IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Air Baku Aliran Sungai Cihideung Air baku merupakan sumber air bersih yang dapat berasal dari air hujan, air tanah, air danau, dan air sungai. Air sungai merupakan salah satu jenis air permukaan yang menjadi sumber air baku dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup. Air sungai dari aliran sungai Cihideung merupakan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Institut Pertanian Bogor. Suplai air baku untuk Institut Pertanian Bogor berasal dari dua aliran sungai yaitu sungai Cihideung dan sungai Ciapus, kedua sumber air baku tersebut diolah terlebih dahulu di Water Treatment Plan milik IPB. Pada penelitian ini sampel air baku yang digunakan berasal dari air sungai Cihideung. Air Sungai Cihideung yang telah diolah di WTP IPB disuplai ke Fakultas Kehutanan dan Peternakan. Kemudian dari Fakultas Kehutanan IPB di salurkan lagi ke daerah/ gedung sekitarnya termasuk FATETA, begitu pula dengan air baku yang disuplai ke Fakuktas Peternakan. Laju alir produksi air bersih di setiap WTP Cihideung perharinya mencapai 7.5 L/ detik, namun bila tingkat kekeruhan air baku meningkat terlalu tinggi maka laju alir produksi dapat terganggu. Tabel 3 menunjukkan hasil analisa sifat fisik air baku sungai Cihdeung. Berdasarkan hasil analisa di Laboratorium tingkat kekeruhan dan TSS sungai Cihideung berbeda-beda ketika hujan dan panas terik. Tingkat kekeruhan dan TSS pada saat hujan lebih tinggi dibandingkan saat cerah.
Kondisi Hujan Cerah
Tabel 3. Kondisi fisik air sungai Cihideung pada cuaca berbeda TSS (mg/L) Kekeruhan Warna (PtCo) (FTU) 148 160 550 39 60 283
Ph 4.5 6.9
Kondisi ini diakibatkan karena pada hujan endapan di dasar air berlonjak keatas dan kotororan-kotoran disekitar sungai ikut terbawa arus sehingga tingkat kekeruhan sangat tinggi begitu pula dengan TSS dan warna pada air baku. Oleh karena itu, pada saat hujan, kebutuhan koagulan untuk mengendapkan atau menyisihan padatan terlarut dan tidak terlarut semakin meningkat.
4.2 Proses Aklimatisasi Sebelum dilakukan pengamatan kualitas air baku terhadap pengaruh waktu kontak pada penggunaan fixed bed reactor dengan menggunakan media batu apung, batu apung perlu mengalami proses aklimatisasi. Proses aklimatisasi yaitu menumbuhkan mikroorganisme pada batu apung yang nantinya akan mendegradasi bahan-bahan organik dan anorganik. Proses aklimatisasi dibutuhkan untuk adaptasi mikroba, sehingga pada saat pengujian pengaruh kualitas air baku terhadap perbedaan waktu kontak, batu apung yang digunakan dalam fixed bed reactor
telah ditumbuhi mikroorganisme yang akan mendegradasi polutan. Mikroorganisme dapat tumbuh atau melekat pada batu apung hingga membentuk lapisan berupa biofilm, karena di dalam air sungai terkandung unsur-unsur/ substrat yang dibutuhkan untuk hidup dan tumbuh kembangnya mikroorganisme, seperti N dari ammonium dan P dari senyawa phosphat. Ammoniak akan berubah menjadi ammonium didalam air sesuai dengan persamaa reaksi NH3 + H2O NH4 + O2. Pada proses nitrifikasi dengan bantuan mikroorganisme ammoium akan berubah menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrat, berikut ini adalah tahapan dari nitirfikasi yang dapat dibagi ke dalam dua tahapan, yaitu: 1. Tahap nitritasi, merupakan tahap oksidasi ion ammonium (NH 4+) menjadi ion nitrit (NO2-) oleh bakteri Nitrosomonas, melalui reaksi berikut ini: NH4+ + 1 ½ O2 NO2- + H2O + 2,75 KJ Nitrosomonas 2. Tahap nitrasi merupakan tahap oksidasi ion nitrit menjadi ion nitrat (NO 3-) oleh bakteri Nitrobacter dengan melalui reaksi berikut ini: NO2- + 1 ½ O2 NO3- + 75 KJ Nitrobacter Secara keseluruhan proses nitrifikasi adalah sebagai berikut: NH4+ + 2O2 NO3- +2 H- + H2O Jadi konsentrasi ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) akan berbanding terbalik selama proses nitrifikasi dalam fixed bed reactor. Pada penelitian ini proses aklimatisasi dilakukan selama tiga minggu dengan waktu tinggal 4 jam (laju alir sebesar 4.5 L/jam), tiga hari dengan waktu tinggal 2 jam (laju alir sebesar 9 L/jam), dan lima hari dengan waktu tinggal 1 jam (laju alir sebesar 18 L/jam). Perubahan waktu tinggal pada saat proses aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan data pengaruh peningkatan laju alir terhadap penurunan bahan organik atau peningkatan kualitas air baku. Selama proses aklimatisasi setiap minggu output/ efluent air dari bioreaktor dianalisa kandungan bahan organik, anorganik, dan sifat fisik air baku. Hasil dari efluent diamati penurunan atau perubahannya, perubahan tersebut kemudian dikaitkan dengan proses tumbuh lekatnya mikroorganisme di media batu apung. Gambar 13 berikut ini adalah hasil pengujian ammoinum selama proses aklimatisasi.
T= 4 jam
Konsentrasi NH4+ (mg/L)
0.12
T=2 jam T= 1 jam
0.1 0.08 0.06 influent 0.04
efluent
0.02 0 0
10
20 Waktu (hari)
30
40
Gambar 13. Grafik konsentrasi NH4+ pada masa aklimatisasi Berdasarkan Gambar 13, konsentrasi ammonium semakin lama semakin menurunkan hingga hampir mencapai konsentrasi 0 mg/L, sedangkan konsentrasi NO3- terus meningkat hingga waktu tinggal hidrolik diturunkan menjadi 2 jam (Lampiran 6), hal ini disebabkan karena beban hidrolik yang masuk meningkat. Grafik peningkatan konsentrasi NO 3- dapat dilihat pada Gambar 14. hal ini menunjukkan bahwa media dalam fixed bed reactor yaitu batu apung telah ditumbuhi oleh bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter (terbentuk biofilm) yang berfungsi untuk mengubah ammonium menjadi nitrat setelah melalui proses nitrifikasi.
T= 4 jam
T=2 jam T= 1 jam
16 Konsentrasi NO3- (mg/L)
14 12 10 8 influent
6
efluent
4 2 0 0
10
20
30
40
Waktu (hari) Gambar 14. Grafik konsentrasi NO3- pada masa aklimatisasi Peningkatan NO3- mengalami perubahan pada saat waktu tinggal diturunkan menjadi 2 jam dan 1 jam begitu juga dengan penurunan NH4+. Hal ini diakibatkan karena beban yang masuk ke dalam bioreaktor meningkat sehingga mikroorganisme yang terdapat dalam biofilm di batu apung mengalami tekanan dan perlu beradaptasi lagi. Salah satu variabel kontrol agar terjadi degradasi senyawa organik adalah oksigen terlarut (DO/ Dissolve Oxigen). Proses degradasi akan berjalan dengan baik apabila DO air di dalam fixed bed reactor >1 mg/L (Widayat et al., 2010). Pada akhir proses aklimatisasi atau sehari sebelum pengujian konsentrasi DO pada fixed bed reactor beraerasi ini mencapai 6.30 mg/L. Hal ini menandakan bahwa proses degradasi terjadi di dalam fixed bed reactor dengan media batu apung. Selain penurunan amoniak dan hubungannya dengan peningkatan konsentrasi NO 3- dan konsentrasi DO, pada tahap aklimatisasi ini juga diamati peningkatan kualitas air baku. Peningkatan kualitas air baku dapat dilihat dari penurunan TSS, kekeruhan, dan warna pada effluen. Penurunan TSS, tingkat kekeruhan, dan warna dapat dilihat pada Gambar 15, 16, dan 17. pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa TSS air baku setelah melewati fixed bed reactor terus menurun hingga hari ke 24 sedangkan setelah itu konsentrasi TSS meningkat begitu juga pada tingkat kekeruhan dan warna. Hal ini terjadi karena laju alir/ debit air ditingkatkan sehingga waktu tinggal air dalam fixed bed reactor menjadi 1 jam. Pada perubahan waktu kontak dari 4 jam menjadi 2 jam peningkatan laju beban tidak terlalu berbeda nyata, bila dibandingkan dengan
peningkatan beban dengan waktu kontak sebesar 1 jam. Maka semakin tinggi laju alir yang masuk mengakibatkan laju beban yang masuk juga meningkat sehingga effiensi penurunan bahan organik menurun.
T= 4 jam
T=2 jam T= 1 jam
160 140
TSS (mg/L)
120 100 80 influent
60
efluent
40 20 0 0
10
20
30
40
Waktu (hari) Gambar 15. Grafik penurunan TSS pada masa aklimatisasi
T= 4 jam
180
T=2 jam T= 1 jam
160 Kekeruhan (FTU)
140 120 100 80
influent
60
effluent
40 20 0 0
10
20
30
40
Waktu (hari) Gambar 16. Grafik tingkat kekeruhan pada masa aklimatisasi
T= 4 jam
600
T=2 jam T= 1 jam
Warna (PtCo)
500 400 300 influent 200
efluent
100 0 0
10
20
30
40
Waktu (jam) Gambar 17. Grafik warna pada masa aklimatisasi
4.3
Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Penurunan Bahan Organik, Amoniak, Total Suspended Solid (TSS) dan Kekeruhan Setelah terbentuk biofilm pada media batu apung atau bakteri yang berperan dalam proses nitrifikasi ini diduga tumbuh, tahap selanjutnya dilakukan pengamatan kualitas air baku terhadap pengaruh waktu tinggal air sungai dalam fixed bed reactor dengan media batu apung. Pengamatan atau analisa sampel dilakukan setiap 1 jam hingga jam ke 7, kemudian jam ke-24, jam ke 27, jam ke 30, dan jam ke 48. Pengamatan dilakukan hingga jam ke 48 dilakukan untuk melihat apakah pada jam ke 48 kualitas air akan semakin meningkat dengan bantuan batu apung. Peningkatan kualitas air baku ini dapat dilihat secara fisik maupun penyisihan senyawa organik seperti KMnO4 dan senyawa anorganik seperti amoniak dan phosphat.
4.3.1
Pengaruh Waktu Kontak Pada Peningkatan Sifat Fisik Air Baku Kualitas fisik dari air sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Karakter fisik air meliputi kekeruhan, total padatan tersupensi (TSS), dan warna. Sifat fisik air ini lebih berpengaruh kepada estetika yang ditampilkan. Bila warna air pekat, tingkat kekeruhan dan TSS tinggi maka orang-orang enggan untuk menggunakan air tersebut bahkan sudah tidak layak untuk dilihat. Kekeruhan, TSS, dan warna memiliki kaitan yang sangat erat. Sehingga penurunan tingkat kekeruhan diikuti dengan penurunan TSS dan warna. Kekeruhan air dapat ditimbulkan karena adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung di dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh buangan industri ataupun domestik. Zat tersuspensi yang berada di dalam air juga terdiri dari berbagai macam zat sama halnya dengan penyebab kekeruhan, hanya saja TSS berfungsi untuk mengukur jumlah atau konsentrasi padatan yang tersuspensi di dalam air, sedangkan kekeruhan mengamati padatan secara umum yang tidak terlihat oleh mata. Warna air juga dapat
70
80
60
70
50
60 50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
0 0
10
20
30
40
50
efisiensi (%)
Kekeruhan (FTU)
ditimbulkan oleh kehadiran organisme atau bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik dan juga tumbuh-tumbuhan. Tingginya tingkat kekeruhhan dan TSS juga mengindikasi terdapatnya padatan tersuspensi seperti sel mikroorganisme dan senyawa organik yang larut dalam air. Sehingga sifat fisik ini perlu ditingkatkan kualitasnya, salah satu caranya yaitu dengan menggunakan fixed bed reactor bermedia batu apung. Data yang diperoleh dari pengujian air baku dalam fixed bed reactor bila diihat dari karakteristik fisik air pada berbagai waktu kontak dapat dilihat pada Gambar 18, 19, dan 20.
60
Waktu (jam) efluent
efisiensi (%)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
Waktu (jam) efluent
efisiensi (%)
Gambar 19. Penurunan TSS pada berbagai waktu kontak
60
efisiensi (%)
TSS (mg/L)
Gambar 18. Tingkat kekeruhan pada berbagai waktu kontak
70
350
60
300
50
250
40
200
30
150 100
20
50
10
0
0 0
10
20
30
40
50
efisiensi (%)
Warna (PtCo)
400
60
Waktu (jam) efluent
efisiensi (%)
Gambar 20. Penurunan kepekatan warna pada berbagai waktu kontak Berdasarkan data yang didapat kekeruhan, TSS, dan warna terus menurun. Semakin lama waktu kontak air maka semakin tinggi tingkat kualitas air bakunya. Namun selang satu hari yaitu setelah 24 jam kekeruhan, TSS, dan warna mengalami penurunan efisiensi penyisihan kekeruhan dari 62 % menjadi 59%, efisiensi penyisihan TSS dari 65% menjadi 54%, dan efisiensi penyisihan warna 59% ke 57%. Namun, di menit berikutnya efisiensi penyisihan dari ketiganya meningkat kembali. Hal ini dapat disebabkan dengan perubahan suhu yang terjadi disekitarnya. Secara umum penyisihan kekeruhan, TSS, dan warna turun secara tajam hingga jam ke 7 dan pada hari berikutnya efisiensi penyisihan dianggap lebih landai. Hasil dari pengolah fixed bed reactor ini belum memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh PP No.20 Tahun 1990 sebagai air bersih , oleh karena itu butuh pengolahan lanjutan seperti Water Treatment Plan.
4.3.2
Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Penyisihan Senyawa Organik Zat organik dapat disisihkan secara biologi, yang dipengaruhi oleh beberapa variabel yaitu oksigen terlarut (DO), waktu kontak, jenis dan jumlah mikroorganisme pengurai (Bitton, 1994). Bakteri heterotrof memanfaatkan senyawa atau zat organik untuk dijadikan sumber energinya. Pada penelitian ini senyawa yang mewakili adanya kandungan bahan organik di air adalah kalium permanganat (KMnO4). Grafik di bawah ini menunjukkan penurunan senyawa organik, penurunan senyawa organik menurun secara tajam hingga waktu kontak jam ke 3 dan kemudian terus menurun tapi tidak secara drastis atau lebih ke arah stabil. Penurunan senyawa organik dengan waktu kontak 3 jam mencapai efisiensi penurunan sebesar 30%. Selama 2 hari efisiensi penurunan bahan organik hanya meningkat 3 %.
35 30 25 20 15
efisiensi (%)
Konsentrasi senyawa organik (KMnO4 (mg/L)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam) efluent
efisiensi (%)
Gambar 21. Konsentrasi bahan organik (KMnO4) pada berbagai waktu kontak Berdasarkan standar mutu air yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No.20 Tahun 1990, batas senyawa organik KMnO 4 pada air golongan A (yaitu air yang dapat langsung diminum tanpa pengolahan terlebih dahulu) memiliki kadar maksimum 10 mg/L (lihat Lampiran 1). Sedangkan penelitian ini adalah proses pengolahan air baku yang nantinya akan di olah menjadi air golongan B yaitu air yang menjadi air baku untuk air minum atau air bersih. Pengujian kimia organik pada sampel air baku menggunakan analisa KMnO4, karena KMnO4 dapat mengukur dengan konsentrasi kecil. Sedangkan pengujian COD hanya dapat menguji kimia organik dengan konsentrasi tinggi. Senyawa organik yang terkandung dalam air baku sungai Cihideung setelah melaui fixed bed reactor tidak ada yang melebihi 20 mg/L dan kemudian akan semakin menurun hingga konsentrasi 10.917 mg/L.
4.3.3
Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Penyisihan Amoniak Senyawa amoniak ini akan menjadi ammonium bila berada di dalam air. Ammonium akan berkurang akibat adanya proses nitrifikasi. Penguraian amoniak pada proses nitrifikasi dapat dilakukan oleh bakteri autotrof maupun heterotrof. Pengujian konsentrasi NH4+ (ammonium) dilakukan dengan cara Kjeldahl atau distilasi namun ternyata cara ini hanya mampu menganalisa nilai NH4+ dengan konsentrasi besar. Sedangkan setelah dianalisa nilai NH4+ yang didapat tidak terlalu berbeda nyata dengan meningkatnya waktu kontak. Berikut ini adalah (Gambar 22) hasil analisa NH 4+ dengan metoda Kjeldahl:
konsentrasi NH4+ (mg/l)
3
2
efluent
1
0 0
2
4
6
8
waktu (jam) Gambar 22. konsentrasi NH4+ pada berbagai waktu kontak
18
35
16
30
14
25
12
20
10
15
8
10
6 4
5
2
0
0
-5 0
10
20
30
40
50
Penambahan (%)
Konsentrasi NO3- (mg/L)
Dari data pengujian ammonium penurunan NH4+ tidak terlalu terlihat dan cenderung stabil. Namun konsentrasi ammonium diduga menurun akibat adanya proses nitrifikasi di dalam bioreaktor. Proses nitrifikasi ini mengubah ammonium menjadi nitrit dan kemudian diubah menjadi nitrat. Kandungan nitrat pada air baku hasil pra-treatment juga di analisis dengan menggunakan metode brushin. Pada Gambar 23 terlihat adanya peningkatan konsentrasi nitrat seiring dengan meningkatnya waktu tinggal hidrolik. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bioreaktor terjadi proses nitrifikasi.
60
Waktu (jam) efluent
Penambahan (%)
Gambar 23. konsentrasi NO3- pada berbagai waktu kontak Konsentarasi nitrat terus meningkat dengan efisiensi peningkatan sebesar 33%. Sama seperti data lainnya (Lampiran 7), konsentrasi nitrat meningkat tajam hingga jam ke 7 dan cenderung konstan setelah 24 jam hingga hari berikutnya. Peningkatan
konsentrasi nitrat dapat juga disebabkan karena adanya suplai oksigen ke dalam bioreaktor, sehingga terjadi reaksi seperti di bawah ini: NO2- +1/2 O2 NO3NH4+ +2O2 NO3- + 2H+ + H2O Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No.20 Tahun 1990, Batas maksimum nitrat dalam N pada air golongan B tidak boleh melebihi 10 mg/L. Pada pengujian ini nitrat NO3 yang dianalisis dalam bentuk nitrat total. Nitrat dalam N bila dikonversi menjadi konsentrasi nitrat total maka akan di dapat batas NO 3- total sebesar 44,286 mg/L, jadi batas maksimum NO3- total adalah 44,286 mg/L . Nilai konsentrasi nitrat total yang dihasilkan dari pengolahan fixed bed reactor <17 mg/L hal ini menunjukkan bahwa kadar nitrat hasil pengolahan masih memenuhi standar baku mutu air golongan B.
Pertumbuhan Mikroorganisme Pada Media Batu Apung Peran mikroorganisme sangat penting dalam mengurangi kandungan organik dan organik dalam air baku. Oleh karena itu dalam sistem fixed bed reactor khususnya pada media batu apung harus menciptakan kondisi agar bakteri dan mikroorganisme lainnya dapat memakan zat organik dalam air limbah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan zat hara (nutrien) yang elemen utamanya adalah nitrogen, phosphor atau zat besi. Secara keseluruhan, nitrogen dijumpai dalam nitrogem organis, amoniak, nitrit, dan nitrat (Hindarko, 2003). Oleh karena itu untuk mendeteksi tumbuhnya mikroorganisme yang tumbuh untuk mendegradasi zat organik sampel air dianalisa kandungan phosphor di dalamnya. Phospor dalam hal ini merupakan substrat yang semakin lama akan habis digunakan mikroorganisme untuk melakukan metabolisme. Berikut ini adalah grafik PO43- dengan berbagai waktu kontak pada sistem fixed bed reactor. 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
100 80 60 40 20
efisiensi (%)
Konsentrasi PO43- (mg/L)
4.4
0 -20 0
10
20
30
40
50
60
Waktu (jam) efluent
efisiensi (%)
Gambar 24. Konsentrasi PO43- setiap jam pada fixed bed reactor Gambar 24 menunjukan adanya penurunan PO43- yang menandakan adanya mikroorganisme yang mengkonsumsi PO43- untuk tumbuh kembangnya di dalam fixed bed
reactor. Kandungan phospor ini cukup berpengaruh dalam peningkatan kualitas air baku, bila kandungan phospor di dalam air permukaan tidak terkontrol, maka phosphor merupakan nutrien bagi tumbuhan seperti eceng gondok, ganggang, apu-apu, dll, sehingga permukaan air tersebut dipenuhi tumbuhan air. Hal ini dapat mengganggu kegiatan pelayaran, perikanan, dan turisme, oleh karena itu kandungan phospor diberbagai tempat dibatasi yaitu antara 415mg/L. Di dalam PPRI No.20/1990, mengenai baku mutu air limbah, kandungan phospor ini belum diatur, tetapi perlu dipahami jenis phospor yang ada beserta sifat-sifatnya (Tabel 4), agar dapat mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan dan unit pengolahan yang akan mengolah air tersebut.
No. 1
2
3
Tabel 4 . Berbagai bentuk senyawa Phospor (sumber: Hindarko, 2003) Ortho Phosphat Poly-Phosphat Organic Phosphat Dihasilkan oleh Selalu mengalami Banyak dipakai metabolisme biologis hidrolisis menjadi sebagai bahan baku dalam bentuk: PO4-3, ortho-phophat, untuk IPAL air HPO4-2,H2PO4-, H3PO4 dalam suatu proses limbah, dan proses lambat lanjutan lumpur yang dihasilkan Molekulnya tersusun Untuk menentukan Untuk menentukan dari atom P,O,H dalam kadarnya, rubah kadarnya, ubah dulu bentuk yang komplek, dulu menjadi ortho- menjadi orthosehingga tidak phosphat dengan phosphat dengan mengalami penguraian membubuhkan membubuhkan sejenis lebih lanjut sejenis asam asam pencerna pencerna Kadarnya dapat ditentukan dengan menambahkan senyawa ammonium molybdate, yang dapat membentuk warna yang komplek dengan phosphat tersebut
Berdasarkan hasil analisa phosphat pada air baku yang telah diolah terlebih dahulu di dalam fixed bed reactor yaitu dengan cara penambahan senyawa ammonium molybdate konsentrasi phosphat <5 mg/L dan terus menurun hingga 0.325 mg/L (Gambar 24) dengan tingkat efisiensi penyisihan 90%, penghitungan nilai efisiensi ini dapat dilihat pada Lampiran 8. Hal ini juga menandakan bahwa unsur hara berupa phosphat dimakan oleh mikroorganisme pendegradasi zat organik. Mikroorganisme merupakan faktor yang penting terhadap proses biologis, baik dalam penyisihan zat organik maupun dalam proses nitrifikasi. Berdasarkan penelitian Widayat (2010) bakteri Basilus subtilis, Clostridium, dan Proteus sp diidentifikasi sebagai pengurai senyawa organik, sedangkan pengurai amoniak dalam proses nitrifikasi mikroorganisme yang berperan yaitu Nitrosomonas dan Nitrobacter.
4.5
Analisis Kebutuhan Koagulan Bahan koagulan biasa digunakan untuk pengolahan air sungai baik di PDAM maupun pengolahan air lainnya seperti WTP (Water Treaatment Plan). Prinsip kerjanya yaitu padatan yang terlarut di dalam air akan berikatan dengan bahan koagulan dan kemudian akan terjadi proses koagulasi-flokulasi. Bahan koagulan yang biasa digunakan adalah Al2(SO4)3 atau tawas, namun saat ini penggunaan tawas mulai tergantikan dengan PAC (Poly Alumunium Chloride) karena harga PAC yang lebih murah dan PAC dianggap lebih effisien dalam melakukan koagulasi (lihat Tabel 1). Penelitian kali ini akan membandingkan pemakaian PAC di WTP Cihideung milik IPB setelah dan sebelum dilakukan pra-treatment dengan menggunakan fixed bed reactor bermedia batu apung. Kemudian dihitung biaya yang dapat dihemat untuk pembelian bahan koagulan ini. Spesifikasi PAC yang digunakan pada WTP Cihideung dapat dilihat pada Lampiran 9. Pemakaian PAC di WTP Cihideung juga bergantung pada kondisi air baku. Bila musim hujan tingkat kekeruhan meningkat hingga mencapai >100 FTU, sedangkan pada musim kemarau kekeruhan air baku < 50 FTU. Dosis optimum PAC yang digunakan berkisar antara 0,02-0,07 mL/L, namun dosis ini hanya dapat digunakan bila kekeruhan < 50 FTU, sedangkan bila kekeruhan >50 FTU dosis optimum PAC >0,07 mL/L dan bila kekeruhan mencapai 100 FTU dosis optimum PAC yang digunakan dapat mencapai 0,3 mL/L. Pada penelitian ini, dilakukan uji jar test untuk menentukan dosis optimum PAC pada konsentrasi air baku yang berbeda-beda, yaitu air baku diencerkan menggunakan aquades dengan perbandingan 1:1, 1:3, dan 1:4 sehingga tingkat kekeruhan, TSS, dan warna pada sampel air baku menjadi berbeda pula. Dalam alat Jar Test terdapat enam wadah (Lampiran 2), satu wadah sebagai kontrol dan wadah lainnya dijalankan dengan konsentrasi PAC yang berbeda-beda. Wadah kontrol tidak diberi perlakuan apapun baik pemberian PAC maupun aerasi (pengadukan). Kecepatan aerasi yang digunakan dalam Jar Test sebesar 45 rpm dan dijalankan selama 30 menit. Setelah impeler dalam alat Jar Test berhenti berputar wadah yang berisikan sampel didiamkan selama 30 menit untuk menurunkan flok-flok yang terbentuk seperti pada Gambar 25.
(a)
(b)
Gambar 25. Pengendapan padatan dengan koagulan (PAC) (a. Sebelum diendapkan, b. Setelah diendapkan) Berdasarkan hasil uji jar test diketahui bahwa pada tingkat kekeruhan, TSS, dan warna yang berbeda akan membutuhkan volume koagulan (PAC) yang berbeda juga. Hasil uji jar test dapat dilihat pada Gambar 26, 27, dan 28. Grafik pada Gambar 26, 27, dan 28 bila dapat
diplotkan ke grafik lain yang menunjukkan dosis optimum PAC pada tingkat kekeruhan yang berbeda (Gambar 29). 40
Kekeruhan (FTU)
35 30 25 Tanpa pengenceran
20
pengenceran 1:1
15
pengenceran 1:3
10
pengenceran 1:4
5 0 0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
Konsentrasi PAC (mL/L) Gambar 26. Grafik pengaruh Konsentrasi PAC terhadap tingkat kekeruhan
30
TSS (mg/L)
25 20 Tanpa pengenceran
15
pengenceran 1:1 10
pengenceran 1:3 pengenceran 1:4
5 0 0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
Konsentrasi PAC (mL/L) Gambar 27. Grafik pengaruh Konsentrasi PAC terhadap TSS
250
Warna (PtCo)
200 150
Tanpa pengenceran pengenceran 1:1
100
pengenceran 1:3 50
pengenceran 1:4
0 0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
Konsentrasi PAC (mL/L) Gambar 28. Grafik pengaruh Konsentrasi PAC terhadap warna air baku
Dosis optimum PAC ml/L
0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Kekeruhan (FTU) Gambar 29. Dosis optimum PAC pada air dengan berbagai tingkat kekeruhan Dari grafik di atas dapat dibuktikan bahwa semakin tinggi kekeruhan pada air maka akan semakin tinggi konsentrasi PAC yang dibutuhkan, data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada saat pengambilan sampel cuaca di sekitar sungai Cihideung sedang cerah, sehingga tingkat kekeruhan sampel yang diteliti pada uji jar test dimulai dari 37 FTU dan kemudian air baku (air sungai Cihideung) diencerkan dengan akuades, perbandingan pengenceran air sungai dengan akuades yaitu 1:1 yang menghasilkan nilai kekeruhan sebesar 14 FTU; 1:3 menghasilkan nilai kekeruhan sebesar 10 FTU ; dan 1:4 menghasilkan nilai kekeruhan sebesar 5 FTU. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5. Konsentrasi PAC optimum pada tingkat kekeruhan berbeda kekeruhan (FTU)
konsentrasi PAC optimum mL/L
37
0.05
14
0.01
10
0.005
5
0.005
Tabel 6. Konsentrasi PAC optimum pada TSS berbeda TSS (mg/L)
konsentrasi PAC optimum mL/L
25
0.04
12
0.01
8
0.005
3
0.005
Bila dianalisa penghematan pemakaian dan biaya yang dikeluarkan untuk bahan koagulan dengan cara perhitungannya yang terdapat pada Lampiran 11, didapat bahwa penghematan PAC setelah melalui pra-treatment air baku dengan menggunakan fixed bed reactor bermedia batu apung mencapai 0,16 mL/L bila dilihat dari penurunan tingkat kekeruhan, 0,12 mL/L bila dilihat dari penurunan TSS. Penghematan penggunaan PAC juga berdampak pada penurunan biaya produksi air bersih, penurunan biaya produksi di WTP Cihideung akibat pra-treatment menggunakan sistem fixed bed reactor dapat mencapai Rp12.441.600,- per bulan. Selain pemakaian koagulan seperti PAC, ada bahan kimia lainnya yang berkaitan dalam menurunkan bahan organik dan anorganik terlarut yaitu klor. Senyawa klor adalah salah satu disinfektan yang paling banyak dalam pengolahan air minum dan air buangan. Klor sebagai bahan disinfektan dapat menyebabkan kerusakan pada sel bakteri yaitu kerusakan kemampuan permeabilitas sel, asam nukleat dan enzim. Selain sebagai disinfektan klor juga digunakan sebagai oksidator, mengurangi bau dan rasa pada air. Bila air baku telah diolah terlebih dahulu seperti pada penelitian ini yaitu pra-treatment dengan memanfaatkan media batu apung sebagai media pada fixed bed reactor, hasil dari pra-treatment ini dapat menurunkan kandungan anorganik (ammonium) dan organik (BOD, COD, dan KMnO 4) sehingga pada tahap disinfektan, pemakaian senyawa klor dapat diminimisasi.