IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Rekayasa Model SPK Model penunjang keputusan investasi pada industri biodisel kelapa sawit bertujuan untuk menilai faktor-faktor yang berpengaruh dalam melakukan investasi pada industri tersebut. Faktor yang berpengaruh terdiri dari 5 faktor yang disebut sebagai submodel yaitu : 1.
Submodel sumberdaya untuk menilai potensi ketersediaan bahan baku CPO yang akan dijadikan biodisel.
2.
Submodel teknis produksi untuk menilai ketersediaan teknologi dan persyaratan yang diperlukan dalam mengolah bahan baku CPO menjadi biodisel.
3.
Submodel pasar untuk menilai potensi pasar biodisel di dalam dan di luar negeri.
4.
Submodel analisis finansial untuk menilai kelayakan finansial dari sisi pengeluaran, penerimaan dan biaya investasinya.
5.
Submodel lingkungan untuk menilai perbedaan dampak penggunaan biodisel dan solar terhadap lingkungan
Hubungan antara submodel penyusun model SPK investasi industri biodisel pada permodelan software I Think tertera pada gambar 31. Asumsi dasar keterkaitan alir variabel dalam submodel sistem penunjang keputusan diatas meliputi : 1. Biodisel kelapa sawit diproses dari bahan baku minyak CPO (Crude Palm Oil). 2. Biodisel yang dihasilkan digunakan sebagai produk subsitusi dari bahan bakar minyak solar yang digunakan sebagai bahan bakar cair pada alat transportasi. 3. Simulasi desain pabrik yang digunakan dalam perhitungan investasi berkapasitas 100.000 ton biodisel per tahun dengan hasil produk samping gliserin lebih kurang 10.000 ton/tahun. 4. Pangsa pasar biodisel di dalam negeri diasumsikan sebagai pengganti 510% produk bahan bakar minyak solar per tahun. Potensi pangsa biodisel
103 di luar negeri dikaitkan dengan kesepakatan iklim “Carbon Trade” yang tertuang dalam Protokol Kyoto. 5. Industri biodisel diasumsikan terdiri dari agregasi pengolahan/pabrik besar (kapasitas 100.000 ton/tahun). Industri jangka panjang 10-15 tahun dengan perbandingan modal sendiri dibanding hutang 60:40. 6. Analisa
dampak
lingkungan
dilakukan
secara
global
dengan
membandingkan perbedaan iklim global yang ditimbulkan akibat penggunaan biodisel dan BBM solar, menggunakan standar acuan yang diterbitkan oleh UNEP (United Nation Environment Program). Secara diagram keterkaitan (influence diagram) antara submodel terlihat pada gambar 31. SM Teknis Produksi
SM Sumberdaya
IK Sumberdaya
IK Teknis Produksi
Model SPK
SM Finansial
Investasi
IK Finansial
SM Lingkungan
SM Pasar
IK Lingkungan
IK Pasar
Keterangan
SM : Submodel IK : Implikasi Kebijakan
Gambar 31. Hubungan antar submodel dari SPK investasi pada industri biodisel kelapa sawit (Influence Diagram) Skenario permodelan diperoleh dari hasil analisis keragaan penggunaan CPO nasional saat ini. Penggunaan CPO nasional terdiri dari penggunaannya di dalam negeri yaitu untuk industri minyak goreng dan industri oleokimia. Sedangkan penggunaan di luar negeri adalah untuk diekspor ke berbagai negara tujuan. Jika industri biodisel kelapa sawit akan dikembangkan di Indonesia maka
104 akan menambah kegunaan CPO yaitu sebagai bahan baku bagi pembuatan biodisel. Dalam rangka menentukan apakah industri BDS akan memberikan manfaat atau keuntungan jika dikembangkan di Indonesia maka diperlukan pengkajian terhadap investasi tesebut. Dalam menilai kelayakan investasi industri baik kelayakan finansial maupun kelayakan non finansial seperti ketersediaan bahan baku industri, ketersediaan dan keterjangkauan teknologi pengolahannya, manfaat dari produk ramah lingkungan dan efek ganda (multiplayer effect) yang diperoleh dari penggunaan produk kelapa sawit sebagai bahan bakunya. Hubungan antar variabel pada permodelan disusun berdasarkan fenomena tersebut diatas.
Gambar 32. Alur hubungan variabel pada Permodelan Sistem Penunjang Keputusan Investasi Dalam merekayasa model maka abstraksi dari semua keterkaitan tersebut dimodelkan dengan mengakisisi pengetahuan dari masing-masing variabel, untuk selanjutnya pengetahuan tersebut diolah pada program komputer. Sistem penunjang keputusan investasi pada industri biodisel dirancang dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel, Lotus smart suite dan I Think versi 6.0. Model dibangun dengan memperhatikan keterkaitan antar submodel dengan submodel lainnya, dimana dalam spreadsheet keterkaitan tersebut dapat berupa hubungan antar sel dan hubungan antar spreadsheet. Representasi dari model SPK yang dikembangkan
menggunakan bantuan perangkat lunak “I
Think”. Aplikasi SPK disajikan secara interaktif sehingga pengambil keputusan
105 mudah melakukan perubahan suatu skenario jika dikehendaki. Gambar tampilan awal program “I Think” SPK investasi Industri biodisel di Indonesia tertera pada Gambar 33 dibawah ini.
Gambar 33. Tampilan awal program “I Think” SPK investasi Industri biodisel di Indonesia Model yang dikembangkan dengan perangkat lunak I Think selengkapnya dapat dilihat pada lampiran dalam bentuk CD 1. 4.2. Simulasi dan Validasi Model Sistem Dinamis Investasi Industri Biodisel Kelapa Sawit 4.2.1. Simulasi Model Sistem Dinamis Simulasi yang dilakukan pada masing-masing submodel yang direkayasa pada SPK investasi industri biodisel kelapa sawit dipilih berdasarkan keperluan manajemen atau pengguna. 4.2.1.1. Simulasi Submodel Sumberdaya 1. Simulasi Perkembangan Produksi CPO
106 Proyeksi perkembangan luas lahan perkebunan baik yang dikelola oleh rakyat (PR), swasta (PBS) maupun negara (PBN) dilakukan dengan pendekatan model dinamik atau model logistik. Produksi CPO dipengaruhi oleh luas lahan dan tingkat produktivitas lahan dengan korelasi positif. Semakin besar luas lahan dan tingkat produktivitas suatu lahan maka akan semakin besar produksinya. Luas lahan dan produktivitas dapat berubah menurut waktu sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Hasil simulasi produksi CPO pada berbagai tingkat produktivitas dari PR, PBS, PN dan total perkebunan nasional direkayasa pada submodel sumberdaya. Gambar 34 menunjukkan proyeksi perkembangan produksi CPO dengan produktivitas 1,9 ton/ha pada PR, dan masing-masing 3 ton/ha untuk PBS dan PBN. Jika tingkat produktivitas diubah maka segera dapat diketahui perubahan produksi CPO yang akan dihasilkan.
Gambar 34. Hasil simulasi produksi CPO pada submodel sumberdaya 2. Simulasi Perkembangan Permintaan CPO Nasional Penggunaan CPO di Indonesia selama ini terserap pada industri minyak goreng, industri oleokimia dan untuk diekspor ke berbagai negara tujuan. Jika sebagian dari CPO nasional digunakan untuk dijadikan bahan baku pada industri
107 biodisel maka perkembangan permintaan CPO nasional untuk masing-masing industri disimulasikan pada submodel sumberdaya. Perkembangan kebutuhan CPO untuk minyak goreng dilakukan dengan pendekatan perkembangan jumlah penduduk dan konsumsi perkapita (16.5 kg/kapita). Permintaan pada indutri oleokimia diskenariokan laju permintaan bertambah 5% setiap tahunnya. Selebihnya diekspor dan digunakan untuk memasok industri biodisel. Rekayasa submodel yang dibangun adalah mensimulasikan perubahan permintaan CPO sesuai dengan besarnya prosentase substitusi solar oleh biodisel yang diinginkan oleh pengguna. Gambar 35 di bawah ini menunjukkan proyeksi perkembangan permintaan CPO nasional jika prosentase substitusi solar oleh biodisel adalah 10%.
Gambar 35. Hasil simulasi proyeksi perkembangan permintaan CPO pada submodel sumberdaya 4.2.1.2. Simulasi Submodel Teknis Produksi 1. Simulasi Produksi Biodisel dan Gliserin Berdasarkan Kapasitas Terpasang Pembangunan
submodel
teknis
produksi
memberikan
gambaran
perkembangan produksi biodisel dan gliserin mulai dari perusahaan berdiri sampai dengan akhir masa proyek atau umur investasi. Pada Gambar 36, produksi
108 biodisel dengan kapasitas terpasang sebesar 100.000 ton per tahun. Besarnya kapasitas terpasang dapat disimulasikan sehingga besaran dan perubahan produksi biodisel dan gliserin tiap tahun dapat diketahui. Rekayasa submodel sistem teknis produksi dapat memberikan gambaran perubahan produksi biodisel dan gliserin jika kapasitas terpasangnya diubah sesuai perubahan waktu yang terjadi. Kapasitas terpasang semakin besar produksi biodisel dan gliserin juga semakin besar atau berkorelasi positif. Perubahan juga akan diikuti oleh perubahan neraca bahan dan neraca enerji yang diperlukan. Gambar 36 menunjukkan tampilan perkembangan produksi biodisel dan gliserin dengan kapasitas produksi terpasang 100.000 ton/tahun.
Gambar 36. Hasil simulasi produksi industri biodisel pada submodel teknis produksi 2. Simulasi Kebutuhan Bahan Baku pada Industri Biodisel Kebutuhan bahan baku industri biodisel yang terdiri dari bahan baku CPO, Metanol, KOH, H3PO4 dan bahan bakar. Besarnya kebutuhan bahan baku industri biodisel dapat disimulasikan berdasarkan kapasitas terpasang. Sebagai contoh Gambar 37 mensimulasikan kebutuhan bahan baku pada kapasitas produksi indutri biodisel sebesar 100.000 ton/tahun, sedangkan pada Gambar 38
109 mensimulasikan kebutuhan bahan baku industri biodisel pada kapasitas 30.000 ton/tahun.
Gambar 37. Kebutuhan bahan baku industri biodisel kapasitas 100.000 ton/th
Gambar 38. Kebutuhan bahan baku industri biodisel kapasitas 30.000 ton/th 3. Simulasi Kebutuhan Enerji pada Industri Biodisel Submodel teknis produksi juga dapat mensimulasikan kebutuhan enerji pada berbagai kapasitas produksi industri yang diinginkan oleh pengguna. Sebagai contoh pada Gambar 39 mensimulasikan kebutuhan enerji pada kapasitas produksi 100.000 ton/tahun, sedangkan pada Gambar 40 mensimulasikan kebutuhan enerji pada industri biodisel kapasitas produksi 30.000 ton/tahun.
110
Gambar 39. Kebutuhan enerji pada industri biodisel berkapasitas 100.000 ton/th
Gambar 40. Kebutuhan enerji pada industri biodisel berkapasitas 30.000 ton/th 4.2.1.3. Simulasi Submodel Pasar Submodel pasar terdiri dari analisa produk yang disubstitusi oleh biodisel yaitu pendugaan perbandingan produksi dan konsumsi solar nasional, proyeksi perbandingan ekspor dan impor minyak bumi nasional dan simulasi penghematan subsidi solar terutama jika sebagian dari solar tersebut disubstitusi oleh biodisel. 1. Simulasi Perbandingan Produksi dan Konsumsi Solar Nasional Hasil proyeksi menunjukkan proyeksi kenaikan konsumsi lebih besar dari kenaikan produksi setiap tahunnya. Gambar 41 di bawah ini menunjukkan
111 perbandingan kenaikan produksi dan konsumsi nasional sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2019.
Gambar 41. Proyeksi produksi dan konsumsi solar pada submodel pasar 2. Simulasi Perbandingan Ekspor dan Impor Minyak Bumi Gambar 42 dibawah ini menunjukkan proyeksi ekspor minyak bumi semakin menurun sedangkan proyeksi impor semakin meningkat setiap tahunnya. Gambar 42, menunjukkan perbandingan proyeksi ekspor dan impor minyak bumi nasional pada tahun 2005 sampai dengan 2019.
Gambar 42. Proyeksi ekspor dan impor minyak bumi pada submodel pasar
112 3. Simulasi Penghematan Subsidi Solar Submodel pasar juga dapat memberikan gambaran penghematan subsidi solar jika sebagian dari solar tersebut disubstitusi oleh biodisel. Pada submodel ini dapat disimulasikan besarnya persentase substitusi solar oleh biodisel sehingga dapat memberikan gambaran terhadap besarnya penghemtan subsidi terhadap solar oleh pemerintah. Gambar 43 menunjukkan besarnya penghematan subsidi terhadap solar yang dikeluarkan oleh pemerintah dari tahun 2005 sampai dengan 2019 jika solar solar yang disubstitusi oleh biodisel adalah 10%.
Gambar 43. Penghematan subsidi solar dengan adanya substitusi biodisel. 4.2.1.4. Simulasi Submodel Analisis Finansial Rekayasa submodel sistem finansial pada industri biodisel ditujukan untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dengan mensimulasikan kriteria investasi. Pada submodel ini kinerja keuangan yang disimulasikan adalah perubahan besarnya NPV, BCR, rugi laba, aliran kas, dan struktur biaya produksi pada berbagai tingkat suku bunga, harga biodisel dan harga CPO. Sebagai contoh pada Gambar 44 memberikan contoh hasil simulasi kinerja keuangan dengan penetapan suku bunga sebesar 12%, harga biodisel sebesar 700 $ US dan harga CPO sebesar 360 $ US/ton. Pada gambar tersebut terlihat nilai NPV sebesar 20.010.659 $ US sedangkan nilai BCR sebesar 1,05.
113
Gambar 44. Hasil simulasi analisis NPV dan BCR industri biodisel pada submodel analisis finansial 4.2.1.5. Simulasi Submodel Lingkungan Submodel ini memberikan gambaran perbandingan besarnya indeks beban lingkungan atau EB (Environmental Burden) dari sisa pembakaran biodisel dan solar. Pada submodel lingkungan perbandingan besarnya nilai EB pada pembakaran solar dan biodisel terdiri dari tiga yaitu EB Asiditas (efek hujan asam), EB Global Warming (efek pemanasan global) dan EB Smog Fotokimia (efek asap hitam). Perbandingan besarnya masing-masing nilai EB dalam 1 tahun untuk setiap 100.000 ton biodisel dan solar yang digunakan tertera pada gambar 45, gambar 46, dan gambar 47, di bawah ini. 1. Simulasi Perbandingan Beban Lingkungan atau Indeks EB Asiditas Gambar 45 menunjukkan perbandingan indeks beban lingkungan asiditas antara solar dan biodisel setiap penggunaan 100.000 ton per tahunnya.
114
Gambar 45. Nilai indek EB (Environmental Burden) asiditas submodel lingkungan 2. Simulasi Perbandingan Beban Lingkungan atau Indeks EB Global Warming Gambar 46 menunjukkan perbandingan indeks beban lingkungan global warming antara solar dan biodisel setiap penggunaan 100.000 ton per tahunnya.
Gambar 46. Nilai indek EB (Environmental Burden) global warming submodel lingkungan 3. Simulasi Perbandingan Beban Lingkungan atau Indeks EB Smog Fotokimia Gambar 46 menunjukkan perbandingan indeks beban lingkungan Smog Fotokimia antara solar dan biodisel setiap penggunaan 100.000 ton per tahunnya.
115
Gambar 47. Nilai indek EB (Environmental Burden) smog fotokimia submodel lingkungan 4.2.2. Validasi Model Sistem Validasi pada masing-masing submodel dilakukan dengan menetapkan beberapa skenario yang nilainya baik langsung diperoleh dari berbagai sumber maupun melalui pengolahan data terlebih dulu. Skenario yang digunakan dalam sistem penunjang keputusan investasi industri BDS dapat dilihat pada lampiran 3. Hasil validasi pada tiap submodel seperti berikut. 4.2.2.1. Submodel Sumberdaya Proyeksi luas lahan perkebunan dan produksi CPO Submodel ketersediaan CPO digunakan untuk melihat seberapa besar ketersediaan CPO di dalam negeri yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodisel. Penggunaan CPO untuk bahan baku biodisel diskenariokan diperoleh dari sisa CPO yang tidak digunakan untuk ekspor, bahan baku industri minyak goreng dan bahan baku industri oleokimia. Skenario yang digunakan adalah CPO ekspor sebesar 60% dari total produksi CPO nasional, sedangkan sisanya (40%) adalah CPO yang digunakan di dalam negeri terutama pada industri minyak goreng dan industri oleokimia. CPO nasional dipenuhi dari tiga jenis perkebunan yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Proyeksi produksi CPO dari ketiga perkebunan tersebut dilakukan dengan melakukan terlebih dahulu proyeksi terhadap luas lahan dari ketiga jenis pengusahaan perkebunan tersebut.
116 Produktivitas masing-masing jenis pengusahaan kebun dikalikan dengan rataan produktivitas yang diperoleh selama 2 tahun terakhir. Pemilihan model proyeksi luas lahan
perkebunan kelapa sawit untuk
masing-masing jenis pengusahaan perkebunan dilakukan dengan menggunakan permodelan dinamis atau disebut model logistik. Permodelan logistik dilakukan dengan pendugaan parameter model dinamis. Tahapan permodelan yaitu: 1) memformulasikan model sesuai dengan fenomena sebenarnya; 2) menetapkan asumsi; 3) memformulasikan masalah matematis; 4) pemecahan masalah matematis; 5) merumuskan solusi; 6) melakukan validasi model dan; 7) Penggunaan model untuk proyeksi. Berdasarkan data Statistik Perkebunan 2004, luas lahan perkebunan selama 15 tahun terakhir (data tahun 1989–2004) untuk Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) maka diketahui besarnya laju pertambahan luas lahan setiap tahunnya. Berdasarkan peta kesesuaian lahan perkebunan dapat diperhitungkan potensi luas lahan yang dapat dijadikan perkebunan kelapa sawit. Perkiraan luas lahan sampai dengan 10 – 15 tahun yang akan datang adalah 8 juta ha dengan komposisi 36,76% lahan untuk perkebunan
rakyat, 51,86% lahan untuk
perkebunan besar swasta, dan 11,38% lahan untuk perkebunan besar negara. Komposisi diasumsikan sama dengan komposisi yang terjadi pada tahun 2004 atau kondisi sekarang. Asumsi model yang dikembangkan kurva proyeksi luas lahan akan meningkat hingga satu saat mencapai kejenuhan karena lahan yang tersedia semakin berkurang sampai tidak teredia lagi. Berdasarkan perhitungan menggunakan model dinamis atau logistik, proyeksi luas lahan pada masing-masing jenis pengusahaan mempunyai persamaan seperti yang tertera dibawah ini. 1. Persamaan proyeksi luas perkebunan kelapa sawit rakyat Yt =
5.96688 x 1011 e0.199749t 3.04 x 106 + 196279 (-1 + e0.199749t)
..............
(125)
117
GBR PR PR (Hektar) 4,000,000.00 3,000,000.00 2,000,000.00
model
1,000,000.00 0.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
THN
Gambar 48. Validasi model proyeksi luas perkebunan kelapa sawit dari perkebunan rakyat dengan menggunakan model dinamis Dari hasil grafik proyeksi luas perkebunan kelapa sawit perkebunan rakyat tersebut diatas dapat dilihat peningkatan areal luas lahan sejak tahun 1988 (tahun1) sampai tahun 2021 (tahun ke-33) yaitu dari 500.000 ha menjadi 3,5 juta ha. Setelah itu laju pertumbuhan tetap disebabkan karena tidak adanya lahan yang tersedia untuk dijadikan lahan perkebunan rakyat. Tabel 4. Hasil analisis model dinamik untuk perkebunan rakyat
R2
t 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Y(t) 196.279,00 223.832,00 291.338,00 384.594,00 439.468,00 502.332,00 572.544,00 658.536,00 738.887,00 813.175,00 890.506,00 1.038.289,00 1.190.154,00 1.566.031,00 1.795.321,00 1.810.641,00 = 0.9748
Ypred(t) 196.279,00 236.302,27 283.672,58 339.389,48 404.444,10 479.753,27 566.073,45 663.897,47 773.342,12 894.040,32 1.025.057,23 1.164.852,09 1.311.304,60 1.461.815,81 1.613.478,43 1.763.295,44
R2 Corrected
(Ypred(t)-Y(t))/Y(t) 0,00 0,06 -0,03 -0,12 -0,08 -0,04 -0,01 0,01 0,05 0,10 0,15 0,12 0,10 -0,07 -0,10 -0,03 = 0.9730
118 Dari hasil perhitungan validasi model logistik dapat diketahui luas lahan yang diproyeksi dan luas lahan sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup kecil yaitu rata-rata berkisar 6 persen dan ditunjukkan dengan nilai R2 yang diperoleh sebesar 0,97. Hal ini berarti tingkat keakuratan pendugaan cukup tinggi. 2. Persamaan proyeksi luas perkebunan besar negara Dengan menggunakan model dinamis diperoleh persamaan proyeksi luas perkebunan kelapa sawit perkebunan negara Yt =
3.65516 x 1011e0.0824692t 960000. + 380746 (-1 + e0.0824692t)
.......................... (126)
GBR PBN
PBN (Hektar) 1.000.000,00 800.000,00 600.000,00 model
400.000,00 200.000,00 0,00 1
4
7 10 13 16 19 22 25 28 31
THN
Gambar 49. Validasi model proyeksi luas perkebunan kelapa sawit dari perkebunan negara dengan menggunakan model dinamis Dari grafik hasil proyeksi luas lahan perkebunan besar negara terlihat laju kenaikan pertambahan luas sejak tahun 1993 (tahun-1) sampai dengan tahun 2026 (tahun ke-33). Kemudian mengalami keadaan yang tetap akibat tidak adanya lahan perkebunan cadangan tersedia. Lahan maksimum yang tersedia berkisar 900.000 ha. Tabel 5. Hasil analisis model dinamik untuk perkebunan besar negara (data mulai tahun ke-5) t 0 1 2 3
Y(t) 380.746,00 386.309,00 404.732,00 426.804,00
Ypred(t) 380.745,83 399.852,16 419.223,96 438.799,72
(Ypred(t)-Y(t))/Y(t) 0,00 0,04 0,04 0,03
119 Tabel 5. Lanjutan 4 448.735,00 5 489.143,00 6 516.447,00 7 528.716,00 8 540.728,00 9 556.323,00 10 560.557,00 11 576.999,00 12 588.125,00 13 609.947,00 14 631.566,00 15 645.823,00 R2
458.515,29 478.304,61 498.100,64 517.836,25 537.445,16 556.862,76 576.027,00 594.879,13 613.364,40 631.432,60 649.038,52 666.142,31
R2 Corrected
=0.9695;
0,02 -0,02 -0,04 -0,02 -0,01 0,00 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03
=0.9661
Validasi model logistik pada proyeksi luas lahan perkebunan besar negara menunjukkan luas lahan yang diproyeksi dan luas lahan sebenarnya mempunyai perbedaan yang cukup kecil yaitu rata-rata kurang dari 3%. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 0,97. 3. Persamaan proyeksi luas perkebunan besar swasta Dengan menggunakan model dinamis diperoleh persamaan proyeksi luas perkebunan kelapa sawit perkebunan besar swasta Yt
=
1.17268 x 1012e0.207195t 4.x106+293171(-1+e0.207195t)
........................... (127)
GBR PBS PBS (Hektar) 6.000.000,00 4.000.000,00 2.000.000,00 0,00
model
1
5
9 13 17 21 25 29 33 THN
Gambar 50. Validasi model proyeksi luas perkebunan kelapa sawit dari perkebunan besar swasta dengan menggunakan model dinamis
120 Dari grafik proyeksi luas lahan perkebunan besar swasta terlihat terjadi peningkatan areal sejak tahun 1988 (tahun ke-1) sampai dengan tahun 2020 (tahun ke-30) yaitu dari luas lahan 500.000 ha menjadi 4 juta ha. Akan tetapi kemudian mengalami laju yang tetap disebabkan karena tidak adanya lahan yang tersedia untuk dijadikan lahan perkebunan besar swasta. Tabel 6. Hasil analisis model dinamik untuk perkebunan besar swasta
t 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 R2
Y(t) 293.171,00 383.668,00 463.093,00 531.219,00 638.241,00 730.109,00 845.296,00 961.718,00 1.083.823,00 1.254.169,00 1.409.134,00 1.617.427,00 2.050.739,00 2.314.209,00 2.430.222,00 2.554.882,00 =0.9889;
Ypred(t) 293.171,00 354.680,93 427.607,49 513.416,72 613.488,42 728.987,17 860.703,88 1.008.879,37 1.173.032,34 1.351.823,33 1.542.991,38 1.743.395,92 1.949.180,21 2.156.046,89 2.359.607,89 2.555.750,02
R2 Corrected
(Ypred(t)-Y(t))/Y(t) 0,00 -0,08 -0,08 -0,03 -0,04 0,00 0,02 0,05 0,08 0,08 0,09 0,08 -0,05 -0,07 -0,03 0,00
=0.9881
Dari hasil validasi data proyeksi dengan data sebenarnya diketahui nilai data yang diproyeksi mempunyai perbedaan yang cukup kecil atau rata-rata sebesar 3%. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 0,99, atau tingkat akurasi model cukup tinggi. Luas lahan maksimum dapat berubah jika pemerintah menetapkan kebijakan baru dibidang konversi lahan misalnya dengan mengkonversikan sebagian hutan sekunder atau lahan komoditi lain yang tidak produktif untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Pendugaan 10– 15 tahun mendatang luas lahan maksimum kelapa sawit 8 juta hektar mengingat selain terbatasnya lahan yang tersedia juga iklim investasi nasional yang belum cukup baik.
121
Proyeksi penggunaan CPO Nasional Produksi CPO nasional tersebut di atas, diperoleh dengan mengalikan luas lahan dan produktivitasnya untuk masing-masing jenis pengusahaan kebun. Total produktivitas nasional diasumsikan diekspor sebesar 60% dan sisanya yang 40% digunakan untuk kebutuhan dalam negeri yaitu untuk kebutuhan konsumsi minyak goreng dan pabrik industri hilir lainnya. Besarnya ekspor CPO berfluktuasi dari tahun ke tahun mengikuti perkembangan harga CPO internasional. Pada tahun 2002 ekspor CPO sebesar 6,3 juta ton atau sekitar 63% total produksi CPO nasional (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Proyeksi
kebutuhan
minyak
goreng
nasional
dilakukan
dengan
mengalikan antara jumlah penduduk dengan konsumsi minyak goreng rata-rata per kapita per tahun yang besarnya 16,5 kg/tahun. Kebutuhan minyak goreng ini dipenuhi dari CPO sebesar 83,8%, sementara sisanya dipenuhi dari minyak lain termasuk kelapa biasa. Proyeksi kebutuhan CPO untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng ini dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 28. Di samping untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng, CPO juga digunakan sebagai bahan baku industri hilir lainnya. Kebutuhan CPO sebagai bahan baku industri oleokimia sekitar 1 juta ton per tahun dengan peningkatan rata-rata diskenariokan 5% per tahun. Sedangkan laju kenaikan tahun sebelumnya hanya 2% dan dari sisa CPO di dalam negeri inilah yang selanjutnya digunakan untuk diolah lebih lanjut menjadi biodisel. Proyeksi ketersediaan CPO sebagai bahan baku biodisel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 29. Kebutuhan CPO sebagai bahan baku biodisel dihitung dengan skenario bahwa 5–10% pemakaian solar akan disubstitusi dengan biodisel dari CPO. Gambar 51 memperlihatkan jika jumlah CPO yang tersedia dikurangi kebutuhan ekspor, bahan baku minyak goreng dan industri oleokimia maka dapat memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri biodisel kelapa sawit. Dengan demikian, CPO sebagai bahan baku utama biodisel dilihat dari ketersediaan dan kontinuitasnya
dapat dikembangkan lebih lanjut, namun
122 mengingat nilai strategisnya minyak kelapa sawit baik di pasar ekspor maupun pasar domestik untuk industri minyak goreng dan industri oleokimia di dalam negeri, maka diperlukan suatu regulasi yang khusus mengatur penyediaan CPO sebagai bahan baku biodisel. Strategi pengurangan ekspor CPO (minyak sawit kasar) dan penambahan lahan perkebunan kelapa sawit perlu dipertimbangkan. Keragaan penyediaan CPO nasional diuraikan pada gambar berikut ini.
25.000.000
Nilai (Ton)
20.000.000
15.000.000
10.000.000
5.000.000
0
2032 2031 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 Tahun
Produksi CPO Ekspor CPO Bahan Baku Minyak Goreng Bahan Baku Oleochemical Bahan Baku Biodiesel Total Kebutuhan
Gambar 51. Proyeksi ketersediaan CPO sebagai bahan baku biodisel Dari grafik diatas dapat diketahui tingkat perkembangan masing-masing kebutuhan CPO bagi industri minyak goreng oleokimia ekspor dan industri biodisel. Sebagai contoh, proyeksi kebutuhan 2010 bagi industri minyak goreng 4,2 juta ton, industri oleokimia 1,28 juta ton, CPO ekspor 10,68 juta ton, dan kebutuhan disel 2,54 juta ton. Sedangkan proyeksi produksi CPO nasional 17,80 juta ton. Jumlah ini cukup jika laju kenaikan ekspor CPO nasional diasumsikan tetap.
4.2.2.2. Submodel Teknis Produksi Desain proses dirancang untuk menghasilkan biodisel atau metil ester, yang berkapasitas 100.000 ton pertahun dengan hasil produk sampingnya gliserin sejumlah 10–12 ribu ton per tahun. Cara proses yang dipilih adalah proses yang
123 berkesinambungan (continous process) dan diperoleh dari hasil “scalling up” dan modifikasi dari perhitungaan desain proses yang dilakukan oleh Fakultas Teknik Kimia ITB dengan kapasitas 400 ton/tahun. Diagram blok neraca bahan dan neraca enerji proses pengolahan biodisel tertera pada Gambar 52 dan Gambar 53 berikut. Proses pembuatan biodisel berbahan baku minyak kelapa sawit terdiri dari 4 tahapan, yaitu persiapan bahan baku, reaksi transesterifikasi, pemisahan dan pemurnian produk.
124
© Hak cipta milik IPB (Institut Pertanian Bogor)
•
Bogar Agricultural University
Hal:? Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh I:?arya tulis ini tanpa mencantuml:?an dan menyebutl:?an sumber: a. Pengutipan hanya untul:? I:?epentingan pendidil:?an, penelitian, penulisan I:?arya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan I:?ritil:? atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidal:? merugil:?an I:?epentingan yang wajar IPB. 2 Dilarang mengumuml:?an dan memperbanyal:? sebagian atau seluruh I:?arya tulis ini dalam bentul:? apapun tanpa izin IPB.
125
© Hak cipta milik IPB (Institut Pertanian Bogor)
•
Bogar Agricultural University
Hal:? Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh I:?arya tulis ini tanpa mencantuml:?an dan menyebutl:?an sumber: a. Pengutipan hanya untul:? I:?epentingan pendidil:?an, penelitian, penulisan I:?arya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan I:?ritil:? atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidal:? merugil:?an I:?epentingan yang wajar IPB. 2 Dilarang mengumuml:?an dan memperbanyal:? sebagian atau seluruh I:?arya tulis ini dalam bentul:? apapun tanpa izin IPB.
126
1. Tahap Persiapan Bahan Baku/Persiapan Umpan Komposisi bahan baku minyak CPO yang direaksikan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia diasumsikan terdiri dari Trigliserida 94,7 %, Asam lemak bebas 5% dan kotoran 0,3%. Sebelum minyak kelapa sawit direaksikan pada reaktor
dilakukan ekstraksi minyak lemak tersebut dengan metanol.
Ekstraksi yang dilakukan bertujuan untuk mengambil asam lemak bebas (FFA) dan air yang terkandung dalam minyak tersebut, karena kadar asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak dapat merusak katalis (KOH) pada reaksi tranesterifikasi. Untuk memisahkan FFA dari minyak sawit digunakan ekstraksi pelarut karena kelarutan FFA dalam metanol lebih tinggi dibandingkan dengan trigliserida.
Ekstraksi dilakukan secara counter current
yaitu dengan
mengalirkan minyak lemak yang mengandung asam lemak bebas tinggi (FFA) dari bagian atas dan metanol dari bagian bawah kolom. Tahap ekstraksi akan menghasilkan aliran produk FFA dan metanol pada bagian atas kolom dan minyak nabati dengan kandungan FFA rendah (bilangan asam <1) pada bagian bawah kolom. Minyak nabati yang memiliki bilangan asam < 1 kemudian dimasukkan dalam tangki penyimpanan dan siap untuk dipakai pada reaksi tranesterifikasi. Produk atas kolom ekstraksi kemudian direaksikan dengan katalis asam (H2SO4) yang terpasang sebagai packing dalam kolom pada temperatur 55–65 oC, sampai menghasilkan metil ester, metanol sisa dan air. Untuk memperoleh hasil transesterifikasi yang sempurna dan untuk melakukan penyerapan seluruh air yang terbentuk dari reaksi, produk dan reaktan akan mengalami sirkulasi melalui kolom desikan. Air yang terdapat pada produk akan diserap oleh absorban (CaCl2) yang terdapat dalam kolom desikan. CaCl2 dipilih sebagai absorban karena kemampuannya menyerap air dengan perbandingan mol 1:4. Setelah kandungan air dihilangkan, metanol dan ester yang diperoleh selanjutnya dipindahkan pada reaktor transesterifikasi. Proses penyiapan bahan baku dapat dilakukan secara kontinu karena produk metil ester dapat disiapkan pada tanki penyimpanan. menghilangkan
Untuk
kandungan air yang jenuh pada kolom desikan, dilakukan
regenerasi dengan mengalirkan udara panas dari bagian bawah kolom. Agar proses penyiapan umpan tidak terhambat akibat regenerasi kolom desikan, perlu dipasang 2 kolom secara paralel dan digunakan secara bergantian.
127
2.
Tahap Reaksi Transesterifikasi Tahap reaksi transesterifikasi merupakan tahap reaksi pembentukan
biodisel (ester metil) dan gliserin. Reaksi dilakukan dalam dua tahap dengan bantuan katalis KOH. Pada tahap 1, reaksi dilaksanakan pada temperatur sekitar 60–70oC selama 1-2 jam hingga diperoleh konversi sekitar 96% dari bahan baku dan 68,56% dari bahan yang masuk
secara keseluruhan. Selanjutnya reaksi
tahap 2 dilaksanakan dengan kondisi temperatur rendah yaitu sekitar 30-32oC untuk mencapai konversi hingga 98% dari bahan baku dan 76,57% dari hasil bahan yang masuk. Reaksi dilakukan melalui dua tahap untuk memperoleh konversi yang lebih tinggi dan sekaligus untuk mempermudah proses pemisahan yang dilakukan. Gliserin dalam campuran hasil reaksi akan menghambat reaksi bergeser ke arah produk, sehingga dilakukan pemisahan gliserin terlebih dahulu sebelum reaksi tahap kedua dilakukan. Untuk memisahkan antara ester metil, gliserin, sisa metanol, dan sisa trigliserida yang belum terkonversi maka dilakukan pemisahan menggunakan settling tank. Pada tangki akan didapatkan campuran gliserin-metanol pada bagian bawah dan campuran ester metil-trigliserida pada bagian atas. Fasa campuran ester metil-gliserin-metanol selanjutnya akan dialirkan menuju tahap pemisahan sedangkan fasa campuran ester metil trigliserida dimasukkan menuju reaktor tahap 2. Pada reaktor ini akan ditambahkan metanol untuk mencapai perbandingan molar antara metanol dengan minyak nabati sebesar 6:1. Produk hasil reaksi tahap 2 selanjutnya dialirkan menuju tangki pemisahan ke dua. Untuk memisahkan metanol dengan ester metil maka ditambahkan air sebagai pelarut Metanol akan terlarut dalam air sedangkan ester metil tidak. Sehingga akan didapatkan fasa campuran metanol-air pada bagian bawah dan ester metil pada bagian atas tangki. Selanjutnya ester metil (biodisel) ditampung dalam tangki penyangga biodisel, sedangkan metanol-air dialirkan menuju kolom penukar ion.
3.
Tahap Pemisahan/Separasi Fasa bawah dari tangki pengendapan 1 mengandung ester metil, metanol,
dan gliserin.
Campuran tersebut dialirkan menuju tangki penetralan, dengan
128 penambahan asam posfat (H3PO4) sehingga terbentuk garam kalium posfat (K3PO4). Ester metil, metanol, dan gliserin dimasukkan ke tangki pengendapan, sehingga didapatkan ester metil pada bagian atas dan metanol-gliserin pada bagian bawah tangki. Ester metil ditampung pada kolom penyangga biodisel, sedangkan metanol-gliserin dimasukkan ke unit evaporator untuk mendapatkan kembali metanol yang masih terbawa. Metanol yang teruapkan digunakan kembali untuk ekstraksi dan reaksi tranesterifikasi, sedangkan gliserin ditampung pada tangki penyimpanan.
4.
Tahap Pemurnian/Purifikasi Fasa bawah dari tangki pengendapan 2 mengandung metanol, air, dan gliserin.
Campuran tersebut dialirkan menuju kolom penukar ion untuk memisahkan ionion yang terdapat dalam campuran produk kemudian dimasukkan ke unit evaporator.
Produk atas evaporator
masih berupa campuran metanol-air,
sehingga untuk memurnikan metanol diperlukan unit pemisahan distilasi. Gliserin yang telah dipisahkan dari unit evaporator ditampung pada tangki penyimpanan. Diagram alir pada masing-masing unit proses pengolahan biodisel kelapa sawit tertera pada Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 8. Asumsi reaksi/transformasi kimia yang terjadi pada simulasi proses produksi pengolahan biodisel tertera pada Tabel 7 berikut :
129 Tabel 7. Ringkasan teknologi transformasi kimia pada pembuatan metil ester CPO Unit Proses/ Unit Operasi 1. Persiapan Umpan 1.1. Leaching
1.2. Esterifikasi ALB
Bahan Masuk
Reaksi Transformasi Kimia
CPO Metanol
Tidak ada
Ekstrak ALB Metanol
Esterifikasi ALB O
O H2SO4
R – C – OH + CH3OH
1.3. Kolam desikan 2. Transesterifikasi 2.1. Transesterifikasi 1
R – C – OCH3 + H2O
Metanol Kotor Kolom CaCl2
Pengambilan air dari metanol
CPO bebas ALB Ester Metil ALB KOH Metanol
Transesterifikasi H
O
R–C–O–C–R O
KOH
O
CPO bebas ALB EkstrakALB Ester Metil ALB (Ester Kasar) Kolom CaCl2 Jenuh
CaO + 2HCl
CaCl2 + H2O
Produk
H H – C – OH
Metil Ester Kasar Gliserol
3H3CO – C – R + H – C – OH
R – C – O – C – R + 3CH3OH O
H – C – OH H
R–C–O–C–R
2.2. Transesterifikasi 2
Trigliserida sisa Metil Ester Kasar KOH Metanol
Transesterifikasi sisa Trigliserida H
O
R–C–O–C–R O
KOH
R – C – O – C – R + 3CH3OH
O
H H – C – OH
3H3CO – C – R + H – C – OH
O H – C – OH H
R–C–O–C–R
2.3. Pengendapan
3. Separasi 3.1. Netralisasi
3.2. Penukaran ion
3.3. Evaporasi 3.4. Destilasi 4. Purifikasi 4.1. Pencucian 4.2. Pengeringan Sumber : Data Diolah 2004
Metil Ester Kasar yang mengandung KOH, H3PO4 Gliserol
Metil Ester Kasar Sabun Kalium Air
Tidak ada, pemisahan fisik secara grafitasi
Endapan Kotoran dan Sabun
Metil Ester Kasar yang mengandung KOH, H3PO4
Reaksi netralisasi
Campuran Gliserol, Metanol dan Metil Ester Netral Campuran Gliserol dan Metanol Campuran Metanol dan air
Pengambilan ion H+ sisa dari katalis H2SO4 yang terbawa
Garam Kalium, Metil Ester Netral Campuran netral tidak bermuatan Gliserol dan Metanol kasar Metanol
Metil Ester Netral Air Metil Ester Bersih
Pencucian kotoran dari metil ester kasar dengan air Penguapan sisa air pada Metil Ester dengan perubahan fasa
3KOH + H3PO4
K3PO4 + 3H2O
Tidak ada reaksi kimia, pemisahan dengan perubahan fasa Tidak ada reaksi kimia, pemisahan dengan perubahan fasa
Metil Ester bersih Metil Ester nurni
130 4.2.2.3. Submodel Pasar Pasar Dalam Negeri Penciptaan pasar biodisel di dalam negeri dapat dilakukan dengan mensubsitusi sebagian dari pemakaian. petroleum disel atau solar nasional selama ini. Untuk mengetahui peluang pangsa pasar yang dapat disubsitusi oleh biodisel kelapa sawit maka perlu diketahui keragaan proyeksi ekspor/impor BBM dan proyeksi produksi dan konsumsi BBM solar nasional. Dari data proyeksi dapat perkirakan jumlah atau pangsa pasar BBM solar yang dapat disubsitusi biodisel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Keragaan ketersedian BBM yang berasal dari minyak bumi dapat diuraikan sebagai berikut : Proyeksi ekspor impor minyak bumi nasional Biodisel yang berasal dari minyak kelapa sawit atau CPO merupakan salah satu sumber energi bahan bakar cair yang dapat mensubstitusi BBM solar. Diantaranya adalah adanya asumsi bahwa Indonesia memiliki energi minyak bumi yang melimpah dan harganya yang relatif murah karena disubsidi oleh pemerintah telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Terjadinya ketidakseimbangan produksi dan konsumsi
minyak mentah maupun minyak yang telah diolah
menjadi membesarnya jumlah BBM yang harus dipenuhi dari impor dan membesarnya jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah . Model yang digunakan untuk memproyeksi ekspor dan impor minyak bumi dipilih adalah model dinamis, menggunakan kurva logistik atau kurva yang berbentuk S. Validasi model dinamis untuk memproyeksikan ekspor minyak bumi menghasilkan nilai R2 0.5269 Sementara itu, validasi model proyeksi impor minyak bumi menghasilkan nilai R2 0.8845. Data yang digunakan dalam proses validasi ini adalah data ekspor dan impor minyak bumi Indonesia mulai tahun 1992 sampai dengan tahun 2001. Proyeksi ekspor minyak bumi Indonesia dengan menggunakan metode model dinamis dapat dilihat pada Gambar 44 berikut ini. Dengan menggunakan model dinamis diperoleh persamaan proyeksi ekspor minyak bumi Indonesia sebagai berikut, Yt = 379968 – 7598.47t
131
Model Dinamis Ekspor BBM 500,000.00 400,000.00 Ekspor BBM 300,000.00 200,000.00 100,000.00 0.00
data model
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 tahun
Gambar 54. Validasi model proyeksi ekspor minyak bumi Indonesia dengan menggunakan model dinamis Sementara itu, proyeksi impor minyak bumi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 45 berikut ini. Dengan menggunakan model dinamis diperoleh persamaan proyeksi impor minyak bumi Indonesia sebagi berikut, Yt = 85401.6 + 11142t Model Dinamis Impor BBM 250,000.00 Impor BBM 200,000.00 150,000.00 100,000.00 50,000.00 0.00
data model
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 tahun
Gambar 55. Validasi model proyeksi impor minyak bumi Indonesia dengan menggunakan model dinamis Dengan menggunakan model dinamis, maka dapat dilakukan proyeksi ekspor dan impor minyak bumi Indonesia tahun 2005–2030. Sementara itu pada Tabel 8 di bawah ini ditampilkan proyeksi proporsi ekspor dengan impor minyak bumi Indonesia tahun 2005–2030.
132 Tabel 8. Proyeksi proporsi ekspor dengan impor minyak bumi Indonesia No. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Tahun Proyeksi Ekspor Proyeksi Impor Proyeksi (Ribu Barrel) (Ribu Barrel) 2005 273.589,42 241.389,60 2006 265.990,95 252.531,60 2007 258.392,48 263.673,60 2008 250.794,01 274.815,60 2009 243.195,54 285.957,60 2010 235.597,07 297.099,60 2011 227.998,60 308.241,60 2012 220.400,13 319.383,60 2013 212.801,66 330.525,60 2014 205.203,19 341.667,60 2015 197.604,72 352.809,60 2016 190.006,25 363.951,60 2017 182.407,78 375.093,60 2018 174.809,31 386.235,60 2019 167.210,84 397.377,60 2020 159.612,37 408.519,60 2021 152.013,90 419.661,60 2022 144.415,43 430.803,60 2023 136.816,96 441.945,60 2024 129.218,49 453.087,60 2025 121.620,02 464.229,60 2026 114.021,55 475.371,60 2027 106.423,08 486.513,60 2028 98.824,61 497.655,60 2029 91.226,14 508.797,60 2030 83.627,67 519.939,60
Proporsi Ekspor dengan Impor 113,34% 105,33% 98,00% 91,26% 85,05% 79,30% 73,97% 69,01% 64,38% 60,06% 56,01% 52,21% 48,63% 45,26% 42,08% 39,07% 36,22% 33,52% 30,96% 28,52% 26,20% 23,99% 21,87% 19,86% 17,93% 16,08%
Sumber : Hasil Analisis, 2004.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa peranan ekspor minyak bumi Indonesia dari tahun ke tahun sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan. Jika tidak ada penambahan investasi dan penemuan sumur-sumur minyak baru, maka impor minyak bumi Indonesia semakin besar. Dengan demikian, jumlah impor minyak bumi mengalami peningkatan yang berarti dari tahun ke tahun sehingga menghabiskan cadangan devisa yang dimiliki Indonesia. Proyeksi ekspor dan impor minyak Indonesia dapat dilihat pada Gambar 42. Untuk mengurangi besarnya penurunan cadangan devisa untuk impor minyak bumi, perlu diupayakan untuk terus mencari sumber-sumber energi alternatif terbaharukan salah satunya adalah biodisel dari CPO.
133
Jumlah (Ribu Barrel)
600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 Tahun
Proyeksi Ekspor
Proyeksi Impor
Gambar 56. Proyeksi ekspor dan impor minyak bumi Indonesia dengan menggunakan model dinamis Proyeksi produksi dan pemakaian BBM solar nasional Keragaan proyeksi produksi dan pemakaian BBM solar dimodelkan dengan model dinamis. Model proyeksi produksi BBM solar menunjukkan bahwa model dinamis paling sesuai digunakan untuk memproyeksikan produksi BBM solar
Indonesia.
Model
dinamis
juga
paling
sesuai
digunakan
untuk
memproyeksikan konsumsi BBM solar Indonesia. Model dinamis untuk proyeksi produksi BBM solar mampu menjelaskan 94,90% dari pola data produksi BBM solar Indonesia periode tahun 1992 sampai dengan tahun 2001. Sementara itu, model dinamis untuk proyeksi penggunaan BBM solar mampu menjelaskan 74,08% dari pola data penggunaan BBM solar Indonesia pada periode yang sama. Validasi model proyeksi produksi BBM solar dengan menggunakan model dinamis menghasilkan nilai R2 sebesar 0.9175. Sementara itu, validasi model dinamis konsumsi BBM solar dengan menggunakan model dinamis menghasilkan nilai R2 sebesar 0.74. Data yang digunakan dalam proses validasi ini adalah data ekspor dan impor minyak solar Indonesia mulai tahun 1992 sampai dengan tahun 2001. Data realisasi dan proyeksi produksi BBM solar dapat dilihat pada Gambar 47. Dengan menggunakan model dinamis diperoleh persamaan proyeksi produksi BBM solar Indonesia sebagai berikut, Yt = 11331.3 + 492.072t
134 Model Dinamis Produksi Solar 20,000 Produksi 15,000 solar 10,000
data model
5,000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
tahun
Gambar 57. Validasi model proyeksi produksi BBM solar Indonesia dengan menggunakan model dinamis Sementara itu, data dan proyeksi pemakaian BBM solar Indonesia dapat dilihat pada Gambar 48. Dengan menggunakan model dinamis diperoleh persamaan proyeksi konsumsi BBM solar Indonesia Yt = 15072.7 + 829.149t.
Model Dinamis Konsumsi Solar 25,000.00 konsumsi 20,000.00 15,000.00 solar 10,000.00
data model
5,000.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
tahun
Gambar 58.
Validasi model proyeksi konsumsi BBM solar Indonesia dengan menggunakan model dinamis
Dengan menggunakan model dinamis untuk proyeksi produksi BBM solar dan konsumsi BBM solar, maka dapat dilakukan proyeksi produksi dan pemakaian BBM solar Indonesia tahun 2005–2030. Gambar 49 menunjukkan bahwa produksi BBM solar Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan BBM solar sehingga sebagian masih harus tetap diimpor.
Jumlah (Juta liter)
135
50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005
Tahun Proyekjsi Produksi Solar
Proyeksi Konsumsi Solar
Gambar 59. Proyeksi produksi dan pemakaian BBM solar Indonesia tahun 2005-2030 Sementara itu Tabel 9 di bawah ini menampilkan proyeksi proporsi produksi dengan konsumsi BBM solar Indonesia tahun 2005-2030. Tabel 9. Proyeksi proporsi produksi dengan pemakaian BBM solar Indonesia No.
Tahun Proyeksi
Proyeksi Produksi BBM Solar (Juta liter)
Kebutuhan BBM Solar Nasional (Juta liter)
Proporsi produksi terhadap konsumsi
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
18.220,31 18.712,38 19.204,45 19.696,52 20.188,60 20.680,67 21.172,74 21.664,81 22.156,88 22.648,96 23.141,03 23.633,10 24.125,17 24.617,24 25.109,32 25.601,39 26.093,46 26.585,53 27.077,60 27.569,68
26.680,79 27.509,94 28.339,08 29.168,23 29.997,38 30.826,53 31.655,68 32.484,83 33.313,98 34.143,13 34.972,28 35.801,43 36.630,57 37.459,72 38.288,87 39.118,02 39.947,17 40.776,32 41.605,47 42.434,62
68,29% 68,02% 67,77% 67,53% 67,30% 67,09% 66,88% 66,69% 66,51% 66,34% 66,17% 66,01% 65,86% 65,72% 65,58% 65,45% 65,32% 65,20% 65,08% 64,97%
136
Tabel 19 Lanjutan 23 2025 24 2026 25 2027 26 2028 27 2029 28 2030
28.061,75 28.553,82 29.045,89 29.537,96 30.030,04 30.522,11
43.263,77 44.092,92 44.922,06 45.751,21 46.580,36 47.409,51
64,86% 64,76% 64,66% 64,56% 64,47% 64,38%
Sumber : Hasil Analisis, 2004.
Jumlah pemakaian BBM solar selalu lebih besar dibandingkan dengan produksinya seperti dapat dilihat pada Tabel 9. Dengan demikian, jumlah impor BBM solar mengalami peningkatan yang berarti dari tahun ke tahun sehingga menghabiskan cadangan devisa yang kita miliki. Hasil analisa proyeksi impor dan ekspor minyak bumi Indonesia menunjukkan, bahwa Indonesia mulai tahun 2005 sudah merupakan “Net importer country” dimana jumlah minyak bumi yang diimpor lebih besar dari jumlah minyak bumi yang diekspor. Penggunaan BBM solar juga lebih besar dari produksinya sehingga sebagian besar kekurangannya harus diimpor yang berarti pengeluaran devisa negara. Untuk mengurangi besarnya penurunan cadangan devisa untuk impor minyak bumi, perlu diupayakan untuk terus mencari sumber-sumber energi alternatif terbaharukan salah satunya adalah biodisel. Biodisel dari CPO lebih diarahkan sebagai alternatif pengganti dari sebagian penggunaan BBM solar pada sektor transportasi. Hal ini diasumsikan sesuai karena pola permintaan solar sebagai bahan bakar cair diperkirakan dapat dipenuhi dengan jaminan ketersediaan minyak sawit nasional. Penggunaan BBM yang berasal dari minyak bumi atau fosil juga telah menyebabkan pencemaran udara yang cukup besar terutama di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan lain-lain. Mencermati masalah akan semakin langkanya ketersediaan BBM fosil dan masalah lingkungan maka energi alternatif biodisel dapat diposisikan sebagai pengganti dari sebagian bahan bakar BBM solar yaitu 5–10% dalam 15 tahun kedepan.
Berdasarkan skenario ini maka dunia usaha di dalam negeri akan
tertarik untuk melakukan investasi pada biodisel.
137 2. Pasar Luar Negeri (Pasar Ekspor)
Potensi pasar luar negeri dapat dikaitkan dengan Perjanjian Kyoto yang telah diratifikasi pada bulan Pebruari 2005 yang lalu berupa carbon trade. Negara yang menghasilkan emisi carbon yang lebih sedikit dapat melakukan transaksi dengan negara yang menghasilkan emisi karbon yang lebih besar dari yang dipersyaratkan sehingga secara agregat dapat menurunkan dampak iklim global yang ditimbulkan. (Murdiyarso, 2003). Biodisel merupakan salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan sehingga penggunaannya akan memberi andil dalam pengurangan dampak emisi gas buangnya atau memberikan pengaruh perubahan iklim global yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan BBM solar. Dengan demikian investasi pada industri biodisel mempunyai peluang yang cukup besar untuk dibiayai oleh proyek luar negeri yang tergabung dalam mekanisme pembangunan bersih, terutama negara-negara maju seperti Amerika, Uni Eropa, dan Jepang. 4.2.2.4. Submodel Analisis Finansial Submodel Kelayakan Investasi Industri Biodisel
Pembangunan pabrik pengolahan biodisel dilakukan mulai tahun 2003 dengan kapasitas 100.000 ton biodisel per tahun. Rencana produksi awal dirancang hanya 90% kapasitas tersebut dan meningkat menjadi 100% pada tahun kedua sampai tahun terakhir umur pabrik. Umur pabrik didesain sampai dengan 15 tahun sehingga masa ekonomis mulai tahun 2005 - 2019. Perhitungan biaya investasi, eksploitasi dan penjualan dilakukan dengan menggunakan mata uang Dolar AS. Dasar perhitungan biaya investasi pabrik diperoleh dari simulasi perhitungan scaling up desain proses yang dirancang untuk pengolahan biodisel. Ringkasan hasil perhitungan investasi pabrik biodisel dengan kapasitas 100.000 ton per tahun disajikan pada Tabel 10. Dari Tabel 10 tampak bahwa kebutuhan dana investasi untuk pembangunan pabrik pengolahan biodisel dan sarana-sarana penunjangnya 17.819.288 Dolar AS.
Jika ditambah dengan dana pra operasional 6 bulan
menjadi 41.179.335 Dolar AS.
138 Tabel 10. Proyeksi kebutuhan biaya investasi pembangunan pabrik pengolahan biodisel kapasitas 100.000 ton per tahun (dalam Dolar AS) Harga ($ AS/unit)
Jumlah (Unit)
Total Biaya ($ AS)
No.
Uraian
A. 1.
MESIN PENGOLAHAN Penerimaan Bahan 1.1. Jembatan timbang 1.2. Tangki CPO 1.3. Tangki bahan bakar 1.4. Tangki metanol
21.000 35.841 48.988 3.879
1 5 2 6
321.455 21.000 179.205 97.976 23.274
Pre Treatment 2.1. Pompa minyak 2.2. Pompa metanol 2.3. Kolom ekstraksi 2.4. Mixer metanol 2.5. Reaktor esterifikasi 2.6. Kolom desicant 2.7. Pompa metanol recovery
6.784 8.500 21.946 5.903 29.309 3.929 5.100
1 1 2 1 1 2 1
107.346 6.784 8.500 43.892 5.903 29.309 7.858 5.100
Transesterifikasai 3.1. KOH dosing pump 3.2. Reaktor transester 1 3.3. Motor pengaduk 3.4. Tangki Pengendapan 1 3.5. Reaktor transester 2 3.6. Mater mixer tank 3.7. Tangki pengendapan 2 3.8. Soap residu tank 3.9. Metanol pump 3.10. KOH mixing tank
8.000 87.223 8.200 25.238 87.223 23.000 25.238 7.500 7.300 9.801
1 2 3 3 2 1 3 3 1 1
595.521 8.000 174.446 24.600 75.714 174.446 23.000 75.714 22.500 7.300 9.801
Separasi 4.1. Pompa asam fosfat 4.2. Tangki netralisasi 4.3. Motor penggerak 4.4. Kolom penukar ion 4.5 Filter garam 4.6. Tangki pengendapan 4.7. Crude ester pump 4.8. Evaporator 4.9. Kolom destilasi 4.10. Tangki gliserol 4.11. Cooling tower 4.12. Cooling fan
8.000 11.000 11.100 30.000 23.000 9.774 22.000 91.000 72.000 8.518 17.000 10.600
1 2 1 2 1 2 1 2 3 2 3 1
642.284 8.000 22.000 11.100 60.000 23.000 19.548 22.000 182.000 216.000 17.036 51.000 10.600
Purifikasi 5.1. Pompa air 5.2. Kolom pencucian
9.000 11.000
1 2
142.264 9.000 22.000
2.
3.
4.
5.
139 Tabel 10 Lanjutan
6.
7.
8.
5.3. Tangki pengendapan 5.4. Kolom pengering 5.5. Tangki penampung air 5.6. Tangki penampung ester
9.774 28.000 13.000 11.358
2 2 1 2
19.548 56.000 13.000 22.716
Produk Akhir 6.1. Tangki produk metil ester 6.2. Tangki gliserol 6.3. Bak penampung garam
32.280 6.951 10.000
9 1 1
307.471 290.520 6.951 10.000
Utilitas 7.1. Boiler 7.2. Water treatment 7.3. Disel dan alternator 7.4. Thermopack 7.5. Panel utama 7.6. Air compressor 7.7. Steam piping line 7.8. Water piping line 7.9. Oil piping line 7.10. Electricity line 7.11. Penerangan 7.12. Menara air boiller
1 1 1 1 1 1 84 18 195 1 1 1
10.970.886 1.418.086 83.000 202.000 98.000 61.000 61.000 2.520.000 630.000 5.850.000 16.800 18.000 13.000
71.000 52.000 93.000 78.000
1 1 1 1
294.000 71.000 52.000 93.000 78.000
Laboratory Equipment
160.000
1
160.000
10.
Safety Instrument
101.000
1
101.000
11.
Transportasi 11.1. Forklif 11.2. Dump truck 11.3. Other vessel
70.000 100.000 40.000
2 1 2
320.000 140.000 100.000 80.000
98.000 96.000 70.000 24.000
1 1 1 1
288.000 98.000 96.000 70.000 24.000
9.
12.
Water Treatment 8.1. Instalasi pengolah air limbah (IPAL) 8.2. Soap residu treatment 8.3. Incenerator 8.4. Vapor absorber
1.418.086 83.000 202.000 98.000 61.000 61.000 30.000 35.000 30.000 16.800 18.000 13.000
Maintenance 12.1. Mesin perawatan mekanik 12.2. Mesin perawatan listrik 12.3. Perawatan kendaraan 12.4. Laboratorium elektronik
Jumlah Investasi Mesin Pengolahan Jumlah Total (Rp Milyar)
14.250.227 128.25
140 Tabel 10 Lanjutan B. 1.
2.
3.
INFRASTRUKTUR PABRIK Lahan (m2) 1.1. Areal sediaan 1.2. Pabrik 1.3. Perkantoran 1.4. Utilitas 1.5. Pengolahan limbah 1.6. Areal penyangga 1.7. Jalan
5 7 9 7 5 6 5
1.388 7.423 800 2.500 625 100.000 6.941
721.431 6.940 51.961 7.200 17.500 3.125 600.000 34.705
Bangunan (m2) 2.1. Pabrik 2.2. Bengkel 2.3. Laboratorium 2.4. Gudang 2.5. Perkantoran 2.6. Pos pengamanan 2.7. Fasum dan Fasos
75 55 45 55 55 35 35
22.268 900 250 1.800 1.600 200 2.100
1.998.350 1.670.100 49.500 11.250 99.000 88.000 7.000 73.500
Lingkungan (m2) 3.1. Jalan 3.2. Taman 3.3. Pagar 3.4. Rumah pompa 3.5. Gardu listrik
18 12 8 23 11
40.000 10.000 310 200 200
849.280 720.000 120.000 2.480 4.600 2.200
Jumlah Investasi Infrastruktur TOTAL INVESTASI (US $) TOTAL INVESTASI (Rp Milyar)
3.569.061 17.819.288 160.38
Sumber : Hasil Analisis, 2004
Sub-Submodel Biaya Modal
Konsep biaya modal dimaksudkan untuk dapat menentukan besarnya biaya yang secara riil harus ditanggung oleh perusahaan untuk memperoleh dana dari suatu sumber. Biaya modal dimaksudkan untuk menentukan biaya modal rata-rata dari keseluruhan dana yang digunakan di dalam perusahaan. Biaya modal rata-rata biasanya digunakan sebagai ukuran untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu usul investasi yaitu dengan membandingkan rate of return dari suatu usul investasi dengan biaya modal rata-ratanya. Dari hasil analisis dengan menggunakan ratio modal sendiri dengan hutang adalah 60:40, dimana tingkat suku bunga yang digunakan adalah 12% dan keuntungan yang diharapkan dari pemilik modal sebesar 15%. Biaya modal rata-rata selama proyek berlangsung
141 umumnya berkisar antara 9,4% sampai dengan 15% seperti terlihat pada Gambar 50. Nilai biaya modal inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan tingkat kelayakan industri biodisel. Jika nilai IRR lebih besar daripada biaya modal maka industri biodisel yang dirancang layak secara finansial selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran CD 2. 16
Biaya Modal (%)
14 12 10 8 6 4 2
20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19
- 0
Tahun
Gambar 60. Grafik proyeksi perkembangan biaya modal rata-rata Sub-Submodel Biaya Produksi Biodisel
Rencana produksi pabrik pengolahan biodisel dirancang sebesar 100.000 ton per tahun dan digunakan untuk tahun pertama hanya 90% dari kapasitas tersebut. Selanjutnya untuk tahun kedua sampai dengan tahun kelimabelas digunakan maksimal sebesar 100%. Di samping itu, pabrik pengolahan biodisel juga menghasilkan produk sampingan atau by product berupa gliserin. Rencana produksi biodisel dan kebutuhan bahan baku serta bahan penolongnya selama 15 tahun masa ekonomis pabrik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran CD 2. Komponen biaya pokok produksi pengolahan biodisel terdiri dari: 1) biaya manajemen/umum (gaji pegawai); 2) biaya produksi biodisel; 3) biaya bunga bank;
4) biaya asuransi; 5) biaya pemeliharaan dan; 6) biaya penyusutan.
Perhitungan biaya manajemen (gaji pegawai) dihitung atas dasar jumlah pegawai yang terlibat dan gaji yang diterima. Perhitungan biaya gaji pegawai selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran CD 2.
142 Biaya asuransi dan biaya pemeliharaan diskenariokan masing-masing sebesar 2% dari nilai perolehan aset pabrik pengolahan biodisel. Biaya asuransi dan biaya pemeliharaan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran CD 2. Biaya modal diperhitungkan sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku, yang pada saat investasi diperkirakan mencapai 12%. Perhitungan biaya penyusutan aset dilakukan dengan menggunakan metoda garis lurus (straight line method) sesuai dengan masa manfaatnya (umur ekonomis). Hasil perhitungan biaya penyusutan dapat dilihat pada Lampiran 13. Atas dasar perhitungan komponen biaya produksi tersebut dilakukan perhitungan biaya pokok produksi
dalam
bentuk nominal dan persentase seperti dapat dilihat pada Lampiran CD 2. Secara rata-rata persentase biaya pokok produksi untuk masing-masing komponen biaya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rata-rata biaya pokok produksi pengolahan biodisel NO. I II
URAIAN RATA-RATA BIAYA ADMINISTRASI DAN UMUM 0,23% BIAYA PRODUKSI BIODISEL 79,93% 1. Bahan Baku Utama 60,07% 2. Metanol 4,98% 3. KOH 5,78% 4. Bahan Bakar 0,64% 5. H3PO4 0,00% 6. Air 0,00% 7. Uap air 8,22% 8. Listrik 0,23% III BIAYA PEMASARAN 12,03% IV BIAYA BUNGA BANK 0,84% V ASURANSI 0,74% VI PEMELIHARAAN 0,74% VII PENYUSUTAN 5,49% JUMLAH TOTAL (I S/D VII) 100,00% Sumber : Hasil Analisis, 2004.
Dari Tabel 11 tersebut terlihat bahwa komponen biaya produksi biodisel menempati porsi yang paling besar yaitu 79,93 %, dengan komponen biaya bahan baku utama (CPO) mencapai 60,07% (dengan asumsi harga CPO 360 US$/ton). Jika diasumsikan pabrik biodisel mengambil margin keuntungan 15% dari total biaya, maka harga yang akan ditanggung oleh konsumen per liternya mencapai Rp
143 5.603,- yang jauh di atas harga BBM solar yang saat ini harganya sekitar Rp 2.160. Proyeksi biaya pokok produksi dan harga biodisel dapat dilihat pada Gambar 51. Sementara itu, perhitungan biaya pokok produksi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran CD 2. 7000
6000
Rp/Liter
5000
4000
3000
2000
1000
20 19
20 18
20 17
20 16
20 15
20 14
20 13
20 12
20 11
20 10
20 09
20 08
20 07
20 06
20 05
0
Tahun Biaya Produksi per Liter
Harga Biodiesel per Liter
Gambar 61. Grafik proyeksi biaya pokok produksi dan harga biodisel
Sub-Submodel Penjualan
Dalam penetapan perkiraan harga jual biodisel dan gliserin digunakan satuan uang Dolar AS. Dengan asumsi harga jual seperti telah diuraikan dalam skenario model, maka proyeksi penjualan produk tahun 2005–2019 dapat dilihat pada Lampiran CD 2 dan Tabel 12. Sub-Submodel Rugi Laba
Sesuai dengan periode jangka waktu analisis keuangan, proyeksi rugi laba dibuat untuk jangka waktu 15 tahun sesuai dengan umur proyek. Hasil perhitungan proyeksi rugi laba selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran CD 2. Proyeksi penjualan, biaya usaha dan laba setelah pajak dapat dilihat pada Gambar 52. Sementara itu rata-rata proyeksi rugi laba selama 15 tahun umur pabrik biodisel dapat dilihat pada Tabel 12.
144
Tabel 12. Volume produksi dan nilai penjualan pabrik pengolahan biodisel Tahun
2005 2006 2007 2008 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Produksi (Ton) Biodisel Gliserin 90.000 7.919 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776 100.000 9.776
Penjualan (Dolar AS) Biodisel Gliserin Total 63.000.000 4.656.113 67.656.113 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288 70.000.000 5.748.288 75.748.288
Sumber : Hasil Analisis, 2004.
80,000,000
Nilai (Dolar AS)
70,000,000 60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000
20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19
0
Tahun Penjualan
Biaya Usaha
Laba Setelah Pajak
Gambar 62. Proyeksi penjualan, biaya usaha dan laba setelah pajak pabrik biodisel dengan kapasitas 100.000 ton per tahun.
145 Tabel 13. Proyeksi laba setelah pajak pabrik pengolahan biodisel (dalam Dolar AS) No. Uraian Jumlah I HASIL PENJUALAN : 75.208.809,69 1. Penjualan Biodisel 69.533.333,33 2. Penjualan Gliserin 5.675.476,35 II BIAYA USAHA : 62.510.915,08 1. Biaya Produksi Biodisel 49.964.859,69 2. Biaya Pemasaran 7.520.880,97 3. Biaya Bunga Bank 527.095,49 4. Biaya Asuransi 460.707,37 5. Biaya Pemeliharaan 460.707,37 6. Biaya Penyusutan 3.434.644,18 7. Biaya Gaji 142.020,00 III LABA SEBELUM PAJAK 12.697.894,61 IV PPH PASAL 25 4.441.068,67 V LABA SETELAH PAJAK 8.256.825,94 Sumber : Hasil Analisis, 2004. Dari hasil perhitungan proyeksi rugi laba tersebut tampak bahwa pabrik biodisel
dalam keadaan memperoleh laba jika diasumsikan harga biodisel
mencapai 700 Dolar AS/ton atau sekitar Rp 5.603/liter. Harga jual biodisel yang digunakan tersebut merupakan harga biodisel internasional yang berlaku saat ini. Dengan demikian, masalah yang sebenarnya adalah bagaimana membuat harga jual biodisel ini mampu bersaing dengan harga solar yang berlaku saat ini. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kebijakan penggunaan energi alternatif khususnya biodisel ini dengan cara memberikan subsidi pada harga biodisel atau dengan cara memberlakukan regulasi khusus untuk menggunakan biodisel sebagai campuran bahan bakar solar pada transportasi publik. Sub-Submodel Aliran Kas
Proyeksi anggaran kas dimaksudkan untuk mengetahui kebutuhan dana segar dari pihak penyandang dana dalam proses pembangunan dan mengkaji kemampuan proyek dalam menghasilkan dana. Proyeksi aliran kas pabrik biodisel dapat dilihat pada Gambar 53. Sementara itu, perhitungan proyeksi anggaran kas selama 15 tahun sampai dengan 2019 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
146 CD 2. Dari analisis proyeksi aliran kas tampak bahwa proyek selalu dalam keadaan saldo positif. 1 6 0 ,0 0 0 ,0 0 0 1 4 0 ,0 0 0 ,0 0 0 N il 1 2 0 ,0 0 0 ,0 0 0 ai 1 0 0 ,0 0 0 ,0 0 0 (D o la 8 0 ,0 0 0 ,0 0 0 r A S 6 0 ,0 0 0 ,0 0 0 ) 4 0 ,0 0 0 ,0 0 0 2 0 ,0 0 0 ,0 0 0 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Tahun P e n e rim a a n D a n a
P e n g e lu a ra n d a n a
S a ld o K a s A w a l
S a ld o K a s A kh ir
Gambar 63. Proyeksi aliran kas pabrik biodisel dengan kapasitas 100.000 ton per tahun. Sub-Sub model Neraca
Neraca menunjukkan posisi aktiva dan passiva suatu perusahaan dalam suatu kurun waktu umumnya dalam tahun tertentu. Dalam model ini digunakan beberapa asumsi salah satunya adalah penjualan dilakukan secara tunai dalam tahun yang bersangkutan sehingga posisi dari aktiva hanya menunjukkan harta lancar yang berupa kas dan aktiva tetap. Aktiva tetap menunjukkan nilai buku suatu
aktiva
tetap
yaitu
nilai
perolehan
dikurangi dengan akumulasi
penyusutannya. Proyeksi neraca untuk proyek pabrik pengolahan biodisel dapat dilihat pada Lampiran CD 2. Sub-Submodel Kelayakan Investasi
Periode waktu analisis kelayakan investasi adalah 15 tahun yaitu dari tahun 2005 sampai tahun 2019. Analisis kelayakan investasi dilakukan untuk mengkaji sampai sejauh mana rencana investasi dan eksploitasi dari pembangunan pabrik pengolahan biodisel dengan kapasitas 100.000 ton per tahun dengan bahan baku utama CPO mampu memberikan dampak finansial yang positif bagi pengelola proyek dan masyarakat sekitarnya. Kelayakan investasi juga dilakukan analisis sensitivitas yang meliputi peningkatan biaya produksi khususnya harga CPO dan penurunan harga jual biodisel. Beberapa parameter penilaian proyek
147 yang dihitung dalam analisis keuangan terdiri dari proyeksi laba rugi, proyeksi arus kas, proyeksi arus kas bersih, Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) dan Pay Back Period. Proyeksi arus kas bersih ditujukan untuk menghitung IRR (Internal Rate of Return), NPV (Net Present Value) dana untuk mengetahui Pay Back Period dalam jangka waktu umur proyek yaitu 15 tahun. Perhitungan arus kas bersih dilakukan dengan ketentuan bahwa 40% dana investasi diperoleh dari lembaga perbankan dengan tingkat bunga 12%. Tujuan analisis ini adalah untuk menilai sejauh mana seluruh asset memberikan pengembalian yang layak dan sejauh mana dana investasi dari bank cukup layak untuk digunakan dalam proyek tersebut. Hasil perhitungan analisis kelayakan untuk proyek pabrik pengolahan biodisel tercantum pada Lampiran CD 2. Ringkasan hasil perhitungan nilai IRR, NPV, Pay Back Period dan PI tercantum pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14. Hasil perhitungan IRR, NPV, Pay Back Period dan Saldo kas bersih pabrik biodisel kapasitas 100.000 ton per tahun No. 1
Uraian
IRR (%)
2
NPV, pada tingkat bunga 12% (Dolar AS)
3
Pay Back Period (Tahun)
4
Saldo Kas Akhir (Kumulatif) Tahun 2019 (Dolar AS)
Nilai 25,95%
26.010.650,99 6-7 104.455.007,90
Sumber : Hasil Analisis, 2004.
Dari Tabel 14 tersebut tampak proyek pembangunan pabrik pengolahan biodisel layak dikembangkan jika diasumsikan harga biodisel mencapai 700 Dolar AS/ton atau sekitar Rp 5.603/liter. Namun demikian, agar harga biodisel ini dapat bersaing dengan harga BBM solar maka perlu campur tangan pemerintah yang lebih serius untuk membantu kalangan investor yang akan mendirikan industri biodisel dengan melakukan serangkaian kebijakan. Analisis sensitivitas pabrik biodisel pada berbagai harga CPO dilakukan karena biaya bahan baku CPO merupakan komponen biaya terbesar dalam industri biodisel. Analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa peningkatan sampai pada harga 400 Dolar AS/ton masih
148 membuat industri biodisel tetap layak, namun harga CPO di atas 400 Dolar AS/ton (sekitar Rp. 3.600/kg) membuat industri biodisel menjadi tidak layak. Analisis sensitivitas pabrik biodisel pada berbagai harga jual biodisel dilakukan karena harga biodisel mengalami fluktuasi di samping harga itu sendiri belum terbentuk di dalam negeri. Analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penurunan sampai pada harga 425 Dolar AS/ton masih membuat industri biodisel tetap layak, namun harga biodisel di bawah 425 Dolar AS/ton (sekitar Rp 3.300 per liter) membuat industri biodisel menjadi tidak layak. Tabel 15. Analisis sensitivitas pabrik biodisel kapasitas 100.000 ton per tahun pada berbagai harga CPO No.
1 2 3 4 5
Harga CPO
250 Dolar AS/ton 300 Dolar AS/ton 350 Dolar AS/ton 400 Dolar AS/ton 425 Dolar AS/ton
IRR (%)
74,50 47,48 29,03 14,83 8,41
NPV (Dolar AS)
82.195.892,31 56.657.146,26 31.118.400,20 5.579.654,15 -7.189.718,87
Harga BDS (Dolar AS/ton) 586,70 649,07 711,45 773,82 805,01
Harga BDS (Rp/liter) 4.541,05 5.023,83 5.506,61 5.989,39 6.230,78
Sumber : Hasil Analisis, 2004.
Tabel 16. Analisis sensitivitas pabrik biodisel kapasitas 100.000 ton per tahun pada berbagai harga jual biodisel No. 1
Analisis Sensitivitas Kondisi Awal : 700 Dolar AS/ton
2
Harga Biodisel 650 Dolar AS/ton
3
Harga Biodisel 600 Dolar AS/ton
IRR(%) 25,95
15,37 4,69
NPV (Dolar AS) 26.010.650,99
6.350.033,08 -13.310.584,84
Sumber : Hasil Analisis, 2004.
Multiplier Effect Analisis manfaat adanya industri biodisel dari kelapa sawit dihitung berdasarkan skenario pertambahan luas perkebunan kelapa sawit sebelum dan sesudah industri BDS muncul. Pada saat model ini dikembangkan (tahun 2003), luas total perkebunan kelapa sawit adalah 4,9 juta hektar. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodisel maka luas perkebunan kelapa sawit ditingkatkan
149 menjadi 8 juta hektar yang akan tercapai pada tahun 2009 mendatang. Dengan demikian terjadi pertambahan luas perkebunan kelapa sawit sebesar 3,1 juta hektar. Pertambahan luas perkebunan kelapa sawit akan menyerap tenaga kerja di sektor perkebunan. Dengan asumsi bahwa setiap satu hektar kebun kelapa sawit menyerap 2 orang, maka akan tercipta lapangan pekerjaan bagi sekitar 6,2 juta petani.
Peningkatan luas kebun kelapa sawit akan mendorong tumbuhnya
berbagai usaha ikutan lainnya seperti sarana produksi pertanian, jasa angkutan, pupuk organik (dari TBS/Tandan Buah Segar) dan pupuk anorganik, alat dan mesin pertanian dan mesin-mesin pengolahan. Jumlah tenaga kerja yang terserap tersebut belum termasuk tenaga kerja yang terlibat dalam pabrik kelapa sawit yang mengolah TBS menjadi CPO dan PKO serta industri biodisel itu sendiri. 4.2.2.5. Submodel Lingkungan
Penggunaan biodisel dapat mengurangi efek pemanasan global dan pencemaran udara. Hal ini disebabkan karena biodisel dibuat dari minyak lemak nabati atau hewani, maka emisi gas buang CO2 yang dilepaskan dari mesin yang berbahan bakar biodisel tidak diklasifikasikan sebagai emisi CO2 yang menyebabkan pemanasan global. Selain itu, biodisel juga mengandung atom– atom oksigen yang terikat dalam senyawa dari ester asam lemak penyusunnya sehingga pembakarannya didalam mesin menjadi sempurna dan membutuhkan nisbah udara dibandingkan bahan bakar lebih kecil. Dengan demikian emisi senyawa karbon non CO2/CO2 minimal maka mesin penggunanya menjadi lebih efisien. Biodisel mempunyai kadar belerang yang amat rendah. Menurut penelitian kadar belerang biodisel adalah berkisar 0-24 ppm dan umumnya lebih kecil dari 15 ppm. Sedangkan solar mempunyai kadar belerang berkisar 1500-4100 ppm. Hal ini menyebabkan emisi SO2 dan partikulat SPM (Solid Particulate Matter’s) pada mesin yang menggunakan biodisel relatif nihil. Berdasarkan analisa beban lingkungan yang dilakukan terhadap emisi sisa pembakaran bahan bakar kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar dan biodisel diperoleh hasil penggunakan biodisel memberikan dampak atau beban lingkungan
(Environmental Burden) atau EB yang lebih kecil dibandingkan
150 dengan penggunaan bahan bakar solar.
Perhitungan indeks EB dilakukan
terhadap penghitungan 3 parameter yaitu indeks hujan asam atau asiditas, indeks fotokimia dan indeks pemanasan global. Indeks hujan asam, fotokimia dan pemanasan global diperoleh berdasarkan perhitungan jumlah emisi yang dihasilkan dikonversikan dengan indeks EB. Standar EB yang digunakan adalah berdasarkan standar yang ditetapkan oleh ICI mengenai “Safety, Health and Environmental Performance” pada tahun 1996. Data emisi sisa pembakaran kendaraan yang menggunakan disel dan campuran solar dan biodisel (PPKS, 2000) dengan berbagai tingkat perbandingan tertera pada Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 17. Data emisi sisa pembakaran kendaraan yang menggunakan disel dan campuran disel dan biodisel. Disel No
Tolak Ukur
Satuan
Beberapa Komposisi Biodisel
Minyak Bumi
Disel-Ester Disel-Ester Disel-Ester
Ester Murni
75 :25
70 : 30
65 : 35
1 Efisiensi Thermal
1
-
-
1,125
-
2 Efisiensi Volumetrik
1
-
-
1.0184
-
Emisi Hidrokarbon (beban maksimum)
ppm
18
14
-
16
-
Emisi Karbon 4 monooksida (beban maksimum)
ppm
1650
710
-
1390
-
% Volume
11.4
11
10,931.25
-
-
9,208.75
-
3
5
Emisi Karbon Dioksida
-
11
-
6 Emisi Nox
ppm
7 Partikulat Dugaan emisi SOx 8 (maksimum)
gram/km
0.497
-
-
0.178
-
% berat
0.14
0.03
-
0.1
-
9 Nilai Kalor
kj/kg
40,297.32 37,114.13
-
-
-
151 Tabel 18. Analisa beban lingkungan dari emisi sisa pembakaran bahan bakar kendaraan Estimasi No
1 2 3
4 5
Tolak Ukur
BAHAN BAKAR DISEL Dugaan Total Gas Buang Emisi Hidrokarbon (beban maksimum) Emisi Karbon monooksida (beban maksimum) Emisi Karbon Dioksida Emisi Nox
6 Partikulat
Satuan
Dugaan Nilai Beban Lingkungan (EB Value)
Substansi EB Value Tunggal Asiditas
Ton
96,083
Ton
435,8 3
Ton
4,439. 03
Ton Ton Ton
7 Dugaan emisi SOx Ton (maksimum) Indeks EB
48,88 9.48 31,50 9.28 4,775. 65 13,45 1.65
EB Value
Eb Value
EB Value
Panas Global Penipisan 03 Fotokimia
230.99 13,317.13
133.17
48,899.48 693.20 1,260,371.12
945.28
417,00
672.58
1,110.21 1,322,587.72
1,751.03
BAHAN BAKAR BIODISEL 30 : 70 Dugaan Total Gas Buang Emisi Hidrokarbon 2 (beban maksimum) Emisi Karbon 3 monooksida (beban maksimum) Emisi Karbon 4 Dioksida 1
5 6
Emisi Nox
Partikulat Dugaan emisi SOx 7 (maksimum)
Ton Ton Ton Ton Ton Ton Ton
97,32 1 392.4 0
207.97
3,787. 72 49,79 1 26,88 6.07 1,732. 31 9,732. 07
11,363.17
113.63
47,791.43 591.49 1,075,442.75
806.58
301.69
486.60
893.19 1,134,597.35
1,406.82
Jika seluruh hasil BDS digunakan sebagai bahan bakar maka perbandingan emisi gas buang sesuai standar yang ditetapkan UNEP dan ICI (diolah) adalah: emisi sisa bahan bakar yang menggunakan disel adalah, indeks EB asiditas
152 417.00, indeks EB pemanasan global 1,322,567.72, dan indeks EB fotokimia 1,751.03. Indeks EB pada emisi kendaraan yang menggunakan biodisel adalah indeks EB asiditas 301.69, indeks EB pemanasan global 1,134,597.35 dan indeks EB fotokimia 1,406.82. Perbandingan indeks EB emisi gas sisa pembakaran secara histogram tertera pada gambar 50
Gambar 64. Perbandingan Indeks EB (Environmental Burden) Emisi Pembakaran Biodisel dan Disel Minyak Bumi
Sisa Gas
Dari gambar diatas terlihat dampak indeks hujan asam atau asiditas, indeks pemanasan global dan indeks fotokimia pada biodisel mempunyai beban atau dampak lingkungan lebih kecil dibandingkan disel minyak bumi.