22
HASIL DAN PEMBAHASAN Sekolah Dasar yang diteliti Jumlah SD yang diteliti pada data sekunder “Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional Tahun 2008” yaitu sebanyak 4500 SD yang tersebar pada kota dan kabupaten di 18 propinsi penelitian. Dalam penelitian ini jumlah sekolah yang dianalisis sebanyak 65 SD, dimana 51 SD di wilayah Depok dan 14 SD di Sukabumi. Sebagian besar SD di kedua wilayah berstatus negeri dan berakreditasi B. Sebaran SD berdasarkan status dan mutu sekolah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran SD berdasarkan status sekolah dan akreditasi Kategori SD Negeri • Akreditasi A • Akreditasi B Swasta • Akreditasi A • Akreditasi B
Depok 32 3 29 19 4 15
Sukabumi 12 1 11 2 0 2
Karakteristik Siswa Status dan Mutu SD Sampel adalah siswa SD yang bersekolah di sekolah negeri dan swasta dengan akreditasi A dan B di wilayah Depok dan Sukabumi, sebaran siswa berdasarkan status dan mutu sekolah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan status, dan mutu (akreditasi) sekolah menurut wilayah Wilayah Depok Sukabumi
Kategori Sekolah Status Negeri Swasta Total Mutu (akreditasi) A B Total
Total (n=105)
n
%
n
%
n
%
52 30 82
63.4 36.6 100.0
20 3 23
86.9 13.1 100.0
72 33 105
68.6 31.4 100.0
13 69 82
15.8 84.2 100.0
2 21 23
8.7 91.3 100.0
15 90 105
14.3 85.7 100.0
23
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa di wilayah Depok maupun Sukabumi berada pada sekolah yang berstatus negeri. Jika dilihat berdasarkan akreditasi sekolah, sebagian besar siswa bersekolah di sekolah yang berakreditasi B. Tingkatan Kelas Siswa yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa kelas 4, 5 dan 6, sebaran siswa berdasarkan kelas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan tingkatan kelas Kelas Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6 Total
Depok n 27 27 28 82
% 32.9 32.9 34.2 100.0
Sukabumi n % 8 34.8 7 30.4 8 34.8 23 100.0
Total n 35 34 36 105
% 33.3 32.4 34.3 100.0
Jenis kelamin Menurut Hurlock (1999), jenis kelamin anak mempengaruhi perkembangan secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi sebelum dan sesudah lahir, sedangkan yang tidak langsung hanya terjadi sesudah lahir. Pengaruh langsung berasal dari kondisi hormon. Kondisi hormon inilah yang mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan psikologis anak perempuan dan laki-laki. Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total
n 41 41 82
Depok % 50.0 50.0 100.0
Sukabumi n % 11 47.8 12 52.2 23 100.0
Total n 52 53 105
% 49.5 50.5 100.0
Berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan komposisi tubuh antar lakilaki dan perempuan. Anak laki-laki memiliki lebih banyak massa otot tubuh (lean body mass) per centimeter tinggi badan dibanding anak perempuan. Sedangkan anak perempuan memiliki persentase berat lemak lebih tinggi dari pada laki-laki, tetapi perbedaan keduanya tidak nampak signifikan sampai mereka memasuki usia remaja. Asupan energi dalam masa pertumbuhan pada umur yang sama dan jenis kelamin yang sama tergantung pada aktivitas yang dilakukan. Pada anak laki-laki
24
umur 9 tahun dan anak perempuan umur 12.5 tahun yang mendekati masa pubertas, memiliki perbedaan faktor determinan yang signifikan terhadap kebutuhan energi meskipun berada pada kategori usia menurut angka kecukupan gizi yang sama (Lucas 2004). Umur Umur mempengaruhi kematangan seorang anak untuk masuk sekolah dasar, kita ketahui bahwa golongan umur anak sekolah belum mencapai dewasa dan merupakan
generasi
yang
perlu
mendapatkan
perhatian
dalam
konsumsi
pangannya. Pola makan pada saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena pola konsumsi saat ini akan terbawa terus sampai dewasa. Sebaran umur siswa dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan umur Umur (thn) 8-9 9-10 10-11 11-12 Total Rata-rata
Depok n 19 22 31 10 82
% 23.2 26.8 37.8 12.2 100.0 10.39
n 3 9 9 2 23
Sukabumi % 13.0 39.1 39.1 8.8 100.0 10.43
Total n % 22 21.0 31 29.5 40 38.1 12 11.4 105 100.0 10.40
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada penelitian ini umur siswa di Depok dan di Sukabumi berada pada umur 10-11 tahun sebanyak 37.8% di wilayah Depok dan 39.1% Sukabumi. Berdasarkan rata-rata umur, dapat diketahui umur siswa di Depok dan Sukabumi relatif sama. Besar Uang saku Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu, seperti harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi suatu kebiasaan, anak akan menggunakan uang yang diperolehnya untuk melakukan pembelian terhadap suatu produk barang atau jasa tertentu. Dalam penelitian ini, uang saku diberikan kepada siswa perhari. Uang saku siswa dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah (Rp 1000-Rp 4000), sedang (>Rp 4000-Rp 7000), dan tinggi (>Rp 7000-Rp 10000). Sebaran siswa berdasarkan uang saku dapat dilihat pada Tabel 8.
25
Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan besar uang saku Besar uang saku/hari Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata
Depok n % 44 53.7 37 45.1 1 1.2 82 100.0 Rp 3829.3
Sukabumi n % 19 82.6 3 13.0 1 4.4 23 100.0 Rp 3282.6
Total n % 63 60.0 40 38.1 2 1.9 105 100.0 Rp 3709.5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa di Depok maupun Sukabumi mempunyai besar uang saku dengan kategori kurang yaitu sebanyak 53.7% di wilayah Depok dan 82.6% wilayah Sukabumi. Berdasarkan nilai rata-rata, besar uang saku di wilayah Depok lebih besar (Rp 3829.3) dibandingkan wilayah Sukabumi (Rp 3282.6). Ada beberapa faktor yang memungkinkan lebih besarnya uang saku siswa di Depok daripada siswa di Sukabumi, diantaranya keadaan sosial ekonomi keluarga siswa di Depok lebih baik dibandingkan di Sukabumi sehingga orangtua memberikan uang saku yang lebih besar pula kepada anaknya. Faktor lainnya adalah tingkat pendidikan orangtua yang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswa, cara mendidik anak dan cara pengambilan keputusan anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Andarwulan et al (2009) yang menyatakan besar uang saku siswa yang tinggal di kota lebih tinggi dibanding dengan siswa di kabupaten. Semakin besar uang saku siswa, maka semakin besar peluang untuk membeli jajanan di sekolah dan di luar sekolah. Karakteristik Keluarga Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan orangtua sangat berpengaruh pada kehidupan di dalam keluarga, khususnya tingkat pendidikan ibu yang mempunyai pengaruh lebih besar. Hal ini dikarenakan ibu mempunyai peran dan tanggung jawab lebih besar pada pengasuhan dan perawatan anak serta keluarga. Pada umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang lebih murah tetapi memiliki kandungan gizi tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989).
26
Rendahnya pendidikan dapat berakibat pada rendahnya pengetahuan kesehatan dan dapat menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya masalah kesehatan. Selain itu, tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar (Engel et al 1994). Sebaran orangtua siswa berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran orangtua siswa berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi Total
Depok Ayah n 1 4 18 30 29 82
% 1.2 4.8 22.0 36.6 35.4 100.0
Ibu n 1 7 17 34 23 82
% 1.2 8.5 20.7 41.5 28.0 100.0
Sukabumi Ayah Ibu n % n % 0 0.0 0 0.0 1 4.3 3 13.0 4 17.4 4 20.0 14 60.9 14 60.9 4 17.4 2 8.7 23 100.0 23 100.0
Pendidikan orangtua pada Tabel 9 dibedakan atas pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua siswa sebagian besar adalah SMA di kedua wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan orangtua siswa masih tergolong sedang. Namun tingkat pendidikan orangtua yang PT lebih banyak terdapat di wilayah Depok dibandingkan Sukabumi. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan orangtua siswa di Depok sudah lebih baik dibanding orangtua siswa di Sukabumi. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara besar uang saku siswa dengan tingkat pendidikan ibu. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin besar jumlah uang saku siswa. Hal tersebut dapat diketahui dari Tabel 10, dimana terdapat kecenderungan persentase besar uang saku siswa menjadi lebih besar seiring meningkatnya tingkat pendidikan ibu. Seperti pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan SMA dan PT, dapat dilihat ibu sudah memberikan uang saku yang lebih besar kepada siswa jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan adanya pengaruh tingkat pendidikan ibu dengan pemberian besar uang saku kepada anaknya, dan memungkinkan tingkat ekonomi keluarga di Depok sudah lebih baik dibandingkan dengan keluarga di Sukabumi.
27
Tabel 10 Hubungan pendidikan ibu dengan besar uang saku siswa Pendidikan ibu Tidak sekolah SD SMP SMA PT Total
Rendah n % 1 100.0 8 80.0 17 77.3 31 64.6 6 25.0 63 60.0
Besar uang saku Sedang n % 0 .0 2 20.0 5 22.5 16 33.3 17 70.8 40 38.1
Tinggi n % 0 .0 0 .0 0 .0 1 2.1 1 4.2 2 1.9
Total n 1 10 22 48 24 105
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Uji
r=0.363 p=0.000
Bila pendidikan tinggi memungkinkan mendapatkan pendapatan yang lebih banyak pula, tingkat pendidikan orangtua siswa merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi dan status gizi. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendidikan yang baik akan mempengaruhi sikap gizi seseorang. Hal tersebut sangat penting karena sikap gizi orangtua akan sangat mempengaruhi kesukaan dan ketidaksukaan anak terhadap makanan pada usia sekolah (Rodiah 2010). Pekerjaan Orangtua Pekerjaan orangtua siswa pada penelitian ini dibagi menjadi enam kategori yaitu PNS/POLRI/TNI, swasta, petani/buruh tani, wiraswasta, ibu rumah tangga dan lainnya ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran orangtua siswa berdasarkan jenis pekerjaan Pekerjaan PNS/POLRI/TNI Swasta Petani/Buruh tani Wiraswasta Ibu rumah tangga Lainnya Total
Depok Ayah Ibu n % n % 29 35.4 11 13.4 23 28.0 4 4.9 3 3.6 0 0.0 18 22.0 3 3.7 0 .0 64 78.0 9 11.0 0 .0 82 100.0 82 100.0
Sukabumi Ayah Ibu n % n % 9 39.1 5 21.7 1 4.3 0 0.0 2 8.7 0 0.0 5 21.7 1 4.3 0 .0 17 73.9 6 26.1 0 .0 23 100.0 23 100.0
Pada penelitian ini, persentase terbesar ayah siswa di kedua wilayah bekerja sebagai PNS/POLRI/TNI, sedangkan pekerjaan ibu sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga (IRT) baik di wilayah Depok maupun Sukabumi. Hal ini dapat
28
diartikan walaupun Depok merupakan kota dan Sukabumi hanya kabupaten secara geografis, namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap jenis pekerjaan pada orangtua siswa. Semakin baik pekerjaan seseorang maka jumlah pendapatan yang diterima pun semakin meningkat. Meningkatnya pendapatan seseorang lebih lanjut dapat mempengaruhi asupan makanan karena dapat menyediakan makanan yang memadai baik kualitas maupun kuantitas bagi keluarganya. Besar Keluarga Besar keluarga ditentukan dengan cara mendata jumlah anggota keluarga. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi dan kesehatan. Dengan pendapatan yang sama, maka pada rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga untuk menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan adalah lebih rendah daripada rumah tangga yang jumlah anggota keluarganya lebih sedikit. Hal ini akan meningkatnya risiko terjadinya gizi kurang atau gizi buruk yang lebih besar pada rumah tangga yang jumlah anggota keluarganya lebih banyak. Kategori besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan besar keluarga Besar keluarga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥8 orang) Total Rata-rata
Depok n % 39 47.6 40 48.8 3 3.6 82 100.0 4.67
Sukabumi n % 11 47.8 12 52.2 0 0.0 23 100.0 4.43
Total n % 50 47.6 52 49.5 3 2.9 105 100.0 4.61
Pada umumnya baik di wilayah Depok maupun di Sukabumi termasuk dalam keluarga sedang (5-7 orang) sebanyak 49.5%. Namun terdapat sebanyak 3.6% keluarga dengan kategori keluarga besar di Depok. Berdasarkan rata-rata besar keluarga, di Depok lebih banyak (4.67 orang) dibandingkan dengan rata-rata Sukabumi (4.43 orang). Namun hal ini tidak berpengaruh terhadap tingkat pendidikan maupun tingkat pekerjaan orangtua, dimana di wilayah Depok tingkat pendidikan orangtua sudah lebih baik dibandingkan di wilayah Sukabumi. Begitu juga terhadap pemberian uang saku kepada siswa, walaupun di Depok rata-rata keluarga lebih besar dibandingkan di Sukabumi, namun rata-rata uang saku yang diberikan di Depok lebih besar daripada di Sukabumi.
29
Menurut Suhardjo (2003) bahwa kurang energi dan protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarganya lebih kecil. Hal ini terjadi karena jika besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan gizi sangat erat hubungannya dengan baik buruknya kualitas gizi dari makanan yang dikonsumsi. Dengan pengetahuan yang benar mengenai gizi, maka orang akan tahu dan berupaya untuk mengatur pola makanannya sedemikian rupa sehingga seimbang, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Sebaran siswa di wilayah Depok maupun Sukabumi berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan pengetahuan gizi yang diajukan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran siswa berdasarkan jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan
No
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Jajanan
Depok
Sukabumi
Total
(n=82)
(n=23)
(n=105)
n
%
n
%
n
%
1
Pangan (makanan dan minuman) yang bergizi
76
92.7
21
91.3
97
92.4
2
Pangan (makanan dan minuman) yang tercemar
50
61.0
10
42.5
60
57.1
3
Jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh
55
67.1
18
78.3
73
69.5
4
Pentingnya makan aneka ragam makanan setiap
58
70.7
21
91.3
79
75.2
hari 5
Susunan menu makanan yang baik dan bergizi
78
95.1
23
100
101
96.2
6
Fungsi protein
33
40.0
10
43.0
43
41.0
7
Jenis makanan sumber protein
67
81.7
13
56.5
80
76.2
8
Pengertian pangan jajanan
13
15.9
5
21.7
18
17.1
9
Makanan yang tidak habis dimakan, jika akan
52
63.4
17
73.9
69
65.7
68
82.9
19
82.6
87
82.8
72
87.8
13
56.5
85
81.0
dimakan lagi maka 10
Di dalam ditemukan sehelai rambut pada minuman, maka
11
Akibat pangan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat
12
Minuman yang diberi bahan tambahan makanan
47
57.3
6
26.1
53
50.5
13
Pangan jajanan yang sering menyebabkan sakit
25
30.0
7
30.0
32
30.0
14
Jika es batu terbuat dari air mentah
68
82.9
16
69.6
84
80.0
15
Kebiasaan mencuci tangan
79
96.3
23
100.0
102
97.1
30
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa aspek tentang pengertian pangan jajanan paling tidak dimengerti oleh siswa, hal tersebut ditunjukkan sedikitnya siswa yang menjawab dengan benar yaitu hanya sebanyak 17.1%. Aspek tentang pangan jajanan yang sering menyebabkan sakit juga paling tidak dimengerti oleh siswa, hanya sebanyak 30.0% siswa yang menjawab dengan benar. Hal ini berarti masih kurangnya pengetahuan siswa tentang pangan jajanan. Oleh karena itu, para guru hendaknya lebih memberikan pelajaran tentang gizi khususnya tentang pangan jajanan. Namun aspek tentang bahan tambahan makanan yang dalam minuman, siswa di Sukabumi sebagian besar tidak mengerti jika dibandingkan dengan siswa di Depok. Hal ini ditunjukkan lebih sedikitnya (26.1%) siswa di Sukabumi yang menjawab dengan benar, sedangkan di Depok sebanyak 57.3% siswa yang menjawab benar. Aspek tentang kebiasaan mencuci tangan, hampir semua siswa sudah menjawab dengan benar di Depok yaitu sebanyak 96.3% sedangkan di Sukabumi 100% siswanya menjawab dengan benar. Begitu juga aspek tentang makanan yang bergizi, hampir semua siswa menjawab dengan benar. Hal ini dapat diartikan bahwa siswa di kedua wilayah sudah mengerti tentang hal tersebut. Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan menurut wilayah, status dan akreditasi sekolah dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan menurut wilayah, status dan akreditasi sekolah
Depok Sukabumi
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Kurang Sedang Baik n % n % n % 23 28.0 52 63.4 7 8.6 10 43.5 13 56.5 0 0.0
n 82 23
% 100.0 100.0
Skor ratarata 68.4 64.4
Total Negeri Swasta Total Akreditasi A Akreditasi B Total
33 25 8 33 3 30 33
105 72 33 105 15 90 105
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
p=0.079 66.9 12.7 68.7 10.9 p=0.242 72.4 14.6 66.6 11.6 p=0.020
Ket Wilayah
Status
Akreditasi (mutu)
31.4 34.7 24.2 31.4 20.0 33.3 31.4
65 43 22 65 8 57 65
61.9 59.7 66.7 61.9 53.3 63.3 61.9
7 4 3 7 4 3 7
6.7 5.6 9.1 6.7 26.7 3.4 6.7
Total
Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan pangan yang dibeli, dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik, diharapkan siswa akan memilih pangan yang aman dan bergizi (Andarwulan et al 2009). Berdasarkan Tabel 14
St. Deviasi 12.8 9.4
31
diketahui pengetahuan gizi dan keamanan pangan berdasarkan wilayah yaitu Depok dan Sukabumi sebagian besar siswa berpengetahuan sedang. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Adhistiana (2009) di Bogor yang juga dilakukan pada anak sekolah dasar, sebanyak 60.0% anak sekolah memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang, selebihnya masing-masing 20.0% tinggi dan rendah. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan dengan kategori baik, wilayah Depok memiliki 8.6% sedangkan Sukabumi tidak memiliki siswa dengan kategori baik. Hal ini berarti siswa yang berada di wilayah Depok dalam penelitian ini tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangannya sudah lebih baik dibandingkan dengan siswa di wilayah Sukabumi. Hal tersebut dikarenakan Depok yang merupakan salah satu kota yang menjadi penopang dari ibu kota Jakarta sehingga akses teknologi dan informasi tentang pengetahuan gizi makanan jajanan siswa sekolah lebih cepat beredar dibandingkan dengan Sukabumi yang merupakan sebuah kabupaten di Jawa Barat. Oleh karena itu, siswa yang berada di wilayah Sukabumi khususnya kepada para guru hendaknya lebih banyak memberikan pelajaran kepada tentang pengetahuan gizi karena tinggi rendahnya pengetahuan gizi seseorang dapat mempengaruhi kebiasaan makan (food habit) sehari-hari. Dinas kesehatan setempat juga dapat memberikan penyuluhan gizi baik itu tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan maupun tentang kebersihan, sanitasi makanan kepada para guru dan kepada para orangtua siswa. Nilai skor rata-rata pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa berdasarkan wilayah, Depok (68.4±12.8) lebih tinggi dibandingkan Sukabumi (64.4±9.4). Hasil uji beda t-test pada taraf kepercayaan 10% menunjukkan terdapat perbedaaan (p=0.079) pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa di Depok dengan di Sukabumi. Jika dilihat dari hasil pengetahuan gizi siswa menurut propinsi, Jawa Barat termasuk kategori kurang (56.3). Namun pada penelitian ini, Kota Depok yang merupakan wilayah Jawa Barat sudah termasuk dalam kategori sedang dimana nilai skor rata-rata pengetahuan gizi siswanya sudah lebih baik dibandingkan nilai skor propinsi. Hal ini kemungkinan dapat diakibatkan karena Kota Depok lebih dekat dengan Jakarta dimana tingkat pengetahuan gizi siswanya sudah termasuk kategori sedang (65.4).
32
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui tingkat pengetahuan gizi yang baik, siswa di sekolah swasta lebih banyak dibandingkan dengan sekolah negeri. Dapat diartikan bahwa siswa di sekolah yang swasta memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang sudah lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri walaupun berdasarkan hasil uji beda t-test, tidak adanya perbedaan (p=0.242) yang nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sekolah swasta biasanya mempunyai kelebihan baik dari segi sarana maupun prasarana yang sudah lebih baik jika dibandingkan dari sekolah negeri pada umumnya untuk mendukung tambahan wawasan siswa tentang pentingnya pengetahuan gizi demi kesehatan siswa tersebut. Dilihat lebih detail, analisis pengetahuan gizi dan keamanan pangan setiap wilayah menujukkan bahwa di wilayah Depok terdapat siswa dengan kategori pengetahuan yang kurang sebanyak 30.6%, yaitu pada siswa yang bersekolah di sekolah negeri, sedangkan pada sekolah swasta hanya 23.3%. Di wilayah Sukabumi, siswa dengan pengetahuan gizi yang kurang lebih banyak pada sekolah swasta (66.7%) dibandingkan siswa di sekolah negeri (40.0%). Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Tingkat pengetahuan gizi berdasarkan mutu sekolah, kategori baik lebih banyak pada siswa di sekolah akreditasi A dibandingkan akreditasi B. Berdasarkan skor rata-rata, siswa di sekolah dengan akreditasi A lebih tinggi jika dibandingkan dengan akreditasi B. Hasil uji beda t-test menunjukkan ada perbedaan (p=0.020) pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa pada sekolah akreditasi A dan akreditasi B, dapat diartikan bahwa sekolah dengan akreditasi A sudah sangat baik dilihat dari segi-segi penilaian yang dilakukan oleh tim pengawas. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andarwulan et al (2009) yang menyatakan siswa di SD yang berakreditasi A memiliki tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa di SD yang berakreditasi B, C, dan tidak terakreditasi. Dari hasil analisis lebih detail tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan di wilayah Depok. Terdapat sebanyak 15.4% siswa yang bersekolah di akreditasi A dengan pengetahuan yang baik, sedangkan siswa di akreditasi B hanya 7.3%. Di wilayah Sukabumi tidak ada siswa yang tingkat pengetahuan gizinya dengan kategori baik.
33
Perilaku makan seseorang ditentukan antara lain oleh pengetahuan pangan dan gizi yang dimilikinya. Anak yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan lebih mampu memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan. Pada Tabel 15 dapat dilihat sebaran pengetahuan gizi dan keamanan pangan berdasarkan tingkatan kelas, jenis kelamin dan tingkatan umur. Tabel 15 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan keamanan pangan menurut kelas, jenis kelamin dan umur Keterangan Kelas
4 5 6 Total Laki-laki Perempuan Total 9 10 11 12 Total
Jenis kelamin Umur (tahun)
Pengetahuan gizi dan keamanan pangan Kurang Sedang Baik Total n % n % n % n % 14 40.0 18 51.4 3 8.6 35 100.0 12 35.3 20 58.8 2 5.9 34 100.0 7 19.4 27 75.0 2 5.6 36 100.0 33 31.4 65 61.9 7 6.7 105 100.0 22 42.3 26 50.0 4 7.7 52 100.0 11 20.8 39 73.6 3 5.6 53 100.0 33 31.4 65 61.9 7 6.7 105 100.0 10 45.5 11 50.0 1 4.5 22 100.0 12 38.7 17 54.8 2 6.5 31 100.0 10 25.0 27 67.5 3 7.5 40 100.0 1 8.3 10 83.3 1 8.3 12 100.0 33 31.4 65 61.9 7 6.7 105 100.0
Skor rataSt.d rata 64.9 13.5 66.6 11.7 70.7 10.7 p=0.366 65.4 13.8 69.5 10.0 p=0.078 61.5 14.4 65.6 12.5 70.5 9.5 73.3 9.8 p=0.154
Uji r=0.197 p=0.044 r=0.173 p=0.078
r=0.328 p=0.001
Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkatan kelas siswa, semakin tinggi nilai skor rata-rata pengetahuan gizi dan keamanan pangannya. Artinya siswa yang berada di kelas 6, pengetahuan gizinya lebih baik daripada
kelas
lainnya.
Secara
keseluruhan
terlihat
adanya
peningkatan
pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa kelas 4 sampai siswa kelas 6. Hal ini dikarenakan pada siswa kelas 6 sudah mendapat pelajaran maupun wawasan tentang pengetahuan gizi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan dua kelas lainnya. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan positif antara kelas dengan pengetahuan siswa. Namun hasil uji one way Anova menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata skor pengetahuan antar kelas (p=0.366). Begitu juga berdasarkan umur, semakin tinggi umur siswa, tingkat pengetahuan gizinya juga semakin baik. Berdasarkan Tabel 15 juga dapat diketahui nilai skor rata-rata pengetahuan gizi dan keamanan pangan berdasarkan tingkatan umur siswa dimana semakin tinggi umur siswa skornya semakin baik. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan hubungan yang signifikan positif (p=0.001) antara
34
umur siswa dengan pengetahuan gizi, walaupun hasil uji one way Anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar umur siswa (p=0.154). Hal ini juga dapat dihubungkan dengan tingkatan kelas, biasanya siswa pada kelas yang lebih tinggi diikuti dengan umur yang lebih tua jika dibandingkan dengan kelas yang lebih rendah. Dimana mereka lebih mudah dan lebih cepat menerima pengetahuan dan wawasan yang diberikan oleh guru di sekolah. Menurut Contento (2007) yaitu seseorang dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi akan lebih baik dalam menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menggunakan informasi yang diperolehnya. Hasil analisis lebih detail tentang pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa di wilayah Depok, ternyata terdapat sebanyak 33.3% siswa yang berada di kelas 4 dan 5 dengan tingkat pengetahuan gizi yang kurang, sedangkan siswa kelas 6 hanya 17.9%. Di wilayah Sukabumi, siswa dengan tingkat pengetahuan yang kurang banyak terdapat pada siswa kelas 4 dibandingkan dengan dua kelas lainnya. Berdasarkan hasil analisis pertanyaan pengetahuan gizi dan keamanan pangan khususnya pada aspek keanekaragaman makanan dan pangan jajanan, siswa kelas 4 lebih mengerti dibanding dua kelas lainnya. Hal tersebut diketahui dari lebih banyaknya sampel kelas 4 yang menjawab dengan benar. (Lampiran 3) Lebih banyaknya siswa kelas 4 menjawab dengan benar tentang pangan jajanan disebabkan materi gizi yang terangkum dalam mata pelajaran pada siswa kelas 4 mempelajari tentang: makanan dan minuman jajanan yang baik dan yang tidak baik dikonsumsi, zat-zat gizi utama yang diperlukan oleh tubuh serta siswa kelas 4 mempelajari tentang pengelompokkan makanan dan kandungan gizi utamanya. Materi gizi yang terdapat pada mata pelajaran siswa kelas 5 mencakup: menu sehat, hubungan makanan dengan pertumbuhan, kesehatan dan prestasi serta mempelajari tentang kegiatan sekolah yang mendukung upaya perbaikan gizi, dan menu makanan pribadi yang biasa dimakan sehari-hari. Sedangkan materi gizi pada siswa kelas 6 mencakup: menu sehat untuk diri pribadi, kelebihan dan kekurangan makanan bagi tubuh, mengenali ciri-ciri anak yang kekurangan dan kelebihan gizi serta mempelajari tentang kegiatan pemanfaatan lahan perkarangan di sekolah (Syarief et al 2000). Hal tersebutlah yang menyebabkan siswa pada kelas
35
4 lebih memahami tentang pangan jajanan dibandingkan pada siswa kelas 5 maupun kelas 6. Syarief et al (2000) mengatakan bahwa pentingnya pendidikan gizi bagi anak sekolah didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, anak usia sekolah masih mengalami pertumbuhan dengan laju yang cepat, dan anak usia sekolah adalah orangtua masa depan. Oleh karena itu keadaan gizi pada anak usia ini harus mendapat perhatian seksama agar diperoleh generasi masa depan yang berkualitas. Kedua, anak usia sekolah dapat dipandang sebagai agent of change dalam keluarga, sekurang-kurangnya dalam memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan baru. Diharapkan bahwa bekal pengetahuan gizi yang diperoleh pada usia sekolah ini dapat diimbaskan pada anggota keluarga lainnnya. Hasil Tabel 15 menunjukkan bahwa nilai skor rata-rata pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa laki-laki (65.4±13.8) lebih rendah dibandingkan dengan perempuan (69.5±10.0), yang artinya secara keseluruhan siswa perempuan memiliki pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang lebih baik dibandingkan dengan lakilaki dan hasil uji t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p=0.078) antara keduanya. Kebiasaan Jajan Siswa Jenis Jajanan Usia anak sekolah merupakan usia dimana mereka cenderung menyukai jajan dibanding dengan masakan rumah. Pada usia ini anak mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Anak akan sangat aktif bermain dan melakukan banyak kegiatan sehingga diperlukan konsumsi pangan bergizi yang cukup untuk menunjangnya (Andarwulan 2009). Pada umumnya makanan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu (1) makanan utama atau main dish seperti nasi rames, nasi pecal dan sebagainya; (2) penganan (snack) seperti kuekue, chiki; (3) golongan minuman seperti es teller, es buah; (4) buah-buahan segar seperti mangga, durian dan lain sebaginya (Winarno 2004). Menurut Santi yang diacu dalam Thoha (2003) ada beberapa alasan mengapa anak-anak sekolah suka jajan, diantaranya adalah anak tidak sempat makan sewaktu pergi ke sekolah, anak terbiasa mendapatkan uang saku, jika tidak jajan merasa tidak solider dengan temannya (gengsi turun), ibu tidak sempat
36
menyiapkan makanan untuk bekal di sekolah, dan kebutuhan biologi anak yang perlu dipenuhi karena kegiatan fisik di sekolah yang memang membutuhkan tambahan energi. Sebaran siswa di wilayah Depok berdasarkan jenis makanan jajanan yang dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran siswa berdasarkan jenis makanan jajanan yang dikonsumsi di wilayah Depok Jumlah jajanan/minggu (jenis ) <2 2-3 4-5 6-7 >7 Total
Sepinggan n % 32 39.1 33 40.2 12 14.6 5 6.1 0 .0 82 100.0
Snack n % 13 15.8 23 28.1 22 26.9 10 6.1 14 17.1 82 100.0
Minuman n % 20 24.4 29 35.4 22 26.9 8 9.7 3 3.6 82 100.0
n 24 39 17 2 0 82
Buah % 29.3 47.6 20.7 2.4 .0 100.0
Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa di wilayah Depok konsumsi jajanan sepinggan, snack, minuman dan buah, persentase terbanyak pada 2 hingga 3 jenis jajanan per minggunya. Sebaran siswa di wilayah Sukabumi berdasarkan jenis makanan jajanan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 memperlihatkan sebanyak 73.9% siswa di Sukabumi mengkonsumsi jenis jajanan camilan (snack) lebih dari 7 jenis dalam waktu satu minggu penelitian. Sedangkan jenis jajanan lainnya siswa mengkonsumsi 2-3 jenis perminggu. Tabel 17 Sebaran siswa berdasarkan jenis makanan jajanan yang dikonsumsi di wilayah Sukabumi Jumlah jenis jajanan/minggu <2 2-3 4-5 6-8 >7 Total
Sepinggan n % 7 30.4 9 39.1 5 21.8 2 8.7 0 0.0 23 100.0
Snack n % 0 0.0 0 0.0 2 8.7 4 17.4 17 73.9 23 100.0
Minuman n % 1 4.3 9 39.1 5 21.8 3 13.0 5 21.8 23 100.0
n 8 10 3 2 0 23
Buah % 34.8 43.5 13.0 8.7 0.0 100.0
Berdasarkan Tabel 16 dan 17 dapat disimpulkan bahwa konsumsi kebiasaan jajan di wilayah Depok sudah beragam jenis jajanan yang dikonsumsi, sedangkan di Sukabumi belum merata karena konsumsi makanan camilannya masih tinggi dibandingkan jenis jajanan yang lainnya. Hal ini secara tidak langsung dapat dihubungkan dengan tingkat pengetahuan gizi siswa di Depok sudah lebih baik dibandingkan dengan siswa di Sukabumi, sehingga mereka sudah bisa memilih dan
37
mengkonsumsi jajanan sesuai yang mereka butuhkan. Jika dilihat dari besar uang saku dimana rata-rata di Depok lebih tinggi dibandingkan Sukabumi, sehingga siswa di Depok tidak hanya mengkonsumsi satu jenis makanan jajanan saja dengan kata lain jenis makanan jajanan yang dikonsumsi siswa beragam. Lebih detail tentang frekuensi konsumsi makanan jajanan siswa di wilayah Depok dan Sukabumi berdasarkan kelompok jajanan per minggu dapat dlihat pada Lampiran 4 dan 5. Menurut Khapipah (2000), anak-anak menyukai makanan jajanan seperti chiki karena rasanya yang enak dan gurih, mempunyai banyak pilihan rasa, warna, dan merek yang diproduksi oleh produsen. Selain itu didukung pula dengan kemasan yang menarik dan adanya hadiah tertentu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Roberto (2010) di Amerika menyatakan bahwa anak SD lebih tertarik pada makanan jajanan khususnya snack yang dibungkus (makanan pabrikan) dengan tokoh karikatur dibandingkan dengan jajanan yang tidak dibungkus seperti jajanan tradisional namun hal tersebut berefek pada rendahnya konsumsi jajanan dari buah, maupun dari biji-bijian. Lebih detail jenis makanan jajanan yang dikonsumsi siswa di Depok dan Sukabumi dapat dilihat pada Lampiran 6. 1. Sepinggan Kelompok sepinggan atau makanan porsi merupakan kelompok yang paling sedikit dijual. Makanan sepinggan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu hasil olahan beras, olahan mie dan bihun serta olahan ikan dan daging. Jumlah jenis makanan sepinggan berdasarkan wilayah dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah jenis makanan sepinggan yang dikonsumsi siswa berdasarkan wilayah Jenis
Depok
Sukabumi
n
%
n
%
Olahan beras
4
21.1
3
25.0
Olahan mie dan bihun
9
47.4
4
33.3
Olahan ikan dan daging
6
31.5
5
41.7
Total
19
100.0
12
100.0
Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa jenis jajanan sepinggan di wilayah Depok cenderung lebih banyak variasinya daripada di Sukabumi. Persentase terbesar dari kelompok sepinggan atau makanan porsi di Depok adalah kelompok olahan mie dan
38
bihun seperti mie rebus, kwetiaw goreng. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Widjayanti (1990) diacu dalam Rizki (2010) yang menyatakan bahwa makanan jajanan yang paling banyak dikonsumsi anak sekolah adalah bakso. Di wilayah Sukabumi persentase terbesar dari kelompok makanan porsi adalah olahan ikan dan daging seperti bakso, ayam bakar diikuti dengan hasil olahan mie dan bihun dan kelompok makanan utama terkecil olahan beras. Banyaknya jenis makanan yang berasal dari olahan beras dikarenakan harga makanan tersebut relatif lebih murah jika dibandingkan dengan makanan dari olahan ikan dan daging maupun makanan dari olahan beras. Penyebab lainnya dikarenakan anak sekolah dasar jarang sarapan di rumah sehingga mereka mudah merasa lapar di sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan di Kota Bogor tahun 2004 menunjukkan bahwa
cemaran mikroba pada bakso paling tinggi, yaitu lebih dari 40.0% jika
dibandingkan gengan cemaran mikroba pada mie. Masih terdapat makanan jajanan mie dan bakso yang menggunakan formalin dan boraks, yaitu kurang dari 6.0% untuk penyalahgunaan formalin dan boraks pada sampel mie, sedangkan pada bakso penggunaan formalin kurang dari 3% dan penggunaan boraks kurang dari 8.0%. Jika siswa sering mengkonsumsi makanan jajanan dari olahan mie dan bihun seperti mie rebus, mie goreng yang tinggi karbohidrat dan sedikit kandungan zat gizi lainnya sehingga siswa akan mudah mengantuk di kelas dan dapat mempengaruhi prestasi akedemiknya. 2. Makanan Camilan (Snack) Kelompok camilan merupakan kelompok makanan yang paling banyak dijual di sekolah karena harganya yang sangat terjangkau oleh uang saku anak sekolah dan makanan camilan dapat langsung dimakan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Makanan camilan dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok. Sebaran jumlah jenis makanan camilan (snack) dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19, kelompok makanan camilan yang terbanyak jenisnya di kedua wilayah adalah aneka gorengan seperti bakwan, risoles dan kelompok yang paling sedikit adalah permen dan coklat. Menurut Marotz (2005) makanan jajanan yang baik untuk siswa sekolah jajanan yang dapat memberikan kontribusi zat gizi yang cukup sesuai dengan kebutuhan siswa, namun kebanyakan makanan jajanan
39
hanya mengandung gula dan lemak. Dari jumlah semua jenis makanan camilan, jenis jajanan di wilayah Depok lebih banyak dibanding Sukabumi. Tabel 19 Jumlah jenis makanan camilan (snack) yang dikonsumsi siswa berdasarkan wilayah Jenis
Depok
Sukabumi
n
%
n
%
Aneka gorengan
16
30.2
14
35.9
Produk ekstruksi
14
26.4
10
25.6
Aneka kue
7
13.2
4
10.3
Biskuit dan wafer
7
13.2
5
12.8
Hasil olahan daging dan ikan
5
9.5
4
10.3
Permen dan coklat
3
5.6
2
5.1
Lainnya
1
1.9
-
.0
Total
53
100.0
39
100.0
Tingginya konsumsi makanan jajanan jenis makanan camilan/snack dapat disebabkan oleh banyak tersedianya jajanan jenis ini. Selain itu jajanan jenis ini banyak disajikan dengan beragam variasi bentuk, rasa, dan harga yang terjangkau bagi siswa. Menurut Syafitri (2010), kebiasaan jajan anak-anak tidak perlu dihilangkan karena jika makanan yang dibeli itu sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak. 3. Minuman Minuman dikelompokkan menjadi tiga yaitu minuman es, minuman ringan kemasan dan minuman berkabonasi. Minuman es merupakan kelompok yang paling banyak dijual di wilayah Depok maupun di Sukabumi, seperti es buah, es campur, dan aneka jus. Berikutnya adalah minuman ringan kemasan seperti susu kemasan, minuman teh kemasan. Jumlah jenis jajanan minuman berdasarkan wilayah dapat dilhat pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 20 jenis minuman yang tingkat persentasenya terendah pada kedua wilayah adalah minuman berkabonasi hal ini dikarenakan minuman berkabonasi harganya relatif lebih mahal untuk anak sekolah dasar, alasan lainnya karena tidak semua uang jajan yang diberikan oleh orangtua dihabiskan untuk membeli jajanan.
40
Tabel 20 Jumlah jenis jajanan minuman yang dikonsumsi siswa berdasarkan wilayah Depok
Jenis
Sukabumi
n
%
n
%
Minuman es
17
50.0
13
50.0
Minuman ringan kemasan
13
38.2
10
38.5
Minuman berkabonasi
4
11.8
3
11.5
Total
34
100.0
26
100.0
Banyaknya jenis minuman es di wilayah Depok maupun Sukabumi dikarenakan jenis jajanan tersebut mudah untuk dikonsumsi dan mempunyai rasa yang manis. Sudah menjadi sifat dasar anak-anak menyukai rasa manis, oleh karena itu, pada umumnya salah satu kriteria dalam membuat makanan anak adalah mempunyai rasa manis (Nuraini 2007). Namun penelitian yang dilakukan di Bogor pada tahun 2009 ditemukan Salmonella paratyphi A pada minuman yang dijual di kaki lima. Bakteri ini mungkin berasal dari es batu yang tidak dimasak terlebih dahulu, minuman es doger yang mempunyai jumlah mikroba tertinggi yaitu mencapai 108 koloni/g. 4. Buah Konsumsi buah pada siswa di wilayah Depok cenderung lebih beragam dibanding dengan jenis buah yang dikonsumsi di wilayah Sukabumi. Hal ini dikarenakan akses untuk mendapatkan buah yang beragam lebih gampang didapat di Depok daripada di Sukabumi. Kebanyakan buah yang dikonsumsi siswa adalah jenis buah utuh seperti jeruk, pisang dan mangga. Frekuensi Jajan Kebiasaan jajan anak-anak tidak perlu dihilangkan karena jika makanan yang dibeli itu sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak. Frekuensi jajanan siswa dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu sering (≥4 kali/seminggu), kadang-kadang (1-3 kali/seminggu) dan tidak pernah jajan. Tabel 21 memperlihatkan sebaran frekuensi jajanan siswa berdasarkan wilayah dan jenis kelamin.
41
Tabel 21 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan menurut wilayah dan jenis kelamin Keterangan Wilayah
Jenis Kelamin
Depok Sukabumi
Sering n % 54 65.9 7 30.4
Total Laki-laki Perempuan Total
61 31 30 61
Frekuensi Jajan Kadang n % 27 32.9 16 69.6
58.1 59.6 56.6 58.1
43 21 22 43
41.0 40.4 41.5 41.0
Tidak pernah n % 1 1.2 0 .0
n 82 23
% 100.0 100.0
1 0 1 1
105 52 53 105
100.0 100.0 100.0 100.0
1.0 .0 1.9 1.0
Total
Berdasarkan Tabel 21, siswa di wilayah Depok sebagian besar (65.9%) sering mengkonsumsi jajanan, sedangkan di Sukabumi sebagian besar siswa (69.6%) hanya kadang-kadang mengkonsumsi jajanan. Berdasarkan hasil uji beda t-test terdapat perbedaan (p=0.004) antara frekuensi jajanan siswa di Depok dengan di Sukabumi. Tingginya persentase frekuensi jajan ≥4kali per minggu dikarenakan banyaknya jenis pangan jajanan yang ada di wilayah Depok dibandingkan kelompok makanan jajanan yang ada di Sukabumi, sehingga siswa lebih sering mengkonsumsi pangan yang berbeda-beda dalam setiap minggunya. Hal ini didukung oleh lebih tingginya rata-rata besar uang saku siswa di wilayah Depok (Rp 3829.3) dibandingkan di Sukabumi (Rp3282.6). Sebuah penelitian di Jakarta pada tahun 2004 menemukan bahwa uang jajan anak SD rata-rata berkisar antara Rp 2000 – Rp 4000 per hari. Bahkan ada yang mencapai Rp 7000. Hanya sekitar 5% siswa-siswa tersebut membawa bekal dari rumah, karenanya mereka lebih terpapar pada makanan jajanan kaki lima dan mempunyai kemampuan untuk membeli makanan tersebut (Februhartanti 2004). Penelitian Ekeke dan Thomas (2007) diaju dalam Krebs 2010 di Wales menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara pemilihan pangan anak dengan pengetahuan mereka tentang gizi seimbang. Meskipun anak-anak mengetahui mereka membutuhkan makanan yang sehat untuk pertumbuhan, kesehatan, dan pemenuhan energi serta bahwa vitamin dan serat baik untuk mereka, dan permen maupun gorengan tidak baik untuk mereka, namun sangat sedikit pemahaman tentang fungsi zat gizi di dalam tubuh. Tabel 21 juga memperlihatkan frekuensi jajan antara siswa laki-laki dan perempuan berada pada kategori sering (≥4 kali/minggu). Namun terdapat satu
42
siswa perempuan di Depok yang tidak pernah jajan dalam seminggu, dilihat dari data kebiasaan jajannya, siswa yang bersekolah di sekolah berstatus negeri tersebut tidak ada mengkonsumsi jenis jajanan seperti makanan sepinggan, snack. Jika lihat dari karakteristik keluarga, siswa tersebut memiliki orangtua dengan pendidikan yang tinggi yaitu ayah S2 dan ibu S1 dimana ayah berkerja sebagai seorang dosen dan ibu bekerja sebagai seorang dokter gigi. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuryati (2005) tentang frekuensi jajan anak sekolah di Semarang yang menunjukkan bahwa masih ada anak sekolah yang tidak mengkonsumsi jajanan. Data tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan, siswa termasuk dalam kategori baik. Ada beberapa persepsi tentang tidak pernahnya siswa membeli makanan jajanan di sekolah, diantaranya siswa dibiasakan oleh orangtua untuk sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bowes (1955) di benua Amerika, menyatakan bahwa sarapan pagi sebelum berangkat sekolah sangat penting untuk anak sekolah dimana sarapan pagi yang baik dapat mengurangi beban anak dalam belajar. Alasan kedua adalah siswa membawa makanan dari rumah, sehingga siswa tidak lagi mengkonsumsi makanan jajanan di sekolahnya, dan alasan yang lain yaitu siswa kebetulan pada saat dilakukannya wawancara tidak mengkonsumsi makanan jajanan,