51
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Anatomi Kayu: Struktur makroskopik dan mikroskopik kayu
Struktur makroskopik dan mikroskopik kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Struktur anatomi makro dan mikro kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun No.
Struktur Anatomi
1.
Warna
2.
Lingkar tumbuh
3.
Pembuluh
Uraian JUN Jati Konvensional Struktur mikro Struktur Makro Struktur mikro Struktur Makro Warna kayu gubal Warna kayu putih abu gubal putih abu kekuningan; terjadi kekuningan, perwarnaan coklat belum ada keemasan di bagian pewarnaan. dalam dengan luasan 21,80% (Rata-rata dari bagian pangkal dan ujung, pada JUN umur 4 dan 5 th). Batas lingkar Adanya riap Batas lingkar Akibat riap tumbuh tumbuh jelas tumbuh yang tumbuh tidak tidak jelas dan pola jelas dan pola jelas (ciri 2). pembuluh tata baur, (ciri 1) pembuluh tata corak menjadi Porositas baur Porositas tata lingkar kurang menarik. (ciri). lingkar (ciri 3). menjadikan Namun ada corak kayu memiliki selang-seling antara Pengelompokan Pengelompokan corak yang pembuluh hampir bagian yang gelap pembuluh ganda sangat menarik, dan terang pada seluruhnya radial 2-3. batas bagian bidang melintang soliter, terutama yang kecoklatan serta ada gambar pada kayu akhir. (kayu akhir) dan Pada daerah yang yang menarik akibat bagian yang pewarnaan dan mata diperkirakan putih (kayu kayu sehat pada kayu awal awal) sangat bidang longitudinal ditemui jelas. pembuluh yang berganda. Bidang perforasi Sama sederhana (ciri 13). Ceruk antar Ceruk antar pembuluh selangpembuluh selangseling.Ukuran seling (ciri 22). apperture Ukuran mulut (mulut) ceruk ceruk antar 3,19 μm (ciri 22 pembuluh 2,99 μm dan 24). (ciri 22 dan 24).
52 No.
Struktur Anatomi Pembuluh
Pembuluh
4.
Jaringan serat dasar
Uraian JUN Jati Konvensional Struktur mikro Struktur Makro Struktur mikro Struktur Makro Percerukan Sama pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30). Diameter Diameter Diameter pembuluh Diameter pembuluh 196,37 sekitar 200 μm pembuluh 100pembuluh 113,66- 203,06 μm; menjadikan 140 μm 139,87 μm; frekuensi 7/mm2; teksturnya kasar menjadikan frekuensi 13/mm2; panjang panjang pembuluh namun rata karena teksturnya agak pembuluh 309,15- 348,21 μm kasar (sedang) perbedaan diameter 342,57- 360,94 (ciri 42, 47 dan pembuluh sangat dan tidak rata μm (ciri 42, 47 52). kecil. karena ada dan 53). perbedaan diameter Tilosis umum Tilosis umum dan pembuluh pada dan endapan endapan jarang kayu awal dan dijumpai (ciri 56 dijumpai (ciri 56 kayu akhir. dan 58) dan 58) Ceruk pada serat Sama sederhana sampai berhalaman sangat kecil; tampak terutama pada dinding radial (ciri 61) Terdapat Penebalan ulir penebalan ulir tidak dijumpai. pada jaringan Pada perbesaran serat dasar (ciri 160 kali masih 64) pada JUN 5 belum kelihatan. th. Tampak pada bidang R dan T, semakin jelas pada riap tumbuh 4 dan 5. Serat bersekat Sama (ciri 65) Dinding serat Dinding serat sangat tipis. sangat tipis. Tebal Tebal dinding dinding serat kayu serat kayu awal awal 2,06 μm, kayu 2,05 μm, kayu akhir 2,10 μm. akhir 2,07 μm. Panjang serat kayu Panjang serat awal 1053 μm, kayu awal 1321 kayu akhir 1161 μm, kayu akhir μm (ciri 68 dan 1330 μm (ciri 68 72). dan 72).
53 No.
5.
6.
7. 8. 9.
Struktur Anatomi
Uraian JUN Jati Konvensional Struktur mikro Struktur Makro Struktur mikro Struktur Makro Parenkim Parenkim aksial Parenkim aksial paratrakea paratrakea jarang, jarang; panjang sepihak hingga untai 5-8 sel per vaskisentrik; terdapat untai (ciri 78 dan parenkim pita 93) marginal > 3 lapis sel; panjang 5-8 sel per untai (ciri 78, 79, 84, 89 dan 93). Jari-jari Lebar jari-jari 4-10 Lebar jari-jari 1-3 seri: 89,79 μm (ciri dan 4-10 seri : 83,36 98) (ciri 97 & 98) Tinggi jari-jari Tinggi jari-jari 766,01 μm 634,53 μm Komposisi sel jariSama jari dengan satu jalur sel tegak atau sel bujursangkar marginal (ciri 106). Namun ditemui juga yang homogen, seluruhnya merupakan sel baring (ciri 104). Frekuensi jari-jari Frekuensi jari-jari 8 5 buah/mm (ciri buah/mm (ciri 115) 115) Ciri lain Keberadaan silika Sama kurang jelas. Kilap kayu Kusam hingga agak Agak mengkilap mengkilap Kesan raba Licin hingga agak Licin hingga agak kesat kesat
10.
Kekerasan
-
Agak keras
-
11.
Bau
-
-
12.
Rata-rata lebar riap tumbuh Tebal kulit batang
-
Sudah ada bau khas jati (bau bahan penyamak) 30,45 mm (tiga kali lebih lebar)
-
Agak keras hingga keras Bau khas jati tercium agak samar 8,91 mm
-
4,49 mm
-
3,51 mm
Luasan empulur (bentuk persegi) Serat kayu
-
59,81mm2
-
40,31mm2
-
Lurus, kadang agak berpadu
-
Lurus hingga agak berpadu
13. 14.
15.
54 Secara kualitatif, perbedaan ciri umum kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun terutama terletak pada corak, tekstur, kilap, arah serat, kekerasan dan bau. Ciri umum mencakup ciri-ciri yang dapat diamati langsung dengan panca indera tanpa bantuan alat-alat pembesar bayangan. Ciri ini mudah diamati sehingga sering digunakan dalam praktik identifikasi jenis kayu di lapangan. Hasilnya dapat tepat jika dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman di lapangan dan jika jumlahnya tidak banyak, namun jika yang dihadapi sudah ratusan jenis, maka ciri umum saja tidak dapat lagi diandalkan (Mandang & Pandit 2002). Ciri umum kayu, atau terkadang disebut sifat kasar kayu, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada kayu yang sifatnya cenderung subyektif. Dalam Pandit dan Kurniawan (2008), sifat-sifat ini apabila terdapatnya tidak konstan pada suatu jenis tertentu maka nilainya sekunder dalam pengenalan kayu, sebaliknya jika sifat tersebut terdapat secara konstan pada sembarang tempat, maka nilainya menjadi penting sehingga berguna dalam pengenalan atau identifikasi kayu. Secara positif, kayu JUN memiliki tekstur yang lebih rata dan arah serat yang lebih lurus dibandingkan kayu jati konvensional. Tekstur yang lebih kasar disebabkan karena diameter porinya sekitar 200 μm, namun lebih rata karena ukuran diameter pori lebih seragam akibat tidak ada perbedaan yang mencolok antara diameter kayu awal dan kayu akhir. Arah serat yang lebih lurus didukung oleh hasil penelitian pada struktur ultramikroskopiknya. Pada JUN telah terdapat bau bahan penyamak yang lebih kuat. Hal ini kemungkinan karena bibit JUN adalah stek pucuk yang berasal dari pohon jati terpilih yang telah tua umurnya sehingga sifat-sifat induknya terutama sifat yang unggul langsung diwariskan pada keturunannya dan muncul meski pohon masih berumur muda (Purwanto, 2005; Wibowo 2005b). Corak kayu jati konvensional lebih menarik karena batas lingkar tumbuhnya lebih jelas, dan selang-seling antara bagian yang gelap (kayu akhir) yang berwarna kecoklatan dan bagian yang terang (kayu awal) yang berwarna putih kekuningan juga lebih tajam. Sedangkan pada kayu JUN, batas lingkar tumbuhnya kurang jelas karena perubahan pola distribusi pembuluh menjadi tata baur, dimana akibatnya adalah perbedaan bagian yang gelap (abu-abu tua) dan bagian yang
55 t terang (putih abu-abu kekuningan) k ) tidak setajjam kayu jaati konvensiional, serta p parenkim pita marginal yang meruppakan salah satu s indikasii jelasnya baatas lingkar t tumbuh padaa jati juga tiddak ditemui (Tabel 6 poin 3 dan 5). Akibatnya, corak kayu J JUN tidak semenarik kayu jati konvensiona k al (Gambar 13). Namu un, adanya p pewarnaan d dalam bentukk yang tidakk beraturan pada p kayu JU UN umur 4 dan d 5 tahun d dapat membberikan coraak yang terliihat pada pootongan baggian lintang dan papan t tangensial ( (Gambar 188 dan Gam mbar 19), yaang mana pewarnaan ini belum t terbentuk paada kayu jati konvensionnal umur yan ng sama. Demikkian juga pada p kilap dan kekeraasan yang ddihasilkan, kayu JUN c cenderung leebih kusam dan lebih luunak dibandiingkan kayu jati konvennsional, dan h ini diduukung oleh hasil penellitian pada sifat fisis ddan mekaniisnya. Bila hal d dibandingka an kayu jati dewasa, d kayyu jati konveensional lebihh mendekatii sifat kayu j jati dewasaa yaitu pad da corak daan teksturny ya, sedangkkan kayu JUN J lebih m mendekati sifat kayu jatti dewasa paada sifat bau dan arah seerat (Martaw wijaya et al. 2 2005). JUN N 5 th
Jati Kon nvensional 5 th
G Gambar 13. Foto mikrosskopik penam mpang lintanng kayu JUN N dan kayu jati j konvensionaal. Foto di attas merupakkan potongann awal dari setiap riap tumbuh. Tam mpak bahwaa pola distrib busi pembuluuh pada kayuu JUN menjadi tataa baur, dan pparenkim pita marginal seperti s yang dijumpai pada bagiann kayu awal jjati konvensional (panahh hitam) jugaa tidak didapati (baandingkan deengan area pada panah putih pada kaayu JUN).
C Kuantittatif Kayu JUN Ciri J dan Kayyu Jati Konvvensional Um Umur 4 dan 5 tahun Ciri-ciiri kuantitatiif pada sifatt anatomi kayu k yang meliputi m rataa-rata lebar r riap tumbuhh, tebal kulitt dan luasann empulur, serta s dimenssi serat dan pembuluh
56 kayu JUN akibat pertumbuhan yang dipercepat dibandingkan dengan kayu jati konvensional disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Sedangkan persentase pewarnaan dan proporsi kayu muda dijelaskan secara lebih detail pada sub bab berikutnya. Tabel 7. Rata-rata lebar riap tumbuh, luasan empulur dan tebal kulit kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun Lebar Riap Tumbuh (mm)
Luasan Empulur (mm2)
Tebal Kulit (mm)
JUN
30,45
59,81
4,49
Jati konvensional
8,91
40,31
2,73
Kayu
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata riap tumbuh kayu JUN pada umur yang sama lebih lebar, tepatnya mencapai tiga kali lipat dari riap tumbuh jati konvensional (Gambar 14). Penyebab perbedaan lebar riap tumbuh secara mikroskopik terutama disebabkan karena penambahan jumlah sel arah radial (meskipun ada kendala dalam penghitungan jumlah sel arah radial secara rinci) dan diameter pembuluh kayu JUN yang lebih besar (Tabel 8).
JUN 5 th
Jati Konvensional 5 th
Gambar 14. Perbedaan lebar riap tumbuh pada kayu JUN (gambar atas) dengan kayu jati konvensional (gambar bawah) umur 5 tahun.
57 Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata serat (rata-rata dimensi serat kayu awal dan kayu akhir) kayu JUN lebih panjang dibanding kayu jati konvensional, demikian juga pada panjang sel pembuluh (Lampiran 8). Kayu JUN memiliki panjang sel serat dan sel pembuluh berturut-turut 1326 μm dan 352 μm, sedangkan panjang sel serat dan sel pembuluh kayu jati konvensional berturutturut adalah 1100 μm dan 329 μm. Dimensi yang lebih besar juga terjadi pada diameter sel pembuluh (Lampiran 8). Diameter pembuluh kayu JUN sekitar 200 μm, dan kayu jati konvensional sekitar 127 μm. Tabel 8. Rata-rata dimensi serat dan pembuluh kayu JUN dan kayu jati konvensional Jenis Kayu
Kayu Awal
Riap tumbuh
1 2 3 4 5
Rata-rata
Kayu Akhir
1 2 3 4 5
Rata-rata Rata-rata kayu JUN
Kayu Awal
Rata-rata Rata-rata kayu jati konvensional
Panjang 1308,51 1367,74 1294,84 1291,71 1343,62 1321,28 1294,23 1385,37 1320,11 1273,47 1378,43 1330,32 1325,80
1 2 3 4 5
Rata-rata
Kayu Akhir
Serat (μm)
1 2 3 4 5
842,95 816,84 1143,93 1203,17 1261,03 1053,58 796,69 1128,51 1261,03 1269,27 1351,33 1161,37 1107,47
Pembuluh (μm)
Diameter Lumen
Tebal Dinding
Panjang
Diameter
JUN 32,18 31,98 32,10 31,09 31,66 31,80 32,59 33,12 32,16 31,12 32,69 32,34
27,82 28,05 28,08 27,36 27,15 27,69 28,82 29,06 27,81 26,93 28,38 28,20
2,18 1,97 2,01 1,86 2,26 2,05 1,89 2,03 2,18 2,10 2,15 2,07
378,67 414,12 308,88 314,92 296,23 342,57 360,08 389,30 354,40 364,02 336,90 360,94
201,43 168,36 217,82 189,15 205,09 196,37 203,26 225,52 203,08 195,11 188,33 203,06
32,07
27,95
2,06
351,75
199,72
Jati Konvensional 29,12 25,23 31,55 27,66 31,98 27,86 34,10 29,79 32,78 28,43 31,91 27,80 30,75 26,38 32,45 28,38 31,95 27,79 33,97 29,82 32,42 28,13 32,31 28,10
1,94 1,94 2,06 2,15 2,18 2,06 2,18 2,03 2,08 2,07 2,14 2,10
289,46 317,94 339,01 293,76 305,58 309,15 302,28 362,83 363,56 371,80 340,57 348,21
93,62 107,08 121,28 121,00 125,31 113,66 96,00 135,84 139,23 154,62 173,67 139,87
2,08
328,68
126,76
Diameter
32,11
27,95
58 Secara statistik, dimensi diameter, lebar lumen dan tebal dinding serat kayu JUN maupun jati konvensional tidak berbeda (Lampiran 8). Hipotesis di awal bahwa pertumbuhan pohon yang dipercepat akan menghasilkan sel dengan diameter lebih besar dan dinding sel lebih tipis tidak terbukti. Namun dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa dinding sel serat kayu JUN lebih tipis, dan hal ini diduga akan menyebabkan berat jenis kayu JUN lebih kecil, dengan tanpa mempertimbangkan proporsi sel seratnya. Hal ini terbukti dari hasil penelitian pada sifat fisisnya. Dimensi diameter sel serat JUN dan jati konvensional yang tidak berbeda semakin menguatkan analisa di atas bahwa akibat pertumbuhan batang yang dipercepat, pohon menghasilkan sel yang jumlahnya juga lebih banyak dibandingkan jenis konvensionalnya. Panjang serat merupakan salah satu ciri yang diwariskan lebih banyak dibandingkan diameternya (Pandit 2006; Pandit & Kurniawan 2008). Telah disebutkan di awal, menurut Brown et al. (1994) bahwa pohon yang pertumbuhannya dipercepat akan menghasilkan sel-sel yang lebih pendek. Dalam Pandit (2006) serta Pandit dan Kurniawan (2008) disebutkan bahwa kecepatan tumbuh yang tinggi akan menghambat pertambahan panjang sel inisial kambium selama tahun-tahun pertama aktifitas kambium dan menunda saat produksi sel-sel dengan panjang maksimum. Lebih lanjut disebutkan bahwa pengurangan panjang sel sebanding dengan kecepatan tumbuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan JUN dipercepat, namun ternyata panjang serat dan panjang pembuluh kayu JUN tidak lebih pendek dibandingkan kayu jati konvensional. Hal ini kemungkinan disebabkan karena induk pohon JUN berbeda dengan jati konvensional, dimana induk pohon JUN telah mewariskan panjang dimensi serat dan pembuluhnya. Selain itu, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang serat kayu daun lebar pada bagian yang dekat empulur berkisar antara 0,1 – 1,0 mm (Pandit 2006). Dari Tabel 8 dapat dilihat ternyata panjang serat kayu JUN pada riap tumbuh satu sudah di atas 1 mm yaitu sekitar 1.200-1.300 μm, dan ini setara dengan panjang serat kayu jati dewasa. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun umurnya masih muda, namun kayu JUN yang dikembangkan dari stek pucuk sudah menunjukkan sifat seperti kayu dewasa, dan juga akan lebih cepat mencapai tahap
59 dewasa. Umur dimana tercapai panjang serat maksimum adalah berhubungan dengan panjang umur jenis pohon yang diharapkan (Pandit 2006). Faktor ini sangat penting untuk menentukan kapan tepatnya pohon JUN dapat dipanen. Penelitian rutin perlu dilakukan untuk mengetahui umur optimal kayu JUN dalam rangka usaha menurunkan daur tebang kayu jati (Anisah & Siswamartana 2005). Riap tumbuh kayu JUN yang lebih lebar dibandingkan riap kayu jati konvensional membawa konsekuensi pada proporsi kayu akhir JUN yang lebih besar karena berdasarkan hasil penelitian pada jati, proporsi kayu awal relatif konstan pada berbagai kondisi riap tumbuh (Wheeler 1987; Priya & Bath 1997, 1998 dalam Bhat & Priya 2004). Studi pada kayu jati asal Bangladesh, Burma dan Myanmar mengindikasikan bahwa kayu yang paling kuat diperoleh dari pohon dengan riap tumbuh 4-5 mm per tahun (Limaye 1942 dalam Bhat & Priya 2004). Lebar riap tumbuh kayu JUN yang mencapai 7 kali lipat kemungkinan akan menurunkan kekuatan kayunya secara drastis, namun hal ini harus dibuktikan lebih lanjut karena hasil penelitian Bhat dan Priya (2004) pada kayu jati cepat tumbuh menunjukkan kayu dengan riap tumbuh yang lebih lebar dapat sekaligus memiliki kekuatan mekanik lebih besar dan lebih kecil dimana mereka membuktikan fenomena tersebut dengan mengukur proporsi jaringan. Pada riap tumbuh yang lebih lebar, kekuatan mekanik (MOR dan MOE) lebih besar diperoleh saat proporsi serat lebih banyak, dan sebaliknya, kekuatan mekanik akan lebih kecil (meskipun riap tumbuhnya lebih kecil dan pertumbuhan pohon lebih lambat) pada kayu dengan proporsi parenkim yang lebih banyak, dimana hal ini merupakan respon terhadap kondisi tanah yang lebih banyak mengandung bahan-bahan organik. Kayu JPP hasil pemuliaan kayu jati oleh Perum Perhutani semenjak tahun 1980-an (Wibowo 2005a; Siswamartana 2005) pada umur 4 dan 5 tahun memberikan tinggi berturut-turut 8,85 m dan 9,07 m dengan diameter berturutturut 9,97 cm dan 10,65 cm, sehingga lebar riap tumbuhnya dapat dirata-ratakan sebesar 24,9 mm untuk JPP umur 4 tahun dan 21,3 mm untuk JPP umur 5 tahun (Iskak 2005). Nilai ini masih lebih kecil dibandingkan rata-rata riap tumbuh kayu JUN. Dari parameter penambahan riap tumbuh ini, upaya untuk mempercepat pertumbuhan pohon jati dapat dianggap cukup berhasil.
60 Upaya mempercepat pertumbuhan dengan pemberian nutrisi khusus nampaknya juga berdampak pada tebal kulit yang dihasilkan (Gambar 15). Tebal kulit kayu JUN dua kali lebih tebal dibandingkan kulit kayu jati konvensional (Lampiran 9). Kulit kayu (floem) berfungsi sebagai penyalur hasil fotosintesis dari daun ke seluruh bagian pohon. Kemungkinan, semakin banyak makanan yang diedarkan, saluran distribusi juga harus dibuat menjadi semakin besar atau bertambah jumlahnya. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan melakukan penelitian lebih lanjut, bagaimana dampak pemberian nutrisi yang banyak terhadap perubahan struktur bagian kulit. Demikian juga halnya dampak terhadap struktur daun dan akar, sangat menarik untuk diteliti secara lebih mendalam. Jati Konvensional 5 th
JUN 5 th
Gambar 15. Kulit batang kayu JUN (gambar bawah) dengan kayu jati konvensional (gambar atas) umur 5 tahun. Tampak bahwa kulit kayu JUN lebih kasar dibandingkan kayu jati konvensional.
Untuk luasan empulur, hasil uji statistik menunjukkan bahwa luasan empulur kayu JUN tidak berbeda dengan kayu jati konvensional (Lampiran 9). Luasan empulur Jati JUN 60 mm2, dan kayu jati konvensional 40 mm2. Bentuk empulur kedua kayu sangat jelas yaitu persegi dan berwarna putih, ini merupakan ciri khas jati yang merupakan anggota Suku Verbenaceae (Pandit & Kurniawan 2008), sehingga luasan empulur merupakan hasil perkalian rata-rata sisi panjang dan sisi lebar (Gambar 16). Empulur merupakan jaringan lunak yang akan mengeras saat batang tumbuh dewasa (Krisdianto & Sumarni 2006). Hasil pengamatan pada sampel JUN umur 4 dan 5 tahun juga menunjukkan bahwa luasan empulur semakin besar pada bagian batang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Wilson and White (1986)
61 dalam Krisdianto dan Sumarni (2006) dimana empulur semakin membesar diameternya searah tinggi pohon. Dari penelitian ini juga diperoleh informasi bahwa perbedaan umur pohon (semakin tua atau semakin muda pohon) tidak memberikan pola yang jelas pada ukuran empulur yang dimiliki. Jati Konvensional 5 th
JUN 5 th
Gambar 16. Bentuk dan ukuran empulur pada kayu jati konvensional dan kayu JUN umur 5 tahun
Selanjutnya, pada Tabel 9 disajikan data ciri kuantitatif lainnya dari kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 5 tahun yang meliputi frekuensi dan ukuran jari-jari, ukuran aperture (mulut) ceruk pada pembuluh, serta frekuensi pembuluh. Tabel 9. Rata-rata frekuensi dan ukuran jari-jari, ukuran mulut ceruk dan frekuensi pembuluh kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 5 tahun Kayu
JUN Jati konvensional
Jari-jari Frekuensi (per mm)
Tinggi (μm)
Lebar (μm)
Ukuran ceruk (μm)
5,00 7,62
766,01 634,53
89,79 83,36
3,19 2,99
Frekuensi Pembuluh (per mm2) 7,16 12,63
Frekuensi pembuluh kayu JUN 7 buah/mm2 (tergolong sedang), lebih sedikit dibanding kayu jati konvensional yang mencapai 13 buah/mm yaitu tergolong banyak (Lampiran 10). Jaringan ini berfungsi menyalurkan cairan dan sedikit hara mineral di dalam pohon. Frekuensinya yang lebih sedikit kemungkinan disebabkan karena melimpahnya air dan makanan membuat pohon JUN tidak perlu membuat saluran lebih banyak (walaupun pendapat ini kurang kuat). Namun adaptasi tersebut ditunjang dengan ukuran mulut ceruk (aperture)
62 pada ceruk antar pembuluh kayu JUN yang lebih lebar (meskipun secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan, Lampiran 10). Ceruk atau noktah merupakan penghubung antar sel, kemungkinan karena arus makanan dari akar ke daun yang berlimpah, sehingga pohon juga membutuhkan ‘pintu’ yang juga lebih lebar. Pada Gambar 17 disajikan bentuk ceruk dan cara pengukuran mulut ceruk.
Gambar 17. Pola penyusunan ceruk selang-seling pada kayu JUN maupun jati konvensional. Cara pengukuran mulut ceruk adalah melintang pada arah tangensial (Perbesaran 200x). Pohon juga beradaptasi dengan membuat saluran jari-jari yang lebih lebar dan lebih tinggi, dengan frekuensi per-mm yang juga lebih sedikit, dimana hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan pada frekuensi sel jari-jari, namun tidak demikian pada lebar jari-jari (Lampiran 10). Perbedaan pada struktur jari-jari menjadi lebih besar (lebih tinggi) ini terkait dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat sehingga membutuhkan aliran makanan yang lebih lancar karena jari-jari merupakan sarana angkutan hasil fotosintesis secara horisontal. Lebar jari-jari berpengaruh terhadap sifat kayunya karena dapat menghambat perubahan dimensi ke arah radial akibat perubahan lingkungan (Anisah & Siswamartana 2005). Dengan lebar jari-jari kayu JUN dan kayu jati konvensional yang tidak berbeda secara statistik ini dapat diduga bahwa penyusutan radial keduanya juga tidak berbeda secara statistik, namun dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai lebar jarijari lebih besar, sehingga meskipun secara statistik kemungkinan tidak berbeda, tapi secara mikroskopik hal ini akan berpengaruh dimana dapat diduga, penyusutan kayu JUN pada arah radial menjadi lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional (terbukti pada hasil penelitian sifat fisis).
63
Persentase Pewarnaan (Discoloured wood)
Berdasarkan pengamatan secara maskroskopik terhadap potongan melintang kayu yang telah dihaluskan permukaannya, telah terjadi perbedaan warna pada bagian tengah kayu JUN umur 4 dan 5 tahun dibandingkan bagian luarnya (Gambar 18 dan Gambar 19), dimana hal ini tidak dijumpai pada potongan kayu jati konvensional pada umur yang sama. Diprediksi bahwa pewarnaan tersebut bukan disebabkan oleh proses ketuaan (disebut kayu teras primer), sehingga untuk dugaan awal bagian yang berwarna lebih gelap tersebut adalah kayu teras sekunder (Prawirohatmodjo, tanpa tahun). Dugaan ini diperkuat dengan bentuk pewarnaan yang tidak beraturan (Gambar 18), berbeda dengan pewarnaan pada kayu teras primer yang bentuknya teratur dan mengikuti bentuk batang pohon tersebut (Gambar 20). Jati termasuk dalam kelompok pohon dengan kayu teras yang terbentuk secara reguler, dimana kayu terasnya selalu berwarna/berpigmen yang tidak hanya terdapat dalam rongga sel, namun meresap masuk dalam dinding sel-sel parenkim (Pandit 2006). Definisi kayu teras berdasarkan IAWA adalah bagian xilem dimana protoplasma sel sudah mati sehingga bagian tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Lawannya, yaitu kayu gubal, adalah bagian kayu di mana sel-sel xilem masih hidup dan masih menjalankan fungsi fisiologisnya yaitu tidak hanya sebagai pemberi kekuatan mekanis pada pohon, namun juga sebagai penyalur dan penyimpan cadangan makanan (pati). Ada beberapa teori mengenai mekanisme pembentukan kayu teras (Prawirohatmodjo, tanpa tahun; Pandit 2006), yaitu antara lain disebabkan oleh hasil proses ketuaan (disebut kayu teras primer), hasil serangan cendawan (disebut kayu teras sekunder), hasil akumulasi ekstraktif, hasil proses perkembangan, hasil kelebihan cadangan makanan, hasil kekurangan air, dan hasil tegangan air. Perubahan kayu gubal menjadi kayu teras disertai dengan pembentukan berbagai zat organik yang secara kolektif disebut dengan ekstraktif/zat infiltrasi, serta pembentukan tilosis pada pembuluh kayu daun lebar. Pembentukan ekstraktif pada xilem ini umumnya ditandai dengan bertambah gelapnya jaringan sehingga menghasilkan warna kayu teras yang kontras dengan kayu gubalnya
64 yang berwarna lebih muda. Namun adanya warna yang lebih gelap bukanlah selalu merupakan ciri adanya kayu teras karena pada beberapa jenis kayu seperti pulai, ramin, jelutung, dan sebagainya, warna kayu terasnya tidak ditandai oleh perubahan warna yang mudah dilihat, melainkan secara teknis suatu bagian kayu disebut kayu teras adalah jika jaringan kayu tersebut secara fisiologis telah mati.
a
b
Gambar 18. Pewarnaan pada batang JUN umur 5 tahun (a); dan (b) permukaan melintang kayu jati konvensional umur 5 tahun.
JUN 4 th ujung
JUN 4 th pangkal
JUN 5 th pangkal
JUN 5 th ujung
Gambar 19. Pewarnaan yang terbentuk pada kayu JUN umur 4 dan 5 tahun, tidak berbentuk seperti kolom yang teratur, namun tetap menimbulkan corak yang menarik pada penampang longitudinal.
65
Gambar 20. Kayu teras primer (tanda panah) pada batang kayu jati konvensional berumur tua, bentuknya mengikuti bentuk batang atau sesuai bentuk kulitnya.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tilosis sudah dijumpai pada kayu JUN hingga riap tumbuh ketiga dan berangsur berkurang pada riap tumbuh keempat, sedangkan pada kayu jati konvensional tilosis dijumpai pada riap tumbuh satu dan dua (Gambar 21). Tilosis merupakan struktur seperti gelembung yang muncul dari parenkim jari-jari ke rongga pembuluh sebagai akibat perbedaan tekanan osmosis. Tekanan dalam sel parenkim yang hidup memaksa protoplasma masuk ke dalam pembuluh di sampingnya yang berisi udara, dan memulai pembentukan tilosis dimana selaput noktah menjadi terhembus. Fenomena ini terjadi pada spesies yang mempunyai mulut noktah lebih besar dari 10 μm, namun jika mulut noktah kurang dari 10 μm (JUN memiliki lebar mulut noktah 3,19 μm dan jati konvensional 2,99 μm, Tabel 6 poin 3), maka yang terjadi adalah cairan atau amorf. Tilosis ini merupakan protoplasma sel-sel parenkim bercampur bahan lain yang tersimpan seperti pati, kristal, resin, getah, dan lain-lain (Pandit 2006).
66
a b b
c
d
d
Gambar 21. (a). Bidang lintang kayu jati konvensional (riap tumbuh 2). Tampak ada tilosis dan endapan; (b). Tilosis dilihat dari bidang tangensial kayu jati konvensional. (c). Bidang lintang kayu JUN (riap tumbuh 3). Tampak di samping ada tilosis dan endapan juga telah ada serangan jamur (tanda panah: hifa jamur); (d). Tilosis pada kayu JUN dilihat dari bidang tangensial. Metcalfe and Chalk (1983) menyebutkan bahwa keberadaan tilosis merupakan ciri diagnostik pada suku Verbenaceae, termasuk pada marga Tectona. Tilosis merupakan salah satu indikator terbentuknya kayu teras karena dapat menghambat aliran unsur hara pada pembuluh kayu gubal sehingga menyebabkan sel tidak dapat menjalankan fungsi fisiologisnya. Belum ada pustaka yang secara tepat menyebutkan kapan kayu teras mulai terbentuk pada jati karena proses pembentukan kayu teras terjadi dalam pohon dan tetap tak terlihat oleh pengamatan langsung, namun hasil komunikasi pribadi dengan Pandit (2010), kayu jati baru mulai membentuk kayu teras pada umur sekitar 7-9 tahun. Oleh karena kayu teras hanya dapat terlihat sesudah terbentuk
67 sehingga penyebabnya yang tepat dan kapan terjadinya sukar untuk ditentukan (Prawirohatmodjo, tanpa tahun). Keberadaan tilosis pada kayu JUN hingga riap tumbuh keempat dan kayu jati konvensional hingga riap tumbuh kedua menunjukkan bahwa proses pembentukan kayu teras pada kedua kayu tersebut sudah mulai berlangsung, walaupun perubahan warna pada kayu jati konvensional belum terjadi. Pewarnaan dan pembentukan tilosis yang terjadi pada kayu JUN umur 4 dan 5 tahun kemungkinan disebabkan akibat adanya penyakit atau cendawan. Salah satu teori mengenai pembentukan kayu teras disebabkan oleh cendawan non patogenik dikuatkan dengan ditemukannya hifa pada batas kayu teras (pada Gambar 21c ditunjukkan adanya hifa jamur pada pembuluh kayu JUN riap tumbuh ketiga). Suatu studi yang mendalam oleh Shigo et al. (1965, 1967, 1972 dan 1973) dalam Prawirohatmodjo (tanpa tahun) menunjukkan bahwa infeksi cendawan yang terjadi melalui bekas cabang, sisa cabang, bekas batang, luka pada batang, busuk akar, dan lain-lain, dapat menyebabkan pewarnaan kayu yang mungkin mirip kayu teras. Shigo mengembangkan suatu model untuk menerangkan proses pelukaan pohon sampai terjadinya kebusukan total. Model itu terbagi dalam tiga tahap yaitu: Tahap 1: mencakup semua proses yang berkaitan dengan tahapan pohon inang terhadap pelukaan. Baik pohon maupun lingkungan terlibat di sini. Akibatnya mungkin terjadi sedikit pewarnaan kayu sebagai hasil proses-proses kimia dan oksidasi akibat kayu terkena udara. Tahap 2: mencakup hal-hal yang terjadi apabila mikroorganisme dapat mengalahkan perlindungan kimiawi pohon dan menyerang xilem. Penyerangpenyerang pionir ini umumnya berupa bakteri dan atau cendawan nonHymenomycetes. Pewarnaan kayu makin intensif sebagai hasil interaksi antara mikroorganisme yang menyerang dan sel-sel xilem yang masih hidup. Maka sekarang terjadi respon pohon terhadap serangan mikroorganisme. Tahap 3: mencakup hal-hal yang terjadi jika mikroorganisme pembusuk, terutama Hymenomycetes, menyerang dan merusak dinding sel. Semua sel dalam xilem sekarang mati.
68 Pewarnaan yang terjadi melalui tahap di atas disebut dengan kayu teras sekunder. Kemungkinan JUN mengalami tahap 1 dan tahap 2, namun karena keterbatasan peneliti, apakah xilem hingga riap tumbuh ketiga seluruhnya masih hidup atau sudah mati, yang pasti keberadaan tilosis pada pembuluh kayu hingga riap tumbuh ketiga dan berangsur-angsur berkurang pada riap tumbuh keempat menunjukkan sel-sel xilem telah berubah fungsi, dan berangsur mati pada riap tumbuh keempat. Pendugaan bahwa kayu teras yang terbentuk adalah kayu teras sekunder dikuatkan dengan adanya perubahan bentuk kayu teras sesaat setelah ditebang dibandingkan dengan setelah dikeringudarakan (Gambar 22). Seiring dengan penyingkapan, bentuk kayu teras menjadi tidak beraturan. Hal ini menunjang hasil tinjauan yang dilakukan Trockenbrodt andJosue (1999) bahwa dari data hutan tanaman jati di Malaysa ada kemungkinan ditemukannya kayu teras dalam bentuk yang tidak beraturan. Terlihat bahwa pada Gambar 22b pewarnaan pada kayu teras tidak sekuat dan sejelas kayu teras pada Gambar 22a, ini menunjukkan bahwa kayu teras dan zat ekstraktif yang terbentuk belum stabil.
a
b
Gambar 22. a). Kayu teras pada penampang kayu JUN umur 4 tahun sesaat setelah ditebang b). Kayu teras pada penampang kayu JUN umur 4 tahun setelah kering udara Hasil analisis kandungan zat ekstraktif alkohol benzena pada kayu JUN maupun jati konvensional menunjukkan bahwa telah terjadi akumulasi zat ekstraktif sebagai satu bentuk pembuangan atau ekskresi internal hasil-hasil limbah biokimia yang terbentuk dalam jaringan kambium dan parenkim. Zat-zat ekskresi ini dianggap dipindahkan dalam konsentrasi tak beracun melalui jari-jari
69 menuju empulur (kadar zat ektrakstif yang diperoleh sekitar 2%, separuh dari nilai kandungan zat ekstraktif kayu jati dewasa), dan belum terakumulasi sampai tingkat yang mematikan sehingga kayu teras yang sesungguhnya belum terbentuk (Prawirohatmodjo, tanpa tahun). Sebagai pohon yang pertumbuhannya dipercepat, dan ditunjang dengan kondisi lingkungan yang serba tercukupi pada kayu JUN, maka pohon akan cenderung menunda ketuaan atau menunda pembentukan kayu teras (Pandit, komunikasi pribadi, 2010). Selanjutnya disebutkan bahwa dari berbagai macam penyebab terbentuknya kayu teras, hal yang secara langsung berpengaruh pada sintesa polifenol ini adalah fotosintat yang tidak digunakan seluruhnya pada proses pertumbuhan di daerah kambium. Buktinya, Hillis (1968) dalam Bowyer et al. (2003) menemukan bahwa pertumbuhan yang cepat dan penggunaan yang
efisien dari karbohidrat berhubungan dengan jumlah yang sedikit dari polifenol pada kayu teras ini. Karena bentuknya yang tidak beraturan maka ditemui kesulitan saat melakukan pengukuran persentase pewarnaan yang terjadi dengan menggunakan metode Wahyudi dan Arifien (2005), yaitu mengukur jari-jari kayu teras dan jarijari terpanjang pada permukaan batang. Pada penelitian ini, metode yang dilakukan adalah membuat pola bentuk kayu teras pada plastik transparan, kemudian menghitung luasan kayu teras menggunakan kertas milimeter blok seperti yang ditunjukkan pada Gambar 23 (Darwis et al. 2005). Rasio pewarnaan adalah persentase luas pewarnaan terhadap luas penampang batang, setelah dikurangi luasan bagian empulur.
Empulur
Gambar 23. Metode penghitungan luas pewarnaan pada kayu JUN umur 5 tahun. Tanda panah menunjukkan daerah terjadinya pewarnaan dengan batas yang tidak jelas. Pewarnaan
70 Pada Tabel 10 disajikan data hasil penghitungan persentase pewarnaan pada penampang melintang kayu JUN dan kayu jati konvensional. Dari Tabel 10 tersebut dapat dilihat ternyata semakin tua umur pohon, persentase pewarnaan yang terbentuk semakin besar. Pada sampel JUN bagian pangkal umur 4 tahun telah terbentuk pewarnaan sebesar 17,85%, dan pada sampel kayu JUN bagian pangkal umur 5 tahun telah terbentuk pewarnaan sebesar 23,82%. Demikian juga, antara bagian pangkal dan bagian ujung terdapat kecenderungan, semakin ke pucuk, persentase pewarnaan yang terbentuk semakin kecil. Ini ditunjukkan dengan hasil dimana pada sampel kayu JUN umur 4 tahun bagian ujung belum terjadi pewarnaan, sedangkan pada sampel kayu JUN umur 4 tahun bagian pangkal telah terbentuk pewarnaan sebesar 23,74%. Pada kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun belum terbentuk pewarnaan. Tabel 10. Persentase pewarnaan pada permukaan melintang kayu JUN dan kayu jati konvensional terhadap luas permukaan batang
Kayu
Luas Lempeng (cm2)
Luasan Pewarnaan dengan Batas yang Jelas
Luasan Pewarnaan dengan Batas yang tidak Jelas
(cm2)
%
(cm2)
%
Persentase Pewarnaan Total
JUN 4A
329,9
45,4
13,8
13,5
4,1
17,85
JUN 4D
153,9
belum terbentuk
-
-
-
-
JUN 5A
471,2
101,3
21,5
11,0
2,3
23,82
JUN 5D
298,5
66,8
22,4
4,1
1,4
23,74
17,7
belum terbentuk
-
-
-
-
63,6
belum terbentuk
-
-
-
-
Jati konvensional 4 th Jati konvensional 5 th
Berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai persentase kayu teras pada jati unggul dibandingkan kayu jati konvensional pada umur muda disajikan pada Tabel 11. Kesimpulan yang diperoleh dalam Trockenbrodt and Josue (1999) atas hasil penelitian terhadap kayu jati cepat tumbuh dari hutan tanaman adalah adanya peningkatan kayu teras seiring dengan peningkatan umur. Hal ini sejalan dengan Brown et al. (1994) yang menyebutkan bahwa pada umur
71 ketiga hingga sepuluh tahun pertama batang pohon didominasi oleh xilem yang masih hidup (gubal) untuk menjamin proses pertumbuhan selanjutnya. Namun perlu ditinjau kembali apakah kayu teras yang terbentuk adalah kayu teras primer akibat proses ketuaan, atau kayu teras sekunder seperti yang terjadi pada kayu JUN. Tabel 11. Persentase kayu teras jati unggul dan jati konvensional umur muda oleh berbagai peneliti Umur kayu 3 tahun
4 tahun 5 tahun
6 tahun
7 tahun
8 tahun
Jenis Jati Jati Unggul Jati Konvensional 29,81% (pangkal) – 25% (pangkal) diameter sama dengan jati unggul umur 8 tahun, perbedaan persentase kayu teras diduga akibat perbedaan umur) 16% (diameter batang 2,5-4,8 cm) 16,5-63% (diameter batang 5,8-10,9 cm) 22,61 % (telah terbentuk kayu teras di seluruh batang baik pangkal, tengah dan ujung) 25-65% (diameter batang 6,9-11,4 cm)
44,31% (ditanam di Ciamis) 20,12% (ditanam di Ngawi) 39,6%
-
20,31
Peneliti Wahyudi & Arifien (2005)
Trockenbrodt & Josue (1999) Trockenbrodt & Josue (1999) Sumarni et al. 2005-2008
Trockenbrodt & Josue (1999)
-
20,3%
58,23% (pangkal) 46,30% (tengah)
Anisah & Siswamartana (2005) Krisdianto & Sumarni (2006); Krisdianto (2008); dan Sumarni et. al. (2008) Wahyudi & Arifien (2005)
Jenis kayu jati unggul Jenis jati tidak disebutkan, lokasi tempat tumbuh Semarang Jenis jati tidak disebutkan, lokasi tempat tumbuh Malaysa PT. Monfori, Palembang
Jenis jati tidak disebutkan, lokasi tempat tumbuh Malaysa JPP
Penajam, PT. ITCI Kartika Utama, Kalimantan Timur Semarang
Proporsi Kayu Muda
Massa xilem atau kayu yang dibentuk pada tahun-tahun pertama pertumbuhan pohon dimana pembelahan kambium masih dipengaruhi oleh kegiatan meristem primer akan menghasilkan kayu juvenil/kayu remaja (juvenile-
72 wood). Identifikasi kayu juvenil secara makroskopik sangat sulit dilakukan,
sehingga dalam praktik sehari-hari sering menimbulkan masalah. Lingkaran tumbuh pertama sampai lingkaran tumbuh ke sepuluh umumnya mempunyai karakteristik struktur anatomi yang berbeda dengan kayu dewasa, umumnya 5-10 tahun tergantung spesies pohon. Persentase kayu juvenil ternyata juga dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh. Pohon yang tumbuhnya baik sehingga memberi respon pertumbuhan yang cepat, umumnya akan membentuk persentase kayu juvenil yang lebih tinggi. Sebaliknya pohon yang tumbuh pada kondisi tempat tumbuh yang memberi respon pertumbuhan lebih lambat umumnya membentuk persentase kayu juvenil yang lebih rendah (Bowyer et al. 2003). Hasil penelitian Darwis et al. (2005), kayu jati baru membentuk kayu dewasa pada riap tumbuh ke-11 dan ke-12, sedangkan berdasarkan penelitian Bhat et al. (2001) dalam Bhat dan Priya (2004), batas kayu muda dan kayu dewasa pada jati adalah pada umur sekitar 20 tahun. Trockenbrodt and Josue (1999) menyebutkan bahwa pembentukan kayu juvenil pada jati terjadi hingga umur 12-15 tahun, dan Jati India mencapai kematangan sifat mekanis pada umur 21 tahun. Berdasarkan panjang serat dari empulur hingga riap tumbuh terakhir, dapat dibuat kurva regresi untuk melihat kayu sudah membentuk kayu dewasa atau belum. Jika panjang serat masih akan terus bertambah (belum konstan pada titik tertentu), maka kayu dianggap masih membentuk kayu muda (Rulliaty 2008). Dari kurva pada Gambar 24 dapat dibuktikan bahwa pada umur 5 tahun, batang pohon seluruhnya masih mengandung kayu muda, baik kayu JUN maupun kayu jati konvensional. Sehingga pada penelitian ini belum dapat dibuktikan apakah akibat pertumbuhan yang dipercepat, proporsi kayu muda akan semakin besar. Namun dari kurva tersebut juga dapat diamati bahwa pertambahan panjang serat kayu jati konvensional lebih progresif dibandingkan kayu JUN. Dapat diduga bahwa kayu JUN akan lebih cepat membentuk kayu dewasa dibandingkan kayu jati yang tumbuh dari biji. Ini menunjukkan bahwa kayu JUN yang dikembangkan dari stek pucuk lebih menunjukkan sifat sebagai kayu dewasa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena bibit JUN adalah stek pucuk yang berasal dari pohon jati terpilih yang telah tua umurnya, sifat-sifat induknya
73 terutama sifat yang unggul langsung diwariskan pada keturunannya sehingga menghasilkan tanaman dengan sifat yang lebih unggul, dan telah muncul meski pohon masih berumur muda (Purwanto, 2005; Wibowo 2005b). Karakteristik kayu juvenil umumnya mempunyai kerapatan rendah, kadar air dan penyusutan longitudinal yang tinggi, sehingga mudah mengalami cacat bentuk. Sifat kayu juvenil yang paling ditakuti adalah cacat yang disebut getas, terutama untuk kayu struktural sehingga penggunaannya sebagai kayu utuh untuk konstruksi tidak diperkenankan (Anisah & Siswamartana 2005). Untuk bahan baku industri furnitur persentase kayu juvenil yang tinggi juga dikhawatirkan akan menimbulkan banyak masalah selama proses pengerjaan.
1600
Panjang Serat (μm)
1400 Panjang Serat JUN Kayu Awal Panjang Serat JUN Kayu Akhir Panjang Serat Jati Konvensional Kayu Awal Panjang Serat Jati Konvensional Kayu Akhir
1200 1000 800 600 400 200 0 1
2
Riap Tumbuh 3 4
5
Gambar 24. Kurva regresi panjang serat dari empulur ke arah kulit untuk kayu JUN dan kayu jati konvensional. Tampak trend masih mengarah ke atas, belum ada titik konstan. Dapat dilihat juga bahwa penambahan panjang serat kayu JUN lebih landai dibandingkan kayu jati konvensional.
Perbedaan Struktur Mikroskopik Secara Kualitatif pada Kayu JUN dan Kayu Jati Konvensional
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada Tabel 6 dan penjelasanpenjelasan lebih lanjut pada ciri kuantitatif kayu JUN dan kayu jati konvensional pada umur yang sama, di bawah ini disajikan perbedaan yang terjadi pada sifat-
74 sifat kualitatif struktur anatomi mikro pada kayu JUN dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang sama akibat pertumbuhannya yang dipercepat: 1. Batas lingkar tumbuh kayu JUN tidak jelas, sedangkan batas lingkar tumbuh
kayu jati konvensional jelas. Batas lingkar tumbuh dinyatakan jelas jika terjadi perubahan struktur yang mendadak/mencolok pada batas kayu awal dan kayu akhir. Lingkar tumbuh jelas ditandai oleh satu atau beberapa perubahan seperti (Sulistyobudi et al. 2008):
-
Serat atau trakeida kayu akhir berdinding tebal dan menggepeng radial dibandingkan serat atau trakeida kayu awal yang berdinding tipis.
-
Perbedaan yang mencolok antara diameter pembuluh kayu awal dan diameter pembuluh kayu akhir.
-
Parenkim marginal, baik terminal maupun inisial.
-
Trakeida vaskular dan sel pembuluh yang sangat kecil dan sangat banyak membentuk jaringan dasar kayu akhir, yang tidak ditemukan pada kayu awal.
-
Penurunan frekuensi parenkim pita pada zona kayu akhir yang menyebabkan keberadaan wilayah serat semakin jelas.
-
Pembengkakan jari-jari. Jati konvensional memiliki ketiga ciri pertama di atas, sehingga
tergolong kayu dengan batas lingkar tumbuh yang jelas. Batas lingkar tumbuh dinyatakan tidak jelas atau tidak ada jika lingkar tumbuhnya samar, ditandai oleh perubahan struktur yang hanya terjadi secara berangsur pada zona tertentu, atau sama sekali tidak dapat dilihat dengan jelas (Sulistyobudi et al. 2008). Kayu JUN lingkar tumbuhnya tergolong tidak jelas karena perubahan diameter pembuluh yang berangsur-angsur. Keberadaan parenkim pita marginal juga tidak ditemui. Adanya perbedaan warna selang-seling gelap dan terang pada JUN kemungkinan bukan disebabkan oleh perbedaan dimensi sel, namun perlu diteliti kembali disebabkan oleh faktor apa, sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai kayu dengan lingkar tumbuh jelas. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Bhat and Priya (2004) bahwa batas lingkar tumbuh lebih sulit ditentukan pada kayu jati cepat tumbuh. Pada
75 Gambar 13 dan Gambar 25 disajikan struktur anatomi kayu JUN dan kayu jati konvensional pada batas lingkar tumbuh secara makroskopik dan mikroskopik.
JUN 5 th
Jati Konvensional 5 th
Gambar 25. Foto makroskopik penampang lintang kayu JUN dan kayu jati konvensional. Batas lingkar tumbuh ditunjukkan oleh tanda panah. 2. Perbedaan pada porositas. Jati konvensional memiliki pola pembuluh tata lingkar sedangkan kayu JUN memiliki penyebaran pembuluh (porositas) tata baur (Gambar 13 dan Gambar 25). Karena berlimpahnya nutrisi serta ketersediaan air (dari persemaian yang ada di sekitarnya), kemungkinan pertumbuhan JUN terjadi sepanjang tahun. Pada saat penebangan yaitu Bulan September 2009 dimana kondisi sedang musim kemarau, tanaman jati lain di daerah tersebut sudah meranggas, namun tidak demikian halnya pada pohon JUN yang justru saat itu masih terus membentuk tunas-tunas baru. Kondisi tanaman jati pada lokasi yang berdekatan dibandingkan dengan kondisi tanaman JUN disajikan pada Gambar 26. Perbedaan porositas pada jati cepat tumbuh umur 21 tahun yang berasal dari India juga menunjukkan fenomena yang sama (Bhat & Priya 2004). Pengaruh irigasi dan pemupukan cenderung menyebabkan kayu jati memiliki pola tata baur.
76
c
a
b
G Gambar 26. (a). Tanamaan jati milik Perhutani yaang sedang m meranggas pada p musim kemarau. k (b). Kondisii pohon JUN N yang akan ditebang, m masih tampakk hijau dan berdaun n lebat. Keduua tanaman ini i berada daalam lokasi yang y sama, karena areal a persem maian JUN beerada dalam areal tanah Perhutani Jawa Teengah. (c). ( Pucuk pada p pohon jjati yang barru ditebang, masih menuunjukkan adanya pertumbuhan p n meskipun pada musim m kemarau.
3 Penebalan 3. n ulir pada jaringan seraat dasar ditem mui pada kayyu JUN umuur 5 tahun. Pen nebalan ulir merupakan ciri diagnostik kayu. S Serat yang mempunyai m penebalann ulir seringg terdapat paada kayu yan ng juga mem mpunyai pennebalan ulir pada sel pembuluhny ya, namun tiidak kebalik kannya. Peneebalan ulir juga j sering man daripadda serat den ngan ceruk terdapat pada serat dengan ceruuk berhalam sederhanaa atau berhallaman yang sempit. Cirii ini juga lebbih sering terrdapat pada jenis-jeniis kayu daerrah tempereet daripada kayu k daerahh tropis (Buutterfield & Meylan 1980; 1 Metcallfe & Chalckk 1983; Wheeeler et al. 19989). Dallam Soerianegara and L Lemmens (19 994), Metcallfe and Challck (1983), Martawijaya et al. (2005), seerta literatuur lainnya mengenai kayu jati, keberadaaan ciri ini belum b pernah disebutkkan. Namun Metcalfe and a Chalck (1983) peernah menyeebutkan bahw wa penebalaan ulir pada ppembuluh ju uga ditemui
77 pada Sukku Verbenacceae, namunn tidak jelas apakah term masuk margga Tectona, namun dengan d ulir yang y tipis, sedangkan keterangan k adanya peneebalan ulir pada serrat belum pernah p diseebutkan. Padda JUN um mur 5 tahuun, dengan perbesaraan kecil (400 kali) teruttama pada riap r tumbuhh 4 dan 5 (pada riap tumbuh pertama p dann seterusnya penebalann ulir ini suudah nampaak, namun semakin mendekati kulit, atau semakin tu ua kayu yanng dihasilkaan, ciri ini hat), namunn tidak dem mikian halnnya dengan kayu jati semakin kuat terlih konvensio onal, bahkann hingga peerbesaran 400x. Pada Gaambar 27 daan Gambar 28 disajikkan peneballan ulir yangg terjadi pada serat kayyu JUN, dibbandingkan dengan seerat kayu jatti konvensionnal pada um mur yang sam ma. a
c
b
G Gambar 27. Penebalan ulir u pada seraat kayu JUN N. (a) Kayu JJUN (80 x); (b) Kayu JUN (200 x); x (c) Serat kayu jati koonvensional pperbesaran 400 4 kali, tidak nampaak adanya peenebalan uliir.
78
Gambar 28. Penebalan ulir u pada seraat kayu JUN N. (a) Penebaalan ulir padaa kayu JUN (80 x)); (b) Penebaalan ulir padda kayu JUN (200 x); (c)) Serat kayu jati ko onvensional pperbesaran 200 2 kali.
nomena pennebalan ulir pada serat kayu JUN merupakan fenomena Fen yang mennarik dan peerlu dikaji leebih dalam. Syarat S ciri yyaitu adanyaa penebalan ulir padaa pembuluh dan ceruk aantar serat berhalaman b tidak ditem mukan pada kayu JUN N, juga jati konvensional. Jati meruupakan jeniss tumbuhan tropis dan subtropis, namun speesies jati aslli Indonesia adalah tumbbuhan tropiss, sehingga kemungkkinan penebaalan ulir padda serat ini tidak dimiliiki. Terdapaat beberapa kemungkkinan kenapaa struktur ini muncul. Kemungkinan K n pertama yaitu bahwa keberadaaan penebalaan ulir padda jati yang g merupakann ciri anatoomi untuk kebanyakkan kayu daerah beeriklim seddang menunnjukkan baahwa ada kemungkkinan pohon n induk JUN N yang beraasal dari India, Burma atau Indo China (N Nurdin & Sisw wamartana 22005).
79 Terdapat kontroversi mengenai asal jati yang ada di Indonesia. Untuk sementara, kontroversi ini terjawab dengan penelitian marker genetik menggunakan teknik isoenzyme yang dilakukan oleh Kertadikara pada tahun 1994. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jati yang tumbuh di Indonesia (Jawa) merupakan jenis asli. Jati ini telah mengalami mekanisme adaptasi khusus sesuai dengan keadaan iklim dan edaphis yang berkembang puluhan hingga ratusan ribu tahun sejak zaman quarternary dan pleistocene di asia Tenggara (Irwanto 2006). Hasil komunikasi pribadi dengan peneliti pada Teak Center Perum Perhutani (Aris Wibowo, 2010), induk JPP ada yang berasal dari luar Indonesia. Pada pengamatan awal terhadap kayu jati dewasa asal India dan Thailand, ciri ini tidak nampak dengan bentuk dan intensitas seperti pada JUN 5 tahun. Perlu pengamatan secara lebih mendalam karena terdapat keraguan apakah ciri yang nampak pada jati India dan Thailand tersebut bukanlah merupakan sobekan mulut noktah. Perlu juga dilihat struktur anatomi jati yang berasal dari Indo China dan Burma untuk membuktikannya. Sangat menarik untuk meneliti asal pohon JUN secara lebih mendalam. Kemungkinan kedua, struktur spiral pada serat tersebut memang adalah fenomena penebalan spiral yang sesungguhnya yang hanya muncul pada kayu JUN umur 5 tahun akibat reaksi terhadap kondisi lingkungan yaitu serangan mikroorganisme.
Lebih lanjut, dalam Butterfield and Meylan (1980)
disebutkan bahwa penebalan spiral merupakan lapisan lain dari dinding sel sekunder dan menunjukkan suatu upaya untuk melanjutkan pembentukan dinding sekunder pada saat sel tersebut akan mati. Penebalan dapat berbentuk sebuah spiral (ini yang terjadi pada JUN umur 5 tahun), atau beberapa seri spiral yang mengelilingi sel secara pararel. Salah satu klasifikasi penebalan spiral berdasarkan penonjolan penebalan, ada empat tipe yaitu pertama berupa alur-alur yang halus; kedua adalah penebalan spiral ringan yang terkadang menyatu dengan dinding sel; ketiga adalah penebalan spiral yang menonjol, serta yang keempat adalah penonjolan penebalan spiral yang sangat dekat. Penebalan spiral pada JUN mirip dengan tipe kedua, seperti yang ditunjukkan dengan hasil SEM pada serat kayu JUN pada Gambar 29.
80 Kemungkinan bahwa struktur tersebut merupakan sebuah penebalan spiral cukup rasional untuk kayu JUN. Melimpahnya makanan memungkinkan pohon untuk terus berupaya melakukan penebalan dinding sel karena sel-sel tersebut akan mati akibat serangan cendawan sehingga menyebabkan kayu melakukan reaksi dengan membuat tilosis yang mengakibatkan sel-sel kayu akan mati sebelum waktunya (dan mengalami proses perubahan menjadi teras sekunder). Batas pewarnaan yang terjadi pada JUN kira-kira pada riap tumbuh ketiga. Struktur penebalan ulir ini tampak sangat jelas pada riap tumbuh keempat dan kelima.
Gambar 29. Sebelah kiri: tipe penebalan spiral ringan yang terkadang menyatu dengan dinding sel pada Carpodetus serratus J.R. et G. Forst Suku Escalloniaceca perbesaran 1.500x (Butterfield & Meylan 1980); sebelah kanan: penebalan spiral (tanda panah) pada serat kayu JUN 5 tahun riap tumbuh keempat dan kelima (perbesaran 750x).
Jika penyebabnya adalah perlakuan silvikultur dan kondisi lingkungan, kemungkinan ini diperkuat dengan hasil analisa unsur kimia pada kayu JUN umur 5 tahun menggunakan EDX (Energy Dispersive X-ray Analyzer) SEM. Ditemukan
unsur Fluor/Fluoride pada kayu JUN namun tidak pada kayu jati konvensional (hasil analisis EDX SEM secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 14). Fluor merupakan gas coklat kekuningan (hal ini juga kemungkinan yang menyebabkan terjadinya pewarnaan coklat kuning keemasan pada JUN) dimana pada tubuh manusia konsentrasi terbesar terdapat dalam tulang dan gigi, salah satunya berfungsi untuk mencegah karies gigi. Fluor banyak
81 terdapat dan tersebar luas dalam alam. Fluor dibutuhkan dalam jumlah kecil, dalam konsentrasi yang lebih besar akan bersifat beracun. Kelebihan fluor akan menyebabkan bercak-bercak putih seperti kapur pada gigi, serta kelainan pada tulang dan sendi berupa tonjolan-tonjolan pada tulang panjang (exostosis). Penyebab keberadaan Fluor adalah dari air yang mengandung fluor atau nutrisi berupa fosfat (Asfar 2010). Jika memang keberadaan Fluor yang dimungkinkan sebagai bahan pembentuk penebalan tersier pada dinding sel akibat reaksi terhadap serangan mikroorganisme (lihat kembali tahapan kedua pembentukan kayu teras sekunder akibat adanya perlukaan pada pohon) menyebabkan timbulnya penebalan tersier pada serat kayu JUN dengan maksud untuk mempertahankan sel dari kematian, maka penebalan spiral pada serat kayu Tectona tetap bukan merupakan ciri diagnostik pada kayu jati khususnya JUN, yang berarti bukan hasil pewarisan genetik (meski disebutkan ada penebalan ulir pada pembuluh Verbenaceae), melainkan karena pengaruh kondisi lingkungan dan tindakan silvikultur yang muncul jika kondisi menunjang. Kemungkinan kedua inilah yang paling besar, dan hal ini memperkuat hasil penelitian pada marga Tectona secara umum (Soerianegara & Lemmens 1994; Metcalfe & Chalck 1983; dan Martawijaya et al. 2005). Sekali lagi perlu diteliti secara lebih mendalam apakah penyebab adanya penebalan ulir adalah akibat perlakuan silvikultur dan kondisi lingkungan (kemungkinan kedua) atau sifat yang diturunkan secara genetis (selain jati India dan Thailand), kemungkinan pertama, karena berbagai literatur sebelumnya tidak menunjukkan adanya penebalan spiral pada serat kayu marga Tectona. Namun tidak menutup kemungkinan perpaduan kedua hal tersebut, penyebab pohon JUN membentuk penebalan ulir adalah adanya bakat genetik yang muncul jika kondisi lingkungan mendukung. Kemungkinan ketiga bahwa serat dengan penebalan ulir tersebut merupakan sel trakeida pembuluh peluangnya relatif lebih kecil. Metcalfe and Chalck (1983) tidak menyebutkan bahwa ciri ini merupakan ciri diagnostik pada Suku Verbenaceae, juga pada pertelaan kayu jati secara umum (Soerianegara & Lemmens 1994; Martawijaya et al. 2005). Ciri sel trakeida pembuluh adalah kerapkali memiliki penebalan spiral, pada penampang lintang
82 menyeruppai pori seh hingga sulit dibedakan dari pembuuluh, dan no oktah pada dindingnyya berhalam man. Trakeidda pembuluuh sering dianggap ruaas dari sel pembuluhh yang tidak k sempurna pperkembangaannya (Panddit & Kurniaw wan 2008). Lebih lannjut, Metcalffe and Chalcck (1983) melaporkan m bbahwa sel inni memiliki peran yan ng lebih pennting dalam ppenyaluran air a dan munggkin sebagaii alat untuk menghubbungkan pem mbuluh secarra vertikal maupun m horissontal. Keterrsediaan air dan mak kanan yang g melimpahh pada JUN N membuaat pohon tiidak perlu beradaptaasi dengan membentuk sel trakeeid pembulluh untuk membantu menyalurrkan air. Selain penebalaan yang berbbentuk spirall, ternyata diijumpai jugaa penebalan yang berrbentuk cinccin pada kayyu JUN (G Gambar 30). Penebalan spiral dan cincin terrmasuk dalaam empat beentuk penebbalan sekundder pada dinnding serat (Sutrian 2004). 2 Ternyyata terjadinnya penebalaan sekunder hanya terjad di pada selsel tertenntu seperti seel pembuluhh dan sel serrat/trakeid. Penebalan P tiidak terjadi menyelurruh pada diinding sel, melainkan hanya setem mpat-setemppat, seperti yang terllihat pada Gambar G 31. Pada Gambbar 32 disajiikan contoh penebalan bentuk sppiral dan cin ncin pada Illlex cinera dan d Ilex chiinensis (Wheeeler et al. 1989).
Gambar G 30. Penebalan sekunder beerbentuk cinncin pada seerat kayu JU UN (panah putih) tam mpak jelas bberbeda bilaa dibandinggkan sekat pada serat (tanda panah hitam).
83
Gambar 31. Berbagai bentuk penebalan setempat pada dinding serat/trakea (Sutrian 2004)
Gambar 32. Penebalan ulir pada jaringan serat dasar Illex cinera dan Ilex chinensis perbesaran 850 kali (Wheeler et al. 1989). 4. Hilangnya parenkim pita marginal pada kayu JUN. Keberadaan parenkim pita marginal merupakan salah satu ciri yang khas pada jati (Soerianegara & Lemmen, 1994; Martawijaya et al. 2004). Parenkim ini yang mempertegas keberadaan batas lingkar tumbuh pada kayu jati. Pada Gambar 32 disajikan parenkim pita marginal pada jati berumur tua.
84
Gambar 33. Parenkim pita marginal pada kayu jati (tanda panah) Bandingkan dengan Gambar 13 dan 25, tampak bahwa kayu jati konvensional memiliki parenkim pita marginal yang lebar, namun tidak demikian pada kayu JUN. Sebagai pohon yang pertumbuhannya dipercepat, tentunya akan berdampak pada keadaan sel-sel parenkim yang salah satunya berfungsi sebagai penyimpan makanan. Sangat menarik untuk dipelajari faktor apakah yang menyebabkan keberadaan parenkim ini menjadi lebih sedikit pada kayu JUN, karena pada parenkim paratrakea (parenkim yang menyelubungi sel pembuluh), kayu JUN cenderung memiliki parenkim paratrakea jarang, sedangkan kayu jati konvensional parenkimnya hingga berbentuk selubung (vaskisentrik). Ukuran dan bentuk sel parenkim perlu diteliti lebih mendalam. Kemungkinan dapat diduga bahwa seluruh persediaan makanan digunakan untuk tumbuh sehingga kebutuhan tempat untuk menyimpan cadangan makanan berkurang. Hal ini menguatkan pendapat bahwa sedikit fotosintat yang tersisa sehingga pohon JUN akan menunda pembentukan kayu teras.
85 Struktur Ultramikroskopik Kayu Sudut Mikrofibril
Mikrofibril adalah komponen terkecil pada struktur dinding sel dengan diameter sekitar 3-4 nm dan terdiri atas kelompok molekul selulosa (protofibril) yang diselimuti oleh lembaran-lembaran hemiselulosa. Sedangkan sudut mikrofibril (MFA) adalah arah kemiringan mikrofibril selulosa pada dinding sekunder dengan sumbu panjang serat atau trakeid, Gambar 34 (Barnett & Bonham 2004, Stuart & Evans 1994). Besar MFA berkisar antara 5-34° pada Angiosperma (Barnett & Bonham 2004). Gambar 34. Mikrofibril pada satu individu sel serat (Gambar oleh Barnett & Bonham 2004).
Mikrofibril
Noktah pada dinding serat
Data hasil pengukuran MFA menggunakan metode difraksi sinar X dan mikroskop cahaya disajikan pada Tabel 12. Banyak teknik yang telah digunakan untuk mengukur besar MFA, antara lain menggunakan mikroskop polarisasi, mikroskop cahaya (berdasarkan kemiringan mulut noktah serta retak atau sobekan pada dinding sel yang umumnya mengikuti arah kemiringan mikrofibril), infiltrasi yodium, NIR (Near Infrared Spectroscopy), dan lain-lain, namun yang paling banyak digunakan dan hasilnya paling akurat saat ini adalah menggunakan difraksi sinar X (Barnett & Bonham 2004). Meskipun pengukuran MFA berdasarkan perpanjangan mulut noktah menggunakan mikroskop cahaya adalah metode yang paling sederhana, namun memiliki kelemahan yaitu kurang efektif karena lama mengukurnya, dan kurang konsisten karena arah mulut noktah pada
86 satu individu sel serat bisa berbeda (hasil review oleh Barnett & Bonham 2004), selain itu, hasilnya diragukan jika yang diukur adalah kayu-kayu dengan ceruk atau noktah sederhana dan bentuknya bulat. Tabel 12. Data rata-rata sudut mikrofibril kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 5 tahun Sudut Mikro Fibril
Jenis Kayu Jati/Riap Tumbuh KAYU AWAL
JUN 5 TH
JATI LOKAL 5 TH
1 2 3 4
x ray 18,48 23,28 22,26 22,62
mikroskop cahaya 25,77 20,40 28,66 28,44
x ray 30,54 19,74 29,94 20,28
mikroskop cahaya 23,63 26,30 30,92 26,78
5
24,87
22,30
20,28
26,94
22,30
25,11
24,16
26,91
1 2
20,22 21,00
29,64 22,95
28,92 24,00
24,35 31,16
3 4 5
18,07 15,89 22,18
29,22 31,02 24,67
21,72 28,26 29,22
33,77 26,78 18,31
19,47
27,50
26,42
26,87
rata-rata KAYU AKHIR
rata-rata
Pada penelitian ini, nilai sudut mikrofibril yang digunakan terutama untuk kayu JUN adalah berdasarkan penghitungan menggunakan difraksi sinar X/ XRD (kurva difraksi secara lengkap disajikan pada Lampiran 12). Serat kayu jati memiliki ceruk atau noktah sederhana hingga berhalaman sangat sempit, namun pada JUN, kemungkinan akibat pertumbuhannya yang dipercepat, noktah sederhana dengan bentuk oval pada jati konvensional menjadi noktah sederhana yang berbentuk bulat (Gambar 34). Perbedaan ini menyebabkan hasil pengukuran MFA JUN menggunakan mikroskop cahaya berdasarkan kemiringan mulut noktah menjadi tidak konsisten, subyektif, dan berbeda hasilnya pada noktah lain yang terdapat pada serat tersebut walaupun letaknya berdekatan. Berbeda dengan pengukuran MFA jati konvensional yang lebih mudah karena bentuk noktahnya oval sehingga kemiringan perpanjangan mulut noktah dapat ditentukan secara mudah, dan lebih konsisten dengan nilai yang lebih seragam pada satu individu serat yang sama. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa
87 h hasil pengukkuran MFA A pada JUN N menggunaakan dua meetode yaitu XRD dan m mikroskop cahaya c dengaan mendasarrkan pada peerpanjangan mulut noktaah, nilainya MFA pada jati konvensional, dan b berbeda, lain n halnya dengan hasil pengukuran p i didukungg oleh hasil analisis ini a statistik (Lampirran 11).
G Gambar 35. Ceruk jati konvensional k l berbentuk oval o pada jatti konvensionnal(1.000x) serta ceruk kayu JUN berrbentuk bulaat (750x).
88 Rata-rata MFA JUN 22,09° dan MFA kayu jati konvensional 25,29°. Hasil uji statistik menunjukkan MFA kedua kayu tersebut berbeda dimana MFA JUN lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional (Lampiran 11). Kisaran MFA kayu JUN adalah 22,30° untuk kayu awal, dan menurun pada bagian kayu akhir, yaitu sebesar 19,47°. Sedangkan MFA kayu jati konvensional sebesar 24,16° untuk kayu awal dan menjadi lebih besar pada kayu akhir yaitu 26,42°. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Krisdianto (2008) yang melakukan pengukuran
menggunakan
mikroskop
cahaya
pada
jati
unggul
yang
dikembangkan dari kultur jaringan dengan jati konvensional yang sama-sama berumur 7 tahun, dimana MFA kayu jati super adalah 23,29°, lebih besar dibandingkan kayu jati konvensional sebesar 22,05°. Penjelasan atas hasil penelitian tersebut oleh penulisnya disebutkan sebagai akibat faktor genetik karena kondisi lingkungan dianggap sama. Herman et al. (1999) dalam Barnett and Bonham (2004) menyebutkan bahwa kayu-kayu cepat tumbuh dengan lebar riap tumbuh yang besar akan menghasilkan kayu dengan MFA lebih besar. Ini menunjukkan hubungan bahwa kecepatan tumbuh yang besar akan menghasilkan sel-sel yang lebih pendek sehingga MFA menjadi lebih besar, dimana menurut Pandit (2006), panjang sel berkorelasi negatif dengan MFA. Walaupun kayu JUN memiliki kecepatan tumbuh lebih besar, namun karena serat kayu JUN lebih panjang (dimana sifat ini muncul karena diwariskan atau karena dikembangkan dari stek pucuk sehingga JUN muda langsung memiliki struktur serat seperti jati dewasa) menyebabkan nilai MFA JUN menjadi lebih kecil. Selain itu, slenderness ratio atau derajat kelangsingan kayu JUN yaitu sebesar 41,46 lebih tinggi dibandingkan kayu jati konvensional sebesar 32,05 dimana secara statistik hasilnya berbeda (Lampiran 8). Sama seperti faktor panjang serat, derajat kelangsingan ini juga berkorelasi negatif dengan MFA. Namun pola yang berbeda ditunjukkan oleh Wahyudi (2000) dimana laju pertumbuhan tidak berpengaruh pada besarnya MFA, demikian juga halnya dengan perlakuan pemupukan. Lebih kecilnya nilai MFA JUN dibandingkan kayu jati konvensional memberikan hasil yang berbeda terhadap hipotesis yang telah dibuat diawal. Kenyataan ini sejalan dengan Donaldson (1996) dalam Barnett and
89 Bonham (2004) yang memperoleh nilai MFA yang lebih kecil pada pohon muda yang berasal dari stek pucuk yang diproduksi dari pohon yang sudah dewasa, dibandingkan pada pohon muda dari jenis yang sama yang dikembangkan dari biji sebagai kontrol. Hal ini cukup menjelaskan kenapa MFA JUN lebih kecil yaitu karena penggunaan stek pucuk menyebabkan sifat JUN muda mencerminkan sifat kayu jati dewasa (lihat kembali pembahasan pada sifat bau, panjang serat, dan proporsi kayu muda pada JUN). Bendtsen and Senft (1986) dalam Barnett and Jeronimidis (2003) menyebutkan bahwa sudut mikrofibril selulosa pada dinding S2 merupakan faktor penentu sifat mekanis kayu. Dalam Rowell (2005), mikrofibril diibaratkan sebagai palang-palang baja untuk memperkuat struktur beton. Orientasi unit struktural selulosa pada serat ini berpengaruh pada sifat fisis dan mekanis serat terutama kerapatan, kekuatan tarik, kekakuan, dan kembang susut. Perubahan kecil pada derajat sudut mikrofibril menghasilkan perubahan sifat serat (Stuart & Evans 1994). Sifat utama kayu yang dipengaruhi oleh besar MFA adalah penyusutan arah longitudinal, dimana penyusutan arah longitudinal ini akan meningkat seiring dengan pertambahan MFA, namun memiliki hubungan yang tidak linier (Barnett & Jeronimidis 2003). Demikian juga dengan nilai MOE, semakin besar sudut mikrofibril, nilai MOE akan semakin kecil sehingga kayu hanya cocok untuk penggunaan-penggunaan bernilai rendah. Standar yang menunjukkan berapa nilai MFA minimal yang dipersyaratkan agar kayu bisa dijadikan sebagai bahan konstruksi hingga saat ini belum ada. Walaupun nilai MFA cenderung memberikan pengaruh terhadap susut longitudinal, MFA JUN yang lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang sama kemungkinan besar akan menyebabkan kembang susut (rasio T/R) kayu JUN juga lebih kecil dan kayu lebih stabil (dibuktikan dengan hasil penelitian sifat fisis) sehingga akan lebih menguntungkan saat akan dibuat untuk venir, furnitur, dan produk-produk lainnya; kekuatan tarik dan kekakuan lebih tinggi, serta arah serat lebih lurus (dapat diamati pada bidang longitudinal kayu JUN), sehingga konsekuensinya, energi yang dipergunakan untuk mengolah kayu ini lebih sedikit karena lebih mudah untuk dikerjakan.
90 Struktur dinding sel serat atau trakeid pada pohon didesain agar batang dan cabang mampu menahan tekanan baik dari luar maupun dari dalam, seperti berat batang pohon, berat tajuk, serta tekanan-tekanan dari luar seperti angin dan gaya grafitasi. Sudut mikrofibril yang besar pada pohon-pohon muda atau semai dibutuhkan agar pohon lebih fleksibel dan mudah membengkok tanpa menjadi patah saat terkena angin. Kayu yang dibentuk pada awal-awal pertumbuhan dengan sudut mikrofibril yang besar ini merujuk pada sifat-sifat kayu muda (Barnett & Bonham 2004). Nilai sudut mikrofibril yang besar pada daerah kayu muda menyebabkan bagian tersebut menjadi lemah dengan nilai MOE yang kecil dan kurang stabil. Namun saat pohon membesar, batangnya akan menjadi lebih kaku untuk menunjang penambahan berat pada batang dan tajuk, dan nilai MFA yang lebih kecil pada kayu bagian luar memungkinkan pohon melakukan hal tersebut (Barnett & Jeronimidis, 2003; Barnett & Bonham 2004). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara alami pohon akan membentuk kayu dengan MFA yang lebih besar pada awal-awal pertumbuhan. Baik JUN maupun jati konvensional umurnya masih sama-sama muda, terlebih ditunjang dengan hasil penelitian kandungan kayu muda yang masih 100%. Selain karena dikembangkan dari stek pucuk, kemungkinan lain yang menyebabkan nilai MFA JUN lebih kecil dibandingkan jati konvensional diduga karena pertumbuhan batangnya yang lebih cepat membesar dengan bentuk tajuk yang lebar sehingga JUN harus beradaptasi dengan membentuk sudut mikrofibril yang kecil. Lebih kecilnya nilai MFA JUN karena berasal dari stek pucuk, serta adaptasi yang dilakukan terhadap pesatnya pertumbuhan dengan membentuk MFA kecil ini tidak akan berhasil jika pohon tidak didukung dengan pondasi yang kokoh. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki kayu jati unggul adalah tumbuh miring atau cepat roboh begitu pohon mulai membesar, namun ternyata tidak demikian dengan kayu JUN. Adanya bentuk perakaran tunjang majemuk yang dimiliki JUN memungkinkan pohon dapat membuat kekakuan dengan membentuk sudut mikrofibril yang kecil namun tidak membahayakan pohon tersebut saat terkena tekanan dari dalam dan luar, dimana struktur seperti ini tidak dimiliki oleh kayu jati konvensional ataupun kayu jati unggul lainnya (Gambar 36).
91
Gambar 36. Bentuk perakaran tunggang pada jati yang tumbuh dari biji, perakaran serabut dari stek pucuk dan kultur jaringan, serta perakaran tunjang majemuk pada JUN.
Nilai MFA yang kecil merupakan salah satu parameter yang dipilih dalam upaya pemuliaan pohon, tujuannya yaitu untuk mengurangi proporsi kayu muda yang memiliki MFA besar, agar sifat kayu menjadi lebih baik dan secara ekonomis nilainya meningkat. Namun karena kebutuhan akan kayu sangat besar, hal ini menjadi masalah karena saat ini kita banyak menggunakan kayu-kayu cepat tumbuh dari tegakan rotasi pendek (Barnett & Bonham 2004). Kita bisa melakukan upaya untuk memperkecil MFA, namun dengan catatan usaha tersebut tidak membahayakan pohon. Salah satu cara yang cukup berhasil pada JUN adalah dengan memodifikasi akarnya menjadi akar tunjang majemuk.
Derajat Kristalinitas dan Dimensi Kristalin Kayu
Struktur kimia kayu tersusun atas selulosa, lignin dan hemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matrik, dan lignin sebagai bahan pengikat sel-sel serta memberikan kekakuan kepada dinding sel. Selulosa adalah
92 komponen utama dinding sel. Molekul selulosa dibentuk oleh ± 10.000 monomer glukosa yang diikat dengan ikatan 1,4-β-glukosida. Setiap monomer glukosa memiliki tiga gugus hidroksil (–OH). Sebanyak 36 molekul selulosa terikat bersama-sama oleh ikatan hidrogen membentuk seberkas fibril elementer. Fibril elementer bergabung membentuk mikrofibril, kemudian mikrofibril bergabung membentuk fibril dan akhirnya membentuk serat-serat selulosa. Penyusunan seratserat selulosa menghasilkan daerah kristalin (bila molekul selulosa tersusun teratur) dan amorf (bila tidak teratur). Derajat kristalinitas merupakan proporsi daerah kristalin dengan total daerah kristalin dan daerah amorf pada selulosa dinding sel kayu. Semakin tinggi derajat kristalinitas, maka kayu akan semakin kaku dan kuat (Rowell 005). Perbandingan daerah kristalin dengan daerah amorf dari selulosa sangat bervariasi yaitu antara 50 – 70 % (Sanjaya 2001). Daerah kristalin merupakan daerah yang padat tanpa suatu ruang kosong (Pereira et al. 2003). Pada Gambar 37 disajikan ilustrasi penyusunan serat-serat selulosa.
Gambar 37. Rantai-rantai selulosa membentuk daerah kristalin dan amorf dalam matriks hemiselulosa dan lignin. Diameter daerah kristalin adalah sekitar 2,5-3,6 nm (dapat juga menunjukkan diameter mikrofibril) dan panjang 30 nm. Unit selulosa pararel dengan kisi vektor c (Lc) dan tegak lurus dengan kisi vektor a (La) (Andersson 2006).
Hasil pengukuran derajat kristalinitas menggunakan XRD menunjukkan bahwa derajat kristalinitas kayu JUN lebih besar yaitu 43,89% dibandingkan kayu jati konvensional sebesar 40,32%. Pada Gambar 38 ditunjukkan grafik hasil pengukuran derajat kristalinitas kayu.
93 K Kayu JUN
K Kayu Jati Koonvensional
G Gambar 38. Kurva pengghitungan derrajat kristalinitas kayu menggunakann XRD
94 Dimensi kristalin (tebal/diameter serta panjang kristalin) serta jarak antar rantai selulosa/fibril elementer pada arah tebal, disajikan pada Gambar 39 (hasil perhitungan secara lengkap untuk setiap riap tumbuh disajikan pada Lampiran 13). Hasil uji t menunjukkan bahwa jarak antar fibril elementer JUN (0,3913 nm) lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional (0,3938 nm), demikian juga untuk tebal/diameter dan panjang kristalin. Dimensi tebal/diameter wilayah kristalin (La) JUN 5,9 nm, lebih kecil dibandingkan jati konvensional, dan panjang wilayah kristalin (Lc) JUN 17,78 nm, lebih pendek dibandingkan kayu jati konvensional 23,88 nm. Hasil ini sejalan dengan Andersson (2006) dimana perlakuan irigasi dan pemupukan dapat menurunkan dimensi kristalin kayu pada jenis yang sama.
Dimensi kristalin (nm)
Dimensi kristalin 30 25 20 15 10 5 0
Jarak antar rantai selulosa (nm)
Tebal kristalin (nm)
Panjang kristalin (nm)
JUN
0,3913
5,9004
17,8919
Jati Konvensional
0,3938
6,3567
23,8792
Gambar 39. Dimensi kristalin kayu JUN dan kayu jati konvensional
Lebih kecilnya ukuran kristal ini kemungkinan yang menyebabkan susunan molekul selulosa pada JUN menjadi lebih teratur dan lebih padat, yang ditunjukkan oleh derajat kristalinitas JUN yang lebih tinggi (terutama jika bentuk mikrofibril adalah berupa tabung). Saranpaa (2003) menyebutkan bahwa kerapatan dinding sel kayu akan meningkat jika kandungan selulosa dan derajat kristalinitas meningkat. Derajat kristalinitas JUN yang lebih tinggi kemungkinan akan menyebabkan kerapatan dinding sel kayu JUN lebih tinggi dibandingkan jati konvensional jika materi selulosa JUN lebih tinggi. Dalam penelitian ini,
95 kandungan selulosa tidak dihitung, namun hasil penelitian struktur mikro pada tebal dinding sel serat kayu JUN yang lebih tipis dibandingkan tebal dinding serat kayu jati konvensional akan menyebabkan berat jenis kayu JUN lebih kecil. Hal ini dibuktikan pada penelitian sifat fisik kayu yang menunjukkan bahwa berat jenis kayu JUN lebih kecil dibandingkan berat jenis kayu jati konvensional. Namun untuk memastikan dampak nilai derajat kristalinitas terhadap kerapatan dinding sel dan berat jenis, perlu dihitung kandungan selulosa pada kedua kayu. Sifat Dasar (Fisis, Mekanis, Kimia dan Keawetan Alami)
Sifat Fisis dan Mekanis
Sifat fisis yang diteliti adalah penyusutan, rasio T/R, kerapatan (termasuk berat jenis), dan kadar air, sedangkan sifat mekanis yang diteliti adalah kekerasan. Data dan pola hasil pengukuran dan penghitungan sifat-sifat tersebut disajikan
Penyusutan (%)
pada Gambar 40 hingga Gambar 44. 5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
R
T
R
Bsh ‐ KU
T Bsh ‐ KO
P E N Y U S U T A N (%) JUN
0,70
1,62
1,59
3,29
Jati konvensional
1,88
3,03
2,77
4,43
Gambar 40. Data rata-rata penyusutan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun Rata-rata penyusutan kayu JUN lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional, walaupun secara statistik, nilai penyusutan dari basah ke kondisi kering udara serta basah ke kering oven pada kayu JUN tidak berbeda, kecuali pada penyusutan basah ke kering udara pada arah tangensial (Lampiran 14). Nilai penyusutan hingga kering tanur pada arah radial maupun tangensial kayu jati
96 dewasa 2,8% untuk penyusutan R dan 5,2% untuk penyusutan arah T (Martawijaya et al. 2005). Sifat penyusutan yang lebih baik pada JUN kemungkinan disebabkan karena sudut mikrofibril kayu JUN yang lebih kecil (walaupun tidak berpengaruh secara langsung karena MFA lebih besar pengaruhnya pada susut longitudinal) serta derajat kristalinitas yang lebih tinggi. Nilai lebar sel jari-jari JUN yang lebih tinggi (walaupun secara statistik tidak berbeda) juga turut menyebabkan susut arah radial lebih rendah. Perubahan dimensi pada arah sejajar dan tegaklurus serat dapat ditelusuri dari penataan ikatan mikrofibril pada dinding sel. Saat air ditambahkan atau dikeluarkan dari dinding sel, sumbu mikrofibril akan berpindah dari posisi normalnya. Karena porsi terbesar dari dinding sel adalah lapisan-lapisan mikrofibril dengan sudut yang kecil terhadap sumbu panjang sel, secara prinsipal komponen perubahan dimensi dipengaruhi oleh sudut sebelah kanan sumbu panjang sel yaitu MFA (Panshin et al. 1964).
rasio T/R 2,5 2 1,5 1 0,5 0 rasio T/R
JUN
Jati Konv
2,34
1,68
Gambar 41. Data rata-rata T/R rasio kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun Rasio T/R untuk penyusutan dari basah ke kering udara pada JUN (2,34) lebih besar dibandingkan kayu jati konvensional (1,68), secara statistik nilai ini tidak berbeda (Lampiran 14). Nilai rasio T/R jati dewasa sekitar 1,8 (Martawijaya et al. 2005). Tingginya nilai rasio T/R kayu JUN menunjukkan susut arah radial
pada JUN sangat kecil, ini kemungkinan dipengaruhi oleh tahanan jari-jari pada JUN lebih besar (walau secara statistik tidak nyata) serta berat jenis JUN yang lebih kecil (Gambar 42). Karena pertumbuhan yang berlangsung sepanjang tahun, kemungkinan seluruh sel kayu JUN bersifat seperti kayu awal yang berdinding tipis dengan persentase dinding S2 yang relatif kecil sehingga perubahan dimensi
97 lebih dipengaruhi lapisan S1 dan S3 yang memiliki MFA kecil dimana MFA S2 JUN juga lebih kecil dibandingkan MFA jati konvensional. Perubahan dimensi ke arah radial merupakan akumulasi dari perubahan yang kecil dari sel-sel yang bersifat kayu awal tadi, ditambah adanya tahanan jari-jari sehingga total perubahan dimensi arah radial menjadi sangat kecil. Penyusutan radial yang berupa pecahan desimal berposisi sebagai penyebut terhadap penyusutan tangensial pada penentuan rasio T/R, menyebabkan nilai rasio T/R menjadi sangat
Kerapatan (g/cm3)
besar (melebihi 2), seperti yang umum terdapat kayu (Panshin et al. 1964).
1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00
Bb/Vb
Bo/Vku
Bo/Vb
Bku/Vku
Bko/Vko
Kerapatan JUN
0,95
0,48
0,47
0,52
0,48
Jati konvensional
0,75
0,55
0,52
0,60
0,56
Gambar 42. Data rata-rata kerapatan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun Kerapatan kayu JUN berkisar antara 0,47-0,95 g/cm3, sedangkan kerapatan jati konvensional antara 0,52-0,75 g/cm3. Nilai berat jenis dasar (pada kondisi berat kering oven dan volume basah) JUN adalah 0,47 dan jati konvensional 0,52. Pada aplikasi, nilai berat jenis yang digunakan adalah berat jenis dalam kondisi kering udara. Dari Gambar 42, berat jenis (BJ) kering udara kayu JUN adalah 0,48 dan kayu jati konvensional 0,55; lebih kecil dibandingkan BJ jati dewasa yaitu sebesar 0,67. Nilai berat jenis JUN yang lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional (Lampiran 14) telah dibuktikan sebelumnya yaitu karena derajat kristalinitas JUN lebih besar dan dinding selnya lebih tipis. Meskipun kandungan selulosa tidak diteliti, kondisi derajat kristalinitas JUN yang lebih tinggi namun BJ lebih
kecil
menunjukkan
bahwa
kandungan
selulosa
JUN
lebih
98 kecil, dan hal ini menyebabkan penyusutan JUN lebih kecil dan kadar air JUN lebih besar (Gambar 40 dan Gambar 42). Dengan berat jenis 0,48 dan 0,55, maka kayu JUN maupun kayu jati konvensional memiliki kelas kuat III (Seng 1990).
160,00 140,00 Kadar Air (%)
120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00
Basah
Min
Max
JUN
101,34
113,01
148,01
Jati konvensional
42,64
94,48
129,48
Gambar 43. Data rata-rata kadar air kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun
Kekerasan Kayu Kekerasan (kg/cm2)
250 200 150 100 50 0
Kekerasan Sisi
Kekerasan Ujung
JUN
112
182
Jati Konv
174
226
Gambar 44. Data rata-rata kekerasan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun Sesuai dengan penelitian terhadap struktur makro, kayu JUN lebih lunak dibandingkan kayu jati konvensional, baik bagian sisi maupun bagian ujung. Hasil penelitian menggunakan metode Janka, secara kuantitatif nilai kekerasan sisi
99 maupun kekerasan ujung kayu JUN lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional, dan secara statistik pun berbeda (Lampiran 15). Nilai kekerasan kayu JUN yang lebih kecil dibandingkan kayu jati konvensional disebabkan karena kondisi parenkim jari-jari yang lebih lebar dan lebih tinggi, serta dimensi sel pembuluh yang lebih lebar menyebabkan kayunya menjadi lebih lunak, selain itu meskipun secara statistik tidak berbeda, namun tebal dinding serat kayu JUN yang sedikit lebih tipis juga dipastikan berpengaruh pada sifat ini. Nilai kekerasan kedua kayu jauh lebih kecil dibandingkan kekerasan kayu jati dewasa yang mencapai 414 kg cm-2 pada kekerasan ujung, dan 428 kg cm-2 pada kekerasan sisi, kemungkinan karena kedua kayu yang diteliti masih muda. Sebelum pengolahan selanjutnya untuk menjadi venir dan furnitur, dolok kayu dikeringudarakan dulu selama tiga bulan dalam ruangan dengan kelembapan udara rata-rata 77% dan suhu rata-rata 28 °C. Selanjutnya dipotong menjadi sortimen dengan berbagai ukuran. Pada saat dikeluarkan dari gudang penyimpanan, bagian ujung dolok kayu JUN ada yang retak, sedangkan pada kayu jati konvensional terjadi belah memanjang searah serat (Gambar 45 sampai Gambar 47). Belah pada kayu JUN baru terjadi setelah kayu dipotong menjadi sortimen kayu gergajian, itupun pada JUN umur 4 tahun (Gambar 48).
Gambar 45. Keadaan dolok kayu bundar JUN umur 5 tahun setelah dikeringudarakan selama 3 bulan. Tampak ada retak di bagian ujung bontos (tanda panah).
100
Gambar 46. Keadaan dolok kayu bundar JUN umur 4 tahun setelah dikeringudarakan selama 3 bulan. Tampak ada retak di bagian ujung bontos (tanda panah)
Gambar 47. Belah sepanjang serat pada dolok kayu jati konvensional setelah dikeringudarakan selama 3 bulan (tanda panah)
101 Sesuai dengan hasil penelitian pada sifat fisisnya, kayu JUN memiliki stabilitas dimensi yang lebih baik. Walaupun KA basah lebih tinggi dan ukuran sortimen yang lebih besar, namun dinding sel yang lebih tipis dan derajat kristalinitas yang lebih besar menyebabkan kayu JUN memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang sama, sehingga pada saat dikeringkan secara alami, kerusakan yang terjadi juga lebih kecil. Umur juga berpengaruh pada sifat ini. Kayu JUN umur 5 tahun lebih stabil dibandingkan kayu JUN umur 4 tahun. Pada Gambar 48 disajikan kondisi sortimen setelah digergaji. Ukuran sortimen kayu gergajian disajikan pada Lampiran 7. JUN 5 th pangkal
JUN 5 th pangkal
JUN 5 th ujung & JUN 4 th pangkal
JUN 4 th ujung
JUN 4 th ujung
JUN 4 th pangkal
Gambar 48. Sortimen gergajian kayu JUN umur 5 dan 4 tahun (dolok A dan D). Tampak ada belah pada sortimen 4A (tanda panah). Inzert ditunjukkan retak pada bagian ujung kayu JUN umur 5 dan 4 tahun.
102 Untuk pengamatan perubahan bentuk akibat cuaca, tidak seluruh sortimen kayu JUN digunakan untuk pembuatan produk. Sortimen yang disisakan berupa kayu gergajian dan lempengan kemudian disimpan dalam ruangan dengan temperatur rata-rata 26°C dan kelembapan 81%. Setelah disimpan selama 3 bulan, ternyata ada kerusakan berupa retak pada bagian ujung dan perubahan bentuk, kecuali sortimen kayu JUN umur 5 tahun bagian pangkal yang tetap stabil. Perubahan bentuk terjadi pada kayu JUN umur 4 tahun bagian ujung. Bentuk kerusakan tersebut ditunjukkan pada Gambar 49 hingga Gambar 51. Diharapkan, pengamatan perubahan bentuk akibat cuaca dapat dilanjutkan.
Gambar 49. Retak pada ujung sortimen JUN umur 5 tahun bagian ujung
Gambar 50. Perubahan bentuk membusur pada sortimen JUN umur 4 tahun bagian ujung
Gambar 51. Retak pada ujung sortimen JUN umur 4 tahun bagian ujung
103
Sifat Kimia
Data hasil penghitungan kadar ekstraktif yang larut dalam etanol benzena untuk kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun disajikan pada Gambar 52. Pada Gambar 53 ditunjukkan perbedaan warna zat ekstraktif yang dihasilkan.
Kandungan ekstraktif
%
3 2,9 2,8 2,7 2,6 2,5 2,4 2,3
A
B
C
D
E
F
G
Kandungan ekstraktif 2,67 2,79 2,73 2,95 2,53 2,66 2,59
H 2,9
Keterangan: A. B.
JUN 4A gubal JUN 4A peralihan teras sekunder-gubal
E. F.
JUN 5A gubal JUN 5A peralihan teras sekunder-gubal
C. D.
JUN 4A teras sekunder Jati lokal 4 th
G. H.
JUN 5A teras sekunder Jati lokal 5 th
Gambar 52. Kadar ekstraktif untuk kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun Kandungan ekstraktif larut alkohol benzena pada JUN lebih rendah dibandingkan kayu jati konvensional umur sama, dan secara statistik nilainya berbeda (Lampiran 16). Kadar ekstraktif kayu umur 5 tahun juga lebih rendah dibandingkan kayu umur 4 tahun. Kandungan zat ekstraktif lebih tinggi di bagian tengah (batas antara pewarnaan yang terjadi dengan kayu bagian luar).
104
A
B
C
E
D
F
G
H
Keterangan: A. B.
JUN 4A gubal JUN 4A peralihan teras sekunder-gubal
E. F.
JUN 5A gubal JUN 5A peralihan teras sekunder-gubal
C. D.
JUN 4A teras sekunder Jati lokal 4 th
G. H.
JUN 5A teras sekunder Jati lokal 5 th
Gambar 53. Perbedaan warna zat ekstraktif alkohol benzena pada kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun.
Dari Gambar 52 dan 53 dapat dilihat bahwa meskipun kadar zat ekstraktif kayu JUN lebih rendah dibandingkan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun, namun ekstraktif kayu JUN lebih pekat. Ini kemungkinan disebabkan karena telah terjadi
pewarnaan
pada
kayu
JUN
akibat
respon
terhadap
serangan
mikroorganisme (proses menuju kayu teras sekunder) yang tidak terjadi pada kayu jati konvensional. Hipotesa bahwa komponen kimia kayu terutama zat ekstraktif yang larut alkohol benzena sebagai penentu keawetan, bau dan warna kayu dimana kadar ekstraktif dan komponen kimia kayu JUN kurang lebih sama dibandingkan kayu jati konvensional pada umur yang sama terbukti, dan nilainya kurang lebih setengah dari kadar ekstraktif kayu jati dewasa yang diduga merupakan indikasi kayu teras primer belum terjadi atau sedang dalam proses pembentukan kayu teras sesungguhnya. Kadar zat ekstraktif yang terbentuk belum pada taraf yang mematikan sel-sel kayu. Sedangkan
hasil
analisis
kandungan
kimia
menggunakan
GCMS
menunjukkan bahwa zat ekstraktif tectoquinon sebagai penentu keawetan kayu sudah terbentuk pada kedua kayu walaupun konsentrasi relatifnya pada jati konvensional lebih tinggi.
105
Keawetan Kayu
Data keawetan alami (meliputi pengurangan berat, derajat serangan dan jumlah rayap hidup) kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen.) disajikan pada Gambar 54. Secara statistik, pengurangan berat kayu JUN dan kayu jati konvensional tidak berbeda, namun bila dilihat, pengurangan berat kayu JUN nilainya lebih tinggi dibandingkan kayu jati konvensional, demikian juga untuk prosentase rayap hidup (Lampiran 17). Sedangkan uji statistik menunjukkan derajat serangan yang terjadi berbeda, dimana derajat serangan pada JUN lebih kecil. Dari data tersebut dapat diklasifikasikan kelas awet (keawetan alami) kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun terhadap serangan rayap tanah (C. curvignathus).
Data pengumpanan rayap tanah 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
PENGURANGAN BERAT (%)
DERAJAT SERANGAN
JUMLAH RAYAP HIDUP (ekor)
JUN
14,04
66,5
62,6
Jati konvensional
10,99
78
55,6
Gambar 54. Persentase pengurangan berat, derajat serangan dan jumlah rayap hidup kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun setelah pengumpanan terhadap rayap tanah.
Klasifikasi keawetan kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun berdasarkan interval kehilangan berat dan persentase rayap hidup disajikan pada Tabel 13. Derajat serangan berkisar pada angka 70 yang berarti kondisi serangan sedang, masuk, namun belum meluas.
106 Tabel 13. Kelas awet kayu JUN dan kayu jati konvensional umur 4 dan 5 tahun KETAHANAN
JUMLAH RAYAP HIDUP (ekor)
KETAHANAN
KELAS AWET
14,04
IV
62,6
IV
IV
10,99
IV
55,6
IV
IV
PENGURANGAN BERAT (%)
JUN Jati konvensional
SAMPEL
Hasil penelitian Sumarni dan Muslich (2008) terhadap kayu jati cepat tumbuh dari PT. Monfori dan jati lokal milik masyarakat umur 5 tahun pada tempat tumbuh yang berdekatan semuanya memiliki kelas awet V. Pada penelitian ini, kelas awet kayu jati yang diteliti termasuk kelas IV. Kelas awet kayu JUN dan jati konvensional asal Jawa Tengah umur 4 dan 5 tahun ini relatif lebih baik dibandingkan kayu jati cepat tumbuh dan kayu jati konvensional umur 5 tahun yang ditanam di Kabupaten Singaraja, Propinsi Palembang tersebut. Panshin et al. (1964) menyatakan bahwa daerah ketahanan kayu paling tinggi adalah pada peralihan antara kayu gubal dan kayu teras. Hal ini mendukung hasil penelitian terhadap kandungan ekstraktif dimana pada perbatasan pewarnaan (kayu teras sekunder) dengan bagian kayu sebelah luar (kayu gubal) nilainya lebih tinggi dibandingkan bagian dalam (bagian yang sudah mengalami pewarnaan) atau bagian luar (bagian yang belum mengalami pewarnaan), dan warnanya pun lebih pekat (Gambar 52 dan Gambar 53). Perlu diingat bahwa ada hubungan negatif antara keawetan dan kecepatan tumbuh. Pada kayu JUN perlu untuk diteliti kembali keawetannya pada umur yang lebih tua, dan dibandingkan dengan jati konvensional dewasa. Dalam penggunaan, kayu JUN umur 5 tahun harus diawetkan. Meskipun derajat serangan berbeda, namun kisaran
pada angka 70
menunjukkan kondisi serangan yang sedang dan masuk belum meluas, namun berdasarkan pengamatan terhadap sampel yang diumpankan ternyata kerusakan yang tembus hingga ke permukaan kayu pada JUN lebih sedikit dibandingkan kayu jati konvensional (Gambar 55). Penjelasan yang memungkinkan adalah pertahanan ini disebabkan karena derajat kristalinitas kayu JUN yang lebih besar.
107 Struktur kristalin yang padat yang lebih banyak terdapat pada JUN kemungkinan menyulitkan rayap untuk menembus kayu dan hanya makan bagian permukaan pada kayu.
Gambar 55. Bentuk kerusakan akibat serangan rayap tanah pada kayu jati konvensional (sebelah kiri) dan pada kayu JUN (sebelah kanan) Meskipun berdasarkan hasil penelitian sifat fisis kayu JUN dan kayu jati konvensional memiliki kelas kuat III, namun dalam pemakaiannya ditentukan oleh kelas keawetan kayu, dalam hal ini termasuk kelas IV. Kayu-kayu dengan kelas awet IV dalam penggunaannya memiliki sifat sebagai berikut: jika selalu berhubungan dengan basah maka umurnya sangat pendek; jika di bawah pengaruh cuaca dan angin, tetapi dilindungi dari kemasukan air dan kekurangan udara serta tidak berhubungan dengan tanah basah maka kayu akan tahan beberapa tahun; dan dalam kondisi tersebut namun dipelihara dengan baik, dicat secara teratur dan sebagainya, maka kayu akan tahan sekitar 20 tahun (Seng 1990), sehingga bagaimanapun, untuk meningkatkan masa pakainya, kayu JUN harus diawetkan.
Kesesuaian kayu JUN untuk Venir dan Furnitur
Sifat Venir
Sifat venir kayu JUN umur 4 dan 5 tahun berupa kadar air, kerapatan, kembang susut dan tebal venir disajikan pada Tabel 14. Pada Gambar 60 disajikan gambar venir yang dihasilkan.
108 Tabel 14. Rata-rata nilai kadar air, kerapatan, kembang susut, tebal dan penyimpangan tebal venir JUN umur 4 dan 5 tahun. Jenis Kayu
Kadar Air (%) Basah
Kerapatan Basah
KU
Kering Oven
Kembang Susut KO
Tebal (mm)
Penyimpangan (%)
5BD
28,7
0,45
0,38
0,38
5,25
1,65
6,04
5BL 4BD 4BL
31,29 15,36 22,42
0,49 0,51 0,45
0,42 0,47 0,43
0,42 0,47 0,43
11,63 6,46 16,92
1,65 1,74 1,72
7,41 7,84 7,34
Keterangan: Angka 5 dan 4 menunjukkan umur pohon (5 dan 4 tahun), huruf B menunjukkan sortimen yang digunakan adalah sortimen B (lihat kembali pola pembuatan sampel pada bab metodologi), dan huruf D menunjukkan bagian dalam log, huruf L adalah bagian luar log.
Pada penelitian ini tidak dibandingkan sifat venir antara umur 4 tahun dan 5 tahun karena umur 4 tahun dianggap merupakan ulangan pohon. Namun tebal venir pada bagian dalam maupun luar dibandingkan dan diuji secara statistik, baik JUN umur 4 tahun maupun 5 tahun untuk mengetahui bagaimana keragaman tebalnya. Hasil uji statistik pada tebal venir bagian luar dan bagian dalam tidak berbeda (Lampiran 19), namun nilai penyimpangan tebal > 5% menunjukkan bahwa tebal yang dipilih kurang sesuai (Iskandar et al. 1990). JUN 5 tahun
JUN 4 tahun
Gambar 56. Lembaran venir kayu JUN umur 5 tahun dan 4 tahun. Gambar sebelah kiri menunjukkan cacat yang terjadi pada lembaran venir.
109 Penghitungan sifat pengupasan dolok kayu JUN umur 4 dan 5 tahun disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16. Tabel 15. Data volume dolok awal, sifat kebundaran, pengurangan diameter dan limbah karenapengupasan awal untuk membentuk venir yang bundar 100% Pengurangan diameter (cm)
Diameter (cm) Umur Kayu JUN
Panjang (m) Bawah
Ujung
Rata-rata
Volume Dolok (m3)
Perbandingan diameter (dmin/dmax)
Diameter bulat
Pengurangan diameter
Limbah krn pengupasan awal (m3)
5 th
1,25
23,05
22,25
22,65
0,05
0,97
22,20
0,45
0,000020
4 th
1,245
17,25
19,1
18,175
0,03
0,90
16,60
1,58
0,000242
Tabel 16. Data rendemen dan limbah venir total yang dihasilkan Sisa kupasan (log core) Umur Kayu JUN
Rendemen
Limbah Venir
Diameter (cm)
m3
% dari Volume Dolok
m3
%
Pengupasan awal
5 th
11,00
0,01
23,59
0,02
36,73
0,000020
4 th
11,20
0,01
37,97
0,01
26,79
0,000242
Limbah lainnya
Total
% limbah total
0,01
0,02
0,03
63,27
0,01
0,01
0,02
73,21
Log core
Dolok kayu JUN baik umur 4 tahun maupun 5 tahun dapat dikupas dalam kondisi dingin. Kayunya termasuk keras karena sudah kering, dan sekaligus juga sudah agak lapuk karena sudah terkena jamur dalam penyimpanan selama lima bulan. Terdapat sejumlah mata kayu dari dalam, sehingga perlu diperhatikan upaya perawatan kayu sejak ditanam. Permukaan yang dihasilkan kasar (akibat teksturnya yang kasar) karena kayu dikupas dalam kondisi dingin, namun jika dikupas dalam kondisi basah, permukaannya diperkirakan akan halus dan rata. Dolok
jati
membutuhkan
perlakuan
pendahuluan
sebelum
pengupasan
(Martawijaya et al. 2005). Rendahnya kadar air saat pengupasan (Tabel 14, kadar air basah pada kisaran 15-31%) turut berpengaruh dalam hasil akhir karena air berfungsi sebagai pelumas, dan kadar air yang ideal saat pengupasan adalah 5060% (Kliwon & Iskandar 2008), sehingga perlakuan pendahuluan untuk dolok JUN memang dibutuhkan. Keragaman tebal termasuk kurang baik karena simpangan yang terjadi lebih dari 5%, dimungkinkan karena kondisi pengupasan yang kering, atau juga
110 ketebalan yang dipilih terlalu tinggi (Iskandar et al. 1990). Keragaman tebal JUN 5 tahun lebih baik dibandingkan JUN 4 tahun. Dimensi sel yang besar kemungkinan tidak berpengaruh karena teksturnya yang rata, ditambah dengan arah serat lurus akan memudahkan pengupasan. Untuk selanjutnya dapat dilakukan penelitian sifat venir pada kayu JUN dengan berbagai sudut kupas dan ketebalan. Rendemen kayu semakin besar seiring dengan penambahan diameter batang. Hal ini juga dikarenakan dolok kayu JUN memiliki kebundaran baik (0,97 untuk JUN umur 5 tahun dan 0,90 untuk JUN umur 4 tahun) sehingga limbah akibat pengupasan awal dapat diabaikan. Semakin besar dolok, rendemen yang dihasilkan juga semakin besar. Pengupasan awal mengurangi diameter dolok JUN 4 tahun lebih besar dibandingkan JUN 5 tahun karena sifat kebundaran dolok JUN 5 tahun yang lebih baik. Untuk meningkatkan rendemen dan kualitasnya, dolok kayu perlu mendapatkan perlakukan pendahuluan. Dari Gambar 60 nampak bahwa corak kayu cukup menarik, terutama untuk venir bagian dalam karena keberadaan kayu teras, namun corak karena pengaruh lingkar tumbuh tidak tampak. Dapat dicoba pembuatan venir kupas untuk corak yang lebih baik. Dari hasil penelitian di atas, nampak bahwa venir yang dihasilkan dari JUN umur 5 tahun lebih baik, lebih stabil, dengan rendemen lebih tinggi dibandingkan JUN umur 4 tahun. Berdasarkan dugaan yang dibuat sebelumnya, bahwa kayu JUN akan lebih lunak sehingga lebih mudah dikupas terbukti. Berat Jenis JUN masuk pada kisaran yang ideal sebagai bahan baku venir (FAO 1966 dalam Martawijaya et al. 2005). Terdapat kelemahan pada venir JUN seperti permukaan yang kasar, namun dapat diatasi dengan perlakuan pendahuluan sebelum pengupasan, serta corak yang kurang menarik, dapat diatasi dengan meningkatkan umur panen kayu sehingga kayu cukup membentuk kayu teras misal pada umur 7 tahun (komunikasi pribadi, Pandit 2010) atau juga dengan membuat venir sayat. Solusi pada permasalahan kembang susut yang besar perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam, namun dengan sifat fisis kayu JUN yang stabil, maka perlu dicoba ketebalan venir yang terbaik yang menghasilkan kembang susut terkecil. Dengan kualitas venir yang diperoleh dari JUN umur 5 tahun tersebut, produk
111 venir yang dihasilkan cukup baik, namun hanya cocok untuk digunakan sebagai venir bagian dalam (core).
Kesesuaian Kayu JUN untuk Furnitur
Pada penelitian ini dibuat dua produk akhir yaitu meja dan kusen (Gambar 61 dan Gambar 62), walaupun kusen bukan termasuk komponen furnitur namun perlu juga dibuat untuk melihat sifat-sifat pengolahan kayu secara umum. Bahan baku yang digunakan adalah kayu JUN bagian pangkal dan ujung umur 4 dan 5 tahun.
Gambar 57. Produk kusen dari kayu JUN umur 4 dan 5 tahun
Gambar 58. Produk meja dari kayu JUN umur 4 dan 5 tahun
112 Sifat-sifat kayu JUN untuk penggunaannya sebagai furnitur ditinjau dari sifat anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan (Menon & Burgess 1979; PIKA 1979; dan Pandit 2009) disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Sifat-sifat kayu JUN untuk penggunaan sebagai furnitur ditinjau dari sifat anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan Sifat Kayu Struktur anatomi makro
Struktur anatomi mikro
Sifat fisis Sifat mekanis Sifat kimia Keawetan
Sifat yang Disukai Arah serat lurus, tekstur halus hingga sedang, memiliki kilap alami, memiliki corak yang bagus (antara lain disebabkan perbedaan kayu awal dan kayu akhir, struktur jari-jari multiseriate, parenkim pita marginal, dan pembentukan kayu teras yang tidak teratur), serta warna (tergantung selera pasar). Ketebalan dinding sel cukup, kandungan kayu juvenil rendah, tidak terdapat kristal dan tilosis. Kerapatan dan BJ sedang, stabilitas dimensi tinggi. Kekerasan sedang. Kadar esktraktif dan silika rendah. Sedang hingga tinggi.
Sifat Kayu JUN Arah serat lurus, tesktur kayu kasar, permukaan kayu agak mengkilap hingga buram, terdapat corak akibat pembentukan kayu teras sekunder yang tidak teratur serta struktur jari-jari multiseriate, warna terang. Dinding sel sangat tipis, kandungan kayu juvenil tinggi, terdapat tilosis. Kerapatan dan BJ sedang, stabilitas dimensi baik. Kekerasan rendah. Kadar esktraktif dan silika rendah. Rendah
Arah serat lurus pada JUN akan memudahkan dalam pengerjaan dan kekuatannya juga tidak tereduksi karena keberadaan serat miring akan mengurangi kekuatan kayu (Pandit et al. 2009), sedangkan serat JUN lurus. Tekstur kayu JUN yang kasar akan berpengaruh pada proses finishing seperti ada indikasi boros pada penggunaan filler terutama melamik (dempul) dan bermasalah pada sherlak. Kilap alami kayu JUN kurang sehingga perlu usaha untuk meningkatkan kilapnya. Bagian-bagian furnitur dimaksudkan untuk menerima beban, baik secara terus-menerus atau sesekali. Beban-beban ini disebarkan secara merata, termasuk pada sambungan. Sehingga, meskipun kekuatan adalah penting, bahan baku untuk furnitur tidak dibutuhkan yang benar-benar sangat kuat. Lebih lanjut, kekuatan berhubungan dengan kerapatan, kayu yang sangat kuat berarti juga kayu yang sangat berat. Furnitur yang dibuat dari kayu yang berat umumnya kurang disukai
113 karena sulit untuk memindah-mindahkannya. Selain menyulitkan dipindahpindah, kayu yang berat juga menyebabkan penumpulan yang cepat pada pisau pemotong. Meskipun dengan penambahan baja baru pada pisau pemotong membuat pisau lebih kuat dan teguh, penumpulan pisau secara cepat tetap akan terjadi jika menggunakan kayu berat (Menon & Burgess 1979). Kayu dengan kerapatan kering oven sekitar 0,5 g/cm (Berat Jenis 0,5) telah terbukti
cukup
baik
untuk
furnitur.
Bagaimanapun,
disarankan
untuk
menggunakan kayu yang lebih berat untuk furnitur yang memiliki banyak kegunaan seperti tempat tidur dan kursi; tapi kayu yang lebih ringan juga dapat dipakai untuk pembuatan furnitur di kantor, seperti lemari, rak, termasuk rak buku (Menon & Burgess 1979). Kerapatan kayu JUN dalam kondisi kering udara adalah 0,52 g/cm dengan berat jenis 0,48. Kerapatan kayu yang berkisar 0,5 g/cm tersebut menjadikan kayu JUN umur 4 dan 5 tahun cukup ideal untuk dijadikan furnitur. Meskipun disarankan menggunakan kayu dengan BJ yang lebih besar untuk produk yang memiliki banyak kegunaan dalam menahan beban, maka kayu JUN umur 4 dan 5 tahun ini sudah dapat dipakai untuk pembuatan furnitur di rumah dan kantor, seperti meja, lemari, rak, termasuk rak buku. Sejauh ini, produk yang dihasilkan cukup kuat untuk menopang beban. Kayu untuk furnitur harus mudah untuk digergaji, diserut, dihaluskan ataupun dibor (Menon & Burgess 1979). Dalam penelitian ini, sifat permesinan secara kuantitatif tidak diteliti. Permukaan yang dikerjakan harus mulus tanpa sobekan serabut yang akan menghasilkan permukaan yang berbulu. Secara kualitatif, pada saat penyerutan, kayu JUN mudah diserut dan cepat rata, kemungkinan karena arah serat kayu yang lurus dan ukuran kristal yang lebih kecil. Untuk penggergajian, kayu JUN terasa seset atau agak berat saat digergaji, pekerja menyebutnya sifat pengerjaan kayu JUN seperti kayu kamper yang memang ada kemiripan pada pola pembuluh. Kekerasan kayu JUN termasuk rendah, sehingga pengerjaan kayu JUN lebih enak karena lebih lunak, namun akibatnya, kuat pegang paku agak lemah. Untuk pengeboran karena kayunya cukup lunak, maka akan memudahkan saat akan
114 dibor. Kuat pegang paku yang lemah dan pengeboran yang mudah disebabkan karena dinding sel serat kayu JUN yang sangat tipis. Kayu juga jangan mengandung terlalu banyak ekstraktif, seperti resin/getah, atau silika, yang mungkin dapat menyebabkan pisau pemotong menjadi tumpul. Kemungkinan karena umurnya masih muda, kandungan ekstraktif dan silika (dari hasil pengamatan secara mikoskopik) rendah, dan ini cukup menguntungkan dalam pengerjaan. Untuk stabilitas dimensi selama penggunaan, kayu yang memiliki penyusutan dan pengembangan yang drastis dan besar, kurang disukai untuk penggunaan apapun. Pergeseran kayu akan menyebabkan distorsi pada bagian furnitur, sulitnya menarik laci, sulit membuka pintu, dan juga menyebabkan sambungan terbuka (Menon & Burgess 1979). Hasil penelitian sifat fisis menunjukkan bahwa kayu JUN umur 5 tahun memiliki stabilitas dimensi yang baik. Namun dapat lebih berhati-hati saat menggunakan kayu JUN yang berumur lebih muda dari 5 tahun, misalnya 4 tahun seperti yang digunakan dalam penelitian ini karena dimensinya belum begitu stabil. Pada penyimpanan selama tiga bulan dalam suhu ruangan tampak terjadi retak pada permukaan meja serta perubahan bentuk pada kusen (Gambar 63). Kondisi ini terjadi kemungkinan karena tidak ada perlakuan pengeringan kayu sebelumnya, memang dalam penelitian ini kegiatan pengeringan tidak dilakukan karena ingin diketahui reaksi alami kayu JUN terhadap perubahan kondisi lingkungan. Dengan perlakuan pengeringan yang tepat, kayu dengan kadar air kurang dari 10% akan mampu mengatasi permasalahan ini. Perhatian secara khusus, bagaimanapun, harus diaplikasikan saat furnitur kayu digunakan pada ruangan ber-AC. Karena itu, kayu dengan penyusutan rendah sangat ideal untuk pembuatan furnitur. Perubahan kadar air pada kayu yang telah dikeringkan dapat diminimalisir dengan pelapisan yang tepat menggunakan varnish, cat, atau bahkan lembaran plastik. Metode yang disebutkan terakhir adalah perkembangan terbaru dalam teknik perlindungan kayu. Jika memungkinkan, papan yang digunakan sebaiknya papan radial karena memiliki susut yang lebih kecil (Menon & Burgess 1979).
115 Kandungan kayu juvenil yang sangat tinggi (100%) akan menurunkan kualitasnya sebagai bahan baku venir karena akan menimbulkan masalah dalam pengerjaan dan pemakaian, seperti adanya perubahan bentuk. Walaupun demikian, landainya garis regresi pada penelitian kayu muda JUN serta penggunaan stek pucuk sebagai alat perkembangbiakan, memungkinkan JUN mencapai kedewasaan lebih cepat.
Gambar 59. Retak dan perubahan bentuk membusur pada kayu JUN umur 4 tahun akibat cuaca (penggunaan kayu JUN secara alami tanpa perlakuan pengeringan).
Terkadang, keawetan berhubungan dengan kerapatan. Kayu yang berat umumnya lebih awet dibanding kayu yang lebih ringan. Bagaimanapun, keawetan kayu yang lebih rendah dapat ditingkatkan dengan perlakuan pengawetan. Serangan rayap dan penggerek secara sukses dapat dikontrol menggunakan teknik pengawetan kayu. Serangan jamur seperti jamur biru pada kayu yang berwarna cerah juga dapat diatasi dengan perlakuan pengawetan (Menon & Burgess 1979).
116 Pada sekitar satu bulan penyimpanan muncul bercak-bercak putih seperti mold, namun dapat dihilangkan dengan mudah. Dengan memperhatikan sifat-sifatnya di atas, kayu JUN umur 5 tahun sudah dapat digunakan sebagai bahan baku furnitur, namun belum bisa untuk kayu konstruksi karena kandungan kayu muda yang masih tinggi. Persyaratan kekuatan, pengerjaan, berat jenis, dan stabilitas dimensi sudah terpenuhi walaupun ada kekurangan seperti kuat pegang kaku yang lemah dan boros pada finishing. Kayu JUN juga lebih disukai karena lebih lunak dan lebih ringan sehingga lebih mudah dikerjakan dan dipindah-pindahkan. Keawetan perlu ditingkatkan dengan menerapkan teknik pengawetan kayu. Dari segi corak, kualitasnya sebagai produk mewah akan turun, terutama untuk furnitur yang menghendaki segi keindahan kayu. Kayu JUN lebih cocok digunakan untuk membuat furnitur yang berwarna terang yang lebih disukai oleh konsumen-konsumen tertentu. Namun ada kemungkinan coraknya akan tampak menarik jika digunakan pada umur yang lebih tua.