HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Jakarta Timur berbatasan dengan Jakarta Utara, di bagian timur dengan Bekasi, di bagian selatan dengan Depok dan di bagian barat dengan Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Luas wilayah Kota Jakarta Timur adalah 187,73 km². Jakarta Timur merupakan kota administrasi Terluas di provinsi DKI Jakarta, dengan jumlah penduduk di wilayah Kota Jakarta Timur yaitu 1.959.022 jiwa (Data BPS 2007) dengan kepadatan sekitar 10.455 jiwa/km², yang tersebar pada 10
kecamatan terdiri dari 65 kelurahan/desa. Potensi Wisata Jakarta Timur Potensi obyek wisata yang dimiliki Jakarta Timur berjumlah 29 obyek terdiri dari Wisata Rekreasi (3), Wisata Sejarah (1), Wisata Monumen (1), Wisata Minat khusus (3), Wisata Belanja (16), Wisata Industri (1), dan Wisata Olah Raga (4). Sejumlah obyek wisata andalan Kotamadya Jakarta Timur, yang selama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan nusantara maupun manca negara, adalah Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Pancasila Sakti, Kawasan Wiladatika, Makam Pangeran Jayakarta, Pasar Burung, Pusat Perdagangan Permata, Condet Cagar Buah, dan Perkampungan Industri Kecil. Seluruh obyek wisata tersebut mampu menyerap diatas 15 juta pengunjung tiap tahunnya (sejak 2001) dan mampu menampung hampir seribu tenaga kerja. Jumah tenaga kerja tersebut belum termasuk yang ada di fasilitas pariwisata seperti hotel dan restoran, serta usaha penunjang pariwisata lainnya seperti pusat olahraga, rekreasi dan hiburan. Maka tidak salah jika Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, disiapkan sebagai kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, di samping meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata serta meningkatkan SDM. Jenis Usaha Rumah Makan di Jakarta Timur Perizinan mendirikan usaha rumah makan dikeluarkan oleh Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, melalui Kepala Dinas Pariwisata Propinsi DKI Jakarta, dan atas rekomendasi dari Kepala Suku Dinas Pariwisata
61
wilayah kota Jakarta Timur.
Persyaratan untuk memperoleh Izin Sementara
Usaha Pariwisata (ISUP), mengajukan Surat Permohonan yang dilengkapi dengan Akte Pendirian Perusahaan, Kejelasan Bukti Status Tempat dari Dinas Tata Kota, Bukti Tidak Keberatan Lingkungan yang diketahui RT, RW, Lurah dan Camat setempat, melampirkan Gambar Situasi dan Denah Ruangan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Sedangkan persyaratan untuk memperoleh Izin Tetap
Usaha Pariwisata (ITUP), surat permohonan dilengkapi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Tanda Daftar Izin perusahaan dari Lurah diketahui Camat setempat, Keterangan domisili perusahaan dari Lurah diketahui Camat setempat, dan salinan Izin Sementara Usaha Pariwisata (ISUP). Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan menjelaskan tentang Restoran yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan minuman yang melakukan pengolahan bahan-bahan masakan dan hidangan pada suatu tempat atau lokasi tetap tertentu dengan bangunan permanen, termasuk di dalamnya dapat menyediakan fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan serta pengembangan fasilitas lainnya, antara lain seperti Rumah Makan, Café, Coffee Shop, Kantin, Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya. Atas dasar Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 dan penjelasan tentang restoran, dapat diuraikan bahwa klasifikasi usaha rumah makan di Jakarta Timur mengacu pada: (1) Bentuk usaha dan permodalan, (2) kelompok hidangan, (3) lokasi pengolahan, (4) Kondisi bangunan (usaha), (5) penyediaan fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan; serta (6) pengembangan fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain seperti Rumah Makan, Café, Coffee Shop, Kantin, Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya. Berdasarkan Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran, yang diterbitkan oleh Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur (terlampir), jumlah jenis usaha rumah makan di Jakarta Timur pada tahun 2007
(data sekunder) berdasarkan klasifikasinya yaitu (1)
Rumah Makan Kelas A terdapat 8 usaha, (2) RM Kelas B terdapat 15 usaha, (3) RM Kelas C terdapat 68 usaha, (4) RM Kelas D terdapat 21, dan selebihnya sebanyak 119 usaha rumah makan belum teridentifikasi oleh Pemda Jakarta Timur (Sudin Pariwisata).
62
Populasi rumah makan kelas C, menurut Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran, berjumlah 68 rumah makan. Dari hasil survei terdata hanya 63 rumah makan, selisih 5 rumah makan diduga pindah ke lokasi lain, terjadi peningkatan kelas menjadi A/B, atau penurunan kelas menjadi D. Pada Peta Sebaran Potensi Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur (terlampir) menunjukkan bahwa sebanyak: (1) 27% berada di wilayah kecamatan Kramat Jati, (2) 22% di Pulogadung, (3) 19% di kecamatan Jatinegara, (4) 11% di Duren Sawit, (5) 8% di Cipayung dan (6) 13% lainnya menyebar di kecamatan lainnya.
Hal ini membuktikan bahwa tidak ada kecamatan yang
mendominasi sebagai lokasi yang paling strategis untuk berusaha rumah makan. Keunggulan bagi kecamatan Kramat Jati yaitu terdapat pasar Kramat Jati, terminal Cililitan, dan Batu Ampar (Condet) sebagai kawasan cagar budaya Betawi. Kecamatan Pulogadung selain sebagai kawasan industri juga memiliki 2 terminal Bus, yaitu Terminal Pulogadung dan Terminal Rawamangun. Kecamatan Jatinegara merupakan kawasan yang cukup ramai, di wilayah ini terdapat Terminal Bus Kampung Melayu, Stasiun Kereta Api, dan Pasar Jatinegara sebagai sentra wisata belanja. Kecamatan Duren Sawit merupakan sentra industri kayu (mebel) dan kawasan perumahan. Kecamatan Cipayung merupakan kawasan tujuan wisata karena terdapat Taman Mini Indonesia Indah. Berdasarkan hasil survei Pemilik RMT kelas C di Jakarta Timur lebih memilih lokasi dekat terminal bus, pasar, dan pusat industri dibandingkan dengan daerah perumahan maupun daerah tujuan wisata. Target konsumen RMT kelas C di Jakarta Timur yaitu para pelanggan yang sedang melakukan perjalanan dan berbelanja di pasar ataupun bertransaksi di kawasan industri. Hal tersebut membuktikan teori dari Kotler (1996) yaitu: a restaurant’s location in its market and its ability to differentiate itself from its competition also help determine whether it will survive. Keadaan ini cukup potensial untuk promosi tidak langsung tentang Jakarta Timur kepada masyarakat di luar wilayah tersebut. Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur Ciri pribadi pengelola RMT kelas C Jakarta Timur yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) usia, (2) pendidikan, (3) pengalaman usaha, (4) intensitas
63
komunikasi, (5) keanggotaan kelompok, (6) kemampuan mengendalikan resiko, dan (7) keterampilan teknis. Deskripsi lengkap disajikan pada Tabel berikut: Tabel 3. Deskripsi Ciri Pribadi Pengelola RM kelas C Jakarta Timur No
Ciri Pribadi (X1)
Rataan
Kisaran
1
Usia (tahun)
49
22–75
2
Pendidikan formal (tahun)
12
6 – 18
3
Pengalaman usaha (tahun)
11
0,5–48
4
Intensitas komunikasi (skor)
3
2–6
5
Keanggotaan kelompok (skor)
2
1–6
6
Kemampuan mengendalikan resiko (skor)
42
30 – 52
7
Keterampilan teknis (skor)
24
10 – 35
Kategori Muda (22 - 39) Sedang (40 - 57) Tua (58 – 75) SD (6) SMP (9) SMA (12) Diploma(13-15) S-1 (16) S-2 (18) Rendah (0,5-16) Sedang (17 - 32) Tinggi (33 - 48) Rendah (2-3) Sedang (4) Tinggi (5-6) Rendah (1-2) Sedang (3-4) Tinggi (5-6) Rendah (30-37) Sedang (38-44) Tinggi (45-52) Rendah (10-18) Sedang (19-26) Tinggi (27-35)
Persentase (%) 25,4 60,3 14,3 7,9 17,5 46 11,1 15,9 1,6 76,2 22,2 1,6 73,0 20,6 6,3 76,2 6,3 17,5 17,5 63,5 19,0 12,7 57,1 30,2
Keterangan: n = 63
Usia Usia pengelola RMT kelas C di Jakarta, sebagai pengelola RMT kelas C dalam penelitian ini, bervariasi mulai dari 22 tahun sampai dengan 75 tahun, dengan rataan 49 tahun. Berdasarkan Tabel frekuensi di atas, sebanyak 60,3 persen dari pengelola RMT kelas C berusia antara 40-57 tahun. Kelompok usia tersebut termasuk tenaga kerja produktif, karena berada diantara 15 sampai dengan 64 tahun (BPS, 2001). Pengelola RM pada kelompok ini masih memiliki produktifitas untuk mengembangkan diri dan mengembangkan usahanya. Mereka memiliki kemampuan bekerja atau beraktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengelola yang sudah tidak produktif.
64
Kecenderungan lain bahwa dalam proses adopsi inovasi baru, pengelola RMT kelas C yang berusia muda lebih tanggap bila dibandingkan dengan pengelola yang berusia lebih tua. Selain masalah fisik, pengelola RMT kelas C yang lebih tua cenderung penuh pertimbangan dan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan, sehingga kurang responsif terhadap ide-ide baru. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wiriaatmadja (1990), bahwa usia seseorang mempengaruhi penerimaannya terhadap hal-hal baru. Sebagian besar (74,6%) pengelola RMT kelas C berusia di atas 40 tahun, berdasarkan hasil wawancara mendalam, fenomena tersebut muncul karena diperlukan kedewasaan dengan pengalaman dan tingkat kemandirian kuat. Mengelola usaha rumah makan dianggap sulit bagi tenaga kerja berusia muda (di bawah 30 tahun). Hal ini terkait resiko yang harus dihadapi seperti resiko produksi, penentuan harga, resiko pelayanan, dan pelaksanaan pemasarannya. Investasi yang diperlukan juga tidak sedikit, mengingat pengelola RMT adalah sebagai pemilik. Orang muda lainnya beralasan yaitu takut untuk memutuskan menjadi seorang wirausahawan.
Adanya kecenderungan ingin tetap nyaman
bekerja atau tetap pada posisinya, mendapat gaji, inventaris dan sebagainya. Tidak terpikirkan bilamana suatu saat mereka kehilangan pekerjaan. Maka strategi melalui pemberian dorongan ataupun peningkatan motivasi kepada mereka yang usia di bawah 40 tahun agar tertarik untuk berwirausaha dan berprofesi sebagai pengelola RM. Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan orang yang sudah berusia memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989). Upaya dilakukan dengan cara memperkenalkan para pelaku bisnis RMT, utamanya mereka yang mampu mengadopsi program Sapta Pesona. Keteladanan dan tuntunan para tokoh tersebut berpengaruh sebagai sumber inspirasi keinginan untuk mencoba ataupun menerapkan program yang telah dinilai mampu memberikan kesuksesan. Pendidikan Sumberdaya manusia pengelola rumah makan kelas C yang diteliti memiliki keragaman yang tinggi dalam hal tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan
65
pengelola RMT kelas C bervariasi mulai dari SD (7,9%), SMP (17,5%), SMA (46%), Diploma (11,1%), S-1 (15,9%), dan S-2 (1,6%). Beberapa di antaranya yaitu 7,9% pernah mendapat pendidikan non-formal tentang ilmu komputer, bisnis dan farmasi. Terdapat sekitar 10% mengikuti pendidikan khusus di bidang yang berhubungan dengan usaha rumah makan, yaitu dari usaha katering, pendampingan oleh restoran hotel, kelompok usaha rumah makan, dan dari dinas peternakan DKI. Lamanya mengikuti pendidikan formal, dilengkapi pendidikan nonformal dan terlebih pendidikan khusus menambah pengalaman dan kedewasaan berpikir seseorang. Pendidikan memiliki tujuan menciptakan manusi-manusia yang berkualitas, termasuk dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan juga mempengaruhi perilaku seseorang, baik dari segi pola pikir, bertindak serta kemampuan menerapkan inovasi baru. Jadi pendidikan menjadi urutan pertama dalam menentukan tingkat keinovatifan seseorang (Rogers & Shoemaker, 1971) dan seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang dihadapinya Maryani (1995). Berikut ini berbagai alasan yang memotivasi pengelola RMT kelas C untuk mengelola usaha rumah makan. Pengelola RMT kelas C dengan latar belakang tingkat pendidikan tinggi (28,6%) mengelola sektor usaha ini karena alasan pensiun muda dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan bermaksud memutar uang dari tunjangan yang diperoleh. Mereka yang memiliki latar belakang rendah mengawali usaha melalui pengalaman sebagai karyawan, kemudian memutuskan untuk berwirausaha. Sedangkan bagi mereka yang berpendidikan menengah, memutuskan untuk meraih masa depan melalui kegiatan usaha ini daripada melanjutkan pendidikan tinggi. Bentuk pendidikan, baik formal maupun nonformal, terbukti mampu meningkatkan daya pikir dan meluaskan pengetahuan seseorang. Mengingat kenyataan usia pengelola RMT kelas C dan rata-rata memiliki pendidikan tertinggi
SMA (46%), maka penyuluhan merupakan strategi tepat bagi
pendidikan orang dewasa. Materi yang dirancang bagi pendidikan orang dewasa sangat
fleksibel,
karena
dapat
disesuaikan
dengan
kebutuhan mereka.
66
Kewirausahaan (entrepreneurship) merupakan materi yang dapat memperkuat kemampuan berwirausaha melalui berbagai keberanian dalam memutuskan. Pengalaman Usaha Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986). Hasil survei terhadap pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, pengalaman usaha pengelola RMT kelas C didistribusikan menjadi tiga tingkatan.
Pengalaman
usaha terendah antara 0,5 hingga 16 tahun dialami oleh 76,2%. Maka pengelola RMT kelas C masih perlu menggali pengalaman, karena pengalaman usaha yang dimiliki merupakan bagian dari proses belajar bagi pengelola rumah makan. Selanjutnya atas pijakan pengalaman yang dimiliki dapat memberikan kemampuan mengasah intuisi bagaimana mengatasi suatu masalah tentang kegiatan pengolahan, menentukan harga, memilih karyawan dan memeliharanya sebagai bagian dari aset perusahaan. Hal demikian turut mempengaruhi tingkat kepuasan tamu atas pelayanan yang diterimanya. Intensitas Komunikasi Kualitas intensitas komunikasi pengelola rumah makan kelas C di Jakarta Timur sangat rendah, yaitu sebanyak 73% mengandalkan sumber informasi bisnis dari orang tua dan keluarga dekat saja. Jumlah pengelola RMT kelas C tersebut lebih memilih bentuk interaksi secara langsung, dan komunikasi secara personal. Kualitas intensitas komunikasi ini berkaitan erat dengan tingkat pendidikan di bawah SMA bagi 71,4% pengelola RMT kelas C. Hal ini sesuai dengan pendapat Schramm (1973) bahwa perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi melalui media cetak. Pengelola RMT kelas C yang mulai mencari informasi melalui dengan memanfaatkan teman bisnis, media massa elektronik, dan beberapa sumber bacaan koran, majalah ataupun buku sebagai sumber informasi bagi kelangsungan usahanya sebanyak 20,6 %.
Sebagian kecil pengelola RMT kelas C (6,3%)
mencoba memperluas wawasan mendapatkan informasi bisnis dengan mengikuti
67
suatu pertemuan kelompok sejenis, juga memperoleh kesempatan mengikuti kegiatan seminar dan lokakarya yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Strategi peningkatan intensitas komunikasi antar pengelola dan pengusaha RMT dapat dilakukan melalui wadah organisasi kelompok usaha sejenis. Melalui wadah tersebut diupayakan adanya kegiatan berbagi pengalaman dengan para pengusaha yang lebih dahulu sukses. Keanggotaan Kelompok Keterlibatan pengelola RMT kelas C dalam organisasi kelompok pengelola dan pengusaha rumah makan masih rendah, hanya 17,5 % pengelola rumah makan kelas C di Jakarta Timur yang terdaftar sebagai anggota kelompok. Diperoleh data terdapat seorang sebagai ketua kelompok, dan seorang lainnya sebagai pengurus bendahara di kelompok yang berbeda. Kelompok yang konsisten mengadakan pertemuan yaitu kelompok pengusaha RM Padang,
dan RM Lapo (Medan).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok adalah selain untuk meningkatkan kekerabatan melalui arisan, berbagi pengalaman dan informasi seputar bisnis rumah makan, mengatasi masalah dalam hal kesulitan memperoleh bahan baku, hingga berdiskusi membahas mengenai kesepakatan harga jual produk. Mereka sepakat meskipun tidak ada persaingan harga, pelanggan loyal jika puas terhadap pelayanan yang diterima. Hasil wawancara terhadap pengelola RMT kelas C yang tidak terlibat keanggotan kelompok (76,2%) menyampaikan beberapa alasan dan penyebab, antara lain: (1) menganggap tidak perlu menjadi anggota kelompok karena mengurangi waktu/kesempatan untuk berusaha yang berdampak pada penurunan omzet, (2) sulit untuk memberikan kepercayaan kepada bawahan untuk mengolah hidangan sesuai standar, (3)
pengelola masih harus terlibat langsung dalam
pemberian pelayanan bagi pelanggannya. Sebagian lagi pengelola RMT kelas C (6,3%) belum terlibat dalam kelompok karena belum ada waktu luang dan belum ada informasi tentang keberadaan kelompok. Perlu ada pembinaan, kegiatan pendampingan dan penyuluhan dalam rangka memberi kesadaran kepada pengelola rumah makan kelas C tentang manfaat
pembentukan
dan
keterlibatannya
dalam
kelompok
terhadap
kelangsungan bisnisnya. Melalui keanggotaan dalam kelompok, pengelola rumah
68
makan mengalami proses komunikasi dan proses pendidikan. Keterlibatan dalam kelompok berpengaruh pada perilakunya, misalkan mengikuti jejak atas kesuksesan anggota kelompok, untuk menyusun strategi sesuai kondisi yang ada di tempat usahanya. Kemampuan Mengendalikan Resiko Lebih dari sebagian pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki tingkat kemampuan ambil resiko sedang (63,5%). Data survei dan wawancara mendalam menggambarkan bahwa: (1) resiko produksi, harga, pelayanan, dan promosi masih mampu dikendalikan pengelola RMT kelas C, (2) hambatan lain berupa sepi pengunjung, kesulitan bahan baku, kenaikan harga BBM, ketenagakerjaan, keamanan, pungutan liar, dan pengamen juga masih dapat diatasi dengan baik, (3) adanya keterlibatan keluarga dan karyawan dalam membantu menghadapi resiko dan mengatasi hambatan yang ada, (4) pengelola RMT kelas C memiliki semangat untuk mengembangkan usaha dengan memperluas usaha di tempat lain. Sebanyak 17,5% pengelola RMT kelas C yang rendah dalam kemampuan ambil resiko, cenderung pasrah saja tanpa berusaha mencari jalan keluar ketika menghadapi kesulitan memperoleh bahan baku. Untuk mengatasi kenaikan harga BBM, mereka mengurangi porsi atau pengurangan bahan. Cenderung mengambil langkah mem-PHK untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan merekrut karyawan baru sebagai penggantinya. Mereka juga lebih memilih berdiskusi dengan keluarga untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Berbeda dengan 19% pengelola RMT kelas C lainnya yang memiliki kategori lebih berani mengambil resiko. Untuk mengatasi masalah kesulitan bahan baku, hal yang dilakukan yaitu mencari pemasok atau pasar lain dalam upaya mempertahankan kekhas-an menu yang dijual. Upaya antisipasi kenaikan harga BBM (minyak tanah) mereka berusaha untuk mencari alternatif mengganti bahan bakar gas, dan lebih memilih menaikan harga jual dalam upaya menjaga kualitas produknya. Sedangkan dalam upaya mempertahankan loyalitas karyawan, mereka memberikan
pelatihan
dan
peduli
pada
kesejahteraannya.
Dalam
hal
pengembangan usaha, mereka lebih memilih melakukan diversifikasi usaha dan
69
pembukaan cabang di tempat lain. Merekapun melibatkan kelompok dan sumber informasi lain dalam rangka mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Hasil data menunjukkan bahwa pengelola rumah makan kelas C di Jakarta Timur
yang
memiliki
kemampuan
mengambil resiko
terdapat
82,5%.
Kemampuan mengambil resiko merupakan bagian dari jiwa kewirausahaan, yaitu kemampuan dalam membaca peluang, berinovasi, mengelola, dan menjual (Hendro, 2006). Keterampilan Teknis Pengelola usaha, baik itu usaha RMT maupun bentuk usaha lainnya, membutuhkan keterampilan bersifat teknis (Technical Skills).
Keterampilan
teknis adalah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknikteknik dari suatu bidang tertentu (Katz, 1974). Keterampilan teknis diperlukan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Penelitian ini berusaha mencari informasi tentang tingkat kemampuan dan keterampilan teknis yang dimiliki pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, terutama dalam pengelolaan produk, harga, pelayanan, promosi, hal-hal yang terkait dengan pengelolaan karyawan sejak rekrutmen hingga evaluasi kinerja, dan evaluasi kepuasan pelanggan. Hasil yang diperoleh yaitu 12,7% berada pada tingkat rendah, 57,1% tingkat sedang, dan selebihnya 30,2% tingkat tinggi. Hasil tersebut menggambarkan bahwa pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur sebanyak 87,3% telah memiliki kemampuan dan keterampilan teknis dalam pengelolaan aset karyawan dan pelanggan. Kemampuan dalam mempertahankan kualitas produk, penyesuaian harga dengan keadaan pasar, memberikan pelayanan sesuai kebutuhan tamu, dan berpromosi untuk merebut hati pelanggan. Meski tenaga kerja umumnya berasal dari teman atau keluarga dengan kemampuan terbatas, pengelola dengan keterampilan teknisnya telah memberikan pelatihan sesuai kebutuhan operasional.
Pengelola RMT kelas C juga peduli terhadap
kepuasan pelanggan, secara rutin memperoleh umpan balik tentang kualitas dari pelanggan dengan cara bertanya langsung. Pengelola RMT kelas C Jakarta Timur yang merespon alasan pentingnya keterampilan di bidang produksi untuk menghasilkan produk berkualitas yaitu 35%, respon tentang keterampilan mengelola harga 20%, respon tentang
70
keterampilan mengelola
pelayanan 12%, dan respon
tentang perlunya
keterampilan promosi 18%. Data ini membuktikan bahwa fokus memberikan pelayanan terbaik untuk kepuasan pelanggan masih sangat rendah. Hasil penelitian ini menjawab tentang ciri pengelolaan pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya bagi staf produksi (Kotler, 2002), dan pebisnis modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi laba, pelanggan dan stakeholder (sosial), dan fokus pada kepentingan pelanggan (Nickel, 2005). Ciri Lingkungan Usaha RMT kelas C di Jakarta Timur Ciri lingkungan usaha RMT kelas C Jakarta Timur yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) kebijakan Pemda, (2) skala usaha, (3) modal keuangan, (4) modal tenaga kerja, (5) sarana usaha, (6) prasarana usaha, (7) lokasi usaha, dan (8) kompetitor. Deskripsi selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Kebijakan Pemda Pendapat pengelola RMT kelas C tentang kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan keberlangsungan usaha rumah makan menunjukkan tingkat kepuasan sangat tinggi sebanyak 22,2%, tingkat kepuasan sedang 55,6%, dan selebihnya 22,2% merasa tidak puas. Dari data yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa tingkat kepuasan pengelola RMT kelas C pada umumnya cukup puas atas kebijakan Pemerintah Daerah setempat tentang pelayanan administrasi perijinan, pungutan pajak dan retribusi. Begitupula dalam hal kegiatan pengawasan, pembinaan daya saing, pembinaan kualitas produk, dan pembinaan kualitas pelayanan. Berdasarkan informasi hasil survei, pemerintah daerah kota Jakarta Timur beserta jajarannya di tingkat kecamatan dan kelurahan telah cukup berperan dalam tatalaksana administrasi sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 25 Tahun 2000. Demikian halnya dengan kegiatan pengawasan dan pembinaan di bidang pariwisata sesuai Perda Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004, khususnya Pasal 35 tentang kewajiban dan larangan; Pasal 41 tentang pembinaan
71
terhadap penyelenggaraan kepariwisataan; dan Pasal 42 Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan. Tabel 4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RM Kelas C Jakarta Timur No
Ciri Lingkungan Usaha (X 2)
Rataan/ Median
1
Kebijakan Pemda (skor)
18
Skala usaha a. Luas usaha (m²)
116
b. Kapasitas (kursi)
35
2
c. Jumlah tenaga kerja (orang) d. Jumlah pengunjung perhari (orang)
7
102
e. Omzet perhari (ribu rupiah)
1780
3
Sumber modal keuangan (skor)
6
4
Modal tenaga kerja (skor)
32
5
Sarana usaha (skor)
47
6
Prasarana usaha (skor)
26
7
Lokasi usaha (skor)
17
8
Kompetitor (skor)
11
Keterangan: n = 63
Persentase (%) Kurang mendukung (7-13) 22,2 7 – 28 Cukup mendukung (14-21) 55,6 22,2 Sangat mendukung (22-28) 93,7 Sempit (50-233) 3,2 50 – 600 Sedang (>233-416) 3,2 Luas (>416-600) 65,1 Sedikit (10-40) 22,2 10 – 100 Sedang (>40-70) 12,7 Banyak (>70-100) Sedikit (2-9) 82,5 2 – 25 Sedang (10-17) 12,7 Banyak (18-25) 4,8 79,4 Sedikit (50-133) 11,1 50 – 300 Sedang (134-216) 9,5 Banyak (217-300) Rendah (<2267rb) 34,9 150-6500 Sedang(2267-4383) 9,5 Tinggi (>4383) 4,8 Rendah akses sumber luar 7,9 (3-4) Cukup akses sumber luar 23,8 3–7 (5) Tinggi akses sumber luar 68,3 (6-7) Rendah (16-24) 12,7 16 – 43 Sedang (25-34) 42,9 Tinggi (35-43) 44,4 11,1 Rendah (30-40) 71,4 30 – 63 Sedang (41-52) 17,5 Tinggi (53-63) Rendah (17-24) 34,9 17 – 40 Sedang (25-32) 52,4 Tinggi (33-40) 12,7 28,6 Rendah (12-15) 61,9 12 – 23 Sedang (16-19) 9,5 Tinggi (20-23) 25,4 Rendah (4-8) 36,5 4 – 17 Sedang (9-12) 38,1 Tinggi (13-17)
Kisaran
Kategori
72
Perlu diupayakan agar kebijakan pemerintah terkait mampu mendukung dan memenuhi kebutuhan para pengelola untuk meningkatkan kemampuan berusaha. Kebijakan yang perlu di pertahankan seperti penyuluhan di bidang kesehatan dan pariwisata, sedangkan yang perlu diupayakan yaitu peningkatan kemampuan manajemen, kemampuan berwirausaha, dan peningkatan kualitas tenaga kerja sehingga mampu meningkatkan kualitas sarana dan prasarana usaha, serta lokasi usaha dengan demikian akan tercipta persaingan sehat antara industri usaha. Skala Usaha Data skala usaha rumah makan kelas C di Jakarta Timur hasil penelitian menunjukkan yaitu: 1) Luas rumah makan 93,7% rendah yaitu antara 50 hingga 233 meter persegi, dengan rataan sebesar 116 m². SK Menparpostel No. KM.37/PW.304/MPPT86, mencantumkan salah satu persyaratan yaitu tentang luas rumah makan dihitung berdasarkan kapasitas tempat duduk, dengan perbandingan yaitu 1,5m²/tempat duduk. Maka rumah makan dengan luas rumah makan 50 meter persegi secara standar hanya bisa menampung antara 30 hingga 33 tempat duduk. 2) Rumah makan kelas C di Jakarta Timur sebanyak 65,1% adalah sedikit (antara 10 hingga 40) dengan rataan 35 tempat duduk. Kapasitas tempat duduk rataan 35, jika memperhatikan persyaratan SK Menparpostel tersebut, harus memiliki luas 52,5 m². Jadi luas rumah makan minimal sudah sebanding dengan rataan, hal ini sesuai dengan persyaratan. 3) Jumlah karyawan (tenaga kerja) yang dipekerjakan oleh sebagian besar (82,5%) rumah makan kelas C di Jakarta Timur yaitu berkisar antara 2-9 orang karyawan, dengan rataan 7 orang tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan rataan kapasitas tempat duduk 35 orang, maka setiap seorang tenaga kerja menangani rata-rata 5 orang. Untuk jenis rumah makan kelas hal ini masih dalam batas kewajaran, yaitu semestinya setiap tamu memperoleh pelayanan sesuai dengan harapan. 4) Rumah makan kelas C di Jakarta Timur memiliki jumlah pengunjung harian terendah (79,4%) yaitu berkisar antara 50 hingga 133 orang pengunjung, dengan rataan 102 orang pengunjung.
73
5) Informasi yang diperoleh dari sebagian (49,2%) rumah makan kelas C di Jakarta Timur yaitu jumlah pendapatan (omzet) terendah (34,9%) mampu mencapai Rp. 2.267.000,- (dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu rupiah) per-hari, dengan rataan Rp. 1.780.000,- (satu juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah) per-hari. Dihubungkan dengan rataan 102 orang pengunjung, maka setiap tamu membelanjakan uangnya rata-rata Rp. 17.450,- (tujuh belas ribu empat ratus lima puluh rupiah) di rumah makan kelas C Jakarta Timur tersebut. Jika dihitung pendapatan dalam setahun (365 hari) hasil penjualan yang mampu dicapai rumah makan kelas C Jakarta Timur dengan rataan Rp. 1.780.000,- (satu juta tujuh ratus delapan puluh ribu rupiah) per-hari, omzet setahun total yaitu berkisar Rp. 649.700.000,- (enam ratus empat puluh sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah) per-tahun. Data hasil penelitian tentang skala usaha dapat membuktikan hal yang tercantum dalam pengertian usaha kecil tercantum pada UU No. 9 Tahun 1995, yang menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,-. Sedangkan total penghasilan rumah makan kelas C Jakarta Timur masih jauh lebih rendah Rp. 350.000.000,Modal Keuangan Tanggapan pengelola RMT kelas C
tentang besaran modal keuangan dan
kemudahan dalam memperoleh modal keuangan antara tingkat sedang (23,8%) dan tinggi (68,3%) yaitu 92,1%.
Rendahnya modal keuangan dan kesulitan
memperoleh modal keuangan hanya dialami oleh sedikit pengelola RMT kelas C yaitu 7,9%. Fenomena yang muncul bahwa seluruh (100%) pengelola RMT kelas C mengandalkan modal sendiri (berasal dari warisan keluarga), sebanyak 25% yang mencari bantuan modal dari bank pemerintah, 18% dari bank swasta, 15% dari lembaga koperasi, 15% dari pegadaian, dan 11,7% masih memanfaatkan dana pinjaman dari rentenir. Ketersedian modal dan asal modal yang telah diuraikan di atas sekaligus membuktikan bahwa rumah makan kelas C sebagai usaha kecil menengah (UKM)
74
dengan administrasi perusahaan yang pada umumnya masih bersifat sederhana, kurang teratur, belum berbentuk badan hukum tidak mampu menyediakan jaminan
(coliateral)
guna
mendapatkan
kredit
dari
dunia
perbankan
(Depnakertrans). Hal ini menjadi penyebab investasi modal terbatas (Fuad, 2000), dan pembiayaan hanya mampu disediakan oleh seorang atau sekelompok kecil (Puspopranoto, 2006). Modal Tenaga Kerja Hasil penelitian mengungkap bahwa kualitas tenaga kerja berdasarkan asal tenaga kerja, latar belakang pendidikan, status karyawan, dan kualitas materi pelatihan yang dimiliki. Kondisi tenaga kerja RMT Kelas C Jakarta Timur yang berhasil dikumpulkan yaitu tenaga kerja kualitas rendah 12,7%, kualitas sedang 42,9%, dan kualitas tinggi 44,4%. Hal ini membuktikan kenyataan meski karakteristik usaha kecil cenderung menggunakan pekerja yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan pengusaha namun
kualitasnya
masih
dapat
dipertanggungjawabkan
yaitu
rata-rata
menggunakan karyawan berlatarbelakang antara lulusan SMP dan SMU. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dalam memberi upah bagi karyawannya. Dalam upaya meningkatkan kualitas tenaga kerja, sebanyak 60% dari pengelola RMT kelas C memberikan pelatihan pada saat pertama kali karyawan bekerja. Bentuk materi pelatihan yang diberikan pada umumnya yaitu mengenai cara produksi,
cara pelayanan, kecepatan pelayanan, cara komunikasi,
keramahtamahan pelayanan, mengenai keutamaan keamanan, kebersihan, dan kesehatan dalam pelaksanaan kerja.
Materi tersebut direspon sebagai modal
utama bagi tenaga kerja dan merupakan faktor penting dalam melaksanakan kegiatan usaha rumah makan. Sarana Usaha Penelitian ini mengukur obyek sarana usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur dari sisi kuantitas dan kualitas peralatan makan-minum, meja makan dan asesorisnya, seragam karyawan, dan peralatan memasak sebagai penunjang bisnis rumah makan. Juga tentang ketersediaan tempat penyimpanan kering dan basah,
75
termasuk kualitas kebersihan area kerja di dapur dan restoran, serta ada tidaknya kegiatan inventarisasi terhadap sarana usaha tersedia. Hasil penelitian tentang kuantitas dan kualitas sarana usaha yaitu 11,1% dari RMT Kelas C berada pada tingkat kondisi yang rendah, 71,4% diantaranya pada tingkat sedang, dan sisanya 17,5% tingkat tinggi. Dapat dideskripsikan bahwa sebagian besar RMT kelas C di Jakarta Timur memiliki peralatan makan-minum dengan kondisi layak pakai dan jumlahnya mencukupi, sesuai dengan standar kebutuhan operasional sehari-hari usaha mereka. Begitupun dengan kualitas kebersihan peralatan memasak dan area dapur sudah sesuai standar di kelasnya. Kegiatan inventarisasi peralatan, bagi 60% RMT kelas di Jakarta Timur, belum dilakukan secara rutin. Kegiatan ini hanya dilakukan jika diperlukan saja, misalkan usaha mereka terganggu karena kurangnya peralatan. inventarisasi peralatan dilakukan secara rutin, kekurangan alat
Seandainya dapat segera
diantisipasi jika perlu diperbaiki atau membeli baru. Proses inventarisasi jika dilakukan secara rutin harian, terutama peralatan makan-minum, juga mengurangi terjadinya keluhan pelanggan mengenai kondisi dan kelayakannya. Prasarana Usaha Penilaian terhadap kondisi prasarana usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur meliputi kelayakan instalasi listrik, gas, air bersih, tempat penampungan sampah, saluran limbah, pemadam kebakaran, area parkir, toilet umum dan tempat ibadah solat. Hasil penelitian menunjukkan dari 63 rumah makan kelas C sebanyak 34,9% tingkat kelayakannya rendah, 52,4% tingkat sedang, dan hanya 12,7% yang memiliki tingkat kelayakan tinggi. Berdasarkan pengamatan juga diperoleh kenyataan bahwa 68% menyediakan fasilitas ibadah sholat. Hal ini
tidak
menyulitkan karyawan dan dapat
mengganggu kegiatan operasional karena karyawan perlu mencari tempat ibadah di musholla terdekat. Sedangkan bagi pelanggan yang ingin menikmati makanan di tempat juga tidak memperoleh fasilitas kemudahan tersebut. Kenyataan lain sebanyak 10% dari rumah makan tidak memiliki fasilitas toilet umum, dan 22,2% memiliki fasilitas toilet yang kurang layak dari segi fasilitas kelengkapan maupun kebersihannya. Sebanyak 9,52% rumah makan tidak memiliki fasilitas parkir kendaraan, hal ini
mengganggu lalu-lintas
76
disekitarnya, dan berakibat kemacetan jika rumah-makan dalam keadaan ramai. Hal yang paling berisiko yaitu sebanyak 46% dari 63 rumah makan tidak memiliki fasilitas pemadam kebakaran. Atas kenyataan-kenyataan tersebut perlu menjadi perhatian bagi pemerintah setempat untuk merumuskan persyaratan pokok yang perlu dilengkapi oleh para pengelola rumah makan. Lokasi Usaha Hasil observasi tentang lokasi RMT kelas C di Jakarta Timur terdapat dua hal yang perlu menjadi pertimbangan yaitu lokasi rumah makan cukup strategis dan situasi lingkungan sekitarnya. Kedua hal tersebut besar pengaruhnya terhadap tingkat kunjungan, kelompok tamu yang datang, dan jenis tamu yang datang apakah pengunjung tetap atau tidak tetap. Menurut lokasi usaha, RMT kelas C di Jakarta Timur terdiri dari 28,6% memiliki tingkatan rendah, 61,9% tingkat sedang, dan lainnya 9,5% tingkat tinggi. Tingkatan rendah artinya lokasi kurang strategis dan lingkungan kurang mendukung, kebalikannya tingkatan tinggi berarti lokasi usaha sangat strategis dengan situasi lingkungan terbaiknya. Hasil tersebut di atas menggambarkan bahwa sebagian besar RMT Kelas C menurut pengelolanya memiliki lokasi yang cukup strategis, namun lingkungan kurang ideal baik dari sisi kebersihan maupun keamanannya. Telah dikemukakan sebelumnya tentang peta lokasi, pada umumnya RMT Kelas C di Jakarta Timur berada di sekitar terminal bis, pasar tradisional, daerah wisata belanja dan setasiun kereta. Maka lingkungan yang terbentuk sangat tergantung pada kondisi terminal bis dan pasar, yang pada umumnya untuk wilayah Jakarta Timur kurang tertata secara apik. Hal ini juga berpengaruh pada kelompok tamu/pengunjung yang datang ke rumah makan tersebut, yaitu masyarakat umum dan bukan pelanggan tetap. Kompetitor Konsep pemasaran menyatakan bahwa agar berhasil sebuah perusahaan harus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumennya lebih baik daripada para pesaingnya. Tidak ada strategi bersaing yang cocok (pas) bagi semua perusahaan, karena masing-masing perusahaan perlu mempertimbangkan ukuran dan posisi di dalam industrinya dalam hubungannya dengan pesaing (Kotler,
77
2002). Maka penelitian ini ingin mengetahui tingkat persaingan usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur dengan rumah makan sekelas lainnya. Tingkat persaingan pada umumnya dianggap rendah oleh 25,4% RMT Kelas C di Jakarta Timur, 36,5% menganggap tingkat persaingan cukup ketat, sedangkan 38,1% RMT lainnya menganggap tingkat persaingan sangat ketat. Data ini menggambarkan bahwa pada umumnya tingkat persaingan RMT Kelas C di Jakarta Timur tidak begitu ketat, baik dari bentuk persaingan produk, harga, pelayanan, maupun promosi.
Mengacu pada teori sebelumnya hal ini
mempengaruhi kemampuan dan semangat berusaha bagi pengelola untuk lebih unggul dari yang lainnya. Para pengelola RMT Kelas C hanya beranggapan persaingan hanya untuk wilayah sempit di sekitar wilayah usahanya, belum memperhitungkan RMT yang berdiri di kecamatan atau wilayah kota lainnya. Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C Penelitian tentang tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola RMT Kelas C meliputi tujuh hal yaitu tingkat kesadaran, tingkat minat, tingkat penilaian, tingkat mencoba, tingkat penerapan, tingkat konfirmasi, dan tingkat penolakan. Berdasarkan hasil survei menunjukkan tingkat adopsi pengelola RMT kelas C pada posisi sedang, karena rataan 1,70 berada di antara skor 1,67 dengan 2,33 (lihat data Tabel 5). Tabel 5. Skor Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur No Tingkat Adopsi Skor 1
Kesadaran
1,40
2
Minat
1,68
3
Penilaian
1,52
4
Mencoba
2,30
5
Penerapan
1,78
6
Konfirmasi
1,70
7
Penolakan
1,51 Rataan
Keterangan: n = 63,
skor1,00 – 1,66 = rendah 1,67 – 2,33 = sedang 2,34 – 3,00 = tinggi
1,70
78
Tingkat kesadaran pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur yang diamati meliputi pengenalan program pemerintah di bidang pariwisata, tujuan program sapta pesona, dan kesadaran tentang kisaran tahun pertamakali diperkenalkannya program Sapta Pesona. Tingkat kesadaran rendah dengan skor 1,40,
hal ini
diperkuat dengan hasil analisis terhadap jawaban pengelola RMT kelas C atas kuesioner yang disebarkan, yaitu 54% tidak mengenal program pemerintah di bidang pariwisata, 49% tidak tahu program Sapta Pesona beserta tujuannya, dan 52% tidak tahu kapan program Sapta Pesona mulai diluncurkan. Tingkat minat pada program Sapta Pesona hanya diperoleh dari pengelola RMT kelas C 34 orang (54%) yang memberi tanggapan atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan pada kuesioner. Dari sejumlah 34 orang pengelola RMT kelas C tersebut, sebanyak 53% memperoleh informasi program Sapta Pesona melalui media massa dan media elektronik, 32% memperoleh informasi dari para penyuluh pariwisata, serta hanya 15% yang berusaha mencari informasi melalui kegiatan seminar dan pertemanan bisnis.
Data ini memberikan bukti bahwa
peranan penyuluh pariwisata dalam sosialisasi program pemerintah di bidang pariwisatam khususnya Sapta Pesona, masih terlalu rendah. Perlu dicari upaya menguatkan minat para pengelola untuk lebih memahami suatu program, sehingga mampu menerapkan dan memanfaatkan program tersebut pada kegiatan bisnisnya. Tingkat penilaian pengelola RMT kelas C terhadap manfaat program Sapta Pesona terkait dengan keberlangsungan usaha rumah makan juga rendah yaitu memiliki skor 1,52 yang berada diantara skor 1 dan 1,66.
Kesan terhadap
penyuluh sebanyak 67% tidak mengenal dan bahkan tidak tahu jika ada penyuluh di bidang pariwisata, 10% di antara pengelola RMT kelas C yang mengenali penyuluh mengatakan kurang menarik dalam hal penyampaian informasi, dan 23% lainnya mengatakan cukup menarik. Hal tersebut dikarenakan selama ini peran penyuluh hanya melakukan sosialisai peraturan pemerintah kepada beberap pengelola RMT kelas C (kurang menyeluruh). Materi penyuluhan belum terkait dengan kegiatan dalam memajukan usaha mereka. Sedangkan berdasarkan penilaian isi program 21% pengelola RMT kelas C mengaku tidak paham, dan 52% mengatakan sulit untuk dapat memahami isi program Sapta Pesona. Pengelola RMT, tanpa mengetahui isi program Sapta Pesona, sebenarnya telah
79
menerapkan sebagian butir seperti keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukkan, keindahan,
keramahtamahan,
dan
kenangan.
Beberapa
diantara
mereka
menganggap sebagai tuntuan dan kebutuhan dasar bagi tamunya, maka mereka menjadikan habitual dalam kegiatan pelanyanan oleh karyawannya. Kenyataan tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi para penyuluh pariwisata untuk lebih intensif dalam menjalankan fungsinya. Pada tahap mencoba, setelah diberikan informasi dan pemahaman oleh peneliti, keinginan pengelola RMT kelas C untuk menerapkan butir-butir Sapta Pesona dalam kegiatan usaha mereka cukup tinggi dengan skor 2,30 yang berada diantara interval 1,67 dan 2,33. Umumnya pengelola RMT kelas C sulit untuk menerapkan butir keamanan dan ketertiban. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa usaha mereka yang berlokasi di pusat keramaian seperti daerah wisata belanja, lingkungan pasar, terminal, dan setasiun. Kemampuan pengelola RMT kelas C pada tahap penerapan butir-butir program Sapta Pesona cukup tinggi skornya 1,78. Tingkat intensitas untuk menerapkan dalam enam unsur pertama program Sapta Pesona (keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, dan keramahtamahan) pada bentuk aksi pengelola RMT kelas C pada kegiatan sehari-hari bisnisnya yaitu cukup sering. Namun untuk unsur kenangan tidak sering dilakukan, baru pada tahap kemampuan menyajikan hidangan ciri khas lokal, sedangkan untuk cinderamata yang unik khas lokal belum terpikirkan. Kemampuan pengelola RMT kelas C untuk mengkonfirmasikan cukup tinggi (skor 1,70) atas keputusan mencoba menerapkan butir dan unsur yang ada dalam program Sapta Pesona. Berdasarkan rekaman informasi bahwa penerapan Sapta Pesona berpengaruh terhadap kepuasan pengunjung, jumlah pendapatan, citra perusahaan, kepuasan karyawan, dan produktifitas kerja karyawan. Skor meningkat jika pengelola memiliki tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku yang tinggi sebagai dampak pemahamannya pada program Sapta Pesona. Tingkat penolakan pengelola RMT kelas C terhadap program Sapta Pesona sebagai suatu inovasi dalam kegiatan bisnisnya rendah dengan skor 1,51 berada di antara 1 dan 1,66. Penolakan pada umumnya karena ketidaktahuan dan
80
ketidakpahaman mereka tentang unsur-unsur yang ada dalam program Sapta Pesona. Tabel 6. Persepsi Pengelola RMT kelas C terhadap Program Sapta Pesona Persepsi Tidak Setuju Ragu Setuju Total
Sapta Pesona Bersih Sejuk
Aman
Tertib
22 (34,9%) 27 (42,9%) 14 (22,2%) 63 (100%)
32 (50,8%) 17 (27,0%) 14 (22,2%) 63 (100%)
18 (28,6%) 30 (47,6%) 15 (23,8%) 63 (100%)
20 (31,7%) 32 (50,8%) 11 (17,5%) 63 (100%)
Indah
Ramah
Kenangan
23 (36,5%) 31 (49,2%) 9 (14,3%) 63 (100%)
13 (20,6%) 38 (60,3%) 12 (19,0%) 63 (100%)
8 (12,7%) 48 (76,2%) 7 (11,1%) 63 (100%)
Hasil analisis persepsi program Sapta Pesona pada Tabel 6 menunjukkan bahwa masih ada keraguan
pengelola RMT kelas C untuk
memutuskan
mengadopsi dan menerapkan butir-butir Sapta pesona pada kegiatan usahanya. Keraguan tentang program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan keamanan, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, dan kenangan. Bahkan terdapat tidak setuju jika menerapkan program Sapta Pesona akan mampu mewujudkan ketertiban. 50,0% 45,0%
42,9%
40,0%
36,5% 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0%
9,5% 6,3%
5,0% 0,0%
Innovator
Early Adopter
Early Majority
Late Majority
4,8% Laggard
Gambar 5. Persentase Kategori Adopter Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur mengadopsi program Sapta Pesona dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Menurut ciri-cirinya, yang disarikan dari Wiriaatmadja (1978), Mardikanto (1982), dan Rogers (1983), pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur dapat dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori adopter
81
(gambar 5) terdiri dari: (1) 9,5% sebagai innovator (inovator); (2) 42,9% early adopter (pelopor); (3) 36,5% early majority (pengikut dini); (4) 6,3% late majority (pengikut akhir); dan (5) 4,8% laggard (kelompok lamban). Hubungan Ciri Pribadi dan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pada bagian ini disajikan hasil penelitian berisi uraian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan tentang: (1) hubungan antara ciri pribadi pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona; dan (2) hubungan antara ciri lingkungan usaha rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona. Hubungan Antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Hasil analisis dari uji statistik non-parametrik Rank Spearman (rs) disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada keeratan hubungan antara ciri pribadi dengan tingkat kesadaran, karena peluang kesalahan (galat) lebih tinggi dari α = 0,01 maupun α = 0,05. Namun terdapat hubungan cukup tipis yaitu antara tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C pada α = 0,10. Hal ini berarti dari 57 pengelola RMT kelas C (90%) terbukti memiliki kesadaran yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimiliki, sebanyak 6 pengelola RMT kelas C (10%) yang tidak memiliki hubungan. Antara ciri pribadi dengan minat pengelola RMT kelas C pada program Sapta Pesona tidak memiliki keeratan hubungan. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan antara ciri pribadi dengan minat memiliki peluang kesalahan diatas 50%. Penelitian ini membuktikan bahwa usia, tingkatan pendidikan, pengalaman yang dimiliki, intensitas komunikasi dan keanggotaan kelompok tidak mampu mempengaruhi minat pengelola RMT kelas C untuk mengadopsi program Sapta Pesona. Bahkan kemampuan berwirausaha dan keterampilan teknis (manajemen) memiliki tingkat kesalahan (galat) di atas 90%, artinya sangat tidak berhubungan nyata.
82
Tabel 7. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Kesadaran
No 1
Usia
2 3 4 5 6 7
Minat
Penilaian
Mencoba
Penerapan
Konfirmasi
Penolakan
-0,030
-0,080
0,312*
-0,032
0,025
0,108
-0,032
Pendidikan
0,208
0,035
-0,007
0,088
-0,137
-0,147
0,041
Pengalaman
0,130
0,072
0,424**
0,142
0,075
0,257*
0,068
Intensitas 0,169 -0,046 0,018 -0,099 -0,295* -0,328** Komunikasi Keanggotaan 0,187 0,071 0,071 0,074 -0,133 -0,140 Kelompok Kemampuan -0,018 -0,008 0,025 0,162 0,119 0,106 Resiko Keterampilan 0,053 0,012 0,011 -0,097 0,196 -0,051 Teknis n = 63 pengelola RMT kelas C ; * Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
-0,125 -0,016 0,146 -0,025
Kemampuan menilai dan memahami isi program Sapta Pesona berhubungan nyata dengan usia pengelola RMT kelas C pada α = 0,01 dan berhubungan sangat nyata dengan lamanya pengalaman usaha pada α = 0,05. pendidikan,
intensitas
komunikasi,
keanggotaan
Namun tingkat
kelompok,
kemampuan
berwirausaha dan manajemen tidak mampu mempengaruhi kemampuan menilai dan memahami isi program Sapta Pesona.
Maka penelitian ini mampu
membuktikan bahwa tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C dipengaruhi oleh usia dan lamanya pengalaman usaha. Keinginan mencoba pengelola RMT kelas C, yaitu menerapkan butir-butir Sapta Pesona pada kegiatan usaha RMT kelas C di Jakarta Timur tidak memiliki keeratan hubungan dengan ciri pribadi pengelola RMT kelas C. Ketidakeratan hubungan dibuktikan dengan peluang kesalahan (nilai p) umumnya lebih tinggi dari α = 0,01 maupun α = 0,05. Ketidakeratan hubungan juga terjadi antara ciri pribadi dengan tingkat adopsi pengelola RMT kelas C dalam bentuk aksi penerapan unsur aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan. Hasil penelitian membuktikan adanya arah hubungan negatif (berlawanan). Hubungan negatif nyata pada α = 0,05 antara intensitas komunikasi dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona. Artinya jika tingkat intensitas komunikasi pengelola RMT kelas C naik maka keinginan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona akan menurun, atau juga
83
sebaliknya jika keinginan pengelola RMT kelas C untuk menerapkan unsur-unsur Sapta Pesona semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun. Tingkat adopsi dalam hal kemampuan mengkonfirmasi, tentang pengaruh penerapan program Sapta Pesona (terhadap kepuasan pengunjung, tingkat pendapatan, citra perusahaan, kepuasan dan produktifitas karyawan) berhubungan nyata dengan pengalaman pengelola RMT kelas C pada α = 0,05. Namun kemampuan konfirmasi berhubungan negatif (berlawanan) sangat nyata dengan intensitas komunikasi pada α = 0,01. Tanda negatif menunjukkan arah perubahan yang berlawanan, yaitu jika tingkat intensitas komunikasi naik maka kemampuan konfirmasi akan menurun, sebaliknya jika kemampuan konfirmasi semakin tinggi maka tingkat intensitas komunikasi semakin menurun. Ciri pribadi tidak memiliki keeratan hubungan nyata dengan tindakan pengelola RMT kelas C dalam hal menerima maupun menolak keputusan mengadopsi, karena memiliki peluang kesalahan (galat) di atas 25%. Artinya bahwa keputusan pengelola RMT kelas C untuk mengadopsi program Sapta Pesona dan program bidang pariwisata lainnya tidak dipengaruhi oleh faktor ciri pribadi yang dimiliki pengelola RMT kelas C. Hubungan Ciri Lingkungan Usaha dengan tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Hasil analisis uji statistik non-parametrik Rank Spearman (rs) disajikan pada Tabel 8. Tidak ditemukan keeratan hubungan yang nyata antara ciri lingkungan usaha dengan tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C pada program Sapta Pesona, baik pada peluang kesalahan (galat) lebih tinggi dari α = 0,01 maupun α = 0,05. Hubungan antara kebijakan Pemda dan skala usaha terhadap tingkat kesadaran pengelola RMT kelas C terjadi pada peluang kesalahan 18% dan 12%, artinya dari 63 RMT kelas C terjadi hubungan pada 52 dan 56 RMT kelas C. Hubungan cukup tipis antara keberadaan lokasi usaha dan adanya persaingan usaha (kompetitor) terhadap tingkat kesadaran nyata pada α = 0,10.
84
Tabel 8. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Ciri Lingkungan KesaPenilai- Men- PeneKonfir- PenoMinat Usaha Daran An coba rapan masi lakan 1 Kebijakan Pemda 0,170 0,142 0,085 0,165 0,134 0,273* 0,240
No
2 Skala Usaha
0,198
0,073
0,209
0,272*
0,270*
0,156
0,102
3 Modal Keuangan
0,034
0,216
0,056
0,160
0,043
0,131
0,008
4 Modal Tenaga
0,175 -0,043
0,221
0,300*
0,080
0,002
-0,015
5 Sarana Usaha
0,158 -0,019 0,378**
0,166 0,325**
0,291* 0,278*
6 Prasarana Usaha
0,168
0,148
-0,007
0,227 0,250*
0,264* 0,293*
7 Lokasi Usaha
0,228
0,034
0,226
0,107
0,070
0,020
-0,043
8 Kompetitor
0,212 -0,074
0,161
0,207
0,094
0,013
0,193
n = 63 pengelola RMT kelas C ;
* Berhubungan nyata pada α = 0,05 ** Berhubungan sangat nyata pada α = 0,01
Besaran modal keuangan sebagai salah satu ciri lingkungan usaha RMT kelas C di Jakarta Timur berhubungan nyata dengan minat pengelola RMT kelas C terhadap program Sapta Pesona pada α = 0,10. Artinya dari 63 pengelola RMT terdapat 6 pengelola yang tidak memiliki minat terhadap program. Ciri lingkungan usaha lainnya tidak memiliki hubungan dengan minat karena memiliki peluang kesalahan lebih dari 10%. Hubungan antara ciri lingkungan usaha pada sub peubah sarana usaha berhubungan dengan kemampuan penilaian sangat nyata pada α = 0,01, karena dari setiap 1000 kasus memiliki peluang kesalahan pada 2 pengelola RMT kelas C dengan koefisien korelasi (Spearman) sebesar 0,378. Jadi dari 63 pengelola RMT hanya berpeluang kurang dari 1 orang yang tidak memberikan penilaian terhadap program Sapta Pesona. Sedangkan komponen skala usaha dan modal tenaga kerja berhubungan dengan kemampuan menilai pada α = 0,10. Ciri lingkungan usaha pada sub peubah skala usaha dan modal tenaga kerja berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan keinginan mengadopsi pada taraf mencoba mengaplikasikan pada kegiatan usaha RMT kelas C di Jakarta Timur. Sedangkan pada sub peubah prasarana usaha dan persaingan usaha terjadi hubungan dengan keinginan mencoba pengelola RMT kelas C pada α = 0,10. Tingkat skala (luas) usaha dan kemampuan memelihara prasarana usaha berhubungan nyata dengan kemampuan pengelola RMT kelas C menerapkan
85
unsur-unsur program Sapta Pesona pada α = 0,05. Hubungan sangat nyata pada α = 0,01 terjadi antara kualitas (kemampuan merawat) sarana usaha dengan tingkat adopsi pengelola RMT kelas C dalam bentuk aksi penerapan unsur aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan. Semakin baik kualitas sarana usaha maka semakin baik kemampuan pengelola RMT kelas C dalam menerapkan program Sapta Pesona, dari setiap 1000 kasus hanya terjadi 9 peluang kesalahan dengan koefisien korelasi pada angka 0,325. Kemampuan konfirmasi pengelola RMT kelas C tentang pengaruh penerapan program Sapta Pesona terhadap kepuasan pengunjung, jumlah pendapatan (omzet), citra perusahaan, kepuasan karyawan, dan tingkat produktivitas kerja karyawan berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan kebijakan Pemda, kondisi sarana usaha, dan prasarana usaha. Jadi pada setiap seratus kasus hanya terjadi kurang dari 5 peluang kesalahan atau tidak adanya hubungan antara kebijakan Pemda, kualitas sarana dan prasarana usaha dengan kemampuan pengelola RMT kelas C dalam konfirmasi program Sapta Pesona. Kondisi sarana usaha dan prasarana usaha yang dimiliki pengelola RMT kelas C berhubungan nyata pada α = 0,05 dengan keputusan untuk menolak adopsi program Sapta Pesona. Artinya mereka menolak karena baik-tidaknya kondisi sarana usaha dan prasana usaha yang dimiliki bukan akibat pengaruh dari mengadopsi program Sapta Pesona.
Penolakan mengadopsi program Sapta
Pesona juga berhubungan dengan kebijakan Pemda pada α < 0,10. Mereka menolak karena penyuluhan Sapta Pesona hanya berkaitan dengan kebijakan Pemda dan tidak memiliki dampak terhadap kemajuan usaha mereka. Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur Berdasarkan bahasan hasil analisis keeratanhubungan antara ciri pribadi dan ciri lingkungan usaha terhadap tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur, maka berikut merupakan strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona yaitu: (1) Program Sapta Pesona harus bersifat inovasi yang tepat guna. Meskipun telah diperkenalkan sejak 1991 melalui kampanye Sadar Wisata, kenyataan hasil survei pada penelitian ini menemukan bahwa tingkat
86
kesadaran pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur masih sangat rendah. Bahkan masih ada keraguan pengelola RMT kelas C untuk memutuskan mengadopsi dan menerapkan butir-butir Sapta pesona pada kegiatan usahanya. Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksi harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari pengelola RMT. Sapta Pesona sebagai inovasi yang tepat guna dengan kriteria-kriteria berikut: (a) Sapta Pesona harus dapat dirasakan sebagai kebutuhan oleh pengelola RMT kebanyakan. Jika
diharapkan
masyarakat
(pengelola
RMT)
akan
menerima
(mengadopsi) suatu inovasi, para warga masyarakat harus yakin bahwa inovasi itu memenuhi suatu kebutuhan yang benar-benar dirasakan (Bunch, 2001). Sapta Pesona akan menjadi kebutuhan apabila dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi pelaku usaha bidang pariwisata, khususnya bagi pengelola RMT. Jika para pengelola RMT melalui penilaiannya kemudian berminat untuk mencoba menerapkan butir-butir Sapta Pesona, akan mampu mengatasi masalah misalkan saja seperti keamanan dan keindahan yang memberikan jaminan kebersihan lingkungan guna mendukung keamanan pangan dari kontaminasi. (b) Sapta Pesona harus memberi keuntungan secara konkrit bagi pengelola RMT. Faktor tunggal yang paling menentukan dalam menimbulkan semangat akan suatu program adalah peningkatan pendapatan perorangan yang dapat dicapai dengan teknologi anjuran program (Bunch, 2001). Secara lebih tegas Soekartawi (1988) mengatakan bahwa jika memang benar teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan teknologi lama, maka kecepatan adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat. Perlu di berikan kesadaran tentang dampak positif dari penerapan butir-butir dalam program Sapta Pesona adalah terpenuhinya kepuasan pelanggan. Konsep berpikir bahwa kepuasan konsumen akan mendorong meningkatnya profit adalah bahwa konsumen
87
yang puas akan bersedia membayar lebih untuk “produk” yang diterima dan lebih bersifat toleran akan kenaikan harga. Konsumen yang puas akan membeli “produk” lain yang dijual oleh perusahaan, sekaligus menjadi “pemasar” yang efektif melalui word of mouth yang bernada positif. Hal ini dapat membantu meningkatkan penjualan dan kredibilitas Perusahaan. Konsep Sapta Pesona dapat menjadi Attributes related to purchase (Dutka, 1994) meliputi: courtesy, communication, ease or convenience acquisition, company reputation, dan company competence. (c) Sapta Pesona harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada. Teknologi atau inovasi program Sapta Pesona untuk para pengelola RMT harus menggunakan sumberdaya yang sudah mereka miliki. Kalau sumberdaya dari luar mutlak diperlukan, harus dapat dipastikan bahwa sumberdaya itu murah, dapat diperoleh secara teratur dengan mudah dari suatu sumber tetap yang dapat diandalkan (Bunch, 2001) dan perlu dijamin bahwa perusahaan sanggup membiayai.
Implementasi dari
program Sapta Pesona sebaiknya masih dapat mengandalkan sumber daya tersedia tanpa harus melakukan perubahan atau renovasi yang ketat. Ada baiknya dilakukan secara bertahap dari mulai penerapan rasa aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan. (d) Penerapan Sapta Pesona harus terjangkau oleh kemampuan finansial perusahaan. Hasil penelitian Musyafak et al. (2002) menunjukkan bahwa beberapa kendala adopsi adalah inovasi/teknologi dirasa mahal sehingga tidak terjangkau oleh kemampuan finansial, dan ketersediaan sarana produksi tidak terjamin. Kendala adopsi yang datang secara internal dari inovasi itu sendiri adalah inovasi tersebut dirasakan mahal. Sedangkan kendala adopsi dari luar inovasi itu sendiri adalah orientasi usaha, pasar, dan ketersediaan sarana pendukung (saprodi, dll). Sebagus apapun teknologi kalau tidak terjangkau oleh kemampuan finansial pengguna, maka akan susah untuk diadopsi. Apalagi kebanyakan RMT kelas C merupakan usaha kecil dengan modal terbatas. Maka jika implementasi program
88
Sapta Pesona dirasakan murah akan lebih cepat diadopsi dibanding inovasi yang mahal. (e) Sapta Pesona harus sederhana, tidak rumit dan mudah dicoba. Semakin mudah butir-butir Sapta Pesona untuk dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan pengelola RMT. Sapta Pesona yang memiliki kecenderungan rumit dalam penerapan yaitu butir keamanan, keramahtamahan, dan kenangan. Pada butir keamanan belum menyentuh kemanan pangan, belum ada standar pelayanan yang mengandung unsur keramahtamahan dan kenangan. Oleh karena itu, agar proses adopsi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi harus lebih sederhana (Sukartawi,1988). Dengan demikian kompleksitas suatu inovasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap percepatan adopsi inovasi. Untuk menemukan teknologi dengan kriteria tersebut, dilakukan dengan mengevaluasi apakah teknologi yang diintroduksikan sederhana (tidak rumit), jika memang rumit lakukan peragaan, percontohan, pelatihan secara partisipatif. (2) Memilih metode penyuluhan Sapta Pesona yang efektif. Faktor lain yang mempengaruhi percepatan adopsi dan difusi inovasi adalah tepat tidaknya dalam menggunakan metode penyuluhan. Penggunaan metode yang efektif akan mempermudah untuk dipahami oleh pengelola RMT. Dalam penyuluhan selalu ada unsur komunikasi, akan tetapi dalam komunikasi belum tentu ada unsur penyuluhan. Perbedaan mendasar adalah adanya unsur pendidikan dalam penyuluhan, sedangkan dalam komunikasi tidak selalu ada. Dengan demikian dalam penyuluhan perlu adanya materi yang perlu disiapkan dan penyampaian yang sistematis. Materi penyuluhan pariwisata biasanya berupa inovasi-inovasi di bidang pariwisata. Agar pesan inovasi tersebut dapat diterima dan diaplikasikan oleh target sasaran maka diperlukan metode penyuluhan. Menurut van den Ban dan Hawkins (1996) dan Adam (1988), terdapat tiga klasifikasi metode penyuluhan yaitu metode penyuluhan media massa, metode penyuluhan kelompok, dan metode penyuluhan individu.
89
(3) Memberdayakan agen penyuluhan pariwisata secara optimal. Petugas penyuluhan mempunyai korelasi yang sangat kuat terhadap keberhasilan suatu program. Menurut Mundy (2000), kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal, yaitu sifat inovasi, sifat adopter, dan perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh).
Menurut Bunch
(2001), rancangan terbaik di duniapun tidak akan menjadi program yang berhasil kalau petugasnya tidak berkemampuan dan kemauan untuk menjadikannya berhasil. Seringkali kompetensi dan motivasi petugas menjadi faktor pembatas efektifitas suatu program, dan yang paling sering menjadi masalah adalah kurangnya motivasi. Agen penyuluhan merupakan individu atau institusi yang mempunyai tugas pokok memberikan pendidikan nonformal tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usaha pariwisata dengan maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan diri dan bila memungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya. Agen penyuluh dapat berasal dari pengelola RMT, dan penyuluh profesional (penyuluh dinas), sedangkan peneliti/pengkaji berperan sebagai pendukung.
Pemahaman
tentang golongan pengelola RMT adopter sangat diperlukan. Golongan inovator dan early adopter perlu diidentifikasi untuk dijadikan agen transfer inovasi ke pengelola RMT lain. Kedua kelompok adopter tersebut akan sangat membantu proses difusi inovasi dalam sistem sosial masyarakat. Penyuluh yang baik harus menguasai ilmu dan mempunyai seni. Seni dalam penyuluhan dapat diartikan sebagai daya kreatifitas dan improvisasi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya, sehingga tercapai perubahan mental, sikap, dan perilaku Pengelola RMT untuk mengadopsi suatu inovasi yang diintroduksikan. Pemberdayaan berarti memberi motivasi (Wahyuni, 2000), dengan demikian memberdayakan petugas penyuluh berarti menumbuhkan motivasi pada individu petugas penyuluh agar dapat memberikan kinerja yang terbaik.