10
kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan sampai kering. Sediaan ulas darah yang telah diwarnai kemudian diamati di bawah mikroskop perbesaran obyektif 100X dan okuler 10X untuk menghitung diferensiasi leukosit hingga jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Jumlah masing-masing jenis leukosit ditentukan dengan cara mengalikan persentase tersebut dengan jumlah total leukosit (Eggen et al. 2001). Selama proses diferensiasi leukosit difoto menggunakan kamera digital electronic eyepiece MD-130® yang terhubung secara langsung dengan komputer.
Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku masingmasing kelompok diolah dengan Microsoft Excel 2013 dilanjutkan analisis of varriance (ANOVA) one way menggunakan SPSS 16, dan uji post hoc Duncan untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada P<0.05 (Singgih 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh jumlah leukosit pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol Jumlah Leukosit (sel/µL) Pengambilan darah Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol a Prevaksinasi 8966±946 8633±879a a Posvaksinasi I 7100±244 7366±339a a Posvaksinasi II 7666±736 8466±899a Posvaksinasi III 8600±1557a 8266±2015a Dua minggu 9066±262a 9333±618a posvaksinasi III Nilai normal 4000–13000 sel/µL ( Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).
Jumlah leukosit prevaksinasi kambing perlakuan adalah 8966±946 sel/µL lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yakni 8633±879 sel/µL. Hal yang berbeda ditunjukkan pada posvaksinasi I, jumlah leukosit kambing perlakuan mengalami penurunan dan lebih rendah dari nilai kontrol. Penurunan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi karena limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid untuk pembentukkan antibodi yang memerlukan waktu 3–14 hari selain itu neutrofil dimobilisasi ke jaringan tempat penyuntikan vaksin (Lawhead dan James 2007). Peningkatan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi secara berturut-turut dari posvaksinasi II, III, dan dua minggu posvaksinasi III. Hal ini terjadi karena
11
telah dilakukan booster, sehingga terbentuk imun sekunder terhadap antigen (Radji 2010). Selain itu pengambilan darah posvaksinasi III merupakan akhir kebuntingan, yang menyebabkan terjadinya stres. Stres mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol sehingga jumlah neutrofil meningkat yang menyebabkan jumlah leukosit meningkat pula. Keadaan ini disebut sebagai leukositosis kortikosteroid (Stocham dan Scott 2008).
Neutrofil Penyuntikan vaksin akan memicu sel-sel pertahanan tubuh yakni neutrofil dan makrofag untuk memfagosit agen. Neutrofil merupakan leukosit yang pertama berperan dalam melawan infeksi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengamatan neutrofil kambing PE agalactiae dan kambing PE kontrol Nilai Relatif (%) Pengambilan Kelompok Kelompok Darah Perlakuan Kontrol b Prevaksinasi 26.67±0.57 36.33±18.23b b Posvaksinasi I 18.67±2.08 42.00±17.69c Posvaksinasi II 19.00±1.15a 32.33±7.09a Posvaksinasi 25.67±6.02c 47.33±5.50d III Dua minggu posvaksinasi 38.33±12.74c 34.00±12.49c III 30–48% Nilai normal (Latimer et al. 2003)
perlakuan vaksinasi iradiasi S. Jumlah Neutrofil (sel/µL) Kelompok Kelompok Perlakuan Kontrol b 2331±350 3136±948b b 1325±190 3094±949c 1456±228a 2737±607a 2207±168c
3912±1630 d
3475±1012c
3173±1033 c
1200–7200 sel/µL (Lawhead dan James 2007)
*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)
Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan prevaksinasi adalah 26.67±0.57% lebih rendah dari kontrol dan di bawah nilai normal. Namun, jumlahnya masih dalam kisaran nilai normal (2331±350 sel/µL). Meningkatnya jumlah neutrofil dapat dipengaruhi faktor stres saat handling (Nwiyi et al. 2000). Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan posvaksinasi I 18.67±2.08% lebih rendah dibandingkan dengan prevaksinasi dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Hal ini terjadi karena neutrofil banyak dimobilisasi ke jaringan tempat disuntikkan vaksin. Neutrofil memiliki kemampuan untuk berpindah ke jaringan yang diserang oleh mikroorganisme (Lawhead dan James 2007). Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan posvaksinasi II mengalami peningkatan yakni 19.00±1.15%, namun tidak berbeada nyata dengan kontrol (P>0.05). Nilai relatif neutrofil posvaksinasi III juga mengalami peningkatan yakni 25.67±6.02%. Hal ini dapat terjadi karena saat itu merupakan masa akhir kebuntingan yang memicu stres. Stres mengakibatkan tingginya kadar kortisol dalam darah sehingga jumlah leukosit
12
utamanya neutrofil meningkat melalui pelepasan neutrofil dari sumsum tulang masuk ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi darah menuju jaringan (Colville dan Bassert 2008). Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan kembali meningkat pada dua minggu posvaksinasi III yakni 38.33±12.74% namun masih normal.
Gambar 12 Morfologi neutrofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm
Monosit Selain neutrofil, leukosit yang mampu memfagosit adalah makrofag. Makrofag adalah monosit yang telah bermigarasi ke jaringan (Guyton dan Hall 2006). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil pengamatan monosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol Nilai Relatif Monosit (%) Jumlah Monosit (sel/µL) Pengambilan Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Darah Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol a a a Prevaksinasi 8.00±3.46 4.33±1.15 717±418 373±118a a a a Posvaksinasi I 6.67±4.51 5.67±3.05 473±36 417±199a a a a Posvaksinasi II 6.00±1.73 3.33±1.15 460±173 281±94a Posvaksinasi 7.00±0.00a 5.67±2.31a 602±90 a 468±317a III Dua minggu posvaksinasi 3.67±3.05a 6.00±3.46a 332±237 a 559±343a III 0–4% 0–550 sel/µL Nilai normal (Latimer et al. 2003) ( Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)
Nilai relatif monosit kambing perlakuan prevaksinasi adalah 8.00±3.46% lebih tinggi dari kontrol. Monosit tinggi pada keadaan peradangan, neoplastik, dan serangan agen infesksius (leishmaniasis, histoplasmosis, dan Eehrlichiosis) (Harvey dan John 2001). Nilai relatif monosit mengalami penurunan pada posvaksinasi I menjadi 7.67±4.51% begitupun posvaksinasi II menjadi 6.00±1.73%, karena monosit dimobilisasi ke subkutan di daerah gumba untuk memfagosit agen yang disuntikkan menjadi makrofag. Makrofag yang banyak
13
terkonsentari di jaringan menyebabkan jumlah monosit yang ada di sirkulasi berkurang (Radji 2010). Mekanisme terbentuknya antibodi pada vaksinasi diawali dengan antigen yang disuntikkan ke jaringan. Makrofag berubah menjadi antigen presenting cell (APC) setelah memfagosit antigen. Nilai relatif monosit kembali mengalami kenaikan saat posvaksinasi III yakni 7.00±0.00%. Hal ini menunjukkan telah terbentuk imun sekunder. Makrofag merupakan salah satu bentuk dari respon imun selular, dimana aktivitas makrofag sangat dipengaruhi oleh interferon dan interleukin yang dihasilkan oleh sel T. Umumnya antingen mikroba maupun antigen yang terlarut disajikan oleh makrofag kepada sel T-helper, sehingga, monosit diproduksi dalam jumlah banyak dan cepat untuk dimobilisasi ke jaringan menjadi makrofag (Radji 2010). Nilai relatif monosit kembali mengalami penurunan pada dua minggu posvaksinasi III yakni 3.67±3.05%, namun masih normal 0–4% (Latimer et al. 2003).
Gambar 13 Morfologi monosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm Limfosit Limfosit merupakan leukosit yang berperan dalam pembentukan antibodi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil pengamatan limfosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol Nilai Relatif Limfosit (%) Jumlah Limfosit (sel/µL) Pengambilan Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Darah Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol b b b Prevaksinasi 64.00±2.16 58.00±15.76 5738±411 5007±757b Posvaksinasi I 73.67±2.05c 49.00±12.32b 5230±87c 3609±451a Posvaksinasi 76.00±2.16d 61.6 ±6.94d 5801±427b 5221±1143b II Posvaksinasi 66.00±4.08b 40.33±4.02a 5676±1520b 3333±954a III Dua minggu posvaksinasi 57.67±8.73a 58.33±7.84a 5228±924a 5444±1268a III 50–70% 2000–9000 sel/µL Nilai normal (Latimer et al. 2003) (Lawhead dan James 2007) *
Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)
14
Nilai relatif limfosit pada prevaksinasi 64.00±2.16% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol 58.00±15.76%. Nilai relatif limfosit meningkat pada posvaksinasi I yakni 73.67±2.05% dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05), peningkatan nilai tersebut tidak diikuti oleh peningkatan jumlah. Jumlah limfosit justru mengalami penurunan dari 5738±411 sel/µL menjadi 5230±87 sel/µL, namun lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Penurunan tersebut terjadi karena jumlah leukosit posvaksinasi I menurun dan tubuh masih dalam proses merespon pembentukan antibodi setelah paparan antigen yang pertama, normalnya tubuh memerlukan waktu 3–14 hari untuk mencapai puncak terbentuknya antibodi dimana pembentukan antibodi terjadi di dalam organ-organ limfoid sekunder (Lawhead dan James 2007). Nilai relatif limfosit posvaksinasi II mengalami peningkatan menjadi 76.00±2.16% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukan telah terbentuk imun sekunder. Respon imun sekunder berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan imun primer karena adanya sel B dan sel T memori yang telah mengenali antigen pada paparan pertama (Radji 2010). Selanjutnya, nilai relatif limfosit menurun pada posvaksinasi III yakni 66.00±4.08%, namun lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan berebeda nyata (p<0.05), karena saat itu merupakan akhir kebuntingan yang memicu terjadinya stres. Stres menyebabkan peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan kortisol di dalam darah. Efek kortisol terhadap limfosit adalah limfolisis dan limfosit diasingkan ke dalam jaringan limfoid (Colville dan Bassert 2008). Dua minggu pos vaksinasi III, nilai relatif limfosit menurun menjadi 57.67±8.73% namun masih normal.
Gambar 14 Morfologi limfosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm
Eosinofil Eosinofil memiliki peran melawan infeksi parasit, mengatur peradangan dan reaksi alergi (Lawhead dan James 2007). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 7.
15
Tabel 7 Hasil pengamatan eosinofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol Pengambilan Nilai Relatif Eosinofil (%) Jumlah Eosinofil (sel/µL) Darah Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol a a a Prevaksinasi 1.33±1.15 1.33±2.31 119 ±96 114±0a a a a Posvaksinasi I 1.00±1.00 3.33±0.57 71±71 245±12a a a a Posvaksinasi II 0.67±0.58 2.67±3.05 51±47 226±274a Posvaksinasi III 1.33±1.15a 6.67±9.86a 114±112a 551±59a Dua minggu 0.33±0.58a 1.66±0.57a 29±53a 154±43a posvaksinasi III Nilai normal 1–8% 50–650 sel/µL (Latimer et al. 2003) ( Lawhead dan James 2007) *Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).
Nilai relatif eosinofil dan jumlah eosinofil secara keseluruhan menunjukkan pola yang fluktuatif dalam kisaran normal dan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan dengan kontrol. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa vaksin tidak memicu reaksi alergi. Eosinofil akan meningkat melebihi nilai normal pada keadaan hipersensitif (alergi), infeksi parasit (endoparasit atau ektoparasit), hypoadenokortism, dan eosinofilik leukimia. Eosinofil menurun pada keadaan stres, toksimia, dan peradangan akut (Stocham dan Scott 2008).
Gambar 15 Morfologi Eosinofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm
Basofil Selain eosinofil, basofil merupakan indikator reaksi alergi. Jumlah normal basofil kambing adalah 0–120 sel/µL (Lawhead dan James 2007) sedangkan nilai relatifnya 0–1% (Latimer et al. 2003). Pengamatan kali ini tidak ditemukan basofil pada kambing perlakuan dan kontrol.