19
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, pengambilan data primer dilakukan di 3 (tiga) kecamatan dari tiap kabupaten sebagai wilayah sampling. Pemilihan kecamatan didasarkan pada kriteria wilayah dengan populasi ternak yang tinggi, mempunyai tingkat kejadian brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut, kecamatan Tasifeto Barat, Laenmanen dan Malaka Timur merupakan wilayah yang dipilih untuk pengambilan sampel (kuesioner) di Kabupaten Belu, sedangkan di Kabupaten Kupang dilakukan di kecamatan Kupang Timur, Kupang Barat dan Amarasi Barat. Sejumlah 20 orang peternak dari tiap-tiap kecamatan dipilih sebagai responden secara purposif random sampling. Tabel 4 di bawah ini menyajikan daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner).
Tabel 4 Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner) Kabupaten Belu
Kecamatan Tasifeto Barat Laenmanen
Malaka Timur
Kupang
Total Kupang Timur
Kupang Barat
Amarasi Barat
Total
Desa Naekasa Bakustulama Triumanu Tesa Kapitan Meo Neotroi Nomponi Kusa Merdeka Oesao Naibonat Manusak Nunkurus Oenesu Oenaek Batakte Manulai I Kuanheum Oematnunu Merbaun Niurbaun Teunbaun Erbaun Toobaun
Jumlah (n) 5 15 4 6 7 3 5 15 60 6 1 1 2 10 5 1 1 5 5 3 3 4 3 8 2 60
Profil Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Berdasarkan hasil survei sekitar 81,6% responden (n = 49) di Kabupaten Belu dan 88,3% responden (n = 53) di Kabupaten Kupang menjadikan usaha
20
ternak sapi bali sebagai pekerjaan sampingan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah bertani. Di Kabupaten Belu, 12,06% responden (n=7) tidak pernah menempuh pendidikan formal (sekolah), 55% responden (n=33) mempunyai pendidikan terakhir SD, 18,96% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP, 10,34% responden (n=6) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5,17% responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas. Sedangkan di Kabupaten Kupang, 61,6% responden (n=37) mempunyai pendidikan terakhir SD, 18,3% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP, 15% responden (n=9) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5% responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas. Tujuan utama dari pemeliharaan ternak adalah sebagai investasi/ tabungan. Selain itu, ternak dipelihara untuk keperluan lain seperti : upacara adat, simbol status sosial dan untuk keperluan konsumsi. Pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif. Pada pagi hari ternak digembalakan dan pada siang atau sore hari dibawa kembali ke kandang atau diikat di dekat rumah (untuk peternak yang tidak mempunyai kandang). Kandang umumnya terbuat dari batu yang disusun menyerupai pagar ataupun dari kayu maupun bambu. Perkawinan ternak terjadi secara alami. Pada musim kering, ternak diberikan pakan tambahan berupa rumput atau hijauan yang berasal dari kebun milik peternak sendiri. Kotoran ternak atau pupuk kandang dimanfaatkan oleh peternak sebagai pengganti pupuk buatan untuk memupuk tanaman di lahan kebun atau tegalan yang mereka miliki. Di Kabupaten Belu seluruh responden yang diwawancarai (n = 60) memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Di Kabupaten Kupang 86,6% responden (n=52) memanfaatkan kotoran ternak untuk memupuk tanaman di ladang, sedangkan 13,3% responden (n=8) memanfaatkan kotoran ternak sebagai biogas penghasil energi listrik. Berdasarkan hasil survei, baik di Kabupaten Belu maupun Kabupaten Kupang, pemanfaatan ternak sebagai tenaga pembajak tidak lagi dilakukan karena umumnya petani peternak sudah mempunyai mesin pembajak sendiri. Penjualan ternak umumnya dilakukan melalui pedagang perantara yang mengambil langsung ke peternak ataupun dengan cara dijual ke pasar pada saat hari pasaran. Kadangkala ternak dijual dengan cara ditukar dengan babi (babi tersebut digunakan untuk upacara adat).
21
Rata-rata tingkat kelahiran sapi bali di Pulau Timor adalah 62,8±10% dengan kisaran 45-89% dan angka kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun berkisar antara 3-30% pada lokasi semi intensif. Di lokasi ekstensif, tingkat kelahiran berkisar antara 57,1-77,4% dengan tingkat kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun sebesar 3%. Rata-rata jarak beranak pada sapi Bali adalah 15 bulan. Waktu beranak pertama pada lokasi semi intensif adalah 32±5,3 bulan dan di lokasi ekstensif pada umur 47 bulan. Angka kematian sapi Bali dewasa adalah 3,1% dan angka kematian dalam kelompok (herd) adalah 4,9% (Bakry et al. 1994). Thalib (2002) mengatakan bahwa angka kematian prasapih pada sapi Bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 15-50%, sedangkan angka kematian sapi dewasa adalah 1%. Menurut Geong et al. (1994), angka kematian anak sapi Bali di Pulau Timor yang berumur di bawah 6 bulan mencapai 19%. Frekuensi kelahiran sapi bali di NTT tertinggi (41,3±18,9%) terjadi pada bulan April sampai dengan akhir Juni (dari permulaan sampai pertengahan musim kemarau). Kemudian disusul pada permulaan Juli sampai akhir September (dari pertengahan sampai akhir musim kemarau) mempunyai frekuensi kelahiran 39,8±15,9%. Frekuensi kelahiran yang rendah secara signifikan terjadi pada awal Oktober sampai akhir Desember (akhir musim kemarau dan awal musim hujan) yaitu rata-rata 14,0±18,0% dan dari Januari sampai akhir Maret (dari pertengahan sampai akhir musim hujan) yaitu 5,0±5,8% (Bakry et al. 1994). Menurut Geong (1999), pada desa tertular (infected village), jumlah anak yang dilahirkan dari sapi-sapi seropositif lebih sedikit (29,1% pada tahun 1995 dan 25% pada tahun 1996) dibandingkan sapi-sapi seronegatif (48,5% pada tahun 1995 dan 51,6% pada tahun 1996). Pada tahun 1995, secara signifikan lebih sedikit anak (48,6%) yang lahir dari sapi-sapi seronegatif di 10 desa tertular brucellosis (infected village) dibandingkan dari sapi-sapi seronegatif (58,2%) dari 3 desa tidak tertular brucellosis (non infected village). Demikian juga pada tahun 1996, yaitu 51,6% pada desa tertular dan 56,8% desa tidak tertular (Geong 1999). Tidak terdapat perbedaan calving rate yang signifikan antara kelompok yang divaksin dan yang tidak divaksin dari hasil pengamatan pada desa yang berbeda. Calving rate pada kelompok yang divaksinasi antara 38,3 – 68,3% sedangkan pada kelompok yang tidak divaksin antara 39,3-65,8% (Geong 1999).
22
Makka (1989) mengatakan bahwa tingkat kelahiran (calving rate) akibat brucellosis pada sapi potong di Sulawesi Selatan adalah 56,13% sedangkan angka kematian anak sapi (calf mortality rate) adalah 19,79%, tingkat infertilitas mencapai 12,84% dan tingkat abortus 26,5%.
Prakiraan Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang Komponen pupuk kandang terdiri dari faeces, urine, rumput kering atau jerami dan air dengan perbandingan yang sangat beragam. Prakiraan potensi dan nilai ekonomis pupuk kandang dapat memberikan gambaran mengenai potensi pupuk kandang yang dapat digunakan pada lahan-lahan kering, lahan produktif pertanian, areal budidaya tambak dan kontribusi haranya serta jumlah substitusi pupuk buatan yang diperoleh. Dengan demikian dapat diketahui potensi ekonomisnya yang cukup tinggi selain secara tidak langsung telah mendukung pembangunan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan bahan organik (Suharyanto dan Rinaldi 2001). Pupuk kandang tersebut merupakan komponen output yang penting dan untuk menilainya direfleksikan sebagai opportunity cost. Penilaian opportunity cost yaitu dengan menghitung nilai setara pupuk buatan. Penghitungan nilai ekonomis pupuk kandang di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang dengan menggunakan metode penghitungan menurut Suharyanto dan Rinaldi (2001) disajikan pada Lampiran 17. Diketahui nilai ekonomis pupuk kandang pada tahun 2009 di di Kabupaten Belu adalah setara pupuk buatan Rp. 2.150.951.000,- dan di Kabupaten Kupang adalah setara pupuk buatan Rp. 3.361.416.000,Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, maka diketahui bahwa setiap ekor sapi di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang menghasilkan pupuk kandang yang mempunyai nilai ekonomis setara pupuk buatan Rp. 22.152,- per tahun. Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis Metode pengukuran ekonomi yang digunakan dalam kajian biaya manfaat ini menggunakan partial analysis yang dicerminkan dengan ukuran-ukuran NPV, B/C ratio dan IRR. Kajian dilakukan secara prospektif selama 10 tahun. Kajian biaya manfaat terhadap suatu program/proyek dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan asumsi yang digunakan. Asumsi untuk koefisien
23
teknis, yaitu parameter produksi maupun reproduksi dari suatu peternakan seperti tingkat kelahiran (calving rate), tingkat kematian anak (calf mortality rate), tingkat kematian dewasa (adult mortality rate), tingkat afkir (culling rate), prosentase pejantan (terhadap betina) digunakan untuk melakukan proyeksi jumlah populasi ternak. Proyeksi jumlah populasi ternak merupakan unsur pokok dalam menganalisa suatu program/proyek yang berkaitan dengan peternakan (Gittinger 1986). Pada penelitian ini, asumsi yang digunakan merupakan kompilasi dari data primer, data sekunder serta literatur. Kabupaten Belu. Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi > 2%) dan program pengendalian dilakukan dengan vaksinasi dan potong bersyarat. Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi harus dilakukan secara massal dan serentak di semua lokasi sasaran dengan target 100% dari populasi sapi betina wajib vaksinasi sampai prevalensi turun menjadi ≤ 2%. Pada tahun kedua dan seterusnya, vaksinasi hanya dilakukan pada ternak betina muda dan yang belum tervaksin pada tahun sebelumnya. Pengambilan sampel darah untuk pengujian brucellosis dilakukan 2 tahun setelah vaksinasi dan mencakup 100 % populasi dan semua reaktor dilakukan potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2009). Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 dengan uji CFT adalah 14,5% (Lake 2010) dan populasi sapi betina dewasa sejumlah 43.192 ekor. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah reaktor pada tahun 2009 adalah 6.262 ekor. Tabel 5 di bawah ini menyajikan realisasi potong bersyarat tahun 20052009. Berdasarkan tabel tersebut diketahui belum seluruh reaktor dapat dilakukan potong bersyarat, dan rata-rata realisasi potong bersyarat terhadap reaktor selama 5 tahun (2005-2009) adalah 133 ekor atau 2,12% dari total perkiraan jumlah reaktor dikarenakan keterbatasan dana kompensasi. Tabel 5. Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun 2005-2009 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Jumlah Sampel (ekor) 10.727 5.621 5.071 4.000 2.000
Sumber : Disnak Prov. NTT
Jumlah Positif (ekor) 1.125 1.064 792 449 337
Realisasi Potong Bersyarat (ekor) 165 141 144 111 105 133
24
Kajian biaya manfaat pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu :
Program A : Program yang dilakukan sekarang yaitu vaksinasi dengan cakupan rata-rata 57 % dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat (secara terbatas). Vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan sejak tahun 1994, dengan demikian kegiatan vaksinasi yang dilaksanakan sekarang adalah tahap konsolidasi dengan target wajib vaksinasi diasumsikan populasi anak betina dan muda betina. Tabel 6 di bawah ini menyajikan data cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu tahun 2004-2008, dengan rata-rata cakupan vaksinasi sebesar 57%.
Tabel 6. Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu Tahun
Populasi betina Muda Total 15.154 24.571 15.456 25.062 15.774 25.577 15.611 25.297 15.811 25.623
Anak 2004 9.418 2005 9.606 2006 9.803 2007 9.686 2008 9.812 Rata-rata Sumber : Disnak Kab. Belu, data diolah.
Realisasi (ekor) 10.000 12.000 25.000 15.000 10.000
% Realisasi 41 48 98 59 39 57
Dengan Program A, yaitu dilakukan vaksinasi terhadap 57% populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Berdasarkan data tahun 2007-2008, rata-rata total biaya pemberantasan untuk Program A adalah Rp. 1.042.735.250,00 dan rata-rata populasi sapi betina adalah 67.803 ekor, sehingga dapat dihitung biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah Rp. 15.378,00
25
Program B : Program Intensif yaitu vaksinasi dengan cakupan ratarata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas. Dengan Program B, yaitu dilakukan vaksinasi dengan cakupan rata-rata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Pelaksanaan Program B bertujuan untuk menurunkan prevalensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Berman (1981) bahwa vaksinasi terhadap sekurang-kurangnya 70% dari populasi secara signifikan akan mengurangi prevalensi brucellosis. Erasmus (1995) mengatakan bahwa vaksinasi sekurang-kurangnya 80% dari populasi betina dapat menurunkan prevalensi brucellosis secara signifikan. Perbedaan antara Program A dan Program B terletak pada cakupan vaksinasi (pada Program A cakupan vaksinasi 57%). Berdasarkan data tahun 2007-2008, biaya vaksinasi per ekor adalah Rp. 4.125,00 meliputi biaya pembelian vaksin dan biaya operasional vaksinasi. Populasi sapi betina wajib vaksinasi pada tahun tersebut sejumlah 25.461 ekor. Dengan dilaksanakannya Program B, maka populasi betina wajib vaksinasi adalah sejumlah 20.369 ekor. Pada Program A, populasi betina yang tervaksin sejumlah 14.512 ekor, maka jika dibandingkan dengan Program B terdapat selisih 5.857 ekor dan ini kemudian
diperhitungkan
sebagai
tambahan
biaya
pemberantasan
(Rp. 24.325.125,00). Sehingga total biaya pemberantasan pada Program B adalah Rp. 1.067.060.375,00 dan biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah Rp. 15.737,00 Komponen input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu Asumsi Calving rate
57%
Satuan
Tingkat kematian anak (calf mortality rate) Tingkat kematian dewasa (adult mortality rate) Culling rate
19% 3% 10%
Prosentase pejantan
22%
26
Bobot badan
Jantan
Betina
0-1 tahun 1-2 tahun
83 kg 165 kg
68 kg 128 kg
2-3 tahun >3 tahun
240 kg 300 kg
180 Kg 225 kg
Harga berat hidup Komisi
Rp. 18.000,00/kg 5%
Biaya kesehatan Tenaga kerja
Rp. 15.000,00/ekor Rp. 12.500/hari/10 ekor
Lainnya
Rp. 5.000,00
Dari hasil penghitungan laba kotor (gross margin) yang tersaji pada Tabel 8 diketahui laba kotor peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu pada tahun 2009 sebesar Rp. 14.308.218.218,00. Besarnya laba kotor tersebut untuk tahun berikutnya dapat berubah, yang besarnya tergantung pada parameter produksi yang dipengaruhi oleh program pengendalian yang dilaksanakan. Tabel 8
Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di
Kabupaten Belu USAHA PETERNAKAN
: Sapi Bali (breeding replacements)
Unit Usaha
: 43.192 sapi betina induk
PENDAPATAN
Satuan
Harga Satuan
Jumlah (Rp)
Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak -
Jantan muda
9.970,9
2.970.000
-
Dara
1.947,4
2.304.000
-
Afkir jantan (dijual)
950,2
5.400.000
-
Afkir betina induk (dijual)
5.462,5
4.050.000
Tenaga ternak Pupuk kandang
61.354.612.393
0
0
0
97.101
22.152
2.150.981.352
TOTAL PENDAPATAN (A)
63.505.593.745
BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak -
Pejantan
-
Betina induk
950,2
2.970.000
0,00
2.304.000
Komisi 5%
2.822.165.280 3.067.730.620
Pemeliharaan -
Biaya kesehatan
-
Tenaga kerja
-
Lain-lain
15.000 5.000/ekor
Pakan Transportasi & pemasaran
43.243.352.628
12.500/hari/10 ekor 0 10.000
64.127.000
TOTAL BIAYA VARIABEL (B)
49.197.375.528
GROSS MARGIN (A-B)
14.308.218.218
27
Kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B dilakukan dengan membandingkan keadaan tanpa program pengendalian. Dengan tidak dilakukannya program pengendalian (tanpa program), calving rate diasumsikan menurun 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57% menjadi 48% pada tahun ke-10. Calf mortality rate diasumsikan meningkat sebesar 0,5 % setiap tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19% menjadi 24% pada tahun ke-10. Tingkat kematian dewasa rate diasumsikan sebesar 3% per tahun. Pada Program A, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A belum mampu menurunkan
prevalensi
secara
signifikan.
Program
A
hanya
mampu
mempertahankan prevalensi berada pada kisaran tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil survey oleh Dartini et al. (2004), bahwa program vaksinasi di Kabupaten Belu diketahui dapat menekan penyebaran brucellosis di lapangan. Berdasarkan kajian terhadap hasil pelaksanaan Program A tersebut di atas, maka pada penelitian ini Program B yang diusulkan dimaksudkan dapat tercapai penurunan prevalensi yang serendah-rendahnya. Pada Program B, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 57%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Berdasarkan proyeksi arus kas (cash flow) secara prospektif selama 10 tahun pada keadaan tanpa program, laba kotor akan menurun setiap tahun. Pada Program A & Program B, terdapat peningkatan laba kotor sesuai dengan peningkatan populasi sapi dari tahun ke tahun sebagai efek dari peningkatan calving rate dan penurunan calf mortality rate dari masing-masing pelaksanaan program (Program A dan Program B). Dari hasil proyeksi laba kotor kumulatif pada tahun ke-10, Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi (Rp. 245.042.283.753,00) daripada Program A (Rp. 197.729.835.674,00). Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B disajikan pada Tabel 9. Program A dan Program B masing-masing memiliki nilai NPV
28
positif, B/C ratio > 1 dan nilai IRR yang menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan.
Tabel 9 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Belu Kriteria Net Present Value (NPV) Benefit Cost Ratio B/C ratio Internal Rate of Return (IRR)
Diskonto 15 % 20 % 15 % 20 %
Program A Rp. 40.168.103.518 Rp. 30.455.309.621 3,06 2,80 333%
Program B Rp. 59.124.540.107 Rp. 45.090.376.093 3,88 3,55 476%
Pada tahun ke-10, Program B mempunyai NPV yang lebih besar dibandingkan Program A, yaitu NPV Program B sebesar Rp. 59.124.540.107,00 dan NPV Program A sebesar Rp. 40.168.103.518,00 pada tingkat diskonto 15%. Pada tingkat diskonto 20% pada tahun ke-10, NPV kedua program masih menunjukkan nilai positif, yaitu NPV Program B sebesar Rp. 45.090.376.093,00 dan NPV Program A sebesar Rp. 30.455.309.621,00. B/C ratio Program B (3,88) menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan Program A (3,54) pada tingkat diskonto 15%. B/C ratio masih menunjukkan nilai >1 pada tingkat diskonto 20% yaitu 2,80 pada Program A dan 3,55 pada Program B. Dengan mengkombinasikan antara sudut pandang ekonomi, yaitu hasil penghitungan biaya manfaat (NPV, B/C ratio dan IRR) dan sudut pandang epidemiologi, maka Program B merupakan alternatif yang paling layak dan paling tepat dilaksanakan. Dari sudut pandang ekonomi, Program B memiliki NPV lebih tinggi dan B/C ratio lebih besar dibandingkan Program A, demikian pula untuk IRR. Dari sudut pandang epidemiologi, dengan dilaksanakannya Program B yang memiliki cakupan vaksinasi terhadap brucellosis yang lebih tinggi dibandingkan Program A, diharapkan dapat tercipta populasi ternak yang kebal terhadap brucellosis (herd immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi penyakit antar ternak, yang kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi. Kabupaten Kupang. Prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah 2% berdasarkan hasil uji CFT (Perwitasari 2010) dan kegiatan pemberantasan yang dilakukan adalah potong bersyarat (test and slaughter). Perkiraan jumlah reaktor pada tahun 2009 adalah 2% dari populasi
29
sapi betina dewasa. Menurut Disnak Kab. Kupang (2009a), populasi sapi betina dewasa adalah 47,86% dari total populasi sapi. Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu : Program A : Program yang dilaksanakan sekarang di Kabupaten Kupang. Jumlah populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 dihitung dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Sudardjat (2004), yaitu dengan menambahkan angka populasi pada tahun 2008 dengan rata-rata kenaikan populasi pada tahun-tahun sebelumnya (tahun 2006 dan tahun 2007) Dengan metode penghitungan tersebut, maka angka populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 adalah 155.398 ekor. Dengan demikian dapat diperkiraan jumlah populasi betina dewasa adalah 74.373 ekor dan perkiraan jumlah reaktor adalah 1.487 ekor. Rata-rata realisasi potong bersyarat pada tahun 2008-2009 adalah 32 ekor yaitu sekitar 2,15% dari total perkiraan jumlah reaktor. Dengan menggunakan data pada Tabel 10, jika program dilaksanakan selama 6 tahun dapat diasumsikan total reaktor yang dipotong adalah 12,9% dari jumlah reaktor keseluruhan. Sehingga pada akhir tahun ke-6, program ini masih menyisakan sekitar 1.295 reaktor (87,1% dari jumlah reaktor) yang harus dipotong. Reaktor yang belum dipotong tersebut merupakan sumber penularan yang potensial.
Tabel 10 Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun 2008-2009 Tahun
Jumlah Sampel (ekor) 2008 2.000 2009 1.000 Rata-rata 1.500 Sumber : Disnak Prov. NTT
Jumlah Positif (ekor) 137 33 85
Realisasi Potong Bersyarat (ekor) 55 9 32
Pada Program A, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 0,5% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 0,5% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 2009 yang bersumber dari Pusat, APBD I dan APBD II adalah Rp. 198.070.240,00. Dengan
30
demikian, rata-rata biaya pemberantasan untuk tiap ekor sapi pada Program A adalah Rp. 2.663,00
Program B : Program Intensif (pemotongan seluruh reaktor secara bertahap selama 6 tahun ) di Kabupaten Kupang. Program B adalah potong bersyarat terhadap seluruh reaktor (100%). Dengan menggunakan asumsi yang sama pada Program A dimana perkiraan jumlah reaktor secara keseluruhan adalah 1.487 ekor (tahun 2009), maka jika kegiatan potong bersyarat dilakukan selama 6 tahun berturut-turut dan untuk mencapai 0 reaktor pada akhir tahun ke6, maka tiap tahun dilakukan potong bersyarat terhadap 248 ekor (16,5%). Pelaksanaan Program B diharapkan dapat mengurangi jumlah reaktor secara signifikan, sehingga dapat mencegah terjadinya reinfeksi. Pada Program B, pelaksanaan pemotongan bersyarat pada tiap tahun pelaksanaan program (sampai tahun ke-6) lebih tinggi dibandingkan pada Program A, yaitu terdapat selisih 216 ekor. Berdasarkan data dari Disnak Kab. Kupang (2009b), biaya pembelian reaktor adalah Rp. 2.528.750,00 per ekor, sehingga terdapat selisih biaya pemberantasan Rp. 465.290.000,00 yang diperhitungkan sebagai biaya tambahan pemberantasan. Dengan demikian total biaya pemberantasan adalah Rp 744.280.240,00. Dengan demikian dapat dihitung
rata-rata
biaya
pemberantasan
untuk
tiap
ekor
sapi
adalah
Rp. 10.007,00 Keogh et al. (1981) mengatakan bahwa, sejak dimulainya program test and slaughter secara intensif di New South Wales, dan berdasarkan hasil uji terhadap lebih dari 85% populasi pada tahun 1981 prevalensi turun menjadi dibawah 2% dari prevalensi awal pada tahun 1976 sebesar 2,9%. Dengan Program B, calving rate diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 3% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan menurun sebesar 1,5% per tahun dari asumsi calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Komponen input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 11.
31
Tabel 11 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang Asumsi
Satuan
Calving rate Calf mortality rate (tingkat kematian anak) Tingkat kematian dewasa
60% 19% 3%
Culling rate Prosentase pejantan
10% 30%
Bobot badan 0-1 tahun
Jantan 83 kg
Betina 68 kg
1-2 tahun 2-3 tahun
165 kg 240 kg
128 kg 181 Kg
>3 tahun Harga berat hidup
300 kg Rp. 18.000,00/kg
225 kg
Komisi Biaya kesehatan
5% Rp. 15.000,00/ekor
Tenaga kerja Lainnya
Rp. 12.500/hari/10 ekor Rp. 5.000,00
Berdasarkan penghitungan laba kotor (Tabel 12), diketahui bahwa peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 mempunyai laba kotor sebesar Rp. 26.286.584.708. Tabel 12
Penghitungan laba kotor (gross margin) peternakan sapi Bali di
Kabupaten Kupang USAHA PETERNAKAN Unit Usaha
PENDAPATAN Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak -
Jantan muda Dara
: Sapi Bali (breeding replacements) : 74.373 sapi betina induk Satuan
Harga Satuan
Jumlah (Rp)
1.8072,6 4.256,8
2.970.000 2.304.000
63.483.505.302
Culling jantan (dijual) Culling betina induk (dijual) Tenaga ternak
2.231,2 9.406,0 0
5.400.000 4.050.000 0
50.142.657.820
Pupuk kandang TOTAL PENDAPATAN (A)
155.398
22.152
3.442.376.496 117.068.539.618
2.231,2
2.970.000
6.626.634.300
0,00
2.304.000
0
BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak Pejantan Betina induk Komisi 5% Pemeliharaan Biaya kesehatan -
Tenaga kerja Lain-lain
5.681.308.156 15.000 12.500/hari/10 ekor 5.000/ekor
78.357.640.454
32
Pakan
0
Transportasi & pemasaran TOTAL BIAYA VARIABEL (B)
10.000
GROSS MARGIN (A-B)
116.372.000 90.781.954.911 26.286.584.708
Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang dilakukan terhadap 2 alternatif program (Program A dan Program B), dengan calving rate awal
diasumsikan sebesar 60%. Pada keadaan tanpa program,
calving rate diasumsikan terjadi penurunan sebesar 1% per tahun dari asumsi calving rate awal sebesar 60%. Calf mortality rate diasumsikan meningkat sebesar 0,5% per tahun dari calf mortality rate awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%. Laba kotor kumulatif untuk Program A pada proyeksi tahun ke-10 adalah Rp. 312.040.814.785,00 sedangkan Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi yaitu Rp. 404.091.198.677,00. Pada keadaan tanpa program, laba kotor adalah paling rendah yaitu Rp. 173.619.960.536,00. Hasil penghitungan biaya manfaat pelaksanaan Program A dan Program B di Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 13. Dari hasil penghitungan, kedua program memiliki NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (tingkat diskonto 15% maupun 20%). Hal ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan. Tabel 13 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Kupang Kriteria Net Present Value (NPV) Benefit Cost Ratio B/C ratio Internal Rate of Return (IRR)
Diskonto 15 % 20 % 15% 20 %
Program A Rp. 52.849.682.784 Rp. 40.201.535.320 2,80 2,58 671%
Program B Rp.119.793.703.762 Rp. 90.827.190.444 1,58 1,50 272%
Program A memberikan perbandingan manfaat dan biaya (B/C ratio) yang lebih besar dibandingkan Program B baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Program A juga memberikan ”return” yang lebih besar dibandingkan dengan Program B, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan. Dalam hal ini, investasi yang ditanamkan pada Program A (Rp. 2.993,00 / ekor betina) lebih kecil daripada investasi yang ditanamkan pada Program B (Rp. 10.007,00 / ekor betina).
33
Meskipun Program B memberikan tingkat pengembalian yang lebih kecil dibandingkan Program A, akan tetapi pada akhir pelaksanaan program, Program B memberikan hasil netto (net benefit) yang lebih besar dibandingkan Program A. Hal ini dikarenakan pelaksanaan Program B memberikan pendapatan yang lebih besar sebagai dampak dari pelaksanaan program yang menaikkan tingkat kelahiran
dan menurunkan tingkat kematian anak. Pada
pelaksanaan program, Program
B mempunyai
NPV
tahun ke-10
yang lebih
tinggi
dibandingkan Program A pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Pada tingkat diskonto 15%, NPV Program A sebesar Rp. 52.849.682.784,00 dan NPV Program B sebesar Rp.119.793.703.762,00. Pada tingkat diskonto 20%, NPV NPV Program A sebesar Rp. 40.201.535.320,00 dan NPV Program B sebesar Rp. 90.827.190.444,00. Dengan mempertimbangkan ketiga kriteria kelayakan program (NPV, B/C ratio dan IRR), maka Program A lebih layak dilaksanakan di Kabupaten Kupang dibandingkan dengan Program B. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Brigham dan Houston (2007) yang mengatakan bahwa adakalanya perbedaan skala program dapat mempengaruhi besarnya NPV maupun IRR, yang mana pada program dengan skala kecil dengan cost of capital yang kecil, dapat mempunyai NPV yang kecil dan IRR yang besar, sedangkan program dengan skala besar dengan cost of capital yang besar, mempunyai NPV yang besar dan IRR yang kecil. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A masih menyisakan reaktor yang belum terpotong pada akhir tahun pelaksanaan program. Reaktor yang belum terpotong ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial. Sedangkan pada Program B, pada akhir pelaksanaan program, Program B memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan Program A, baik secara finansial maupun non finansial. Manfaat finansial yaitu meningkatnya pendapatan peternak yang juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan manfaat non finansial yaitu terhindarnya masyarakat dari zoonosis karena brucellosis. Putt et al. (1987) mengatakan bahwa segala keputusan yang menyangkut kemungkinan suatu program untuk dilaksanakan, tidak bisa diambil dari segi ekonomi semata-mata, tetapi ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan, misalnya dari segi teknis oleh ahli yang membidangi. Dalam hal yang menyangkut program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan,
34
diperlukan penyesuaian dengan kebijaksanaan dan sasaran yang ditetapkan dalam bidang peternakan pada umumnya dan bidang kesehatan hewan pada khususnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Program B merupakan program yang paling tepat untuk dilaksanakan di Kabupaten Kupang.