HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas Kutukebul Pengkoloni Pertanaman Tomat Kutukebul yang dikumpulkan dari pertanaman tomat di daerah Cisarua, Bogor diperbanyak di tanaman tomat dalam kurungan kedap serangga dan digunakan dalam penelitian ini telah berhasil diidentifikasi. Tubuh imago kutukebul ini berwarna kuning dengan sayap yang ditutupi oleh sekresi berupa tepung berwarna putih, dengan panjang tubuh 1.0-1.5 mm. Sayap terdiri dari dua pasang dan transparan seperti tenda dengan posisi saat istirahat terlihat menyempit ke depan (Gambar 3, kiri). Ciri-ciri tersebut sesuai yang disebutkan oleh Kalshoven (1981) tentang ciri-ciri imago B. tabaci.
1 2 3 4 5 6 7 0.3 mm
0.2 mm
Gambar 3 Morfologi B. tabaci. Imago (kiri) dan puparium (kanan): (1) basal tungkai tengah dan belakang, (2) ruas abdomen VII, (3) operculum, (4) vasiform orifice, (5) lingula, (6) caudal furrow, dan (7) caudal setae. Identifikasi lebih lanjut yang dilakukan menggunakan kunci identifikasi Martin (2000) berdasarkan morfologi puparium memastikan bahwa kutukebul ini adalah B. tabaci. Ciri-ciri morfologi puparium yang ditemukan bersesuaian dengan B. tabaci adalah sebagai berikut: Puparium berbentuk bulat panjang, dengan bakal mata terpisah. Mempunyai tujuh pasang rambut dorsal memanjang, trakea dengan pinggiran seperti sisir terdiri dari gigi-gigi yang jelas, lingula memanjang membentuk lidah, tetapi bagian submargin tidak mempunyai barisan papila, serta basal tungkai tengah dan belakang tidak berseta. Terdapat satu pasang caudal setae pada ujung anal yang sama panjangnya. Vasiform orifice terdapat di daerah sebelum
ujung ujung posterior puparium, berbentuk segitiga, dan ukurannya lebih panjang dari panjang caudal furrow. Operculum hampir seluruh bagian menutupi bagian vasiform orifice (Gambar 3, kanan).
Variasi Panjang Rostrum dan Panjang Sayap B. tabaci Kutukebul B. tabaci yang diamati pada pertanaman tomat di daerah dengan ketinggian tempat yang berbeda memperlihatkan variasi panjang rostrum dan sayap (Tabel 1). Imago B. tabaci yang hidup di daerah dataran yang lebih tinggi memiliki rostrum berukuran nyata lebih panjang dari imago B. tabaci yang hidup di daerah yang lebih rendah. Demikian juga ukuran sayap imago B. tabaci yang hidup di daerah dataran yang lebih tinggi nyata lebih panjang dibandingkan dengan imago B. tabaci yang hidup di daerah yang lebih rendah. Pengukuran yang dilakukan oleh Oliveira et al. (2004) juga memperlihatkan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu pada Dalbulus maidis (Hemiptera: Cicadellidae). Wereng yang berada di dataran tinggi memiliki ukuran lebih besar, bobot tubuh lebih berat, dan warna lebih gelap dibandingkan dengan spesies wereng yang sama yang berada di dataran rendah. Variasi ukuran anggota tubuh wereng tampaknya lebih dipengaruhi oleh perbedaan suhu lingkungan hidupnya. Menurut Ayoade (1983) tinggi-rendahnya suatu daerah, mempengaruhi suhu pada daerah tersebut. Semakin tinggi suatu tempat, maka suhu akan semakin rendah dan intensitas cahaya semakin tinggi. Seperti data yang disajikan dalam Tabel 1, terlihat bahwa B. tabaci yang ditemukan di daerah Pacet, daerah pengamatan dengan ketinggian tertinggi (1225 m dpl) dan dengan kondisi suhu terendah (20.9 0C), mempunyai ukuran rostrum sebesar 226.06±21.72 µm dan sayap sebesar 1031.33±95.66 µm. Kedua parameter ini menunjukkan ukuran rostrum dan sayap terpanjang dibandingkan tempat pengamatan lainnya. Murai & Toda (2002) juga menemukan bahwa imago Thrips tabaci yang pada stadia nimfanya berada pada suhu rendah memiliki bobot tubuh yang lebih berat dibandingkan imago serangga yang pada stadia nimfanya berada pada suhu tinggi. Data yang ditabulasikan dalam Tabel 1 juga menunjukkan bahwa ukuran rostrum B. tabaci memperlihatkan beda nyata pada masing-masing tempat
pengamatan. Perbedaan ketinggian masing-masing tempat sudah dapat memberikan pengaruh nyata terhadap panjang rostrum B. tabaci. Panjang sayap B. tabaci yang hidup di daerah Pacet tidak nyata berbeda dengan yang hidup di daerah Cikole. Perbedaan ketinggian tempat daerah-daerah ini tampaknya belum cukup untuk memberikan perbedaan pengaruh nyata terhadap panjang sayap B. tabaci. Hal yang sama juga terlihat pada sayap B. tabaci yang hidup di daerah Batu dan Ciawi. Tabel 1 Panjang rostrum dan sayap B. tabaci Lokasi pengamatan Pacet Cikole Batu Ciawi
Ketinggian tempat (m dpl) 1225 1022 675 573
Suhu (0C) 21.9 22.3 24.4 25.8
Rata-rata Panjang ±SBa (µm) rostrum sayap 226.06±21.72 a 1031.33±95.66 ab 213.03±21.84 b 1023.33±60.13 a 211.21±18.60 bc 928.67±67.40 b 201.52±17.06 c 916.67±53.57 b
a
SB = Simpangan baku angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang ganda Duncan α 0.05)
b
Periode Retensi ToCV dalam Tubuh B. tabaci Dalam penelitian ini dan juga penelitian yang dilakukan oleh Fitriasari (2010), telah berhasil dilakukan penularan ToCV penyebab penyakit klorosis pada tanaman tomat melalui satu individu imago B. tabaci. Membiarkan B. tabaci melakukan makan akuisisi pada tanaman tomat bergejala klorosis sebagai sumber ToCV sudah cukup untuk menjadikan serangga tersebut menjadi infektif dan dapat menularkan virus ke tanaman tomat baru. Lamanya periode infektif B. tabaci dalam menularkan ToCV telah berhasil diukur dalam penelitian ini (Tabel 2). Periode retensi diukur mulai saat serangga vektor menjadi infektif sampai tidak mampu lagi menularkan virus. Pengukuran dilakukan dengan penularan berseri yaitu serangga vektor (dalam hal ini B. tabaci) segera setelah menjadi infektif (setelah 48 jam periode makan akuisisi) dipindahkan setiap 24 jam untuk makan inokulasi pada bibit tomat baru. Kemampuan penularan dilihat dari muncul tidaknya gejala klorosis pada bibit tomat yang diinokulasi. Pada penelitian ini, gejala khas penyakit klorosis muncul pada bibit tomat uji berkisar antara 2 sampai 3 minggu setelah inokulasi. Seperti disajikan pada Gambar 4, gejala awal yang jelas nampak berupa daun-daun bagian bawah mengalami
klorosis berwarna kuning terutama pada jaringan di antara tulang daun. Gejala yang sama juga telah dilaporkan oleh Fitriasari (2010) yang menularkan ToCV pada tomat varietas Martha. Menurut Accotto et. al (2001) gejala lain yang timbul pada tanaman tomat di lapangan akibat infeksi ToCV dapat berupa daun nekrosis, daun menggulung ke bawah, beberapa daun pucuk dapat berubah warna menjadi ungu, diikuti dengan penurunan produksi buah. Kehilangan hasil terjadi karena area fotosintesis pada daun berkurang.
Gambar 4
Tanaman tomat uji yang memperlihatkan gejala klorosis setelah diinokulasi ToCV melalui B. tabaci (kiri) dan yang tidak memperlihatkan gejala (kanan).
Dalam masa infektif, beberapa B. tabaci mampu menularkan ToCV ke bibit tomat pada pemindahan ke-4, atau dengan kata lain periode retensinya mencapai 4 hari (Tabel 2). Namun demikian, kebanyakan B. tabaci mampu menularkan ToCV hanya sampai hari ke-3. Sampai saat ini belum ada laporan tentang periode retensi B. tabaci terhadap virus ToCV. Tabel 2 Masa infektif Bemisia tabaci dalam penularan berseri Tomato chlorosis virusa Pengamatan hari ke 1 2 3 4 5 6 7 a
A + + + -
B + + + mt
Tanaman yang diinokulasi dan reaksinya C D E F G H + + + + + + + + + + + + + + + + + + + mt mt mt mt
Keterangan: + = tanaman terinfeksi, - = tanaman tidak terinfeksi, mt = serangga mati
I + + + + -
J + + -
Periode retensi B. tabaci terhadap ToCV hasil penelitian ini lebih singkat dibandingkan hubungan geminivirus dengan serangga vektornya, misalnya Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) dengan vektor B. tabaci. Hasil penelitian Sulandari (2004), menyatakan periode retensi B. tabaci terhadap TYLCV mencapai 6 hari. Penelitian periode retensi B. tabaci terhadap Squash leaf curl virus (SLCV), hasil penelitian Cohen et al. (1983) menunjukkan hasil periode retensi yang cukup lama yakni mencapai 26 hari. Stenger et al. (1990) menyatakan bahwa B. tabaci hanya mampu menahan Pepper leaf curl virus (PepLCV) dalam tubuhnya selama 10 hari, sedangkan Idris & Brown (1998) menemukan periode retensi B. tabaci terhadap Sinaloa tomato leaf curl virus (STLCV) lebih dari 9 hari dan terputus-putus. Adanya perbedaan periode retensi yang cukup jauh dari hasil penelitian ini dengan penelitian lainnya di atas karena adanya perbedaan dari sifat virus. Kelompok ToCV yang digunakan dalam penelitian ini bersifat semipersisten, sedangkan penelitian lain menggunakan virus yang persisten dalam tubuh B. tabaci. Perbandingan ini dilakukan karena belum adanya laporan periode retensi virus golongan crinivirus terhadap vektornya. Imago B. tabaci yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai lama hidup sekitar 8 hari. Menurut Kurniawan (2007) imago B. tabaci biotipe-B yang diperbanyak di rumah kaca dapat hidup sampai hari ke-20. Hal ini mungkin disebabkan adanya zat antiviral di dalam tubuhnya yang berasal dari tanaman yang berpengaruh negatif atau pengaruh langsung dari virus pada serangga vektornya (Cohen et al. 1983). Antiviral yang berasal dari tanaman selain berpengaruh negatif pada serangga vektornya, juga dapat menurunkan konsentrasi virus yang terdapat di dalam tubuh serangga. Menurut Cohen et al. (1983), konsentrasi virus menurun 12% per hari sampai hari ke-20. Keberadaan virus di dalam tubuh kutukebul juga menyebabkan lama hidupnya turun sekitar 25% (Sulandari 2004). Selain itu, ada faktor abiotik atau faktor lingkungan yang mempengaruhi lama hidup kutukebul, salah satunya adalah suhu lingkungan. Menurut Subagyo (2010), peningkatan suhu 4 0C (dari 25 0C ke 29 0C) akan memperpendek siklus hidup B. tabaci pada tanaman tomat. ToCV merupakan salah satu anggota Crinivirus yang mempunyai panjang partikel 800-850 nm (Wintermantel et al. 2005). Virus ini mempunyai dua jenis
genom berupa RNA utas tunggal RNA yaitu RNA 1 dan RNA 2 yang masingmasing berukuran 7.8 dan 8.2 kb. Crinivirus merupakan kelompok virus yang penyebarannya terbatas pada jaringan floem dan terakumulasi pada tingkat rendah pada tanaman yang terinfeksi. Oleh karena itu, pembuatan antiserum sulit dilakukan dan sampai saat ini belum tersedia antiserum untuk deteksi ToCV. Pada penelitian ini, deteksi virus ini dilakukan melalui pendekatan molekuler yaitu melalui RTPCR. Deteksi dengan RT-PCR memerlukan sepasang primer yang didesain khusus untuk mendeteksi virus tersebut. Pasangan primer yang digunakan dalam penelitian ini telah didesain khusus berdasarkan analisa sekuen ToCV yang diunduh dari GenBank. M
K+
D3
D4
K-
360 bp
Gambar 5 Hasil elektroforesis menggunakan pasangan primer spesifik ToCV-CF dan ToCV-CR. RNA diekstraksi dari sampel tanaman tomat yang positif terinfeksi oleh ToCV (K+), sampel bibit tomat uji yang memperlihatkan gejala klorosis (D3) dan yang tidak memperlihatkan gejala (D4) setelah diinokulasi, dan sampel tanaman tomat sehat (K-). M adalah marker 100 bp DNA ladder. Pada penelitian ini, keberhasilan penularan ToCV melalui imago B. tabaci dilihat dari kemunculan gejala klorosis pada bibit tomat uji. Untuk memastikan bahwa gejala klorosis tersebut disebabkan oleh karena keberadaan ToCV dalam jaringan tanaman maka dilakukan verifikasi melalui RT-PCR yang hasilnya disajikan pada Gambar 5. RT-PCR yang telah dilakukan dengan menggunakan pasangan primer ToCVCF [5’-GTGTCAGGCCATT GTAAACCAAG-3’] dan ToCV-CR [5’-CACAAAG
CGTTTCTTTTCATAAGCAGG-3’] berhasil mengamplifikasi DNA berukuran 360 bp. Produk PCR ini sesuai dengan prediksi berdasarkan sikuen ToCV isolat NC007341 yang berasal dari Florida, USA (Wintermantel et al. (2005). Seperti terlihat pada Gambar 4, hasil RT-PCR dari sampel bibit tomat uji yang bergejala klorosis memperlihatkan pita DNA berukuran 360 bp, sama dengan hasil RT-PCR dari sampel tanaman tomat yang sudah diketahui terinfeksi ToCV (kontrol positif). Hasil penelitian ini memverifikasi bahwa bibit tomat yang menunjukkan gejala klorosis setelah diinokulsi adalah benar disebabkan oleh keberadaan ToCV di dalam jaringannya. RT-PCR dari sampel tanaman tomat sehat yang tidak menghasilkan pita DNA meneguhkan bahwa sistem deteksi ini sangat valid.