HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Performa Itik Petelur Umur 21-29 Minggu Konsumsi Ransum Menurut North dan Bell (1990), pakan yang dikonsumsi unggas diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, pertumbuhan bulu dan produksi telur. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan harian pada unggas dibagi menjadi dua kelompok. Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktivitas. Berdasarkan Tabel 2, rataan konsumsi ransum itik selama sembilan minggu penelitian (umur 21-29 minggu) pada semua perlakuan berkisar 143.81 - 160.53 g/ekor/hari. Ransum tanpa menggunakan minyak dengan imbangan ω-3 dan ω-6 = 1 : 5.1 (R0) nyata (P<0.05) menurunkan konsumsi ransum. Ransum tanpa menggunakan minyak menghasilkan konsumsi terendah diantara perlakuan yang lain yaitu sebesar 143.81 gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan karena pakan yang tidak menggunakan minyak akan mengurangi daya palatabilitasnya karena memiliki tekstur yang berdebu. Wahyju (1997) menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh bentuk ransum, bau dan warna ransum dan palatabilitas ransum. Ransum yang hanya menggunakan minyak sawit (R5) menghasilkan konsumsi sebesar 156.02 g/ekor/hari, sedangkan perlakuan yang menggunakan minyak sawit dan minyak ikan (R2, R3 dan R4) menghasilkan angka konsumsi sebesar 160.53 g/ekor/hari, 157.08 g/ekor/hari dan 160.50 g/ekor/hari dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan ransum yang hanya menggunakan minyak ikan (R1). Tabel 2. Rataan konsumsi ransum, produksi telur (duck ransum itik selama 9 minggu penelitian Perlakuan Konsumsi Produksi telur/Duck (g/ekor) day (%) a* R0 143.81±9.43 35.08±3.82A** R1 153.02±4.32ab 46.98±5.93AB R2 160.53±1.24b 58.47±5.83B b R3 157.08±1.05 47.72±6.85AB R4 160.5±11.42b 45.52±6.58AB R5 156.68±1.08b 38.31±4.77A
day) dan konversi Konversi ransum 7.61±1.01B** 5.55±0.77A 5.12±0.54A 6.32±0.28AB 6.31±0.51AB 7.60±0.69B
*Superskrip dengan huruf kecil dalam satu kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) ** Superskrip dengan huruf beser dalam satu kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01)
Produksi Telur (Duck Day) Rataan produksi telur yang dihasilkan selama sembilan minggu (umur 21 29 minggu) dalam penelitian ini adalah 35.08% - 58.47% (Tabel 2). Ransum yang mengandung imbangan ω-3 dan ω-6 = 1 : 2.9 dan 200 ppm Zn organik (R2) sangat nyata (P<0.01) meningkatkan produksi telur itik dibandingkan perlakuan R0 dan R5. Produksi telur itik terendah dihasilkan oleh ransum dengan perlakuan tanpa minyak dan Zn organik (R0) yaitu sebesar 35.08% dan tertinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi minyak ikan lemuru dan minyak sawit dengan imbangan 1 : 2.9 dan Zn organik 200 ppm yaitu sebesar 58.47%. Produksi telur itik umur 21-29 minggu dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi telur itik umur 2129 minggu mengalami peningkatan setiap minggunya. Produksi telur itik tertinggi pada minggu ke-21 terjadi pada perlakuan R4 disusul perlakuan R2 yaitu sebesar 20.00% dan 13.33%, sedangkan produksi telur terendah dihasilkan pada perlakuan R0 yaitu sebesar 1.90%. Rata-rata peningkatan produksi telur tertinggi terjadi pada minggu ke- 23. Produksi telur tertinggi pada minggu ke-23 terjadi pada perlakuan R2 sebesar 57.14%, sedangkan produksi terendah terjadi pada perlakuan R0. Seluruh perlakuan mengalami peningkatan produksi telur sampai minggu ke- 29. Produksi tertinggi pada minggu ke-29 terjadi pada perlakuan R2 sebesar 75.00% sedangkan terendah terjadi pada perlakuan R0 sebesar 47.14%. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan 200 ppm Zn organik dan interaksi antara asam linolenat (EPA) dan asam linoleat (AA) dapat mempercepat pembentukan sel telur pada umur yang sama. Rasio asam arakhidonat dengan eikosapentaenoat (AA/EPA) sangat menentukan keseimbangan eikosanoid. Eikosanoid yang terbentuk dari EPA juga berkompetitif mengganggu tindakan eikosanoid terbentuk dari AA. Oleh karena itu aktivitas eikosanoid dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh rasio AA/EPA. Imbangan ω-3 dan ω-6 sebesar 2.9 (R3) kemungkinan menghasilkan rasio AA/EPA yang optimal dalam tubuh sehingga menghasilkan performa yang optimal. Defesiensi mineral Zn akan mempengaruhi komposisi asam lemak dan konsentrasi asam lemak dalam hati (Eder et al. 2000). Defesiensi Zn pada ransum yang mengandung minyak kelapa atau minyak ikan menyebabkan kandungan linoleat, arakidonat (AA) dan total asam lemak ω-6 lebih rendah. Menurut British Nutrition foundation’s (1994), arakidonat merupakan cikal bakal terbentuknya hormon prostaglandin (PGE2) yang berperan dalam system reproduksi. Hormon prostaglandin akan mempengaruhi sekresi hormon folicel stimulating hormone (FSH) dan leutinizing hormone (LH) yang berfungsi dalam proses pembentukan dan pematangan sel telur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitindaon (2005) bahwa suplementasi mineral Zn pada taraf 112.5 mg nyata meningkatkan produksi telur, karena pada taraf ini mineral Zn dapat mengaktifkan enzim karboksipeptidase dan aminopeptidase untuk menyediakan asam amino yang cukup untuk pembentukan telur. Menurut Wathes et al. (2007), asam lemak tak jenuh rantai panjang EPA (eikosapentaenoat) dan AA (asam arakhidonat) merupakan prekursor prostaglandin, prostacycline, thromboxane, dan leukotriene. Prostaglandin memiliki peran yang penting dalam beberapa aspek reproduksi, antara lain ovulasi, estrus dan kelangsungan hidup embrio. Proses metabolisme perubahan asam lemak linoleat dan asam lemak linoleat dapat dilihat pada Gambar 1.
Membrane phospholipid Phospholipase A2 Glucocorticoid Arachidonic acid
15 – Lipaxygenase
Cyclo – Oxigenase Aspirin – like Drugs ProstaglandinG2
15-S-Hydroperoxy Elcosatetraenoic acid
Peroxidase
Glutathione peroxidase
15 – S – hydroxy – elcosatetraenoic acid Prostaglandin H2 Prostacyclin synthase
Thromboxane synthase
Lipid peroxides
Dazoxiben
Prostacyclin
Thromboxane A2
Nonenzymic hydrolysis Nonenzymic hydrolysis 6 – keto – prostaglandin F1α
Thromboxane B2
Dietary eicosapentaenoic acid Prostaglandin G3 Prostaglandin H3
Prostaglandin I3 ∆ - 17 – 6 – keto prostaglandin F1α
Thromboxane A Thromboxane B
Gambar 1. Metabolisme asam lemak linoleat dan linolenat menjadi prostaglandin (British Nutrition Foundation’s 1994)
Peningkatan hormon prostaglandin akan menginduksi peningkatan sekresi hormon FSH dan LH dari pituitari anterior. Hormon FSH menstimulasi pertumbuhan folikel yolk dan hormon LH berperan dalam proses ovulasi folikel yolk dari ovarium, sehingga merangsang ovarium untuk memperbanyak folikel. Mekanisme pertumbuhan dan ovulasi folikel yolk pada itik diatur oleh hormon FSH, LH dan hormon yang dihasilkan ovarium. Enam jam sebelum folikel yolk diovulasikan hormon LH mengalami peningkatan (Yuwanta 2004).
Gambar 2. Rataan produksi telur itik (duck day (%)) umur 21-29 minggu. Peningkatan hormon LH menstimulasi sekresi hormon estrogen dan progesteron. Peningkatan hormon estrogen mengontrol transfer bahan yolk. Hormon estrogen yang tinggi menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi FSH sehingga untuk sementara pertumbuhan folikel yolk kecil dan sedang dihambat. Peningkatan hormon progesteron menyebabkan umpan balik positif terhadap sekresi hormon LH. Sekresi hormon LH yang tinggi berperan dalam proses ovulasi dengan merobek membran vetilen pada bagian stigma sehingga ovum bisa diovulasikan dari ovarium. Setelah ovum diovulasikan hormon LH mengalami penurunan, sedangkan sekresi hormon FSH kembali meningkat untuk melanjutkan kembali pertumbuhan folikel yolk (Yuwanta 2004).
Konversi Ransum Rataan konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 5.12 7.61 (Tabel 2). Menurut Zubaidah (2001), konversi ransum itik petelur pada umur 21 sampai 28 minggu sebesar 5.55 - 6.70. Indarsih dan Tamsil (2012) melaporkan bahwa konversi ransum itik umur 24 minggu yang diberi duckweed 20% dalam ransum yang berbentuk mash adalah sebesar 5.31 - 7.65. Menurut Anggorodi (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konversi pakan adalah produksi telur,
kandungan energi dalam ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara. Rataan konversi terendah dicapai pada perlakuan kombinasi minyak ikan dan minyak sawit dan Zn organik dengan imbangan asam lemak ω-3 dan ω-6 sebesar 1 : 2.9 (R2) yaitu 5.12 dan tertinggi dicapai pada ransum tanpa menggunakan minyak dan Zn organik (R0) yaitu sebesar 7.61. Berdasarkan uji lanjut, R1 dan R2 sangat nyata (P<0.01) menurunkan nilai konversi ransum. Hal ini disebabkan karena produksi telur harian R1 dan R2 nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain dengan jumlah konsumsi ransum yang tidak berbeda dengan R3, R4 dan R5. Nilai konversi ransum selama sembilan minggu dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rataan konversi ransum itik petelur umur 21-29 minggu
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Telur Itik Umur 21-29 Minggu
Berat Telur Rataan berat telur hasil penelitian berkisar antara 53.66 - 57.84 g/butir (Tabel 3). Berat telur terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa penggunaan minyak dan Zn organik (R0) yaitu sebesar 53.66 g/butir. Berat telur yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan berat telur standar umur 24 - 31 minggu yaitu 63.8 - 65.5 g/butir. Hal ini diduga disebabkan karena rendahnya asupan protein yang hanya 22.89 g/hari, sedangkan menurut Ketaren dan Prasetyo (2002) rata-rata konsumsi protein itik umur 20 - 43 minggu adalah 26.65 g/hari.
Tabel 3. Kualitas telur itik umur 21-29 minggu Paramter
R0
R1
R2
R3
R4
R5
Berat telur (g)
53.66±1.09
57.58±3.31
57.84±0.34
57.84±0.96
56.85±0.43
56.16±3.74
Skor kuning telur
11.27±0.21
11.32±0.16
11.22±0.10
11.22±0.31
11.3±0.17
11.20±0.12
94.5±0.49
93.95±2.60
93.86±1.65
93.86±2.49
95.71±2.86
97.38±3.48
30.37±0.70
31.82±2.63
32.32±1.10
32.32±0.65
31.76±0.27
31.85±2.39
56.62±1.86
55.21±1.39
55.88±1.59
55.88±1.54
55.86±0.17
56.7±0.77
16.98±1.24
18.14±1.41
17.67±1.99
17.67±1.17
17.85±1.20
16.34±2.12
31.64±1.80
31.64±3.96
30.56±3.49
30.56±1.63
31.4±2.18
29.27±4.99
6.30±0.20
6.62±0.24
6.55±0.11
6.55±0.05
6.67±0.18
6.41±0.34
11.74±0.15
11.50±0.26
11.32±0.14
11.32±0.22
11.73±0.30
11.41±0.23
0.47±0.01
0.47±0.01
0.47±0.02
0.47±0.02
0.48±0.02
0.47±0.01
77.63±0.96
77.74±3.35
78.23±2.17
78.23±1.66
79.14±1.38
78.74±2.75
Haugh unit Berat putih telur (g) Persentase berat putih telur (%) Berat kuning telur (g) Persentase berat kuning telur (%) Berat kerabang (g) Persentase berat kerabang (%) Tebal kerabang (mm) Indeks telur
Menurut Leeson dan Summers (2005) protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur, disamping genetik dan ukuran tubuh unggas. Berdasarkan hasil analisis statistik, berat telur yang dihasilkan antara perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05), namun dengan penggunaan Zn organik dalam ransum mengakibatkan kecenderungan berat telur yang semakin besar tiap minggunya (Gambar 4). Berat telur terbesar dihasilkan oleh perlakuan R1 yaitu 62 g/butir diikuti oleh R2 sebesar 61 g/butir pada minggu ke-29. Suplementasi Zn organik dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis maupun pencerna protein. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa enzim thymidine kinase mengandung Zn untuk aktivitasnya. Pemberian minyak ikan dalam ransum tidak mempengaruhi ukuran telur akan tetapi mempengaruhi komposisi kandungan lemak dalam kuning telur. Penelitian sebelumnya yang menggunakan minyak ikan lemuru dalam ransum burung puyuh tidak nyata mempengaruhi berat telur (Suripta dan Astuti 2006).
Gambar 4. Berat rata-rata telur itik minggu ke 21-29
Skor Warna Kuning Telur Rataan skor warna kuning telur penelitian adalah 11.09 - 11.32 (Tabel 3). Seluruh perlakuan tidak mempengaruhi skor warna kuning telur (P> 0,05). Warna kuning telur dipengaruhi oleh xanthophylls dalam pakan. Jika pakan mengandung banyak xanthophylls warna kuning telur adalah merah oranye (Castan et al. 2005). Jagung kuning memiliki kandungan xanthophylls yang tinggi yaitu sekitar 17 mg/kg (Moros et al.2002). Penggunaan jagung sampai 67% pada ransum kontrol (R0) dapat menghasilkan skor warna kuning telur sebesar 11.3 dan tidak berbeda nyata dengan ransum R1, R2, R3, R4 dan R5 yang menggunakan jagung sebesar 44.5% - 47.2%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan xanthophylls dalam minyak sawit serta tunaxantin, lutein dan zeaxantin pada minyak ikan dapat menggantikan xanthophylls yang terkandung dalam 20.8% - 23.5% jagung kuning. Perbandingan warna kuning telur antar perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Warna kuning telur antar perlakuan umur 29 minggu
Haugh Unit Nilai haugh unit merupakan nilai yang mencerminkan keadaan albumen telur yang berguna untuk menentukan kualitas telur. Nilai haugh unit yang tinggi menunjukkan kualitas telur tersebut juga tinggi (Hardianto et al. 2012). Rataan nilai haugh unit hasil penelitian berkisar antara 93.86 - 97.38. Nilai haugh unit tersebut dikategorikan sebagai telur yang berkualitas AA. Nilai haugh unit lebih dari 72 dikategorikan sebagai telur berkualitas AA, haugh unit 60 - 72 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 31 - 60 sebagai telur berkualitas B dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur berkualitas C (Yuwanta 2004). Faktor yang mempengaruhi haugh Unit adalah umur penyimpanan, strain unggas, umur, molting, nutrisi pakan dan penyakit (Roberts 2004). Pengukuran haugh unit pada penelitian ini dilakukan pada masa penyimpanan dan suhu yang relatif sama yakni, + 24 jam pada suhu 27 - 30 °C, sehingga hasilnya cenderung seragam.
Berat Putih Telur Berdasarkan Tabel 3, rataan berat putih telur yang dihasilkan tidak brbeda nyata antar perlakuan. Rata-rata berat putih telur relatif sama untuk semua perlakuan berkisar antara 30.37 g (56.65%) - 32.32 g (55.88%). Berat putih telur umumnya dipengaruhi oleh berat telur. Rata-rata berat putih telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan Budiman dan Rukmiasih (2007) bahwa berat putih telur itik adalah 33,96 ± 3,94 g. Penyusun utama putih telur menurut Stadelman dan Cotteril (1994) adalah air (88%) dan protein (9,7% - 10,6%), sedangkan lipid sangat sedikit bahkan dapat dianggap tidak ada. Berdasarkan Tabel 3, kecil sekali perbedaan berat albumen antar perlakuan. Hal tersebut dapat dipahami rnengingat keberadaan antara kuning telur dan putih telur sangat tergantung dari sejumlah nutrien pembentuk sebutir telur. Ukuran putih telur
dipengaruhi oleh ukuran telur. Berat telur hasil perlakuan tidak berbeda oleh karena itu berat putih telur juga tidak berbeda. Selain itu karena ransum yang dikonsumsi mempunyai kandungan nutrien yang sama maka hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap berat putih telur. Putih telur terdapat diantara membran kerabang ( shell membrane ) dan yolk.
Berat Kuning Telur Rataan berat kuning telur yang dihasilkan relatif sama untuk semua perlakuan yaitu berkisar 16.34 g (29.27%) - 18.58 g (33.00%) (Tabel 3). Menurut Bell dan Weaver (2002) persentase kuning telur sekitar 30% - 32% dari berat telur. Berat kuning telur yang relatif sama tidak terlepas dari pengaruh berat telur yang juga relatif sama untuk semua perlakuan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amrullah (2003) bahwa ukuran telur lebih banyak terkait dengan ukuran kuning telur dibandingkan dengan jumlah putih telur, walaupun sebenarnya putih telur tetap penting untuk menentukan ukuran telur. Menurut Wiradimadja et al. (2006), semakin menurun kadar kolesterol kuning telur semakin rendah bobot kuning telur yang dihasilkan. Menurut Juliambarwati (2012) faktor yang mempengaruhi berat kuning telur adalah kandungan lemak dan protein dalam telur yang sebagian besar terdapat dalam kuning telur.
Berat Kerabang Telur Rataan berat kerabang telur yang dihasilkan berkisar 6.25 g (11.11%) 6.67 g (11.74%). Bell dan Weaver (2002), menyatakan bahwa persentase kerabang telur berkisar 10% - 12% dari berat telur. Tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap berat kerabang telur di karena ransum yang digunakan pada masing-masing perlakuan mempunyai kandungan Ca yang hampir sama yaitu 3.01 - 3.22% serta penambahan Zn organik sampai 200 ppm tidak menekan kandungan Ca dalam kerabang. Namra et al. ( 2009) menyatakan bahwa penurunan berat kerabang telur dapat disebabkan oleh sifat antagonisme antara Zn dan Ca jika diberikan pada jumlah yang tinggi. Menurut Clunies et al. (1992) semakin tinggi Ca semakin tinggi pula bobot maupun tebal kerabang telur. Stadellman dan Cotterill (1994) menyatakan bahwa berat kerabang telur berkisar antara 9 - 12% dari total berat telur.
Tebal Kerabang Telur Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 0.47 - 0.48 mm. Keadaan ini menandakan penggunaan Zn organik dalam ransum tidak menunjukkan efek negatif terhadap pembentukan tebal kerabang. Penambahan mineral Zn organik sampai 200 ppm tidak menekan kandungan
mineral kalsium dalam kerabang telur. Menurut Leeson dan Summers (2005), bahwa zat nutrisi utama yang mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Pada penelitian ini berat kerabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda sehingga menghasilkan tebal kerabang yang tidak berbeda pula. Menurut Anggorodi (1994) dan Wahyju (1997), kualitas kerabang telur ditentukan oleh ketebalan dan struktur kerabang. Kandungan Ca dan P dalam ransum berperan terhadap kualitas kerabang telur karena dalam pembentukan kerabang telur diperlukan adanya ion-ion karbonat dan ion-ion Ca yang cukup untuk membentuk CaCO3 kerabang telur. Menurut Clunies et al. (1992), semakin tinggi konsumsi kalsium maka kualitas kerabang telur semakin baik.
Indeks Telur Rataan indeks telur yang dihasilkan selama penelitian ini adalah 77.63%79.14% (Tabel.3). Indeks telur yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal. Hal ini didukung oleh Srigandono (1991) bahwa indeks telur itik yang normal berkisar antara 63.3% – 81.70%. Menurut Elvira et al.(1994) bentuk telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa, juga dapat disebabkan oleh proses-proses yang tejadi selama pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus. Nilai indeks telur yang lebih besar menunjukkan bahwa telur memiliki bentuk yang bulat dan telur yang lonjong memiliki nilai indeks yang lebih rendah.
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Kualitas Kimia Telur Itik Umur 2129 Minggu Kolesterol Kuning Telur Berdasarkan Gambar 6, penggunaan imbangan ω-3 dan ω-6 sebesar 1 : 1.5 (R1) dalam ransum sangat nyata (P<0.01) menurunkan kandungan kolesterol kuning telur sebesar 24.45%, dari 9.65 mg/g (R0) menjadi 7.29 mg/g (R1). Kandungan kolesterol pada kuning telur itik tertinggi pada R0 dan R5 yaitu 9.65 mg/g dan 9.42 mg/g. Kandungan kolesterol hasil penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Aziz et al.(2012) yaitu kandungan kolesterol pada kuning telur itik sebesar 10.36 mg/g kuning telur dan Kazmierska et al.( 2005) yaitu kandungan kolesterol kuning telur sebesar 10.81 mg/g. Kandungan kolesterol menurun secara nyata pada imbangan ω-3 dan ω-6 sebesar 1: 3 ; 1; 4.5 dan 1: 6 yaitu sebesar 8.04 mg/g, 8.31 mg/g dan 8.43 mg/g. Penurunan kandungan kolesterol disebabkan oleh penggunaan minyak ikan yang mengandung asam lemak ω-3 (EPA dan DHA).Tingginya asam lemak omega-3 (EPA dan DHA) dalam ransum berpengaruh terhadap konsentrasi kolesterol. Griffin (1992) menyatakan bahwa salah satu fungsi ω-3 adalah menghambat biosintesis kolesterol. Menurut Yoriko dan Darshan (2009), asam lemak ω-3 juga dapat menurunkan konsentrasi trigleserida dengan menghambat sekresi low
density lipoprotein (LDL) di hati. Penurunan sekresi LDL disebabkan oleh terhambatnya ekspresi trnskripsi gen sterol regulatory element-binding protein1c (SREBP-1c). Lipogenesis dan kolesterogenesis di hati bergantung pada aktivasi faktor transkripsi SREBP-1c. Lipogenesis adalah proses deposisi lemak meliputi proses sintesis asam lemak dan sintesis trigliserida yang terjadi di hati pada daerah sitoplasma dan mitikondria. Asam lemak ω-3 menekanan aktivitas gen SREBP-1c dengan mencegahan pengikatan liver X receptor α (LXRα)/retinoid X receptor α (RXRα) heterodimer pada liver X receptor responsive elements (LXREs) di SREBP-1c. LXRα dan RXRα heterodimer dibutuhkan untuk mengatur ekspresi gen SREBP-1c. Terhambatnya ekspresi gen SREBP-1c akan menghambat proses lipogenesis dan kolesterogenesis.
Gambar 6. Kandungan kolesterol (mg/g) kuning telur itik umur 29 minggu Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa semakin rendah imbangan ω-3 : ω-6 atau semakin tinggi penggunaan minyak ikan dalam ransum menghasilkan kandungan kolesterol yang semakin menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Montesqrit (2008) bahwa pemberian minyak ikan yang kaya akan asam lemak omega-3 dalam ransum ayam petelur dapat menurunkan kandungan kolesterol telur dan serum. Demikian juga hasil penelitian Suripta dan Astuti (2006) bahwa penggunaan minyak lemuru 8% dalam ransum dapat menurunkan kandungan kolesterol dari 120,32 mg/100 g menjadi 54,82 mg/100 g. Menurut Wiradimadja et al. (2006) asam lemak omega-3 berperan dalam pengaturan metabolisme kolesterol yang meliputi transport dan ekskresi kolesterol. Proses transformasi dan transportasi lemak hingga ke ovary dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Proses transformasi dan transportasi lemak hingga ke ovari (Piliang dan Djojosoebagiao, 2006)
Vitamin A Kuning Telur Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa kandungan vitamin A dalam kuning telur meningkat dengan adanya suplementasi 200 ppm Zn organik dan semakin meningkatnya penggunaan minyak sawit. Data hasil penelitian menunjukan kandungan vitamin A tertinggi terdapat pada perlakuan R5 yaitu sebesar 1675 IU/100 g dan terendah pada perlakuan R0 yaitu sebesar 1345 IU/100g. Besarnya peningkatan kandungan vitamin A tersebut dibandingkan dengan ransum kontrol (tanpa suplementasi Zn dan minyak) adalah : 0.44% pada R1, 1.03% pada R2, 7.43 % pada R3, 8.37% pada R4 dan 19.70% pada R5. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan β-karoten pada minyak sawit, vitamin A pada minyak ikan dan mineral Zn memberikan kontribusi pada peningkatan kandungan vitamin A pada kuning telur.
Gambar 8. Kandungan vitamin A (IU/100g) kuning telur itik umur 29 minggu Kadar karotenoid dalam minyak sawit yaitu 60.000 μg/100g atau 500-700 ppm di dalam minyak sawit mutu regular. Karotenoid minyak sawit terdiri dari αkaroten (30-35%), β-karoten (60-65%), dan karoten lain seperti γ-karoten, likopen, xanthofil, γ-zeakaroten (5-10%) (Ketaren, 2005). Kandungan β-karoten dalam pakan sangat mempengaruhi kandungan vitamin A produk ternak karena β-karoten merupakan provitamin A memiliki aktivitas vitamin A yang paling besar dibandingkan dengan karotenoid lainnya (McDowell, 2000). Menurut Leeson dan Summers (2005), kandungan vitamin A kuning telur akan meningkat dengan bertambahnya kandungan provitamin A dalam ransum. Selain disebabkan oleh kandungan β-karoten, peningkatan vitamin A pada kuning telur juga disebabkan oleh kandungan mineral Zn dalam plasma. Menurut Christian and Keith (1998) status Zn dapat mempengaruhi metabolisme vitamin A termasuk penyerapan, transportasi dan penggunaanya. Muňoz et al.(2000) menyatakan bahwa defisiensi Zn dapat menurunkan vitamin A dalam plasma serta menurunkan sintesis retinol- binding protein (RBP) dalam hati demikian pula RBP dalam plasma. Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan mobilisasi retinol di hati dari bentuk simpannya (retinyl ester). Aktivitas enzim retinyl ester hydrolase yang melepas vitamin A dari bentuk simpannya dihambat dengan kurangnya mineral Zn. Leeson dan Summers (2005) melaporkan bahwa RBP diangkut ke jaringan target dimana RBP ini terikat kepermukaan sel reseptor dan retinol diangkut ke dalam sel jaringan target, antara lain telur.
Kandungan Asam Lemak Ransum, Imbangan dan Efisiensi Deposit Asam Lemak ω-3 dan ω-6 dalam Kuning Telur Kandungan asam lemak ransum disajikan pada Tabel 4 dan kandungan asam lemak kuning telur umur 29 minggu disajikan pada Tabel 5. Itik yang diberi perlakuan yang diberi ransum dengan imbangan ω-3 dan ω-6 = 1:1.5 (R1) menghasilkan telur dengan kandungan asam lemak ω-3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain ( Tabel 5). Hal ini disebabkan karena penggunaan
Tabel 4. Kandungan asam lemak ransum* Asam Lemak (%) R0 R1 Miristat (14:0) 1.62 1.81 Palmitat (16:0) 38.02 39.63 Stearat (18:0) 8.50 9.48 Arakhidat (20:0) 0.90 0.78 Palmitoleat (16:1) 5.23 3.78 Oleat (18:1) 44.02 41.26 Arakidonat (20:4) 0.00 0.00 Linoleat (18:2) 1.43 1.94 Linolenat (18:3) 0.28 0.24 EPA (20:5) 0.00 0.96 DHA (22:6) 0.00 0.12 SAFA 49.04 51.70 MUFA 49.25 45.04 PUFA 1.71 3.26 Total ω -3 0.28 1.32 Total ω -6 1.43 1.94 Imbangan ω -6 : ω -3 5.11 1.47
R2 1.55 41.03 7.08 0.85 4.36 42.21 0.00 2.17 0.10 0.41 0.24 50.51 46.57 2.92 0.75 2.17 2.89
R3 1.33 41.01 6.15 0.63 5.00 43.13 0.00 2.26 0.16 0.13 0.20 49.12 48.13 2.75 0.49 2.26 4.61
R4 3.22 40.12 6.48 0.82 3.39 43.20 0.00 2.37 0.38 0.02 0.00 50.64 46.59 2.77 0.40 2.37 5.93
R5 1.80 37.23 9.61 2.20 3.23 43.23 0.00 2.39 0.31 0.00 0.00 50.84 46.46 2.70 0.31 2.39 7.71
*Hasil analisis PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor
minyak ikan paling banyak pada R1 yaitu 5% dalam ransum, sedangkan perlakuan R2 menggunakan minyak ikan sebesar 1.8%, R3 1% dan R4 0.4%. Ransum yang menggunakan minyak ikan (R1, R2, R3 dan R4) mampu meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur dibandingkan R0 dan R5. Ransum dengan minyak ikan sebesar 5% mampu meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 sebesar tujuh kali lipat dibandingkan ransum R0 dan R5 yang tidak menggunakaan minyak ikan dalam ransum yaitu dari 0.1% menjadi 0.73%. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Setyono (2005), bahwa kandungan EPA dan DHA dalam kuning telur meningkat apabila jumlah minyak ikan yang kaya EPA dan DHA dalam ransum ditingkatkan. Minyak ikan kaya akan asam lemak ω-3. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Domínguez et al.(2012), bahwa penggunaan minyak ikan lemuru 2.5% yang dikombinasikan dengan 100 ppm vitamin E dalam ransum mampu meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 pada kuning telur ayam sebesar empat kali lipat dibandingkan kontrol. Semakin tinggi kandungan minyak ikan dalam ransum semakin tinggi pula asam lemak ω-3 yang terdeposisi dalam kuning telur. Asam lemak ω-3 terdiri dari asam linolenat (18:2), EPA (20:5) dan DHA (22:6). Kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur penelitian didominasi oleh asam lemak DHA. Banyaknya asam lemak DHA dalam kuning telur disebabkan oleh proses transformasi metabolik asam lemak linolenat dan EPA menjadi DHA ( British Nutrition Foundation’s 1994 ).
Tabel 5. Kandungan asam lemak kuning telur itik umur 29 minggu* Asam lemak (%) R0 R1 R2 R3 R4 Miristat (14:0) 0.59 0.57 0.60 0.69 0.60 Palmitat (16:0) 33.63 32.36 33.99 32.36 33.30 Stearat (18:0) 7.52 6.08 5.88 6.43 6.40 Arakhidat (20:0) 0.10 0.14 0.11 0.12 0.10 Palmitoleat (16:1) 3.27 4.54 2.82 3.26 4.36 Oleat (18:1) 54.01 54.77 55.54 56.26 54.11 Arakidonat (20:4) 0.03 0.01 0.03 0.03 0.03 Linoleat (18:2) 0.74 0.80 0.79 0.71 0.99 Linolenat (18:3) 0.02 0.05 0.09 0.02 0.09 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 EPA (20:5) 0.09 0.65 0.15 0.12 0.02 DHA (22:6) SAFA 41.84 39.15 40.58 39.60 40.40 MUFA 57.28 59.31 58.36 59.52 58.56 PUFA 0.88 1.54 1.06 0.88 1.13 Total ω -3 0.11 0.73 0.24 0.14 0.11 Total ω -6 0.77 0.81 0.82 0.74 1.02 Imbangan ω -6 : ω -3 7.00 1.11 3.42 5.29 9.27
R5 0.60 33.68 6.21 0.12 4.02 54.12 0.03 1.12 0.09 0.00 0.01 40.61 58.14 1.25 0.10 1.15 11.50
*Hasil analisis PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor
Deret asam lemak ω-6 disintesis dari asam linoleat, sedangkan deret asam lemak ω-3 disintesis dari asam linolenat. Asam oleat, linoleat dan linolenat diubah menjadi deret asam lemak ω-9, ω-3 dan ω-6 dengan melibatkan proses elongasi (pemanjangan rantai karbon dalam asam lemak) dan desaturasi (penambahan ketidakjenuhan asam lemak) (Estiasih 2009). Berdasarkan Tabel 5, imbangan ω-6 dan ω-3 yang diperoleh pada perlakuan R0, R1, R2, R3, R4 dan R5 dalam kuning telur itik adalah 7, 1.1, 3.4, 5.3, 9.3, 11.5. Perlakuan R3 menghasilkan telur itik dengan imbangan asam lemak ω -3 dan ω -6 terbaik yaitu dengan imbangan 1 : 5.3. Beberapa hasil penelitian merekomendasikan bahwa imbangan ω-3 dan ω-6 dalam makanan untuk dikonsumsi manusia adalah 1 : 4 sampai 1 : 10 (British Nutrition Foundation’s 1994). Menurut Leeson dan Atteh (1995), rasio yang terbaik antara ω-3 dan ω-6 adalah 1 : 5. Suplementasi minyak ikan pada ransum menyebabkan meningkatkan kandungan asam linolenat ransum, sehingga imbangan ω-3 dan ω-6 menjadi lebih rendah pada ransum yang mengandung minyak ikan dibandingkan dengan ransum yang disuplementasi minyak sawit. Sebaliknya, semakin tinggi penggunaan minyak sawit dalam ransum akan meningkatkan imbangan ω-3 dan ω-6 dalam kuning telur. Hal yang sama dilaporkan oleh Suripta dan Astuti (2006), bahwa penggunaan minyak ikan lemuru sebanyak 8% dalam ransum mampu menurunkan imbangan ω-3 dan ω-6 dalam kuning telur puyuh yaitu dari 1 : 24 menjadi 1 : 11. Imbangan ω-3 dan ω-6 dalam kuning telur itik mengalami perubahan jika dibandingkan dengan imbangan ω-3 dan ω-6 dalam ransum (Tabel 4). Imbangan ω-3 dan ω-6 dalam ransum adalah 5.1, 1.5, 2.9, 4.6, 5.9 dan 7.7, sedangkan imbangan ω-3 dan ω-6 dalam kuning telur itik adalah 7, 1.1, 3.4, 5.3, 9.3, 11.5. Efisiensi deposit asam lemak ω-3 pada kuning telur sebesar 39.29% (R0), 55.30%
(R1), 32.00% (R2), 28.57% (R3), 27.50% (R4) dan 32.26% (R5), sedangkan efisiensi deposit asam lemak ω-6 di kuning telur sebesar 53.84% (R0), 41.75% (R1), 37.75% (R2), 32.74% (R3), 43.04% (R4), dan 48.12% (R5). Perubahan imbangan dan deposit ω-3 dan ω-6 di kuning telur kemungkinanan disebabkan oleh sifat kompetisi asam lemak ω-3 dan ω-6 terhadap enzim 6-desaturase dalam proses transformasi asam lemak (Gambar 8). Menurut Estiasih (2006), pada proses transformasi asam lemak berdasarkan deret asam lemak, enzim 6desaturase merupakan enzim pembatas. Asam linoleat dan asam linolenat berkompetisi untuk sistem enzim ini, dan asam linoleat merupakan substrat yang lebih disukai. Oleh karena itu, proses transformasi asam linolenat menjadi deret asam lemak ω -3 dengan rantai lebih panjang dan lebih tak jenuh menjadi terhambat. Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa dalam makanan jumlah asam linoleat berlimpah dan jauh lebih banyak dibandingkan asam linolenat. Oleh karena itu, sintesis asam lemak ω-3 yang lebih panjang dan lebih tak jenuh yang penting bagi tubuh, yaitu EPA dan DHA menjadi terhambat. Murray et al. (1995) juga menyatakan bahwa bahwa biosintesis ω-6 akan menghambat biosintesis ω-3 dengan cara berkompetisi untuk sistem enzim yang sama. Proses transformasi asam lemak di dalam tubuh yang melibatkan peran enzim 6-desaturase dapat dilihat pada Gambar 9. Enzim
Deret Omega 6
Deret Omega 3
Asam linoleat (C18:2 omega 6)
Asam linolenat (C18:3 omega 3)
Asam g- linolenat (C18:3 omega-6)
Asam oktadekatetraenoat (C18:4 omega-3)
Asam eikosatrienoat C20:3 omega-6
Asam eikosatetraenoat 20:4 omega-3
Asam arakhidonat C20:4 omega-6
Asam eikosapentaenoat C20:4 omega-3
Asam dekosatetraenoat C22:4 omega-6
Asam dokosapentaenoat EPA,C22:5 omega-3
Asam dokosapentaenoat C22:5 omega-6
Asam dokosaheksaenoat DHA,C22:6 omega-3
6-desaturase (pembatas laju)
Elongasi(pemanjangan rantai)
5-desaturase
Elongase (pemanjangan rantai)
4-desaturase
Gambar 9. Proses transformasi asam lemak di dalam tubuh (Estiasih 2009)
Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Nilai Ekonomis Usaha Itik Petelur Umur 21-29 Minggu Income Over Feed Cost (IOFC) Pengaruh perlakuan terhadap rataan income over feed cost dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan income over feed cost itik selama 9 minggu penelitian Peubah Harga pakan (Rp/kg)* Harga jual telur (Rp/ butir)**
R0 4040.6
R1 4162.4
R2 4090.7
R3 4157.6
R4 4241.7
R5 4058
1500
2000
2000
2500
2000
2000
0.14
0.15
0.16
0.16
0.16
0.16
Konsumsi pakan (kg/hari/ekor) Produksi telur (butir/hari/ekor) Biaya pakan (Rp/hari/ekor)
0.35
0.44
0.59
0.47
0.46
0.38
577.81
636.85
658.60
652.74
682.91
637.11
Pendapatan (Rp/hari/ekor)
528.91
878.31
1176.87 1179.14
928.57
766.14
IOFC (Rp)
-48.89
241.46
518.27
245.66
129.03
526.40
*Harga pakan pada bulan Maret – Juni 2013 **Harga telur pada bulan Juni 2013
Nilai income over feed cost dihitung berdasarkan besarnya biaya konsumsi dan harga jual dari tiap kg berat telur. Besarnya nilai konversi pakan akan menambah biaya produksi, dengan demikian akan mempengaruhi nilai income over feed cost. Besar kecilnya nilai income over feed cost juga dipengaruhi oleh harga telur di pasaran pada waktu tertentu. Dari Tabel 6,dapat dilihat bahwa harga pakan perlakuan tertinggi didapat pada perlakuan R4 ( Rp. 4241.7 /kg) dan terendah pada pakan perlakuan R0 ( Rp. 4040.6/ kg). Harga jual telur R0 sebesar Rp. 1.500 /butir sedangkan untuk R1, R2, R4, R5 sebesar Rp. 2.000 /butir dan R3 sebesar Rp. 2.500/butir. Perbedaan harga jual telur pada R1, R2, R4 dan R5 dikarenakan telur yang dihasilkan memiliki nilai jual lebih karena mengandung tinggi ω-3 dan ω-6, tinggi vitamin A dan rendah kolesterol. Harga jual yang tinggi pada R3 yaitu sebesar Rp.2.500/butir dikarenakan selain mengandung tinggi vitamin A dan rendah kolesterol juga mengandung asam lemak ω-3 dan ω-6 yang seimbang. Penggunaan pakan dengan imbangan asam lemak ω-6 dan ω-3 sebesar 1.5 ; 2.9 ; 4.6 dan 5.9 memberikan efek positif terhadap income over feed cost. Income over feed cost tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pakan yang menggunakan imbangan ω-6 dan ω-3 sebesar 4.6 (R3) yaitu sebesar Rp. 526.40 /hari/ekor. Hal ini disebabkan karena R3 menghasilkan produksi telur yang tinggi dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R1,R2 dan R4. Perlakuan R0 menghasilkan income over feed cost negatif atau mengalami kerugian sebesar Rp. -48.89 /hari/ekor (R0).