang (underweight, BB/U -3 ≤ nilai z-skor < -2 SD) (21,3%), balita yang terkategori status gizi buruk (severe underweight, BB/U z-skor < -3 SD) (10,3%) serta balita yang terkategori status gizi lebih (BB/U z-skor > 2 SD) (0,3%). Persentase kasus gizi baik pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan sebesar 71,3 persen lebih tinggi dibandingkan di Kecamatan Pejawaran. Hanya terdapat 0,7 persen kasus gizi lebih, terjadi pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan. Banyaknya kasus gizi buruk pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran sebesar 14,0 persen lebih tinggi dibandingkan rumahtangga di Kecamatan Punggelan sebesar 6,7 persen. Jumlah kasus gizi kurang di Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran adalah sama yaitu sebesar 21,3 persen. Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi gizi kurang (underweight) di atas 30 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Rata-rata nilai z-skor BB/U balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi BB/U bergeser -1,5 ke kiri dibandingkan dengan standar WHO. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor BB/U dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/U
66
Status Gizi Anak Balita berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan pertumbuhan kumulatif sejak lahir. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mencerminkan status gizi masa lalu, karena pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek (Supariasa et al. 2001). Indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Status gizi balita berdasarkan indeks TB/U menunjukkan bahwa rata-rata nilai zskor adalah -2,1 SD yang termasuk dalam kategori status gizi pendek (z-skor < 2). Rata-rata nilai z-skor TB/U anak balita pada kedua kecamatan tidak jauh berbeda, hanya rata-rata dari rumahtangga di Kecamatan Pejawaran yang lebih rendah, yaitu -2,5 SD. Tabel 23 menyajikan sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks TB/U. Tabel 23 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi (TB/U) Pendek (stunting) (<-2 SD) Normal (≥-2 SD) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 64 42,7 99 66,0 86 57,3 51 34,0 150 100,0 150 100,0 -1,7 ± 1,1 -2,5 ± 1,2
Total n % 163 54,3 137 45,7 300 100,0 -2,1 ± 1,2
Untuk menilai status gizi balita pada masa lampau, digunakan indeks TB/U. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan terdapat 45,7 persen balita berstatus gizi normal dan sebanyak 54,3 persen balita berstatus gizi pendek (stunting, TB/U z-skor < -2 SD). Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi pendek (stunting) di atas 40 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Kasus pendek (stunting) lebih besar terjadi pada rumahtangga di Kecamatan
Pejawaran
dibandingkan
pada
rumahtangga
di
Kecamatan
Punggelan, yaitu sebesar 66,0 persen, sebaliknya anak balita yang terkategori normal, prevalensinya lebih besar pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, yaitu sebesar 57,3 persen, dibandingkan pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran. Rata-rata nilai z-skor TB/U balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi TB/U bergeser -2,1 ke kiri
67
dibandingkan dengan standar WHO. Pergeseran kurva z-skor TB/U lebih jauh ke kiri dibandingkan dengan kurva z-skor BB/U. Hal ini menunjukkan status gizi berdasarkan indeks TB/U kondisinya lebih buruk dibandingkan indeks BB/U yang hanya bergeser sejauh -1,5 ke kiri jauhnya dari kurva standar WHO. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor TB/U dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi Anak Balita berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi Badan Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur (Supariasa et al 2001). Indeks BB/TB merupakan indikator kurang gizi akut yang paling sensitif dan paling umum digunakan. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan rata-rata nilai z-skor adalah -0,5 SD, yang termasuk dalam kategori normal. Rata-rata nilai zskor BB/TB anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran lebih tinggi, yaitu -0,4 SD, dibandingkan rumahtangga di Kecamatan Punggelan. Rata-rata nilai z-skor BB/TB anak balita pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan rendah, yaitu -0,6 SD. Pada Tabel 24 disajikan sebaran anak balita berdasarkan status gizi indeks BB/TB.
68
Tabel 24 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/TB Status Gizi (BB/TB) Sangat kurus (<-3 SD) Kurus (wasting) (-3 SD s/d <-2 SD) Normal (-2 SD s/d 2 SD) Gemuk (>2 SD) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Punggelan Pejawaran n % n % 4 2,7 3 2,0 14 9,3 12 8,0 129 86,0 130 86,7 3 2,0 5 3,3 150 100,0 150 100,0 -0,6 ± 1,3 -0,4 ± 1,3
Total n % 7 2,3 26 8,7 259 86,3 8 2,7 300 100,0 -0,5 ± 1,3
Klasifikasi status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan bahwa sebagian besar balita memiliki status gizi normal (86,3%). Akan tetapi masih terdapat 8,7 persen balita yang mengalami status gizi kurus (wasting, BB/TB z-skor < -2 SD), balita yang mengalami status gizi sangat kurus (severe wasting, BB/TB z-skor < -3 SD) (2,3%) serta balita yang terkategori gemuk (BB/TB z-skor > 2 SD) (2,7%). Status gizi kurus (wasting) dan sangat kurus (severe wasting) lebih banyak pada rumahtangga di Kecamatan Punggelan, yaitu berturut-turut sebesar 2,7 persen dan 9,3 persen. Status gizi normal paling banyak pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 86,7 persen. Status gizi gemuk paling banyak pada rumahtangga di Kecamatan Pejawaran, yaitu sebesar 3,3 persen. Berdasarkan kriteria WHO, masalah kesehatan masyarakat tergolong tinggi apabila prevalensi kurus (wasting) di antara 10-14,9 persen. Besarnya prevalensi kurus (wasting) di wilayah penelitian adalah sebesar 11 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong tinggi. Rata-rata nilai z-skor BB/TB balita pada rumahtangga di wilayah penelitian menyebabkan kurva z-skor status gizi BB/TB bergeser sedikit ke kiri, sejauh -0,5 dibandingkan dengan standar WHO. Hal ini menunjukkan bahwa status gizi di daerah penelitian sudah hampir sesuai dengan standar gizi baik yang ditetapkan. Sebaran anak balita berdasarkan z-skor BB/TB dapat dilihat pada Gambar 6.
69
Gambar 6 Kurva sebaran anak balita berdasarkan status gizi BB/TB
Hubungan Karakteristik Rumahtangga dan Tabu Makanan dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Balita Anak balita adalah golongan yang berada dalam masa pertumbuhan yang pesat. Pada usia ini anak memerlukan asupan zat gizi yang cukup, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Konsumsi pangan anak balita sangat tergantung pada konsumsi pangan keluarga. Kekurangan konsumsi pangan di tingkat keluarga dapat menurunkan asupan zat gizi anak balita yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap status gizi anak balita (Winarno 1990). Tabel 25 menunjukkan bahwa karakteristik rumahtangga seperti tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan ayah, pengetahuan gizi ibu serta alokasi pengeluaran pangan dan non pangan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan rumahtangga, khususnya anak-anak (Sanjur 1982). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin tinggi tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Seperti yang dikemukakan oleh Berg (1986) bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas
70
dan kuantitas pangan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik. Tabel 25 Hubungan antara karakteristik rumahtangga dan tabu makanan dengan tingkat kecukupan energi dan protein Variabel Independen Umur ayah Umur ibu Jumlah anggota keluarga Tingkat pendidikan ayah Tingkat pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pengetahuan gizi ibu Alokasi pengeluaran pangan Alokasi pengeluaran non pangan Tabu makanan Keterangan :
Variabel Dependen Tingkat Kecukupan Tingkat Kecukupan Energi Protein -0,037 0,002 -0,077 -0,054 0,054 0,049 0,272** 0,279** 0,319** 0,320** 0,131* 0,130* 0,068 0,099 0,249** 0,245** 0,183** 0,215** 0,183** 0,215** 0,500 -0,500
* Korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05) ** Korelasi nyata pada selang kepercayaan 99% (p<0,01)
Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ayah dengan tingkat kecukupan energi dan protein. Tingkat pendidikan ayah memiliki hubungan yang erat dengan pendapatan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga tergantung pada kemampuan anggota rumahtangga memperoleh kesempatan kerja dan berpenghasilan cukup sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Hal ini berarti peningkatan pendapatan rumahtangga
akan
meningkatkan
kesejahteraan
rumahtangga,
sehingga
rumahtangga dapat memenuhi kecukupan energi dan protein anak balita. Pendapatan ayah, sebagai kepala keluarga, memiliki hubungan yang erat dengan pekerjaan ayah. Karena dengan tingkat pekerjaan yang tinggi cenderung akan mendapatkan pendapatan yang besar pula. Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 25, ada hubungan yang nyata antara pekerjaan ayah dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita di wilayah penelitian. Semakin tinggi pekerjaan ayah maka semakin tinggi pula tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita.
Hal ini berarti semakin baik pengetahuan gizi ibu akan
semakin tinggi tingkat kecukupan energi dan protein anak balitanya. Menurut
71
Sediaoetama (2006), bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi ibu (p<0,01). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh ibu akan semakin baik pengetahuan gizi ibu. Tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan yang kuat dengan gizi anak, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu (Engle 1995). Oleh karena itu, peningkatan dan pengetahuan gizi ibu berdampak pada perbaikan gizi anak. Hubungan antara pekerjaan ibu dengan pengetahuan gizi ibu adalah terbalik dan nyata (p<0,01). Hal ini bermakna bahwa ibu yang tidak bekerja memiliki tingkat pengetahuan gizi yang baik. Menurut Singarimbun (1988), diacu dalam Wahyuni (2008) pada masyarakat tradisional, suatu pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu ibu untuk merawat anaknya. Ibu yang tidak bekerja memiliki lebih banyak waktu untuk mengikuti pendidikan gizi non formal. Hasil uji korelasi Spearman terhadap alokasi pengeluaran rumahtangga, baik pengeluaran untuk pangan maupun non pangan, menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hal ini mengandung arti bahwa peningkatan alokasi pengeluaran untuk pangan dan non pangan meningkatkan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita di wilayah penelitian. Semakin tinggi pengeluaran yang dialokasikan untuk pangan dan non pangan, maka semakin tinggi pula kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi. Tabu makanan dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita tidak memiliki hubungan. Hal ini dikarenakan rumahtangga yang menganut tabu makanan bagi anak balitanya sangat sedikit. Sementara itu, karakteristik rumahtangga yang lain seperti umur orang tua, jumlah anggota keluarga dan pekerjaan ibu juga tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita. Hubungan Karakteristik Rumahtangga, Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Anak Balita serta Tabu Makanan dengan Status Gizi Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap kekurangan gizi. Dalam kerangka pikir UNICEF, penyebab langsung terjadinya masalah gizi kurang pada anak balita adalah makanan dan penyakit infeksi yang
72
mungkin diderita anak balita. Tabel 26 menunjukkan hubungan antara karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi dan protein serta tabu makanan pada anak balita dengan status gizi anak balita. Tabel 26 Hubungan antara karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan energi dan protein serta tabu makanan anak balita dengan status gizi anak balita Variabel Dependen Status Gizi BB/U Status Gizi TB/U Status Gizi BB/TB Umur ayah 0,004 -0,067 0,044 Umur ibu 0,005 -0,066 0,032 Jumlah anggota keluarga -0,056 -0,044 -0,053 Tingkat pendidikan ayah 0,048 0,199** -0,073 Tingkat pendidikan ibu 0,149** 0,252** 0,019 Pekerjaan ayah 0,144* 0,198** 0,049 Pekerjaan ibu -0,002 -0,045 -0,007 Pengetahuan gizi ibu 0,119* 0,257** -0,009 Alokasi pengeluaran pangan -0,007 0,018 -0,026 Alokasi pengeluaran non pangan 0,007 -0,018 0,026 Tabu makanan -0,500 1,000 -0,500 Tingkat kecukupan energi -0,074 -0,042 -0,061 Tingkat kecukupan protein -0,078 -0,059 -0,059 Keterangan : * Korelasi nyata pada selang kepercayaan 95% (p<0,05) ** Korelasi nyata pada selang kepercayaan 99% (p<0,01) Variabel Independen
Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan ayah dengan status gizi TB/U menunjukkan hubungan yang nyata. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi pendidikan ayah maka semakin baik status gizi TB/U anak balita di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan berimplikasi terhadap pekerjaan yang lebih baik dan tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Hal ini bermakna semakin tinggi tingkat pendidikan ayah maka akan semakin besar pula pendapatan yang diperoleh. Pendapatan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat mempengaruhi status gizi. Tingkat pendidikan ayah dan ibu pada rumahtangga anak berstatus gizi normal lebih tinggi daripada rumahtangga anak berstatus gizi buruk dan kurang. Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi BB/U dan TB/U menunjukkan hubungan yang nyata. Hal ini mengandung arti bahwa semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik status gizi BB/U dan TB/U anak balita. Ibu yang menempuh pendidikan tinggi lebih baik dalam merawat anaknya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
megimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman terhadap pekerjaan ayah dengan status gizi BB/U dan TB/U, hubungannya nyata. Semakin tinggi
73
pekerjaan ayah maka semakin baik pula status gizi BB/U dan TB/U anak balita. Pekerjaan
ayah
berhubungan
dengan
pendapatan,
dan
pendapatan
berhubungan dengan kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi. Sehingga semakin tinggi pekerjaan ayah akan meningkatkan pendapatan ayah dan meningkatkan status gizi anak. Hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi BB/U dan TB/U anak balita sangat nyata berdasarkan hasil uji korelasi Spearman. Peningkatan pengetahuan gizi ibu dapat meningkatkan status gizi BB/U dan TB/U anak balita di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan pengetahuan gizi ibu. Tingkat pengetahuan gizi ibu pada rumahtangga anak berstatus gizi normal lebih tinggi dibangingkan dengan rumahtangga anak yang berstatus gizi buruk. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula (Pranadji 1988). Riyadi (2001) menjelaskan bahwa perilaku pemberian makanan berhubungan secara bermakna dengan tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak. Melalui uji korelasi Spearman diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak balita, baik indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Hal ini dikarenakan metode food recall yang digunakan untuk menentukan tingkat kecukupan pangan tidak cukup menggambarkan status gizi anak balita, karena hanya dilakukan selama dua hari. Selain itu, status gizi tidak hanya berhubungan oleh konsumsi pangan tapi juga dengan infeksi yang diderita anak balita. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan antara tabu makanan dengan status gizi, baik indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Tabu makanan yang ada tidak mempengaruhi status gizi karena balita masih dapat mengkonsumsi jenis pangan lain yang sesuai atau memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan bahan pangan yang ditabukan.