HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel Lampiran 1 memperlihatkan ciri-ciri morfologi pedon-pedon Andisol dari seluruh daerah penelitian.
Wama tanah pedon-pedon CTRA berkisar dari wklat tua kemerahan (5YR 313) sampai coklat kekuningan (IOYR 516
- 5/8).
Horison permukaan berkisar dari warna
coklat tua (10YR 313) sampai coklat ma kekuningan (IOYR 314). Horison A tertimbun umumnya berwarna lebih gelap (tua) dari horison di atasnya sedangkan horison B dan
B e berwarna lebih terang dari horison di atasnya. Pedon-pedon CTR-B memiliki kisaran wama dari coklat tua kemerahan (SYR 312 - 2.512) sampai coklat tua kekuningan (10YR 416). Horison permukaan benvama coklat ma kemerahan (5YR 313) sampai coklat tua kekuningan (10YR 314). Horison A tertimbun berwama lebih gelap, sedangkan horison B dan BC lebih terang dari horison di atasnya. Pedon-pedon SNR-A memiliki kisaran warna dari coklat tua kemerahan (5YR
312) sampai coklat kekuningan (10YR 518). Horison permukaan memenuhi persyaratan warna horison molik yakni berwarna coklat tua kemerahan (SYR 312) sampai coklat tua
(7.5YR 312 - 313). Horison A tertimbun tampak dari warna gelap, horison B dan BC berwama lebih terang dari horison di atasnya. Pedon-pedon SNR-B memiliki kisaran warna coklat sangat tua (10YR 212) sampai coklat kekuningan (10YR 518). Horisonhorison bawah umumnya berwarna lebih terang dibandingkan horison atasnya yang memenuhi syarat warna epipedon molik. Pedon-pedon SDP-A memiliki kisaran warna dari coklat tua kemerahan (5YR
2.512) sampai coklat tua kekuningan (10YR 316). Horison permukaannya berwarna coklat tua kemerahan (SYR 2.512) sampai coklat tua (7.5YR 312). Pedon-pedon SDP-A ini memiliki keragaman warna tanah secara vertikal, akibat hasil beberapa erupsi yang
berbeda. Pedon-pedon SDP-B memilii kisaran warna dari coklat tua kemerahan (5YR 312) sampai dengan coklat kekuningan (10YR 516). Horison permukaannya memenuhi syarat warm epipedon m l i k yaitu berkisar dari coklat tua kemerahan (5YR 312) sampai coklat tua (10YR 312). Sedangkan horison bawahnya benvarna makin terang, kecuali kalau dijumpai horison A tertimbun (thaptic). Ditinjau dari warna tanah setiap pedon, maka semua pedon-pedon ~ncjifolyang diteliti ternyata mempunyai stratifhsi bahan vollcan yang berbeda akibat penhnhunan hasil erupsi volkanik yang beruIang-ulang. Warna tanah di seluruh daerah penelitian memiliki kisaran yang hampir sama yaitu dari coklat tua kemerahan sampai coklat kekuningan. Horison permukaan (Ap) umumnya berwarna gelap akibat akumulasi bahan organik yang tinggi. Perbedaan curah hujan , umur dan sifat bahan induk tidak mernperlihatkan perbedaan warna yang mencolok, meskipun demikian warna tanah Andisol di daerah Sedep cenderung agak kemerahan dibandingkan lokasi lainnya. Diduga sifat bahan induk basaltik pada kondisi curah hujan yang relatif kecil, telah menyebabkan warna tanah lebih kemerahan. Warna tanah di daerah curah hujan yang tinggi (Ciater) cenderung coklat tua kekuningan. Struktur Hasil pencatatan struktur tanah di lapang menunjukkan bahwa sebagian besar horison-horison Andisol memiliki struktur gumpal bersudut dan gumpal membuiat, berukuran halus sampai sangat halus dengan tingkat perkembangan sedang sampai kuat. Horison permukaan umumnya berstruktur remah sampai batang (prisms). Makin ke bawah stmkturnya berbentuk gumpal dengan tingkat perkembangan yang meningkat. Pada pedon-pedon pedogenik tua, terutama pada horison bawah, perkembangan struktur tanah berkisar dari sedang sampai h a t , sedangkan di lapisan permukaan berkisar dari lemah sampai kuat. Struktur masif hanya dijumpai pada horison BC tertimbun (duripan) di daerah Ciater (CTR-A). Perbedaan tingginya curah hujan dan sifat bahan induk tidak memperlihatkan perbedaan struktur y ang jelas.
Hasil pengamatan mikroskopik pada irisan tipis menunjukkan bahwa struktur gumpal di horison permukaan semua pedon umumnya tersusun dari mikro-mikro agregat granular yang membentuk massa berpori (Gambar 24b). Konsistensi Konsistensi tanah lembab hasil pencatatan lapang menunjukkan kisafan dari lepas sampai sangat teguh, dan pada umumnya gembur. Horison permukaan urnumnya memiliki konsistensi lepas sampai sangat gembur, semakin ke bawah permukaan tanah konsistensinya meningkat menjadi agak teguh atau teguh. Horison bawah pedon-pedon yang berasal dari bahan induk tua, umumnya memiliki konsistensi gembur sampai teguh sedangkan pada pedon-pedon yang berasal dari bahan induk muda konsistensinya gembur clan terasa menyemir apabila ditekan di antara jari-jari tangan. Perbedaan sifat bahan induk (andesit dan basalt) kurang memperlihatkan perbedaan konsistensi yang jelas, kecuali pada pedon muda CTR-A di daerah Ciater (curah hujan 4215 mrn/tahun) yang berkembang dari abu volkan andesit memiliki horison yang memadas (duripan) akibat proses pelapukan dan pencucian yang intensif sehingga terjadi translokasi oksida-oksida aluminium dan besi dan terakumulasi di horison bawah (BC) merekat butir-butir pasir akibat drainase yang agak terhambat pada lapisan bawahnya yang tertirnbun. Batas Horison Batas peralihan horison pada pedon-pedon Andisol yang diamati berkisar dari nyata sampai baur dengan topografi rata sampai bergelombang. Batas peralihan dari horison permukaan ke horison di bawahnya umumnya nyata sampai jelas. Horisonhorison yang berkembang dari hasil erupsi terdahulu kemudian tertimbun, biasanya mempunyai batas peralihan horison yang jelas. Adanya horison-horison yang bemarna gelap dibagian bawah pedon dengan kandungan bahan organik yang tinggi (thaptic) menunjukkan adanya stratifikasi bahan yang berbeda umurnya. Perbedaan kondisi zona agroklimat dan sifat bahan induk kurang memperlihatkan perbedaan yang jelas terhadap
batas horison. Tetapi pedon Andisol dari bahan induk tua umumnya memiliki batas horison yang baur dibandiigkan dengan horison yang lebih muda.
Pori-pori Tanah Pori-pori tanah diamati di lapang dengan bantuan lensa tangan, pencatatan meliputi ukuran clan banyaknya pori pada luasan sekitar 10 cm2. Kriteria yangpgunakan ialah seperti yang dikemukakan pada Soil Survey Manual (SSS, 195 1). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa horison-horison pedon Andisol memiliki jumlah pori yang sedang sampai banyak dengan ukuran dari halus sampai kasar. Jumlah pori yang banyak dicirikan pula oleh konsistensi tanah yang gembur sampai sangat gembur, tata air dan udara yang baik dan tidak dijumpainya karatan-karatan akibat drainase tanah yang buruk (Gambar 18). Perbedaan kondisi agroklimat dan sifat bahan induk kurang memperlihatkan perbedaan yang jelas dalam jumlah dan ukuran pori. Namun demikian pedon Andisol yang berkembang dari bahan induk tua, terutama horison bawahnya, umumnya memiliki jumlah pori makro yang lebih kecil dibandingkan pedon yang berasal dari bahan induk lebih muda akibat pengisian pori oleh plasma tanah dari horison atasnya sehingga terbentuk matriks tanah yang lebih rapat (denses).
Bahan Kasar Bahan kasar adalah fraksi tanah yang berukuran
> 2.0 mrn dan biasanya agak
keras. Bahan kasar dalam tanah juga sering disebut kerikil atau kerakal. Adanya bahan kasar dalam tanah biasanya berhubungan dengan jenis bahan volkan yang disemburkan serta umur timbunan hasil erupsi tersebut. Pada pedon-pedon Andisol dari bahan induk muda seringkali dijumpai bahan kasar dalam jumlah yang banyak. Bahan kasar ini bisa berupa fragmen batuan hasil kegiatan magmatik (lapili) atau fragmen-fragmen batuan yang berasal dari dinding kaldera yang terlemparkan pada saat erupsi. Hal tersebut terjadi pada pedon yang berasal dari bahan induk muda di daerah Ciater dan Sedep, dimana pedon-pedon CTRA dan SNR-B masing-masing terletak tidak jauh dari Kawah Gunung Tangkuban
Perahu dan Kawah Gunung Papandayan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa hampir semua pedon yang diamati mengandung bahan kasar dalam fraksi tanahnya, kecuali pedon CTR-B5, SNRA1 dan SDP-W. Pada pedon yang berkembang dari bahan induk muda bahan kasar umumnya agak keras sampai keras sedangkan pada pedon yang berasal dari bahan induk l e b i tua, lunak sampai agak keras. Ketidakseragaman adanya bahan b a r pada pedon-pedon tersebut diduga akibat perbedaan posisi (jarak) pedon terhadap sumber letusan gunungapi atau akibat adanya perbedaan lingkungan pelapukan. Perbedaan kondisi agroklimat dan sifat bahan induk kurang memperlihatkan perbedaan yang jelas terhadap kandungan bahan kasar dari pedon-pedon yang diamati. Hasil pengukuran bahan kasar secara kuantitatif dan pembahasannya disajikan dalam sub-bab fisika tanah. Susunan Mineral dan Bahan Induk Hasil analisis mineral fraksi pasir (fraksi IV) dan fraksi berat non opaknya disajikan pada Tabel 5. Penirnbunan bahan volkan yang berulang-ulang dijumpa; pada setiap pedon dengan asosiasi mineral yang sama atau berbeda. Penomena tersebut biasa dijumpai pada Andisol (Yoshinaga, 1988). Berdasarkan susunan mineral fraksi pasirnya, pedon CTR-W, SNR-A2 dan SDP-A3 telah mengalami pelapukan lanjut, sedangkan pedon CTR-A2, SNR-B5 dan SDP-B5 sebaliknya. Pada pedon yang telah terlapuk lanjut kandungan bahan hancuran cukup banyak, sedangkan pada pedon muda kandungan fragmen batuan cukup banyak. Selain itu pedon yang terlapuk lanjut memiliki nisbah mineral hasil Iapukan (MHL) dan mineral mudah lapuk (MML)yang relatif lebih tinggi diban-dingkan dengan pedon muda, kecuali pedon tua SDP-A3 yang terkontaminasi erupsi segar. Hasil penilaian tingkat pelapukan yang berpedoman pada kriteria Mohr dan Van Barren (1960) menunjukkan bahwa seluruh pedon mempunyai derajat pelapukan tahap viril. Hal ini diperlihatkan oleh kandungan mineral mudah lapuk yang cukup tinggi.
Tabel 5. Komposisi Mineral Fraksi Pasir (Fraksi IV) Pedon Pewakil Fraksi p s i r total
1 op
kj
Lnb sio r e bh f b
gv
an
l b bt
au hp ov
ah --
-
Pedm CTR-AZ 9 sd 1 18 7 - 8 1 4 19 5 20 4 5 2 4 24 - 2 2 2 32 12 27 32 7 33 11 35 19 - 44 14 Pedm CTR-B4 6 12 11 13 10 21 40 19 - 3 8 2 5 59 62 6 67 4 30 1 - 1 6 Pedm SYII-A2 13 11 35 7 - 2 0 3 - 44 2 14 - -25 20 - s d
- -
---
-
-- --
I
-- I
-7 *-
-
1 0.04 8 - 0 . 0 4 13 0.01 6 0.00 2 0.05 0.12 0.04 2 3 - 0.03 3 0.02
- . 2 -
--
10 2 5 9 36 20 4 5 11 8 24 29 3 6 10 10 9 19 25
0.88 0.25 1.02 0.63 1.21 1.38 2.32 7.11 11.57
18 9 10 15 35 21 37
12 1 30sd 1 8 11 18 2 1
- - --- -- - -- - - - - -
non opak
----
2.30 0.87 3 2 0.32 3 0.13 - 0 . 4 5 5 0.13 2 0.18 2 0.08 2 0.13 1.34
- - --
Fraksi berat
99 59
I
-
1
-
--
--
1 1
1 1
--
1
Pedon AP
BU A'b BCb
5 18 4 2 17 1 10
-
Pedon
AP A2 Bu BC A'bl A'b2 B'ub A"b B'ub BC'b
- 27 - 24 - 13 6 2 -- -1 - - - - -
Pedon AP
Bwl BUZ BC A'bl A'b2 B'ub BC'bl BC'b2
3 10 4 16 4 19 4 1 Z 1 1 9 1 -
-
Keterangan : op = opak; k' kuarsa jernih; knb = konkresi besi; sio = Si-organik; ze = zeolit; &h== bahan lapukan; fb = fragmen batuan; gv = gelas volkan; an = aqdesin; Ib labradorit; bt = bitownit; ah = amfibol hl au; au = auglt; hp = h~perstin;ov = olivin; sd = sangat sedikit; &L = mineral has11la ukan (knb. Sio, bh); MML = mineral mudah lapuk (ze, gv, fb, an, lb, t, ah, au, hp, ov)
E
Di samping itu secara fisik dan morfologi menunjukkan kandungan liat, yakni 27.14
-
40.36 persen (Tabel Lampiran 4). Pengelompokan sifat bahan induk berdasarkan kriteria Mohr dan Van Baren (1960) dan Ehlers dan Blatt (1982) serta penetapan jenis mineral plagioklas pada irisan tipis (Kerr, 1950) menunjukkan bahwa pedon SNR-B, SDP-A dan SDP-B masingmasing berkembang dari bahan induk volkan basalt, sedangkan pedon CTR-PC, CTR-B dan SNR-A dari bahan induk andesit. Jenis plagioklas dari bahan induk basalt ialah bitownit (An 70 - go), sedangkan dari bahan induk andesit adalah andesin (An 30 50). Labradorit (An 50 -70) ditemukan baik pada bahan induk andesit maupun basalt. Pada lapis& bawah pedon SNR-A dijumpai sedikit mineral kuarsa
.
Fraksi berat
pedon SDP-A dan SDP-B banyak ditemui mineral olivin (Gambar Sa), sedangkan pada pedon SNR-A dan SNR-B sedikit dan tidak ditemukan pada pedon CTR-A dan CTR-B. Berdasarkan data pada Tabel 5, pedon CTR-A2 terdiri dari tiga stratifikasi bahan yang berbeda asosiasi mineralnya, yaitu augit-hiperstin (0 94 cm) dan amfibol hijau (94
-
- 43 cm), augit (43 -
148 cm). Pedon CTR-B4 memiliki aso~iasiaugit -
-
amfibol hijau (0 38 cm) dan amfibol hijau (73 - 98 cm dan 90 - 150 cm). 'Pedon SDPA3 terdiri dari tiga stratifikasi bahan induk, lapisan pertama merupakan timbunan yang masih segar dibandingkan dua lapisan di bawahnya diiana lapisan atas asosiasi mineralnya adalah augit-hiperstin dengan cukup olivin (0 - 46 cm), sedangkan dua lapisan bawahnya kandungan fraksi berat non opak sedikit sekali sehingga sulit ditentukan asosiasi mineralnya. Pedon SDP-A3 merupakan pedon yang telah mengalami pelapukan lanjut yang lapisan atasnya diduga terkontaminasi oleh erupsi baru dari gunungapi di sekitarnya, ha1 ini ditunjang oleh hasil analisis mikromorfologi yang menunjukkan bentuk mineralnya euhedral dan belum terlapuk lanjut yang tercampur dengan mineral anhedral (Gambar 8a), sementara itu mineral liat order kisaran pendek (alofan dan atau imogolit) sudah berubah menjadi haloisit (Gambar 14). Pembahan mineral sekunder ini merupakan ciri bahwa lapisan atas tersebut telah mengalami pelapukan lanjut. Banyak peneliti berpendapat bahwa ditemukannya mineral liat haloisit pada Andis01 adalah
Gambar 8. Fotomikrograf Irisan Tipis (a, b, c, d, e) dan SEM (0. Hor Ap, SDP-A3, PPL (a); sama dengan (a) dalam XPL (b); Hor BC SDP-A3, PPL (c); Hor Bw, SDP-A3, PPL (d); Hor 2BC'b. SNR-A2. PPL (e); Hor BC'b, SDP-BS (0, cl = klorit; pl = plagioklas; fb = fragmen batuan; ov = olivin; hb = hornblende; if = infilling; o = oksida besi; v = void; x = pelapukan mineral primer; Garis hitam = 180 p ; PPL = sinar polarisasi biasa; XPL = sinar polarisasi bersilang.
.
merupakan petunjuk tingkat pelapukan yang sudah lanjut atau berumur bahan induk tua (Parfitt, Russell dan Orbell, 1983; Yoshinaga, 1988). Hilangnya sebagian besar mineral fraksi berat non opak pada kedua lapisan bawahnya menunjukan bahwa pelapu-
kan pada pedon ini telah bejalan lanjut. Pedon SDP-B5 memiliki dua stratifikasi bahan induk dengan asosiasi mineral yang sama yakni augit - hiperstin dengan jumlah mineral olivin sedikit sampai sedang.
e
Hasil pengamatan mikroskopis pada irisan tipis seluruh pedon menunjukkan bahwa bentuk mineral ditemukan &lam keadaan masih segar (euhedral) sampai terlapuk kuat (anhedral). Pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk muda (holosen) bentuk mineral umumnya masih segar (euhedral) sampai sedikit terlapuk (subhedral). Sedangkan pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua (pleistosen) atau pada horison tertimbun bentuk mineral umumnya terlapuk sedang sampai kuat (anhedral) (Gambar 8c,d, e, ). Berdasarkan hasil uji korelasi matriks didapatkan hubungan-hubungan antara nisbah mineral hasil lapukan (MHL) seperti bahan hancuran dan konkresi besi dan mineral mudah lapuk (MML) seperti plagioklas, gelas volkan dan mineral'feromagnesia dengan beberapa sifat tanah Andisol seperti tertera pada Tabel 6 . Berdasarkan data pada Tabel 6, nisbah MHLIMML menunjukkan hubungan dengan sifat tanah andik, dimana didapat korelasi negatif dengan (A1
+ H Fe)-oksalat (r = -0.58) dan retensi-P
(r = -0.64) serta korelasi positif dengan bobot isi tanah (r = 0.61). Selain itu meningkatnya nisbah MHLIMML disectai rnenurunnya kandungan alofan
+ imogolit, retensi
air 15 bar, kandungan karbon organik dan pHo. Sedangkan muatan permanen tanah semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan susunan bahan koloid tanah dari mineral-mineral ordo kisaran pendek menjadi mineral liat kristalin seperti haloisit/kaolinit dan gibsit (Tabel 7) dengan semakin lanjutnya tingkat pelapukan tanah. Untuk memperjelas hubungan-hubungan tersebut di atas, pada Gambar 5, 6, dan
+
7 disajikan kurva hubungan nisbah MHLIMML dengan kandungan (A1 %Fe)-oksalat, bobot isi 113 bar, kandungan alofan plus imogolit, kandungan C- organik, muatan
Tabel 6. Matriks Korelasi antara MHLJMML dengan Beberapa Sifat K i i a , Fisika dan Mineral Liat Andisol di Daerah Penelitian
MHL/MML
PHO C-org
1 .oo -0.59*
1.00
-0.41'
0.05
n
1.00
MP
0.39'
RP
-0.64'
0.82*
0.27
-0.67*
1.00
AF
-0.58*
0.83'
0.11
-0.46'
0.86* '1.00
0.61* -0.57'
-0.32'
0.62'
-0.73* -0.70'
BD
-0.61* -0.24
1.00
1.00
RA
-0.38*
0.63* -0.03
-0.58'
0.68'
0.65* -0.65'
1.00
A1
-0.46*
0.61'
-0.45'
0.71'
0.81* -0.58'
0.59*
Keteranean :
*
0.15
1.00
berbeda nyata; MHLfMML = mineral hasil lapukan/mineral mudah lapuk; MP = muatan permanen; RP = retensi P; AF = (AI+'hFe)-oksalat; BD = bobot isi 1/3 bar; RA = retensi air IS Bar; A1 = alofan
+ imogolit
permanen tanah dan pH0 (muatan titik nol). Berdasarkan kurva-kurva teisebut dapat disimpulkan bahwa dengan semakin tinggi nisbah MHUMML atau semakin meningkat tingkat pelapukan tanah, maka nilai-nilai sifat tanah andik semakin menurun yang disertai dengan menurunnya kandungan C-organik dan pHo, tapi muatan permanen tanah makin meningkat. Susunan Mineral Fraksi Liat Hasil analisis fraksi liat dengan metode DTA dan XRD dari horison terpilih pada pedon-pedon pewakil disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 12 - 17. Estirnasi kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan, imogolit dan ferihidrit) menurut metode Parfitt (1986) dan Childs (1985 dalam Parfitt 1988). dan nisbah unsur kimia total fraksi liat (SiO,lAl,O,) disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3.
Gambar 9. Kurva Hubungan Antara MHLlMML dengan (AI+lhFe)oksalat (a) dan dengan BD 113 Bar (b)
Gambar 10.Kurva Hubungan Antara MHL/MML dengan Alofan plus Imogolit (a) dan dengan C-organik (b)
Gambar 11.Kurva Hubungan Antara MHLIMML dengan pH0 (a) dan dengan Muatan Permanen (b)
Tabel 7. Hasil Analisis Diferensial Termal dan Difraksi Sinar-X Pedon Pewakil Andisol Puncak Kurva Termogram DTA
Pedon
Horison
Puncak Difraksi
Endotermik ("C)
Ap Bw
BC 2Abl 2BC'b Ap BC
2BCb Ap
Bw A'b BCb A2
BC A"b Ap Bw BC A'bl
EksotermiL PC)
~
i
-
(A) x
l20f 380 120: 2% 350; 405 126: 280: 380: 420; 530 120: 290; 410; 540 124: 292: 500 124: W . 4 2 0 120: 280.380: 420 115; MO. 510 117;420 120: 340 132: 2M: 502 135: 295: 380: 510 110:390;510 110; 380: 510 W;280; 520 120: 410: 135: 380 130: 290: 380 120: 280: 420
Berdasarkan data pada Tabel 7 dan Gambar 12 - 17 susunan m i n e d Iiat pedon CTR-A2, CTR-B4, SNR-B5 dan SDP-B5 masih didominasi oleh mineral-rnineral ordo kisaran pendek, sedangkan pada pedon SNR-A2, terutama pada lapisan bawahnya, kandungan gibsit cukup banyak dan pada pedon SDP-A3 kandungan haloisit cukup banyak. Mineral alofan dicirikan oleh puncak reaksi endotermik suhu rendah (80 135OC) dan eksotermik suhu tinggi (880 - 920°C) (Tan. 1982; Wada, 1989). Hal ini ditunjang oleh kurva difraktogram XRD yang tidak berpola. Ciri gibsit ditunjukkan oleh puncak reaksi endotermik suhu sedang (280 - 340°C) dan puncak difraksi sinar-X pada 4.85
A
(Hsu, 1989). sedangkan haloisit pada puncak reaksi endotermik suhu
sedang (510 - 540°C) dan puncak difraksi sinar-X pada 10 A, 7.2
- 7.3 A dan 4.42 A
(Tan, 1982). Puncak lemah reaksi endotermik pada suhu 350 - 390°C mencirikan adanya sedikit mineral oksida besi (goethit). Imogolit dijumpai pada pedon CTR-B4, SNR-A2, SNR-B5 dan SDP-B5 yang dicirikan oleh puncak endotemik DTA pada suhu
420°C (Yoshinaga dan Aomine, 1962) dan puncak difraksi sinar-X pada 5.50 puncak lebar 7.00-8.00
A dan 13-20 A
A,
(Brindley dan Brown, 1980; Otsuka, et al,
1988). Kurva DTA reaksi eksotermik sekitar 320°C mencirikan bahan organik yang mengalami dekomposisi (Taylor, 1959). Secara m u m setiap horison yang kaya bahan organik (horison Ap) memiliki puncak tersebut. Bahan organik (humus) pa& Andisol biasanya membentuk senyawa kompleks dengan ion Al dan Fe (Inoue dan Higashi, 1989). sehingga kopresipitasi Al dan Si hasil pelapukan bahan induk menjadi alofan dan imogolit terhambat. Akibatnya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek horison permukaan lebih rendah dibandingkan dengan horison di bawahnya (Tabel Lampiran 2) dan kandungan ikatan kompleks Al- dan Fe-humus pada horison permukaan atau horison tertimbun lebih tinggi dibandingkan dengan horison di bawahnya (Tabel Lampiran 5). Kandungan gibsit pada pedon yang berkembang dari abu volkan andesit pada lingkungan yang relatif basah (CTR-B4 dan SNR-A2) lebih nyata, sedangkan yang berkembang dari abu volkan basalt pada kondisi curah hujan yang relatif rendah (kering) dan berasal dari bahan induk tua, kandungan haloisit cukup tinggi. Pada lingkungan yang sangat basah (curah hujan
> 4000 mmlth), pedonnya
didominasi oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek, kandungan gibsit lebih nyata pada pedon yang berkembang dari bahan induk tua (CTR-B4) dibandingkan pedon yang berkembang dari bahan induk lebih muda muda (CTR-A2). Secara umum kandungan gibsit pedon yang berkembang dari bahan induk tua dan bersifat andesitik pada curah hujan yang relatif tinggi (CTR-B4 dan SNR-A;?) lebih menonjol dibandingkan pedonpedon laimya. Penomena ini diduga berkaitan dengan proses pencucian Si yang intensif (desilikasi) dan cukup waktu (urnur) bagi kristalisasi gibsit. Hsu (1989) mengemukakan bahwa gibsit biasa dijumpai pada tanah masam yang telah terlapuk lanjut. Pada daerah yang relatif kering dan pedonnya berkembang dari bahan induk tua (SDP-A3), proses desilikasi terhambat sehingga larutan tanah kaya unsur Si dan terbentuk mineral
haloisit (Yoshinaga, 1986). Kandungan gibsit pada pedon SNR-A2 makin meningkat pada horison bawahnya. Hal ini menunjukkan adanya mobilisasi Al-humus dari lapisan atas clan terakumulasi di lapisan bawah (bempa selaput pada pori) akibat pH yang meningkat. Horison permukaan CTR-A2(horison Ap) memiliki puncak reaksi endotermik suhu sedang (520°C) yang ditunjang oleh pun& difraksi sinar-X pada 7.18 A., Ciri-ciri tersebut merupakan petunjuk mineral kaolinit. Hal ini ditunjang oleh mikrograph SEM (Gambar 18e) yang menunjukkan mineral liat kaolinit (Dixon, 1989). Terbentuknya kaolinit pada lapisan ini diduga akibat terbentuknya ikatan kompleks Al-humus, sehingga lapisan atas kaya dengan Si (silikasi) dan membentuk kaolinit disorder. Nisbah molar SiO,lAI,O, fraksi liat relatif tinggi pada horison ini @be1 Lampiran 3). Hasil analisis mineral liat dengan metode DTA dan XRD, yakni dijumpainya mineral liat alofan, imogolit, haloisit dan gibsit pada pedon-pedon dengan lingkungan pedogenik yang berbeda ternyata ditunjang oleh hasil analisis dengan Scanning Electrone Microscope (SEM). Alofan dari horison 2Bw (pedon SDP-BS) teridentifikasi sebagai agregat-agregat halus yang halus berbentuk bulat, mengelompok atau terpisahpisah. Susunan agregat-agregat tunggal (0.25 p) menjadi agregat yang lebih besar (2
-
20 p) dan tidak memperlihatkan pola susunan yang teratur (Gambar 18 a). Hasil pengamatan tersebut sesuai dengan hasil yang ditemukan oleh Eswaran (1972). Wada (1989) dan Goenadi dan Tan (1989). Imogolit yang dijumpai pada horison Ap (pedon SDP-BS) teridentifikasi sebagai partikel-partikel yang memanjang membentuk kelompok (Garnbar 18b) sedangkan imogolit pada horison Ap dari pedon SNR-BS teridentifikasi berbentuk tubular dengan diameter sekitar 0.5 p, panjang 5
-
10 p (pembesaran
10 000 X). Terdapat terpisah di antara partikel-partikel globular amorf dari alofan (Gambar 18f). Hal serupa telah dikemukakan pula oleh Eswaran (1972). Selain itu pada pedon SNR-B.5 ini, ditemukan pula fosil diatome yang merupakan ciri mikroorganisme air (bahan limnik). Soil Survey Staff (1992) mengemukakan bahwa bahan limnik berasal dari tanaman akuitik bawah air dan tanaman akuitik terapung dan selanjutnya
Gambar 12. Kurva Tennogram DTA Pedon CTR-A (kiri) dan Pedon CTR-B (kanan)
Gamhar 13. Kurva Termogram DTA Pedon SNR-A (kiri) dan Pedon SNR-B (kanan)
P
Gambar 14. Kurva Termogram DTA Pedon SDP-A (kiri) dan Pedon SDP-B (kanan)
I..
I
.
*
Pedon CTR-A2
-.
I."
I.
..
,,
,.
Pedon CTR-B4
Gambar 15. Kurva Difraktogram Sinar-X Pedon CTR-A (kiri) dan Pedon CTR-B (kanan)
Pedon SNR-A2
Pedon SNR-B5
Gambar 16. Kurva Difraktogram Sinar-X Pedon SNR-A (kiri) dan Pedon SNR-B (kanan)
/ \ .
~'bl
444
..
7,2
K+,IOO
A'bl
,o
5
uo2'olr uq2*
2
.-.. . . "
Pedon SDP-A3
I
Pedon SDP-B5
Gambar 17. Kurva Difraktograrn Sinar-X Pedon SDP-A (kiri) dan Pedon SDP-B (kanan)
diiodifikasi oleh fauna akuatik. Dengan demikian diduga bahwa lokasi pedon SNR-BS pernah mengalami suatu periode genangan air yang kemudian surut kembali. Bukti lain yang mendukung asumsi tersebut adalah masih ditemukannya danau-danau volkanik disekitar daerah Sinumbra, seperti Danau Patenggang. Dijumpainya fosil diatome pada agregat tanah Andisol dari daerah beriklim sedang pernah dilaporkan pula oleh Hetier (1975 dalam Duchaufour, 1982).
.e
Horison BC dari pedon SDP-A3 yang didominasi mineral liat haloisit,(DTA dan XRD),pada pengamatan melalui mikroskop elektron (SEM) dengan pembesaran 10
000 X didominasi oleh partikel-partikel yang berbentuk tubular berdiameter sekitar 0.2 p,
panjang 0.5 sampai 1.0 p (Gambar 18c). Hal serupa pernah pula ditemukan oleh
Eswaran (1972) dan Dixon (1989). Hasil pengamaan dengan SEM menunjukkan bahwa mineral gibsit pada pedon SNR-A2 (horison 2BC) dijumpai berupa partikel-pertikel diskrit kristalin berbentuk membulat dengan diameter 1 - 2 p (Gambar 18d). Hasil ini serupa dengan fotomikrograf yang dilaporkan oleh Schoen dan Roberson (1970 &lam Hsu, 1989). Berdasarkan susunan mineral fraksi liatnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pedon-pedon yang telah mengalami pelapukan lanjut atau berkembang dari bahan induk yang relatif lebih tua ialah pedon SDP-A3, SNR-A3 dan CTR-B4, sedangkan pedon dengan tingkat pelapukan yang lebih muda atau berkembang dari bahan induk yang lebih muda ialah pedon SDP-A3, SNR-B5 dan CTR-A2. Hal ini sejalan dengan hasil penilaian tingkat pelapukan tanah berdasarkan komposisi mineral fraksi pasirnya. Selain menggunakan metode DTA dan XRD, dalam penelitian ini digunakan pula metode estimasi mineral-mineral ordo kisaran pendek tanah (alofan plus imogolit) secara kuantitatif dengan menggunakan Al (Alo) dan Si (Sio) yang terekstrak oleh larutan oksalat masam atau yang berasal dari mineral-mineral ordo kisaran pendek, serta A1 dan Fe yang terekstrak lamtan pirofosfat untuk menduga A1 dan Fe yang terikat dalam kompleks humus. Kemudian nisbah AllSi dari alofan diperoleh dari perhitungan (Alo-Alp)/Sio, dinyatakan dalam nisbah atom. Kandungan alofan dari fraksi
Gambar 18. Fotomikrograf SEM. Alofan (A) pada hor B'wb, SDP-BS (a); Imogolit (Im) pada hor Ap, SDP-BS (b); Haloisit (H) pada hor BC, SDP-A3 (c); Gibsit (Gb) pada hor BC'b, SNR-A2 (d); Kaolinit (K) pada hor Ap, CTR-A2 (e); Diatome (D) pada hor Ap, SNR-BS (f)
tanah halus (< 2 mm) dihitung dengan mengalikan Sio dengan faktor-faktor yang sesuai dengan nisbah AIISi (Parfitt, 1986). Kandungan ferihidrit diperoleh dengan mengalikan Feo dengan faktor 1.7 (Childs, 1985 &lam Parfitt, 1988). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kandungan Alo, Feo, Sio, AlISi, Alp, Fep, kandungan alofan plus imogolit dan ferihidrit di setiap lokasi penelitian (Tabel 8) cukup beragam sesuai dengan lingkungan pedogeniknya. Data selengkapnya ibengenai parameter-parameter tersebut disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan 6. Tabel 8. Rerata Kandungan Al, Fe, ~i-oksalat.Al dan Fe-pirofosfat, AIISi, (AI+lRFe)o, Alofan plus Imogolit dan Ferihidrit pada Tanah Andisol di Setiap Lokasi Penelitian NO.
Lokasi
A10
Sio
Alp
Feo
Fep
Al/Si
Alofan
CTR-A CTR-B SIR-A SNR-8 SDP-A
SDP-B
5.40 6.41 4-95 4.55 2.45 8.87
bc c b
b a
d
1.65 1.61 2.29 0.84 1.35 3,54
bc bc c a
5.17 5.46 4.28 4.55 ab 2.81 d 3.94
Ferihidrit
(AL+'hFe)o
X
X c c
b
0.m c
0.75 bc
0.51 bc 0.62 a 0.44 b 0.49
a
ab a
ab
0.95 0.47 0.31 0.50 0.16 2.62
c 3.24 cd abc 3.93 d ab 3-06 bcd ab 2.11 b a 1.05 a d 2.62 bc
13.85 22.84 18.51 15.83 9.51 32,57
b cd be
b b
d
8.79 9.28 7.28 7.74 4.78 6.70
c c b bc a b'
8.16 9.17 6.73 5.72 3.86 10.85
cd cd abc ab a
c
Keterannan : - Angka-angka yang diikuti humf yang sama secara venikal tidak berbeda nyata menurut uji - T
Berdasarkan data pada Tabel 8, rerata nisbah AllSi dari pedon-pedon Andisol y ang diamati berkisar dari 1.05 sampai 3.93. Parfitt (1986) mengemukakan bahwa alofan tanah dengan nisbah AllSi antara satu dan dua adalah campuran antara protoimogolite allophane dan alofan dengan AllSi sama dengan satu. Alofan dengan nisbah AIISi lebih besar dari dua diduga memiliki struktur proto-imogolit dengan kekosongan beberapa silikat tetrahedra. Alofan dengan nisbah AIISi lebih kecil dari satu, diduga memiliki sejumlah besar polimer silikat dalam strukturnya. Proto-imogolit alofan (AIISi = 2) tersusun dari unit-unit kecil yang mempunyai struktur imogolit tapi satuansatuan tersebut terlalu kecil untuk memperlihatkan morfologi tubular imogolit. Alofan tanah dengan AllSi mendekati satu mempunyai struktur yang sedikit agak berbeda dengan proto-imogolit alofan. Alofan ini memiliki kandungan Si yang lebih
tinggi dan silikatnya berpolimerisasi. Atom Al, terutama berada pada lembar oktahedral. Alofan tersebut juga memiliki morfologi bulatan-bulatan berlubang. Berdasarkan penjelasan Parfitt (1986) tersebut, alofan pada tanah-tanah Andisol yang diteliti umumnya mempunyai nisbah AIISi > 2, yakni lokasi SDP-B, SNR-A, CTR-B dan CTR-A. Dengan demikian maka diduga alofan di lokasi-lokasi tersebut mempunyai struktur proto-imogolit dengan kekosongan pada beberapa silikat tetrahedra.
'
Andisol di SDP-A memiliki nisbah AllSi sekitar satu, alofan jenis ini mcmiliki kandungan Si yang lebih tinggi dan silikatnya berpolimerisasi. Berdasarkan hasil analisis XRD dan DTA. lokasi SDP-A ini didominasi oleh mineral liat haloisit. Alofan di lokasi SNR-B memiliki nisbah AllSi mendekati dua, sehingga diduga berupa protoirnogolit alofan, yakni alofan yang menyerupai imogolit. Bila ditinjau dari lingkungan pembentukan tanahnya, maka ada kecenderungan bahwa dengan meningkatnya curah hujan, pada pedon yang berkembang dari bahan induk andesit (lokasi SNR-A, CTR-A, dan CTR-B), maka nisbah Al/Si makin meningkat. Hal ini diduga berkaitan dengan proses pencucian Si (desilikasrJyang makin intensif dengan semakin tingginya curah hujan. Di daerah yang relatif kering (SDP-A dan SDP-B) atau lebih basah (SNR-A) pada pedon yang berkembang dari bahan induk basalt memiliki nisbah AllSi yang rendah. Penomena ini diduga terjadi akibat rendahnya kandungan Al-amorf pada suasana kemasaman tanah yang lebih basa serta pencucian unsur Si yang relatif rendah pada daerah yang lebih kering bila dibandingkan dengan lokasi lainnya (Ciater). Bila ditinjau dari umur endapan bahan volkan, lokasi CTR-A lebih muda dari lokasi CTR-B (Van Bemmelen, 1949). Masing-masing berkembang dari bahan volkan andesit. Narnun demikian nisbah AllSi CTR-A (muda) lebih rendah dari CTR-B (Na) sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa nisbah AllSi di daerah Ciater tidak dipengaruhi umur bahan induk, tapi lebih ditentukan oleh kondisi pencuciamya, dimana pada pedon muda CTR-A ditemukan adanya lapisan yang memadas sehingga proses pencucian sedikit terhambat. Hal serupa terjadi pula di daerah Sinumbra, dimana pedon-
pedon SNR-A (ma, andesit) memiliki nisbah AllSi sebesar 3.06 sedangkan SNR-B (muda, basalt) sebesar 2.11. Lain halnya di daerah Sedep dimana tanah Andisol samasama berkembang dari bahan volkan basalt pada kondisi pencucian relatif rendah, umur bahan induk berpengaruh terhadap nisbah AlISi, d i i AIISi di SDP-A (ma) bernilai 1.05 sedangkan di SDP-B (muda) sebesar 2.62. Diduga perbedaan umur bahan induk a
di daerah ini relatif besar.
Nisbah AllSi pada Andisol akan menentukan jenis dari meneral alofan.. Pada nisbah AI/Si yang kecil, mineral liat biasanya sudah didominasi oleh mineral liat kristalin seperti haloisit, sedangkan pada nisbah yang tinggi biasanya didominasi oleh mineral liat ordo kisaran pendek. Adanya perbedaan komposisi mineral liat tersebut diduga akan berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah lainnya. Pada Tabel 9 disajikan rerata nilai sifat-sifat kimia, fisika dan mineral Andisol pada berbagai kisaran nisbah AI/Si. Tabel 9. Rerata Sifat Kimia, Fisika dan Mineral Liat Andisol pada Empat Kisaran Nisbah AllSi Nisbah A L / S ~ * NO.
S i f a t Tanah
< 1.0 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
pH-UaF ( u n i t ) pH0 (unit) Total Basa (me/100g) Al-dd (me/100g) Kation Asam (me/100g) Karbon organik (XI KTKE (me/100g) Retensi-P (X) Alo+%Feo (X) Muatan Perlnanen (ne1100g) Muatan Tergantung pH (me/100g) A l - p i r o f o s f a t (X) Fe-pirofosfat (X) Bobot i s i (glcm3 ) Retensi a i r 15 bar LL (X) Alofan + lmogolit (X) F e r i h i d r i t (X)
Keterangan :
*
9.39 3.10 4.80 1.63 42.02 3.80 6.70 90.83 1.69 6.42 40.40 0.44 0.49 0.76 52.84 3.48 1.55
1.0
-
< 2.0
10.37 4.05 2.88 0.41 90.45 6.80 3.53 97.22 6.76 3.36 90.03 0.55 0.41 0.53 73.63 17.45 4.58
berdasarkan ekstraksi dengan amoniun oksalat ( P a r f i t t ,
2.0
-
< 3.0
10.46 4.67 1.75 0.32 114.85 6.84 2.37 98.14 9.13 2.08 114.53 0.62 0.39 0.42 87.13 24.54 4.30 1986)
> 3.0
Berdasarkan Tabel 9, tampak bahwa nilai sifat-sifat tanah beragam sesuai dengan Nisbah AIISi. Andisol dengan nisbah AI/Si yang kecil akan memiliki pH (NaF), pHo, kation asarn, karbon organik, retensi-P, (A1+ %Fe)-oksalat, muatan tergantung pH, kompleks Al- dan Fe-humus, retensi air 15 bar, kandungan alofan dan ferihidrit yang rendah bila dibandingkan dengan tanah dengan nisbah AllSi yang lebih besar. Sebaliknya kandungan basa-basa, Al-dd, KTKE, dan muatan permahen lebih tinggi dibandingkan tanah yang nisbah AIlSi-nya besar. Peningkatan atau penyrunan nilai rerata beberapa sifat tanah tersebut bersifat konstan sampai pada nisbah AllSi antara 2
- < 3.
Pada nisbah
> 3, terjadi perubahan yang sebaliknya, kecuali
pada nilai kation asam, (A1+1/2Fe)o, muatan tergantung pH, bobot isi, retensi air 15 bar, dan kompleks Al- dan Fe-humus. Penomena ini diduga akibat tingginya kandun-
gan kompleks Al- dan Fe-humus pada nisbah AllSi > 3. Wada (1985 dalam Inoue dan Higashi, 1988) mengemukakan bahwa kompleks Al- dan Fe-humus memiliki arti penting pada genesis Andisol dan terhadap sifat-sifatnya. Baru-baru ini dijumpai tanah Andisol yang tidak m e m i l i alofan tapikaya dengan kompleks Al- dan Fe-humus, terutama di lapisan atas, memperlihatkan sifat-sifat tanah Andik. Penemuan ini telah membawa beberapa perubahan dalam konsep utama dan definisi sifat-sifat tanah andik pada Andisol (Leamy et al, 1980; Leamy, 1987 dalam Inoue dan Higashi, 1988). Pada nisbah AIISi di atas dua, peningkatan kandungan kompleks Al- dan Fehumus dapat meningkatkan KTKE, kemasaman terekstrak,. (Al+ HFe)-oksalat, muatan permanen dan muatan tergantung pH, dan retensi air 15 bar. Tapi dapat menurunkan nilai pHo, pH(NaF), karbon organik, retensi-P, bobot isi, kandungan alofan dan imogolit. Banyak peneliti berpendapat bahwa akumulasi bahan organik pada Andisol dapat menghambat pembentukkan alofan dan imogolit (Inoue dan Higashi. 1988; Tan, 1984; Yoshinaga, 1988). Hal tersebut terutama akibat terhambatnya kopresipitasi Al dan Si melalui pembentukkan senyawa kompleks Al-humus yang stabil. Namun berdasarkan
hasil penelitian ini, kandungan alofan meningkat sejalan dengan peningkatan bahan organik dan menurun dengan menurunnya bahan organik. Penurunan bahan organik dan kandungan alofan ini sejalan dengan meningkatnya kandungan kompleks Al- dan Fe-humus. Dengan demikian kompleks Al- dan Fe-humus ini melindungi senyawa karbon dengan baik sehingga terhindar dari oksidasi pada saat pengukuran karbon organik dengan asam khromat. Penomena ini tentu saja hams ada pembufiian lagi melalui penelitian khusus. Di seluruh daerah penelitian kandungan alofan mempengaruhi beberapa sifat kimia dan fisika, di antaranya ialah pHo, Sio, Alo, (Al+HFe)-oksalat, pH(KC1). pH(H,O), pH(NaF), kation asam, bobot isi 113 bar dan retensi air pada 15 bar contoh kering udara (Tabel Lampiran 9). Untuk lebih jelasnya maka pada Gambar 19 disajikan kurva hubungan antara kandungan alofan dengan pH0 dan retensi air 15 bar lembab lapang. Penomena di atas sesuai dengan pendapat Tan (1984), bahwa kandungan alofan pada Andisol akan mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya. Berdasarkan ha1 tersebut, kandungan alofan pada 150 horison yang diteliti dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu kandungan alofan lebih kecil dari 1 persen, 1 persen, 20 -
< 10 persen, 10 - < 20
< 30 persen dan > 30 persen. Berdasarkan lima kelompok kandungan
alofan tersebut, kemudian dihitung rerata sifat-sifat kimia dan fisikanya. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan data pada Tabel 10, peningkatan kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit) pada tanah Andisol ternyata akan diikuti oleh perubahan sifat-sifat kimia, fisika dan mineral lainnya. Ada tiga kecenderungan utama dari data pada Tabel 10,
yaitu : ( I ) kandungan
alofan plus imogolit yang meningkat akan disertai oleh meningkatnya nilai dari sifatsifat tanah, dan (2) penurunan nilai dari sifat-sifat tanah, (3) nilai sifat-sifat tanah meningkat atau menurun tapi pada kandungan alofan plus imogolit
> 30 persen, arah-
nya berubah. Sifat-sifat yang nilainya meningkat dengan meningkatnya kandungan
c 5
-
.........
m
z
4
....
=
I
-x
Y
............
1
0
20- ..................
...............
a:
.....................
...........
.............
m I
20
40
BO
50
100
123
RETENS1 AIR LEMB.48 LAPANG (:*A)
Tabel 10. Rerata Beberapa Sifat Kimia dan Fisika Andisol Berdasarkan Lima Kelompok Kandungan Alofan plus Irnogolit *) Kandmgan Alofan plus ImogoLit (X) No.
Pararneter
* 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16'. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
1.0
4.79 3.59 1.28 APH pH(YaF), 2' 9.24 pH0 2.93 Total Base # 4.97 At-dd # 1.94 Kernasman Terekstrak # 26.71 C-organik (X) 2.76 KTKEX 7.17 KTK-pH7 R 14.00 Retensi-P (X) 88-99 Si-oksalat (X) 0.55 AL-oksalat (X) 0.36 Fe-oksalat (X) 1.24 AL/Si 0.21 (A1 + hFe)oksalat (X) 1.24 Muatan Permanen # 6.91 Muatan Tergantung pH # 24.77 Bobot I s i 1 / 3 bar #U 0.79 PemabiLitas (cn/jam) 2.47 Retensi a i r LL (XI 50.16 Retensi a i r KU (X) 36.65 Kadar a i r LL (X) 56.27 Kadar a i r KU (X) 15.66 Ferihidrit (X) 0.94 pH(H20) pH(KC0
1.0
- < 10
4.31 4.22 0.32 9.76 3.80 2.70 1.19 76.43 6.93 4.19 12.14 94.52 1.03 2.54 4.31 1.93 4.31 3.94 75.26 0.61 43.97 58.59 36.66 82.68 27.72 1.76
10
- < 20
4.48 4.57 0.12 10.35 4.39 2.47 0.39 109.12 6.28 3.18 12.03 97.90 1.74 5.09 7.43 2.88 7.43 2.90 109.08 0.47 28.23 81.12 41.13 115.47 41 .50 3.04
.
20
- QO
4.69 4.74 0.03 10.14 4.68 1.37 0.17 123.77 6.54 1.94 11.49 98.47 2.32 6.66 9.01 2.90 9.01 1.55 121.05 0.40 20.33 94.20 45.00 133.40 56.11 3.89
> 30
5.63 5.16 0.44 M 5.06 2.92 0.09 123.00 5 .80 3.22 15.54 98.72 3.90 9.83 11 -87 2.75 11.87 3.01 122.91 0.40 16.53 '97.14 .55.94 135.94 48.81 6.63
.%
.
Keteranean : LL = Lembab Lapang; KU = Kering Udara *) = Menurut metode Parfitt (1986); # = me1100g; ## = g/cm3
alofan plus imogolit ialah pH(KCI), pH(NaF), pHo, KTK-Jumlah Kation, retensi-P, Si oksalat, Al oksalat, Fe oksalat, (Al+ '/iFe)-oksalat, retensi air 15 bar lembab lapang dan kering udara, kadar air lembab lapang, kandungan ferihidrit dan muatan tergantung
pH tanah (MTP). Sifat-sifat yang menurun dengan meningkatnya kandungan alofan plus imogolit ialah kandungan Al-dd dan bobot isi 15 bar. Nilai dari sifat tanah yang menurun dengan meningkatnya kandungan alofan plus imogolit sampai 20 -
< 30%, tapi
> 30 persen ialah
A pH, jumlah
meningkat lagi pada kandungan alofan plus imogolit
basa, KTKE, KTK (pH7). dan muatan permanen tanah. Sedangkan yang meningkat
kemudian turun lagi pada kandungan alofan plus imogolit
> 30 persen ialah jumlah
kemasaman terekstrak (extractable acidity), kandungan karbon organik, nisbah AI/Si, dan kadar air kering udara. Hal yang menarik dari hubungan-hubungan di atas ialah berubahnya nilai dari sifat-sifat kimia dan fisika pada kandungan alofan plus imogolit > 30 persen. Muatan permanen tanah nilainya rnenurun dengan meningkatnya kandungan alofafi sampai kisaran 20 - 30 persen, tapi bila kandungan alofan plus imogolit
> 30 persen,.maka
muatan permanen tanah meningkat lagi mendekati nilai pada kandungan alofan plus imogolit 10 - 20 persen. Meningkatnya muatan negatif ini diduga bukan berasal dari bahan organik, karena k a n d u n g a ~ y amenurun pada kandungan alofan plus imogolit
> 30 persen. Nisbah AI/Si menurun lagi, jumlah basa-basa meningkat lagi dan kadar ah alarni kering udara menurun lagi pada kandungan alofan plus imogolit > 30 persen. Penomena ini sulit untuk dijelaskan, namun menurut dugaan penulis faktor yang memegang peranan dalam kasus tersebut adalah adanya kandungan ferihidrit yang tinggi pada kandungan alofan plus imogolit > 30 persen. Kandungan ferihidrit yang tinggi ini diduga dapat meningkatkan muatan negatif tanah yang mengikat kation-kation basa non A13+, menurunkan kadar air tanah bila dikeringkan. Muatan negatif pada ferihidrit (5Fe20,.9H20), atau oksida besi muda yang kristalisasinya buruk atau amorf, muncul akibat substitusi isomorphi (Schwertmam dan Taylor, 1989). Horison-horison Andisol yang memiliki kandungan alofan plus imogolit > 30 persen umumnya berasal dari lokasi SDP-B, yaitu Andisol yang berkembang dari bahan volkan basalt. Umumnya berasal dari horison bawah atau horison tertimbun. Abu volkan basalt kaya senyawa besi atau mineral feromagnesia. Pelapukan mineral-mineral feromagnesia akan melepaskan besi. Pada lingkungan yang relatif kering pembentukkan kompleks Fe-humus sedikit tertekan akibat akumulasi bahan organik yang rendah. Sehingga besi akan membentuk besi oksida yang parakristalin melalui oksidasi pada lingkungan drainase yang baik.
Berdasarkan data pada Tabel 10, ferihidrit menunjukkan sumbangannya terhadap sifat-sifat tanah andik, meningkatkan pHo, A pH, total basa, muatan permanen, retensi air 15 bar, KTKE, pH(H,O), pH(KC1), pH(NaF), retensi-P dan KTK (pH7). Tapi menurunkan kadar bahan organik, kation asam dan nisbah AlISi. Uji pH(NaF) telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk menduga secara semi kuantitatif kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek pada Andisol (Suwarno, 1988; Sjarif, 1990).
Dalam penelitian ini untuk menduga secara semikuantitatif kandungan mineralmineral ordo kisaran pendek tanah, juga dilakukan pengujian dengan pengukuran pH(NaF) diantaranya pada interval waktu 2 menit setelah pemberian 50 ml larutan NaF 1M pada 1 gram contoh tanah halus lembab lapang. Nilai rerata pH(NaF) di setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11. Hasil pengujian selengkapnya disajikan pada Tabel Lampiran 6. Tabel 11. Rerata Hasil Uji pH(NaF) dalam Interval Waktu 2 Menit dari Pedon-pedon AndisoI di Setiap Lokasi Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
Lokasi
pH (NaF)
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
9.74 9.96 10.26 10.96 9.57 10.96
a a b c a c
Kriteria sedikit sedikit sedikit banyak tidak ada banyak
banyak banyak banyak
- sedikit
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh humf yang sama secara vertikal tidak berbeda nyata menurut Uji-T
Berdasarkan data Tabel 11, pH(NaF) pedon-pedon CTR-A, CTR-B dan SDP-A tidak berbeda nyata, tapi berbeda nyata dengan pedon SNR-A, SNR-B dan SDP-B. Ketiga pedon terakhir juga masing-masing berbeda nyata menurut uji-T. Pedon yang berkembang dari bahan induk tua (pleistosen) SDP-A memiliki nilai pH(NaF) yang terendah akibat rendahnya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek karena telah berubah menjadi haloisit, sedangkan pedon SNR-B memiliki
pH(NaF) yang tertinggi akibat kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek yang cukup tinggi dan kandungan bahan organik yang tinggi. Pedon yang berkembang dari bahan induk muda (holosen) SDP-B tercatat memiliki kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek yang tertinggi juga memiliki pH(NaF) yang tinggi, tapi sedikit lebih rendah dari nilai pH(NaF) pedon yang berkembang dari bahan induk muda SNR-B akibat kandungan bahan organiknya yang lebih rendah dibandingkan pedon GNR-B. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kandungan bahan organik pada tanah Andisol dapat meningkatkan pH(NaF). Penomena ini bisa difahami mengingat bahan organik (humus) banyak memiliki gugus -OH dari gugus karboksil yang bisa digantikan oleh ion F dari larutan NaF sehingga pH meningkat. Menurut uji korelasi, pH(NaF) berkorelasi nyata dengan sifat tanah andii seperti retensi fosfat (r = 0.60). (AI+%Fe)-oksalat (r = 0.50), bobot isi 113 bar (r = -0.41). Untuk lebih jelasnya pada Tabel 12 disajikan nilai koefisien korelasi antara pH(NaF) dengan beberapa sifat tanah Andisol. Berdasarkan data pada Tabel 12, nilai pH(NaF) dipengamhi oleh banyak sifat tanah laimya yang bersumber dari adanya mineral-mineral ordo kisaran pendek seperti alofan plus imogolit dan ferihidrit. Korelasi yang Iebih tinggi dari alofan plus imogolit dibandingkan dengan ferihidrit terhadap pH(NaF) menggambarkan bahwa pada alofan plus imogolit lebih banyak mengandung gugus -OH dibandingkan ferihidrit. Tingginya kompleks Fe-humus dapat menekan pH(NaF), diduga akibat terhambatnya pembentukkan senyawa amorf ferihidrit. Muatan titik no1 (pHo) hubungamya sejalan dengan pH(NaF), makin tinggi nilai pH(NaF) maka makin meningkat pula nilai pHo. Penomena ini terjadi akibat tingginya alofan dengan semakin tingginya pH(NaF), dimana alofan memiliki nilai pH0 yang tinggi (Sakurai, 1989).
Tabel 12. Koefisien Korelasi antara pH(NaF) dengan Beberapa Sifat T 'Andisol --
No.
-
Koefisien Korelasi (r)
Sifat Tanah
~ a + ~ 1 ~ + Kemasaman Terekstrak Karbon organik KTKE Retensi-P Si-oksalat Al-oksalat Fe-oksalat (Al+%Fe)o Fe-pirofosfat Al/Si-oksalat Muatan Permanen Muatan Tergantung pH Bobot Isi 1/3 bar Retensi air 15 bar LL Retensi air 15 bar KU Alofan plus imogolit Ferihidrit Keteranaan : LL = Lembab Lapang; KU = Kering Udara r tabel (a = 0.05) = 0.13
*
H u b u n ~ a nLinekunean Pedogenik Terhadao B e b e r a ~ aSifat Kimia. Fisika dan Mineral Tanah Andisol Hasil analisis kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek, beberapa sifat kimia dan fisika disajikan pada Tabel Lampiran 2, 3, 4 dan 5. Berdasarkan pengkajian deskriptif terhadap data yang diperoleh, maka diketahui hubungan antara tiga faktor pembentuk tanah (iklimlzona agroklimat, umur bahan induk dan sifat bahan induk) terhadap beberapa sifat kimia, fisika dan mineral semua pedon yang diteliti seperti tertera pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa iklim (curah hujan) mempakan faktor pembentuk tanah utama yang mempengamhi sifat-sifat tanah Andisol, kemudian umur bahan induk tanah sedangkan yang paling rendah hubungannya adalah sifat bahan induk tanah.
'Iiibel 13. Hubungan Antara Faktor Pembentuk Tanah Terhadap Beberapa Sifat Kimia, Fisika dan Mineral Tanah Andisol Faktor Pembentuk Tanah No. Sifat Tanah
Iklim'
Umur Bahan Induk
Bahan Induk
1. pH(H,O) 2. ApH 3. DHO -~
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
- -
C-organik
KTK @H7) KB Retensi-P (A1+ HFe)oksalat (Al+Fe)-pirofosfat Pasir, Debu. Liat BD 113 Bar Retensi Aii 15 Bar Mineral liat Mineral Pasir
o x xx o x
Keteranean : *) meliputi curah hujan dan temperatur xx = berpengaruh x = agak berpengaruh
o = tidak berpengaruh
Sifat bahan induk menunjukkan hubungamya terhadap komposisi mi'neral pasir. Bahan volkan basalt mengandung mineral olivin berkisar dari sediit sampai sedang dan jenis mineral plagioklasnya ialah bitownit dan labradorit. Sedangkan bahan volkan andesit tidak mengandung olivin dan jenis mineral plagioklasnya ialah andesin atau labradorit. Selain itu, pada bahan volkan andesit cenderung memiliki kandungan hornblende yang lebih banyak dibandingkan dengan bahan volkan basalt. Perbedaan komposisi mineral laimya antara bahan volkan basalt dan andesit tidak begitu jelas. Penomena tersebut dapat terjadi akibat bahan volkan dapat memiliki sesuatu kisaran komposisi mineral, meskipun dari tipe batuan yang sama (Shoji, 1985 dalam Yoshinaga, 1988). Tanah-tanah yang diteliti telah mengalami pelapukan dalam periode waktu dan di bawah kondisi lingkungan pedogenik yang berbeda, sehingga beberapa mineral dapat terlapuk lebih cepat dari yang lain atau laju pelapukan dari suatu mineral mungkin berbeda bergantung pada kondisi pelapuka~ya. Resultanta dari faktor-faktor ling-
kungan yang mempengaruhi komposisi mineral pasir (termasuk nisbah MHLIMML) tercermin dalam umur bahan induk tanah. Komposisi mineral liat sedikit dipengaruhi oleh sifat bahan induk, tapi lebih dipengaruhi oleh kondisi iklim (curah hujan) dan umur bahan induk tanah. Pengaruh iklim dan umur bahan induk terhadap kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek bekerja melalui pengaruhnya terhadap bahan organik. Pada lingkungan yangkering dan umur bahan induk tua, kandungan C-organik lebih rendah dibandingkan pada lingkungan basah dan bahan induk muda. Di daerah yang relatif kering, kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit dan ferihidrit) pada pedon yang berkembang dari bahan induk tua lebih rendah dibandingkan dengan pedon yang berkembang dari bahan induk yang lebih muda. Sedangkan di daerah yang lebih basah kaadungan mineral-mineral ordo kisaran pendeknya rendah pada pedon-pedon yang memiliki kandungan C-organik tinggi. Pada lokasi yang sama, pH0 pedon yang berasal dari bahan induk tua lebih rendah dibandingkan pedon yang berasal dari bahan induk yang lebih muds kecuali di daerah Ciater. Alterasi alofan dan imogolit menjadi haloisit pada pedon dari bahan induk tua diduga telah menurunkan nilai pHo. Sakurai (1989) mengemukakan bahwa nilai pH0 mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan) lebih tinggi dibandingkan dengan mineral silikat berlapisan. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini diiana didapat korelasi positif antara pH0 dengan semua persyaratan sifat tanah andik. Di daerah Ciater, ditemukannya mineral kaolinit (disorder) pada pedon dari bahan induk muda (CTR-A) menyebabkan rendahnya nilai pH0 dibandingkan pedon yang berkembang dari bahan induk yang lebih tua (CTR-B). Proses pencucian dan pelapukan yang intensif di daerah Ciater menyebabkan fraksi koloidnya bermuatan netto positif, sedangkan di daerah yang relatif kering bermuatan negatif. Uehara dan Gillman (1981) mengemukakan bahwa di daerah tropik, tanah dengan sifat akrik sering ditemukan dari batuan basalt yang mudah terlapuk. Nilai pH (H,O),pH (KCI) dan pH (NaF) makin meningkat dengan semakin rendahnya
curah hujan, dan pedon dari bahan induk tua umurnnya memiliki nilai-nilai pH tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon dari bahan induk muda. Total basa-basa (Ca, Mg, K, Na) makin meningkat dengan semakin rendahnya curah hujan. Di daerah dengan curah hujan tinggi (pedon CTR-AZ), tanah Andisol yang berkembang dari abu volkan andesit memiliki kandungan total basa yang paling rendah. Kandungan Al-dd lebih terkait dengan tingkat pelapukan pedon (umhr bahan induk), semakin lanjut tingkat pelapukan, umumnya kandungan Al-dd makin meningkat. Kandungan ion H-dd lebii menonjol di daerah curah hujan tinggi (Ciater), sema-
kin kering daerahnya maka semakin rendah kandungan H-dd. Selain itu kandungan Hdd cenderung lebih tinggi pada pedon yang berkembang dari bahan induk tua dibandingkan pedon yang berkembang dari bahan induk yang lebih muda. Kernasaman terekstrak (H+ yang terekstrak dengan larutan BaC1,-TEA, pH 8.2) dan muatan tergantung pH (MTP)mendominasi pedon-pedon yang terletak di daerah basah (Ciater), semakin ke daerah kering makin rendah kandungannya. Makin tua umur bahan induk tanah, kemasaman terekstrak dan MTP umumnya makin rendah. Sedangkan kejenuhan basa (pH 7) dan KTK (pH 7) sebaliknya, makin ke daerah kering maka nilainya makin meningkat. Kandungan (A]+ 95Fe)-oksalat cukup beragam kandungannya, namun demikian di daerah yang relatif kering (Sedep), nyata dipengaruhi oleh umur bahan induk. Makin tua umur bahan induknya maka makin rendah kandungannya. Sementara itu kompleks Al- dan Fe-humus lebih dipengamhi oleh curah hujan dibandingkan umur bahan induk dan sifat bahan induknya. Makin tinggi curah hujan, makin tinggi kandungan kompleks Al- dan Fe-humusnya. Kandungan pasir, liat dan bobot isi tanah Andisol lebih terkait dengan umur bahan induknya. Makin tua umur bahan induk atau makin lanjut tingkat pelapukan pedonnya makin rendah kandungan pasirnya. Sementara itu kandungan liat dan bobot isi tanah makin meningkat.
Pedogenesis Andisol Daerah Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikemukakan bahwa proses-proses pembentukan tanah di daerah penelitian terutama dipengaruhi oleh iklim (curah hujan clan temperatur). Faktor kedua yang beperanan adalah umur bahan induk
dan terakhii adalah sifat bahan induknya.
a
Proses-proses pembentukan tanah yang utama pada Andisol di seluruh daerah penelitian ialah pelapukan mineral-mineral alumino silikat primer dan pembentukkan mineral-mineral sekunder, terutama mineral-mineral ordo kisaran pendek seperti alofan, imogolit dan ferihidrit, serta transformasi mineral-mineral ordo kisaran pendek menjadi mineral-mineral kristalin seperti haloisit, gibsit dan kaolinit, terutama pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua. Proses pemindahan bahan (translokasi) dan penimbunan bahan-bahan tersebut di dalam solum pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk muda sangat sedikit dan makin meningkat dengan makin tuanya umur bahan induk tanah. Selain itu terjadi proses akumulasi, pela~ukan dan transformasi bahan organik menjadi humus (humijikus~]berikut pencampuran dengan fraksi tanah membentuk struktur tanah yang remah atau granuler. Akumulasi bahan organik yang tinggi pada horison permukaan merupakan ciri khas pada Andisol. Bahan organik tersebut umumnya membentuk ikatan kompleks dengan unsur A1 dan Fe, sehingga lapisan permukaan Andisol umumnya memiliki kandungan senyawa kompleks Al- dan Fe-humus yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan bawahnya. Demikian pula terjadi pencucian unsur-unsur basa dan silikat, translokasi dan immobilisasi unsur-unsur Al- dan Fe-humus, migrasi liat, debu halus (lessivage) dan bahan organik, pelepasan besi dari mineral-mineral primer (braunifikasi), akumulasi besi (nodul) (Gambar 22g) dan penimbunan unsur atau bahan tercuci di horison bawah (Gambar 22d). Proses-proses pembentukan tanah yang telah terjadi meninggalkan ciriciri diagnostik seperti epipedon okrik, horison kambik, duripan dan kenampakan-kenampakan pedologi berupa pengisian (infilling) rongga-rongga (void)
atau penyelaputan (coating) pada pori atau ped oleh fraksi liat (alofan/imogolit, haloisit, gibsit), bahan organik dan mikroped (Garnbar 23c). Pada pedon-pedon dari bahan induk tua di daerah yang relatif kering (SDP-A3) mineral alofan telah berubah menjadi metahaloisit atau haloisit hidrat. Pembentukan mineral ini diduga melalui proses silikasi, yakni pemindahan Al secara kimia sehingga Si tertinggal dan meningkat konsentrasinya. Nisbah SiO,lAI,O, relatif tinggf (Tabel Lampiran 3). Sementara itu di daerah yang relatif basah (Ciater), mineral liat ordo kisaran pendek masih mendominasi, dan sedikit dijumpai gibsit di lapisan bawahnya. Pedon dari bahan induk tua yang berkembang dari bahan volkan andesit di daerah dengan curah hujan cukup tinggi (SNR-A2) mineral liat alofan dan atau imogolit telah berubah menjadi mineral liat kristalin gibsit. Kandungannya makin meningkat dehgan meningkatnya kedalaman tanah. Terbentuknya mineral gibsit pada pedon ini diduga melalui translokasi A1 dalam bentuk Al-humus dan mengendap di Iapisan bawah akibat pH yang meningkat dan cukup waktu bagi kristalisasi gibsit. Berdasarkan sekuen transformasi mineral liat ordo kisaran pendek (amorf) menurut Wada dkn Aomine (1973). maka diduga bahwa pedon SNR-A merupakan pedon-pedon yang telah menga-
lami pelapukan lanjut. Kandungan alofan, pada horison permukaan semua pedon lebih kecil dibandingkan dengan horison-horison di bawahnya (Tabel Lampiran 2). Tetapi kandungan kompleks Al- dan Fe-humus sebaliknya. Hal ini berkaitan dengan akumulasi bahan organik yang tinggi di horison permukaan. Pembentukan kompleks A1 dengan humus diduga mencegah pembentukan alofan akibat terhambatnya kopresipitasi A1 dan Si hasil pelapukan abu volkan (Inoue dan Higashi, 1989). Penurunan kandungan kompleks Alhumus dengan makin meningkatnya kedalaman tanah selalu disertai dengan meningkatnya kandungan mineral liat alofan dan gibsit. Proses pelapukan dan pencucian yang intensif di daerah Ciater akibat tingginya curah hujan dan temperatur mengakibatkan unsur Si dan Al tercuci dan terakumulasi di horison bawahnya (2AC) merekat butir-butir pasir dan debu membentuk horison yang
memadas (duripan). Selain itu, proses pemadasan tersebut diduga akibat perubahan kondisi drainase. Dimana drainase horison bawahnya agak terhambat akibat distribsi ukuran partikel yang lebih halus daripada horison atasnya. Hal ini terjadi akibat perbedam material dengan hasil erupsi sebelumnya. Andisol yang berkembang pada daerah dengan curah hujan
> 3000 mmlth (Ciater dan Sinumbra) memiliki sifat acrudoxic
akibat miskinnya basa-basa oleh pencucian yang intensif. Sedangkan di daerah*dengan curah hujan
> 4000 mmlth (Ciater) fraksi koloid umumnya bermuatan netto positif.
Pencucian yang intensif telah menyebabkan pH tanah menjadi masam. Pada suasana masam, mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan, imogolit dan ferihidrit) yang bemuatan variabel akan bemuatan positif (Pacfltt,
1988).
Sifat hidrik ditemukan pada semua zona agroklimat, sifat bahan induk dan umur balian induk lebih terkait dengan banyaknya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek pada pedon Andisol. Namum demikian, di daerah dengan curah hujan yang tinggi (Ciater) sifat hidrik umumnya muncul pada kategori great-group, sedangkan di daerah yang lebih kering sifat ini umumnya muncul pada kategori sub-group: Hasil pengamatan mikroskopis pada irisan tipis (thin section) menunjukkan bahwa pada pedon-pedon Andisol yang berasal dari bahan induk tua massa dasar matriks tanah bersifat non porous, strukturnya gumpal atau gumpal bersudut dengan pedalitas dan akomodasi yang baik, pengisian (Gambar 23d) dan atau penyelaputan rongga @lunar) atau ped tanah makin intensif (Gambar 23a, b, dan c), ditemukan sedikit kutan pada horison bawah pedon SDP-A3 (argilan) dan SNR-A2 (gibsan), mineral-mineral primer makin berkurang dengan bentuk anhedral (Gambar 22 c, d , e, f), mineral opak semakin meningkat. Pola distribusi terkait umumnya porj7rik (Stoop dan Jongerius,
1975) atau porfiroskelik (Gambar 22c) (Brewer. 1964). Sedangkan pada pedon yang berkembang dari bahan induk muda, massa dasamya bersifat porous, struktur granuler atau remah dengan pedalitas lemah-sedang dan tidak terakomodasi atau sebagian terakomodasi (Gambar 22a dan b), pengisian rongga bekas akar atau mikrolmesofauna dengan bahan-bahan halus (mikroped, bahan organik, debu, pasir sangat halus), banyak
ditemui mineral primer dengan bentuk euhedral atau subhedral, sedikit dijumpai mineral opak. Pola distribusi terkait umumnya enaulik (Stoop dan Jongerius, 1975) atau interstektik (Brewer, 1964). Voidnya berbentuk compound packing void berbentuk memanjang sampai sebangun, biasanya saling berhubungan, dijumpai di antara ped granuler, remah dan gumpal membulat yang tidak terakomodasi (Gambar 22a dan b). Planar void pada horison permukaan umumnya berkembang dari bepas akar tanaman atau aktivitas mikrofauna. Sedangkan pada horison di bagian bawah umumnya terbentuk akibat agregasi agregat-agregat mikro membentuk massa yang rapat dalam bentuk gumpal. Gumpal yang terbentuk dari agregasi mikroped yang granular atau remah bisa bersifat porous atau berupa massa yang kontinu (non proms). Yang terakhir ini biasanya dijumpai pada horison-horison yang sudah terlapuk lanjut, dimana miheral liat ordo kisaran pendek sudah berubah menjadi mineral liat kristalin. Selain itu, pada tanah Andisol agregasi mineral-mineral primer menjadi butir yang lebih besar terjadi akibat penyelaputan oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan, imogolit dan ferihidrit) sebagaimana ditunjukkan oleh photomikrograf SEM (Garbbar 23e). Uehara dan Gillman (1981) mengemukakan bahwa agregat-agregat tersebut akan memiliki sifat dari mineral-mineral ordo kisaran pendeknya. Hal ini diduga merupakan salah satu alasan peranan fraksi pasir dalam meningkatkan KTK tanah (Tabel 31).
Sifat Fisika Tanah (1) Distribusi Ukuran Partikel
Hasil analisis distribusi ukuran partikel, menunjukkan bahwa di setiap lokasi penelitian fraksi tanah Andisol didominasi oleh fraksi debu (2 - 50 p ) , kandungan liat ( C 2 p ) lebih tinggi dari kandungan pasir (50 - 2000 p) (Tabel 14).
Berdasarkan data pada Tabel 14, pedon yang berkembang dari bahan induk tua CTR-B, SNR-A dan SDP-A memiliki kandungan pasir yang lebih rendah dibandingkan dengan pedon pasangannya masing-masing di lokasi yang sama. Rendahnya kandungan
pasir ternyata d i i i t i oleh tingginya kandungan Iiat hanya di lokasi SNR-A dan SDP-A. Di lokasi CTR-B rendahnya kandungan pasir disertai tingginya fraksi debu. Perbedaan sifat bahan induk dan besarnya curah hujan ternyata tidak memperlihatkan pengaruh yang jelas terhadap komposisi pasir, debu dan liat tanah Andisol di seluruh lokasi penelitian. R
Tabel 14. Rerata Kandungan Pasir, Debu dan Liat Pedon-pedon Andis~l Di Setiap Lokasi Penelitian No. Lokasi
1. 2. 3. 4. 5: 6.
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
Pasir
................. % ................... 26.70 (c) 20.67 (b) 14.49 (a) 23.32 (bc) 15.91 (ab) 20.78 (abc)
Debu
Liat
41.38 (b) 51.87 (c) 47.60 (bc) 43.76 (bc) 51.18 (c) 53.36 (c)
31.46 (b) 27.00 (a) 37.88 (b) 25.86 (a) 33.80 (ab) 25.86 (a)
Keteran~an: Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji-T.
Hasil pengamatan pada irisan tipis menunjukkan bahwa sortasi fraksi pasir dan debu dalam matriks tanah berkisar dari baik sampai tidak tersortasi (Tabel Lampiran 8) dan umumnya tidak tersortasi atau unsorted (Gambar 8b) dan tersortasi buruk atau poorly sorted (Gambar 8d). Hal ini menunjukkan bahwa pedon-pedon yang diteliti bukan hasil timbunan bahan akibat erosi tetapi merupakan hasil timbunan erupsi volkan. Bukti ini menunjang hasil pemilihan letak pedon, yakni pada suatu punggung bukit. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa fraksi liat terutama berasal dari pelapukan fraksi debu (r = - 0.65), disusul dari fraksi pasir (r = - 0.54). Fraksi pasir tampaknya bisa terlapuk langsung menjadi liat tanpa melalui debu terlebih dahulu, ha1 ini tampak dari korelasi fraksi pasir dengan debu (r = -0.28) yang lebih rendah dari korelasi pasir dengan liat (r = -0.54). Nilai rerata ukuran besar butir 10 fraksi setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 15, sedangkan data selengkapnya disajikan pada Tabel Lampiran 5.
Tabel 15. Rerata Kandungan Sepuluh Fraksi Tanah Halus pada Pedonpedon Andisol di setiap Lokasi Penelitian
No.
Fraksi Tanah
Lokasi Pengamatan
Rerata
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B Lokasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
I I1 I11 IV V
VI VII VIII IX X
.................... 1.85 2.16 6.13 9.22 7.15 9.65 21.94 9.80 10.52 20.94
0.83 1.53 5.05 7.72 5.53 11.46 28.61 11.79 14.45 12.55
0.70 1.09 2.54 5.31 4.99 7.20 25.69 14.72 18.41 19.48
%
.......................
0.97 1.54 4.26 8.55 8.11 7.45 24.38. 11.94 12.22 20.70
0.66 1.14 4.40 5.09 3.83 11.04 25.67 14.83 18.36 15.37
0.22 0.94 7.21 8.41 4.58 10.65 30.38 12.36 10.58 14.73
0.85 2-37 4.99 7.24 5A3 9.77 26.34 12.67 14.34 16.91
Berdasarkan Tabel 15 tampak bahwa fraksi pasir didominasi oleh fraksi IV (0.20 - 0.25 mm) di setiap lokasi, sedangkan fraksi debu didominasi oleh fraksi VII (0.020 - 0.005 mm) dan fraksi liatnyadidominasi oleh fraksi X
(< 0.0005 mm) atau
liat halus, kecuali di SDP-A dan CTR-B, fraksi liat kasar yang mendominasi'fraksi hatnya. Angka rerata nisbah debu halus dan liat halus dengan liat total disajikan pada Tabel 16. Nisbah debu haluslliat total menunjukkan pedon-pedon di SNR-A memiliki nilai yang terendah, disusul oleh SNR-B, SDP-B, CTR-A, SDP-A dan CTR-B atau secara berurutan sekuen tingkat pelapukan yang didapatkan adalah SNR-A > SNR-B Tabel 16. Rerata Nisbah Debu Halus dan Liat Halus dengan Liat Total setiap Lokasi Penelitian
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lokasi CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
DH/LT
LH/LT
> SDP-B > CTR-A > SDP-A > CTR-B. Sedangkan berdasarkan nisbah liat haluslliat total didapatkan sekuen tingkat pelapukan secara berurutan SDP-A
> CTR-B
> SNR-A > SDP-B > SNR-B > CTR-A. Penilaian tingkat pelapukan berdasarkan nisbah liat haluslliat total bertolak belakang dengan hasil penilaian secara kimia dan mineral, dimana tanah yang berkembang dari bahan induk muda (kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendqptinggi) selalu memiliki nisbah LHlLT yang lebih besar dari tanah yang berkembang dari bahan induk tua. Sedangkan berdasarkan nisbah DHILT, urutan tingkat pelapukan sejalan dengan hasil penilaian secara kimia dan mineral, kecuali pada tanah yang berkembang dari bahan induk muda SNR-B, nisbahnya lebih tinggi dibandingkan pedon-pedon di SNR-A. Pedon-pedon di SNR-B dari bahan induk basalt sedangkan pedon-pedon di SNR-A dari bahan induk andesit, dimana bahan induk basalt akan lebih mudah terlapuk sehingga akumulasi debu tinggi sedangkan fraksi liatnya belum banyak akibat umur pedogenik belum mencukupi. Kenyataan tersebut diduga akibat perbedaan kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan dan imogolit) yang berbeda-beda di setiap lokasi. Tan (1982); Warkentin et al(1988); Maeda et al (1977) mengemukakan bahwa tanah-tanah Andisol sulit untuk didispersikan sehingga hasil analisis distribusi ukuran partikel tidak mencerminkan keadaan sebenamya. Davis (1933 dalam Maeda er a l 1977) merupakan pelopor yang meneliti masalah tersebut dan merekomendasikan o dalam Maeda et a1 penggunaan 0.00'2N HC1 untuk dispersi. Sedangkan K a ~ (1961) (1977) menggunakan 0.002 N HCI untuk tanah-tanah aiofanik di Jepang. pH optimum untuk dispersi yang baik, baik untuk lapisan atas dan lapisan tanah bawah, dicapai pada pH 2.5 - 3.5. Dalam penelitian ini sebagian besar horison-horison Andisol terdispersi dengan baik pada pH 3.5 dengan penambahan 0.1 N HCI. Hanya sedikit horison-horison Andisol yang terdispersi pada pH 7 - 8, yakni horison-horison bawah yang diduga didominasi oleh liat kristalin. Namun demikian, pada pH yang rendah ini diduga
mineral-mineral ordo kisaran pendek yang berukuran pasir (0.50 - 2.0 mm) ikut terlarut dan meningkatkan kandungan liat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yoshinaga dan Aomine (1962) bahwa imogolit akan terdispersi pada media masam. Dengan demikian, pada tanah-tanah Andisol nisbah LHILT kurang mencerminkan tingkat pelapukan yang telah tejadi. Hal seperti ini telah menggugah banyak peneliti untuk mendapatkan caracara terbaik untuk melakukan dispersi.
I)
Warkentin et a1 (1988) mengemukakan bahwa mineral-mineral ordo kisaran pendek yang bermuatan variabel merupakan penyebab sulitnya tanah-tanah Andisol untuk didispersi. Daya tolak menolak antar permukaan muatan variabel lebih rendah dibandingkan dengan permukaan bermuatan tetap (Iwata dan Tabuchi, 1987 dalam Warkentin el al 1988). Sehingga Andisol dapat berflokulasi bila kondisi untuk dispersi belum tercapai. Kandungan bahan kasar, yakni fraksi > 2.00 mm, di setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan data pada Tabel 17, pedon-pedon SNR-B mempunyai persen bahan kasar tertinggi kemudian diikuti oleh pedon-pedon CTR-A, SNR-A, CTR-B, SDP-A, dan yang terkecil ialah pedon SDP-B. Tabel 17. Rerata Kandungan Bahan Kasar (fraksi > 2.00 mm) pada Pedon-pedon Andisol di setiap Lokasi Penelitian No.
Lokasi
1.
SDP-B SDP-A CTR-B SNR-A CTR - A SNR-B
2. 3. 4. 5. 6.
Bahan Kasar ( % ) 0.00 0.10 0.62 1.44 5.81 10.65
Tampaknya kandungan bahan kasar tidak dipengaruhi oleh sifat bahan induk, curah hujan dan umur bahan induk tanah tapi diduga dipengaruhi oleh kekasaran atau kehalusan bahan volkan yang diendapkan. Untuk lebih jelasnya maka pada Tabel 18 disajikan koefisien korelasi antara bahan kasar dengan sifat-sifat fisika lainnya.
Tabel 18. Koefisien Korelasi antara Bahan Kasar dengan Beberapa Sifat Fisika pada Pedon-pedon Andisol di Setiap Lokasi Penelitian
No.
Lokasi
Pasir
Debu
Liat
Bobot Isi
Permeabilitas
r Tabel
-
4.
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B
5.
SDP-A
6.
SDP-B
1. 2. 3.
0.36* -0.01 -0.13
-0.10
0.42~
-0.02
k0.32
0.17
0.24
-0.30
f0.32
-0.20
f0.50
0.16
$0.31
-0.27
-0.16
0.10
0.01
-0.08
0.11
-0.62*
0.43
-0.37~
-0.30
-0.18
0.40
0.12
-0.23
f0.32
0.03
-0.12
0.10
-0.17
-0.14
f0.33
Keteranaan :
* = berbeda nyata
Berdasarkan data pada Tabel 18, kandungan bahan kasar berkorelasi nyata dengan kandungan pasir dan bobot isi di lokasi CTR-A, sedangkan di SNR-B berkorelasi dengan kandungan debu dan bobot isi. Di lokasi-lokasi lainnya bahan kasar tidak berkorelasi nyata dengan sifat-sifat fisika laimya. Pedon-pedon CTR-A dan SNR-B mempakan pedon yang berkembang dari bahan induk muda, peningkatan bahan kasar di CTR-A akan disertai peninghtan bobot isi tanah sedangkan di SNR-B terjadi sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa pelapukan sudah berjalan lanjut di SNR-B dibandingkan dengan CTR-A. Pedon-pedon di CTR-A masih menyerupai bahan induknya, dimana kandungan pasir berkorelasi positif dengan bahan kasar. Sedangkan di SNR-B bahan kasar terlapuk lanjut menjadi fraksi debu dan bobot isinya makin menurun. (2) Bobot Isi
Penetapan bobot isi tanah dilakukan dengan metode Clod yang dilapisi saran pada tekanan 113 bar. Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata bobot isi untuk seluruh daerah penelitian berkisar dari 0.19 sampai 1.22 glcm3 dengan nilai tengah 0.49 glcm3. Sifat tanah andik mensyaratkan bobot isi 0.90 glcm3 atau kurang (Soil Survey Staff, 1992). Ada delapan horison dari 150 horison yang dianalisis yang bobot isinya
> 0.90
gtcm3, dengan demikian tidak memenuhi syarat sifat tanah and&. Tapi horison-horison tersebut berasal dari tanah-tanah berbahan induk tua yang tertirnbun oleh bahan baru yang memenuhi syarat sifat tanah andik sehingga pedonnya dapat diklasifikasikan sebagai ordo Andisol. Umur bahan induk, cusah hujan dan sifat bahan induk diduga berperan dalam ragam nilai bobot isi tanah di daerah penelitian. Pedon-pedon Andisol yang 6emmur bahan induk tua (SDP-A dan SNR-A) memiliki bobot isi tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berumur bahan induk muda (CTR-A,CTR-B, SNR-B, SDP-
B) sedangkan bahan induk volkan vitrik dengan kandungan bahan kasar yang cukup tinggi seperti halnya di CTR-A (5.81 %) meskipun berumur bahan induk muda dibandingkan dengan CTR-B memiliii bobot isi yang lebih tinggi. Untuk lebii jelasnya, data mengenai variasi bobot isi tanah Andisol di setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Rerata Bobot Isi Tanah Pedon-pedon Andisol di setiap Lokasi Penelitian No.
Lokasi
~ o b o tIsi (g/cm3)
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
Berdasarkan data pada TabeI 19, didapatkan hubungan bahwa dengan semakin meningkatnya curah hujan, maka bobot isi tanah cenderung semakin rendah, terutama pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua. Hal ini diduga akibat kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek dan bahan organik yang makin tinggi dengan makin tingginya curah hujan. Mohr et a1 (1972) rnengemukakan bahwa pembentukan alofan dari abu volkan hams disertai proses desilikasi atau pencucian silikat oleh air hujan. Semakin tinggi curah hujan maka semakin intensif proses pencu-
cian dan semakin banyak kandungan alofan dalam tanah. Hal terakhir tersebut akan merendahkan nilai bobot isi tanah (Warkentin et al., 1988). Bobot isi tanah Andisol di setiap lokasi berkorelasi negatif dengan kandungan alofan plus imogolit dan ferihidrit. Andisol yang berkembang dari bahan induk tua urnumnya memiliki koefisien korelasi yang lebih tinggi daripada yang berkembang dari bahan induk muda, kecuali Andisol yang berkembang dari bahan induk muda 4TR-A lebih tinggi dari CTR-B. Hal ini mencerminkan bahwa kandungan alofan dan ferihidrit mempengaruhi bobot isi Andisol. Semakii tinggi kandungan alofan dan ferihidrit maka koefisien korelasinya semakin rendah. Disamping itu, bobot isi Andisol yang berkembang dari bahan induk tua berkorelasi negatif dengan kandungan bahan organik, sedangkan pada Andisol yang berkembang dari bahan induk muda korelasinya positif. Dafa selengkapnya mengenai koefisien korelasi tersebut disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Koefisien Korelasi Bobot Isi dengan Beberapa Sifat Tanah pada Pedon-pedon Andisol di setiap Lokasi Penelitian No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
CTR-A CTR - B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
AlofantImogolit
Ferihidrit
C~organik
: * = berkorelasi nyata
Berdasarkan data pada Tabel 20, ternyata pada Andisol berbahan induk muda yang mempunyai kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek yang tinggi, bahan organik berfungsi meningkatkan bobot isi tanah, sedangkan pada tanah Andisol yang sudah berkembang peningkatan bahan organik dapat menurunkan bobot isi tanah. Penomena ini mengarah pada kesimpulan bahwa bobot isi alofan plus imogolit dan ferihidrit
< bahan organik < mineral liat kristalin.
(3). Permeabilitas Permeabilitas adalah laju gerakan air dalam suatu media berpori dinyatakan dalam cmljam. Dalam ha1 ini media berpori tersebut adalah tanah. Semakin tinggi permeabilitas maka biasanya tanah semakin porous. Hasil pengukuran permeabilitas setiap horison dari pedon-pedon yangadiamati menunjukkan adanya keragaman. Angka rerata laju permeabilitas pada ptdon-wdon yang berkembang dari bahan induk tua umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk muda. Hasil selengkapnya data rerata permeabilitas tanah di setiap lokasi disajikan pada Tabel 2 1. Tabel 21. Rerata Permeabilitas Tanah pada Pedon-pedon Andisol di setiap Lokasi Penelitian -
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lokasi
Permeabilitas (cm/jam)
SNR-A SDP -A SDP-B CTR-A CTR-B SNR-B Keteranean : Angka-angka dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji-T.
Berdasarkan data pada Tabel 21, laju permeabilitas pada pedon-pedon SNR-A, SDP-A, SDP-B, CTR-A dan CTR-B tidak berbeda nyata. Pedon-pedon SNR-A, SDPA dan SDP-B berbeda nyata dengan Pedon SNR-B, tapi antara CTR-A, CTR-B dan SNR-B tidak berbeda nyata. Berdasarkan data pada Tabel 21, ada kecenderungan bahwa pedon Andisol yang berkembang di daerah dengan curah hujan yang relatif rendah (SDP-A dan SDP-B) memiliki laju permeabilitas yang rendah, sehingga proses pencucian berlangsung lambat. Hal terakhir tersebut, dicerminkan oleh tingginya total kation-kation basa, kejenuhan basa dan pH(H,O) tanah.
Pedon yang berkembang dari bahan induk tua SNR-A memiliki laju permeabilitas yang terendah. Hal ini sejalan dengan tingginya nilai bobot isi dan kandungan liat pada pedon tersebut. Proses pelapukan yang telah berlangsung lama mengakibatkan berkurangnya kandungan fraksi pasir dan bahan organik yang berfungsi mengatur aerasi
tanah melalui pembentukkan agregat tanah yang porous. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis pada irisan tipis, horison-horison tanah pada horison SNR-A demiliki struktur mikro gumpal bersudut non porous dengan total pori yang relatif rendah (Tabel Lampiran 7). Dengan demikian laju pergerakan air sedikit terhambat. Tingginya laju permeabilitas pada pedon yang berkembang dari bahan induk muda SNR-B diduga akibat rendahnya bobot isi, tingginya kandungan bahan organik, kandungan pasir dan bahan kasar tanah. Struktur mikro tanah berbentuk remah, gumpal sudut (porous) dan granular, bentuk voidnya compound packing void dan planar dengan total void yang cukup tinggi (25 - 40 persen) (Tabel Lampiran 7). Hal-ha1 demikian tersebut akan menunjang tingginya laju pergerakan air. Berdasarkan uji korelasi matriks, diperoleh gambaran secara umum t5ahwa pada tanah-tanah Andisol yang diteliti, Iaju permeabilitas tanah dipengaruhi oleh kandungan karbon organik, pasir, debu, liat, alofan plus imogolit, ferhidrit dan kompleks A1 dan Fe-humus. Data mengenai uji korelasi matriks tersebut disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Koefisien Korelasi Permeabilitas Tanah dengan Beberapa Sifat Tanah Andisol di Seluruh Daerah Penelitian (1)
No. Sifat Tanah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Permeabilitas C-organik Pasir Debu Liat Alofan Ferihidrit AL-~IRNS Fe-hunus
Keterangan :
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
(2)
(3)
1.00. 0.32. 0.46. -0.14, -0.24. -0.18. -0.22* 0.16. 0.19
' berbeda nyata pada
taraf
Q
= 0.05
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Pedon yang berkembang dari bahan induk tua SNR-A memiliki laju permeabilitas yang terendah. Hal ini sejalan dengan tingginya nilai bobot isi dan kandungan liat pada pedon tersebut. Proses pelapukan yang telah berlangsung lama mengakibatkan berkurangnya kandungan fraksi pasir dan bahan organik yang berfungsi mengatur aerasi tanah melalui pembentukkan agregat tanah yang porous. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis pada irisan tipis, horison-horison tanah pada horison SNR-A hemiliki struktur mikro gumpal bersudut non porous dengan total pori yang relatif rendah (Tabel Lampiran 7). Dengan demikian laju pergerakan air sedikit terhambat. Tingginya laju permeabilitas pada pedon yang berkembang dari bahan induk muda SNR-B diduga akibat rendahnya bobot isi, tingginya kandungan bahan organik, kandungan pasir dan bahan kasar tanah. Struktur mikro tanah berbentuk remah, gUmpal sudut (porous) dan granular, bentuk voidnya compound packing void dan planar dengan total void yang cukup tinggi (25
- 40 persen) (Tabel Lampiran 7).
Hal-ha1
demikian tersebut akan menunjang tingginya laju pergerakan air. Berdasarkan uji korelasi matriks, diperoleh gambaran secara umum bahwa pada tanah-tanah Andisol yang diteliti, laju permeabilitas tanah dipengaruhi oleh kandungan karbon organik, pasir, debu, liat, alofan plus imogolit, ferhidrit dan kompleks Al dan Fe-humus. Data mengenai uji korelasi matriks tersebut disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Koefisien Korelasi Permeabilitas Tanah dengan Beberapa Sifat Tanah Andisol di Seluruh Daerah Penelitian (1)
No. S i f a t Tanah 1. P e r m a b i t i t a s 2. C-organik 3. Pasir 4. Debu 5. L i a t 6. Atofan 7.Ferihidrit 8. A t - h w s 9. F e - h ~ s Ketersngan :
*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
. .
1-00 0.32. 0.46. -0.14. -0.24 -0.18-0.220.16* 0.19
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
1.00. 0.38 0.01* -0.31 0.07 0.01* 0.400.37
1.00. -0.28. -0.54. -0.25. -0.22 0.07, 0.20
1.00-0.65 0.10. 0.18 -0.05 -0.06
1.00 0.09 0.00 -0.02 -0.10
1.00. 0.7'9 -0.03. -0.21
1.00, -0.16. -0.24
1.00. 0.30
1.00
berbeda nyata pada t a r a f a
=
0.05
Berdasarkan data pada Tabel 22, laju permeabilitas sejalan dengan kandungan karbon organik, pasir, kompleks Al- dan Fe-humus. Sedangkan dengan kandungan debu, liat dan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan+imogolit, ferihidrit) hubungannya bersifat terbalik. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tingkat pelapukan yang telah tejadi pada pedon-pedon Andisol. Pada pedon Andisol yang berkembang dari bahan induk muda biasanya dicirikan oleh tingginya kandungan karbon ,dtganik, pasir dan kompleks Al- dan Fe-humus.
Makin lanjut tingkat pelapukan maka
kandungan bahan-bahan tersebut makin rendah kandungannya. Fraksi pasir akan berubah menjadi fraksi yang lebih halus seperti debu dan liat yang berupa mineralmineral ordo kisaran pendek sehingga laju pergerakan air akan terhambat. Tingginya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek akan menyebabkan bobot isi tanah yahg rendah. Hasil uji korelasi matriks menunjukkan bahwa permeabilitas tanah Andisol tidak berkaitan dengan bobot isi. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa bobot isi yang rendah pada tanah Andisol tidak selalu disertai dengan laju permeabilitas yang tinggi sebagaimana sering dikemukakan orang.
(4). Retensi Air 15 Bar Kandungan air pada tekanan 15 bar pada contoh Iembab lapang dan kering udara sering digunakan sebagai penciri untuk Andisols (Warkentin, et al, 1988). Pada tekanan 15 bar, air hanya ditahan oleh pori yang bemkuran
<
0.2 p (Allbrook and Rad-
cliffe, 1987 dalarn Sjarief, 1990; Parfitt, 1986). Andisol yang mempunyai retensi air pada 15 bar kurang dari 15 persen untuk contoh tanah kering udara dan kurang dari 30 persen untuk contoh tidak kering udara merupakan merupakan penciri bagi sub-ordo Vitrands sedangkan sifat hidrik pada katagori sub-group disyaratkan hams mempunyai retensi air pada 15 bar 70 persen atau lebih untuk contoh tanah tidak kering udara. Great-group Hydrudand mensyaratkan retensi air pada 15 bar 100 persen atau lebih untuk contoh tanah tidak kering udara (Soil Survey Staff, 1992).
Pengukuran retensi air 15 bar pada contoh tanah Andisol dalam keadaan lembab lapang dan kering udara dilakukan akibat adanya penurunan kadar air yang drastis bila tanah dikering udarakan. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu lamanya pengeringan
yang dialami selama pembentukkamya dan jumlah liat amorf yang dihasilkan oleh pelapukan (Smith, 1978). Retensi air oleh tanah-tanah yang mengandung alofan ditentukan oleh distribusi ukuran pori, bukan oleh jumlah areal permukaan (Maeda,
*
er al,
1977). Kenyataan tersebut membedakan tanah-tanah aiofanik dengan tanah-Wnah
dengan mineral liat yang mengembang. Hasil pengukuran retensi air 15 bar pada pedon-pedon Andisol di setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 23. Berdasarkan data pada Tabel 23, pedon-pedon Andisol yang mempunyai retensi air pada contoh lembab lapang yang paling tinggi adilah CTR-B, kemudian diikuti secara berturut-turut oleh pedon-pedon CTR-A, SDPB, SNR-A, SNR-B dan SDP-A. Pada contoh tanah kering udara urutannya berubah menjadi SDP-B, SNR-B, SNR-A, CTR-B, CTR-A dan SDP-A. Besarnya penurunan retensi air dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut ialah CTR-B, CTR-A, SDP-B, SNR-A, SNR-B dan SDP-A. Tabel 23. Rerata Kandungan Air pada Retensi 15 bar Contoh Tanah Lembab Lapang dan Kering Udara pada Pedon-pedon Andisol di Setiap Lokasi Penelitian No.
Lokasi
Lembab Lapang
Kering Udara
.................... 1. 2. 3. 4. 5. 6.
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
84.44 99.63 76 -22 73.06 62 -40 83.98
%
Penurunan
.....................
42.15 42.96 42 - 5 7 45.75 41.25 49.24
42.29 57.17 33.65 27.61 21.15 34.74
Lingkungan pedogenik tanah, yakni curah hujan dan umur bahan induk tampak menunjukkan pengaruhnya terhadap retensi air lembab lapang. Di daerah dengan curah hujan tinggi, pedon-pedon CTR-A dan CTR-B memiliki retensiair lembab lapang yang
tinggi. Di daerah yang lebih kering, pedon yang berkembang dari bahan induk tua SDP-A memiliki retensi air 15 bar yang terendah. Sedangkan pedon pasangannya yang lebih muda mash memiliki retensi air yang cukup tinggi. Pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk muda SDP-B dan clan SNR-B memiliki kadar air pada retensi 15 bar kering udara yang cukup tinggi dibandingkan dengan pedon-pedon laimya. Persentase penurunan kadar air akibat pengeringan pada pedon-pedon di daerah Ciatef temyata paling tinggi. Makin rendah curah hujannya, maka persentase penurunan kadar air
cenderung makin menurun. Namun demikian, umur bahan induk juga turut berperan dalam penurunan kadar air ini. Untuk mengetahui sifat-sifat tanah laimya yang mempengaruhi keragarnan kadar air pada retensi 15 bar tanah Andisol di setiap lokasi tersebut, maka dilakukan uji kotelasi matriks seperti yang disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan data pada Tabel 24, secara umum tampak bahwa retensi air contoh lembab lapang dan kering udara dipengaruhi oleh beberapa sifat tanah, namun terdapat keragaman dalarn pengaruhnya di setiap lokasi. Hal yang menarik untuk dikaji adalah korelasi negatif retensi air lembab lapang dengan debu di lokasi SNR-B sedangkan di lokasi SDP-B nilainya positif. Peningkatan kandungan debu di SDP-B disertai peningkatan retensi air sedangkan di SNR-B terjadi sebaliknya. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa retensi air berkaitan dengan porositas tanah, dengan demikian fraksi debu di lokasi SDP-B bersifat porous yang kaya dengan pori pori
< 0.2 p sedangkan di SNR-B bersifat non porous. Fraksi debu yang kaya
< 0.2 p diduga memiliki aktifitas kimia yang tinggi (reaktif). Korelasi retensi air dengan kandungan liat berlawanan arah antara keadaan
lembab lapang dan kering udara di CTR-A, dengan demikian pengeringan contoh tanah Andisol di lokasi ini bisa berakibat tertutupnya ruang pori
< 0.2 p dan fraksi liat tidak
bersifat porous lagi. Korelasi retensi air dengan kandungan alofan plus imogolit dan ferihidrit umumnya positif, semakin tinggi kandungan bahan-bahan tersebut maka retensi airnya semakin tinggi. Dengan demikian jelas bahwa retensi air pada Andisol
Tabel 24. Koefisien Korelasi Retensi Air 15 bar Contoh Lembab Lapang dan Kering Udara dengan Beberapa Sifat Tanah pada Pedon-pedon Andisol di Setiap Lokasi Penelitian Lokasi/Pedon I
No.
Sifat T a ~ h
I
CTR-A
I
CTR-B
I
1. 2. 3. 4.
Pasir Deh Liat Berat I s i Kadar A i r LL
5. 6. Kadar A i r KU 7. ALofan+lnogolit 8. F e r i h i d r i t
I * ' -0.47 1 KU
LL
-0.68* 0.19. 0.37, -0.42. 0.n. 0.76. 0.38, 0.38
I
I
I
LL
KU
I
I
LL
-0.26 -0.19 0.04.1 -0.27* 0.03 -0.34 1 0.36 0.07 -0.26. 1 -0.27 -0.27 0.60~ 1 0.08, 0.14 0.60" 1 0.43, 0.25 0.67, 1 0.48, 0.24 0.52 1 0.39 0.08 I
r - t a b ( a = 0.05)
t
0.32
1
I
SNR-A
t
0.32
Keteranaan : LL = lembab lapang; KU = kering udara berbeda nyata pada taraf a = 0.05
KU
I L L
I
SNR-B
I
I
U)P-A
I
K U I
I
SOP-B
I
LL
KU
I L L
KU
dipengaruhi oleh kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek. Pada pedon-pedon CTR-B dan SNR-B pengeringan contoh tanah dapat menghilangkan pengaruh mineralmineral ordo kisaran pendek terhadap retensi air, sedangkan di lokasi-lokasi lainnya tidak demikian. Penomena ini sulit dijelaskan, tapi dilihat dari pHo, kedua lokasi ini memiliki nilai yang hampir sama (CTR-B = 4.77 dan SNR-B = 4.74) dan agak berbe-
*
da dengan lokasi-lokasi lainnya. Disamping itu retensi air kering udara di CTR-B berkorelasi positif dengan kandungan kompleks Fe-humus (r = 0.69),sed;ang di3SNR-B berkorelasi negatif dengan kandungan C a + + (r = ~ 0 . 5 8 ) . Dengan demikian pada keadaan kering udara peranan mineral-mineral ordo kisaran pendek terhadap retensi air digantikan oleh kompleks Fe-humus di CTR-B dan oleh kandungan kalsium di SNR-B. Galindo dan Griffith (1974 dalarn Maeda et al, 1977) mengemukakan bahwa retensi air 15 bar tidak berkorelasi dengan luas permukaan tapi berkorelasi dengan aluminium
yang reaktif dan muatan titik no1 @Ho).
(9Kadar Air Hasil pengukuran rerata kadar air, baik contoh lembab lapang maupun kering udara, cukup beragam antar lokasi penelitian (Tabel 25). Data selengkapnya hasil pengukuran kadar air disajikan pada Tabel Lampiran 4. Kadar air tersebut berkaitan dengan sifat-sifat kimia, fisika dan mineral liat (Tabel 26). Tabel 25. Rerata Kadar Air Lembab Lapang dan Kering Udara pada Pedon-pedon Andisol di Setiap Lokasi Penelitian No.
Lokasi
Lembab Lapang
Kering Udara
.................... 1. 2. 3. 4. 5. 6.
CTR-A CTR-B SNR-A SNR-B SDP-A SDP-B
133.00 141.75 111.70 94.20 74.70 111.12
(c)
(c) (b) (b) (a) (b)
%
54.65 59.56 45.91 33.64 18.86 34.11
Penurunan
................... (cd) (d) (c) (b) (a) (b)
78.35 82.19 65.79 60.56 55.84 77.40
Keteranean : Angka-angka yang diikuti oleh humf vertikal yang sama tidak berbeda nyata menunrt Uji T
Berdasarkan data pada Tabel 25, tidak dijumpai hubungan antara sifat bahan induk terhadap kadar air. Tapi ada kecenderungan bahwa Andisol yang berkembang di daerah curah hujan tertinggi, yaitu lokasi CTR-A dan CTR-B, memiliki kadar air lembab iapang dan kering udara serta penurunan kadar air akibat pengeringan yang paling besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Umur bahan induk Andisol berpengaruh terhadap kadar air lembab lapang dan kering udara sekaligus hanya di fokasi Sedep, yaitu antara SDP-A (tua) dan SDP-B (muda). Sedangkan terhadap kadar,air kering udara, umur bahan induk Andisol berpengaruh baik di Sinumbra (SNR-A dan SNR-B) maupm di Sedep (SDP-A dan SDP-B). Di daerah Sedep pedon-pedon Andisol yang berkembang dari bahan induk tua memiliki kandungan air yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk muda. Sedangkan hi daerah Sinumbra terjadi sebaliknya, yaitu kadar air pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua (SNR-A) lebih tinggi dari pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk muda (SNR-B). Penomena di daerah Sedep ini terjadi akibat perbedaan kandungan mineral liat ordo kisaran pendek, dimana pedon-pedon SDP-A fraksi mineral-mineral ordo kisaran pendeknya telah berkembang menjadi liat kristalin (haloisit) sehingga memiliki kemamapuan memegang air yang relatif rendah apabila dibandingkan dengan pedon-pedon di lokasi SDP-B yang fraksi liatnya didominasi oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek. Sedangkan di lokasi Sinumbra, perbedaan umur bahan induk SNR-A dan SNR-B berlainan dengan di daerah Sedep. Pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua SNR-A tingkat pelapukamya masih belum selanjut pedon-pedon di SDP-A, dimana fraksi liatnya masih didominasi oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek dengan sedikit haloisit dan gibsit. Pedon-pedon di SNR-B diduga relatif muda, rerata kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendeknya lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon di SNR-A. Untuk lebih jelasnya, pada Tabel 26 disajikan beberapa sifat tanah yang berpengaruh terhadap kadar air lembab lapang dan kering udara di setiap lokasi penelitian. Berdasarkan data pada Tabel 26, kadar air lembab lapang dan kering udara di setiap
+
lokasi penelitian dipengaruhi oleh kandungan Al-dd, (A1 We)-oksalat, pasir (kecuali pedon SDP-A), debu (hanya SNR-B dan SDP-B), liat (kecuali KA lembab lapang pedon SNR-A; pedon SDP-A dan SDP-B), alofan plus imogolit dan ferihidrit. Karbon organik menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar air lembab lapang hanya di lokasi SDP-
B, yakni Andisol berbahan induk muda yang berkembang di daerah yang relatif kering. Di lokasi ini, semakin tinggi kandungan C-organik maka kadar air lembab lapang semakin rendah. Di lokasi-lokasi lainnya, kandungan C-organik tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar air Andisol. Kandungan alofan, imogolit dan ferihidrit memiliki hubungan yang sejalan dengan kadar air baik lembab lapang maupun kering udara di seluruh pedon Andisol yang diteliti. Hal ini sejalan dengan hasiI para peneliti lainnya (Tan, 1984; Parfitt, 1986; Warkentin et al, 1989) bahwa tanah-tanah yang didominasi oleh mineralmineral ordo kisaran pendek akan memiliki kapasitas memegang air yang tinggi akibat tingginya luas permukaan spesifik dan porositasnya. Tingginya kandungan pasir pada tanah Andisol mengakibatkan rendahnya kadar air baik lembab lapang maupun kering udara. Hal ini mudah dipahami mengingat butirbutir pasir memiliki luas permukaan spesifik yang rendah dan bersifat non porous. Di daerah yang relatif kering, pada pedon yang berkembang dari bahan induk muda SDPB, kandungan liat tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar air, tapi kandungan debu memperlihatkan pengaruh yang sebaliknya. Hal ini mencerminkan porositas yang tinggi dari fraksi debu sehingga mampu menahan molekul-molekul air. Di lokasi yang memiliki bulan kering yang nyata ini diduga fraksi liat membentuk agregat berukuran debu yang bersifat porous (pseudosilt). Sementara itu di lokasi Sinumbra, pedon berbahan induk muda yang berkembang di daerah dengan curah hujan yang relatif tinggi, tingginya fraksi debu akan menurunkan kadar air. Dengan demikian fraksi debu pada pedon SNR-B bersifat non porous (non pseudosilt) sehingga tidak dapat menahan air. Di lokasi ini fraksi liatnya nyata meningkatkan kandungan air.
Kandungan Al-dd di seluruh lokasi penelitian dapat menekan kadar air, baik lembab lapang maupun kering udara. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi lingkungan pedogenik tidak memperlihatkan pengaruhnya terhadap hubungan Al-dd dengan kadar air. Penomena ini sulit untuk dijelaskan. Namun demikian diduga bahwa molekulmolekul air terikat secara kimia pada permukaan koloid melalui ikatan elektrostatik sehingga bersaing dengan ion Al. Seperti dikemukakan Hargrove dan Thomad (1982) bahwa ion Al-dd merupakan ion yang terekstrak dari kompleks permkaran.
Sifat-SifatK i a 'Emah' Hasil pengukuran beberapa sifat kimia tanah Andisol disajikan pada Tabel Lampiran 6. Sifat-sifat kimia yang dianalisis di antaranya ialah pH (H,O, KC1 IN, NaF lM, dan pH0 ), kation-kation basa (Ca2+,Mg2+, K+, Na+), Al-dd dan H-dd (KC1 IN), kemasaman terekstrak (BaC1,-TEA, pH 8.2), C-organik, KTK (NH,OAc-pH 7), retensi P, Al, Si dan Fe terekstrak larutan oksalat masam. A1 dan Fe terekstrak pirofosfat. Nilai rerata angka beberapa sifat kimia tanah dari pedon-pedon AndiSol di setiap lokasi penelitian disajikan pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27, pH (H,O) tanah cukup beragam sesuai dengan keragaman umur bahan induk dan curah hujannya. Di daerah dengan curah hujan tinggi (Ciater), nilai pH (H20) lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon di daerah dengan curah hujan relatif lebih rendah ( Sinumbra dan Sedep). Pedon-pedon di daerah Sedep (SDP-A dan SDP-B) memiliki pH air yang paling tinggi, baik pedon yang berkembang dari bahan induk muda (SDP-B) maupun yang berkembang dari bahan induk tua (SDP-A) bila dibandingkan dengan lokasi lainnya. Bila dilihat dari masing-masing lokasi maka tampak bahwa pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua memiliki nilai pH air yang lebih rendah dibandingkan pedon yang lebih muda, kecuali di daerah Ciater. Di lokasi terakhir ini pedon yang berkembang dari bahan induk muda (CTR-A) memiliki pH air yang lebih rendah dibandingkan pedon CTR-B yang lebih ma. Tingginya kandungan C-organik pada pedon CTR-A diduga turut berperan dalam
meningkatkan kemasaman tanahnya. Tabel 27. Angka Rerata Sifat Kimia Pedon-pedon Andisol di Setiap ~ h Penelitian Lokasi dan di S e l ~ Lokasi No.
Parameter Tanah
Lokasi P e n g a m a t a n
CTR-A
CTR-B
SNR-A
SNR-B
SDP-A
SDP-B
Rerata Lokasi
Tofa1 Basa
A1
'*
MP * MTP * KB-7 ** KB-KTXE KB-MP KB-JK
1.88 137.98 11.25 ** 54.63 ** 71.05 ** 0.83 Retensi P ** 9 6 . 9 7 S i - o ** 1.67 Al-0 ** 5.40 5.37 F e - o ** (A1+1/2Fe) o** 8 . 1 6 A l - p ** 0.88 0.95 Fe-p ** Al/Si-o ** 2.90 Keteranean : Si-o, Al-o. Fe-o = ekstraksi dengan oksalat masam; Al- Fe p straksi dengan irofosfat; MP = muatan permanen; M ~ =mya% P tergantun H;%TK-JK = kapasitas tukar kation berdasarkan jumlah kat~on;K ~ % P = ke'enuhan basa berdasarkan muatan permanen; KBKTKE = kejenuhan iasa berdasarkan KTK efektif; EA = kemasaman terekstrak dengan larutan BaCI, TEA-8.2; * = meI100g; ** = %
Nilai pH (KC1) beragam berdasarkan umur bahan induk tanah dan sifat bahan induknya. Pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua umumnya memiliki pH (KCl) yang lebih kecil dibandingkan pedon muda muda, kecuali pedon CTR-A lebih kecil dari pedon yang berkembang dari bahan induk tua CTR-B. Hal ini terjadi akibat muatan permanen yang lebih tinggi pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua dibandingkan dengan pedon muda pasangannya di lokasi yang sama. Mineral-mineral ordo kisaran pendek telah berubah menjadi mineral liat kristalin (haloisit dan gibsit) pada Andisol yang sudah berkembang lanjut dan disertai peningkatan
muatan negatif permanen sebagai tapak ion hidrogen. Total kation-kation basa dipengamhi oleh curah hujan dan sifat bahan induk. Semakin tinggi curah hujan maka kandungan basa-basa semakin rendah akibat proses pencucian yang makin intensif. Di lokasi Sedep, tanah Andisol yang berkembang dari abu volkan basalt dan pada lingkungan yang relatif kering memiliki total unsur-unsur basa yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pedon-pedon di lokasi l%innya. Pedon SNR-B memiliki total basa relatif lebih tinggi dari pedon SNR-A, karena p d o n SNR-B merupakan pedon yang berkembang dari bahan induk muda berasal dari abu volkan basalt sedangkan pedon SNR-A berkembang dari abu volkan andesit dan berumur bahan induk lebih tua dibandingkan pedon SNR-B. Tingginya total kation-kation basa pada pedon-pedon yang berasal dari abu volkan basalt, diduga berasal dari hasil pelapukan mineral-mineral primer yang kaya unsur basa, seperti plagioklas basa, piroksin dan amfibol. Kandungan Al-dd yang tertinggi dijumpai pada pedon SNR-A yang berkembang dari abu volkan andesit , kemudian diikuti oleh pedon CTR-A yang berkeinbang dari abu volkan andesit yang berada pada lingkungan pencucian yang intensif. Pada pedonpedon yang berkembang dari abu volkan basalt pada kondisi pencucian yang relatif kecil, kandungan Al-dd nya rendah. Selain itu tampak bahwa pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua memiliki kandungan Al-dd yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pedon yang lebih muda. Besarnya nilai KTK efektif tanah sedikit dipengamhi oleh sifat bahan induknya. Pada pedon-pedon yang berkembang dari abu volkan basalt (daerah Sedep) memiliki KTK efektif yang lebih tinggi. Selain itu, besarnya curah hujan juga berpengaruh terhadap besarnya nilai KTKE. Makin tinggi curah hujan, makin rendah KTKE-nya. *:
Pedon muda yang berkembang dari bahan volkan basalt di daerah yang bercurah hujan cukup tinggi (Sinumbra, 3 087 mmltahun) memiliki nilai KTKE yang tidak jauh berbeda dengan pedon yang berkembang dari bahan volkan andesit di daerah yag bercurah hujan lebih tinggi. Pedon-pedon Andisol yang berkembang dari bahan induk tua di
masing-masing lokasi umumnya memilii KTKE yang lebii tinggi. Kandungan karbon organik tampaknya lebih dipengaruhi oleh curah hujan,
makin rendah curah hujan maka semakin rendah kandungan karbon organiknya, kecuali pedon SNR-B. Pedon SNR-B memiliki kandungan karbon organik yang tertinggi dibandingkan dengan pedon-pedon lainnya akibat akumulasi bahan organik pada horison-horison dekat permukaan tanah yang relatif tinggi karena perkembangan 8kar ke horison yang lebih dalam (
> 50 cm) terhambat oleh kontak litik. Penomem laindari
kandungan karbon organik ini ialah makin rendah dengan semakin tua umur bahan induk tanah. Kation-kation asam (H+) yang terekstrak dengan lamtan BaC1,-TEA pH 8.2 kandungannya beragam sesuai dengan umur bahan induk dan tingginya curah hujan. Pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk tua di masing-masing lokasi, memiliki kation-kation asam yang lebih rendah dibandingkan pedon yang berkembang dari bahan induk muda, kecuali di daerah Sinumbra. Di daerah ini pedon-pedon SNR-A memiliki muatan tergantung pH yang lebih tinggi dari pedon SNR-B. Hal ini terjadi akibat kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek, sebagai sumber muatan variabel, yang lebih tinggi pada pedon-pedon SNR-A. Disamping itu pedon-pedon Andisol yang terletak di daerah dengan curah hujan yang relatif lebih tinggi cendemng mempunyai kation-kation asam yang lebih tinggi (daerah Ciater) dibandingkan dengan daerah Sinumbra dan Sedep yang relatif lebih kering. Kondisi lingkungan yang basah akan menunjang terbentuknya atau terawetkannya mineral-mineral ordo kisaran pendek sebagai sumber muatan variabel. Hal ini tercermin dari tingginya unsur-unsur terlarut oksalat masam dan pirofosfat di daerah Ciater. Kapasitas tukar kation yang tertinggi dijumpai pada pedon-pedon Andisol di daerah Sedep, kemudian disusul oleh pedon-pedon di daerah Ciater dan Sinumbra. Tinggi rendahnya nilai KTK tanah di daerah penelitian tampaknya dipengaruhi oleh kombinasi faktor-faktor pembentuk tanahnya, seperti iklim (curah hujan), sifat bahan induk dan umur bahan induk. Pedon-pedon di daerah Sinumbra, yakni Andisol yang
berkembang dari bahan voIkan basalt pada kondisi curah hujan yang relatif kecil memiliki nilai KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedon-pedon di lokasi lainnya. Hal ini diduga akibat pengaruh dari tingginya nilai pH tanah, yang mendorong tingginya muatan permanen tanah. Kapasitas tukar kation berdasarkan jumlah kation pada pedon-pedon Andisol cendemng menurun dengan menurunnya jumlah curah hujan. Hal ini diduga q&kaitannya dengan penurunan kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek pada lihghngan yang makin kering. Hasil penelitian Sjarief (1990) pada tanah-tanah Andisol dari Indonesia bagian Barat menunjukkan bahwa kandungan alofan makii meningkat dengan meningkatnya curah hujan. Kejenuhan basa berdasarkan KTK-pH7, KTKE, muatan permanen tanah, dan kejenuhan basa berdasarkan jumlah kation semakin meningkat nilainya dengan semakin menurunnya jumlah curah hujan. Hal ini mudah dipahami mengingat kation-kation basa kurang tercuci pada lingkungan yang relatif kering. Retensi fosfat cukup beragam antar pedon, narnun ada kecenderunghn nilainya lebih tinggi pada tanah Andisol yang berkembang dari bahan induk muda. Pada tanah Andisol muda, kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan, imogolit dan ferhidrit) umurnnya lebih tinggi dari pedon-pedon Andisol yang berkembang dari bahan induk tua. Bahan-bahan tersebut memiliki potensi yang tinggi dalam fiksasi fosfat (Parfitt, 1986). Unsur-unsur yang terlarut oksalat masam dan pirofosfat, yakni unsur Si, Al dan Fe yang berasal dari mineral-mineral ordo kisaran pendek dan Al, Fe yang terikat bahan organik, cenderung semakin rendah nilainya pada lingkungan yang relatif lebih kering, kecuali pada pedon-pedon SDP-B, kandungan unsur-unsur tersebut relatif cukup tinggi. Pedon-pedon SDP-B merupakan pedon muda dengan kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek yang tertinggi, kondisi yang relatif kering (curah hujan 2 668 mmltahun) ternyata tidak menghambat terbentuknya mineral-mineral ordo kisaran pendek pada tanah yang berkembang dari abu volkan basalt ini.
Nisbah AlISi-oksalat semakin menurun nilainya dengan semakin rendahnya curah hujan. Penomena ini terjadi akibat meningkatnya kandungan Si amorf pada lingkungan yang relatif kering, sementara kandungan Al-amorf semakin menurun. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat kimia tanah Andisol sangat beragam sesuai dengan keragaman faktor-faktor pembentuk tanahnya dan faktor pembentuk tanah utama yang mempengaruhi ragam sifat-sifat k i d a tanah Andisol di daerah penelitian ialah curah hujan dan umur bahan induk tanah. Perbqdaan sifat bahan induk tidak memperlihatkan pengaruh yangjelas terhadap sifat-sifat kimia Andisol. Muatan Variabel Pada Andisol Hasil pengukuran pH0 dari seluruh daerah penelitian menunjukkan kisaran nilai dari 2.66 sampai 5.83 dengan rata-rata 4.53, sedangkan untuk setiap lokasi penelitian menunjukkan angka-angka seperti pada Tabel 28.
Tabel 28. Rerata pH0 Pedon-pedon Andisol di Setiap Lokasi Penelitian No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
SDP-A CTR-A SNR-A SNR-B CTR-B SDP-B -
Rerata
Uji-T
-
Keteranean : Angka yang diikuti humf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji T (a= 0.05)
Berdasarkan data pada Tabel 28, lokasi SDP-A mempunyai nilai pH0 yang terkecil dan berbeda nyata dengan lokasi-lokasi lainnya. Lokasi SDP-B memiliki pH0 tertinggi yakni 4.89 yang nyata berbeda dengan SDP-A dan CTRA. Sedangkan antara SNR-A, SNR-B,CTR-B dan SDP-B tidak berbeda nyata.
Sakurai (1989) yang mengutip Park (1965) mengemukakan bahwa oksida-oksida yang larut &lam oksalat atau dikenal juga dengan nama liat amorf memiliki nilai MTN (ZPC) yang lebih tinggi bila dibandiigkan dengan oksida-oksida kristalii
.
Gambaran
tersebut menunjukan bahwa nilai pH0 yang tinggi dari tanah-tanah volkan disebabkan adanya fraksi-fraksi yang terlarut dalam oksalat, yakni alofan dan bahan-bahan yang menyerupai alofan (allophane like materials).
a
Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana didapat koqelasi positif antara pH0 dengan kandungan alofan (r = 0.63 1, serta A1 (r = 0.75 ), Fe (r = 0.49 ) dan Si( r = 0.59 ) yang terlarut dalam oksalat masam (Tabel 29). Andisol di lokasi SDP-A mempunyai nilai pH0 yang terkecil bila dibandiigkan dengan lokasi lainnya, ini menunjukkan bahwa pada tanah Andisol yang berkembang daki bahan induk tua (SDP-A), kandungan mineral liat amorf semakin rendah dan digantikan dengan meningkatnya mineral liat kristalin (haloisit). Sedangkan Andisol di lokasi SDP-B mernpunyai nilai pH0 tertinggi akibat tingginya kandungan mineralmineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit) pada fraksi tanah halus (Tabel Lampiran 2). Sesuai dengan hasil penelitian Sakurai (1989), nilai pH0 ini ternyata tidak saja dipengamhi oleh pH (H,O), maka dari hasil penelitian ini nilai pH0 untuk tanah-tanah Andisol dipengaruhi oleh beberapa sifat kiiia, fisik dan miheral liat. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas maka pada Tabel 29 disajikan koefisien korelasi antara pH0 dengan beberapa sifat kiiia, fisika dan mineral liat dari setiap lokasi penelitian. Berdasarkan data pada Tabel 29, secara urnum dapat disirnpulkan bahwa nilai pH0 untuk seluruh tanah Andisol yang diteliti berkorelasi positif dan nyata dengan kandungan Al, Fe dan Si yang terekstrak oksalat (mineral-mineral ordo kisaran pendek), pH (H,O), pH (KCl), pH (NaF), kemasamam terekstrak (BaC1,-TEA, pH 8.2). nisbah AllSi, muatan tergantung pH, kejenuhan basa berdasarkan KTK efektif dan muatan permanen, kandungan air pada pF-4.2 baik lembab lapang rnaupun kering udara, kandungan air lembab lapang dan kering udara dan kandungan alofan plus
Tabel 29. Koefisien Korelasi antara pH0 dengan Beberapa Sifat K i a , Fiika dan Mineral Ordo Kisaran Pendek di Setiap Lokasi dan Seluruh Daerah Penelitian. Lokasi
No. Sifat Taaah
$PI{ :
Selurul~ Lokasi
CTR-A
CTR-B
SNR-A
SNR-B
SDP-A
SDP-B
0.83 0.90 -0.23 0.39 0.03 -0.83 0.35 0.21 -0.49 -0.71 -0.48 0.75 0.68 0.84 0.26 0.85 0.50 -0.77 -0.18 -0.72 0.23 0.39 0.79 0.91
0.52 0.77 0.11 -0.03 -0.04 -0.65 -0.44 0.27 -0.30 -0.55 -0.24 0.72 0.69 0.37 0.01 0.31 -0.19 -0.26 -0.56 -0.47 0.37 0.13 0.70 0.64
0.76 0.98 -0.70 0.61 -0.13 -0.82 -0.06 0.19 -0.11 -0.83 0.33 0.58 0.50 0.57 0.45 0.47 -0.23 -0.40 -0.26 -0.84 0.22 -0.24 0.83 0.86
0.91 0.98 0.68 -0.10 0.38 -0.71 -0.41 -0.29 -0.69 -0.38 -0.59 0.19 0.57 0.38 0.51 0.46 -0.58 -0.82 0.07 -0.36 -0.28 0.49 0.81 0.72
0.34 0.80 -0.71 0.81 -0.30 -0.37 -0.60 0.85 0.46 -0.51 0.02 0.87 0.79 0.83 0.64 0.82 -0.20 -0.34 0.88 -0.48 0.85 -0.31 0.38 0.37
0.81 0.79 0.79 -0.19 0.35 0.61 -0.55 0.24 -0.80 0.20 0.11 0.63 0.54 0.70 0.63 0.71 -0.23 -0.07 0.36 0.25 0.24 0.20 0.62 0.58
0.24 0.77 0.77 a 0.53 -0.42 -0.44
-0.35 -0.47 0.58 -0.38 -0.28 0.49 0.04 0.22 0.59 0.65
-0.59 -0.11 0.43 -0.50 -0.34 0.66 0.32 0.02 0.42 0.62
-0.58 -0.70 0.92 -0.72 0.22 0.66 -0.25 0.52 0.62 0.53
0.24 0.00 -0.25 -0.67 -0.05 0.59 0.56 -0.31 0.78 0.73
-0.63 0.40 0.25 -0.45 -0.49 0.59 0.53 0.24 0.60 0.26
-0.11 -0.02 0.07 -0.59 -0.13 0.57 0.33 0.12 0.59 0.55
0.55 0.65
0.54 0.48
0.40 0.57
0.83 0.79
0.37 0.54
0.63 0.59
0.32
0.31
0.50
0.32
0.32
0.13
S i a t Klmia
i:
5. 6. 7. 8.
1: 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
A$ NaF) 2' !otA bas; Aldd HQd
EA
2 2% KTK-pH7 Ret-P Si-o Al-o
.
Fe-o (Al+1/2Fe)o Alp
it: Ef$
20. MP 21. MTP* 22. KB- H7 23. K B - ~ T K E 24. KB-MP Sifat Msika 1. Pasir -0.27 2. Debu 0.11 3. Liat 0.10 -0.30 4. BD113 Bar -0.39 5. Permeabilitas 6. KA 15 Bar LL 0.37 0.53 7. KA 15 BarKU 8. Bahan Kasar 0.14 9. KA(LL 1 0 UWIJ 0.38 0.50 Mineral 0 o Kisaran Pendek 1. Alofan dan lrnogolit 0.41 2. Ferihidrit 0.64 R Tabel 0.05
0.33
8-0.00 :28
-0.63 -0.13 0.77 0.59 0.75 0.49 0.74 -0.07 -0.12 0.49 -0.62 0.49 -0.33 0.29 0.39
Keteranaan : Alo. Feo, Sio. (Alf1RFe)o = terekstrak oksalat; Alp. Fep = terekstrak pirosfat, Ret-P = retensi posfat; KTKE = KTK elektif; LL = lembab lapang; KU = kering udara; KA = kadar air; MP = muatan perrnanen tanah; MTP = rnuatan tergantung pH; EA = kernasamam terekstrak (BaCI,-TEA, pH 8.2).
imogolit serta kandungan ferihidrit. Korelasi negatif diperoleh dengan nilai A pH, jumlah kation-kation basa, aluminium dapat tukar, kapasitas tukar kation efektif, muatan permanen tanah dan bobot isi pada 113 Bar. Terjadinya korelasi positif dan negatif antara pH0 dengan sifat-sifat lainnya diduga sebagai penyebab utamanya adalah kandungan mineral-mineral ordo kisaran
pendek pada tanah Andisol yang merupakan ciri khasnya bila dibandingkan dengan &-tanah
lainnya. Nilai pH0 berkorelasi nyata dengan semua persyaratan sifat tanah
andii seperti yang disebutkan &lam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1992). seper-
ti kandungan (Al+ W Fe)-oksalat, retensi fosfat dan bobot isi 113 Bar. Nilai pH0 ternyata tidak dipengaruhi oleh kandungan ion hidrogen yang terekstrak dengan KC1 IN, kandungan C-organik, KTK tanah (NH,OAc, pH 7), k6mpleks Al- dan Fe-humus, kandungan pasir, debu dan liat, permeabilitas tanah dan kandungan
bahan kasar tanah. Bila ditinjau di setiap lokasi penelitian, ternyata nilai pH0 ini berkorelasi dengan sifat-sifat tanah lainnya dalam ragam yang kompleks. Namun demikian, berdasarkan data-data pada Tabel 29, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh lokasi, yakni dalam
ha1 ini umur bahan induk tanah, sifat bahan induk dan zona agroklimat, menunjukkan pengaruhnya terhadap derajat keeratan pH0 dengan sifat-sifat tanah laimya, hanya terhadap A pH, jumlah kation basa-basa, H-dd, kemasamam terekstrak, kandungan C organik, KTK (NH,OAc, pH7). nisbah AIISi, muatan tergantung pH dan'kandungan liat. Terhadap sifat-sifat kimia, fisika dan mineral lainnya, ternyata ragam umur, sifat bahan induk dan zona agroklimat tidak memperlihatkan pengaruh yang jelas. Bila ditelaah secara seksama, faktor lokasi menunjukkan pengaruhnya terhadap hubungan pH0 dengan sifat-sifat tanah Andisol lainnya adalah umur bahan induk tanah dan sifat bahan induknya. pH0 berkorelasi positif dan nyata dengan A pH pada Andisol berumur bahan induk muda (SNR-B dan SDP-B) dan negatif dengan Andisol berumur bahan induk tua (SNR-A dan SDP-A). Artinya, pada tanah-tanah Andisol yang didominasi mineral liat ordo kisaran pendek, semakin besar A pH maka akan diiringi dengan semakin meningkatnya pHo. Sedangkan pada tanah Andisol yang berkembang dari bahan induk tua terjadi ha1 sebaliknya, dimana A pH semakin meningkat maka pH0 makin rendah. Nilai pH0 berkorelasi dengan pH (NaF) IM hanya di lokasi CTR-A, SNR-A dan SDP-A, sedangkan di lokasi-lokasi lainnya tidak nyata. Penomena ini berkaitan dengan
rendahnya kandungan alofan, tetapi kandungan liatnya relatif tinggi di ketiga lokasi tersebut dibandingkan dengan pagangan lokasinya masing-masing. Hal ini memberi garnbaran bahwa di ketiga lokasi tersebut mineral liat alofan telah berkembang (berubah) membentuk mineral liat kristalin atau parakristalin seperti gibsit, haloisit, imogolit, dan kaoliit. Sehiigga peningkatan kandungan mineral liat ordo kisaran pendek pada pedon-pedon Andisol di ketiga lokasi tersebut akan jelas tergarnbar dari mehingkatnya nilai pHo. Nilai pH0 berkolerasi positif dengan jumlah katbn-kation basa, muatan permanen dan kandungan debu hanya di lokasi SDP-B, yakni tanah Andisol yang berkembang dari bahan induk muda dari abu volkan basalt dengan kandungan alofan dan imogolit yang tertinggi pada lingkungan yang relatif lebih kering (zona agroklhnat B2). Total unsur-unsur basa (Ca2+, Mg2+, K + , Na+) semakin meningkat secara eksponensial dengan semakin meningkatnya nilai pH0 pada Andisol yang berkembang dari bahan induk tua, sedangkan pada Andisol yang berkembang dari bahan induk muda semakin menurun secra eksponensial dengan meningkatnya pH0 (Gambar 20). Berdasarkan Gambar 20 dapat dijelaskan bahwa penomena tersebut diduga berkaitan dengan perbedaan tingkat pelapukan mineral-mineral primer dan perbedaan tingkat pencucian yang telah dialami oleh masing-masing pedon. Pada Andisol yang berkembang dari bahan induk muda, mineral-mineral primer (gelas volkan, feldsfar, mineral-mineral feromagnesia) berada pada tahap awal pelapukan. Pada tahap ini banyaknya mineralmineral ordo kisaran pendek dan atau prekusornya (alofan B atau AB, menurut Fieldes, 1966) dan banyaknya kation-kation basa berada dalam komposisi yang seimbang, akibat proses pencucian yang belum berlangsung lama. Semakin banyak mineral-mineral ordo kisaran pendek hasil pelapukan maka akan meningkatkan nilai pH0 seperti yang dikemukakan oleh Uehara dan Gillman (1985) dan Sakurai (1989), sementara itu jumlah basa-basa masih terakumulasi karena proses pencucian belum berlangsung lama. Pada tanah Andisol yang berkembang dari bahan induk tua, proses pencucian unsurunsur basa telah berlangsung lama dan banyaknya mineral-mineral ordo kisaran pendek
(alofan B) semakin rendah akibat berubah menjadi mineral-mineral ordo kisaran pendek yang lebih terstruktur (alofan AB atau A, menurut Fieldes, 1966) atau menjadi mineralmineral parakristalin (irnogolit) atau kristalin (haloisit dan gibsit). Akumulasi produk alterasi mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan B) tersebut masih merupakan sumber potensial muatan variabel, makin tinggi akumulasinya maka pH0 meningkat, akan tetapi jumlah kation-kation basa sudah banyak yang tercuci akibat umuf bahan induk yang relatif lebih lanjut. Pada pedon Andisol yang berkembang dari bahan induk muda (SDP-B, SNR-B dan CTR-A), kandungan C-organik yang meningkat akan akan disertai dengan menurunnya pH0 secara eksponensial, sedangkan pada pedon yang lebih tua (CTR-BA, SNR-A dan SDP-A) sebaliknya (Gambar 21). Penomena tersebut diduga berkaitan dehgan penghambatan pembentukan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan) akibat terbentuknya kompleks ikatan Al- dan Fe-humus yang tertinggi pada Andisol muda. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Flach et a1 (1980) bahwa pembentukan kompleks Al-humus pada Andisol akan menghambat pembentukan mineral aluminosilikat amorf seperti alofan, akibat terhambatnya kopresipitasi oksida-oksida Al dan Si hasil pelapukan abu volkan. Menurunnya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek akibat meningkatnya bahan organik diduga merupakan penyebab rendahnya nilai pHo. Sedangkan pada Andisol tua, mineral-mineral ordo kisaran pendek telah berubah menjadi mineral liat kristalin seperti metahaloisit, haloisit dan gibsit yang memiliki nilai pH0 rendah. Selain itu kandungan kompleks ikatan Al- dan Fe-humus makin rendah dengan meningkatnya umur bahan induk tanah, sehingga mengurangi penghambatan pembentukan mineral liat ordo kisaran pendek. Peningkatan bahan organik, yang merupakan sumber muatan variabel, akan meningkatkan nilai pH0 pada pedon Andisol tua ini. Kernasaman terekstrak berkorelasi positif dan nyata dengan pH0 hanya di lokasi SDP-A yakni tanah Andisol yang berkembang dari bahan induk tua dengan kandungan alofan plus imogolit yang paling rendah. Pada Andisol yang berkembang dari bahan
Garnbar 20.
Kurva Hubungan pH0 dengan Total Basa-basa pada Pedon Andisol yang Berkembang dari Bahan Induk 'ha dan Muda
Gambar 21. Kurva Hubungan pH0 dengan Kandungan C-organik pada Pedon Andis01 yang Berkembang dari Bahan Induk Tua dan Muda
induk tua fraksi liatnya didominasi oleh haloisit yang muatan tergantung pH-nya rendah. Pada tanah-tanah seperti ini, peningkatan kandungan mineral liat ordo kisaran pendek akan nyata diikuti oleh meningkatnya nilai pHo. Sebaliknya pada tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat ordo kisaran pendek, korelasinya tidak nyata. Lingkungan yang mempengaruhi proses pedogenesis Andisol seperti curah hujan, urnur bahan induk dan sifat bahan induk temyata berpengaruh sama &&nsisten) terhadap derajat keeratan hubungan pH0 dengan pH (H,O),pH (KCI), Al-dd, retensi P, Si, Al, Fe dan (Al+ '/zFe)-oksalat, Fe-pirofosfat, kejenuhan basa berdasarkan KTKE
dan kejenuhan basa berdasarkan muatan permanen, retensi air pada pF 4.2 contoh tanah lembab lapang, kadar air lembab lapang dan kering udara, kandungan alofan plus imogolit dan kandungan ferihidrit. Sedangkan pengamhnya terhadap korelasi pH0 d6ngan sifat-sifat laimya menunjukkan pengaruh yang beragam (tidak konsisten) sesuai dengan keragaman umur bahan induk dan sifat bahan induk tanah. Pengamh curah hujan (zona agroklimat) tidak tampak jelas pada hubungan-hubungan tersebut. Uehara dan Gillman (1981) mengemukakan bahwa bila pH aktual Histem tanah lebih kecil dari pH0 (yakni lebih masam dari pHo), maka permukaan koloidnya bermuatan netto positif, dan sebaliknya, pexmukaan koloid bermuatan neno negatif bila pH > pHo. Selain itu dikemukakannya pula bahwa bila pH (H,O) < pH (KCI) maka fraksi koloid bermuatan netto positif, bila selisihnya f 0.5 maka tanah bermuatan variabel dan bila selisihnya
> 0.5 tanah akan bermuatan netto negatif permanen.
Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka pedon-pedon Andisol yang horisonhorisomya didominasi oleh permukaan koloidnya bermuatan netto positif ialah lokasi CTR-A dan CTR-B, dimana rerata pH0
> pH (H,O) (CTR-A
CTR-B = 4.81 vs 4.79) dan A pH (pH-H,O
- pH-KCI),
= 4.67 vs 4.41 dan
sebesar -0.20 untuk CTR-A
dan 0.03 untuk CTR-B. Sedangkan di lokasi laimya. fraksi koloidnya bermuatan netto negatif. Walaupun demikian, lokasi-lokasi SNR-A, SNR-B dan SDP-B, fraksi mineral liatnya masih menunjukkan muatan variabel karena nilai A pH masih di bawah 0.5, sedangkan pedon-pedon SDP-A memiliki A pH = 1.02, maka tanah-tanah ini fraksi
liatnya sudah bersifat muatan negatif permanen. Untuk lebih memperjelas hubungan-hubungan di atas, pada Tabel 30 disajikan angka rerata sifat-sifat kimia, fisika dan mineral-mineral ordo kisaran pendek berdasar-
< 0 (terdiri dari 48 horison), A pH dari < 0.5 (terdiri dari 58 horison) dan A pH > 0.5 (terdiri dari 44 horison)
kan tiga kisaran nilai A pH, yakni pada A pH 0 sarnpai
dari 150 horison tanah yang dianalisis. Horison-horison tanah Andisol yang Grmuatan neno positif berasal dari pedon-pedon CTR-A (sebanyak 46 persen), CTR-B (sebanyak 29 persen), SNR-A (sebanyak 19 persen) dan SNR B (sebanyak 6 persen). Parfitt (1988) mengemukakan bahwa tanah Andisol yang bermuatan netto positif jarang sekali dijumpai dan bila dijumpai biasanya pada pH yang rendah. Pada Tanahtanah tersebut biasanya mengandung cukup banyak oksida-oksida besi yang dapat menyumbangkan muatan positif pada tanah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tanah yang bermuatan netto positif terjadi pada pedon atau horison dengan nilai pH (H,O) dan kandungan alofan plus imogolit yang rendah, tetapi kandungan C-organik, ferihidrit serta kompkks Al- dan Fe-humusnya tinggi. Sedangkan pada tanah-tanah (horison) yang bermuatan netto negatif teqadi ha1 yang sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa bahan organik, ferihidrit dan kompleks Al- dan Fe-humus dapat menyumbangkan muatan positif pada tanah. Penomena ini umumnya terjadi pada Andisol yang berada di daerah dengan curah hujan tinggi (4 215 mmlth) yang berasal dari abu volkan andesit atau pada horison-horison permukaan dengan akumulasi C-organik yang tinggi. Selain itu, rendahnya kandungan alofan plus imogolit pada A pH
< 0 diduga akibat terbentuknya kompleks Al-humus
yang berlangsung intensif pada kondisi kemasaman tanah yang tinggi. Sedangkan rendahnya kandungan alofan plus imogolit pada A ~ > H 0.5 diduga akibat umur bahan induk yang meningkat dimana mineral-mineral ordo kisaran pendek telah berubah menjadi liat kristalin (haloisit).
Tabel 30. Angka Rerata Sifat-sifat Kimia, Fisika dan Bahan Mineral Ordo Kisaran Pendek Andisol pada Tiga Kisaran Nilai A pH
A pH (Unit) No. Sifat Tanah c 0
0
-
< 0.5
> 0.5
Kimia 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
pH ( H 0 ) p~ ( ~ $ 1 ) A pH pH (NaF), 2 l pH0 Total Basa * Al-dd * H-dd * EA* C-organik ** KTKE * KTK-pH7 KTK-JK * KB-JK Retensi-P ** (A1+1/2 Fe)-0 Al-pirofosfat Fe-pigofosfat Al/Si M P *
M T P * KB-pH7
** ** **
**
4.43 4.63 -0.20 10.31 4.66 1.27 0.74 0.37 125.27 7.15 2.38 9.91 126.52 1.21 97.37 7.90 0.76 0.78 2.99 2.00 124.55 15.41
5.06 4.83 0.23 10.69 4.73 2.13 0.24 0.32 113.34 6.62 2.68 14.31 115.35 2.18 98.07 8.65 0.58 0.30 2.76 2.43 111.66 16.40
5.63 4.69 0.94 10.17 4.10, 4.49 0.81 0.25 60.97 4.13 3.56 13.81 65.40 10.69 94.36 5.68 0.48 0.27 1.40 5.31 60.17 33.85
23.67 45.74 30.05 0.44 30.23 81.00 40.86 121.68 47.72
20.23 48.69 31.08 0.44 25.96 88.57 45.06 123.67 50.17
15.11 52.08 33.39 0.63 16.88 69.14 44.86 87.34 23.77
15.66
24.49
15.70
8.50
7.77
4.83
Fisika 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pasir * * Debu * * Liat * * BD 1/3 Bar # Permeabilitas $ PF-4.2LL * * pF-4.2KU * * Kadar Air-LL ** Kadar Air-KU **
Mineral Ordo*Kisaran Pendek 1. 2.
Alofan Itnogolit '* Ferihidrit
** **
Keteranean : JK = Jumlah Kation; ' = Alo-AlpISio; MP = Muatan Permanen; MTP = Muatan Tergantung pH; LL = Lembab Lapang; KU = Kering Udara; Estimasi menurut Partift (1986) ') Estimasi menurut Childs (1985). * + me/100g; ** = %; # = g/cm3: $ = cmljam
"'
Horison-horison tanah Andisol yang bermuatan netto positif atau A pH C 0 memiliki perbedaan nilai sifat-sifat kimia, fisika serta mineral ordo kisaran pendek dengan horison-horison yang memiliki kisaran nilai A pH = 0 - C0.5 dan
>
0.5. Ada
tiga kecenderungan ragam sifat-sifat tersebut, yaitu semakin meningkat dengan berubahnya tanda muatan dari positif melalui no1 ke negatif, kemudian ada yang menurun dan terakhir meningkat kemudian turun lagi atau menurun kemudian meninglqt! Kelompok sifat-sifat kimia, fisika, dan mineral ordo kisaran pendek qndisol yang meningkat nilainya dengan berubahnya tanda muatan tersebut ialah pH (H,O), pH W I ) , A pH, total basa, KTKE, kejenuhan basa jumlah kation, kejenuhan basa berdasarkan KTK (NH,OAc, pH7). muatan permanen tanah, persen debu dan persen liat. Penomena ini menggambarkan bahwa semakin tinggi (+) nilai A pH atau semakin tiaggi muatan perrnanen tanah maka semakin tinggi pula nilai pH (H,O), pH (KC]), total basa, KTKE, KB-jumlah kation, KB berdasarkan KTK @H7), muatan permanen tanah, persen debu dan persen liat. Peningkatan kandungan debu dan liat merupakan ciri meningkatnya proses pelapukan tanah. Hal ni ditunjang oleh menurunnjla kandungan pasir dengan meningkatnya nitai A pH. Dengan demikian berarti pula bahwa nilai A pH yang tinggi merupakan ciri tanah Andisol yang sudah mengalami pelapukan lanjut. Kelompok yang menurun yaitu H-dd, kemasaman terekstrak, C-organik, KTK-jumlah kation, (A]+ 'hFe)-oksalat. Al- dan Fe-pirofosfat (kompleks Al- dan Fe-humus), nisbah AIISi, muatan tergantung pH, kandungan pasir, permeabilitas dan kadar air lembab lapang. Penomena ini mencirikan semakin menurunnya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit), pHo, karbon organik, kompleks Al- dan Fehumus, muatan tergantung pH, kandungan pasir, permeabilitas dan kandungan air lembab lapang dengan semakin meningkatnya tingkat pelapukan tanah. Diduga perubahan komposisi mineral liat dari ordo kisaran pendek menjadi kristalin yang menyebabkan perubahan sifat-sifat tersebut. Kelompok yang meningkat kemudian menurun lagi yaitu pH (NaF) IM 2 menit, pHo, KTK (NH,OAc, pH7). retensi P, kadar air pada tekanan 15 bar lembab Iapang dan kering udara, kadar air alami kering udara,
kandungan alofan plus imogolit dan ferihidrit. Keragaman sifat-sifat tersebut diduga berkaitan dengan keragaman kandungan alofan plus imogolit dan ferihidrit pada ketiga kisaran nilai A pH. Nilai KTK (pH7) pada A pH 0 -
< 0.5
tertinggi sejalan dengan
tingginya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek. Kemasaman terekstrak yang tinggi pada A pH
< 0, diduga berasal dari bahan organik dan kompleks Al- dan
Fe-humus, karena pada kisaran ini tanah memiliki kandungan alofan plus imogdlit yang terendah. Dengan demikian, selain alofan dan imogolit, maka C-organik clan kompleks Al- dan Fe-humus banyak memiliki gugus -OHyang mengalami deprotonisasi pada saat pH meningkat menjadi 8.2. Nilai pH0 meningkat dengan meningkatnya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (A pH
> 0.5). Hal yang menarik ialah nilai pH0
sebesar 4.66 dan 4.10 masing-masing pada A pH
< 0 dan A pH > 0.5. Sementara itu
kahdungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit) tidak berbeda jauh, yakni 15.66 persen pada A pH
< 0 dan 15.70 persen pada
A pH
> 0.5. Dengan
demikian ada pengaruh sifat laimya, selain alofan plus imogolit, terhadap tingginya pH0 pada A pH
< 0. Berdasarkan data yang diperoleh diduga bahwa fel'ihidrit ikut
berperan dalam meningkatkan pH0 pada Andisol yang bermuatan netto positif. Kelompok yang menurun kemudian meningkat adalah kandungan Al-dd. Tingginya kandungan Al-dd pada tanah dengan a pH < 0, diduga akibat pH (H,O) yang rendah sehingga A1 banyak terlarut (Soepardi, 1983). Pada kisaran A pH 0 - < 0.5, kandungan Al-dd menurun lagi, diduga pada kondisi ini ion-ion Al banyak terkorporasi dalam mineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit). Sementara itu, meningkatnya kandungan Al-dd pada kisaran ApH
> 0.5 diduga akibat proses pelapukan yang sudah berjalan
lanjut sehingga banyak ion-ion A1 dilepaskan dari mineral-mineral primer dan terjerap pada pemukaan negatif fraksi koloid tanah (yang relatif tinggi) pada lingkungan curah hujan yang relatif rendah (Sedep) yang relatif lebih tinggi muatan negatif permanennya. Sedangkan bobot isi pada 113 bar nilainya tidak berubah dari tanda positif ke nollnegatif tapi pada muatan lebih negatif nilainya meningkat. Hal ini mencirikan peningkatan bobot isi tanah dengan makin meningkatnya pelapukan tanah akibat transfomasi mine-
ral-mineral ordo kisaran pendek yang porous menjadi mineral liat kristalin dan menurunnya kandungan C-organik. Koefisien korelasi pH0 dengan sifat-sifat kimia, fisika dan mineral amorf Andisol pada tiga kisaran A pH disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Koefisien Korelasi pH0 dengan Beberapa Sifat K i i a , Fisika dan Mineral-mineral Ordo Kisaran Pendek Andisols pada Tiga Kisaran A pH
*
A pH (Unit) No. Sifat Tanah
PH(H 0) p~(~8i) pH (NaF)- 2 Total Basa Al-dd H-dd H + ( B ~ c ~ ~ - T8.2) EA, C-organlk KTK-Efektif KTK-NH40Ac,pH7 Retensl-P Si-oksalat Al-oksalat Fe-oksalat (A1+?4Fe)-0ksalat Al-pirofosfat Fe-pirofosfat Muatan Permanen Mt.Tergantung pH Pasir Debu Liat BD 1/3 Bar pF-4.2 LL Alofan+Imogolit Ferihidrit Keteranaan :' Berbeda nyata secara statistik ( ol = 0.05)
Berdasarkan data-data pada Tabel 31 tersebut ha1 menarik yang dapat dikaji adalah hubungan pH0 dengan C-organik. Pada kisaran A pH
< 0 maka kandungan C-
organik yang makin meningkat dapat menekan pH0 sedangkan pada A pH
> 0 berlaku
sebaliknya yaitu C-organik dapat meningkatkan pHo. Implikasi dari ha1 tersebut di atas
maka pada tanah-tanah Andisol yang A pH-nya
< 0 &pat
diberikan bahan organik
untuk menekan pH0 sehiigga muatan netto negatifnya semakin meningkat clan kapasitas
tukar kation semakin tinggi. Dengan demikian bahan organik dalarn kasus ini berfungsi sebagai bahan sumber muatan negatif. Sedangkan pada tanah Andisol yang bermuatan netto negatif ( A pH > 0.5) atau bahan induk tua bahan organik berfungsi sebagai sumber muatan variabel atau dapat meningkatkan pHo.
P
Pada Andisol yang bermuatan netto positif meningkatnya kompleks Al- dan Fehumus dapat menurunkan pHo, ini terjadi pada pH (H20) yang rendah (pH = 4.43). Sedangkan pada pH yang lebih tinggi (5.06 - 5.63). meningkatnya senyawa kompleks Al- dan Fe-humus tidak berpengaruh terhadap nilai pHo. Penomena ini diduga terjadi akibat terhambatnya pembentukan alofan plus imogolit dan ferihidrit selaku bahan yang mtmiliki pH0 tinggi, dengan meningkatnya senyawa Al- dan Fe-humus pada suasana masam. Pada suasana yang lebih alkalis, kompleks Al- dan Fe-humus semakin rendah kandungannya. Dengan demikian pembentukan senyawa kompleks senyawa Al- dan Fe-humus terjadi pada lingkungan pH (H,O) tanah yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Wada dan Okamura (1980) yang menduga bahwa pada pH rendah gugus karboksil dari bahan organik akan membentuk kompleks dengan gugus hidroksi A1 dan Fe. Suasana pH (H,O) yang rendah (masam), terutama di daerah Ciater dan Sinumbra, berkaitan dengan kondisi lingkungan pedogeniknya seperti curah hujan dan keadaan drainase. Al-dd berkorelasi negatif dengan pH0 pada semua kisaran A pH, semakin tinggi kandungan Al-dd tanah maka nilai pH0 akan semakin rendah. Korelasinya makin menurun dengan meningkatnya tingkat pelapukan tanah. Hargrove dan Thomas (1982) mengemukakan bahwa A1 yang membentuk kompleks dengan humus berada dalam bentuk yang tidak dapat dipertukarkan, sehingga Al-dd sebagian besar berasal dari tempat-tempat pertukaran dari mineral liat. Dengan demikian ion A1 ini terjerap pada permukaan negatif fraksi liat. Makin lanjut tingkat pelapukan tanah, maka muatan negatif akan makin meningkat (muatan permanen makin meningkat) dan kandungan
mineral-mineral ordo kisaran pendek makin rendah akibat bertransformasi menjadi liat kristalin. Rendahnya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek, yang merupakan sumber bahan ber-pH0 tinggi, akan menurunkan nilai pHo. Makin menurunnya derajat keeratan hubungan pH0 dengan Al-dd dengan makin meningkatnya pelapukan mencerminkan perbedaan efektifitas ion Al dalam menekan pH0 pada tanda muatan tanah yang berbeda, dimana peranannya lebih efektif pada tanah yang fraksi kdloidnya bermuatan positif. Mengingat kompleks dan beragarnnya keterkaitm sifat-sifat tanah Andisol pada berbagai kisaran A pH maka dilakukan uji regresi berganda dengan metode sidik komponen utama (untuk mencegah multikotiniaritas antara peubah-peubah), pada hubungan antara pH ( 5 0 ) dan KTK (pH 7) dengan sifat-sifat tanah lainnya pads' tiga kisaran nilai A pH seperti yang disajikan pada Tabel 32 dan Tabel Lampiran 9 dan 10. Tabel 32. Hubungan pH (H,O) dan KTK (pH7) dengan Sifat Tanah lain nya pada Tiga Kisaran A pH Kisaran A pH
Peubah Asal pH-H,O Pasir Liat BD 113 Bar RA-LL pH-KC1 pH0 C-organik Al-dd MP KT Retensi-P (A1 MFe)-o Alp+Fep A1 Ferihidrit
+ + + +
+
0 - < 0.5"
C 0'
+ + + +
KTK-pH7
-
+ + -
+ +
+ -
pH-H,O
+ + ++ -
+ + + -
+
> 0.5"'
KTK-pH7
+ -
++ + + + + + + +
pH-H,O
KTK-pH7
-
-
-
+ + ++ + + + + +
+ + ++ -
+ + + + -
-
Keteranean : RA-LL = retensi air lembab lapang; MP = muatan permanen; KT = kemasaman terekstrak; (Al+HFe)-o = ekstraksi dengan oksalat; Alp+Fep = ekstraksi dengan pirofosfat; A1 = alofan+imogolit; * = (-)1.15 - (-)0.02; ** = 0.00 - 0.49; *** = 0.51 - 1.77
Berdasarkan data pada Tabel 32, ha1 yang menarik untuk d i j i adalah pengaruh C-organik, pH (KCI), kemasaman terekstrak, (A]+ HFe)-oksalat, alofan plus imogolit
> 0 dan kontradiktif pada A pH < 0. Pada A pH < 0 C-organik menekan KTK tanah, sedangkan pada A pH > 0 sebaliknya. Ikatan kompleks Al- dan Fe-humus meningkatkan KTK pada A pH < 0.5 dan menurunkannya pada A pH > 0.5. Dengan demikian bahan organik bermuatan positif pada A pH < 0, sedangkan kompleks Al- dan Fe-humus bermuatan negatif. dan ferihidrit terhadap KTK @H7) yang sejalan pada A pH
Bila dilihat dari klasifikasi tanahnya (Tabel 33). maka tanah yang bermuatan netto positif ialah Acdoxic Durudans (CTR-A), Acdoxic Thaptic Durudans (CTRB), Acrudoxic Hydric Hapludands (SNR-Bl); Acrudoxic Hydrudands (SNR-B2), dan Acrudoxic Hydnc Hapludands (SNR-B3). Di lokasi SNR-B, Lithic Hapludands, dari peilon yang diamati hanya horison permukaannya saja yang bermuatan netto positif (Tabel Lampiran 6). Seluruh horison bawahnya bemuatan netto negatif. Hal ini sejalan dengan tingginya kemasaman tanah, akumulasi C-organik dan kompleks Al- dan Fe-humus di permukaan tanah dan semakin menurun ke lapisan bawahnya.' Demikian pula dengan pHo, seluruh horison permukaan mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan horison bawahnya. Penomena ini terjadi akibat panghambatan pembentukkan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan, imogolit dan ferihidrit) akibat tingginya kandungan bahan organik dan rendahnya pH (H,O) tanah seperti yang dikemukakan Tan (1984). Dengan demikian sifat pembeda acrudoxic pada katagori subgroup dalam Taksonomi Tanah merupakan penciri bagi tanah-tanah Andisol yang bermuatan netto positif. Kriteria bagi sifat acrudoxic adalah Andisol yang mempunyai basa-basa terekstrak ditambah Al-dd terekstrak dengan KC1 1N kurang dari 2 me1100 gram tanah halus, di dalam sebagian sub horison setebal 30 cm atau lebih di antara kedalaman 25 dan 100 cm (Soil Survey Staff, 1992).
Sistem klasifikasi tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Soil
Taxonomy (Soil Survey Staff, 1992) disertai padanannya menurut Sistem FA01 UNESCO (1974) dan Pusat Penelitian Tanah (1983). Pada Tabel 33 disajikan klasifikasi tanah pada kategori sub-group (macam) dari pedon-pedon Andisol pada li&kungan pedogenik (iklimlzona agroklirnat, sifat bahan induk dan umur bahan induk) yang berbeda menurut ketiga sistem klasifikasi tanah tersebut di atas. . Tabe1.33. Klasifikasi Tanah Pedon-pedon Andisol Di Daerah Penelitian pada Kategori Subgroup (Macam) berdasarkan Tiga Sistem Klasifkasi Tanah ~e'aon/ Perkebunan
Taksonomi Tanah (SSS, 1992)
FAO/UNESCO (1974)
PPT (1983)
Acrudoxic Durudands
Ochric Andosol
Andosol Okrik
Acrudoxic Acrudoxic Acrudoxic Acrudoxic Acrudoxic
Ochric Ochric Ochric Ochric Ochric
Andosol Andosol Andosol Andosol
Durudands Durudands Thaptic Hydrudands Thaptic Hydrudands Thaptic Hydrudands
Acrudoxic Hydric Hapludands
Andosol Andosol Andosol Andoeol Andosol
Okrik Okrik Okrik Melanik
Andosol Okrik
Ochric Andosol Ochric Andosol
Andosol Okrik Andosol Okrik
Lithic Hapludands
Ochric Vitric Vitric Vitric
Andosol Andosol Andosol Andosol
Andosol Andosol Andosol Andosol
Okrik Litik Litik Litik
Hydric Thaptic Hapludande
Ochric Andoaol
Hydric Thaptic Hapludands Typic Hapludands Thaptic Hydrudands Hydric Thaptic Hapludands Hydric Thaptic Hapludands
Ochric Andosol Ochric Andosol Ochric Andosol
Andosol Andosol Andosol Andosol Andosol
Okrik Okrik Okrik Melanik Melanik
Acrudoxic Hydrudands Acrudoxic Hydric Hapludands Lithic Hapludands Lithic Hapludands
Ochric Andosol Ochric Andosol
Andosol Okrik
Klasifikasi Tanah menurut sistem Taksonomi Tanah mampu membedakan sembilan sub-group (macam) tanah untuk seluruh daerah penelitian. Klasifikasi tanah pada kategori famili (keluarga) pedon-pedon CTR-A di daerah Ciater, yakni tanah Andisol yang berkembang dari bahan induk abu volkan andesit di daerah curah hujan 4 215 d t a h u n adalah Acrudoxic Durudands, medial di atas skeletal berlempung, isohiperthermic (pedon CTR-A 1. CTR-A2, CTR-A3). Pedon-pedon CTR-B, lfiasih di daerah yang sama tapi berkembang dari bahan induk abu volkan andesit yang lebih tua adalah Acrudoxic Thaptic Hydrudands, hidrous, isohiperthermic ( pedon CTR-B4, CTR-B5, CTR-B6). Di daerah Sinumbra, pedon-pedon SNR-A, yang berkembang dari bahan induk abu volkan andesit di daerah curah hujan 3087 mmltahun adalah Acrudoxic Hydric Hipludands, medial, isothennic (pedon SNR-A1 dan SNR-A3) dan Acrudoxic Hydrud a d , hidrous di atas berlempung (pedon SNR-A2). isothemic. Sementara itu masih di daerah yang sama pedon-pedon SNR-B, yakni Andisol yang berkembang dari bahan induk abu volkan basalt di daerah dengan curah hujan 3 087 mmltahun adalah Lithic Hapludands , medial (pedon SNR-B3 dan SNR-W) dan medial di atas skeletal berliat (pedon SNR-BS), isothennic. Di daerah Sedep (Pangalengan) pedon-pedon SDP-A, yakni Andisol yang berkembang dari bahan induk abu vokan basalt di daerah dengan curah hujan 2 868 mmltahun adalah Hydric Thaptic Hapludands, medial, isothennic (pedon SDP-A1 dan SDP-A2) dan Qpic Hapludands, medial, isothennic (pedon SDP-A3). Sedangkan pedon-pedon SDP-B, yakni Andisols yang berkembang dari bahan induk abu volkan basalt yang lebih muda di daerah dengan curah hujan yang sama adalah Hydric Thaptic Hapludands, medial (pedon SDP-B5) dan medial di atas hydrous (pedon SDP-B6) dan Thaptic Hydrudands, medial di atas hydrous, isothemic (pedon SDP-B4). Berdasarkan data pada Tabel 33, daerah dengan curah hujan di atas 3 000 mmltahun memberikan sifat acrudoxic pada kategori sub-group baik pada bahan induk abu volkan basalt maupun andesit akibat pedon telah kehilangan basa-basa sehingga
tanah mempunyai jumlah basa-basa ditambah AI~+ terekstrak KC1 1N kurang dari 2 mellOO g tanah. Pedon-pedon SNR-B di daerah Sinumbra, meskipun memiliki sifat acrudoxic tetapi ditemukan kontak litik pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah
maka pada kategori sub-group digunakan sifat lithic sebagai pembeda. Kandungan AI3+ dari semua pedon yang diteliti umumnya rendah sehingga memberikan kontribusi terhadap sifat acrudoxic. Kandungan A13+ pada tansh yang diteliti umumnya dipengaruhi oleh tingginya curah hujan dan umur bahan induk. S-emakin tinggi curah hujan atau semakin tua umur tanah maka kandungan A13+ semakin tinggi. Selain itu tingginya curah hujan telah menyebabkan proses pencucian yang intensif sehingga terjadi translokasi bahan-bahan terlarut (Al, Fe dan Si) dan mengendap pada horison 2BC membentuk lapisan padas yang keras (duripan) akibat perubahan kondisi drainase horison bawahnya, seperti pada pedon CTR-A. Tingginya kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan plus imogolit) pada pedon-pedon CTR-B (22.84 persen) telah menempatkan pedon-pedon ini pada jenis (great- group) Hydrudands, yakni memiliki kadar air pada tegangan 1 500 kPa lebih dari 100 persen untuk contoh tanah tidak kering udara, berdasarkan rerata tertimbang pada keseluruhan ketebalan lebih dari 35 cm di dalam kedalaman 100 cm dari permukaan tanah. Di daerah Sedep, curah hujan yang relatif kecil(2 668 mmltahun) pada bahan induk abu volkan basalt telah meniadakan sifat acrudoxic pada katagori sub-group. Pengaruh umur geologik bahan induk yang berbeda di daerah Sedep, tidak menunjukkan perbedaan nama tanah pada kategori jenis (great-group) yakni Hapludands, kecuati pada pedon SDP-B4 Hydrudands. Hapludands adalah Andisol yang memiliki regim kelembaban tanah udik tidak memiliki horison plakik, duripan, epipedon melanik, sifat fulfik. dan retensi air pada 1 500 kPa kurang dari 100 persen. Hydrudans serupa dengan Hapludans, kecuali pada syarat yang disebutkan terakhir. Ditemukannya kontak litik (boulder rocks) di dalam kedalaman 50 cm dari permukaan tanah pada pedon-pedon SNR-B, mengakibatkan tanah ini termasuk ke dalam sub-group litik. Sifat litik dalam taksonomi tanah dinilai sebagai kendala utama
dibandingkan dengan sifat acrudoxic, ha1 ini tercermin dalam tata nama pedon-pedon SNR-B, yakni Lithic Haplua'ands meskipun kandungan basa-basa plus ~ l ' kurang + dari 2 me1100 g (acrudoxic). Berdasarkan fakta tersebut, menurut pendapat penulis sifat acrudoxic perlu ditampilkan (diiombinasikan) dengan sifat pembeda lithic pada kategori sub-group tersebut mengingat erat kaitannya dengan implikasi praktisnya (pengelolaan tanarnan). Dengan demikian diusulkan tatanama pada kategori sub-group fhenjadi Lithic Acnuioxic Hapludands. Penggunaan dua sifat pembeda pada kategori sub-group seringkali dilakukan dalam Taksonomi Tanah apabila kedua sifat itu dinilai cukup penting. Sebagai contoh pedon-pedon CTR-B, SNR-A dan SDP-A menggunakan dua sifat pembeda sebagai nama tanah pada kategori sub-group-nya. Klasifikasi tanah menurut FAOlUNESCO (1974), menempatkan pedon-pedon yahg diteliti ke dalam dua macarn tanah, yakni Ochric Andosol dan Vitric Andosol. Sedangkan menurut PPT (1983), diklasifikasikan ke dalam tiga macam tanah, yaitu Andosol Okrik, Andosol Melanik dan Andosol Litik. Dengan demikian kedua sistem tersebut belum mampu mengklasifiasikan tanah dengan baik, bila dibandingkan dengan Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1992). Miomorfologi Andisol Warna Matriks Tanah Penentuan warna tanah dilakukan dengan sinar polarisasi biasa @lane polarized light) dengan mengacu pada warna tanah baku Munsell. Warna dalam irisan tipis tergantung pada ketebalan. Sedikit variasi ketebalan contoh biasanya mengakibatkan pembahan warna secara nyata. Selain ketebalan contoh, warm juga bervariasi dengan tipe cahaya yang digunakan, jenis mikroskop dan tingkat pembesaran. Pada pembesaran kecil, obyek akan tampak hitam, sedangkan pada pembesaran yang tinggi menjadi kecoklatan (Bullock, et al, 1985).
Hasil pengamatan warna matriks tanah dari setiap pedon disajikan pada Tabel Lampiran 7. Berdasarkan data pada Tabel Lampiran 7, warna matriks tanah tidak menunjukkan ragam yang cukup besar. Warna horison (A/Bw) berkisar coklat kuat sampai coklat tua dengan hue 7.5 YR. Horison BC umumnya berwarna lebih terang dibandiigkan dengan horison genetik lainnya, sedangkan horison permukaan dan horison A yang tertimbun berwarna lebih gelap. Secara umum pedon-pedon CTR-A2, SNR-A2, SNR-B5 dan SDP-A3 horison-horisonnya berwarna coklat kuat kecuali pedon SDP-A3 umumnya berchroma lebih tinggi. Sedangkan pedon CTR-B4 dan SDP-B5 berwama coklat tua atau memiliki warna chroma dan value yang lebih rendah dibandingkan keempat pedon lainnya. Warna-warm yang diperoleh dari irisan tipis umumnya lebih kecoklatan dibandhgkan warna tanah lembab lapang. Hal ini akibat oksidasi senyawa-senyawa besi pada saat pengeringan contoh untuk pembuatan preparat irisan tipis. Hue contoh alami umumnya berkisar 10 YR dan berubah menjadi 7.5 YR pada contoh irisan tipis. Pengaruh curah hujan, sifat bahan induk dan umur bahan induk tanah tidak jelas terlihat jelas dari perbedaan warna matriks tanah. Namun demikian, di daerah Ciater horison-horison pedon CTR-A2 umumnya memiliki wama value lebih tinggi dibandingkan pedon CTR-B4. Di daerah Sinumbra, horison-horison pedon SNR-A2 memiliki value yang lebih tinggi daripada pedon pedon SNR-B5. Sedangkan di daerah Pangalengan horison-horison pedon SDP-A3 memiliki warna value dan chroma lebih tinggi dibandingkan pedon SDP-B5 . Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa warna matriks tanah pada Andisol bahan induk tua umumnya memiliki warna value dan chroma lebih tinggi satu atau dua unit dibandingkan Andisol pedon yang berasal dari bahan induk muda.
Pada dasarnya tanah itu adalah sistem tiga fase yang terdiri dari fase padat, cair dan gas. Tata letak atau susunan dari ketiga fase tersebut dibatasi oleh susunan dari fase padat. Cara komponen padat dan rongga (void) disusun dalam suatu tanah, bersama dengan bentuk clan ukurannya, membangun struktur tanah.
D
Pengertian struktur mikro dalam bahasan ini adalah bagian dari tanah yang,tidak dapat dilihat tanpa bantuan alat optik, batas antara struktur mikro dan struktur makro adalah0.20- 1.00mm. Pengamatan struktur mikro tanah meliputi bentuk, ukuran, pedalitas dan akomodasi dengan mengacu pada Bullock et a1 (1985). Hasil pengamatan selengkapnya diiajikan pada Tabel 34. Beberapa contoh bentuk struktur mikro tanah hasil pengamatan pada irisan tipis disajikan pada Gambar 22. Berdasarkan data pada Tabel 34, tampak bahwa horison-horison pedon Andisol memiliki kisaran struktur mikro granular sampai masif. Horison permukaah umumnya granular dan remah (Gambar 22a dan b), sedangkan horison bawah gumpal membulat dan gumpal bersudut Gambar 22c dan d). Warna struktur tanah horison permukaan (Ap) semua pedon memperlihatkan hubungannya dengan akumulasi bahan organik yang tinggi, yakni berwarna gelap dengan pedalitas dan akomodasi yang baik. Pedon-pedon yang berkembang di daerah dengan curah hujan yang tinggi, seperti di daerah Ciater, memiliki warna Iebih gelap (kehitaman) dengan pedalitas dan akomodasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan pedon-pedon yang berkembang di daerah yang relatif lebih kering (Sinumbra dan Sedep) yang umumnya memiliki warna lebih terang (kecoklatan) dengan pedalitas dan akomodasi yang makin melemah sehingga cenderung memperlihatkan bentuk gumpal bersudut atau membulat. Selain itu, bentuk struktur granuler horison Ap pedon yang berasal dari bahan induk tua umumnya berukuran lebih besar dengan matriks yang lebih rapat (denses) apabila dibandingkan dengan pedon yang lebih muda. Bentuk
Tabel 34. Bentuk, Ukuran. Pedalitas dan Akomodasi Struktur Mikro pada Pedon-pedon Pewakil Andisol Fedon/ Hor
Kedalaman (cm)
Bentuk
Ukuran (m) 0.040.4 0.040.4 1.6 0.4 0.04<0.08 0.4 1.6 0.040.08-
-
Pedal i t a s
Akodasi
Proporsi (X)
td
80 20 60 40 100 50
Pedon m-A2 0.2 k 4.0 L 0.4 s - l 1.6 L 2.8 L 0.8 L 0.12 L 1 - s 0.8 1 - s 2.4 L 0.2 s - k 4.4 s - k S
4.8 0.08-
k - s 0.4
k - s
..
U b
38-52
2BCbl
52-65
2BCbZ U'bl
65- 90 90-105
re gb gP gb gb ab
0.02-0.04 0.4 - 1.0 0.02- 0.2 0.7 2.0 5.0 0.04- 0.4
-
s s
s s s s
sb td sb sb sb
~ . ..-
1.0 - 8.0 s 0.04- 0.8 s Pedon UIR-L? 2.0 - 3.0 s 2.0 - 5.0 k
-..
1.0
AP BU
A'b BCb
- 2.5
s Pedon SYR-B5 0.04- 4.0 s 0.04- 3.6 s 0.2 1.2 s
-
A'bl A'b2 B'Ub A"b B"ub BCb
Keteranean : gb ,= gum al membulat s = urn a1 bersudut. r maslf; 1 = femah; s = i&ng; ! l = fuat; td =ti&; = baik
granular; mf = = sebagian; bk
Tabel 34. (Lanjutan) Pedon/ Hor
Kedalaman (cm)
Bentuk
Ukuran (ma)
Pedal it a r
Akomodasi
Proporsi (XI
AP BU A'b B'ub
&uat; *
: gb , = gu_mpalgmbulat; gs = gum a1 bersudut; r = granular;, mf = sb = sebaglan; bk mas~fI - em , s = sedang; k = = bdk
granuler yang lebih besar tersebut tersusun dari microped-microped yang mengelompok (clusrer). Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa horison Ap selain mempunyai kacdungan C-organik yang tinggi juga memiliki kandungan kompleks Al- dan Fe-humus yang tinggi. Diduga bahan-bahan tersebut turut berperan dalam membentuk struktur granuler yang mantap. Ukuran struktur terdiri dari dua bagian, yaitu struktur mikro dengan ukuran
< 1.0 mm dan struktur makro dengan ukuran > 1.0 mm. Dalam satu sayatan tipis umumnya dijumpai kedua ukuran struktur tersebut. Kisaran ukuran struktur antara 0.02
- 11.0 mm.
Setiap horison dalam suatu pedon tidak menunjukkan suatu pola
ukuran struktur. Pedalitas berkisar dari lemah sampai kuat dan umumnya sedang. Akomodasi struktur berkisar dari terakomodasi baik sampai tidak terakomodasi dan umumnya sebagian terakomodasi (Gambar 229. Rongga (Void) (1) Tipe
Rongga-rongga yang dijumpai dalam irisan tipis dicatat tipe, persen luas dari irisan tipis dan ada tidaknya pengisian oleh bahan-bahan tertentu dalam rongga tersebut (Tabel Lampiran 8).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umumnya horison permukaan tanah Andisol mempunyai tipe rongga compound packing void (Gambar 22a dan b). Bentuk rongga ini mernanjang sampai sebangun, biasanya saling berhubungan, dijumpai diantara ped granular, remah dan gumpal membulat yang tidak terakomodasi. Selain compoundpacking void, juga di horison permukaan dijumpai juga planar, chamber, dan vugh (Gambar 22a, b, f).
n
Horison-horison bawah atau horison tertimbun yang telah menunjukkan tingkat perkembangan st~uktur,yakni dari granular atau remah menjadi gumpal bersudut atau membulat baik berpori maupun tidak, biasanya mempunyai rongga tipe planar atau planar bersama cornpoundpacking void bila dijumpai struktur tanah campuran antara gumpal dan granular atau rernah (Gambar 22f). Disamping itu, pada horison-horison b h a n induk tua yang tertimbun seperti pada pedon SNR-A2 dan SDP-B3, selain planar void, juga dijumpai rongga-rongga tipe vugh, channel, chamber dan vesicle. Planar void pada horison permukaan (Ap) biasanya berkembang dari bekas akar tanaman atau aktifitas mikrofauna. Sedangkan pada horison bagian bawah permukaan, rongga planar umumnya terbentuk akibat agregasi agregat-agregat mikro yang membentuk massa yang rapat (dense) dalam bentuk gumpal. Gumpal yang terbentuk dari agregasi microped granular atau remah, dapat bersifat porous atau berupa massa yang kontinu (non porous). Yang terakhir ini biasanya dijumpai pada horison-horison berumur tua (tertimbun), dimana mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan dan irnogolit) sudah berubah menjadi mineral liat kristalin (haloisit). (2) Jumlah
Banyaknya (total) rongga dalam contoh irisan tipis dinyatakan dalam persen dari luas rongga terhadap luas total irisan tipis menurut metoda FitzPatrick (1980). Hasil pengamatan dari setiap contoh menunjukkan bahwa horison permukaan mempunyai persen rongga yang lebih tinggi dari horison-horison di bawahnya. Makin ke lapisan bawah, maka persen rongga umumnya rnenurun, ha1 ini terutama jelas terlihat pada
pedon berumur tua. Untuk lebih jelasnya data hasil pengukuran total rongga dari setiap horison di setiap lokasi disajikan pada Tabel Lampiran 8. Berdasarkan data pada tabel tersebut, jumlah rongga makin menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah, terutama pa& pedon yang berasal dari bahan induk tua seperti SNR-A2 dan SDP-B3. Hal ini diduga akibat terjadinya proses pengisian rongga-rongga oleh plasma tanah melalui au%erkolasi, gravitasi atau aktifitas mikroorganisma yang telah berlangsung lama sehingga banyak rongga atau pori menjadi tertutup oleh bahan-bahan endapan dari bagian atasnya. Dengan demikian persen rongga (void) dapat menggambarkan tingkat pelapukan pedon, semakin lanjut tingkat pelapukannya maka persen rongga akan makin menurun. Pola Distribusi Terkait Deskripsi pola distribusi terkait (Related Distribution Pattern/RDP) dilakukan berdasarkan dua konsep, yaitu : konsep c/f(Stoops dan Jongerius, 1975) dan konsep plasma/skeleton grain (Brewer, 1964). Kedua konsep itu digunakan kareda berdasarkan pengamatan sepintas, bagi tanah-tanah Andisol dalam penelitian ini, sangat sesuai.
Konsepframaoork/matriks/ fenokfas dari (Brewer, 1976) tidak dijumpai pada kebanyakan contoh. Berdasarkan konsep c/f, horison-horison Andisol memiliki pola distribusi terkait porfirik dan enaulik. Pola distribusi terkait porfirik menggambarkan partikel kasar terdapat dalam ground mass dari bahan yang lebih halus. Sedangkan enaulik, menggambarkan adanya agregat-agregat dari bahan yang lebih halus dalam ruang yang dibentuk oleh partikel kasar, dimana agregat-agregat halus tersebut tidak mengisi penuh ruang antar partikel kasar tersebut. Berdasarkan konsep Brewer (1964), horison-horison yang diamati mempunyai pola ditribusi terkait po@roskelik, inter~ekstikdan sedikit aglorneroplasrnik. Untuk lebih jelasnya, hasil pengamatan pola distribusi terkait disajikan pada Tabel Lampiran 8. Horison permukaan umumnya memiliki pola distribusi terkait enaulik atau interstekrik
(Gambar 22a dan b), terutama pada Andisol yang berasal dari bahan induk muda. Sedangkan pada Andisol yang berasal dari bahan induk tua, horison permukaan memil i i pola distribusi terkait porfirik atau porfiroskelik/interste&'k.
Ditinjau dari hubungan
spasialnya, pola enaulik atau interstektik menggambarkan matriks tanah yang porous. Sedangkanporfirik atau porfiroskelik menggambarkan matriks tanah yang lebih rapat (dense). Struktur tanah yang granuler atau gembur di permukaan tanah bisa terjadi akibat kegiatan organisme tanah yang relatif tinggi seperti adanya aktifitas serqngga (rayap, semut) dan perkembangan akar tanaman teh yang intensif di daerah pemukaan tanah. Kandungan alofan di permukaan tanah umumnya lebih rendah dibandingkan dengan lapisan bawahnya, akibat tingginya akumulasi bahan organik di permukaan yang mencegah terjadinya alofan karena terbentuk senyawa kompleks Al-humus. Horison-horison bawah permukaan atau lapisan yang paling bawah mempunyai pola distribusi terkait poflrik atau porjiroskelik/aglorneroplasrnik. Pola ini menggambarkan matriks tanah yang lebih merata (rapat) dan bersifat porous (interstektik) atau non porous @orfiroskelik). Dengan meningkatnya umur bahan induk tanah, maka massa yang porous akan terisi oleh bahan dari atasnya sehingga menjadi matriks atau plasma non porous. Pedon SNR-A2 dan SDP-A3, susunan horisonnya memiliki pola porfirik (Gambar 22c dan d). Kedua pedon ini menurut umur geologinya merupakan yang paling tua dibandingkan pedon-pedon lainnya. Mineral-mineral ordo kisaran pendek pada horison-horisonnya sebagian telah berubah menjadi mineral liat kristalin seperti haloisit hidrat, metahaloisit dan gibsit. Diduga adanya perubahan komposisi mineral liat tersebut diikuti oleh perubahan pola distribusi terkait dari enaulik menjadi porfirk. Horison-horison bawah pedon CTR-B4 , masih memiliki pola distribusi terkait enuulik atau interstekstik, meskipun pedon ini berumur geologik lebih tua dibandingkan pedon CTR-A2 dimana horison-horison bawahnya memiliki polaporfirik. Hal ini menggambarkan proses akumulasi bahan pada lapisan bawah berlangsung cukup intensif akibat adanya lapisan yang memadas sehingga agak menghambat proses transportasi
bahan ke lapisan yang lebih bawah.
Proses-proses pembentukan tanah meninggalkan ciri-ciri dalam tanah dalam bentuk kenampakan-kenampakan tertentu, disebut kenampakan pedologi (Bullock, 1985). Ada enam kelompok kenampakan pedologi yang dikemukakan dalam @andbook for Soil Thin Section Description (Bullock et al, 1985) yaitu tekstural, deplesi, kristallin, amorphous dan kriptokristalin, fdrik dan ekskremen. Kenampakan tekstural adalah kenampakan akibat translokasi mekanis dan pengendapan (deposition) partikel-partikel dalam tanah. Umumnya berupa partikelpartikel mineral seperti selaput liat (clay coating). Kenampakan deplesi terbentuk aKibat pengurangan bahan kiiia dari komponen-komponen tertentu. Biasanya dijumpai pada pinggiran pori atau agregat dan biasanya meliputi kehilangan besi, mangan dantatau kalsium. Kenampakan kristalin merupakan kenampakan-kenampakan yang terbentuk melalui rekristalisasi senyawa-senyawa dari larutan, misalnya kalSit. Bentukbentuknya bisa berupa selaput pada rongga, pengisian rongga dan nodul dalam matriks. Kenampakan amorphous dan kriptokristalin dibentuk dari senyawa-senyawa tanpa kristal-kristal diskrit yang jelas. Biasanya berupa mangan, besi atau kalsium karbonat dalam bentuk selaput, pengisian dan nodul. Karatan-karatan dalam tanah berdrainase buruk tercakup dalam katagori ini. Kenampakan fabrik adalah hasil dari modifikasi fabrik in situ, seperti bila aktifitas fauna atau akar mengakibatkan meningkatnya kepadatan salah satu bagian dari matriks dibandingkan dengan lainnya. Sedangkan Kenampakan ekskremen biasanya berupa kotoran-kotoran fauna tanah di lapisan atas tanah. Sistem deskripsi untuk kenampakan-kenampakan pedologi bervariasi sesuai dengan jenis kenampakan yang ada. Beberapa atau seluruh dari sifat-sifat berikut biasanya dijelaskan : sifat, ukuran, morfologi luar (bentuk, ukuran, kekasaran, ketajaman batas), internal fabrik, kontras dengan bahan terdekat, kelimpahan, variabilitas, dan distribusi serta orientasi.
Hasil pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan adanya beberapa jenis kenampakan pedologi, yaitu tekstural, amorphous dan kriptokristalin, fabrik dan ekskremen. Untuk lebih jelasnya, pada Tabel 35 dicantumkan sebagian dari jenis-jenis kenampakan pedologi pada setiap horison tanah dan pedon-pedon yang diamati. Sebagian dari kenarnpakan pedologi dari horison-horison pewakil disajikan pada Gambar 22 I I
dan 23.
Berdasarkan data pada Tabel 35, dapat dikemukakan bahwa kenarnpakan pedologi yang umum dijumpai pada setiap horison Andisol ialah berupa pelapukan mineral primer, akumulasilpengendapan bahan yang dipindahkan dari lapisan atasnya baik melalui proses pencucian maupun maupun proses lainnya (gravitasi, aktifitas mikrofauna). Bahan-bahan yang diendapkan umumnya berupa plasma tanah, bahan organik hrllus (organ) yang bercampur dengan fraksi debu atau pasir sangat halus, mengisi rongga-rongga dan berfungsi sebagai perekat (cementing agent) butir-butir ped (Gambar 22c). Selain itu seringkali bahan organik (humus) mengendap (penetrasi) ke dalam matriks tanah akibat butir-butir ped yang porous dan mewarnai (masking) serta mengisi butir-butir ped setempat-setempat dengan warna hitam sehingga sebagian pori dalam ped termtup. Kenampakan pedologi yang terakhir tersebut umumnya dijumpai pada pedon muda di daerah dengan curah hujan tinggi (Ciater) atau pada lapisan yang langsung berada di bawah horison A yang tertimbun (thaptic) (Gambar 22e). Kenampakan pedologi lainnya yang umum dijumpai ialah alterasilpelapukan mineral-mineral primer (mineral mudah lapuk) baik secara fisik maupun kimia pada pada horison A, B dan BC. Pelapukan secara fisik tarnpak berupa penghancuran butir mineral menjadi butir-butir yang lebih kecil, mengelompok, memiliki sifat-sifat fisik (optik) yang menyerupai mineral asalnya, umumnya terjadi pada mineral augit, hiperstin dan hornblende. Pelapukan secara kimia terlihat dari perubahan bentuk dan wama mineral apabila dilihat dengan sinar polarisasi biasa atau bersilang dengan bantuan lensa Bertrand. Mineral augit yang terlapuk akan berwarna hijau kecoklatan dalam sinar polarisasi biasa dan berubah warnanya menjadi kekuningan (bila terlapuk) atau kebim-
Tabel 35. Kenampakan Pedologi yang Dijumpai pada Setiap Horison dari Pedon Pewakil Andisol di Daerah Penelitian PedonlHorison
Kenampakan Pedologi
- Mineral-mineral primer sebagian terlapuk - Rongga bekas akar terisi oleh plasma tanah berbentuk granuler - Fragmen akar terlapuk, pinggirnya berwarna coklat kehitaman - Rongga planar terisi bahan yang isotropik dari liat y a q '2ercarnpur pasir sangat halus - Fragmen batuan terlapuk membentuk matriks tanah yan ber warna 2.5 YR 3/6,sekitarnya berwarna 10 YR 312 dalam &L '
-
-
-
Plagioklas diselimuti material bekarna opak Rongga planar terisi bahan campuran liat dan pasir sangat halus Rongga planar terisi bahan oleh liat (plasma) Bekas akar berbentuk elips, pinggirannya terkonsentrasi plasma tanah berwarna merah kehitaman Rongga bekas akar, berwarna kecoklatan, 20% Rongga bekas akar, 15 % Rongga planar terisi oleh liat dan pasir sangat halus Fragmen organik berwarna merah kecoklatan, 10%
-
- Rongga-rongga bekas akar dan fragmen organik, 10% - Rongga planar terisi oleh liat granuler dan pasir sangat halus - Fragmen batuan terlapuk, berwarna merah terang dengan massa dasar gelas volkan - Tufa dengan massa dasar gelas volkan terlapuk membentuk mineral liat, coklat kekuningan (XPL) - Rongga-rongga terisi bahan pasir sangat halus - Rongga-rongga terisi pasir sangat halus dan plasma tanah - Rongga-rongga bekas akar, dindingnya berwama coklat kemerahan - Rongga-rongga terisi oleh plasma (gibsit) - Fragmen akar agak terlapuk
-
- Rongga-rongga bekas akar berbentuk bulat terisi oleh plasma granular - Rongga planar terisi oleh liat danlatau gibsit - Rongga planar terisi oleh liat, lepas, kontinu - Fragmen akar (pitolith), 7% - Rongga bekas mineral lapuk - Rongga planar terisi oleh plasma (liat) dan gibsit - Rongga-rongga planar dan vugh terisi plasma, granuler, lepas, kontinu
Tabel 35. (Lanjutan) Kenampakan Pedologi SNR-BS AP Bw A'b BC'b
Bw BC A'bl
-
Fragmen-fragmen akar berwarna opak, memanjang Fragmen-fragmen akar, opak Fragmen-fragmen akar, opak Rongga-rongga bekas akar, memanjang, sebagian terisi plasma n Nodul
-
Fragmen-fragmen akar, opak dan segar (coklat kemerahan) ' Rongga bekas akar terisi plasma granular Nodul tipik dan nukleik Fragmen-fragmen akar (pitolith) Nodul tipik dan nukleik Rongga planar terisi plasma tanah dan pasir sangat halus Selaput pada rongga planar (hipocoating) Nodul Rongga planar terisi bahan plasma dan pasir sangat halus Nodul Rongga-rongga bekas akar, dindingnya coklat kemerahan sebagian terselaputi plasma tanah Nodul tipik Rongga-rongga bekas akar (chamber) terisi oleh plasma tanah Selaput liat (hypocoating dan typic coating) pada rongga planar Selaput pada rongga planar dengan plasma dan pasir sangat halus Selaput pada rongga planar Pengisian dengan plasma pada rongga planar Selaput pada rongga planar Pengisian rongga planar dengan plasma tanah (liat) dan pasir sangat halus Nodul tipik
-
-
B'wb
BC'b
-
SDP-BS AP Bw A'b
B'wb
-
Rongga planar terisi oleh plasma tanah dan pasir sangat halus
-
- Rongga planar terisi oleh plasma tanah dan pasir sangat halus - Fragmen akar terlapuk, bulat, pinggirnya berwarna coklat kemerahan - Rongga-rongga planar dan cpv terisi oleh plasma tanah dan pasir s a n g halus - - Rongga-rongga planar terisi oleh plasma tanah (liat) dan pasir sangat halus
-
BWwb BCb
- Rongga chamber terisi oleh microped
-
-
-
Rongga planar dan vesicle terisi oleh campuran liat dan pasir sanaat halus
b i i a n (belum terlapuk) pada sinar polarisasi bersilang dengan bantuan lensa Bertrand. Pada pedon-pedon yang berasal dari bahan induk tua, bentuk mineral umumnya anhedral dengan nisbah clfZpyang rendah, sedangkan pada pedon yang lebih muda bentuk mineral umumnya subhedral sampai euhedral dengan nisbah c/fZpyang tinggi. Fragmen akar umumnya ditemukan pada horison-horison dekat permukaan tanah. Akumulasi besi dalam bentuk nodul umumnya dijumpai pada pedon tua, sepefti SDPA3 di daerah Sedep (Gambar 22g). Nodul tersebut diduga terbentuk akibat akumulasi residual senyawa-senyawa besi karena mineral primer telah kehilangan unsur-unsur lainnya (basa-basa) akibat proses pelapukan. Hal ini tampak dari bentuk nodul yang kadang-kadang masih menyerupai mineral asalnya (Gambar 8d). Hal yang unik sehubungan dengan kenampakan pedologi ini ialah dijumpainya indikasi lemah liat iluviasi pada rongga atau permukaan ped dalam bentuk kutan pada horison B'wb pedon SDP-A3 yang berasal dari bahan induk tua, Typic Hapludands, (argillan, Gambar 23b) dan horison 2BCb pedon SNR-A2, Acrudoxic Hapludands, (gibbsan, Gambar 23a). Namun demikian, horison-horison tersebut belum memenuhi syarat suatu horison argilik karena banyaknya liat iluviasi tersebut lebih kecil dari satu persen serta selaput liatnya tidak terorientasi dengan baik. Dijumpainya sedikit kutan pada Andisol pernah dilaporkan pula oleh Swindale (1964 dalam Maeda et al, 1977). Selain itu Mohr et a1 (1972) mengemukakan bahwa pada Andisol (Andosol) seringkali ditemukan horison dengan akumulasi liat. Selaput liat tersebut (pada horison B) tidak memperlihatkan orientasi sebagaimana disyaratkan dalam Taksonomi Tanah. Dengan demikian horison akumulasi liat pada Andisol tidak serupa dengan pengertian horison argilik dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1992).
Gambar 22. Fotomikrograf Irisan Tipis Dalam Sinar Polarisasi Biasa. Hor Ap, CTRA2 (a); Hor Ap, SNR-B5 (b); Hor B"wb, SDP-A3(c); Hor 2Ab, SNRA2 (d); Hor 3Ab, CTR-A2 (e); Hor Ap, SNR-A2, (0; Hor A'b2. SDPA3, (g). Garis Hitam = 180 p. au = augit; h = hiperstin; v = void; fa = fragmen akar; pl = plagioklas; or = organik argilan; op = opak; if = pengisian void; ar = argilan; N = nodul; M = magnetit; k = korosi pada piroksin
Gambar 23. Fotomikrograf SEM (a,e) dan lrisan Tipis (b,c.d). Gibsan pada hor 2BCb. SNR-A2 (a); Argilan pada hor B'wb. SDP-A3. XPL (b); or = selaput organik pada ped pada hor B'wb. SDPA3, PPL (c); if = pengisian pori pada hor 2BCb. SNR-A2. XPL (d); selaput liat pada fraksi pasir, hot Bw. SNR-B5 (e). PPL = sinar polarisasi biasa; XPL = sinar polariwi bersilang. Garis hitam = 180 p.
Penilaian Tiidcat P e l a ~ u k a q
Berdasarkan Mineral Pasir Penilaian tingkat pelapukan berdasarkan susunan mineral pasir fraksi IV (skeletal) dilakukan dengan cara melihat nilai nisbah mineral hasil lapukan (MHL,n seperti konkresi besi, silika organik dan bahan hancuran) dengan mineral mudah lap& (MML, seperti zeolit, plagioklas, amfibol, augit, hiperstin clan olivin), karena susunan mineral pasir tanah Andisol yang diteliti didominasi oleh kedba kelompok mineral tersebut. Mineral sukar lapuk (MSL) dijumpai sangat sedikit, kecuali pada horison-horison tua yang tertimbun pada pedon SNR-A2 dan SDP-A3. Ini mencirikan bahwa tanah di daerah penelitian masih tergolong relatif muda. Dalam penilaiannya, digunakan istilah mineral hasil lapukan diiana mineral bahan hancuran diielompokan ke dalamnya. Hal
ini dilalcukan mengingat cukup pentingnya peran mineral bahan hancuran dalam menggambarkan tingkat pelapukan pedon-pedon Andisol. Hasil penilaian tingkat pelapukan yang didasarkan pada nilai nisbah mineral hasil lapukan dan mineral mudah lapuk untuk masing-masing pedon sampai kedalaman sekitar 150 cm dari permukaan tanah, menunjukkan selcuen tingkat pelapukan dari yang paling lanjut sampai yang paling muda adalah sebagai berikut : pedon SDP-A3 SNR-A2
>
> CTR-B4 > SNR-B5 > CTR-A2 > SDP-B5. Sekuen tingkat pelapukan
ini sejaian dengan besar kecilnya nilai nisbah MHL/MML masing-masing pedon. Untuk lebih jelasnya, hasil penilaian selengkapnya disajikan pada Tabel 36. Hasil penilaian tingkat pelapukan yang berpedoman pada kriteria Mohr dan Van Baren (1960) menunjukkan bahwa seluruh pedon mempunyai derajat pelapukan tnhap
viril. Hal ini diperlihatkan oleh kandungan mineral mudah lapuk yang cukup tinggi, atau masih mendominasi dalam fraksi tanah. Disamping itu secara fisik dan morfologi mulai menunjukkan adanya kandungan liat. Rata-rata kandungan mineral mudah lapuk dari fraksi pasir disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36. Rerata Kandungan Mineral Mudah Lapuk, Mineral Hasil Lapukan, Mineral Sukar Lapuk, Nisbah MHLlMML Pedon Pewakil di Daerah Penelitian Pedon
MML
MHL
93.11
2.67
MSL
MHL/MML
AP
Bw BC 2Ab 2Bwb 2BCb 3Ab 3Bwb 3BCb
Rerata
3.33
0.03
3.4
0.59
9.33
2.93
CTR 69 45 23 11 30 11 15
AP
'Bw BC 2Ab 2BCb1 2BCb1 2A'bl 2A'b2 2Btwb 2BC ' b
Rerata
7
32 55 66.8
29.8
AP
Bwl Bw2 Bw3 BC 2Ab 2BCb 2B1wb 2BC'b
Rerata
39.56
SNR-BS 2
AP
Bw Ab BCb
Rerata
51
5 5
2 2 3 2
4
2.25
4
93.75
0.04
MML
Pedon
MHL
MSL
MHL/MML
AP A2 Bw BC
Abl Abl B'wb A'b B1'wb BC"b
Rerata AP Bwl Bw2 BC Abl Ab2 B'wb BC' b l BC' b l
Rerata
92.67
2.11
4.78
0.02
Keteranean : MML = Mineral mudah lapuk (zeolit, gelas volkan. plagioklas, hornblende, augit, hiperstin, olivin); MHL = Mineral hail lapukan (konkresi besi, Si0,-organik, bahan hancuran); MSL = Mineral sukar lapuk (kuarsa, opak)
Berdasarkan data pada Tabel 36, dapat dilihat bahwa keenam pedon mempunyai kandungan mineral mudah lapuk yang tinggi dan mendominasi dalam fraksi tanah. Pedon SNR-A2 dan SDP-A3 mempunyai horison tertimbun yang lebih terlapuk dibandingkan dengan horison di atasnya. Bahan penimbunan baru pada pedon SNR-A2 lebih terlapuk dibandingkan dengan bahan-bahan pada pedon SNR-BS, sedangkan bahan ~ pedon SDPA3 memiliki fraksi mineral yang masih segar yang penimbunan b a pada berbeda dengan pedon SDP-BS. Dengan demikian dapat diduga bahwa pedon SDP-A3 yang berasal dari bahan induk tua tidak terkontaminasi oleh erupsi terakhir Gunung
Papandayan. Berdasarkan Mineral Liat Dengan asumsi bahwa mineral liat merupakan hasil lapukan bahan induk tanah, menurut Tavernier dan Eswaran (1972), kandungan dan tipe mineral liat dapat diguna-
kan untuk menduga tingkat pelapukan yang terjadi.
n
Mohr et a1 (1972) mengemukakan bahwa tanah Andisol yang berkembang dari bahan volkan muda, mineral liatnya didominasi oleh alofan. Kaolinit dadatau haloisit dijumpai pada horison-horison tertimbun yang berkembang dari bahan volkan ma. Berdasarkan hasil analisis difraksi Sinar-X, DTA, ekstraksi oksalat masam dan uji NaF di seluruh daerah penelitian, pedon-pedon didominasi oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek (alofan dadatau imogolit) kecuali lapisan bawah pedon SNR-A dan SDP-A. Ragam kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek pada setiap pedon terutama dikendalikan oleh umur bahan induk tanah. Kandungan haloisit dan gibsit makin meningkat dengan meningkatnya tingkat pelapukan ranah atau umur bahan induk tanah. Pada pedon CTR-B4, SNR-A2 dan SDP-A3 kandungan gibsit dan haloisit makin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah, terutama pada pedon SDP-A3 (Gambar 14). Kandungan mineral-mineral ordo kisaran pendek menurut uji NaF dan oksalat masam (Tabel Lampiran 6), menunjukkan bahwa seluruh pedon didominasi oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek (pH (NaF)
> 10.21). kecuali pedon AndisoI yang
berkembang dari bahan induk tua SDP-A3 mineral-mineral ordo kisaran pendeknya hanya pada horison-horison dekat permukaan saja. Berdasarkan kandungan dan tipe mineral liat dari keenam pedon, yakni menunjukkan dominasi mineral-minerat ordo kisaran pendek (alofan danlatau irnogolit), maka tingkat pelapukan pada keenam pedon tersebut adalah pada tahap kambik. Tingkat pelapukan tahap kambik rnerupakan tingkat pelapukan yang lebih lanjut daripada tahap entik, tetapi relatif muda dibandingkan tahap argilik dan tahap oksik (Tavernier dan Eswaran, 1972).
Sekuen tingkat pelapukan keenam pedon berdasarkan kandungan dan tipe mineral liatnya dari yang terlapuk sampai yang muda adalah sebagai berikut : pedon SNRA2
> SDP-A3> CTR-B4 > SNR-B5 > CTR-A2 > SDP-B5. Secara K i a Tingkat pelapukan dapat juga dilihat dari perubahan sifat-sifat kimia bahan asal
i yang dipakai untuk menilai tingkat pelapukan pada tanah penelinya. Sifat-sifat W
tian ini adalah nisbah CaJMg,
A
pH, nisbah silikatlseskuioksida (total), KTK-liat (pH
7) dan kejenuhan basa berdasarkan KTK @H7). Nisbah CalMg merupakan petunjuk tingkat pelapukan dan perkembangan tanah secara relatif. Makii rendah nisbahnya, maka makin lanjut pelapukan (Hardjowigeno,
1993). KTK (pH7) juga merupakan petunjuk untuk tingkat pelapukan tanah. Tanah muda umumnya mempunyai KTK rendah, sesuai dengan tekstur bahan induk. KTK mula-mula akan meningkat dengan meningkamya pelapukan, tetapi KTK akan menjadi rendah pada tanah dengan tingkat pelapukan lanjut. Tan (1982) mengemukakan bahwa tingkat perkembangan tanah dapat ditunjukkan pula oleh besarnya nilai
- pH-KCl).
A
A
pH (pH H,O
pH dapat menentukan muatan bersih koloid tanah. Pada tanah-tanah
yang telah mengalami pelapukan lanjut nilai pada tanah-tanah yang lebih muda nilai
A
A
pH rendah dan bahkan nol. Sedangkan
pH besar, bahan yang diendapkan mungkin
mempunyai muatan netto ( A pH) yang lebih besar. Nisbah SiO,IAl,O, yang kecil merupakan ciri-ciri tanah volkan. Apabila alofan mendominasi fraksi liat tanah volkan muda, nisbahnya berkisar antara satu sampai dua (Birrell, 1965). Dengan meningkatnya umur, maka alofan mengalami transformasi menjadi kandit dan nisbahnya dua. Apabila kondisi drainase buruk dan bahan induk mengandung sejumlah besar mineralmineral feromagnesia, maka terbentuk smektit dan nisbahnya tiga atau lebih. Kadangkadang pada abu volkan intermedier dan basalt di bawah kondisi drainase yang baik, nisbah Si021A1203lebih kecil dari satu akibat adanya aluminium hidroksida bebas.
Tabel 37. Beberapa Sifat Kirnia yang Digunakan sebagai Indeks Pelapukan Pedon Pewakil Andisol Horison
Ca/Mg
A
pH
Si02/A1203
Pedon -0.20 -0.03 -0.31 -0.30 -0.31 -0.26 -0.06 -0.14 -0.47 Rerata
Pedon -0.29 -0.27 -0.34 -0.13 -0.37 0.02 0.17 0.31 -0.02 0.01 Rerata
Pedon SNR-A2 AP Bwl Bw2 Bw3 BC 2A'b 2BC'b 2A"b 2BC"b Rerata
0.08 0.12 0.09 0.00 -0.08 -0.16 0.30 0.96 0.92
0.10 0.07 0.05 1.16 0.59 0.22 0.86 0.38 0.52
KTK Liat (me/100 g )
KB ( % I
Tabel 37. (Lanjutan)
Pedon SNR-B5 0.16 0.05 0.48 0.51
AP Bw A'b BCb
0.17 0.43 0.28
-
Rerata
Pedon SDP-A3 AP A2 Ew BC A'bl A'b2 B'wb A1'b .BI1wb BC'b
0.52 0.59 0.96 1.48 1.56 1.54 1.54 1.43 1.46 1.77
0.64 1.10 0.93 1.10 1.09 0.38 0.62 0.48 0.67 0.59
Rerata
Pedon SDP-B5 AP Bwl Bw2 BC A'bl A'b2 B1wb BC'bl BC'b2
0.17 0.20 0.20 0.52 0.48 0.27 0.38 0.09 0.33
0.53 0.22 0.40 0.52 0.36 0.43 0.40 0.12 0.34
Rerata
Berdasarkan data pada Tabel 37, sulit untuk menentukan sekuen tingkat pelapukan dari keenam pedon tersebut. Tampaknya tingkat pelapukan pedon-pedon yang diteliti dipengaruhi oleh umur bahan induk tanah, kondisi iklim (curah hujan) dan sifat bahan induk abu volkan. Selain itu, tanah-tanah yang didominasi oleh mineral-mineral ordo kisaran pendek (variable charges) memperlihatkan hubungan-hubungan yang berlawanan arah
dengan tanah-tanah yang fraksi liatnya didominasi oleh liat kristalin (non Andisol). Pada Andisol, dalam perkembangamya mineral-mineral ordo kisaran pendek berubah menjadi mineral liat kristalin (haloisit, kaolinit) sedangkan pada tanah non Andisol (Ultisol, Oxisol) mineral liat kristalin terlapuk menjadi oksida dan oksida terhidrat dari besi aluminium dan silikat yang non kristalin. Namun demikian, ada beberapa ha1 yang dapat ditafsirkan dari data pada Tabel 37 tersebut. Nisbah CdMg umumnya semakin rendah dengan semakin meningkatnya umur bahan induk tanah. Pedon SNR-A2 dan SDP-A3 tercatat memiliki nisbah yang rendah. Sedangkan pedon CTR-B4, CTR-A2 dan pedon SNR-B5 memiliki nisbah CalMg yang relatif tinggi. Pedon SDP-B5 mempakan pedon yang berasal dari bahan induk muda menurut penafsiran hasil analisis mineral fraksi pasirnya, tetapi nisbah CalMg relatif kecil. Hal ini berkaitan dengan sifat bahan induknya yang basalt yang berfungsi sebagai sumber mineral-mineral feromagnesia yang tinggi. Pelapukan mineral-mineral feromagnesia yang intensif akan melepaskan unsur Mg yang tinggi sehingga memperkecil nisbah CaIMg. Nilai
A
pH bernilai positif dan semakin tinggi dengan meningkatnya umur
bahan induk tanah. Semakin muda tanah maka nilai A pH ini bernilai negatif dan semakin rendah. Nilai
A
pH juga tampaknya dipengaruhi oleh sifat bahan induk dan curah
hujan. Pada daerah dengan curah hujan yang tinggi di daerah Ciater, pedon CTR-A2 dan CTR-B4 memiliki nilai
A
pH yang negatif. Semakin tua umur bahan induknya maka
semakin mendekati no1 nilainya. Di daerah Sedep dengan bahan induk basalt, pedon bahan induk tua SDP-A3 memiliki nilai
A
pH yang semakin tinggi dibandingkan pedon
bahan induk muda SDP-B5. Demikian juga di daerah Sinumbra, pedon bahan induk ma SNR-A2 memiliki nilai
A
pH yang lebih tinggi dibandingkan pedon bahan induk muda
SNR-B5 . Nisbah SiO,IA~O, sebagai ukuran tingkat pelapukan pada Andisol hanya tampak pada pedon-pedon pada lokasi yang sama (kondisi lapangan yang sama). Di daerah Ciater, pedon CTR-A2 memiliki nisbah SiO,IAl,O, yang lebih tinggi dari pedon CTR-
B4. Padahal menurut tafsiran berdasarkan mineral pasu pedon CTR-A2 berumur bahan induk lebih muda dari pedon CTR-B4. Dengan demikian komposisi mineral bahan induk juga berpengaruh terhadap nisbah Si021A1203. Dijumpainya sedikit mineral liat kristalin (kaolinit) pada pedon CTR-A2 diduga merupakan insitu fomtion. Di daerah Sinumbra, pedon SNR-A2 memiliki nisbah Si0,1A1203 lebih tinggi dari pedon SNR-BS, dengan demikian pedon SNR-A2 sudah mengalami tingkat pelapukan yang l e a lanjut dibandiigkan dengan pedon SNR-BS. Demikian pula pedon SDP-A3 di daerah Spdep, berdasarkan nisbah Si0,1AJ03 berasal dari bahan induk .yang lebih lebih tua dibandingkan pedon SDP-B5. Penilaian tingkat pelapukan pedon-pedon berdasarkan nilai KTK liat (NH,OAc, pH7) menunjukkan ha1 yang sama seperti nisbah Si0,1A1203,
A
pH dan
nisbah CalMg. Pedon-pedon yang berumur bahan induk lebih tua umumnya mempUnyai nilai KTK liat yang lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon pasangannya yang berasal dari bahan induk lebih muda di masing-masing lokasi. Kejenuhan basa pada pedon berumur bahan induk tua di masing-masing lokasi umurnnya lebih tinggi dibandingkan dengan pedon yang berasal dari bahan induk muda. Penilaian urutan tingkat pelapukan untuk keenam pedon tampaknya sulit dilakukan mengingat ragam besarnya kejenuhan basa dipengaruhi oleh tingginya curah hujan, kondisi pencucian dan sifat bahan induknya. Pada daerah dengan curah hujan tinggi (pedon-pedon CTR), nilai kejenuhan basa umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon yang terletak di daerah yang relatif lebih kering (pedon-pedon SDP). Dengan demikian pemakaian yang baik dari kejenuhan basa untuk menunjukkan tingkat pelapukan Andisol hams memperhatikan lingkungan pedogeniknya. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penggunaan beberapa nilai sifat kimia tanah sebagai indikator tingkat pelapukan dibatasi oleh keragaman kondisi lingkungan pedogeniknya. Pada lingkungan pedogenik yang sama, indeks pelapukan berdasarkan sifat-sifat kiiia dapat berfungsi sebagai indikator tingkat pelapukan yang baik pada tanah-tanah Andisol.
Berdasarkan Sifat Fish Proses yang didasarkan pada proses perubahan partikel debu menjadi liat merupakan kriteria penilaian terhadap tingkat pelapukan berdasarkan sifat fisik. Semakin banyak perubahan dari fraksi debu menjadi fraksi liat, semakin lanjut tingkat pelapukamya. Nilai nisbah antara persen debu total (DT), debu halus (DH)'dan liat halus (LH)terhadap persen liat total (LT) dipakai sebagai petunjuk untuk menilai-tingkat pelapukan (Tabel 38). Tabel 38. Nisbah Debu Total, Debu Halus dan Liat Halus dengan Liat Total Pedon Pewakil di Daerah Penelitian Horison
DT/LT
DH/LT Pedon
AP Bw BC 2Ab 2Bwb 2BCb 3Ab 3Bwb 3BCb
Rerata Pedon CTR-B4 0.08 0.79 0.13 0.32 0.09 0.08 0.41 0.69 0.12 0.54 0.33
AP Bw BC 2Ab 2BCbl 2BCb2 2A'bl 2A'b2 2B1wb 2BC'b
Rerata Pedon AP Bwl Bw2 Bw3 BC 2A'b 2BC'b 2A"b 2BC"b
Rerata
LH/LT
Horison
DT/LT
DH/LT
AP Bw A'b BCb Rerata
5.42
Pedon SNR-B5 1.34
LH/LT
Pedon Bw BC A'bl A'b2 B'wb A" b B"wb BC"b Rerata
.
Pedon AP .Bwl Bw2 BC A'bl A'b2 B'wb BC'bl BC'b2
Rerata --
Keteransan
:
DT
=
Debu Total; DH = Debu Halus; LH = Liat Halus; LT = Liat Total
Berdasarkan data pada Tabel 38 dapat dilihat bahwa nilai nisbah DTILT di keenam pedon cukup beragam, walaupun reratanya lebih dari 1.50. Keadaan ini menunjukkan bahwa tanah-tanah di daerah penelitian didominasi oleh fraksi debu (2
-
50 r>.
Penggunaan nisbah DTILT dan LHILT sebagai kriteria terhadap tingkat pelapukan tanah Andisol ternyata perlu memperhatikan lingkungan pedogenik dan sifat bahan induknya. Apabila digunakan seperti pada ordo-ordo non Andisol, maka bisa terjadi kekeliruan dalam hasil penafsiramya. Sebagai contoh, nisbah DTlLT pedon-pedon Andisol yang telah mengalami pelapukan lanjut nilainya semakin kecil akibat perubahan fraksi debu menjadi liat. Konsep tersebut apabila digunakan pada pedon-pedon di daerah peneli-
tian, hanya berlaku di lokasi Sedep, tapi berlaku sebaliknya di daerah Ciater dan Sinumbra. Penggunaan nisbah WILT sebagai kriteria tingkat pelapukan menunjukkan bahwa pedon-pedon Andisol yang lebih terlapuk memiliki nisbah yang lebih kecil dibandiigkan dengan pedon-pedon yang kurang terlapuk (berdasarkan pada hasil analisis mineral fraksi pasir). Dengan demikian pada pedon yang berasal dari bahan induk rnuda kandungan fraksi liat halus umumnya lebih besar dari pedon-pedon y.aig berasal dari bahan induk tua. Hal ini diduga akibat dominasi mineral-mineral ordo kisaran pendek pada Andisol yang berasal dari bahan induk mu& yang berupa gel SiO, atau gel AJO, yang mudah terlarut pada saat dispersi pada lingkungan masam. Gel-gel tersebut diduga bemkuran liat halus. Pada Andisol yang sudah berkembang, gel-gel tersebut (alofan B menurut Fieldes, 1966) sudah berubah menjadi mineral liat alofan yang lebih berstruktur (alofan A, menurut Fieldes, 1966) dan berukuran liat kasar. Dengan demikian nisbah LHILT akan menjadi kecil. Hal demikian bertentangan apabila digunakan pada tanah-tanah non Andisol.
Berdasarkan nisbah LHILT, maka sekuen
tingkat pelapukan pedon-pedon Andisol di daerah penelitian adalah sebagai berikut : Pedon SNR-A2
> CTR-I34 > SDP-A3 > SNR-BS > CTR-A2 > SDP-B5. Sekuen
tersebut masih berbeda dibandingkan dengan penilaian berdasarkan susunan mineral pasir, karena dalam penilaian rnenurut LHILT tidak melihat jenis mineral liatnya serta pada pedon-pedon yang berasal dari bahan induk tua bagian atas biasanya sering terkontaminasi bahan baru dari erupsi muda, yang menyurnbang liat halus. Penilaian tingkat pelapukan berdasarkan nisbah DHlLT memberikan sekuen tingkat pelapukan dari yang tertua ke yang paling rnuda sebagai berikut : Pedon SDPA2
> SNR-A2 > SNR-BS > CTR-B4 > SDP-BS > CTR-AZ. Di rnasing-masing
lokasi sekuennya sebagai berikut : Pedon SDP-A3 SDP-B5 ; pedon CTR-B4
>
> SDP-BS ; pedon SNR-A2 >
CTR-A2. Sekuen yang terakhir ini tampaknya lebih
sesuai digunakan, karena penilaiamya dilakukan pada suatu lingkungan pedogenik yang sama .
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan nisbah DHlLT dan LHlLT lebih sesuai digunakan pada Andisol dibandingkan nisbah
DTILT. Pemakaian nisbah DTILT dapat menyimpullcan sekuen tingkat pelapukan yang keliru, karena bahan induk Andisol biasanya berupa material yang berukuran debu. Pemakaian nisbah DHlLT dan LHlLT hatus digunakan pada suatu lingkungan pedoge-
nik yang sama apabila ingin mengetahui kronosekuen pedon-pedon Andisol.
'
Keterbatasan penggunaan nisbah-nisbah fraksi tanah hasil pengukuran distribusi ukuran partikel pada Andisol yang diteliti sejalan dengan pendapat Warkentin et a1 (1988), bahwa distribusi ukuran partikel merupakan saiah satu indeks yang baik bagi tanah-tanah non Andisol, tetapi kegunaamya pada Andisol sangat terbatas. Nilai yang terukur sangat ditentukan oleh komposisi kimia mineral-mineral ordo kisaran pendek dan perbedaan lamanya (waktu) tanah mengalami proses pengeringan (differences in dring history).