41
HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak Karakteristik subjek survei pengetahuan Pemilihan subjek yang terlibat dalam kegiatan survei pengetahuan tentang manfaat
kesehatan
temulawak
dilakukan
dengan
pertimbangan
bahwa
pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sehingga subjek dikelompokkan menjadi subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok tingkat pendidikan, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu subjek lakilaki dan perempuan sehingga berdasarkan kelompok tingkat pendidikan dan jenis kelamin, jumlah dan persentase subjek jadi berimbang. Jumlah subjek yang terpilih sebanyak 79 orang. Jumlah ini sudah lebih dari jumlah minimum subjek yaitu sebanyak 72 orang yang terbagi menjadi 18 orang untuk setiap jenis kelamin dan kelompok tingkat pendidikan. Berdasarkan jenis kelaminnya, terdapat 40 subjek laki-laki dan 39 subjek perempuan sedangkan berdasarkan kelompok tingkat pendidikannya terdapat 40 subjek yang tergolong memiliki tingkat pendidikan tinggi dan 39 subjek memiliki tingkat pendidikan rendah. Seluruh subjek yang terlibat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori dewasa dengan rata-rata umurnya 37.7 ± 10.8 tahun. Rata-rata umur subjek lakilaki adalah 36.6 ± 9.6 tahun sedangkan subjek perempuan rata-rata berumur 38.9 ± 12.0 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikannya, sebanyak 26.6% subjek memiliki pendidikan sampai perguruan tinggi, 24.1% berpendidikan SMU, 30.4% berpendidikan SLTP, dan 19.0% berpendidikan SD. Secara keseluruhan, sebagian besar subjek (74.7%) memiliki jumlah anggota rumahtangga antara 3 – 5 orang sedangkan yang memiliki jumlah anggota rumahtangga kurang dari atau sama dengan 2 orang hanya 4 subjek (5.1%). Subjek yang memiliki anggota rumahtangga kurang dari atau sama dengan 2 orang kemungkinan merupakan subjek yang belum menikah dan pendatang sehingga hanya tinggal sendiri. Proporsi ini tidak berubah jika subjek dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, yaitu subjek terbanyak memiliki jumlah anggota rumahtangga 3 – 5 orang, berikutnya subjek yang memiliki
42
jumlah anggota rumahtangga lebih dari 5 orang dan yang paling sedikit adalah subjek dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 2 orang. Sebagian besar subjek (46.8%) memiliki besar pendapatan antara 0.5 – 1 juta. Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya, maka pada subjek lakilaki (65.0%) sebagian besar memiliki pendapatan 0.5 – 1 juta sedangkan pada kelompok subjek perempuan sebagian besar (38.5%) memiliki pendapatan kurang dari 0.5 juta. Pendapatan yang diukur dalam penelitian ini merupakan pendapatan yang diterima dari pekerjaan utama saja sehingga kemungkinan besar pendapatan subjek yang sesungguhnya lebih dari ini. Data lengkap mengenai berbagai karakteristik subjek disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak Karakteristik subjek Kelompok Umur 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total Rata-rata ± SD Tingkat Pendidikan SD SLTP SMU Perguruan Tinggi Total Anggota Rumahtangga ≤ 2 orang 3 – 5 orang >5 orang Total Rata-rata ± SD Pendapatan per bulan < 0.5 juta 0.5 – 1 juta 1 – 2 juta >2 juta Total
n
Laki-laki %
Perempuan n %
n
Total %
11 24 5 40 36.6 ±
27.5 60.0 12.5 100 9.6
9 23.1 21 53.8 9 23.1 39 100 38.9 ± 12.0
20 25.3 45 57.0 14 17.7 79 100 37.7 ± 10.8
0 20 11 9 40
0.0 50.0 27.5 22.5 100
15 4 8 12 39
15 24 19 21 79
19.0 30.4 24.1 26.6 100
38.5 10.3 20.5 30.8 100
3 7.5 31 77.5 6 15.0 40 100 4.5 ± 1.7
1 2.6 28 71.8 10 25.6 39 100 4.8 ± 1.9
4 59 16 79 4.6 ±
5.1 74.7 20.3 100 1.8
5 26 2 7 40
15 11 5 8 39
20 37 7 15 79
25.3 46.8 8.9 19.0 100
12.5 65.0 5.0 17.5 100
38.5 28.2 12.8 20.5 100
Pengalaman mengonsumsi temulawak Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa secara keseluruhan, persentase subjek yang pernah mengonsumsi temulawak lebih besar (74.7%) dibandingkan dengan yang tidak pernah (25.3%). Penggunaan temulawak lebih
43
banyak diantara subjek perempuan (87.2%) dibandingkan pada subjek laki-laki yang hanya 62.5% saja. Hal ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi jamu atau obat tradisional lebih banyak dibandingkan laki-laki (Gitawati & Handayani 2008; Balitbangkes 2010; Kennedy 2005; Tanaka et al. 2008). Pengalaman subjek terkait dengan konsumsi temulawak yang berikutnya dikaji dalam survei adalah mengenai rutinitas konsumsinya. Bagi subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak maka informasi yang dikaji diperdalam dengam menanyakan mengenai rutinitas konsumsinya, bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi, tempat memperoleh temulawak, tingkat kesulitan mendapat temulawak, serta tujuan mengonsumsinya sedangkan bagi subjek yang menyatakan mengonsumsi temulawak secara rutin maka informasi yang diperdalam adalah informasi tentang frekuensi konsumsi, manfaat yang dirasakan, bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi, tujuan mengonsumsi, serta bentuk produk baru temulawak yang diharapkan jika diproduksi. Dari 59 subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak, hanya 16 subjek (10 laki-laki dan 6 perempuan) saja yang menyatakan mengonsumsi temulawak secara rutin. Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi oleh sebagian besar subjek (55.9%) adalah bentuk minuman, baik berupa minuman kemasan maupun hasil merebus sendiri. Tempat terbanyak bagi subjek untuk memperoleh temulawak adalah pasar tradisional (50.8%) dan penjaja/tukang jamu keliling (25.4%). Hampir seluruh subjek menyatakan bahwa temulawak ini tidak sulit untuk diperoleh, jadi di pasar tradisional ataupun warung, temulawak selalu tersedia baik yang sudah dalam bentuk minuman maupun rimpang yang nantinya akan diolah sendiri untuk dijadikan minuman. Selain itu, subjek juga menyatakan bahwa hampir setiap penjaja jamu keliling menyediakan jamu temulawak. Tujuan sebagian besar subjek (72.9%) mengonsumsi temulawak adalah untuk menjaga kesehatan. Subjek yang menggunakan temulawak untuk tujuan pengobatan hanya sebesar 15.2% dan sisanya (11.9%) mengonsumsi temulawak dengan tujuan untuk meningkatkan nafsu makan serta ada pula yang menyatakan hanya sekedar ingin mencoba. Hasil ini cukup sejalan dengan penelitian Kennedy (2005) yang menyebutkan bahwa tujuan penggunaan jamu dan obat tradisional
44
yang terbesar adalah untuk menjaga kesehatan. Data lengkap mengenai pengalaman subjek dalam mengonsumsi temulawak disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak Peubah
Laki-laki %
Perempuan n %
Total
% Pernah mengonsumsi temulawak Ya, pernah 25 62.5 34 87.2 59 74.7 Tidak pernah 15 37.5 5 12.8 20 25.3 Total 40 100 39 100 79 100 Rutinitas mengonsumsi temulawak Ya, rutin 10 40.0 6 17.6 16 27.1 15 Tidak rutin 60.0 28 82.4 43 72.9 25 Total1 100 34 100 59 100 Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi Minuman 14 56.0 19 55.9 33 55.9 Bagian dari bumbu masak 1 4.0 0 0 1 1.7 Jamu 10 40.0 10 29.4 20 33.9 Obat/kapsul 0 0 1 2.9 1 1.7 0 Lainnya2 0 4 11.8 4 6.8 Total1 25 100 34 100 59 100 Tempat memperoleh temulawak Tanaman sendiri 0 0 2 5.9 2 3.4 Pasar tradisional/warung 17 68.0 13 38.2 30 50.8 Supermarket 2 8.0 2 5.9 4 6.8 Toko obat 2 8.0 0 0 2 3.4 Penjaja 4 16.0 11 32.4 15 25.4 0 Lainnya3 0 6 17.6 6 10.2 Total1 25 100 34 100 59 100 Tingkat kesulitan memperoleh temulawak Ya, sulit 6 24.0 3 8.8 9 15.3 19 Tidak sulit 76.0 31 91.2 50 84.7 25 Total1 100 34 100 59 100 Tujuan mengonsumsi temulawak Menjaga kesehatan 20 80.0 23 67.6 43 72.9 Upaya pengobatan 4 16.0 5 14.7 9 15.2 1 Lainnya4 4.0 6 17.6 7 11.9 Total1 25 100 34 100 59 100 Keterangan: 1 Dari 59 subjek yang menyatakan pernah mengonsumsi temulawak. 2 Bentuk temulawak lainnya yang biasa dikonsumsi adalah perpaduan dari berbagai bentuk sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek. 3 Tempat lainnya yang dinyatakan oleh subjek untuk mendapatkan temulawak adalah tanaman di sekitar rumah (milik tetangga) dan perpaduan dari berbagai sumber sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek. 4 Tujuan lainnya yang dinyatakan oleh subjek untuk adalah hanya sekedar ingin mencoba, ingin meningkatkan nafsu makan, dan perpaduan dari berbagai tujuan sebelumnya yang telah disebutkan oleh subjek.
n
n
45
Pada subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin diketahui bahwa frekuensi konsumsi yang paling banyak adalah antara 4 – 8 kali per bulan serta manfaat terbanyak yang dirasakan dari konsumsi temulawak secara rutin adalah tubuh terasa lebih segar. Tujuan sebagian besar subjek yang rutin mengonsumsi temulawak adalah untuk menjaga kesehatan dengan bentuk terbanyak yang biasa dikonsumsi adalah minuman. Bentuk produk baru dari temulawak yang diharapkan oleh sebagian besar kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin adalah minuman instan. Tabel 6 Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin Peubah
n
Laki-laki %
Perempuan n %
Total n
% Frekuensi mengonsumsi temulawak (per bulan) < 4 kali 5 50.0 0 0 5 31.2 4 – 8 kali 3 30.0 6 100 9 56.3 > 8 kali 2 20.0 0 0 2 12.5 Total 10 100 6 100 16 100 Manfaat yang dirasakan Tubuh terasa lebih segar 5 50.0 1 16.7 6 37.5 Nafsu makan meningkat 2 20.0 2 33.3 4 25.0 Jarang sakit 2 20.0 1 16.7 3 18.8 1 Lainnya* 10.0 2 33.3 3 18.8 Total 10 100 6 100 16 100 Bentuk temulawak yang biasa dikonsumsi Minuman 7 70.0 5 83.3 12 75.0 Jamu 3 30.0 1 16.7 4 25.0 Total 10 100 6 100 16 100 Tujuan mengonsumsi temulawak Menjaga kesehatan 7 70.0 5 83.3 12 75.0 Upaya pengobatan 2 20.0 1 16.7 3 18.8 kesehatan dan pengobatan 1 10.0 0 0 1 6.2 Total 10 100 6 100 16 100 Bentuk produk baru temulawak yang diinginkan Minuman instan 7 70.0 3 50.0 10 62.5 Permen/camilan 1 10.0 1 16.7 2 12.5 Jamu 1 10.0 2 33.3 3 18.8 Obat/kapsul 1 10.0 0 0 1 6.2 Total 10 100 6 100 16 100 Keterangan: * Manfaat lainnya yang dirasakan subjek yaitu tubuh lebih segar, jarang sakit dan sakit maagnya sembuh (pada subjek laki-laki) dan tubuh segar serta tidak cepat lesu (subjek perempuan).
Informasi yang terkait dengan harapan subjek terhadap pengembangan temulawak sebagai pangan fungsional yang ditelusuri dalam penelitian adalah
46
mengenai bentuk produk pangan baru berbahan baku temulawak, kesediaan subjek untuk mengonsumsi produk baru berbahan baku temulawak, dan alasan subjek menerima produk baru tersebut. Data ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan produk baru berbahan baku temulawak Peubah
n
Laki-laki %
Perempuan n %
n
Total
% Bentuk produk baru temulawak yang diinginkan Minuman instan 15 37.5 18 46.2 33 41.8 Permen/camilan 12 30.0 11 28.2 23 29.1 Jamu 8 20.0 10 25.6 18 22.8 Obat/kapsul 5 12.5 0 0 5 6.3 Total 40 100 39 100 79 100 Kesediaan mengonsumsi produk baru dari temulawak Bersedia 38 95.0 35 89.7 73 92.4 Tidak bersedia 2 5.0 4 10.3 6 7.6 Total 40 100 39 100 79 100 Alasan untuk menerima produk baru temulawak Rasa khas temulawak 3 7.9 2 5.7 5 6.8 35 92.1 33 94.3 68 93.2 Manfaat kesehatan 38 100 35 100 74 100 Total* Keterangan: * Dari 73 subjek yang menyatakan bersedia untuk mengonsumsi produk baru dari temulawak
Sebagian besar subjek (41.8%) menginginkan bentuk produk baru yang dikembangkan dari temulawak adalah berbentuk minuman instan. Bentuk lain yang juga cukup banyak diinginkan oleh subjek adalah berbentuk cemilan atau permen. Sebanyak 92.4% subjek menyatakan bersedia untuk mengonsumsi produk baru tersebut dengan alasan yang terbanyak adalah karena manfaat kesehatan yang terkandung di dalamnya. Adanya harapan dan kesediaan subjek untuk mengonsumsi produk baru berbahan temulawak bisa jadi menunjukkan adanya peningkatan sikap positif terhadap temulawak. Peningkatan sikap positif terhadap temulawak juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain seperti adanya ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan konvensional, peningkatan biaya pelayanan kesehatan konvensional, adanya efek plasebo karena berbagai testimoni/pernyataan positif dari pengguna yang lain (Kennedy 2005), anjuran dari praktisi kesehatan konvensional, serta karena adanya rasa ketertarikan untuk mencoba (Tanaka et al. 2008).
47
Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa hampir seluruh subjek (96.2%) mengetahui bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka diketahui bahwa seluruh subjek perempuan (100%) dan 92.5% subjek laki-laki menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Jadi hanya ada 3 subjek yang menyatakan tidak tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan dan semuanya adalah subjek laki-laki. Adanya pengetahuan mengenai manfaat kesehatan pada temulawak kemungkinan diantaranya adalah karena pengalaman mengonsumsi. Hasil penelitian lain yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa perempuan yang mengonsumsi tanaman obat (dalam bentuk jamu) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (Gitawati & Handayani 2008; Balitbangkes 2010; Kennedy 2005; Tanaka, Gryzlak, Zimmerman, Nisly, & Wallace 2008) dan temulawak merupakan tanaman obat terbanyak ketiga yang digunakan (39.6%) setelah jahe dan kencur (Balitbangkes 2010). Oleh karena itu tidak mengherankan jika perempuan lebih banyak yang mengetahui bahwa temulawak bermanfaat bagi kesehatan dibandingkan laki-laki. Data lengkap yang menyatakan bahwa subjek mengetahui temulawak memiliki manfaat kesehatan serta sumber informasinya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan dan sumber informasinya Peubah
Laki-laki %
Perempuan n %
n
Total
% Tahu bahwa temulawak bermanfaat untuk kesehatan Ya, tahu 37 92.5 39 100.0 76 96.2 Tidak tahu 3 7.5 0 0 3 3.8 Total 40 100 39 100 79 100 Sumber informasi tentang manfaat kesehatan temulawak* Koran/majalah (media cetak) 8 21.6 4 10.2 12 15.8 Radio 2 5.4 0 0 2 2.6 Televisi 3 8.1 5 12.8 8 10.5 Keluarga/teman 18 48.6 24 61.5 42 55.3 Lainnya** 6 16.2 6 15.4 12 15.8 Total 37 100 39 100 76 100 Keterangan: * Berasal dari 76 subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak bermanfaat untuk kesehatan. ** Sumber informasi lainnya yang dinyatakan oleh subjek yaitu dokter, internet, penjual jamu, bungkus/kemasan jamu, seminar, jurnal ilmiah, serta gabungan dari berbagai sumber yang telah disebutkan oleh subjek lainnya.
n
48
Sumber informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak yang terbanyak (55.3%) bagi seluruh subjek adalah dari keluarga/teman. Sumber informasi berikutnya setelah keluarga/teman adalah dari media cetak dan sumber informasi lainnya (masing-masing sebesar 15.8%), berikutnya televisi (10.5%) dan yang paling sedikit dari radio (2.6%). Informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak dari radio memiliki persentase paling rendah kemungkinan karena saat ini masyarakat lebih banyak menonton televisi dibandingkan dengan mendengarkan radio. Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak berikutnya yang cukup besar adalah media cetak dan media lainnya karena media cetak ini mencakup majalah, koran, tabloid, maupun buku sedangkan media lainnya mencakup internet, bungkus/kemasan jamu, jurnal ilmiah, seminar, informasi dari dokter, serta gabungan dari berbagai media tersebut. Kedua kategori ini memiliki persentase yang lebih besar daripada radio dan televisi sebenarnya karena banyaknya jenis sumber informasi yang tercakup dalam kedua kelompok media tersebut. Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak yang lebih banyak dari keluarga/teman sesuai dengan penggunaannya selama ini dalam pengobatan tradisional. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kuntorini (2005), Karo-Karo (2009), dan Hendarini (2011) yang menunjukkan bahwa informasi mengenai tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional paling banyak bersumber dari keluarga/orang tua. Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan kepercayaan Survei tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri atas 16 pertanyaan tentang aspek manfaat kesehatan temulawak. Survei ini dilakukan hanya kepada 76 subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat kesehatan. Kuesioner untuk menilai pengetahuan manfaat kesehatan temulawak sebelumnya diuji validitas serta relibilitas dan berdasarkan hasil pengujian tersebut diperoleh nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.799. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai r tabel (0.497) pada taraf 5% sehingga kuesioner tersebut dinyatakan reliable. Hasil uji validitas menunjukkan ada lima pertanyaan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang tidak valid (nilai korelasi lebih rendah dari pada nilai r tabel
49
korelasi product moment). Lima pertanyaan pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang dinyatakan tidak valid adalah pertanyaan mengenai manfaat temulawak untuk memperlancar buang air besar, manfaat temulawak untuk menurunkan demam, manfaat temulawak dalam mengobati malaria, perbandingan manfaat kesehatan temulawak dan ginseng, serta manfaat temulawak yang tidak menyebabkan kegemukan karena nafsu makan menjadi tinggi. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa aspek manfaat kesehatan temulawak yang paling banyak dijawab dengan benar oleh subjek adalah mengenai manfaat temulawak untuk meningkatkan nafsu makan (93.4%) dan manfaat temulawak untuk ketahanan tubuh (92.1%), sedangkan yang paling sedikit dijawab benar adalah manfaat temulawak untuk mengobati penyakit ginjal (32.9%) dan mengobati gatal-gatal atau eksim (32.9%). Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika subjek dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Aspek manfaat kesehatan temulawak yang lebih banyak diketahui oleh subjek perempuan adalah tentang manfaat temulawak dalam mengembalikan kekejangan otot setelah melahirkan. Sebanyak 74.4% subjek perempuan dapat menjawab dengan benar pertanyaan ini sedangkan pada subjek laki-laki hanya 56.8% saja yang menjawab dengan benar. Hal ini kemungkinan karena perempuan yang akan atau pernah memanfaatkan temulawak untuk digunakan setelah persalinan sehingga perempuan lebih banyak yang tahu dibandingkan laki-laki bahwa temulawak juga dapat mengembalikan kekejangan otot setelah persalinan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Kuntorini (2005) yang menunjukkan bahwa temulawak dimanfaatkan setelah persalinan oleh 30% masyarakat jawa dan 31.3% masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) meskipun tujuannya adalah untuk membersihkan darah nifas, melancarkan peredaran darah, dan melancarkan haid. Manfaat temulawak dalam meningkatkan nafsu makan dan meningkatkan ketahanan tubuh merupakan manfaat kesehatan yang cukup dikenal masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Kuntorini (2005) yang menunjukkan bahwa pada masyarakat Jawa dan Banjar (Kalimantan Selatan), pemanfaatan temulawak yang cukup besar diantaranya adalah untuk peningkatan nafsu makan dan menjaga kondisi/ketahanan tubuh. Selain itu, keberadaan produk-produk suplemen untuk perbaikan nafsu makan berbahan temulawak yang disertai dengan
50
gencarnya
promosi
produk
tersebut
juga
turut
memberi
andil
dalam
mempopulerkan manfaat temulawak sebagai peningkat nafsu makan dan menjaga kondisi kesehatan tubuh. Data sebaran subjek yang mampu menjawab dengan benar beberapa aspek manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan Manfaat kesehatan temulawak Meningkatkan nafsu makan Meningkatkan ketahanan tubuh Mempercepat proses penyembuhan luka Mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin/melahirkan Mengobati sakit maag Mengobati penyakit ginjal Mengobati sakit kencing Mengobati gatal-gatal atau eksim Mengobati peradangan dalam perut maupun kulit Mengobati sakit perut Mengobati sakit hati/penyakit kuning
Laki-laki n % 34 91.9 34 91.9 17 45.9
Perempuan n % 37 94.9 36 92.3 11 28.2
Total n % 71 93.4 70 92.1 28 36.8
21
56.8
29
74.4
50
65.8
19 12 19 10 23 23 20
51.4 32.4 51.4 27.0 62.2 62.2 54.1
23 13 14 15 20 27 24
59.0 33.3 35.9 38.5 51.3 69.2 61.5
42 25 33 25 43 50 44
55.3 32.9 43.4 32.9 56.6 65.8 57.9
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa subjek perempuan memiliki rata-rata skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang lebih tinggi (58.0 ± 25.8) dibandingkan dengan subjek laki-laki (57.0 ± 28.3) meskipun skor tersebut masih dalam kategori kurang dari 60. Meskipun demikian, hasil uji T saling bebas menunjukkan bahwa rata-rata skor tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.867) dan uji chi-square dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak (p > 0.05). Data lengkap mengenai tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan jenis kelamin Tingkat pengetahuan Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total Rata-rata ± SD Uji chi-square
Laki-laki n % 21 56.8 8 21.6 8 21.6 37 100 57.0 ± 28.3
Perempuan n % 22 56.4 6 15.4 11 28.2 39 100 58.0 ± 25.8 p = 0.694
Total n % 43 56.6 14 18.4 19 25.0 76 100 57.5 ± 26.9
Uji beda p = 0.867
51
Berdasarkan tingkat pendidikannya diketahui bahwa subjek yang berasal dari kelompok tingkat pendidikan tinggi memiliki rata-rata skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang lebih rendah (49.1 ± 26.3) dibandingkan dengan subjek yang berasal dari kelompok pendidikan rendah (66.9 ± 24.5). Ratarata skor pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada subjek kelompok pendidikan rendah sudah termasuk pada kategori sedang. Jika dicermati lebih rinci juga diketahui bahwa pada kelompok subjek pendidikan rendah, persentase subjek yang memiliki skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak baik (> 80) lebih besar dibandingkan dengan dengan subjek kelompok pendidikan tinggi sementara persentase subjek dengan skor pengetahuan kurang (< 60) lebih kecil dibandingkan pada subjek kelompok pendidikan tinggi. Hasil uji chi-square dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak (p < 0.05) dan hasil uji T saling bebas menunjukkan bahwa skor pengetahuan manfaat kesehatan temulawak pada subjek berpendidikan tinggi dan subjek berpendidikan rendah berbeda nyata (p = 0.003). Data lengkap mengenai tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan tingkat pendidikan Rendah n % Kurang (skor < 60) 15 41.7 Sedang (skor 60 – 80) 7 19.4 Baik (skor > 80) 14 38.9 Total 36 100 Rata-rata ± SD 66.9 ± 24.5 Uji chi-square p = 0.018* Keterangan: *Berhubungan nyata pada α = 0.05 **Berbeda nyata pada α = 0.05 Tingkat pengetahuan
Tinggi n % 28 70.0 7 17.5 5 12.5 40 100 49.1 ± 26.3
Total n % 43 56.6 14 18.4 19 25.0 76 100 57.5 ± 26.9
Uji beda p = 0.003**
Data RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa konsumen jamu dan obatobatan tradisional lebih banyak pada kelompok pendidikan rendah (60%) daripada kelompok pendidikan tinggi. Data tersebut mendukung hasil penelitian ini karena informasi mengenai manfaat kesehatan temulawak yang kemungkinan diperoleh dari pengalaman mengonsumsi dan lebih banyak didapat secara turun temurun melalui keluarga tentu akan lebih banyak dimiliki oleh orang dewasa dengan
52
kemampuan sosial ekonomi menengah ke bawah dan tingkat pendidikan rendah sementara kelompok orang dewasa dengan kemampuan sosial ekonomi menengah ke atas dan tingkat pendidikannya tinggi akan mengakses pelayanan kesehatan konvensional (dokter, klinik, dan rumah sakit). Hasil ini bertolak belakang jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kennedy (2005) maupun Tanaka et al. (2008) di US yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara status sosial ekonomi dengan penggunaan jamu atau obat tradisional. Hal ini kemungkinan karena di negara maju pemahaman masyarakat terhadap jamu dan obat tradisional sudah lebih baik sehingga penerimaan masyarakat (khususnya dari kelompok pendidikan tinggi) jadi lebih positif. Kemungkinan mengenai penyebaran pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan terjadi secara turun temurun melalui keluarga serta melalui pengalaman diperkuat dengan lebih besarnya persentase subjek yang memiliki tingkat pengetahuan baik (skor > 80) pada kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin dibandingkan dengan subjek yang tidak mengonsumsi temulawak secara rutin. Selain itu ratarata skor pengetahuan subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin juga lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak mengonsumsi secara rutin meskipun tidak berbeda nyata (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak Tingkat pengetahuan Kurang (skor < 60) Sedang (skor 60 – 80) Baik (skor > 80) Total Rata-rata ± SD
Rutin n % 9 56.3 1 6.2 6 37.5 16 100 62.5 ± 23.9
Tidak Rutin n % 24 55.8 10 23.3 9 20.9 43 100 56.6 ± 27.7
Total n % 33 55.9 11 18.6 15 25.4 59 100 58.2 ± 26.6
Uji beda p = 0.459
Pengembangan Minuman Instan Temulawak Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu Temulawak yang digunakan untuk pembuatan minuman temulawak berasal dari Kebun Percobaan Balittro, di Cicurug yang dipanen saat umur 10 bulan. Rimpang temulawak tersebut diproduksi dengan menerapkan SOP/Standart Operational Practices budidaya temulawak (Rahardjo & Rostiana 2009),
53
sehingga bahan yang digunakan juga memenuhi kriteria standar Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Collection Pratices (GACP) sesuai ketentuan WHO (2003). Proses yang dilakukan setelah rimpang temulawak diperoleh adalah pembuatan simplisia temulawak. Rimpang temulawak dicuci bersih dan dirajang dengan ketebalan antara 7 – 8 mm kemudian dikeringkan. Rimpang yang telah kering/simplisia diblender sehingga dihasilkan bubur temulawak. Selanjutnya ke dalam bubur ditambahkan pelarut etanol 96% (1:5) kemudian diekstrak dengan ekstraktor selama 4 jam. Selanjutnya bahan disaring menggunakan kertas saring dan dihasilkan sari/filtrat yang selanjutnya diuapkan menggunakan alat rotavapor sehingga dihasilkan ekstrak kental rimpang temulawak. Jumlah simplisia yang digunakan dalam proses tersebut adalah sebanyak 12.25 kg sedangkan ekstrak kental yang dihasilkan adalah sebanyak 2600 ml. Pembuatan ekstrak kering temulawak dilakukan dengan menggunakan spray dryer. Pada tahap ini, ekstrak kental diencerkan terlebih dulu dan ditambahkan bahan pengisi (maltodekstrin). Pengenceran dan penambahan maltodekstrin dilakukan terkait dengan kemampuan alat spray dryer yang digunakan dan juga untuk memperbaiki terkstur ekstrak sebelum proses pengeringan. Pengenceran ekstrak kental dilakukan dengan perbandingan 1:9 sedangkan maltodekstrin yang ditambahkan sebanyak 35% dari bahan encer. Besarnya pengenceran dan maltodekstrin yang ditambahkan diketahui melalui proses trial and error yang telah dilakukan sebelumnya. Perbandingan air dan maltodekstrin sebanyak ini menghasilkan ekstrak kering terbaik yang ditandai dengan bentuk ekstrak kering yang halus dan tidak melekatnya hasil ekstrak di dinding alat spray dryer. Total ekstrak kering temulawak yang dihasilkan dari proses ini adalah sebanyak 499.39 gram. Proses pengenceran dilakukan secara bertahap (sebanyak lima kali) karena terkait dengan kemampuan stirrer/pengaduk serta wadah untuk pencampuran yang tersedia. Jadi setiap pengenceran terdiri atas 520 ml ekstrak kental temulawak dan 4300 ml air (total volume cairan 5000 ml). Diasumsikan berat jenis campuran tersebut adalah 1 sehingga berat maltodekstrin yang digunakan adalah:
54
Berat maltodekstrin (5 kali pengenceran) =
Berdasarkan berbagai proses pengolahan yang dilakukan maka besarnya rendemen dari ekstrak kering temulawak dapat diketahui dengan menggunakan formula berikut : Rendemen (%) = =
= 2.38%
Pengamatan mutu pada simplisia dan ekstrak kering dilakukan untuk memastikan bahwa bahan yang digunakan sesuai dengan standar serta memastikan kandungan xanthorrhizol dalam ekstrak temulawak yang akan diuji klinis. Uji laboratorium pengamatan mutu pada simplisia dan ekstrak kering dilakukan oleh laboratorium Balittro, Kementerian Pertanian RI. Berdasarkan uji mutu simplisia dan ekstrak kering yang telah dilakukan diketahui bahwa karakter simplisia yang digunakan telah memenuhi persyaratan standar mutu simplisia (Materia Medika Indonesia/MMI 1979). Data karakteristik hasil uji mutu simplisia dan ekstrak kering temulawak disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak Karakteristik Kadar air Kadar abu Kadar abu tak larut asam Kadar sari dalam air Kadar sari dalam alkohol Kadar kurkumin Kadar xanthorrhizol
HasilPengujian (%) Simplisia Ekstrak kering 5.99 4.0 4.59 0.43
Destilasi SNI 01-3709-1995
Standar Simplisia* < 12 3–7
SNI 01-3709-1995
1.54
Metode pengujian
1.54
0
17.21
78.35
Gravimetri
17.21
14.07
35.19
Gravimetri
14.07
1.45 1.02
0.70 1.89
Spektrophotometri HPLC
0.02 - 2 -
Keterangan : Laboratorium Balittro (2010) dan Standar * (MMI 1979)
Formulasi minuman instan temulawak Jumlah ekstrak kering temulawak yang harus diberikan dalam intervensi ditentukan berdasarkan jumlah xanthorrhizol yang harus diberikan. Hal ini
55
didasari dari penelitian Chung et al. (2007) bahwa pada orang yang obes terjadi peradangan kronis yang perlu ditekan karena meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi dan hasil penelitian Lee et al. (2002) serta Kim et al. (2007) yang menunjukkan bahwa xanthorrhizol yang terkandung dalam temulawak mampu memberikan efek penurunan peradangan serta menginduksi aktivitas sistem imun. Besarnya dosis xanthorrhizol yang dapat memberikan efek penekanan peradangan didasarkan pada hasil penelitian Kertia et al. (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah minyak atsiri dalam temulawak yang dapat memberikan efek penurunan inflamasi adalah sebesar 25 mg dengan kandungan xanthorrhizol dalam minyak atsiri tersebut sebesar 27.64 ± 0.85%. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yulianti (2010) menunjukkan bahwa kandungan xanthorrizol dalam minyak atsiri berkisar antara 1.26 – 42.82%. Hasil penelitian Kertia et al. (2005) dan Yulianti (2010) digunakan sebagai pendekatan dalam menentukan kandungan xanthorrhizol dalam minyak atsiri temulawak, sehingga kandungan xantorrhizol dalam minyak atsiri menjadi:
Besarnya kandungan xanthorrhizol dalam kapsul penelitian Kertia et al. (2005) berdasarkan pendekatan hasil penelitian Kertia et al. (2005) dan Yulianti (2010) adalah:
Berdasarkan hasil uji mutu dan karakteristik yang telah dilakukan diketahui bahwa kadar xanthorrhizol dalam ekstrak kering temulawak adalah 1.89% (gram/100 gram). Jadi jumlah ekstrak kering temulawak agar mengandung 8.81 mg xanthorrhizol adalah sebesar:
Jumlah ini dikurangi menjadi 0.40 gram atau 400 mg untuk memperkuat hipotesis bahwa meskipun diberikan dengan jumlah yang lebih rendah, xanthorrhizol dalam minuman serbuk temulawak ini tetap mampu memberikan efek penurunan inflamasi.
56
Berat ekstrak kering temulawak sebesar 0.4 gram/400 mg masih terlalu kecil sehingga akan mempersulit pembagian dalam sachet dan juga proses pengemasan. Jika melihat berbagai produk minuman instan yang sudah ada di pasaran, maka beratnya berkisar antara 8 sampai 25 gram. Oleh karena itu untuk minuman instan temulawak perlu ditambah dengan bahan pengisi yang terdiri atas maltodekstrin dan perasa (pemanis, garam, dan asam sitrat). Berat bahan pengisi untuk maltodekstrin, garam, dan asam sitrat yang ditambahkan berturut-turut adalah 2 gram, 0.1% (per volume larutan), dan 0.3% (per volume larutan). Pemanis yang ditambahkan terdiri atas gula tepung dan sukralosa. Jumlah gula tepung dibatasi hanya 10 gram per sachet agar produk minuman instan ini tetap dapat dikatakan rendah kalori (10 g gula tepung = 36.4 kkal). Suatu produk pangan dapat dikatakan sebagai produk rendah kalori jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji (Commission Regulation EU 2006). Sukralosa yang ditambahkan dibuat menjadi empat taraf, yaitu 10%, 15%, 20%, dan 25%. Berdasarkan komposisi tersebut maka formula minuman instan temulawak yang akan diuji organoleptik menjadi empat formula dengan rincian seperti yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi formula minuman instan temulawak Komposisi Tepung temulawak (g) Maltodekstrin (g) Garam (0.10%; g) Asam sitrat (0.30%; g) Pemanis : Gula (5%; g) Sukralosa (pemanis 20%; g) Berat (per kemasan; g)
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
0.4 2 0.2 0.6
0.4 2 0.2 0.6
0.4 2 0.2 0.6
0.4 2 0.2 0.6
10 0.014 13.214
10 0.028 13.228
10 0.043 13.243
10 0.057 13.257
Keterangan: Nilai % adalah persentase terhadap berat total minuman setelah ditambahkan air dalam anjuran (200 gram)
Uji organoleptik panelis umum Uji organoleptik merupakan tanggapan pribadi tentang kesukaan atau ketidaksukaan pada suatu produk yang diujikan yang disertai dengan tingkatannya (nilai) (Hardinsyah et al. 2009). Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian
57
ini adalah uji tingkat kesukaan atau uji hedonik dan uji mutu hedonik produk minuman instan temulawak yang dibuat dengan empat formula yang berbeda. Uji organoleptik dengan panelis umum dilakukan pada parameter warna, aroma, rasa, kekentalan, dan penampilan keseluruhan produk. Jumlah panelis yang dilibatkan dalam uji ini sebanyak 32 orang yang terdiri atas 14 panelis lakilaki dan 18 panelis perempuan. Kriteria uji hedonik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala 1 - 9, yaitu 1 (amat sangat tidak suka), 2 (sangat tidak suka), 3 (tidak suka), 4 (agak tidak suka), 5 (biasa), 6 (agak suka), 7 (suka), 8 (sangat suka), dan 9 (amat sangat suka). Selanjutnya untuk mengetahui besarnya persen penerimaan skala tersebut dipersempit lagi hanya menjadi dua kategori yaitu menerima dan tidak menerima. Tidak menerima jika nilainya 1 (amat sangat tidak suka) sampai 4 (agak tidak suka) dan dikategorikan menerima jika nilainya 5 (biasa) sampai 9 (amat sangat suka). a. Warna Produk minuman instan temulawak sebenarnya berbentuk serbuk dalam kemasan sachet yang jika akan dikonsumsi dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air. Pada saat uji organoleptik dilakukan, produk yang disajikan kepada panelis sudah berbentuk minuman yang berwarna kuning. Warna kuning pada minuman instan temulawak disebabkan karena kandungan pigmen warna kurkuminoid (Istafid 2006; Sembiring, Ma’mun, & Ginting 2006), yang merupakan unsur non zat gizi yang berwarna kuning dan bersifat aromatik, sehingga dalam bidang pangan dapat digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman.
Gambar 9 Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan panelis umum
58
Warna merupakan salah satu parameter organoleptik utama yang dapat menentukan mutu suatu produk pangan. Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang paling diterima oleh panelis adalah warna produk yang dibuat dengan Formula 2. Warna produk ini diterima oleh 81.3% panelis. Hasil uji hedonik terhadap warna minuman instan temulawak disajikan pada gambar 9. Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter warna diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut berbeda nyata (p = 0.01), dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari keempat produk minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 2 berbeda nyata dengan penerimaan terhadap Formula 3 dan 4. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. b. Aroma Aroma merupakan salah satu kriteria yang penting bagi konsumen dalam memilih produk pangan yang disukai. Jika aroma suatu bahan pangan/makanan semakin enak maka konsumen juga akan semakin menyukai produk pangan tersebut (Winarno 2002; Hardinsyah et al. 2009). Berdasarkan alasan tersebut maka uji hedonik untuk parameter aroma minuman instan temulawak dilakukan. Produk minuman instan temulawak memiliki aroma segar serta menyengat/tajam yang khas yang disebabkan karena kandungan kurkuminoid (Istafid 2006; Sembiring, Ma’mun, & Ginting 2006). Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang memiliki persen penerimaan paling besar adalah produk dengan Formula 2 dan Formula 4, yaitu sama-sama diterima oleh 59.4% panelis. Hasil uji hedonik terhadap aroma minuman instan temulawak disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan panelis umum
59
Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter aroma diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.779) dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. c. Rasa Rasa adalah parameter selain aroma yang akan sangat menentukan penerimaan suatu produk pangan pada konsumen (Hardinsyah et al. 2009). Meskipun suatu produk memiliki aroma yang menarik tetapi apabila rasanya tidak disukai maka akan membuat produk tersebut sulit diterima (Suharyono 2007). Oleh karena itu, penilaian terhadap rasa suatu produk pangan menjadi sangat penting karena tidak jarang rasa yang akan menentukan penerimaan akhir konsumen terhadap produk pangan tersebut. Hasil uji hedonik terhadap rasa minuman instan temulawak menunjukkan bahwa yang memiliki persen penerimaan terbesar adalah produk yang dibuat dengan Formula 4 (diterima oleh 81.3% panelis) sedangkan yang memiliki persen penerimaan terendah adalah produk dengan Formula 1 (diterima oleh 25% panelis). Data lebih lengkap mengenai persen penerimaan terhadap rasa minuman instan temulawak disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan panelis umum
60
Berdasarkan uji kesukaan diketahui bahwa sebagian besar panelis lebih menyukai produk dengan rasa yang cenderung manis dari pada rasa tajam/pahit. Rasa pahit pada produk minuman instan temulawak ini juga disebabkan karena kurkuminoid dan kadar kurkuminoid yang masih layak atau dapat ditoleransi yaitu antara 0.0737% sampai 0.0746% (Istafid 2006). Uji ANOVA untuk parameter rasa diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut berbeda nyata (p = 0.000) dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari keempat produk minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 4 berbeda nyata sedangkan antara Formula 3 dan 4 tidak berbeda nyata. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil ini memperkuat uji organoleptik dengan panelis terbatas yang telah dilakukan sebelumnya bahwa yang memiliki kemungkinan terbesar untuk diterima dan dikonsumsi adalah produk dengan Formula 3 dan 4. Perbedaan hasil antara uji organoleptik dengan panelis terbatas dan umum kemungkinan karena perbedaan kelompok umur dan kebiasaan yang akan mempengaruhi preferensi rasa produk pangan. Rasa produk dengan Formula 4 cenderung lebih manis dibandingkan produk Formula 3 karena kadar pemanis yang lebih besar. d. Kekentalan Produk minuman instan diharapkan memiliki tingkat kekentalan yang lebih rendah dari pada produk sirup karena perbedaan kepekatan zat terlarut di dalamnya. Hal ini melatarbelakangi perlunya pengujian organoleptik untuk parameter kekentalan minuman instan. Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang memiliki persen penerimaan paling besar adalah produk dengan Formula 1 yaitu diterima oleh 78.1% panelis. Hasil uji hedonik terhadap kekentalan minuman instan temulawak disajikan pada gambar 12. Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter kekentalan diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.123) dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
61
Gambar 12 Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik dengan panelis umum e. Keseluruhan Penilaian keseluruhan merupakan penilaian gabungan atau hasil akumulasi yang diberikan oleh panelis terhadap suatu produk pangan berdasarkan berbagai penilaian mutu hedonik sebelumnya. Jadi jika pada penilaian mutu hedonik sebelumnya (warna, aroma, rasa, dan kekentalan) panelis menyatakan suka maka daya terimanya juga akan baik. Data hasil uji hedonik untuk penilaian keseluruhan minuman instan temulawak dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa yang memiliki persen penerimaan tertinggi adalah produk dengan Formula 4. Poduk ini diterima oleh 62.5% panelis. Uji ANOVA untuk penilaian keseluruhan menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata (p = 0.212) Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
62
Berdasarkan uji organoleptik ini diketahui bahwa meskipun produk dengan Formula 4 memiliki persen penerimaan tertinggi tetapi sebenarnya tidak berbeda nyata dengan formula yang lain, sehingga untuk keperluan intervensi perlu dilakukan uji organoleptik dengan panelis terbatas yang memiliki karakteristik mendekati karakteristik sasaran intervensi (kelompok dewasa). Formula produk yang akan digunakan dalam intervensi ditentukan berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik dengan panelis terbatas dan panelis umum. f. Uji mutu hedonik Uji mutu hedonik dilakukan pada minuman instan temulawak dengan formula yang paling disukai, yaitu pada formula 3 dan 4. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penilaian mutu untuk formula 3 dan 4 ini hampir sama. Secara sederhana dapat dilihat dari Gambar 14 yang menunjukkan grafik radar formula 3 dan 4 yang saling berhimpitan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa warna yang disukai dari minuman instan temulawak yaitu kuning terang khas temulawak. Aroma yang disukai adalah aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam, kepekatan cairan yang disukai adalah yang cenderung encer, sedangkan rasa yang disukai adalah yang tidak terlalu manis. Kuning terang khas temulawak
Tidak terlalu manis
Aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam
Cenderung encer/cair
Gambar 14 Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman instan temulawak
63
Berdasarkan hasil uji organoleptik panelis terbatas dan panelis umum maka formula minuman instan temulawak yang terpilih untuk digunakan dalam uji klinis adalah formula 3 dengan berat yang berat tiap sachetnya adalah sebesar 13.24 gram. Uji organoleptik panelis terbatas Uji organoleptik dengan panelis terbatas dilakukan hanya pada parameter rasa produk. Uji ini dilakukan untuk memperkuat/mengonfirmasi hasil uji organoleptik yang dilakukan dengan panelis umum. Jumlah panelis yang dilibatkan dalam uji ini hanya 7 (tujuh) orang yang seluruhnya merupakan anggota tim peneliti beserta asisten. Berdasarkan hasil organoleptik yang telah dilakukan diketahui bahwa produk yang paling banyak diterima adalah produk dengan formula 3 (pemanis 20%). Produk yang memiliki persen penerimaan tertinggi adalah produk dengan Formula 3, dengan persen penerimaan sebesar 85.7%. Hasil analisis secara deskriptif berdasarkan uji yang telah dilakukan disajikan pada Gambar 15 berikut.
Gambar 15 Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas
Gambar 16 Minuman instan temulawak dengan formula terpilih
64
Besarnya persen penerimaan dari uji organoleptik yang telah dilakukan menjadi dasar untuk menentukan formula produk minuman instan temulawak yang digunakan dalam uji klinis. Berdasarkan hasil tersebut maka ditentukan bahwa formula 3 (pemanis 20%) merupakan formula minuman instan temulawak yang digunakan dalam uji klinis dengan foto produk disajikan pada Gambar 16. Uji Klinis Minuman Instan Temulawak Pelaksanaan uji klinis Ada beberapa faktor yang terkait dengan keberhasilan penelitian yang menggunakan desain kuasi eksperimental (pre dan post test desain) atau dalam hal ini uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh. Pada desain penelitian sudah dipertimbangkan berbagai hal, termasuk dalam pemilihan subjek, metode pengukuran untuk minimalisasi bias, formulasi minuman instan temulawak, sampai dengan upaya penjaminan kepatuhan subjek, meskipun hasilnya terkadang tidak selalu seperti yang diformulasikan pada hipotesis. Menurut Yu dan Ohlund (2010) kesesuaian hipotesis dengan hasil penelitian dengan desain kuasi eksperimental (pre dan post test desain) diantaranya dipengaruhi oleh: 1) jangka waktu intervensi, 2) metode pengukuran yang digunakan, 3) tingkat kepatuhan atau compliance, dan 4) keberadaan peubah pengganggu atau confounding factor yang tidak terkontrol karena tidak adanya pengacakan dan kelompok kontrol. Minuman instan temulawak yang telah dikembangkan diberikan pada subjek untuk diminum setiap hari selama dua minggu/14 hari berturut-turut. Pertimbangan lama waktu intervensi selama dua minggu dan dosis 400 mg/hari ekstrak temulawak didasarkan pada dosis dan lama waktu yang memberikan efek penurunan inflamasi (Kertia et al. 2005). Berat minuman instan temulawak yang diberikan untuk setiap subjek per hari adalah 13.24 gram. Setiap subjek akan mengonsumsi serbuk temulawak ini yang sebelumnya dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air dingin untuk menghindari kerusakan bahan aktif (xanthorrhizol). Yulianti (2010) menyatakan bahwa xanthorrhizol memiliki sifat sensistif terhadap panas dan peningkatan suhu akan mengakibatkan terjadinya kerusakan terhadap xanthorrhizol.
65
Jumlah subjek yang ditentukan dalam desain di awal penelitian dengan mempertimbangkan adanya subjek yang drop out (tambahan 20%) adalah sebanyak 24 orang. Jumlah subjek yang terkumpul saat kegiatan penjelasan awal dan intervensi hari pertama hanya sebanyak 21 orang dan jumlah ini bertahan sampai kegiatan uji klinis berakhir sehingga total subjek untuk uji klinis menjadi 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Jumlah ini (21 subjek) masih lebih besar dari jumlah subjek minimum yang ditetapkan dalam desain (20 subjek). Subjek mengonsumsi minuman instan temulawak yang dibagikan setiap pagi hari di tempat kerja subjek (gedung Rektorat IPB). Saat pembagian minuman instan yang dilakukan pagi hari, ada subjek yang tidak dapat ditemui langsung karena sedang tidak ada di tempat/masih dalam perjalanan. Minuman instan temulawak bagi subjek tersebut dititipkan kepada subjek lain yang ruang/tempat kerjanya berdekatan untuk memudahkan dan memastikan diterima serta diminum oleh subjek. Penjaminan kepatuhan subjek dilakukan dengan mengupayakan agar minuman instan temulawak langsung diminum di depan peneliti saat baru dibagikan. Selain itu disediakan pula form kepatuhan (compliance) yang dibagikan kepada seluruh subjek. Harun, Putra, Chair, dan Sastroasmoro (2008) menyebutkan bahwa kepatuhan subjek diantaranya dipengaruhi oleh lamanya intervensi, sifat bahan yang diintervensikan (rasa, jumlah, efek samping), biaya, penjelasan sebelum intervensi, sikap dan cara pendekatan terhadap subjek lokasi, dan karakteristik subjek. Ketidakpatuhan subjek dalam uji klinis minuman instan temulawak ini dapat diminimalkan dengan pemberian pengertian mengenai tujuan dan cara penelitian, penjelasan dosis dan cara konsumsi minuman instan temulawak, serta pengawasan khususnya saat intervensi dilaksanakan. Hasil pengamatan selama kegiatan intervensi menunjukkan bahwa seluruh subjek (100%) patuh mengonsumsi minuman instan temulawak dan sebagian besar (81.0%) meminumnya pagi hari saat baru dibagikan. Seluruh subjek mengonsumsi minuman instan temulawak dalam waktu yang teratur. Tingkat kepatuhan subjek tinggi dalam uji klinis ini tinggi sehingga dampak minuman instan temulawak terhadap uji klinis tidak dipengaruhi oleh rendahnya tingkat
66
kepatuhan. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman instan temulawak disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk temulawak Laki-laki n % 6 85.1 0 0 1 14.3 7 100
Waktu Pagi Siang Sore Total
Perempuan n % 11 78.6 3 21.4 0 0 14 100
Total n 17 3 1 21
% 81.0 14.3 4.7 100
Briawan (2008) menyatakan bahwa kepatuhan merupakan faktor penting dalam kegiatan penelitian intervensi dan metode penjaminan kepatuhan dengan pengawasan langsung serta pencatatan laporan (self reported) sudah cukup banyak digunakan oleh peneliti lain. Karakteristik subjek uji klinis Subjek yang terlibat dalam kegiatan uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh dipilih berdasarkan kriteria inklusi berusia dewasa dan memiliki status gizi obes. Jumlah subjek yang terlibat sampai kegiatan uji klinis selesai adalah sebanyak 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Berdasarkan rata-rata umurnya, antara subjek laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata dan secara keseluruhan rata-rata umur subjek adalah 44.1 ± 6.4 tahun dengan subjek yang paling muda berumur 29 tahun sedangkan yang paling tua berumur 54 tahun. Data sebaran subjek berdasarkan kelompok umurnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur Kelompok umur 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total Rata-rata ± SD
Laki-laki n % 0 0 100 7 0 0 100 7 43.6 ± 2.1
Perempuan n % 7.1 1 57.1 8 35.7 5 100 14 44.4 ± 7.9
Total n % 4.8 1 71.4 15 23.8 5 100 21 44.1 ± 6.5
Uji beda p = 0.732
Penentuan status gizi subjek uji klinis dilakukan dengan menggunakan IMT. Selain itu dilakukan pula pengukuran lingkar pinggang dan panggul sehingga bisa diketahui status obesitas sentral (berisiko mengalami penyakit
67
degeneratif) pada subjek yang terlibat dalam uji klinis. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa subjek yang terlibat memang benar-benar mengalami kelebihan berat badan serta memiliki akumulasi lemak yang tinggi di bagian rongga abdomen sebagai penyebab berbagai komplikasi dan gangguan metabolisme dalam tubuh (Septina, Purba, & Hartriyanti 2010). Berdasarkan nilai IMT, diketahui bahwa seluruh subjek sudah terkategori obes (IMT > 27.0) dengan IMT subjek yang paling rendah sebesar 27.7. Rata-rata IMT untuk seluruh subjek adalah 31.1 ± 2.3 sedangkan jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka rata-rata IMT pada subjek laki-laki sebesar 30.5 ± 2.3 dan pada subjek perempuan sebesar 31.5 ± 2.3. Seluruh subjek juga sudah terkategori mengalami obesitas sentral dengan risiko penyakit degeneratif tinggi dengan rata-rata RLPP sebesar 0.9 ± 0.1. Data lengkap mengenai sebaran subjek berdasarkan IMT dan RLPP disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) Kategori status gizi subjek
Laki-laki n %
Perempuan n %
Total n
%
2
Indeks Massa Tubuh/IMT (kg/m ) 27 – 29.9 3 42.9 5 35.8 8 38.1 ≥ 30 4 57.1 9 64.2 13 61.9 Total 7 100 14 100 21 100 Rata-rata ± SD 30.5 ± 2.3 31.5 ± 2.3 31.1 ± 2.3 Rasio lingkar pinggang panggul/RLPP* Risiko sedang 2 28.6 0 0 2 9.5 Risiko tinggi 5 71.4 14 100 19 90.5 Total 7 100 14 100 21 100 Rata-rata ± SD 1.0 ± 0.1 0.9 ± 0.0 0.9 ± 0.1 Keterangan: * Laki-laki, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.90; risiko tinggi jika RLPP > 0.90 sedangkan perempuan, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.80; risiko tinggi jika RLPP > 0.80 (Sumber: Septina, Purba, Hartriyanti 2010)
Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi Total sel limfosit merupakan gabungan dari jumlah sel T, sel B, dan sel NK. Pada tubuh manusia limfosit diproduksi di sumsum tulang, kelenjar timus, limpa, kelenjar getah bening (tersebar sepanjang pembuluh darah), dan amandel (Vander, Sherman, & Luciano 1998). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah limfosit baik sebelum intervensi maupun setelah
68
intervensi tersebar normal (p > 0.05), meskipun jika dilihat sekilas pada grafik box-plot (Gambar 17) seolah data cenderung menyebar ke atas/skew positif, terutama pada saat sebelum intervensi. Pada grafik box-plot dapat diketahui bahwa tidak ada subjek yang memiliki jumlah limfosit ekstrim (sangat kecil maupun sangat besar) baik sebelum dilakukan intervensi maupun setelah intervensi. 4500 4500
4254
4161
4000 4000
3511
3500 3500
Limfosit Total
Sel/µL
3119
3000 3000
2813
2797 2500 2500
2306
2166
2000 2000
1734
1677 1500 1500
Sebelum 1intervensi
fase
2 Setelah intervensi
Gambar 17 Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah total sel limfosit sebelum intervensi adalah sebesar 2773.4 ± 660.8 sel/µL dengan selang antara 1677 – 4161 sel/µL. Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, ada peningkatan rata-rata jumlah total sel limfosit sebesar 100.3 sel/µL atau ada peningkatan sebesar 3.6%, sehingga rata-rata total sel limfosit menjadi 2874.2 ± 755.4 sel/µL dengan selang antara 1734 – 4254 sel/µL. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% menunjukkan bahwa peningkatan total sel limfosit setelah intervensi tidak signifikan (p = 0.370). Data lengkap mengenai jumlah rata-rata dan selisih/Δ total sel limfosit antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Sebelum intervensi (sel/µL) Setelah intervensi (sel/µL) Selisih/Δ (sel/µL) % Selisih (%Δ)
Rata-rata 2773.9 2874.2 100.3
± SD ± 660.8 ± 755.4 ± 101.2 3.6
Uji beda p = 0.370
69
Baratawidjaja dan Rengganis (2009) menyatakan bahwa pembentukan sel limfosit (sebagai bagian dari sel darah putih) pada manusia telah dimulai sejak janin dalam yolk sac berusia beberapa minggu. Pada tahap awal tersebut, sel induk hematopoietik kemudian berdiferensiasi menjadi sel eritroid primitif yang mengandung hemoglobin yolk sac. Sel induk hematopoietik bermigrasi dari yolk sac ke hati janin dan selanjutnya mengkolonisasi limpa. Proses hematopoiesis yang terjadi pada kedua organ tersebut berlangsung saat janin berusia tiga sampai dengan tujuh bulan. Setelah itu, proses diferensiasi sel hematopoietik akan dilakukan dalam sumsum tulang dan berlangsung terus menerus (sel matang diproduksi dengan kecepatan yang sama dengan kematiannya). Peningkatan jumlah limfosit setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 belas hari yang tidak signifikan kemungkinan terjadi karena apoptosis atau kematian sel yang terprogram sebagai bagian dari proses hematopiesis. Proses apoptosis memiliki peran penting dalam mempertahankan jumlah progenitor hematopoietik yang benar untuk eritrosit serta berbagai jenis leukosit dan setiap sel memiliki masa hidup yang berbeda. Sebagai gambaran, berbagai limfosit memiliki masa hidup antara satu hari (neutrofil) dan ada yang sampai 20 – 30 tahun untuk beberapa sel T (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Penelitian
Nieman,
Henson,
Nehlsen-Cannarella,
Ekkens,
Utter,
Butterworth, dan Fagoaga (1999) serta Womack, Tien, Feldman, Shin, Fennie, Anastos et al. (2007) menunjukkan bahwa peningkatan berat badan berhubungan dengan peningkatan jumlah limfosit, CD4, CD8, dan jumlah leukosit. Pada penelitian Nieman et al. (1999) diketahui bahwa rata-rata orang obes memiliki jumlah limfosit 2110 sel/µL sedangkan hasil penelitian Womack et al. (2007) menunjukkan bahwa median total limfosit orang obes adalah 2064 sel/µL. Ratarata (2773.9 sel/µL) maupuan median (2797 sel/µL) total limfosit subjek sebelum intervensi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Womack et al. (2007). Jumlah total limfosit sebelum intervensi sudah terkategori tinggi juga kemungkinan menjadi penyebab tidak signifikannya peningkatan jumlah total limfosit setelah intervensi. Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi Sel T atau timosit (CD3) merupakan bagian dari limfosit yang berkembang di kelenjar timus. Sel T yang masih belum matang dipersiapkan di dalam timus
70
untuk memperoleh reseptor dan sel T hanya dapat menjadi matang jika reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) karena akan mengalami apoptosis. Diferensiasi sel T berhubungan dengan petanda permukaannya dan hasil diferensiasi ini akan menghasilkan sel T helper (Sel Th/sel CD4) dan sel T sitotoksis (Sel Tc/sel CD8) (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel T sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 18) menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah dan persentase sel T setelah intervensi minuman instan temulawak. Gambar 18a menunjukkan bahwa jumlah sel T baik sebelum maupun setelah intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif sedangkan pada Gambar 18b, persentase sel T sebelum dan sesudah intervensi cenderung menyebar ke bawah/skew negatif. Perbedaan ini terjadi karena nilai persentase sel T merupakan nilai perbandingan antara jumlah sel T dengan jumlah total limfosit sehingga untuk sel T dapat dinotasikan juga dengan CD3+/CD45+. Hal yang sama juga berlaku untuk sel lain yang merupakan bagian dari limfosit. Perbedaan sebaran antara data jumlah dan persentase sel T memiliki makna yang sama jika dikaitkan dengan intervensi minuman instan temulawak yang diberikan. Intervensi minuman instan temulawak meningkatkan jumlah dan persentase sel T. Berdasarkan grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa intervensi minuman instan temulawak tidak menyebabkan peningkatan jumlah dan persentase sel T yang ekstrim. 80 80
3020
3000 3000
73.0 70 70
68.0 65.0
2282
2150
2000 2000
1698 1500 1500
1000 1000
1405
1585 1435
1048
959
1
Sebelum intervensi
2
fase
Setelah intervensi
(a)
% Sel T (%)
Sel T (abs)
2500 2500
Sel/µL
79.0
78.0
3113
64.0
60 60
57.0
55.0
50 50
44.0
42.0
40 40 1
Sebelum intervensi
2
fase
Setelah intervensi
(b)
Gambar 18 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah intervensi
71
Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi adalah sebesar 1746.2 ± 569.9 sel/µL dengan selang antara 1048 – 3020 sel/µL. Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel T subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) yang nilainya adalah 1560 ± 430.0 sel/µL namun lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai referensi (rata-rata sel T subjek normal) yang besarnya 2092 ± 905 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, terjadi peningkatan rata-rata jumlah sel T sebesar 112.9 sel/µL atau ada peningkatan sebesar 6.5%, sehingga rata-rata sel T menjadi 1859.1 ± 682.3 sel/µL dengan selang antara 959 – 3113 sel/µL. Jika dilihat persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak meningkatkan persentase sel T sebesar 1.4%. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% pada jumlah sel T menunjukkan bahwa peningkatan sel T setelah intervensi sebesar 112.9 sel/µL merupakan peningkatan yang tidak signifikan (p = 0.162) sedangkan jika dilihat berdasarkan nilai persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak memberikan peningkatan yang signifikan (p = 0.034). Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel T antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel T (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel T (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata 1746.2 1859.1 112.9 62.5 63.9 1.4
±
SD
± 569.9 ± 682.3 ± 119.3 6.5 ± 9.9 ± 11.1 ± 2.8 2.2
Uji beda p = 0.162
p = 0.034
a. Sel CD4 Sel CD4 atau disebut juga sel Th atau sel T inducer merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Sel CD4 yang berproliferasi dan berdiferensiasi akan berkembang menjadi sel Th1 dan sel
72
Th2 yang akan mensintesis sitokin (protein yang berperan dalam inflamasi dan sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun) dan juga mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti sel CD8, sel B, makrofag (sel sistem imun yang hidup dalam jaringan), dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel CD4 sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 19) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari mampu meningkatkan jumlah dan persentase sel CD4. Gambar 19 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase sel CD4 mengalami peningkatan setelah intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari. Grafik box-plot jumlah sel CD4 cenderung menyebar ke atas/skew positif sedangkan jika dilihat pada persentasenya, maka ada pergeseran dari yang semula menyebar ke bawah menjadi menyebar ke atas/skew positif. Berdasarkan data pada grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa tidak ada peningkatan jumlah dan persentase sel CD4 yang ekstrim dari intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari.
2000 2000
60 60
1963
56.0 50 50
1551
CD4+ (abs)
1339
Sel/µL
1178
1000 1000
986
982
763
798
593
489
500 500
1 Sebelum intervensi
fase
(a)
2 Setelah intervensi
% CD4+ (%)
1500 1500
50.0 46.0
44.0
40 40
37.0 34.0 30 30
20 20
31.0
29.0
24.0
22.0 1 Sebelum intervensi
2 Setelah intervensi
fase
(b)
Gambar 19 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah sel CD4 sebelum intervensi adalah sebesar 990.0 ± 285.7 sel/µL dengan selang antara 593 – 1551 sel/µL. Rata-rata maupun median jumlah sel CD4 sebelum intervensi pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata dan median jumlah sel CD4 subjek obes penelitian Nieman et al.
73
(1999) dan Womack et al. (2007) yang nilainya berturut-turut adalah 1060.0 ± 320.0 sel/µL dan 995.0 sel/µL. Rata-rata jumlah dan persentase sel CD4 ini juga lebih rendah dibandingkan dengan nilai referensi (rata-rata sel CD4 subjek normal) yang besarnya berturut-turut 1052 ± 526 sel/µL dan 33.2 ± 8.5% (Dhaliwal et al. 1995). Setelah intervensi minuman serbuk instan temulawak selama 14 hari, rata-rata jumlah dan persentase sel CD4 meningkat dan bahkan jadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensi. Peningkatan yang terjadi adalah sebesar 88.9 sel/µL atau meningkat sebesar 9.0%. Jika berdasarkan persentasenya (CD3+CD4+/CD45+) maka diketahui bahwa pemberian minuman instan temulawak meningkatkan persentase sel CD4 sebesar 1.5%. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5% menunjukkan bahwa peningkatan persentase sel CD4 setelah intervensi sebesar 1.5% merupakan peningkatan yang signifikan (p = 0.045). Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel CD4 antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah dan persentase sel CD4 subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel CD4 (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel CD4 (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata
±
SD
Uji beda
990.0 1078.8 88.9
± ± ± 9.0
285.7 399.9 96.1
p = 0.092
36.1 37.6 1.5
± ± ± 4.1
8.4 9.5 1.6
p = 0.045
b. Sel CD8 Sel CD8 merupakan salah satu subset sel T yang memiliki fungsi utama untuk menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel (protein penting yang akan membentuk rangkaian DNA) yang menimbulkan penolakan pada transplantasi, menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular, serta memacu produksi sitokin pada Th1 dan Th2 (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel CD8 sebelum maupun setelah
74
intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 20) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8. Berdasarkan data pada Gambar 20a diketahui jumlah sel CD8 sebelum intervensi cenderung menyebar ke bawah/skew negatif dengan ada satu nilai ekstrim (1551 sel/µL) sedangkan setelah intervensi, data jumlah sel cenderung menyebar ke atas/skew positif dengan nilai median yang sama (605 sel/µL). Penilaian dengan menggunakan persentase sel CD8 (CD3+CD8+/CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, hanya tanpa nilai ekstrim bahkan dengan selang minimum – maksimum yang juga menurun, semula 10 – 37% menjadi 9 – 34%. Jumlah dan persentase sel CD8 yang semakin menurun pada subjek obes diduga berkaitan dengan tingginya kerusakan oksidatif pada orang obes karena keberadaan jaringan adiposit yang berlebih (Nieman et al. 1999), peradangan kronis yang menyebabkan sistem imun tidak berfungsi normal, dan adanya resistensi insulin pada orang obesitas sehingga akhirnya menghambat pematangan sel CD8 (Strandberg 2009). Jumlah sel CD8 yang sangat tinggi bisa terjadi pada subjek yang mengalamai obesitas tingkat parah/morbid obese atau jika berdasarkan IMT maka nilainya lebih dari 30 kg/m2 (Womack et al. 2007). Setelah ditelusuri maka diketahui bahwa nilai ekstrim untuk jumlah sel CD8 sebelum intervensi (1551 sel/µL) berasal dari subjek yang memiliki nilai IMT 32.05 kg/m2 dan kategori status gizi menurut RLPP tergolong sangat berisiko. 1551 10
40 40
37.0
1400 1400 1200 1200
CD8+ (abs)
1000 1000
Sel/µL 800 800
600 600
400 400
200 200
34.0
1347 30 30
947
%
832
815
605 463
605 415
247 1 Sebelum intervensi
CD8+ (%)
1600 1600
20 20
28.0 25.0 22.0 19.0
22.0 16.0
10 10
10.0
9.0
235 2 Setelah intervensi
fase
(a)
1 Sebelum intervensi
Setelah intervensi 2
fase
(b)
Gambar 20 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah intervensi
75
Rata-rata jumlah sel CD8 sebelum intervensi adalah sebesar 659.5 ± 303.2 sel/µL dengan selang antara 247 – 947 sel/µL. Rata-rata maupun median jumlah sel CD8 sebelum intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata dan median jumlah sel CD8 subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) dan Womack et al. (2007) yang nilainya berturut-turut adalah 510.0 ± 220.0 sel/µL dan 487.5 sel/µL. Meskipun demikian, hasil ini konsisten dengan penelitian Nieman et al (1999) yang menyatakan bahwa jumlah CD8 pada orang obes lebih sedikit dibandingkan dengan orang normal yang nilainya rata-rata 965 ± 470 sel/µL atau 30.2 ± 7.8% (Dhaliwal et al. 1995). Intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8 dan. Ada penurunan jumlah sel CD8 setelah intervensi sebesar 43.9 sel/µL atau menurun sebesar 6.7%. Jika berdasarkan persentasenya (CD3+CD8+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah pemberian minuman instan temulawak selama 14 hari ada penurunan persentase sel CD8 sebesar 2.2% dan penurunan ini signifikan (p = 0.001) pada nilai α = 5%. Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel CD8 antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Jumlah dan persentase sel CD8 subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel CD8 (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel CD8 (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata 659.5 615.6 -43.9 23.1 20.9 -2.2
±
SD
± 303.2 ± 279.4 ± 44.1 -6.7 ± 7.1 ± 6.1 ± 2.2 -9.7
Uji beda p = 0.110
p = 0.001
Peningkatan jumlah serta persentase sel T serta sel CD4 setelah intervensi minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari (Gambar 19 dan Tabel 20) diduga terjadi melalui mekanisme yang diperantarai oleh nuclear factor-kappa B (NF-kB). Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kim, Kim, Shim, dan Hwang (2007) menunjukkan bahwa bahan aktif dalam temulawak (kurkumin dan xanthorrhizol)
76
mampu menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB. Baratawidjaja dan Rengganis (2009) menyebutkan bahwa NF-kB merupakan protein yang penting dalam proses transkripsi banyak gen baik yang diperlukan untuk respon imun bawaan/innate maupun respon imun adaptif/spesifik. Jadi NF-kB akan dapat bergerak aktif dan mencapai nucleus/inti sel lalu segera mengaktifkan proses transkripsi beberapa gen tertentu yang diperlukan untuk respon imun (Abbas & Lichtman 2004). Selain itu, NF-kB juga berperan dalam memicu peradangan akut yang merupakan respon khas imunitas nonspesifik dengan tujuan untuk eradikasi bahan atau mikroorganisme pada tahap awal (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Hasil intervensi yang tidak mampu meningkatkan jumlah dan persentase sel CD8 diduga karena adanya variasi yang tinggi pada jumlah dan persentase sel CD8 subjek. Jadi ada beberapa subjek yang sejak awal sudah memiliki jumlah dan persentase sel CD8 yang tinggi. Kondisi ini kemungkinan dipicu karena keberadaan leptin yang tinggi pada orang obes (Oliveros & Villamor 2008). Leptin merupakan protein berbentuk heliks yang disekresi jaringan lemak dan bekerja terhadap reseptor permukaan nukleus ventromedial hipotalamus untuk mengendalikan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi jika penimbunan lemak meningkat (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Leptin juga berfungsi sebagai aktivator sistem imun meskipun mekanismenya masih belum jelas (Lamas, Marty, & Martinez 2002). Fungsi leptin sebagai aktivator sistem imun diantaranya adalah dengan memicu aktivasi sel T serta mengendalikan diferensiasi sel T melalui respon sel Th1 sehingga akhirnya mempengaruhi keseimbangan komposisi sel T (Matarese 2000; Gomez, Lago, Gomez-Reino, Dieguez, & Gualillo 2009) Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi Sel B merupakan bagian dari sel limfosit yang sebagian besar (50%) mengalami pematangan di sumsum tulang, lalu sepertiga bagian berasal dari kelenjar getah bening, dan kurang dari 1% berasal dari timus. Banyaknya sel B berkisar antara 5 – 25% dari limfosit (Baratawidjaja & Rengganis 2009; Strandberg 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel B sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada box-plot (Gambar 21) menunjukkan bahwa
77
intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah maupun persentase sel B. Berdasarkan data pada Gambar 21a diketahui jumlah sel B sebelum intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif dengan nilai median 367 sel/µL sedangkan setelah intervensi, data jumlah sel cenderung menyebar ke bawah/skew negatif dengan nilai median lebih rendah (308 sel/µL) serta ada beberapa nilai outlier dan ekstrim. Penilaian dengan menggunakan persentase sel B (CD19+/CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, nilai median yang semula 14% turun menjadi 11%. Penelitian Nieman et al. (1999) menunjukkan bahwa pada subjek obes, terjadi penurunan fungsi sel B. Penurunan fungsi sel B diduga diduga berkaitan dengan penurunan kapasitas limfosit untuk berproliferasi (diantaranya sel B) karena aktivasi mitogen yang terhambat (Kimura, Tanaka, Isoda, Sekigawa, Yamakawa, & Sekihara 1998) yang juga mengakibatkan jumlah sel B dalam tubuh orang obes menjadi rendah. Selain itu, adanya jaringan adiposit berlebih pada orang obes yang menyebabkan peradangan kronis juga diduga menyebabkan sistem imun (termasuk dalam proliferasi dan diferensiasi sel B) menjadi tidak normal (Strandberg 2009). 700 700
20 20
20.0
18 18
18.0
659 600 600
530 23 33
31
461
Sel B (abs)
Sel/µL 400 400
457 27
367
300 300
200 200
301
338 308 279
171
190 26 149
100 100
% Sel B (%)
500 500
23 17.0
16.0 27
16 16
14 14
14.0
12 12
12.0
12.0 11.0 10.0
10 10
88
8.0 7.0
66 1 Sebelum intervensi
fase
2 Setelah intervensi
(a)
1 Sebelum intervensi
fase
2 Setelah intervensi
(b)
Gambar 21 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah sel B sebelum intervensi adalah sebesar 388.1 ± 121.3 sel/µL dengan selang antara 171 – 659 sel/µL sedangkan setelah intervensi rataratanya menjadi 328.4 ± 97.5 sel/µL dengan selang antara 190 – 338 sel/µL. Rata-
78
rata jumlah sel B sebelum dan setelah intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel B subjek obes penelitian Nieman et al. (1999) yang besarnya adalah 250.0 ± 110.0 sel/µL. Meskipun demikian, rata-rata jumlah sel B sebelum dan setelah intervensi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai referensinya yang nilainya adalah 414 ± 283 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Jika dilihat berdasarkan persentasenya (CD19+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah intervensi persentase sel B juga masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai referensinya. Hasil uji beda T berpasangan pada nilai α = 5% menunjukkan bahwa jumlah dan persentase sel B setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari menurun signifikan (p < 0.05). Terjadi penurunan rata-rata jumlah sel B sebesar 59.8 sel/µL atau sebesar 15.4% setelah intervensi sedangkan jika dilihat menggunakan nilai persentasenya (CD19+/CD45+) maka ada penurunan persentase sel B sebesar 2.6%. Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel B antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah dan persentase sel B subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel B (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel B (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Intervensi
Rata-rata 388.1 328.4 -59.8 14.2 11.6 -2.6
±
SD
± 121.3 ± 97.5 ± 58.7 -15.4 ± 3.5 ± 2.7 ± 2.6 -18.4
Uji beda p = 0.001
p = 0.000
minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif
kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan persentase sel B. Jika ditinjau dari desain penelitian, maka yang mungkin menjadi penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan hipotesis adalah karena tidak adanya pengacakan sehingga keberadaan peubah pengganggu/confounder jadi tidak terkontrol (Yu & Ohlund 2010). Permasalahan utama dalam memahami hubungan sebab akibat antara obesitas dengan sistem imun adalah sangat
79
beragamnya karakteristik yang ada pada penderita obesitas serta sangat beragamnya faktor yang berpengaruh pada sistem imun. Berbagai faktor yang dimaksud adalah umur, jenis kelamin, genetik, pola konsumsi pangan (termasuk alkohol dan rokok), aktivitas fisik, stres, status hormonal, paparan patogen dan riwayat vaksinasi, serta lingkungan sosial (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Calder & Kew 2002; Ekelund, Neovius, Linné, Brage, Wareham, & Rössner 2005). Berbagai faktor tersebut tentu menjadi sumber peubah pengganggu meskipun beberapa sumber peubah pengganggu sudah diupayakan dikontrol pada saat penentuan subjek. Sumber peubah pengganggu yang dimaksud diantaranya adalah kondisi hiperlipidemia dan dislipidemia, pengaruh hormon, dan asupan bahan/zat aktif yang akan berpengaruh terhadap sistem imun. Sumber peubah pengganggu yang lain tidak dikontrol sehingga hal tersebut diduga menjadi penyebab hasil penelitian tidak sesuai dengan hipotesis serta adanya beberapa nilai outlier dan ekstrim setelah intervensi. Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi Sel Natural Killer (NK) merupakan bagian dari sel limfosit yang jumlahnya sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Sel NK berkembang dari sel asal progenitor yang sama dengan sel B dan sel T. Sel NK berbeda dengan sel T dan sel B yang butuh fase pematangan dan diferensiasi sebelum aktif. Sel NK akan langsung aktif begitu bertemu dengan antigen target, sel NK juga tidak butuh Major Histocompatability Complex (MHC-I dan MHC-II) untuk mengenali antigen. Sel NK bekerjasama dengan imunitas adaptif dengan mensekresi sitokin yang akan meregulasi sel T (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel NK sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal (p > 0.05). Ilustrasi pada boxplot (Gambar 22) menunjukkan bahwa intervensi minuman serbuk temulawak selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah maupun persentase sel NK. Berdasarkan data pada Gambar 22 diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel NK sebelum maupun setelah intervensi cenderung menyebar ke atas/skew positif. Sebelum intervensi, nilai median jumlah sel NK adalah 683
80
sel/µL sedangkan setelah intervensi median jumlah sel NK menjadi 616 sel/µL, data jumlah sel cenderung menyebar ke atas/skew positif serta ada nilai outlier atau ekstrim. Penilaian dengan menggunakan persentase sel NK (CD16+56+/ CD45+) juga menunjukkan hal yang sama, nilai median yang semula 23% turun menjadi 20%. Subjek obes memiliki jumlah sel NK yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek normal (Nieman et al. 1996 dalam Lamas, Marty, & Martinez 2002; O’Shea, Cawood, O’Farrelly, Lynch 2010). Jumlah sel NK yang tidak normal pada subjek obes kemungkinan berkaitan dengan penurunan kapasitas limfosit untuk berproliferasi (diantaranya sel B) karena aktivasi mitogen yang terhambat (Kimura, Tanaka, Isoda, Sekigawa, Yamakawa, & Sekihara 1998) yang juga mengakibatkan jumlah sel NK dalam tubuh orang obes cenderung menjadi rendah. Selain itu, adanya jaringan adiposit berlebih pada orang obes yang menyebabkan peradangan kronis juga diduga menyebabkan sistem imun (termasuk dalam proliferasi sel NK) menjadi tidak normal (Strandberg 2009).
1500 1500
50 50
1462
1337
46.0
28 1250 1250
40.0
40 40
1082 %
910
750 750
787 683
616
500 500
250 250
Sel NK (%)
Sel NK (abs)
1000 1000
Sel/µL
23.0 20 20
326
1 Sebelum intervensi
(a)
fase
2 Setelah intervensi
20.0 17.0
18.0
473
392 304
32.0
31.0
30 30
13.0
10.0
10 10
Sebelum intervensi 1
Setelah intervensi 2
fase
(b)
Gambar 22 Sebaran jumlah (a) dan persentase sel NK (b) sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah sel NK sebelum intervensi adalah sebesar 714.9 ± 346.6 sel/µL dengan selang antara 304 – 1462 sel/µL sedangkan setelah intervensi rataratanya menjadi 663.9 ± 274.7 sel/µL dengan selang antara 326 – 1082 sel/µL. Rata-rata jumlah sel NK sebelum dan setelah intervensi pada penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel NK subjek obes
81
penelitian Nieman et al. (1999) yang besarnya adalah 260.0 ± 110.0 sel/µL. Ratarata jumlah sel NK sebelum dan setelah intervensi hasil penelitian ini juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensinya yang besarnya adalah 649 ± 349 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Jika dilihat berdasarkan persentasenya (CD16+56+/CD45+) maka diketahui bahwa setelah intervensi persentase sel NK juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai referensinya (23.6% vs 21.2%). Jumlah dan persentase sel NK mengalami penurunan setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari. Penurunan rata-rata jumlah sel NK sebesar 51.0 sel/µL atau sebesar 7.1% setelah intervensi sedangkan jika dilihat menggunakan nilai persentasenya (CD16+56+/CD45+) maka ada penurunan persentase sel NK sebesar 2.3%. Hasil uji beda T berpasangan pada nilai α = 5% menunjukkan bahwa penurunan jumlah dan persentase sel NK setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari tidak signifikan (p > 0.05). Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih/Δ sel B antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Jumlah dan persentase sel NK subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Jumlah sel NK (sel/µL) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ) Persentase sel NK (%) Sebelum intervensi Setelah intervensi Selisih (Δ) % Selisih (%Δ)
Rata-rata
±
SD
714.9 663.9 -51.0
± 346.6 ± 274.7 ± 45.7 -7.1
25.9 23.6 -2.3
± 11.3 ± 9.1 ± 2.1 -8.8
Uji beda p = 0.341
p = 0.095
Hasil yang diharapkan dari intervensi minuman instan temulawak adalah terjadinya peningkatan populasi limfosit (diantaranya sel NK) yang diukur dari jumlah dan persentase selnya. Kurkumin dan xanthorrhizol sebagai bahan aktif yang terkandung dalam minuman instan temulawak diharapkan akan dapat menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun bisa meningkat. Intervensi minuman instan temulawak yang mengandung bahan aktif kurkumin dan xanthorrhizol selama 14 hari tidak meningkatkan jumlah dan
82
persentase sel NK. Jika ditinjau dari desain penelitian, maka penyebab ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan hipotesis yang paling mungkin adalah karena tidak adanya pengacakan sehingga keberadaan peubah pengganggu/ confounder jadi tidak terkontrol, sama seperti pada sel B (Yu & Ohlund 2010), serta jumlah sel NK sebelum intervensi yang sudah tinggi. Berbagai faktor sumber peubah pengganggu yang dimaksud adalah umur, jenis kelamin, genetik, pola konsumsi pangan (termasuk alkohol dan rokok), aktivitas fisik, stres, status hormonal, paparan patogen dan riwayat vaksinasi, serta lingkungan sosial (Lamas, Marty, & Martinez 2002; Calder & Kew 2002; Ekelund et al. 2005). Keberadaan nilai outlier jumlah sel NK setelah intervensi juga menunjukkan bahwa ada peubah pengganggu yang tidak terkontrol. Jumlah dan persentase sel imun (khususnya sel NK) sebelum intervensi yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi pangan penunjang sistem imun yang tinggi serta adanya kebiasaan aktivitas fisik yang baik dari subjek dalam penelitian ini. Zat gizi dan non gizi dalam pangan yang telah terbukti menunjang sistem imun diantaranya adalah beta glucan (polisakarida); arginin dan glutamin (bagian dari protein); asam lemak omega 6/asam linoleat; vitamin A, C, D, E, B6, B12, asam folat; seng/Zn, zat besi/Fe, tembaga/Cu, dan selenium/Se; likopen, bahan aktif dalam tomat; serta Lactobacillus acidophilus (probiotik dalam yoghurt) (Calder & Kew 2002; Chandra 2002; Fatmah 2006). Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam pengujian bahan aktif tertentu kaitannya untuk perbaikan/peningkatan fungsi imun tubuh, khususnya pada subjek obes adalah jenis pengukuran atau penilaian fungsi imun yang digunakan.
Baratawidjaja
dan
Rengganis
(2009)
menyebutkan
bahwa
pemeriksaan limfosit untuk penilaian fungsi imun dalam tubuh secara umum terbagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan kuantitas dan fenotip dan yang kedua adalah pemeriksaan fungsi. Hasil pemeriksaan kuantitas dan fenotip adalah jumlah dan persentase populasi limfosit beserta subsetnya, seperti yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pada subjek obes meskipun beberapa subset limfosit memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek normal, tetapi umumnya kemampuan atau sifat fungsionalnya lebih rendah (Nieman et al. 1999; Lamas, Marty, & Martinez 2002;
83
Marcos, Nova, & Montero 2003). Oleh karena itu pemeriksaan fungsi seperti uji transformasi limfosit, uji proliferasi, dan uji sitotoksisitas, juga sangat penting dilakukan agar dapat memberikan penilaian terhadap sistem imun tubuh yang lebih lengkap. Generalisasi Penelitian Generalisasi suatu penelitian adalah seberapa jauh hasil penelitian tersebut dapat diterapkan pada populasi lainnya (Hennekens & Buring 1997) dan agar dapat dilakukan generalisasi, maka harus dipastikan bahwa penelitian memiliki validitas internal yang baik, yaitu bebas dari kesalahan acak, bias, dan berbagai faktor perancu/peubah pengganggu (Sastroasmoro 2008). Terkait dengan hal tersebut berbagai upaya telah dilakukan untuk menjamin validitas ini. Survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan dilakukan dengan desain cross sectional dan berdasarkan telaah literatur telah diketahui bahwa pengetahuan akan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan sehingga subjek dikelompokkan menjadi subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok tingkat pendidikan, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu subjek laki-laki dan perempuan sehingga berdasarkan kelompok tingkat pendidikan dan jenis kelamin, jumlah dan persentase subjek jadi berimbang. Hal tersebut akan berlaku sama jika wilayah penelitian dipindah ke wilayah lain. Selain itu alat ukur pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini juga telah memenuhi uji validitas dan reabilitas sehingga menjamin validitas data yang dikumpulkan. Pada uji klinis, selain desain (kuasi eksperimental) yang dipilih karena adanya keterbatasan sumberdaya maka berbagai faktor lain mulai dari pemilihan subjek, pengembangan minuman instan temulawak untuk intervensi, penjaminan compliance, dan pemilihan metode analisis biomarker telah diupayakan sebaik mungkin agar hasil penelitian ini valid. Subjek yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta jumlah subjek telah melebihi jumlah minimum subjek untuk desain penelitian ini. Minuman instan temulawak yang diintervensikan memiliki kandungan energi rendah yaitu hanya 36.4 kkal atau sekitar 2% dari kecukupan energi per hari (jika
84
menggunakan AKG sebesar 2000 kkal) sehingga kemungkinan adanya penyimpangan hasil karena konsumsi gula yang tinggi dan menyebabkan kenaikan IMT sudah sangat diminimalkan. Hal tersebut diperkuat dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada subjek overweight dan obes bisa terjadi peningkatan berat badan dan IMT (yang akan berpengaruh terhadap fungsi imun) jika subjek mengonsumsi minuman/snack tinggi energi paling tidak selama empat minggu berturut-turut. Penelitian dengan desain eksperimental yang menunjukkan hal ini antara lain penelitian yang dilakukan Tordoff dan Alleva (1990), DiMeglio dan Mattes (2000), serta Raben et al. (2002). Jangka waktu yang menunjukkan bahwa konsumsi minuman/snack tinggi energi akan meningkatkan IMT orang obes atau overweight bervariasi mulai dari empat minggu (DiMeglio & Mattes 2000) sampai dengan sepuluh minggu (Raben et al. 2002). Beberapa penelitian lain, yang dilakukan dengan desain cohort prospective malah menunjukkan bahwa konsumsi minuman tinggi energi tidak signifikan meningkatkan IMT (French et al. 1994; Kvaavik, Andersen & Klepp 2005). Khasiat temulawak dalam meningkatkan nafsu makan belum terbukti untuk orang overweight dan obes. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Rahmat dan Setianingrum (1999) memang menunjukkan bahwa temulawak mampu meningkatkan nafsu makan secara signifikan tetapi pada subjek yang mengalami anoreksia. Oleh karena itu, penyimpangan hasil uji klinis karena asupan gula dari minuman instan temulawak maupun dari konsumsi pangan yang meningkat pada subjek telah diminimalkan. Upaya lain dalam meningkatkan validitas hasil penelitian (uji klinis) ini adalah dengan penjaminan kepatuhan subjek yang terbukti tinggi dan metode pengukuran biomarker limfosit dan subsetnya. Seluruh subjek patuh dan 81% diantaranya langsung mengonsumsi pada saat dibagikan. Jika ditinjau dari metode pengukuran biomarker, maka metode flow cytometry merupakan metode yang sudah baku dalam pengukuran limfosit dan subsetnya serta metode ini sudah semakin maju karena dalam perkembangan terakhir, pengukuran flow cytometry selain mengukur jumlah dan ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraseluler, struktur intra sitoplasmik, dan inti sel (Barus 2011).