IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karateristik Daerah Penelitian 4.1.1. Topografi DAS Citarum hulu merupakan cekungan yang dikelilingi oleh beberapa pegunungan, dimana pada bagian utara terdapat pegunungan Tangkuban perahu dengan beberapa puncak gunung seperti Guung Burarang (2.076 m), Gunung Tangkuban Perahu (2.064 m), Gunung Manglayang (1800 m) dan Gunung Jarian (1282 m). Pada bagian timur terdapat Gunung Malang (1256 m) dan Gunung Tanjak Nangsi (1514 m). Dibagian Barat cekungan terdapat sederetan yang berbentuk pungung-pungung tak teratur yaitu Pegunungan Krenceng (1736 m) dan pada bagian timur terdaoa Gunung Mandalawangi (1676 m) yang membatasi cenkungan ini. Topografi atau kemiringan lereng yang merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar di DAS Citarum Hulu dibagi menjadi 5 kelas rentang kemiringan lereng dalam satuan derajat “o” seperti pada gambar 11.
Gambar 11. Peta Kemiringan lahan daerah Penilitian Tabel 6. Jenis, Luas dan Persentase lerengan daerah penelitian No 1 2 3 4 5
Jenis Lerengan (o) 0–5 5 – 15 15 – 30 30 – 45 Diatas 45
Luas (ha) 78641,22 145682,38 108242,76 54369,00 15458,51
% 18,50 34,27 25,46 12,79 8,99
25
4.1.2. Karateristik Tanah Jenis tanah di daerah penelitian menggunakan peta tanah Semi Detail DAS Citarum Hulu skala 1:100.000 tahun 1993. Berdasarkan peta tersebut terdapat 55 SPT di DAS Citarum Hulu yang terbagi menjadi 6 ordo klasifikasi tanah yaitu alfisolls, Inceptisols, Mollisols, Andisols, Entisols dan Ultisolls, seperti disajikan pada gambar 12.
Gambar 12. Peta Jenis Tanah, Puslitanak 1993
Jenis tanah yang paling dominan di DAS Citarum Hulu adalah jenis tanah Inceptisols (aeric tropaquepts) dengan persentase luas 37,17% (67318,91 ha), yang diikuti oleh jenis tanah Andisols (typic hapludands) dengan persentase luas 13,47% (24394,39 ha). Jenis tanah berdasarkan ordo dan sub-ordonya disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Jenis tanah berdasarkan klas Ordo Ordo Alfisols
Sub Ordo Aeric Ochraqualfs Aquic Hapludalfs Lithic Hapludalfs Mollic Hapludalfs Typic Hapludalfs Typic Hapludalfs Typic Hapludalfs Ultic Hapludalfs Ultic Hapludalfs Ultic Hapludalfs
Bentuk Kawasan Berombak Bergelombang Berbukit Berbukit-bergunung Berombak-bergelombang-berbukitbergunung Bergelombang-berbukit Berbukit Berombak Berombak-bergelombang-berbukitbergunung Berbukit-bergunung
Kemiringan 3-5% 8 - 15 % 20 - 50 % 25 - 50 % 8 - 50 % 15 - 50 % 20 - 50 % 3-8% 3 - 50 % > 30 %
26
Tabel 8. Jenis tanah berdasarkan klas Ordo (lanjutan) Ordo Andisols Entisols Inceptisols
Mollisols
Ultisolls
Sub Ordo Eutric Hapludands Thaptic Hapludands Typic Malanudands Troporthants Aeric Tropaquepts Andic Dystropepts Aquic Eutropepts Fluventic Eutropepts Oxic Humitropepts Typic Eutropepts Typic Humitropepts Vertic Tropaquepts Andic Hapludolls Aquic Hapludolls Cumulic Hapludolls Oxic Argludolls Typic Hapludolls Typic Hapludolls Typic Hapludults Typic Kandiudults Typic Palaudults Typic Rhodudults
Bentuk Kawasan Berombak-bergelombang-berbukitbergunung Datar agak berombak Berombak-bergelombang Bergunung Datar agak berombak dengan hillock Bergelombang-berbukit Datar Datar Bergunung Datar agak berombak dengan hillock Berombak-bergelombang Datar agak berombak Berombak-bergelombang Berombak-bergelombang Berombak-bergelombang Berbukit-bergunung Bergelombang-berbukit Berbukit Bergelombang-berbukit Berbukit Berombak Bergelombang-berbukit
Kemiringan 3 - 50 % 1-5% 5 - 15 % > 50 % 1-8% 15 - 30 % 1-3% 1-3% > 45 % 1 - 30 % 5 - 50 % 1 -5 % 5 - 10 % 5 - 15 % 3 - 15 % 25 - 60 % 10 - 30 % 20 - 50 % 8 - 50 % 15 - 50 % 5-8% 8 - 15 %
4.1.3. Iklim di Daerah Penelitian Terdapat 6 parameter iklim harian yang dibutuhkan sebagai salah satu input untuk menjalankan simulasi model SWAT, yaitu curah hujan, temperature udara (maksimum-minimum), kecepatan angin, kelembaban relatif dan radiasi surya. Gambaran kondisi iklim histori menggunakan data iklim yang diambil dari stasiun klimatologi Banjaran dari tahun 1999 sampai 2005 (Tabel 6) dan data curah hujan dari 18 pos hujan yang ada disekitar DAS citarum hulu. Posisi stasiun iklim dan pos hujan yang disajikan pada gambar 13.
27
Gambar 13. Posisi stasiun hujan dan pos duga air Nanjung
Sedangkan untuk melihat bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kondisi debit di DAS citarum hulu, maka digunakan data global dari Regcm untuk SRES A1B. Data hasil olahan ini berbentuk grid, dimana setiap grid akan memiliki 6 parameter iklim. Posisi grid data Regcm yang digunakan sebagai input dalam skenario simulasi SWAT disajikan pada gambar 14.
Gambar 14. Posisi grid Regcm dan pos duga air Nanjung
28
Tabel 9. Rata-rata bulanan data iklim observasi 1999-2005 di Stasiun klimatologi Banjaran Bulan Trata o C 1 23,3 2 23,0 3 23,3 4 23,5 5 23,6 6 23,2 7 23,0 8 23,4 9 23,7 10 23,7 11 23,8 12 24,3
Tmax o C 28,2 27,5 28,4 28,7 29,2 28,9 29,2 29,4 29,7 29,5 28,7 28,5
Tmin o C 19,4 19,7 19,6 19,5 19,1 18,4 17,8 18,0 18,5 18,9 19,7 19,5
Hujan Mm 172,8 193,1 241,5 150,3 84,7 68,8 68,7 39,9 81,6 153,8 209,2 141,5
RH % 81,4 81,6 81,3 81,6 79,8 77,4 74,8 71,7 73,1 75,4 81,0 79,5
Kec. Angin m/s 1,3 1,4 1,1 1,0 1,0 1,0 1,1 1,2 1,3 1,1 1,0 1,2
Radiasi Surya MJ m-2 day-1 29,8 30,8 27,4 26,8 24,7 23,0 21,7 21,0 22,9 26,4 29,6 28,4
4.1.4. Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian Data debit observasi harian pos Nanjung yang digunakan untuk melihat kondisi hidrologi sungai diperoleh dari PDA milik Dinas PU Pengairan dari tahun 1991-2009 yang terletak di Kecamatan Batujajar_Kabupaten Bandung (06’57o LS dan 107’32o BT). Pemilihan pos Nanjung sebagai titik outlet dikarenakan titik terakhir pos pemantau tinggi aliran sungai sebelum mencapai Waduk Saguling yang merupakan tempat bermuara air dari DAS Citarum bagian Hulu. Gambar 15 menunjukkan debit sungai harian untuk pos Nanjung, dimana debit aliran tertinggi mencapai 554 m3/dtk yang terjadi pada tanggal 28 April 2007.
Gambar 15. Debit PDA Nanjung tahun 1991-2009
29
4.1.5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Citarum hulu diinterpretasikan dari olahan Citra Satelit Landsat, dimana penggunaan lahan yang menggambarkan kondisi histrori digunakan olahan citra satelit untuk tahun 2000 dan 2010. Sedangkan untuk kondisi penggunaan lahan tahun 2025, penggunaan lahan diambil hasil model yang disimulasikan berdasarkan perubahan penggunaan lahan tahun 20002010. Penyebaran jenis penggunaan lahan di Das Citarum Hulu disajikan pada gambar 21, 22 dan 23. Berdasarkan kondisi penggunaan lahannya, DAS Citarum dibagi menjadi 10 kategori penggunaan lahan yaitu lahan pertanian, tambak, padang rumput, lahan perkebunan, sawah, hutan primer, pedesaan, hutan skunder, perkotaan dan air.
Gambar 16. Penggunaan lahan tahun 2000
Gambar 17. Penggunaan Lahan 2010
30
Gambar 18. Penggunaan Lahan 2025 Tabel 10. Penggunaan lahan 2000, 2010 dan 2025 Jenis Penggunaan 2000 Lahan Luasan (ha) Lahan Pertanian 1208,40 Agroforestry 12029,76 Semak Belukar Lahan Perkebunan 29919,66 Padi/ Sawah 35482,17 primary forest 35975,17 Pedesaan 12296,63 secondary forest 23858,93 Teh 2700,59 Perkotaan 18335,45 Tubuh Air 65,99
% 0,70 7,00 0,00 17,41 20,64 20,93 7,15 13,88 1,57 10,67 0,04
2010 Luasan (ha) 1058,07 12742,32 80,08 38389,76 27121,32 27473,11 24617,01 17986,17 2684,46 19654,45 65,99
% 0,62 7,41 0,05 22,34 15,78 15,98 14,32 10,46 1,56 11,44 0,04
2025 Luasan (ha) 8420,32 14205,47 1,97 43832,95 4584,73 19515,21 45687,82 11581,09 2733,30 21254,93 54,95
% 4,90 8,27 0,00 25,50 2,67 11,35 26,58 6,74 1,59 12,37 0,03
Penggunaan lahan di DAS Citarum Hulu seluas 172045,92 ha, dimana hampir sebagian besar merupakan lahan sawah (20,64%) dan hutan primer (20,93%) pada tahun 2000, akan tetapi luasan hutan primer semakin menurun pada tahun 2010 (15,98%) dan 2025 (11,35%). Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan terjadi pada jenis penggunaan lahan perkotaan dan perkotaan, dimana luasan perkotaan meningkat dari 10,67% pada tahun 2000 menjadi 11,44% dan 12,37% pada tahun 2010 dan 2025. Sedangkan jenis penggunaan lahan pedesaan meningkat dari 7,15% tahun 2000 menjadi 14,32% dan 26,58% pada tahun 2010 dan 2025.
31
Gambar 19. Grafik Perubahan 10 jenis penggunaan lahan
4.1.5.1. Perubahan penggunaan lahan 2000 menjadi 2010 Pola perubahan penggunaan lahan diidentifikasi dengan cara tumpang tindih (overlay) peta penggunaan lahan 2000 dengan 2010 mengunakan program GIS. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi didominasi oleh penurunan luas lahan sawah yang berubah menjadi lahan pertanian (6,59%), pedesaan (17,69%) dan perkotaan (3,72%). Penurunan luas lahan juga terjadi pada penggunaan lahan hutan skunder dan hutan primer, dimana sebagian besar lahannya berubah menjadi lahan pertanian dan pedesaan. Perubahan penggunaan lahan selengkapnya disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000 menjadi 2010 [%] Penggunaan Lahan 2010 Lahan Agro- Semak Lahan Padi/ primary Pe- secondary Tea PL 2000 Pertanian forestry Belukar Perkebunan Sawah forest desaan forest Lahan Pertanian 77.34 6.63 14.00 2.03 Agroforestry 90.15 4.90 4.95 Lahan Perkebunan 95.28 1.03 3.69 Padi/ Sawah 0.35 4.02 6.59 67.63 17.69 primary forest 15.35 2.27 76.38 6.00 Pedesaan 100.00 secondary forest 1.96 8.47 5.19 8.99 75.39 Tea 0.54 99.46 Perkotaan Tubuh Air -
Perkotaan 3.72 100.00 -
4.1.5.2. Perubahan penggunaan lahan 2000 menjadi 2025 dan 2010 menjadi 2025 Identifikasi perubahan penggunaan lahan juga dilakukan pada penggunaan lahan tahun 2000 menjadi tahun 2025 dan tahun 2010 menjadi tahun 2025. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 2010, perubahan penggunaan lahan yang terjadi didominasi oleh perubahan penggunaan lahan pertanian, sawah dan hutan. Luasan 32
Tubuh Air 100.00
penggunaan lahan pertanian, pedesaan dan perkotaan meningkat secara drastic dalam jangka waktu 25 tahun, dimana sekitar 6,60% (sawah), 26,04% (hutan primer) dan 17,95% (hutan skunder) berubah menjadi lahan perkebunan. Jika dilihat pada matrik perubahan penggunaan lahan pada tebel 12 dan 13, terdapat perubahan penggunaan lahan hutan primer menjadi lahan perkebunan sebesar 26,04% (2000 ke 2025) dan 16,54% (2010 ke 2025). Pengurangan hutan yang terus-menerus tanpa disertai perbaikan akan mempengaruhi kondisi hidrologi DAS (Seyhan, 1999). Berkurangnya tutupan menyebabkan peresapan air ke dalam tanah menjadi rendah sehingga air bawah tanah berkurang dan terjadi kelebihan air dipermukaan. Hasil penelitian Fohrer et.,al (2002), perubahan penggunaan lahan menjadi padang rumput dan lahan pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan komponen runoff secara signifikan. Tabel 12. Perubahan penggunaan lahan tahun 2000 menjadi 2025 [%] Penggunaan Lahan 2025 Lahan Agro- Semak Lahan Padi/ primary Pe- secondary Tea PL 2000 Pertanian forestry Belukar Perkebunan Sawah forest desaan forest Lahan Pertanian 36.32 0.16 9.90 53.62 Agroforestry 0.73 79.26 8.35 11.66 Lahan Perkebunan 94.00 6.00 Padi/ Sawah 16.38 9.42 6.60 2.81 56.50 primary forest 0.58 26.04 4.12 55.02 14.23 Pedesaan 100.00 secondary forest 7.99 4.18 17.95 3.04 18.68 48.15 Tea 100.00 Perkotaan Tubuh Air -
Perkotaan 8.30 100.00 -
Tubuh Air 100.00
Perkotaan 5.92 100.00 -
Tubuh Air 100.00
Tabel 13. Perubahan penggunaan lahan tahun 2010 menjadi 2015 (%) Penggunaan Lahan 2025 Lahan Agro- Semak Lahan Padi/ primary Pesecondary Tea PL 2010 Pertanian forestry Belukar Perkebunan Sawah forest desaan forest Lahan Pertanian 37.39 0.19 12.77 49.65 Agroforestry 0.76 84.28 5.82 9.14 Semak Belukar 92.50 7.50 Lahan Perkebunan 95.60 0.16 4.24 Padi/ Sawah 21.89 10.48 1.05 7.65 53.00 primary forest 0.59 0.19 16.54 4.30 70.95 7.43 Pedesaan 100.00 secondary forest 9.13 2.50 13.37 2.27 9.13 63.61 Tea 100.00 Perkotaan Tubuh Air -
33
4.1.6. Data Iklim model Regm3 SRES A1B Data regcm3 yang terdiri dari 5 unsur (curah hujan, suhu, radiasi, kelembaban dan kecepatan angin) merupakan data model hasil koreksi dengan menggunakan data observasi. Koreksi data hanya dilakukan untuk unsur curah hujan saja, karena kurangnya data observasi untuk unsur-unsur yang lain. Penggunaan data untuk model SWAT dari regcm3 dipisah menurut periode tahunnya, dimana untuk kondisi baseline digunakan data tahun 1991-2010 dan kondisi mendatang digunakan 4 periode tahun yaitu: 2011-2030; 2031-2050; 2051-2070; 2071-2090.
Gambar 20. Deskripsi stastistik curah hujan Regcm3 baseline [1991-2010] dan future [4 periode 2011-2090]
Secara statistik terdapat perbedaan curah hujan kondisi periode saat sekarang dibandingkan dengan 4 periode masa mendatang (gambar 20), dimana rata-rata curah hujan diperiode mendatang mengamali penurunan. Besarnya curah hujan untuk kuartil 3 secara rata-rata juga mengalami peningkatan dimasa mendatang, dimana nilai tertinggi terjadi pada periode 2051-2070. Akan tetapi besarnya curah hujan maksimum mengalami penurunan dimasa mendatang sampai periode 2051-2070 dan kembali meningkat pada periode 2071-2090. Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Australia, dimana instensitas curah hujan dan jumlah hari-hari kering meningkat selama abad ke-21 dan dimasa yang akan datang curah hujan ekstrim akan semakin besar (CSIRO, 2007). 4.1.7. Hubungan Debit Harian Dan Kejadian Banjir Informasi kejadian banjir dari tahun 2000-2008 dihubungankan dengan data debit harian hasil pengamatan untuk melihat hubungannya. Berdasarkan hubungan tersebut ditentukan data debit yang tidak menyebabkan banjir dan data
34
debit yang menyebabkan banjir, 2 kelompok data tersebut dibuat distribusi yang akan menentukan ambang batas debit yang menyebabkan banjir. Seperti terlihat pada gambar 26 titik debit pada nilai 131 m3/dtk merupakan ambang batas pertama debit yang menyebabkan banjir, dimana ambang batas ini masih terdapat peluang sekitar 20% debit diatas 131 m3/dtk yang tidak menyebabkan banjir. Besarnya nilai debit disebabkan oleh faktor kejadian lokal, sehingga tidak berpengaruh terhadap kejadian banjir. Sedangkan titik debit pada nilai 206.5 m3/dtk merupakan ambang batas kedua, dimana debit yang melewati nilai batas dapat dipastikan terjadi banjir.
Gambar 21. Histogram debit dan kejadian banjir harian ( : debit yang tidak menyebabkan banjir, : debit yang menyebabkan banjir)
4.2. Model Swat 4.2.1. Deliniasi DAS Proses deliniasi DAS Citarum Hulu menggunakan SWAT dilakukan secara otomatis. Proses deliniasi menggunakan peta jaringan sungai, peta DEM, dan batasan daerah deliniasi.
35
Proses deliniasi menggunakan ambang batas (threshold) yang digunakan adalah 3500 ha, sehingga menghasilkan 31 Sub-DAS dengan total luasan 172045,92 ha Hasil deliniasi batas DAS dan Sub DAS Citarum Hulu dapat dilihat pada gambar 22.
Gambar 22. Hasil deliniasi DAS Citarum Hulu dengan program SWAT
4.2.2. Pembentukan HRU pada DAS Citarum Hulu Setiap HRU yang terbentuk oleh deliniasi SWAT merupakan hasil tumpang tindih dari peta jenis penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lereng yang terdapat pada DAS Citarum Hulu. Pembentukan HRU menggunakan kriteria “Multiple HRU’s” dengan persen threshold area jenis penggunaan lahan (0%), jenis tanah (0%) dan kemiringan lereng (8%). Penentuan batas threshold ini didasarkan kepada luasan terkecil dari kategori penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lahan serta tingkat ketelitian yang diinginkan oleh user.
Gambar 23. HRU yang terbentuk melalui proses “creates HRU’s”
36
Jumlah HRU yang terbentuk 2577 pada 31 sub-DAS, dimana hasil HRU yang terbentuk memuat kuantitas dan persentase penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lahan di daerah DAS yang terdeliniasi. Tampilan output pembentukan HRU disajikan pada gambar 23. 4.2.3. Simulasi model SWAT Model SWAT dijalankan dengan menggunakan data-data input yang telah dipersiapkan sebelumnya. Periode simulasi dilakukan dari tahun 2001 sampai 2005 secara harian dengan fase percobaan penggunaan model (warm up model) 2 tahun (1999-2000). Fase warm up model SWAT merupakan suatu proses yang paling esensial untuk menyeimbangkan kondisi aliran dasar (base flow) saat simulasi dijalankan, sehingga kondisi keseimbangan dalam proses hidrologi tercapai. Output hasil proses simulasi SWAT diberikan dalam bentuk harian, bulanan maupun tahunan, dimana file tersebut dapat dilihat pada file output.txt di dalam folder Txt.InOut. 4.3. Kalibrasi dan Validasi Model SWAT 4.3.1. Kalibrasi Model SWAT merupakan model hidrologi yang banyak menggunakan parameter-parameter dalam proses perhitungannya. Dalam proses kalibrasi, parameter-parameter ini dikoreksi untuk mendapatkan nilai tertentu, sehingga hasil proses perhitunggan model bisa menduga kondisi sebenarnya. Kalibrasi Model SWAT dilakukan dengan membandingan data debit simulasinya (flow out pada file RCH) dengan data debit observasi bulanan tahun 2001 dan 2002 untuk pos air Nanjung. Proses kalibrasi menggunakan parameter-parameter dari aliran sungai (*.bsn), aliran dasar (*.gw), saluran utama (*.rte), parameter tingkat HRU (*.hru), pengelolaan lahan (*.mgt) dan tanah (.*sol) yang disajikan pada lampiran 13. Tabel 14. Hasil perbandingan data observasi dan simulasi
Sebelum koreksi
Setelah koreksi
R2
0,517
0,771
NSI
0,153
0,773
Parameter-parameter yang paling mempengaruhi kurva debit hasil simulasi agar mendekati kondisi debit observasi adalah ALPHA_BNK, SOL_AWC dan CN2. Hal ini dikarenakan nilai-nilai parameter ini untuk setiap kategori land use dan tanah sangatlah mempengaruhi besar-kecilnya debit hasil simulasi.
37
Tabel15. Parameter-parameter yang digunakan untuk proses kalibrasi Parameter Aliran Sungai MSK_CO1 MSK_CO2 MSK_X SURLAG Aliran Dasar ALPHA BF GW DELAY (hari) GW_REVAP GWQMN (mm) REVAPMN (mm) HRU EPCO ESCO OV_N SLSUBBSN (m) Managemen CN2 Tanah AWC (mm mm-1) BD (g cm-3) K (mm jam-1) Saluran Utama CH_K2 (mm hari-1) CH_N2 (mm hari-1) ALPHA _BNK (hari)
Keterangan
koefesien pengontrol untuk aliran koefesien pengontrol untuk aliran Faktor pengontrol aliran Parameter time lag suatu DAS Indeks respon dari aliran dasar Rentang waktu dari turunnya air ke aquifer dangkal Koefisien air bawah tanah Batas kedalam air penentu terjadinya aliran Batas kedalaman air penentu terjadinya perkolasi
Nilai Akhir 4,625 8,625 0,289 11,637 0,987 6,25 0,198 + 2,187 + 1,875
Faktor kompensasi pengeluaran air (transpirasi, evapotranspirasi dan kadar air tanah) Fakto kompensasi evaporasi tanah Nilai koefisien kekasaran manning “n” Panjang lereng rata-rata
+ 0,097 7,132 * 1,062
Bilangan kurva
+ 1,115
Kapasitas air tersedia di lapisan tanah Kerapatan jenis tanah Konduktivitas hidrolik dalam keadaan jenuh
+ 0,946 1,04 + 0,5
Input konduktivitas hidrolik efektif saluran utama Nilai kekasaran manning pada saluran utama sungai Factor alpha aliran untuk penyimpanan air
0,269
68,741 0,195 0,537
Catatan: + (ditambahkan terhadap nilai parameter); * (dikalikan terhadap nilai parameter)
Sebelum dilakukan kalibrasi dapat terlihat hasil simulasi masih berada dibawah data observasi (tabel 16), dimana bedasarkan hasil perbandingan yang dilakukan dengan analisis excel didapat R2 = 0,513 dan nilai NSI = 0,153 atau termasuk dalam kategori kurang memuaskan (kategori pertama dari kategori NSI). Jika dilihat sebaran data hubungan data simulasi dan observasi terlihat bahwa seluruh titik hubungan data simulasi dan observasi masih berada dibawah garis 1:1 (gambar 24). Setelah dilakukan proses kalibrasi, debit hasil simulasi telah dapat mengikuti nilai debit observasi (tabel 16). Berdasarkan analisis excel, didapat nilai R2 = 0,771 dan nilai NSI = 0,773 atau termasuk dalam kategori layak digunakan (Kategori ke 3 dari kategori NSI).
38
Tabel 16. Data debit observasi dan simulasi sebelum dan sesudah proses kalirasi [m3/dtk] Tahun 2001\1 2001\2 2001\3 2001\4 2001\5 2001\6 2001\7 2001\8 2001\9 2001\10 2001\11 2001\12
Obs Sim_Pra Sim_Pas 100 83 104 102 84 99 102 79 77 183 79 165 98 30 89 62 10 60 38 3 33 20 1 29 29 5 48 101 34 80 221 56 107 68 85 97
Tahun Obs Sim_Pra Sim_Pas 2002\1 151 99 134 2002\2 100 87 106 2002\3 152 107 105 2002\4 148 62 122 2002\5 41 55 31 2002\6 28 22 11 2002\7 28 16 19 2002\8 11 9 5 2002\9 8 12 9 2002\10 8 5 31 2002\11 20 26 61 2002\12 101 40 109
Catatan: Obs = Observasi; Sim_Pra = Simulasi sebelum kalibrasi; Sim_Pas = Simulasi setelah proses kalibrasi
Gambar 24. Perbandingan debit observasi dan simulasi bulanan tahun 2001-2002 sebelum (kiri) dan setelah (kanan) proses kalibrasi
Berdasarkan hasil proses kalibrasi terlihat debit simulasi belum bisa menangkap semua nilai-nilai debit ekstrim, seperti pada bulan November 2001 debit simulasi hanya bisa mencapai nilai 100 m3/dtk pada saat debit observasi berada pada nilai 225 m3/dtk. Selain membandingkan nilai debit simulasi dan debit observasi, juga dilakukan perbandingan nilai debit simulasi dengan ketinggian air yang dihitung dari data observasi dengan menggunakan persamaan rating curve (Q = a * (H ± b)c; Q=debit, H=ketinggian Air). Dari perbandingan tersebut, debit simulasi telah dapat menjelaskan besarnya ketinggian air sungai dengan tingkat korelasi 75% (R2 = 0.5648) untuk tahun 2000 dan 78% (R2 = 0.6164) untuk tahun 2001.
39
Gambar 25. Perbandingan debit simulasi dengan kedalaman air tahunn 2000 (kiri) dan 2001 (kanan)
4.3.2. Validasi Berdasarkan hasil kalibrasi diatas, dilakukan proses validasi dengan mnggunakan parameter hasil proses kalibrasi [Tabel 4], Proses validasi untuk pos air Nanjung digunakan data landuse dan data debit tahun 2003-2004. Tabel 17. Data debit observasi dan simulasi setelah validasi
Tahun Obs Sim_Val 2003\1 49.04 80.36 2003\2 130.94 97.31 2003\3 92.39 70.84 2003\4 57.29 69.65 2003\5 37.98 38.67 2003\6 11.11 3.26 2003\7 6.53 0.97 2003\8 6.65 1.93 2003\9 12.75 11.76 2003\10 57.63 37.84 2003\11 64.38 75.87 2003\12 92.95 101.30
Tahun Obs Sim_Val 2004\1 104.62 88.80 2004\2 107.99 86.72 2004\3 134.03 98.25 2004\4 82.21 60.25 2004\5 96.26 60.14 2004\6 25.53 21.50 2004\7 18.89 18.40 2004\8 5.85 7.42 2004\9 13.83 13.28 2004\10 3.49 7.51 2004\11 27.07 23.98 2004\12 90.93 56.68
Gambar 26. Perbandingan debit observasi dan simulasi pada proses validasi
40
Hasil analisis excel didapat nilai R2 = 0,849 dan NSI = 0,801, sehingga dari hasil validasi tersebut dapat dikatakan bahwa data debit simulasi sudah bisa menduga debit observasi. Perbandingan debit simulasi dan observasi hasil validasi lebih baik dibandingkan dengan hasil kalibrasi, hal ini disebabkan pada proses validasi untuk menduga debit simulasi tahun 2003-2004 dilakukan dengan menggunakan data penggunaan lahan tahun 2003, data curah hujan dan suhu tahun 2000-2004 sehingga hasil yang didapat sesuai dengan kondisi debit observasi pembanding. Kondisi berbeda terjadi pada proses simulasi kalibrasi, dimana data penggunaan lahan yang digunakan adalah tahun 2000 untuk menduga debit simulasi tahun 2001-2002 atau bisa dikatakan terdapat selang 1 tahun dari data penggunaan lahan terhadap debit simulasi yang dihasilkan. Hal ini dapat terlihat dari hasil debit simulasi pada proses validasi tahun 2004 tidak bisa menjelaskan nilai debit pada kondisi ekstrim yang tinggi. Proses validasi dilakukan juga untuk simulasi harian untuk data debit 2003-2004 dengan menggunakan parameter hasil proses kalibrasi. Hasil proses validasi untuk simulasi harian didapat nilai R2 = 0,595 dan NSI = 0,562. Proses validasi dilakukan simulasi harian, karena debit simulasi harian digunakan saat menghitung perubahan peluang banjir digunakan data harian pada skenario yang dirancang baik untuk melihat pengaruh perubahan iklim maupun pengaruh perubahan penggunaan lahan.
Gambar 27. Perbandingan debit observasi dan simulasi harian pada proses validasi
4.4. Simulasi Mwswat Untuk Kondisi Skenario Parameter-parameter hasil proses kalibrasi, digunakan untuk menjalankan simulasi SWAT dengan kondisi skenario. Kondisi skenario yang dirancang dengan memadukan jenis penggunaan lahan (2000, 2010 dan 2025), data iklim observasi dan data iklim hasil regcm3 untuk kondisi tahun 1980-2090. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2000, 2010 dan 2025, akan menghasilkan hasil debit simulasi yang berbeda, dimana akan terlihat pengaruh 41
pengurangan penggunaan lahan hutan atau peningkatan kawasan pemukiman yang dapat menyebabkan perubahan distribusi debit. Selain pengaruh perubahan penggunaan lahan, pada simulasi skenario juga dimasukkan pengaruh perubahan iklim. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya terjadi penurunan intensitas hujan pada periode tahun 2011-2090 dibandingkan dengan periode tahun 1991-2010. Perubahan ini iklim ini tentu akan mempengaruhi distribusi dan besaran debit yang akan terjadi. Berdasarkan debit dari skenario tersebut, dihitung seberapa besar perubahan disribusi debit yang menyebabkan banjir dari masing-masing skenario untuk melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terdapat kejadian banjir untuk kondisi mendatang dengan skenario yang ada. 4.5. Perubahan Distribusi Debit 4.5.1. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Simulasi SWAT untuk melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan tahun 2000, 2010 dan 2025 dilakukan dengan menggunakan data hujan observasi sebagai input data iklim, hal ini disebabkan untuk melihat perubahan nilai-nilai debit yang berada pada kondisi ekstrim. Hasil simulasi debit dengan menggunakan skenario perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel 18. Debit simulasi menggunakan penggunaan lahan tahun 2000 lebih rendah dari segi besar maupun intensitasnya, dibandingkan dengan debit hasil simulasi dengan menggunakan penggunaan lahan tahun 2010 dan 2025. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan luas penggunaan lahan jenis hutan yang banyak berubah menjadi penggunaan lahan lainnya (Tabel 7), sehingga perubahan tersebut mempengaruhi besar maupun intensitas debit yang dihasilkan. Tabel 18. Deskripsi statistik distribusi debit (m3/dtk) disebabkan perubahan penggunaan lahan Variable Fraksi Hutan (%) Minimum Quartile 1 Median Rata-rata Quartile 3 Maximum
Penggunaan Lahan 2005 2010 2025 41,81 33,85 26,36 0,0078 0,0083 0,0011 12,328 11,933 9,940 44,205 42,630 36,110 55,321 55,510 54,860 89,730 89,978 86,490 436,10 442,80 526,50
Growth Rate (%) -2,086 -6,444 -1,304 -1,004 -0,044 -0,201 1,017
Perubahan penggunaan lahan hutan dari 41% pada tahun 2000 menjadi 26.36% pada tahun 2025 menyebabkan debit yang sangat kecil pada musim kemarau, hal ini terlihat dengan penurunan dari batasan minimum dari distribusi
42
debit sebesar 6,44% untuk setiap tahunnnya. Sedangkan debit pada musim hujan menjadi sangat tinggi, hal ini terlihat dari semakin tingginya nilai debit maksimum atau dapat dikatakan terjadi pergerakan naik sebesar 1,017% untuk setiap tahunnnya. Menurut Morgan (1986) dalam Pratiwi (2004) menyatakan efektifitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi dan aliran permukaan dipengaruhi oleh tumbuhan dan bentuk tajuk (kanopi), kerapatan tanaman dan kerapatan sistem perakaran. Semakin tinggi tempat jatuh butiran hujan main tinggi pula energi kinetiknya. Semantara itu, kerapatan tanaman berfungsi mempengaruhi bersarnya luasan lahan yang dapat ditutupi oleh tumbuhan. Semakin rapat tanaman (vegetasi) yang ada di permukaan lahan semakin kecil kemungkinan terjadinya erosi. Sedangkan kerapatan sistem perakaran tanaman (vegetasi) menentukan efektifitas tanaman dalam membantu pemantapan agregat yang berarti pula meningkatkan besar kecilnya laju dan kapasitas infiltrasi, sehingga dapat mengurangi energi perusak aliran permukaan dan dapat megurangi aliran permukaan. Oleh karena itu peran hutan sangat besar dalam memperkecil aliran permukaan sehingga debit maksimum akan dapat diperkecil sehingga disisi lain tampungan air tanah akan lebih banyak sehingga akan debit minimum akan dapat diperbesar untuk dapat menjaga ketersedian air tetap terjamin sepanjang tahun. 4.5.2. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim Simulasi SWAT untuk melihat pengaruh perubahan iklim digunakan data model regcm3 skenario A1B dari tahun 1991-2090 sebagai input data iklim dan penggunaan lahan 2010, hal ini disebabkan karena simulasi yang dijalankan hanya untuk menduga bagaimana perubahan besaran debit yang dihasilkan akibat perubahan iklim, sedangkan pengaruh perubahan penggunaan lahan diabaikan. Hal ini disebabkan data model yang digunakan tidak bisa menangkap kondisi ekstrim seperti data observasi, sehingga perbedaan debit hasil simulasi akibat perubahan penggunaan lahan tidak begitu signifikan. Tabel 19. Deskripsi statistik distribusi debit (m3/dtk) disebabkan perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim Penggunaan lahan Minimum Q1 Mean Median Q3 Maksimum
1991-2010 2000 0,69 34,57 91,19 71,86 110,8 707,6
2010 0,68 34,2 91,32 71,11 110,4 718,1
2025 0,72 34,2 91,39 70,85 109,6 725,6
2011-2030 2000 0,58 30,64 90,31 72,05 112,55 663,8
2010 0,57 30,25 90,43 71,36 112,2 674,7
Periode Iklim 2031-2050
2025 2000 2010 0,61 1,11 1,16 30,3 33,59 33,31 90,49 91,87 92,00 71,16 74,21 73,53 111,5 111,15 110,2 681,5 608,7 618,1
2025 1,15 33,33 92,06 73,38 109,5 623,8
2051-2070 2000 0,66 36,59 96,02 77,76 118,4 635,3
2071-2090
2010 2025 2000 2010 2025 0,65 0,66 0,33 0,32 0,34 36,22 36,28 28,82 28,49 28,6 96,15 96,24 89,51 89,61 89,67 77,05 76,92 73,71 73,02 72,81 117,6 117,05 110,65 109,9 109,25 645,4 651,2 627,6 636,8 643,7
43
Perubahan iklim mempengaruhi besar dan intensitas banjir yang dihasilkan dalam simulasi SWAT, dimana pada debit yang dihasilkan mengikuti kondisi iklim dari model regcm3 skenario A1B pada gambar 20. Jika dilihat debit pada kondisi ekstrim, maka dapat terlihat batas nilai debit maksimum mengelami penurunan dibandingkan dengan kondisi sekarang. Sedangkan batas nilai minimum, Q1, rata-rata dan median mengalami penurunan pada periode tahun 2011-2030 dan kembali naik pada periode 2031-2050, dimana kondisi paling rendah terjadi pada periode tahun 2071-2090. Chen dan kawan-kawan (2008) melakukan analisis simulasi perubahan iklim terhadap debit di sungai Bosten, dimana debit meningkat sebesar 7-25% hanya dengan meningkatnya suhu 1-3oC. Sedangkan kenaikan curah hujan tahunan 5-25% akan meningkatkan debit sebesar 1,4-11% dari kondisi sebenarnya. Pengaruh suhu dan curah hujan terhadap debit bervariasi berdasarkan musim, dimana pengaruh terbesar terjadi pada musim kemarau. Sebagaimana hasil yang didapat, debit meningkat sebesar 11-62% pada saat suhu dimusim kemarau meningkat 1-3oC, sedangkan pada musim hujan hanya mencapai 3-10% dengan kenaikan suhu yang sama pada saat musim hujan. Peningkatan juga berbeda saat musim kemarau dan musim hujan untuk pengingkatan curah hujan sebesar 5-25%, debit meningkat sebesar 2,7-21% saat musim kemarau dan 0,20,8% saat musim hujan. Perbedaan debit hasil simulasi SWAT diakibatkan perubahan iklim dan penggunaan lahan dapat dilihat dari perbedaan parameter-parameter distribusi datanya (Tabel 20). Tabel 20. Parameter-parameter sebaran Gamma 3 parameter distribusi debit hasil simulasi Skenario Periode Iklim 1991-2010
2011-2030
2031-2050
2051-2070
2071-2090
Penggunaan lahan 2000 2010 2025 2000 2010 2025 2000 2010 2025 2000 2010 2025 2000
Parameter sebaran Gamma Bentuk 1.029 1.018 1.013 0.966 0.959 0.954 1.074 1.057 1.055 1.023 1.017 1.014 0.909
Skala 87.98 89.00 89.54 92.88 93.63 94.23 84.50 85.93 86.22 93.23 93.94 94.30 98.09
Lokasi 0.679 0.669 0.711 0.575 0.559 0.603 1.090 1.138 1.126 0.644 0.631 0.648 0.329
2010
0.902
99.03
0.319
2025
0.895
99.82
0.336
44
Analisis secara statistik menggunakan distribusi gamma 3 parameter untuk melihat perbedaan distribusi debit hasil simulasi untuk masing-masing skenario. Parameter skala tertinggi adalah pada penggunaan lahan tahun 2025 untuk periode tahun 2071-2090 (99,82), hal ini disebabkan pada kondisi tersebut sebaran hutan di DAS Citarum Hulu yang sudah banyak berubah menjadi penggunaan lahan lainnya. Sehingga debit hasil simulasi banyak pada nilai-nilai ekstrim tinggi yang menyebabkan peluang banjir semakin tinggi dan ekstrim rendah yang menyebabkan peluang kekeringan juga tinggi. Berdasarkan parameter bentuk skala dapat dilihat keberagaman antara masing-masing skenario dengan menggunakan perhitungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan selang kepercayaan 95%, sehingga dihasilkan tabel sidik ragam untuk parameter bentuk dan skala. Hasil perhitungan RAK untuk parameter bentuk, didapat nilai p_value lebih kecil dari nilai α = 0.05 atau dapat dinyatakan bahwa pengaruh periode iklim dan penggunaan lahan berbeda nyata antara masing-masing skenario terhadap debit yang dihasilkan (Tabel 21). Tabel 21. Sidik ragam pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap parameter bentuk Kategori Periode Iklim Penggunaan Lahan Error
JK 0.04649 0.00051 0.00001
Db 4 2 8
Total
0.04706
14
KT 0.01162 0.00026 0.0000066
Fhitung 1766.781 39.277
p-value 8.17E-12 7.30E-05
F tabel 3.84 4.46
Hasil perhitungan RAK untuk parameter skala juga menyatakan bahwa pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan juga berbeda nyata antara masing-masing skenario terhadap debit yang dihasilkan (Tabel 22), hal ini dilihat dari nilai p_value yang lebih kecil dari nilai α = 0.05. Tabel 22. Sidik ragam pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap parameter skala Kategori Periode Iklim Penggunaan Lahan Error
JK 318.0295 5.692253 0.266813
Total
323.9886
Db
KT 4 79.5074 2 2.8461 8 0.0333
Fhitung 2383.91 85.34
p-value 2.47E-12 4.02E-06
F tabel 3.84 4.46
14
Uji beda nyata juga dilakukan untuk masing-masing periode iklim terhadap parameter bentuk dari debit hasil simulasi, pengujian dilakukan dengan metode uji Duncan. Sehingga dari hasil pengujian tersebut dapat dilihat pengaruh masing-masing periode iklim terhadap parameter bentuk hasil simulasi berbeda nyata dan dalam proses perhitungan pengaruh penggunaa lahan dihilangkan atau
45
dijadikan sebagai kondisi ulangan perlakuan. Hasil uji Duncan untuk parameter bentuk dan skala dapat dilihat pada tabel 23 dan 24. Pada perhitungan uji Duncan dihitung rata-rata dari masing parameter bentuk dan skala untuk setiap perlakukan periode iklim, kemudian dihitung perbedaan dari masing-masing nilai rata-rata tersebut setelah diurutkan terlebih dahulu. Melihat nilai rata-rata dari masing-masing periode yang sama dan yang berbeda dengan cara membandingan nilai rata-rata tersebut dengan nilai rentang tstuden nyata terkecil (Rp) dengan menggunakan persamaan:
dimana: Rp = nilai rentang tstuden nyata terkecil rα = nilai selang kepercayaan yang digunakan p = banyaknya perlakukan
f b
= derajat bebas
= banyaknya ulangan
Pengaruh perubahan iklim terhadap parameter bentuk dari hasil uji Duncan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengaruh perlakuan periode iklim berbeda nyata untuk masing-masing parameter bentuk dari debit hasil simulasi (tabel 23). Tabel 23. Hasil Uji Duncan pengaruh perubahan iklim terhadap parameter bentuk
No Perlakuan Rataan a b c d e Notasi 5 2071-2090 0.902 0.902 a 2 2011-2030 0.960 0.960 b 4 2051-2070 1.018 1.018 c 1 1991-2010 1.020 1.020 d 3 2031-2050 1.062 1.062 e
catatan:
= perbandingan dengan peringkat berikutnya = pemberian notasi baru (pindah kolom berikutnya)
Pengaruh perubahan iklim terhadap parameter bentuk dari hasil uji Duncan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengaruh perlakuan periode iklim berbeda nyata untuk masing-masing parameter skala dari debit hasil simulasi (tabel 24). Tabel 24. Hasil Uji Duncan pengaruh perubahan iklim terhadap parameter bentuk
No Perlakuan Rataan a b c d e Notasi 3 2031-2050 85.550 85.550 a 1 1991-2010 88.840 88.840 b 2 2011-2030 93.580 93.580 c 4 2051-2070 93.823 93.823 d 5 2071-2090 98.980 98.980 e
catatan:
= perbandingan dengan peringkat berikutnya = pemberian notasi baru (pindah kolom berikutnya) 46
4.6. Perubahan Peluang Distribusi Debit Yang Menyebabkan Banjir 4.6.1. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Berdasarkan hubungan besaran debit dan kejadian banjir pada Sub Bab 4.1.7 didapatkan 2 batas ambang besaran debit yang menyebabkan banjir yaitu batas ambang I (131 m3/dtk) dan II (206.5 m3/dtk). Berdasarkan kedua batas ambang di atas, dapat dilihat perubahan distribusi debit yang menyebabkan banjir. Pengaruh perubahan penggunaan lahan pada batas ambang I dan II terhadap perubahan freksuensi debit yang menyebabkan banjir, meningkat seiring dengan laju perubahan penggunaan lahan dari tahun 2000, 2010 dan 2025 secara distribusi (Tabel 25). Peluang debit hasil simulasi SWAT yang menyebabkan banjir pada batas ambang I dengan penggunaan lahan tahun 2000 adalah 6,68%, peluang tersebut meningkat menjadi 7,28% dengan merubah penggunaan lahan menjadi penggunaan lahan tahun 2010 dan dengan menggunakan penggunaan lahan skenario tahun 2025 peluang debit yang menyebabkan banjir menjadi 9,36%. Tabel 25. Frekuensi dan peluang debit yang menyebabkan banjir (penggunaan lahan) Batas Ambang I (131 m3/dtk) II (206,5 m3/dtk)
PL 2000 122 15
Frekuensi PL 2010 133 22
PL 2025 171 36
Peluang (%) PL PL PL 2000 2010 2025 6,68 7,28 9,36 0,82 1,20 1,97
Catatan: PL (Penggunaan Lahan)
Peningkatan peluang debit yang menyebabkan banjir juga terjadi pada batas ambang II (Tabel 25). Pada simulasi SWAT dengan menggunakan penggunaan lahan tahun 2000, peluang debit yang menyebabkan banjir sebesar 0,82%. Peluang debit yang menyebabkan banjir dengan menggunakan penggunaan lahan tahun 2010 meningkat menjadi 1,20% dan dengan menggunakan penggunaan lahan tahun 2025 menjadi 1,97%. Sehingga dengan perubahan penggunaan lahan tersebut, pada batas ambang 1 kejadian banjir akan meningkat menjadi sekali dalam 10 tahun pada tahun 2025 dari sekali dalam 14 tahun dengan penggunaan lahan tahun 2000. Sedangkan pada batas ambang II atau dikaketogikan sebagai kejadian banjir yang ekstrim, kejadian banjir meningkat dari sekali dalam 121 menjadi sekali dalam 50 tahun pada saat terjadi perubahan penggunaan lahan yang sama dengan penggunaan lahan tahun 2025. 4.6.2. Pengaruh Perubahan Iklim Pengaruh perubahan iklim terhadap perubahan distribusi dan peluang debit yang menyebabkan banjir terjadi pada batas ambang I maupun pada batas ambang
47
II, dimana untuk melihat besarnya pengaruh perubahan iklim hanya digunakan untuk 1 penggunaan lahan saja. Hal ini disebabkan pada setiap penggunaan lahan pengaruh perubahan iklim sama pada saat perhitungan peluang perubahan debit yang menyebabkan banjir. Perbedaan frekuensi debit yang menyebabkan banjir batas ambang I dan II untuk 5 periode data iklim dapat dilihat pada tabel 26, dimana peluang tersebut sangat beragam tergantung kondisi data iklim yang digunakan. Pada batas ambang I, peluang debit yang menyebabkan banjir dari hasil simulasi SWAT dengan menggunakan data iklim periode 1991-2010 sebesar 19,23%, dimana peluang tersebut mengalami kenaikan pada periode tahun 20112030 menjadi 19,58%. Peluang debit yang menyebabkan banjir tertinggi terjadi pada periode data iklim tahun 2051-2070 yang sebesar 21,07 % atau meningkat sebesar 9,53% dari periode 1991-2010. Tabel 26. Frekuensi dan peluang debit yang menyebabkan banjir (perubahan iklim) Batas Ambang Frekuensi I (131 m3/dtk) II (206,5 m3/dtk) Peluang I (131 m3/dtk) (%) II (206,5 m3/dtk)
1991-2010 2011-2030 1405 1430 723 737 19,23 19,58 9,90 10,09
Periode Iklim 2031-2050 2051-2070 2071-2090 1394 1539 1369 712 773 698 19,07 21,07 18,74 9,75 10,58 9,56
Sedangkan pada batas ambang II, peluang debit yang menyebabkan banjir dari hasil simulasi dengan menggunakan data iklim periode 1991-2010 adalah sebesar 9,90%, peluang tersebut meningkat menjadi 10,09% pada penggunaan data iklim periode 2011-2030. Peningkatan peluang debit yang menyebabkan banjir paling tinggi juga terjadi pada penggunaan data iklim periode 2051-2070 yang sebesar 10,58% atau meningkat sebesar 6,91% dari periode tahun 19912010. Pengaruh perubahan iklim tidak signifikan mempengaruhi besar atau kecilnya perubahan kejadian banjir baik pada batas ambang I ataupun 2. Peningkatan kejadian banjir terjadi pada periode 2051-2070, dimana kejadian banjir meningkat dari sekali dalam 5 tahun menjadi sekali dalam 4 tahun pada periode tersebut. Sehingga jika dipadukan antara pengaruh perubahan iklim dan penggunaan lahan, maka dengan perubahan penggunaan lahan tahun 2025 dan perubahan iklim seperti periode tahun 2051-2071 terjadi peningkatan kejadian banjir dari sekali dalam 14 tahun menjadi sekali dalam 5 tahun.
48