5 Puskesmas Laladon dan data kependudukan dari Kantor Desa Laladon Kabupaten Bogor.
Pengolahan dan Analisis Data Analisis data diperoleh dari data primer melaui kuisioner yang berisikan daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Pertanyaannya meliputi karakteristik kepala keluarga, karakteristik responden, pengetahuan, sikap, dan perilaku responden terhadap vektor dan penyakit DBD, serta bentuk penyuluhan yang diharapkan oleh responden. Selanjutnya, dilakukan pengolahan data yang meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Coding dilakukan dengan cara menyusun code book sebagai panduan entry dan pengolahan data. Entry berdasarkan kode yang telah dibuat, kemudian dilakukan cleaning untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Data dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell 2007 dan program SPSS 16.0 for Windows. Hubungan antarvariabel berskala ordinal dianalisis secara statistik menggunakan uji korelasi Spearman. Tingkat pengetahuan, kategori sikap, dan perilaku responden dikelompokkan menjadi 3 yaitu baik, sedang, dan buruk. Pengelompokkan tingkat pengetahuan dan perilaku berdasarkan hasil jawaban yang benar dari responden. Setiap jawaban benar dari responden diberi nilai 1, jika jawaban salah diberi nilai 0. Sementara itu, kategori sikap responden diukur dengan menggunakan pilihan jawaban setuju dan tidak setuju terhadap pernyataan yang tercantum dalam kuisioner. Pengelompokkan kategori tersebut berdasarkan hasil persentase jawaban yang benar. Tingkat pengetahuan, kategori sikap, dan perilaku apabila buruk total nilai <40%, sedang 40-70%, dan baik >70% (Khomsan 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Data monografi Desa Laladon bulan Agustus 2012, Desa Laladon merupakan satu di antara desa dari Kabupaten Bogor dengan luas wilayah ±90 Ha. Luas wilayah desa banyak digunakan untuk pemukiman dan sarana umum (kantor, sekolah, tempat ibadah, dan sebagainya). Desa Laladon berbatasan dengan Kelurahan Sindang Barang di sebelah utara dan berbatasan dengan Kelurahan Padasuka di sebelah selatan. Bagian timur Desa Laladon dibatasi oleh Desa Ciomas Rahayu dan bagian barat dibatasi oleh Desa Ciherang.
Karakteristik Umum Responden Karakteristik adalah ciri-ciri individu yang terdiri atas demografi seperti jenis kelamin, umur, status sosial, tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, dan status
6 ekonomi (Notoatmodjo 2007). Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat di Desa Laladon Kabupaten Bogor. Data karakteristik responden disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik umum responden No. Variabel 1Umur : < 20 tahun 1 20 - 40 tahun > 40 tahun
Jumlah(n=196) 14 113 69
Persentase(%) 7.14 57.65 35.12
2Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
46 150
23.47 76.53
3Pendidikan
: Tidak Pernah Sekolah SD sederajat SLTP sederajat SLTA sederajat Akademi/Diploma Perguruan Tinggi
5 106 46 29 3 7
2.55 54.08 23.47 14.8 1.53 3.57
4Pekerjaan
: PNS/TNI Pegawai swasta Wiraswasta Buruh Tidak bekerja Lainnya
5 6 13 12 61 99
2.55 3.06 6.63 6.12 31.12 50.51
44 104 33 15
22.45 53.06 16.84 7.65
2
3
4
5Hubungan dengan KK : 5 Kepala keluarga Istri Anak Anggota lainnya
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 196 responden, sebanyak 7.14% berusia kurang dari 20 tahun, 57.65% 20-40 tahun, dan 35.12% lebih dari 40 tahun. Selain itu, responden yang banyak ditemui berjenis kelamin perempuan sebanyak 76.53% dibandingkan dengan responden laki-laki 23.47%. Hal ini dikarenakan saat melakukan wawancara pada pukul 08.00-11.00 lebih banyak perempuan yang tinggal di rumah sedangkan laki-laki sudah berangkat kerja. Tingkat pendidikan responden rendah, karena mayoritas pendidikan responden adalah tingkat SD sederajat 54.08%, SLTP sederajat 23.47%, SLTA sederajat 14.8%, Perguruan tinggi 3.57%, tidak pernah sekolah 2.55%, dan Akademi/Diploma 1.53%. Suryamin (2008) mengkategorikan tingkat pendidikan responden tinggi apabila responden telah menempuh pendidikan mulai program diploma dan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan responden sedang adalah responden yang telah menempuh jenjang pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU)/setingkat.
7 Selanjutnya, tingkat pendidikan responden rendah adalah responden yang baru menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/setingkat. Pekerjaan responden dalam penelitian ini sebanyak 2.55% responden bekerja sebagai PNS/TNI, 3.06% sebagai pegawai swasta, 6.63% sebagai wiraswasta, 6.12% sebagai buruh, 31.12% tidak bekerja, dan lain-lain sebanyak 51.5% sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan hubungan responden dengan kepala keluarga, responden sebanyak 22.45% sebagai kepala keluarga, 53.06% sebagai istri, 16.84% sebagai anak, dan 7.65% sebagai anggota keluarga lain yang terdiri sebagai cucu, menantu, dan pembantu.
Pengetahuan Responden Pengetahuan responden di Desa Laladon dari 196 responden, sebesar 165 responden (84%) pernah mengetahui dan mendengar penyakit DBD dan sisanya 31 responden (16%) tidak mengetahui dan tidak pernah mendengarnya sehingga wawancara selesai. Gambar 1 menjelaskan media pemberi informasi yang diperoleh responden mengenai penyakit DBD. Informasi terbanyak diperoleh dari media elektronik (televisi, radio, dan film), orang dekat (keluarga, teman, tetangga), kader (Posyandu, dasawisma), media cetak (surat kabar, majalah, brosur), pamong (Camat, Lurah, RW, RT), dan terakhir petugas kesehatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Wafa (2011) yang dilakukan di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan sebanyak 257 responden (90%) dari 287 responden yang mendengar informasi DBD dari media elektronik yaitu televisi. 90% 80% 70% 60%
82%
50% 40%
54%
30% 38%
20% 10%
13%
17%
Petugas Kesehatan
Pamong
18%
0% Kader
Orang Dekat
Media Media Cetak Elektronik
Gambar 1 Media pemberi informasi DBD kepada responden Pengalaman responden maupun orang-orang terdekat responden yang pernah menderita penyakit DBD dapat menambah pengetahuan responden terhadap DBD, selain dari media pemberi informasi pada Gambar 1. Sebanyak 50% responden mempunyai pengalaman adanya anggota keluarga, sanak saudara,
8 teman, tetangga, atau bahkan responden itu sendiri, pernah menderita DBD dan sisanya 50% responden tidak mempunyai pengalaman terjangkit penyakit DBD. Pengetahuan responden terhadap penyakit DBD dibagi menjadi beberapa kategori yaitu pengetahuan tentang penyebab, penular, dan perilaku nyamuk. Penyebab penyakit DBD sebagian besar responden menjawab nyamuk sebanyak 75.15%, seharusnya penyebab penyakit DBD adalah virus. Hal ini dikarenakan masih banyaknya responden yang menganggap antara penyebab dan penular dari penyakit DBD adalah nyamuk. Responden yang mampu mengetahui penyebab penyakit DBD adalah virus hanya 0.61%, responden menjawab DBD disebabkan kuman 0.61%, tidak tahu 18.79%, dan lain-lain seperti lingkungan yang kotor, genangan air, dan sampah sebanyak 4.89%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan hanya 11% yang mengetahui penyebab DBD adalah virus dan sebanyak 75% responden menjawab nyamuk. Sementara itu, Marini (2009) melaporkan juga hasil yang hampir sama bahwa sebanyak 82.2% responden menjawab penyebabnya nyamuk. 0.61% 4.89% 0.61% 18.79%
Kuman
Virus
Nyamuk
Tidak tahu 75.15% Lain-lain
Gambar 2 Penyebab penyakit DBD Gambar 3 menunjukkan sebanyak 82% responden menjawab benar penular dari penyakit DBD adalah nyamuk, 15% tidak tahu, dan lain-lain seperti penyakit menular, kontak langsung, dan virus sebanyak 3%. Tidak ada satupun responden yang menjawab bahwa lalat sebagai penular penyakit DBD. Hasil penelitian ini sejalan dengan Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan sebanyak 93% responden menjawab penular DBD adalah nyamuk dan 7% tidak tahu. Selain itu, Indah et al. (2011) di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Utara juga menyatakan sebanyak 86.5% responden menjawab penular DBD adalah nyamuk dan 13.5% penular DBD bukan dari nyamuk.
9 3% 15%
Nyamuk
Tidak tahu
82%
Lain-lain
Gambar 3 Penular penyakit DBD Gambar 4 menunjukkan spesies nyamuk sebagai penular DBD. Responden yang mampu menjawab dengan benar bahwa spesies nyamuk penular adalah Ae. aegypti sebanyak 56%, 38% menjawab tidak tahu, 5% menjawab nyamuk demam berdarah, dan lain-lain sebanyak 1% menjawab nyamuk malaria. Sementara itu, tidak ada satupun responden yang menjawab nyamuk Anopheles dan Culex. Hasil ini sejalan dengan Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan sebanyak 76% menjawab spesies nyamuk penular DBD adalah Ae. aegypti, 22% tidak tahu, 1% nyamuk Anopheles, dan 1% nyamuk demam berdarah. Hidayah (2009) di Kelurahan Kramat Pela Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan juga menyatakan sebanyak 90.4% responden mengetahui spesies nyamuk penular penyakit DBD (Ae. aegypti) dan hanya 9.6% yang tidak mengetahui spesies nyamuk penular DBD. Ae. aegypti
Nyamuk demam berdarah
38% 50%
Lain-lain
Tidak tahu
2% 10%
Gambar 4 Spesies nyamuk penular DBD Pengetahuan mengenai perilaku nyamuk demam berdarah, digolongkan menjadi 3 kategori yaitu berpengetahuan tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Responden dikategorikan berpengetahuan rendah ketika tidak tahu sama sekali
10 tentang perilaku nyamuk, berpengetahuan sedang ketika responden mampu menjawab 1-3 dari 5 jawaban yang benar, dan berpengetahuan tinggi dengan 4-5 jawaban yang benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 79% responden di Desa Laladon berpengetahuan tingkat sedang, 17% rendah, dan 4% tinggi. Tingkat pengetahuan responden Desa Laladon terhadap penyakit DBD pertanyaan poin 1-18 terbagi atas 3 yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat pengetahuan rendah sebanyak 48%, sedang 43%, dan tinggi 9%. Dengan demikian, secara keseluruhan tingkat pengetahuan responden terhadap DBD tergolong rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan bahwa pengetahuan responden kurang sebanyak 68%, sedang 30%, dan baik 2%. Tingkat pengetahuan responden di Desa Laladon terhadap DBD disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Tingkat pengetahuan responden terhadap DBD Tingkat pengetahuan Jumlah responden (n=165) Tinggi 15 Sedang 71 Rendah 79 Jumlah 165
Persentase (%) 9 43 48 100
Sikap Responden Sikap responden terhadap pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD terdiri atas pernyataan sikap yang dijawab setuju atau tidak setuju oleh responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 165 (84%) pernah mengetahui/mendengar DBD, 94% diantaranya menjawab setuju DBD dapat dicegah dengan pelaksanaan PSN DBD, setuju sekali 5%, dan sisanya 1% raguragu (Gambar 5). 5%
1% Ragu-ragu
Setuju
94%
Setuju sekali
Gambar 5 Demam berdarah dapat dicegah dengan PSN
11 Gambar 6 menunjukkan kegiatan PSN memerlukan peran masyarakat secara terus menerus. Responden yang menjawab setuju sebanyak 94%, setuju sekali 4%, dan ragu-ragu 2%. Sementara itu, tidak ada satupun responden yang menjawab tidak setuju dan kurang setuju. Hasil ini senada dengan laporan Nugrahaningsih et al. (2010) di wilayah kerja Puskesmas Kuta Utara di Bali. Mereka menyatakan setuju dan perlu berperan aktif melakukan kegiatan PSN di rumah dan di lingkungan masing-masing. 4% 2% Ragu-ragu
Setuju
94%
Setuju sekali
Gambar 6 Kegiatan PSN memerlukan peran serta masyarakat Gambar 6 menyatakan responden menjawab setuju tentang kegiatan PSN memerlukan peran serta masyarakat secara terus menerus. Selain masyarakat melakukan kegiatan PSN, para tokoh masyarakat perlu menggerakkan kegiatan PSN tersebut. Sebanyak 96% responden menjawab setuju, 3% menjawab setuju sekali, dan 1% menjawab ragu-ragu (Gambar 7). Hasil ini berbeda dengan Ganie (2009) bahwa 55.6% tidak setuju adanya tokoh masyarakat yang menggerakkan kegiatan PSN di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Padahal, seharusnya para tokoh masyarakat dan masyarakat harus selalu berpartisipasi dalam kegiatan PSN untuk mengurangi kejadian penyakit DBD. Kategori sikap responden terhadap PSN DBD di Desa Laladon disajikan pada Tabel 3. Kategori sikap responden Desa Laladon terhadap PSN DBD terbagi atas 3 kategori yaitu buruk, sedang, dan baik. Responden yang bersikap buruk 7%, sedang 80%, dan baik 13%. Hasil ini berbeda dengan laporan Febryana et al. (2010) di Kelurahan Sosromenduran dan Kelurahan Pringgokusuman Kecamatan Gedongtengen, Kodia Yogyakarta. Sebanyak 96.7% responden dari Kelurahan Sosromenduran memiliki sikap yang baik dan di Kelurahan Pringgokusuman sebanyak 91% responden juga menunjukkan sikap yang baik. Tabel 3 Kategori sikap responden dalam PSN DBD Kategori Sikap Jumlah orang (n=165) Baik 22 Sedang 131 Buruk 12 Jumlah 165
Persentase (%) 13 80 7 100
12
1% 3%
Ragu-ragu
Setuju
96% Setuju sekali
Gambar 7 Tokoh masyarakat perlu menggerakkan masyarakat untuk PSN
Perilaku Responden Perilaku pencegahan yang dilakukan responden terhadap penyakit DBD terdiri dari pernyataan mengenai perlindungan diri terhadap gigitan vektor dan upaya yang telah dilakukan responden dalam memberantas sarang nyamuk. Upaya yang dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk dari 165 responden disajikan pada Gambar 8. Sebagian besar responden berupaya menggunakan repelan untuk melindungi dari gigitan nyamuk.
Memakai kelambu
1% 15% 27%
Menggunakan semprotan nyamuk Menggunakan repelan 57%
Membakar anti nyamuk
Gambar 8 Upaya responden dalam melindungi diri dari gigitan nyamuk Selain menggunakan repelan, responden juga menguras TPA (Tempat Penampungan Air) di dalam dan di luar rumah. Responden yang menguras TPA di dalam rumah pada 1 bulan terakhir sebanyak 94%, menguras TPA di dalam dan di luar rumah sebanyak 5%, dan 1% tidak mengurasnya. Responden yang
13 menjawab menguras TPA sebanyak 4 kali 66%, sebanyak 3 kali 25%, sebanyak 2 kali 8%, dan 1% sebanyak 1 kali dalam sebulan. Hasil ini sejalan dengan Hidayah (2009) di Kelurahan Kramat Pela Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan menyatakan sebanyak 57.5% responden menguras TPA minimal satu minggu sekali. Sementara itu, penelitian Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan hal yang berbeda bahwa sebanyak 94% responden menguras TPA sebanyak 4 kali dalam sebulan. Perkumpulan sosial yang terdapat di lingkungan responden mempunyai peranan sangat penting untuk penyampaian informasi DBD, seperti pencegahan yang perlu dilakukan masyarakat terhadap DBD. Gambar 9 menunjukkan jenis perkumpulan yang diikuti responden, sebanyak 53% responden mengikuti perkumpulan keagamaan, 18% mengikuti arisan, 14% mengikuti PKK, 1% mengikuti karang taruna, dan 14% tidak mengikuti perkumpulan di lingkungannya. Dari kegiatan perkumpulan-perkumpulan tersebut hanya 32% yang melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan 3M plus untuk mencegah penyakit DBD. Kategori perilaku responden Desa Laladon terhadap pencegahan DBD terbagi menjadi 3 yaitu baik, sedang, dan buruk. Responden yang berperilaku buruk 32%, sedang 56%, dan baik 12% (Tabel 4). Dengan demikian, sebagian besar kategori perilaku responden terhadap pencegahan DBD tergolong sedang. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor yang juga menyatakan sebanyak 53% berperilaku sedang terhadap pencegahan DBD. Tabel 4 Kategori perilaku responden dalam pencegahan DBD Kategori Perilaku Jumlah orang (n=165) Persentase (%) Baik 20 12 Sedang 92 56 Buruk 53 32 Jumlah 165 100 60% 50% 40%
53%
30% 20% 10%
18%
14%
1%
14%
0% Arisan
PKK
Keagamaan
Karang Taruna
Tidak Mengikuti
Gambar 9 Jenis perkumpulan yang diikuti responden
14 Kegiatan Penyuluhan yang Diharapkan Masyarakat Promosi kesehatan/penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan yang menyampaikan informasi kepada masyarakat berhubungan dengan kesehatan. Hasil penelitian tentang kegiatan penyuluhan yang diharapkan masyarakat di Desa Laladon menunjukkan bahwa dari 165 responden mengaku sebanyak 26% pernah mendapatkan penyuluhan langsung mengenai informasi DBD, sisanya sebanyak 74% responden mendapatkan penyuluhan secara tidak langsung. Mereka menyatakan mendapatkan penyuluhan secara tidak langsung melalui televisi sebanyak 68%, media cetak 22%, radio 10%, dan lain-lain 2% seperti pamflet dan internet. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan sebanyak 68% responden mendapatkan informasi DBD melalui televisi. Sementara itu, Hidayah (2009) di Kelurahan Kramat Pela Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan juga menyatakan media elektronik dan media cetak dapat dijadikan sebagai media penyuluhan kesehatan. Padahal, penyuluhan secara langsung lebih efektif daripada metode informasi lainnya (Ghazali 2012). Materi penyuluhan mencakup gejala klinis DBD yaitu demam tinggi dan pendarahan terutama pendarahan kulit, serta apa yang harus dilakukan terhadap penderita DBD. Sosialisasi terhadap upaya pemberantasan DBD yang efektif seperti PSN dan upaya perlindungan diri, seperti pemasangan kelambu pada saat anak tidur siang, kawat kasa pada lubang ventilasi udara, dan menngunakan repelan (Teng dan Singh 2001). Dalam penyampaian informasi DBD yang diharapkan oleh responden di Desa Laladon menunjukkan sebanyak 54% responden menjawab melalui wawancara interaktif, 36% sekilas info, 6% ceramah, dan 4% sinetron/sandiwara. Adapun tokoh yang sesuai untuk menyampaikan informasi DBD adalah tenaga kesehatan sebanyak 42% karena sesuai dengan bidang keahliannya kemudian para kader/PKK 35%, tokoh masyarakat 22%, dan bintang film 20% (Gambar 10). Hasil ini sejalan dengan penelitian Wafa (2011) di Desa Babakan Kabupaten Bogor menyatakan sebanyak 51% responden yang menjawab tenaga kesehatan adalah tokoh yang paling cocok untuk menyampaikan informasi DBD. 45% 40% 35% 30% 25%
42%
20%
35%
15% 22%
10%
20%
5% 0% Tenaga Kesehatan
Kader/PKK
Tokoh masyarakat
Bintang film
Gambar 10 Tokoh yang diharapkan dalam penyampaian informasi DBD
15 Hubungan Antarvariabel Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Uji korelasi Spearman, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan responden di Desa Laladon terhadap DBD dengan sikap responden dalam PSN Demam Berdarah (p=0.12,p>0.05). Hal ini diperkuat dengan Tabel 5 yang menunjukkan hubungan antara tingkat pengetahuan terkait DBD dengan sikap responden dalam PSN Demam Berdarah. Tabel 5 Hubungan pengetahuan dengan sikap dalam PSN Demam Berdarah Kategori sikap Tingkat pengetahuan terkait DBD Total Rendah Sedang Tinggi n % n % n % n % Buruk 6 3.6 5 3 1 0.6 12 7.3 Sedang 66 40 55 33.3 10 6.1 131 79.4 Baik 7 4.2 11 6.7 4 2.4 22 13.3 Total 79 47.9 71 43 15 9.1 165 100 p=0.12,r=0.12 Tabel 5 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi, belum tentu sikapnya baik dalam PSN Demam Berdarah. Begitu pula sebaliknya, responden yang mempunyai tingkat pengetahuan rendah belum tentu sikapnya buruk dalam PSN Demam Berdarah. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Ganie (2009) di Kelurahan Padang Bulan, Kota Medan menyatakan semakin baik tingkat pengetahuan terkait DBD maka semakin baik sikapnya dalam PSN Demam Berdarah. Sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan responden terkait DBD maka semakin berkurang sikap dalam PSN Demam Berdarah.
Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku responden dalam pencegahan DBD (p=0.000,p<0.05) dengan koefisien korelasi sebesar 0.27. Hal ini berarti bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi tentang DBD maka perilaku responden dalam pencegahan DBD akan semakin baik pula. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat pengetahuan responden maka perilaku responden dalam pencegahan DBD akan semakin buruk (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Santoso dan Budiyanto (2008) di Kota Palembang Sumatera Selatan menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang DBD akan berpengaruh terhadap perilaku pencegahan DBD. Hal tersebut berarti semakin tinggi pengetahuan seseorang, maka akan semakin baik pula perilaku pencegahan DBD.
16 Tabel 6 Hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan DBD Kategori Tingkat pengetahuan terkait DBD perilaku Rendah Sedang Tinggi n % n % n % Buruk 30 18.2 22 13.3 1 0.6 Sedang 45 27.3 43 26.1 4 2.4 Baik 4 2.4 6 3.6 10 6.1 Total 79 47.9 71 43 15 9.1
Total n % 53 32.1 92 55.8 20 12.1 165 100 p=0.000,r=0.27
Hubungan Sikap dengan Perilaku Hasil uji korelasi Spearman, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap responden dengan perilaku pencegahan DBD (p=0.58,p>0.05). Hal ini berarti sikap yang baik belum tentu diwujudkan dalam perilaku yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, sikap responden yang buruk, belum tentu pula menunjukkan perilaku yang buruk juga. Hal ini diperkuat dengan Tabel 7 yang menunjukkan hubungan sikap dengan perilaku pencegahan DBD. Tabel 7 Hubungan sikap dengan perilaku pencegahan DBD Kategori Kategori sikap perilaku Buruk Sedang Baik n % n % n % Buruk 3 1.8 45 27.3 5 3 Sedang 8 4.8 70 42.4 14 8.5 Baik 1 0.6 16 9.7 3 1.8 Total 12 7.3 131 79.4 22 13.3
Total n % 53 32.1 92 55.8 20 12.1 165 100 p=0.58,r=0.04
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Febryana (2010) menyatakan tidak adanya hubungan yang bermakna antara variabel sikap dengan perilaku responden dalam pencegahan DBD di Kelurahan Sosromenduran dan Kelurahan Pringgokusuman Kecamatan Gedongtengen, Kodia Yogyakarta. Hal ini, seperti dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) menyatakan sikap belum tentu terwujud dalam praktik atau tindakan, sebab terwujudnya sebuah praktik atau tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Tingkat pengetahuan responden tentang DBD di Desa Laladon Kabupaten Bogor tergolong rendah. Sementara itu, sikap responden dalam melaksanakan