IV. 4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Jaringan Sungai Sungai Cisadane berhulu di Gunung Pangrango dan mengalir dari selatan menuju utara melewati Kabupaten Bogor (Kecamatan Nanggung, Caringin, Cijeruk, Ciomas, Ciampea, Rumpin, dan Cilangkap), Kabupaten Tangerang dan akhirnya bermuara di laut Jawa (Arwindrasti, 1997). Panjang Sungai Cisadane sekitar 140 km (PUSDI-PSL IPB, 1979 dalam Ben et al., 1994). Sungai Cisadane merupakan sungai permanen, artinya sungai yang selalu berair sepanjang tahun. Sungai ini memiliki pola anak sungai dendritik Lahan di sepanjang aliran Sungai Cisadane tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai aktivitas (Reid, 1961). 4.1.2. Jenis tanah Tanah di Sub DAS Cisadane hulu bervariasi, yang terdiri dari tujuh jenis tanah. Ketujuh jenis tanah ini membentuk delapan Satuan Peta Tanah (SPT) Luasan SPT pada lokasi penelitian tersaji pada Tabel 2, dan peta jenis tanah di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane Hulu disajikan pada Gambar 3. Tabel 2. Luasan Satuan Peta Tanah Sub DAS Cisadane Hulu SPT Jenis Tanah Luas (Ha) % 1 Andic Humitropepts 4501 19,62 2 Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 7591 33,10 3 Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts 403 1,76 4 Asosiasi Typic Tropopsamments-Andic Humitropep 3725 16,24 5 Kompleks Typic Troporthents-Typic Fluvaquents 1683 7,34 6 Typic Eutropepts 1998 8,71 7 Typic Humitropepts 2487 10,84 8 Typic Tropopsamments 549 2,40 22937 100 Total Sumber : Hasil dan analisis peta tanah 1 : 100.000 DAS Cisadane, Puslittanak (1992) diolah.
19
Gambar 3. Peta jenis tanah di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane Hulu, Bogor. Satuan Peta Tanah yang dominan pada Sub DAS Cisadane hulu adalah asosiasi Typic Hapludands (Andosol Coklat dan Andosol Kekuningan)- Typic Tropopsamments (Regosol Coklat dan Regosol Kekelabuan) yang memiliki luasan 33.10 persen dari total wilayah Sub DAS Cisadane. Tabel 3 menunjukkan komposisi jenis tanah pada tiap daerah tangkapan air. Typic Hapludands (Andosol Coklat dan Andosol Kekuningan) terbentuk dari tuf dan abu volkan intermedier. Tanah telah mempunyai perkembangan profil lemah, penampang tanah sedang sampai sangat dalam, lapisan atas kaya bahan organik berwarna coklat gelap sampai coklat kekuningan, tekstur sedang sampai agak kasar berpasir semu (pseudosand) dan berbatu. Lapisan bawah berwarna coklat hingga coklat kekuningan, struktur lemah granular, konsistensi smeary atau licin diantara jari-jari tangan, merupakan ciri utama pada tanah ini. Tingkat kesuburan cukup baik, terutama yang bertekstur sedang.
20
Typic Tropopsamments (Regosol Coklat dan Regosol Kekelabuan) terbentuk dari endapan lahar terdiri dari abu dan pasir. Kedalaman tanah sedang sampai dalam, tekstur kasar (pasir, kerikil, dan batu). Tingkat kesuburan sedang. Jenis tanah ini sering dijumpai berasosiasi dengan tanah Latosol dan Andosol. Typic Troporthents (Aluvial Coklat Kekelabuan) merupakan jenis tanah yang belum mengalami perkembangan struktur, terbentuk dari bahan endapan volkan muda terdiri dari abu, pasir, batu, tuf volkan atau campurannya. Penampang tanah bervariasi dari dalam sampai dangkal. Typic Fluvaquents (Aluvial Kelabu) belum mengalami perkembangan struktur, terbentuk dari bahan alluvium yang terdiri dari endapan liat, debu dan pasir atau campurannya. Penampang tanah berlapis dengan kedalaman bervariasi. Umumnya tanah ini berpotensi cukup baik untuk persawahan. Tanah ini setara dengan Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan.
Tabel 3. Komposisi jenis tanah pada tiap titik pengamatan kualitas air. Titik Komposisi Total Jenis Tanah Pengamatan (%) (%) Srogol Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 100 100 Cibalung Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 62.78 100 Andic Humitropepts 37.22 Pamoyanan Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 55.11 Andic Humitropepts 32.67 100 Kompleks Typic Troportheuts-Typic Fluvaquents 12.22 Mulyaharja Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 55.11 Andic Humitropepts 32.67 100 Kompleks Typic Troportheuts-Typic Fluvaquents 12.22 Empang Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 53.54 Andic Humitropepts 31.74 100 Kompleks Typic Troportheuts-Typic Fluvaquents 11.87 Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts 2.85 Sumber : Hasil dan analisis peta tanah 1 : 100.000 DAS Cisadane, Puslittanak (1992) diolah.
21
Andic Humitropepts (Latosol Coklat) dan Typic Humitropepts (Latosol Coklat dan Latosol Kemerahan) berkembang dari tuf volkan andesitik sampai basaltik. Sebagian Typic Humitropepts terbentuk dari batu kapur (gamping). Tanah yang berkembang dari batu kapur umumnya dangkal, terdapat pecahan batu kapur dalam penampangnya. Tanah lapisan atas berwarna gelap, kaya bahan organik, struktur tanah remah, konsistensi lekat dan plastis. Sifat fisik tanah cukup baik, permeabilitas agak lambat, tingkat kesuburan tanah sedang. Typic Eutropepts (Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan) berkembang dari tuf volkan andesitik sampai basaltik. Penampang tanah umumnya dalam, permeabilitas agak lambat, kesuburan tanah sedang. 4.1.3. Tata Guna Lahan Jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane, Bogor.
22
Penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane hulu terdiri dari hutan, persawahan, perkebunan, semak belukar, tegalan dan tanah kosong, gedung dan pemukiman. Lokasi pengambilan contoh air di Desa Srogol dan Cibalung berada di bagian hulu sungai dengan penggunaan lahan dominan adalah hutan, perkebunan dan persawahan. Lokasi pengambilan contoh air di Desa Pamoyanan yang berada di Kabupaten Bogor mewakili bagian tengah sungai. Sebagian besar penggunaan lahan di sekitar sungai dimanfaatkan untuk pemukiman, perkebunan dan persawahan. Lokasi pengambilan contoh air di Desa Mulyaharja dan Empang berada di hilir dan termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten dan Kota Bogor. Penggunaan lahan di sekitar sungai cenderung didominasi oleh pemukiman, gedung dan industri. Jenis penggunaan lahan di Cisadane hulu disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane. Penggunaan lahan Luas (ha) % Air Tawar 86,58 0,38 Belukar/Semak 2002,37 8,73 Gedung 12,81 0,06 Hutan 4489,48 19,57 Kebun/Perkebunan 3673,62 16,01 Pemukiman 3599,88 15,69 Rumput/Tanah kosong 429,69 1,87 Sawah Irigasi 1428,98 6,23 Sawah Tadah Hujan 3205,68 13,97 Tanah Berbatu 1,75 0,01 Tegalan/Ladang 4011,00 17,48 22941,84 100 Total Sumber : Hasil dan analisis peta penggunaan lahan 1 :150.000 DAS Cisadane, PPT (2005) diolah.
Berdasarkan komposisi jenis penggunaan lahan yang ditemukan pada radius 100 m dari tiap lokasi pengambilan contoh air disajikan pada Tabel 5.
23
Tabel 5. Komposisi penggunaan lahan dalam radius 100 m dari sungai di tiap lokasi pengambilan contoh air. Lokasi Pemukiman (%) Vegetasi (%) Lainnya (%) Total (%) Srogol 5 90 5 100 Cibalung 11.6 76.6 11.8 100 Pamoyanan 33.3 46.6 20.1 100 Mulyaharja 30 56.6 13.4 100 Empang 90 2 8 100 Sumber : Hasil analisis penggunaan lahan DAS Cisadane, Google Earth (2012) diolah. 4.2.
Kualitas Air Pengamatan kualitas air dilakukan dengan cara menganalisis sifat fisika dan
kimia air. 4.2.1. Parameter Fisika Suhu. Suhu air Sungai Cisadane berkisar 23.5-27 0C (Gambar 5). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum suhu air sungai di bagian hulu saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah tengah-hilir. Hal ini karena daerah hulu merupakan daerah yang tinggi, sehingga memiliki tekanan udara yang rendah akibatnya suhu udara maupun suhu air cenderung lebih rendah dibandingkan dengan daerah hilir yang memiliki tekanan udara lebih tinggi. Selain itu, penggunaan lahan di daerah hulu cenderung di dominasi vegetasi yang bertajuk tinggi, sehingga radiasi matahari tidak sepenuhnya langsung mengenai permukaan badan air karena tertahan oleh tajuk yang berfungsi sebagai canopy (penutupan oleh vegetasi), akibatnya suhu udara dan air di sekitar lokasi pengamatan relatif rendah. Fungsi lain dari banyaknya vegetasi adalah radiasi panas yang dihasilkan oleh matahari diserap untuk pertumbuhan tanaman dan juga untuk proses transpirasi (pelepasan molekul air tanaman ke atmosfer). Proses tersebut menyebabkan suhu udara lebih rendah karena energi matahari yang dapat berfungsi untuk meningkatkan suhu udara lebih banyak
24
digunakan untuk proses transpirasi dan evaporasi (penguapan air dari tanah dan badan air; danau, sungai dll) maupun fotosintesis tanaman.
Suhu (˚C)
30,0 25,0 23,5
27,0 24,0
Srogol
Cibalung
26,5 24,8
26,125,0
26,025,8
20,0
10,0
0,0 Pamoyanan Mulyaharja
Hulu
Empang Hilir
Sebelum hujan
Sesudah hujan
Gambar 5. Nilai suhu pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Sebagaimana yang dikatakan Barus (2001), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy dari pepohonan yang tumbuh di tepi sungai. Berdasarkan waktu pengamatan saat tidak hujan, suhu air Sungai Cisadane relatif lebih besar dibandingkan dengan suhu air sesaat sesudah hujan. Besarnya suhu air pada pengamatan sebelum hujan dapat terjadi karena saat pengambilan contoh air dilakukan ketika intensitas matahari optimal, sehingga suhu udara menjadi tinggi. Akibatnya pertukaran panas antara udara dan air di sekelilingnya menjadi meningkat. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid / TSS).
Hasil
pengukuran konsentrasi TSS ditunjukkan pada Gambar 6. Secara umum hasil TSS dari hulu ke hilir tidak menunjukkan adanya kecenderungan tertentu. Hasil pengamatan saat tidak ada hujan (debit rendah) menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi (dari hulu ke hilir) yaitu berkisar 220-340 mg/l. Nilai konsentrasi TSS tertinggi terdapat di Desa Mulyaharja sebesar 340 mg/l yang terletak di hilir. Hal ini terjadi karena daerah hilir mendapat masukan limbah (alami dan
25
buatan) yang berasal dari daerah sekitar maupun dari aliran sungai sebelumnya yang berasal dari hulu. Bagian hilir didominasi pemukiman penduduk dengan populasi yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
bagian
hulu
sungai.
Umumnya
masyarakat/penduduk membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke badan sungai, limbah tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan padatan yang terlarut atau tersuspensikan. Akibatnya kandungan padatan tersebut mengalami peningkatan yang dapat meningkatkan pengukuran kandungan padatan tersuspensi di badan sungai. Besarnya kandungan tersuspensi di badan sungai dapat mempengaruhi ekosistem perairan, terutama berkaitan dengan proses fotosintesis. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air, sehingga mempengaruhi asupan oksigen melalui proses fotosintesis dan meningkatnya kekeruhan air.
TSS (mg/L)
400 340
320 290 260
310 280
260 220
220 200
160
0 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Hulu Sebelum hujan Sesudah hujan
Empang Hilir
Gambar 6. Nilai TSS pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Hasil pengamatan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) menunjukkan kandungan TSS yang berfluktuasi dan tidak menunjukkan pola tertentu. Namun tampak bahwa kandungan TSS tertinggi berada di bagian hulu (Srogol). Desa Srogol memiliki asosiasi jenis tanah Typic Hapludands-Typic Tropopsamments, jenis tanah ini memiliki ciri struktur lemah, gembur dan berfragmen kasar (pasir,kerikil dan
26
batu). Kriteria tanah tersebut berpeluang menyebabkan erosi semakin besar apabila terjadi hujan. Tingginya kandungan TSS di daerah hulu disinyalir karena adanya erosi yang berasal dari hulu. Erosi di lokasi pengamatan dapat disebabkan oleh adanya pukulan air hujan yang langsung mengenai permukaan tanah, sehingga partikel tanah yang tererosi ditransportasikan oleh air melalui run-off dan masuk ke badan air. Akibatnya kandungan padatan terlarut/tersuspensi di bagian hulu relatif tinggi dibandingkan daerah tengah-hilir. 4.2.2. Parameter Kimia pH.
Hasil pengukuran pH air sungai berkisar 6.3-7.0. Gambar 7
menunjukkan bahwa nilai pH air sungai dari hulu ke hilir cenderung meningkat. Peningkatan pH dapat disebabkan oleh masuknya bahan-bahan yang bersifat basa, seperti limbah deterjen ke badan sungai. Menurut Sopiah (2004) deterjen memiliki pH sangat basa (9.5-12), bersifat korosif dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Daerah hilir (Empang) memiliki pH 6.7-7.0, pH tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah hulu-tengah yang memiliki pH 6.3-6.7. Hal ini dapat terjadi karena daerah Empang merupakan daerah hilir yang mendapat masukan limbah domestik dari sekitar sungai maupun limbah yang berasal dari hulu. Limbah tersebut akan mengalami penguraian oleh mikroorganisme dan menghasilkan senyawa karbondioksida (CO2) dari proses respirasi. Semakin tinggi konsentrasi CO2 yang dihasilkan oleh proses respirasi, maka pH di perairan akan semakin rendah. Menurut Kordi (2000), fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, karena gas karbondioksida yang dihasilkannya. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka akan menyebabkan pH semakin tinggi. Berdasarkan waktu pengamatan, pH saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) tidak mengalami perbedaan yang signifikan yaitu berkisar 6.3-7.0 yang tergolong pH netral. Hal ini berarti perbedaan waktu pengamatan dalam penelitian ini cenderung tidak mempengaruhi pH. Menurut Siradz
27
(2008), pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu 6-7,5. Oleh karena itu, nilai pH di lokasi penelitian masih tergolong normal. 9 6,5 6,3
6,5 6,5
6,7 6,6
6,6 6,7
6,7 7,0
pH
6
3
0 Srogol Hulu
Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan
Sesudah hujan
Hilir
Gambar 7. Nilai pH pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical oxygen demand).
Hasil
pengukuran BOD disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan BOD dari arah hulu/Srogol (5.04-7.87 mg/l) menuju arah hilir/Empang (10.17-23.61 mg/l). Pada pengukuran BOD saat tidak ada hujan (debit rendah) tampak bahwa kandungannya relatif lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan (debit tinggi). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh perbedaan kecepatan aliran sungai. Aliran sungai saat tidak ada hujan (debit rendah) relatif lambat, sehingga berpeluang memperbesar viskositas atau kekentalan bahan organik, sehingga konsentrasi BOD meningkat. Akibatnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air meningkat. Kadar oksigen terlarut diperairan memiliki jumlah yang terbatas, apabila oksigen digunakan secara terus menerus tanpa adanya suplai oksigen ke perairan maka proses penguraian bahan organik akan terhambat. Akibatnya perairan akan mengalami pencemaran karena proses penguraian terganggu. Menurut Siradz (2008), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan
28
secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan. 23,61
BOD (mg/L)
25,00 19,67
20,00 15,74 15,00 10,00
7,87 5,04
7,68
7,876,88
8,92
10,17
5,00 0,00 Srogol Hulu
Cibalung
Pamoyanan Mulyaharja
Sebelum hujan
Sesudah hujan
Empang Hilir
Gambar 8. Nilai BOD pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Hasil pengukuran BOD sesaat sesudah hujan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kandungan BOD saat tidak ada hujan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari proses pengenceran karena terjadinya hujan. Dengan adanya hujan, oksigen yang berada di atmosfer akan terlarut dan terbawa oleh air hujan menuju ke permukaan bumi seperti sungai. Air hujan yang jatuh ke sungai akan menghasilkan suplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air akan meningkat. Akibatnya aktivitas mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik maupun anorganik yang tersuspensikan di badan sungai menjadi rendah, sehingga kandungan BOD sesaat sesudah hujan relatif rendah dibandingkan saat tidak ada hujan. Disamping itu, rendahnya kandungan BOD sesaat sesudah hujan dapat mengindikasikan kualitas air yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas air saat tidak ada hujan. Nitrat (NO3). Hasil pengukuran nitrat pada Gambar 9 tidak menunjukkan adanya kecenderungan tertentu pada lokasi penelitian dari hulu ke hilir. Kandungan nitrat dari hulu ke hilir yang diperoleh dari hasil penelitian ini berfluktuasi (beragam). Berdasarkan pengaruh perbedaan
waktu pengamatan terlihat bahwa
kandungan nitrat sesaat sesudah hujan (debit tinggi) dari lokasi pengamatan Srogol
29
hingga Pamoyanan cenderung lebih tinggi daripada pengamatan pada saat tidak ada hujan (debit rendah). Daerah Srogol hingga Pamoyanan yang terletak di daerah hulu, memiliki daerah pertanian yang cenderung lebih besar dibandingkan daerah sekitar hilir (Mulyaharja, Empang). Hal tersebut disinyalir bahwa jatuhnya hujan di lokasi tersebut meningkatkan akumulasi limbah pertanian (nitrat dari aktifitas pertanian) melalui proses pencucian, sehingga konsentrasi nitrat yang terlarut dan terbawa oleh run-off masuk ke badan sungai menyebabkan tingginya konsentrasi nitrat di bagian hulu. Menurut Effendi (2003), sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan, maupun dari kegiatan domestik.
NO3 (mg/L)
40,0
37,2 Sebelum hujan Sesudah hujan
30,0 24,8 18,6
20,0 12,4 10,0
6,2
12,4 6,2
12,4 6,2
6,2
0,0 Srogol Hulu
Cibalung Pamoyanan Mulyaharja
Empang Hilir
Gambar 9. Nilai nitrat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Berbanding terbalik dengan ketiga lokasi pengamatan sebelumnya (Srogol, Cibalung, dan Pamoyanan), di lokasi Mulyaharja dan Empang pada saat tidak ada hujan menunjukkan kandungan nitrat yang lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan. Besarnya kandungan nitrat ini lebih dominan dipengaruhi oleh besarnya limbah dari kegiatan industri dan rumah tangga. Luas area pertanian dengan segala aktivitas pertaniannya (pupuk, pestisida) yang rendah tidak menjadi faktor utama sumber nitrat di badan sungai pada lokasi tersebut. Cemaran hasil industri dan kotoran manusia yang dominan menyebabkan akumulasi nitrat di lokasi tersebut
30
(Mulyaharja, Empang), disebabkan oleh pemukiman dan industri yang lebih luas dibandingkan area pertanian. Buangan pemukiman penduduk (limbah domestik) yang masuk ke badan air, melalui pembusukan oleh organisme, menghasilkan amoniak dan senyawa amonium. Amoniak dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Proses ini dimediasi oleh bakteri nitrosomonas dan nitrobakter yang secara essensial menghasilkan energi dari proses oksidasi tersebut. Nitrosomonas berfungsi sebagai mediator oksidasi amonia menjadi nitrit sedangkan nitrobakter berfungsi sebagai mediator oksidasi nitrit menjadi nitrat (Sasongko, 2006). Melalui proses tersebut, limbah domestik di Mulyaharja dan Empang yang banyak akan menyebabkan kandungan nitrat yang tinggi di sungai. Fosfat (PO4). Hasil pengamatan kandungan fosfat yang ditunjukkan pada Gambar 10 berkisar 0.010-0.070 mg/l. Kandungan fosfat dari hulu ke hilir terlihat tidak memiliki pola peningkatan atau penurunan yang linear. Hal ini berarti pengaruh dari perbedaan lokasi pengamatan tidak signifikan terhadap kandungan fosfat. Namun terlihat bahwa sungai di daerah hulu (Srogol) memiliki kandungan fosfat lebih rendah (0.01-0.02 mg/l) dibandingkan di daerah hilir (Empang) yaitu 0.03-0.07 mg/l. 0,08
PO4 (mg/L)
0,07
Sebelum hujan Sesudah hujan
0,07
0,06 0,05
0,04
0,04 0,03 0,02
0,03 0,02 0,01
0,02
0,02
0,03 0,02 0,02
0,01 0,00 Srogol Hulu
Cibalung
Pamoyanan Mulyaharja
Empang Hilir
Gambar 10. Nilai fosfat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Pengaruh waktu pengamatan yaitu saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) juga tidak menunjukkan adanya pola, tetapi
31
terlihat adanya kecenderungan peningkatan fosfat pada hasil interaksi waktu pengamatan dengan lokasi pengamatan. Berdasarkan waktu pengamatan sesaat sesudah hujan kandungan fosfat cenderung meningkat dari hulu ke hilir. Peningkatan fosfat yang terkandung dalam badan air di lokasi pengamatan diduga berasal dari limbah air buangan penduduk seperti deterjen. Hal ini ditinjau berdasarkan hasil pengamatan di lapang yang menunjukkan adanya aktifitas penduduk seperti mandi dan mencuci pakaian dengan menggunakan deterjen. Deterjen merupakan bahan yang digunakan sebagai media pembersih karena dapat mengangkat kotoran dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Penggunaan deterjen yang tidak diiringi oleh proses pendegradasian yang baik akan menimbulkan pendangkalan perairan atau munculnya eutrofikasi (pengkayaan hara), sehingga transfer oksigen menjadi terhambat dan mengakibatkan terganggunya proses penguraian limbah di perairan. Dampak pencemaran tersebut menyebabkan kualitas air di perairan menjadi menurun seperti munculnya bau yang tidak sedap di sekitar perairan. Semakin ke hilir jumlah dan aktivitas penduduk semakin tinggi, sehingga memungkinkan akumulasi bahan-bahan dari limbah penduduk seperti deterjen semakin tinggi. Oleh karena itu, lokasi pengamatan yang semakin ke hilir dengan adanya hujan memiliki kandungan fosfat yang semakin besar. Sebagaimana hasil penelitian Lee dan Jones dalam Suyarso (2008), mendapatkan 50 - 60 % fosfat yang terdapat dalam air buangan rumah tangga di perairan Amerika berasal dari deterjen. Timbal (Pb).
Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan timbal Sungai
Cisadane berkisar 0.0185-0.1343 mg/l (Gambar 11). Hasil pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan timbal dari arah hulu menuju ke hilir. Peningkatan kandungan timbal dapat diakibatkan oleh adanya akumulasi timbal secara alami maupun aktivitas manusia yang menjadi sumber pencemar timbal di perairan. Daerah hulu Srogol memiliki kandungan timbal yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir. Hal ini dapat terjadi karena daerah hulu memiliki sumber pencemar timbal seperti pemukiman maupun daerah industri yang tergolong rendah. Selain itu, keberadaan senyawa timbal di perairan hulu lebih 32
disebabkan oleh proses alamiah seperti timbal yang berasal dari batuan yang mengalami pengikisan. Batuan yang berada di lokasi hulu terbentuk dari tuf dan abu volkan intermedier. Menurut Aubert dan Pinta (1997), kandungan timbal batuan intermedier seperti andesit, relatif sama dengan batuan eruptif masam yang memiliki kandungan timbal sebesar 20 ppm. Sumber pencemar timbal alami lainnya yaitu timbal di udara yang mengalami pengkristalan oleh air hujan dan masuk ke badan air. 0,16
Pb (mg/L)
0,14
Sebelum hujan Sesudah hujan
0,1343 0,1108
0,12
0,1048
0,1108
0,1 0,08 0,06 0,04
0,0648
0,0532
0,0474 0,0438 0,0317 0,0185
0,02 0 Srogol Hulu
Cibalung Pamoyanan Mulyaharja
Empang Hilir
Gambar 11. Nilai timbal pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Berdasarkan waktu pengamatan saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi), kandungan timbal di sungai tidak memiliki kecenderungan peningkatan atau penurunan. Namun, kandungan timbal di Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang saat tidak ada hujan cenderung lebih tinggi dibandingkan di Srogol dan Cibalung. Besarnya kandungan timbal di lokasi tersebut lebih didominasi oleh tingginya aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan peninjauan di lapang, lokasi penelitian Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang berada di dekat jalan raya yang sering dilalui kendaraan bermotor, sehingga asap kendaraan bermotor sebagai sumber pencemar timbal cenderung tinggi. Asap kendaraan motor akan mengapung di udara dan terbawa angin, sehingga memungkinkan senyawa timbal masuk dan terbawa oleh arus air. Akibatnya kandungan timbal di sekitar pengamatan menjadi tinggi. Menurut
33
Sastrawijaya (1991), pembakaran bensin sebagai sumber pencemar lebih dari separuh polusi udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70 % dari total zat pencemar. Hasil pengamatan timbal di Empang (seperti yang disajikan pada Gambar 11) menunjukkan kandungan yang paling tinggi dibandingkan dengan di Srogol, Cibalung, Pamoyanan dan Mulyaharja. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat pencemaran timbal di Empang. Berdasarkan pengamatan di lapang (Empang), sumber utama pencemar timbal diduga berasal dari asap kendaraan bermotor, sampah yang ditemukan menumpuk di pinggir sungai, serta limbah cair yang mengandung timbal seperti cat, oli, dan tinta yang dibuang melalui saluran drainase kemudian masuk ke badan sungai. Akibatnya kandungan timbal menjadi tinggi karena adanya akumulasi senyawa timbal yang berasal dari berbagai sumber. 4.3.
Baku Mutu Air
Apabila kualitas air dibandingkan terhadap baku mutu air berdasarkan PP No.82 tahun 2001 yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh bahwa kualitas air Sungai Cisadane saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sudah hujan (debit tinggi) di semua lokasi pengamatan termasuk ke dalam baku mutu air kelas I hingga kelas IV untuk parameter suhu, pH, dan fosfat. Hal ini karena pencemaran akibat limbah domestik dari hulu ke hilir cenderung masih tergolong rendah sehingga pengaruh senyawa-senyawa organik maupun anorganik terhadap masing-masing parameter tersebut tidak signifikan. Oleh karena itu, kualitas air pada parameter suhu, pH dan fosfat di lokasi pengamatan masih tergolong aman untuk penggunaan tertentu. Menurut Srivastava et al., (2003), masuknya bahan pencemar ke badan air dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan kandungan padatan tersuspensi (TSS) ketika debit rendah dan tinggi berkisar 160-340 mg/l dan hanya memenuhi baku mutu air kelas III dan IV di semua lokasi pengamatan.
34
Tabel 6. Hasil analisis parameter kualitas air terhadap baku mutu air PP No.82 tahun 2001.
Lokasi Baku I Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Baku II Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Baku III Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Baku IV Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Keterangan :
TSS
pH
Parameter BOD NO3
PO4
Pb
Suhu * **
*
**
*
**
*
**
*
**
*
**
*
**
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X X X X
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X X X X
O X O X X
X X X O O
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X O X X
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X X X X
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X X X X
O X O X X
X X X O O
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X O X X
O O O O O
O O O O O
O O O O O
O O O O O
O O O O O
O O O O O
X X X X X
O X X X X
O O O O O
X X O O O
O O O O O
O O O O O
X X X X X
X X O X X
O O O O O O O O O X O O O O O O O O O O X O O X O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O X O O O O O O O O O O O O O X O O O O O O O Satuan masing-masing parameter Suhu (0C), TSS,BOD,NO3, PO4, dan Pb (mg/l). O = di bawah batas ambang * = pengamatan debit rendah X = di atas batas ambang ** = pengamatan debit tinggi
Nilai tersebut masih berada di bawah batas ambang kelas III dan IV yang dipersyaratkan menurut baku mutu air nomor 82 tahun 2001 yaitu 400 mg/l. Selain itu, nilai ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan padatan tersuspensi di sungai
35
menggambarkan besarnya bahan terlarut yang dihasilkan oleh proses alami maupun limbah buangan dari aktivitas manusia. Hasil analisis parameter nitrat saat tidak ada hujan memenuhi persyaratan baku mutu air kelas I, II, III dan IV di lokasi Srogol dan Pamoyanan, tetapi hanya memenuhi baku mutu kelas III dan IV di lokasi Cibalung, Mulyaharja dan Empang. Kandungan nitrat hasil penelitian sesaat sesudah hujan memenuhi persyaratan baku mutu air kelas I, II, III dan IV untuk lokasi Mulyaharja dan Empang, sedangkan Pamoyanan hanya memenuhi baku mutu kelas III dan IV. Lokasi Srogol dan Cibalung tidak memenuhi semua baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena luas penggunaan lahan sawah tadah hujan maupun sawah irigasi daerah hulu cenderung tinggi dibandingkan dengan daerah hilir, sehingga sumber utama nitrat yang berasal dari sawah tadah hujan maupun irigasi dapat meningkatkan konsentrasi nitrat di daerah hulu. Pada Tabel 6, kandungan BOD saat tidak ada hujan hanya memenuhi baku mutu air kelas IV di lokasi Srogol dan Pamoyanan. Hasil analisis kandungan BOD sesaat sesudah hujan hanya di Srogol yang memenuhi baku mutu air kelas III dan IV, sedangkan lokasi penelitian Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja, dan Empang hanya memenuhi baku mutu air kelas IV. Meskipun BOD air sungai pada lokasi tersebut hanya memenuhi baku mutu air kelas IV, hasil tersebut merupakan indikator yang menunjukkan kualitas air di daerah hulu-tengah sungai lebih baik dibandingkan hilir. Daerah hulu cenderung lebih sedikit cemaran akibat masih rendahnya penggunaan lahan untuk pemukiman sehingga meminimalkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan hara). Eutrofikasi melibatkan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Terhambatnya eutrofikasi karena kandungan oksigen yang sedikit menunjukkan bahwa kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan dalam badan air diduga juga lebih sedikit, sehingga BOD menjadi rendah. Menurut Siradz (2008), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan.
36
Hasil analisis timbal saat tidak ada hujan di lokasi Srogol, Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja, dan Empang menunjukkan hanya memenuhi kelas IV baku mutu air. Nilai ini mengindikasikan besarnya cemaran timbal di sungai karena tidak memenuhi baku mutu air di kelas I, II dan III. Beberapa sumber pencemar timbal yang mungkin berpotensi mencemari air sungai di lokasi pengamatan adalah tingginya penggunaan aktivitas kendaraan bermotor yang menghasilkan asap bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan kendaraan bermotor mengandung bahan aditif yang berfungsi untuk memperbaiki mutu mesin, salah satunya adalah timbal. Logam timbal terdapat di alam dalam bentuk mineral, sehingga harganya lebih murah dan lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan bahan aditif lain. Hasil penelitian Tsalev dan Zaprianov (1985) menyebutkan, 52 % pencemaran timbal berasal dari bahan aditif, sedangkan 48 % berupa bahan pembungkus kabel, zat pewarna pada cat, campuran logam, dan sebagai bahan stabilisator pada plastik dan karet. Hasil pengamatan sesaat sesudah hujan menunjukkan bahwa kandungan timbal di lokasi Pamoyanan telah memenuhi baku mutu air kelas I, II, III dan IV. Hal ini merupakan indikator dari rendahnya cemaran kandungan timbal di lokasi Pamoyanan. Selain itu, lokasi pengamatan Srogol, Cibalung, Mulyaharja dan Empang hanya memenuhi baku mutu air kelas IV berdasarkan kadar timbalnya. Selain parameter fisik dan kimia, untuk menilai kualitas air, maka kualitas biologi air juga perlu diperhatikan mengingat parameter tersebut juga mempengaruhi persyaratan baku mutu air berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001. Oleh karena itu, penelitian sejenis perlu dilakukan dengan menambahkan pengamatan parameter biologi air.
37