IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN PENDAHULUAN A. Tepung Koro Benguk Kacang koro benguk adalah tanaman musiman. Pada masa panen, keberadaannya sangat melimpah sehingga harganya jatuh dan pada saat masa tanam keberadaannya sangat langka sehingga harganya melambung tinggi. Pada penelitian ini, dilakukan proses penepungan untuk menjamin ketersediaan dan keamanan bahan baku untuk pembuatan tepung berprotein tinggi. Menurut Fellows (2000) proses penepungan juga berfungsi memperluas bidang permukaan sehingga akan mempermudah pengolahan lebih lanjut. Kulit biji koro benguk lebih tebal dari jenis kacang lainnya sehingga penghilangan lapisan kulit pada koro benguk tidak semudah pada kedelai atau pada kacang-kacangan lain. Pada penelitian ini dilakukan perebusan selama 30 menit untuk memudahkan penghilangan kulit. Sudiyono (2010) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit memudahkan penghilangan kulit koro benguk yang tebal dan keras. Perebusan menyebabkan disintegrasi jaringan dan kerusakan dinding sel sehingga kulit menjadi lunak dan pengulitan mudah dilakukan. Koro benguk memiliki bagian yang dapat dimakan (edible portion) sebesar 95% dari kacang segar utuh (Depkes RI 2004). Jika efisiensi penggilingan sempurna maka akan dihasilkan tepung dengan bobot yang tidak berbeda dengan bobot edible portion. Secara umum, rendemen tepung koro benguk tanpa kulit yang dihasilkan dari perlakuan pendahuluan sebesar 54–69% dari berat total biji koro benguk mentah. Besar kecilnya rendemen tepung bergantung pada efisiensi proses penggilingan yang ditentukan dari kemampuan mesin penggiling. Persentase rendemen dalam pembuatan tepung ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase rendemen pembuatan tepung koro benguk berdasarkan koro benguk mentah utuh Perlakuan Mentah (utuh) Tanpa kulit Tanpa kulit + rebus 30 menit Tanpa kulit + kukus 30 menit Tanpa kulit + rendam 6 jam Tanpa kulit + rendam 12 jam Tanpa kulit + rendam 24 jam Germinasi
Rendemen (%) koro benguk putih koro benguk belang 76.10 79.60 66.35 67.71 61.79 54.05 63.80 65.84 62.30 63.68 62.04 69.89 54.04 61.25 40.48 39.07
Dari semua perlakuan pendahuluan, rendemen tepung paling rendah ditemukan pada perlakuan germinasi, yaitu 40%. Rendahnya rendemen tepung disebabkan oleh rendahnya viabilitas perkecambahan koro benguk. Menurut Vidal-Valverde (1998) viabilitas kacang famili Fabaceae sebesar 90%. Namun pada penelitian ini, viabilitas koro benguk tidak lebih dari 50%. Diduga rendahnya viabilitas koro benguk karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Suatu
24
perkecambahan dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, oksigen, cahaya, air, dan dormansi agar memiliki tingkat keberhasilan viabilitas yang tinggi (Urbano et al. 2004). Di samping itu, faktor internal pun menentukan keberhasilan germinasi. Sebagai contoh, terdapat kacang yang mudah dan sulit berkecambah. Selain itu, tingkat keberhasilan germinasi juga dipengaruhi oleh fertilitas dan kualitas kacang setelah pemanenan seperti tingkat kemasakan dan dormansi (Smith 2011). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kecambah koro benguk sebagai tepung akan menghasilkan rendemen yang bervariasi, bergantung pada keberhasilan proses germinasi tersebut. Oleh karena itu rendemen tepung koro benguk yang dikecambahkan tidak dapat diprediksi karena sangat bergantung dari viabilitas kacang koronya.
B. Kandungan Asam Sianida sebagai Pembatas Faktor Keamanan Koro benguk secara alami mengandung senyawa toksik glukosida sianogenik yang dapat terurai menjadi asam sianida. Asam sianida dalam dosis tertentu dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Oleh karena itu, keberadaannya dalam bahan pangan diusahakan seminimal mungkin. Pada penelitian ini dilakukan beberapa perlakuan untuk menurunkan kadar senyawa sianida. Data penelitian kadar sianida tepung koro benguk varietas putih (Lampiran 1a), varietas belang (Lampiran 1c), dan hasil analisis ragamnya (Lampiran 1b dan 1d) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar HCN. Tabel 5 menunjukkan kadar sianida pada tepung koro benguk yang dinyatakan sebagai HCN.
Tabel 5. Kadar HCN Tepung Koro Benguk Perlakuan
Kadar HCN (mg/kg basis kering)
koro benguk putih koro benguk belang d Mentah (utuh) 19.88 20.10c Tanpa kulit 19.02d 2.95b Tanpa kulit + rebus 30 menit 13.83c 2.32a,b b Tanpa kulit + kukus 30 menit 8.40 1.83a,b Tanpa kulit + rendam 6 jam 2.92a 1.50a a Tanpa kulit + rendam 12 jam 2.76 1.66a,b Tanpa kulit + rendam 24 jam 2.85a 1.64a,b Germinasi 2.87a 1.62a,b Nilai yang diikuti dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01)
Bila dibandingkan dengan penelitian tentang kadar sianida pada koro benguk sebelumnya yang dilakukan oleh Kala dan Mohan (2010), kadar sianida koro benguk pada penelitian ini jauh lebih besar. Namun apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuleun et al. (2009) nilai kadar sianida pada penelitian ini jauh lebih kecil. Bervariasinya kadar sianida pada koro benguk diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti lokasi, musim, dan jenis tanah (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Handajani et al. (2008) yang mengambil sampel dari daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Sampel koro benguk segar tersebut mengandung HCN sebesar 17.72 mg/kg, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tepung kedua koro benguk mentah utuh pada penelitian ini.
25
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa kandungan HCN pada tepung koro benguk putih tidak berbeda sangat nyata (p>0.01) antara koro benguk mentah utuh dan perlakuan tanpa kulit. Akan tetapi, perbedaan kadar HCN yang sangat nyata terlihat pada kacang yang telah dikupas kulitnya lalu dilanjutkan dengan perlakuan perebusan, pengukusan, atau perendaman. Data menunjukkan bahwa senyawa sianogenik glukosida pada koro benguk varietas putih diduga terkonsentrasi pada kotiledon, bukan pada lapisan kulitnya. Meskipun ada penurunan kadar sianida pada kacang tanpa kulit, namun besarnya penurunan tersebut tidak signifikan. Hasil berbeda ditemukan pada koro benguk varietas belang, hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1d) menunjukkan bahwa kadar HCN mengalami penurunan yang sangat nyata pada semua perlakuan jika dibandingkan terhadap kacang mentah. Berbeda dengan koro benguk varietas putih, senyawa sianogenik varietas belang diduga terkonsentrasi pada lapisan kulitnya. Perlakuan tanpa kulit menurunkan kadar HCN hingga 85.32% dibandingkan dengan kacang mentah utuh. Hal tersebut sama seperti pada ubi kayu, di mana menurut Heyne (1987) diacu dalam Yuningsih (2009) kandungan sianida pada kulit ubi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan daging umbi. Konsentrasi sianogenik glukosida pada tanaman dapat bervariasi, salah satunya disebabkan oleh faktor genetik (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Perbedaan genetik diduga menjadi alasan perbedaan letak konsentrasi senyawa sianogenik pada koro benguk dengan varietas berbeda. Penurunan kadar sianida relatif sederhana. Handajani et al. (2008) melaporkan bahwa perendaman koro benguk selama 24 jam dapat menurunkan kadar HCN sebesar 29%, sedangkan perendaman selama 48 dan 72 jam dapat menurunkan kadar asam sianida berturut-turut sebesar 62% dan 77%. Handajani et al. (2008) juga melaporkan bahwa perlakuan perebusan, pengukusan, dan presto dapat menurunkan kadar sianida. Perebusan dapat menurunkan kadar HCN sebesar 85%, sedangkan pengukusan dan presto berturut-turut sebesar 84% dan 91%. Hal ini menunjukkan bahwa hidrogen sianida tergolong faktor antinutrisi yang tidak tahan panas (Iorgyer et al. 2009). Iorgyer et al. (2009) melaporkan penurunan kadar HCN pada kacang gude yang direbus selama 30 menit mencapai 53.43%. Akan tetapi, Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit pada koro benguk hanya dapat menurunkan 1.93% kadar HCN dibandingkan dengan kacang mentah, meskipun penurunannya signifikan. Perebusan yang semakin lama dapat menurunkan kadar HCN hingga 66.45% pada waktu 60 menit dan 69.62% pada waktu 90 menit. Koro benguk varietas putih dan belang memiliki pola penurunan kadar sianida yang hampir sama akibat adanya perlakuan. Pola penurunan dan perbandingan kadar HCN antara tepung koro benguk varietas putih dan belang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan kadar HCN tepung koro benguk pada perlakuan yang sama. Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (α=0.01)
26
Hasil uji t pada α 1% menunjukkan bahwa kadar HCN koro benguk varietas putih dan belang mentah tidak berbeda, sedangkan pada perlakuan lainnya terdapat perbedaan kadar HCN yang sangat nyata antara koro benguk putih dan belang. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa pada koro benguk varietas putih, perlakuan perebusan 30 menit, pengukusan 30 menit, perendaman, dan germinasi menurunkan kadar HCN kacang mentah sangat nyata jika dibandingkan terhadap perlakuan tanpa kulit. Hasil uji lanjut juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar HCN yang sangat nyata seiring dengan meningkatnya lama waktu perendaman. Selain itu juga terlihat bahwa antara perlakuan perendaman dan germinasi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata dalam penurunan kadar HCN, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda sangat nyata terhadap perebusan dan pengukusan. Sementara itu, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara perebusan dan pengukusan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1d), pada koro benguk varietas belang, tidak ada perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan perebusan, pengukusan, perendaman, dan germinasi. Sama halnya pada varietas putih, lamanya waktu perendaman tidak menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terkait penurunan kadar asam sianida. Hasil uji lanjut juga melaporkan bahwa pengaruh perlakuan perebusan, pengukusan, perendaman selama 12 dan 24 jam tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan terhadap perlakuan tanpa kulit, sedangkan perlakuan perendaman 6 jam berbeda sangat nyata dengan perlakuan tanpa kulit. Prinsip penurunan kadar senyawa sianogenik glukosida adalah reaksi hidrolisis senyawa sianogenik glukosida yang dikatalis oleh enzim endogenous pada tanaman yang mengandung senyawa tersebut. Sianogenik glukosida dihidrolisis menghasilkan glukosa, aldehida, dan asam sianida (WHO 2004). Enzim tersebut juga bertanggung jawab atas reaksi hidrolisis sianogenik glukosida pada produk tepung, meskipun aktivitasnya rendah (Panasiuk dan Bills 1984). Sianida dalam bentuk bebas maupun terikat mudah larut dalam air dan mudah menguap (EPA 2010, Udensi et al. 2007). Perlakuan perebusan meningkatkan kecepatan reaksi hidrolisis senyawa sianogenik glukosida akibat adanya energi panas sehingga menghasilkan HCN yang kemudian larut ke dalam air rebusan. Sama halnya seperti perebusan, perlakuan pengukusan juga meningkatkan reaksi hidrolisis. Asam sianida hasil hidrolisis terbawa bersamaan dengan uap air dan kondensat. Sementara itu, pada proses perendaman, reaksi hidrolisis terjadi saat air meresap ke dalam kacang. Reaksi hidrolisis terkatalis enzim endogenous menyebabkan senyawa sianogenik glukosida terhidrolisis menghasilkan HCN yang larut air (WHO 2004). Aktivitas enzim endogenous glukosidase meningkat saat proses germinasi. Panasiuk dan Bills (1984) melaporkan adanya kecenderungan peningkatan HCN pada kecambah sorghum seiring dengan lamanya proses germinasi. Proses germinasi meningkatkan aktivitas enzim hidrolitik termasuk glukosidase sehingga sianogenik glukosida dihidrolisis menghasilkan HCN yang mudah menguap pada suhu ruang. Pada penelitian ini menunjukkan perlakuan germinasi dapat menurunkan kadar HCN sangat nyata.
C. Kandungan Protein sebagai Parameter Gizi Peningkatan kandungan protein pada tepung koro benguk untuk memperoleh tepung berprotein tinggi, menjadikan protein sebagai zat gizi terpenting yang harus dipertahankan dan ditingkatkan. Penelitian ini melaporkan adanya perubahan kadar protein yang bervariasi akibat perbedaan perlakuan yang diterapkan. Data penelitian kadar protein tepung koro benguk varietas putih (Lampiran 2a), varietas belang (Lampiran 2c), dan hasil analisis ragamnya (Lampiran 2b
27
dan 2d) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar protein. Tabel 6 berikut menunjukkan kadar protein dari masing-masing perlakuan dari varietas koro benguk belang dan putih.
Tabel 6. Kadar Protein Tepung Koro Benguk Perlakuan Mentah (utuh) Tanpa kulit Tanpa kulit + rebus 30 menit Tanpa kulit + kukus 30 menit Tanpa kulit + rendam 6 jam Tanpa kulit + rendam 12 jam Tanpa kulit + rendam 24 jam Germinasi
Kadar protein (mg/kg basis kering) koro benguk putih koro benguk belang a 29.50 26.23a 31.20b 29.08b,c,d c 32.03 29.42c,d,e 31.58b,c 28.21b b,c 31.80 29.18b,c,d 31.57b,c 28.45b,c 32.54c 30.09d,e b 31.01 30.30e
Nilai yang diikuti dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar protein akibat perebusan pada varietas putih dan belang masing-masing sebesar 2.59 dan 1.56%. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2b dan 2d), perlakuan pengukusan tidak memengaruhi kadar protein pada tepung koro benguk varietas putih, tetapi terjadi penurunan kadar protein pada varietas belang sebesar 3%. Perubahan kadar protein akibat proses termal relatif kecil. Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit dapat mempertahankan kadar protein pada koro benguk. Namun, penurunan kadar protein signifikan terjadi pada perebusan selama 60 dan 90 menit. Penurunan kadar protein pada waktu perebusan yang lebih lama disebabkan larutnya protein akibat perebusan (Akinmutimi dan Ukpabi 2008). Nwaoguikpe et al. (2011) juga menyatakan bahwa penurunan kadar protein disebabkan oleh larutnya komponen nitrogen selama perebusan. Adapun peningkatan kadar protein akibat proses termal diduga disebabkan oleh adanya degradasi komponen lainnya sehingga kadar protein pada penelitian ini meningkat sebesar 1.56-2.59% jika dibandingkan terhadap kacang tanpa kulit. Pada perlakuan germinasi, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan tidak adanya perbedaan kadar protein yang sangat nyata (p>0.01) pada tepung koro benguk varietas putih, tapi terdapat perbedaan yang sangat nyata pada tepung koro benguk varietas belang. Sementara itu, kadar protein koro putih perlakuan germinasi berbeda sangat nyata dengan perlakuan perendaman 24 jam, sedangkan kadar protein koro belang tidak berbeda sangat nyata dengan perlakuan perebusan dan perendaman 24 jam. Menurut Nip (2006), aktivitas proteolitik lebih rendah saat germinasi dibandingkan dengan aktivitas lipolitik dan glikolitik sehingga penurunan kadar protein selama germinasi cenderung tidak terjadi. Wanjekeche et al. (2003) melaporkan tidak adanya perubahan kadar protein yang sangat nyata pada koro benguk yang dikecambahkan selama lima hari dan tujuh hari. Lamanya waktu germinasi tidak memengaruhi kadar protein, bahkan meningkatkan kadar protein sebagaimana yang dilaporkan oleh Udensi dan Okoronkwo (2006), meskipun peningkatannya
28
tidak signifikan. Bau et al. (1997) diacu dalam Megat et al. (2011) menduga adanya peningkatan kadar protein akibat germinasi disebabkan oleh sintesis protein atau disebabkan oleh degradasi komponen lainnya selama perkecambahan. Dugaan adanya faktor degradasi komponen lainnya sehingga menyebabkan peningkatan kadar protein juga terlihat pada perlakuan perendaman. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan kadar protein yang sangat nyata antara perendaman selama 6 jam dan 12 jam. Akan tetapi, peningkatan kadar protein akibat perlakuan perendaman selama 24 jam terlihat pada kedua varietas, yaitu sebesar 4.12% pada varietas putih dan 3.36% pada varietas belang. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2b dan 2d) juga menunjukkan bahwa kadar protein koro benguk putih dan belang perlakuan perendaman 6 jam dan 12 jam tidak berbeda sangat nyata dengan perlakuan perebusan dan pengukusan. Berdasarkan hasil uji t pada α 1%, kadar protein koro benguk varietas putih dan belang berbeda sangat nyata pada perlakuan mentah utuh, tanpa kulit, perendaman 6 jam dan perendaman 24 jam (Gambar 6). Kala dan Mohan (2010) melaporkan bahwa kadar protein koro benguk varietas putih mencapai 30.63 g per 100 g kacang utuh. Wanjekeche et al. (2010) juga melaporkan koro benguk utuh varietas putih memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan dengan varietas belang utuh, meskipun kadar protein keduanya tidak berbeda sangat nyata pada kacang tanpa kulit. Perbedaan kadar protein antara kedua varietas diduga disebabkan oleh faktor genetik (Butt Sadiq dan Batool 2010). Gambar 6 menunjukkan perbandingan kadar protein antara varietas putih dan belang pada perlakuan yang sama berdasarkan hasil uji t pada α 1%.
Gambar 6. Perbandingan kadar protein tepung koro benguk pada perlakuan yang sama. Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (α=0.01)
D. Penentuan Perlakuan Terpilih Hasil pengujian sianida pada tepung koro benguk dengan berbagai perlakuan memberikan beberapa alternatif pilihan perlakuan yang memenuhi persyaratan keamanan kadar HCN (≤ 10 mg/kg bahan). Selain perlakuan koro benguk belang mentah utuh, koro benguk putih mentah utuh, tanpa kulit, dan perebusan 30 menit, semua perlakuan dari kedua varietas memenuhi syarat untuk dipilih. Oleh karena itu, pertimbangan pemilihan perlakuan terbaik tepung koro benguk sebagai bahan baku tepung berprotein tinggi dilanjutkan dengan pembobotan nilai dari parameter kadar protein dan daya cerna pati. Tabel 7 menunjukkan pembobotan untuk menentukan perlakuan terpilih.
29
Tabel 7. Pembobotan nilai parameter kadar protein dan daya cerna pati tepung koro benguk untuk penentuan perlakuan terpilih
Parameter
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
kadar protein
1
3
3
4
3
5
2
5
2
5
2
5
4
5
4
4
daya cerna pati
2
3
3
4
1
2
1
3
3
5
3
5
4
5
4
5
Total
3
6
6
8
4
7
3
5
5
10
5
10
8
10
8
9
Rentang scoring kadar protein
Rentang scoring daya cerna pati
5 = 31.29 s.d. 32.54 4 = 30.03 s.d. 31.28 3 = 28.76 s.d. 30.02 2 = 27.50 s.d. 28.75 1 = 26.63 s.d. 27.49
5 = 43.77 s.d. 48.37 4 = 39.16 s.d. 43.76 3 = 34.55 s.d. 39.15 2 = 29.94 s.d. 34.54 1 = 25.32 s.d. 29.93
Dari total nilai pembobotan yang ditunjukkan Tabel 7, terdapat tiga perlakuan dari koro benguk varietas putih yang memiliki skor tertinggi yaitu perlakuan perendaman 6 jam (P4), perendaman 12 jam (P5), dan perendaman 24 jam (P6). Hasil pembobotan kadar protein pada ketiga perlakuan tersebut didukung dengan hasil uji ANOVA yang menunjukkan kadar protein tidak berbeda nyata secara statistik. Namun, pada penelitiannya, Saputra (2012) melaporkan daya cerna pati tepung koro benguk varietas putih dengan perlakuan perendaman 24 jam paling tinggi dan berbeda nyata secara statistik dengan perlakuan 6 dan 12 jam dimana semakin lama proses perendaman akan meningkatkan daya cerna pati pada tepung koro benguk. Oleh karena itu, waktu perendaman yang lebih lama menjadi pilihan untuk memperbesar kemungkinan daya cerna pati yang lebih tinggi. Dari pertimbangan keamanan bahan yaitu kadar sianida, nilai pembobotan total kadar protein dan daya cerna pati yang dilengkapi dengan data penelitian Saputra (2012), tepung koro benguk varietas putih dengan perendaman 24 jam terpilih sebagai bahan baku penelitian utama.
PENELITIAN UTAMA A. Pembuatan Tepung Berprotein Tinggi 1. Penentuan konsentrasi substrat Konsentasi substrat sangat berpengaruh terhadap reaksi awal enzim α-amilase. Apabila terlalu pekat, maka akan membuat enzim tidak dapat mencapai suspensi tepung dan bekerja kurang optimal. Dalam penelitian ini tepung koro benguk dilarutkan dalam air dan dibuat menjadi konsentrasi 10, 15, 20, dan 30%. Suspensi tepung koro benguk dipanaskan pada suhu dan waktu gelatinisasi awal berdasarkan profil gelatinisasi yang diuji menggunakan Rapid Visco Analyzer. Data pembacaan grafik profil gelatinisasi (Lampiran 3) menunjukkan suhu awal tepung koro benguk untuk mencapai gelatinisasi awal sebesar 84 °C dengan waktu tujuh menit. Gelatinisasi pati dipengaruhi oleh bahan mentah yaitu ukuran granula, rasio antara amilosa dan amilopektin, serta komponen-komponen dalam bahan pangan seperti kadar air,
30
gula, protein, lemak, dan serat kasar. Oleh karena itu, profil gelatinisasi pati pada masingmasing bahan berbeda-beda termasuk pada koro benguk. Informasi mengenai suhu dan waktu untuk mencapai gelatinisasi awal sangat dibutuhkan karena proses likuifikasi atau pendegradasian molekul pati oleh enzim α-amilase lebih baik dilakukan pada kondisi setelah tepung mencapai gelatinisasi (Misset 2003). Beberapa molekul pati khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan memasuki cairan yang ada di sekitarnya. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi bila pati selalu dalam kondisi panas. Dalam kondisi tersebut, pasta masih memiliki kemampuan mengalir secara fleksibel dan tidak kaku. Hasil pengujian suspensi diamati secara kualitatif berdasarkan kenampakan fisik dan kuantitatif menggunakan Viscometer Brookfield. Data pengamatan kualitatif (Gambar 7) menunjukkan bahwa konsentrasi 10% memberikan bentuk gel terbaik karena berwujud encer dan masih dapat diaduk. Pada suspensi 15% gel masih dapat diaduk tetapi kekentalannya meningkat sangat cepat dan diduga akan menghambat pendifusian enzim dalam substrat saat mendapatkan panas lanjut pada proses likuifikasi. Suspensi dengan konsentrasi 20 dan 30% tidak dapat diaduk dan sangat lengket sehingga akan menyulitkan pendifusian enzim pada suspensi.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7. (a) Suspensi tepung konsentrasi 10%, (b) Suspensi tepung konsentrasi 15%, (c) Suspensi tepung konsentrasi 20%, (d) Suspensi tepung konsentrasi 30% dalam air.
Tidak berbeda dengan pengamatan kualitatif, data kuantitatif dengan pengujian nilai kekentalan juga menunjukkan nilai viskositas berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi. Data pengukuran viskositas menggunakan Brookfield Viscometer ditunjukkan pada Tabel 8.
31
Tabel 8. Pengukuran konsentrasi substrat tepung koro benguk Konsentrasi Suspensi 10% 15% 20% 30%
Viskositas (cP) 205 12375 >2 juta >2 juta
Pada suspensi dengan konsentrasi 20 dan 30%, nilai viskositasnya lebih besar dari dua juta cP. Nilai tersebut menunjukkan viskositas yang sangat tinggi. Pada konsentrasi 15% viskositasnya tinggi mencapai 12350 cP. Nilai tersebut menghasilkan viskositas yang terlalu kental sehingga tidak sesuai dengan kondisi suspensi tepung yang diharapkan pada proses selanjutnya. Pada konsentrasi 10%, secara fisik sudah membentuk gel tapi masih dapat mengalir dan menghasilkan nilai viskositas sebesar 205 cP. Suspensi 10% merupakan suspensi terbaik yang dipilih pada pembuatan tepung berprotein tinggi. Berbagai rasio antara tepung dan air tersebut memengaruhi proses gelatinisasi (Wirakartakusumah 1981). Pada pembuatan tepung berprotein tinggi dari bahan lain seperti beras, gandum, dan terigu, konsentrasi 10% memberikan hasil yang optimum (Dewi 1996; Palupi 1996; Thamrin 1996). Konsentrasi yang tidak terlalu pekat akan mempermudah α-amilase memecah substrat pati.
2. Penentuan dosis enzim Pengujian aktivitas liquozyme supra enzim α-amilase termamyl dilakukan berdasarkan kondisi standar optimum α-amilase meliputi pH optimal dan suhu optimal mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Wibisono (2004) dan Akyuni (2004) yaitu pada suhu 95 °C dan pH 5.2. Penentuan aktivitas α-amilase dilakukan dengan mengukur hasil degradasi pati, biasanya dari kadar pati yang larut atau kadar dekstrinnya menggunakan substrat jenuh (Suhartono 1989). Substrat yang digunakan dalam penentuan aktivitas enzim adalah soluble starch 2%. Substrat sebelum digunakan digelatinisasi terlebih dahulu agar enzim dapat langsung menghidrolisis substrat. Dari hasil penghitungan menggunakan metode bernfeld (Lampiran 4) diketahui aktivitas α-amilase (Bacillus licheniformis) ini sebesar 5441.8399 IU/ml enzim. Dosis yang umum digunakan untuk pemecahan satu gram pati adalah lima unit enzim (Sunarti et al. 2004). Namun untuk pati kompleks digunakan dosis enzim berlebih 100 unit/g pati. Sehingga apabila jumlah pati kompleks yang akan dihidrolisis pada setiap perlakuan pada penelitian ini sebesar 15 gram, maka enzim yang ditambahkan minimal sebanyak 1500 unit atau setara dengan 0.3 ml larutan induk enzim α-amilase.
3. Optimasi pembuatan tepung berprotein tinggi dengan response surface methodology Box Behnken 1. Rancangan proses dan respon Program Design Expert 7.0® adalah software yang digunakan untuk merancang optimasi proses peningkatan protein menggunakan enzim α-amilase. Dalam penelitian ini, rancangan yang dipilih adalah response surface methodology (RSM) dengan 15 running perlakuan hasil kombinasi tiga faktor dan tiga taraf. RSM digunakan untuk menentukan proses yang paling optimal sehingga diperoleh hasil yang optimal (Montgomery 2001).
32
Optimasi proses pada penelitian ini dipengaruhi oleh suhu, pH, dan waktu proses. Secara lebih khusus RSM yang digunakan adalah model rancangan Box Behnken karena rancangan ini digunakan untuk mengetahui nilai optimum pada rentangan yang dibuat untuk setiap faktor. Box Behnken digunakan untuk menentukan titik optimal pada rentangan yang sensitif seperti karakteristik enzim yang bekerja sangat sensitif dan tidak akan bekerja diluar kondisi lingkungannya. Setelah dilakukan rancangan proses, kemudian dilakukan penentuan respon. Penentuan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proporsi relatif dari faktor-faktor proses penyusunnya (Montgomery 2001). Respon yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon obyektif berupa kadar protein kasar. Pemilihan respon tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu meningkatkan kadar protein pada tepung koro benguk. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan perhitungan terhadap respon yaitu kadar protein. Hasil pengukuran dan perhitungan respon dari setiap proses dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pengukuran setiap respon ini akan menjadi input data pada program Design Expert 7.0® yang selanjutnya akan dianalisis dalam tahapan analisis respon.
2. Analisis respon dengan program Design Expert 7.0® Pada tahap analisis respon, program Design Expert 7.0® memberikan beberapa model polinomial yang disesuaikan dengan hasil pengukuran setiap respon. Program Design Expert 7.0® memberikan empat pilihan model polinomial untuk setiap respon yaitu mean, linear, quadratic, dan cubic. Model polinomial merupakan output dari proses analisis respon dengan rancangan Box Behnken. Program Design Expert 7.0® akan merekomendasikan salah satu model yang paling sesuai untuk setiap respon. Model yang paling sesuai dengan respon akan ditampilkan pada fit summary. Program Design Expert 7.0® memberikan fasilitas analisis ragam ANOVA untuk menunjukkan signifikansi dari model yang direkomendasikan. Selanjutnya model yang direkomendasikan tersebut ditampilkan di dalam suatu countour plot, yang berupa gambar dan grafik dua dimensi (2D) atau tiga dimensi (3-D). Model yang baik adalah model yang signifikan terhadap respon, memberikan lack of fit yang tidak signifikan, memiliki nilai predicted R-squared dan ajusted R-squared yang saling mendukung, serta memberikan nilai adequate precision lebih dari empat (Anonim 2006). Model yang baik akan memberikan prediksi yang baik bagi rata-rata keluaran yang dihasilkan. Pada tahap analisis respon, program Design Expert 7.0® juga memberikan fasilitas plot kenormalan residual (normal plot residual) yang mengindikasikan apakah residual (selisih antara respon aktual dengan nilai respon yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus). Titik-titik data yang semakin mendekati garis kenormalan menunjukkan titik-titik data yang menyebar normal yang memiliki arti hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan oleh program Design Expert 7.0®. Pada plot kenormalan residual terdapat nilai internally studentized residual pada sumbu x, yaitu besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual dengan yang diprediksikan dan nilai normal % probability yaitu presentase kemungkinan data hasil respon menyebar normal (Montgomery 2001).
33
3. Analisis respon kadar protein Berdasarkan analisis yang dilakukan, model polinomial dari kadar protein adalah reduced cubic. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0® adalah quadratic, tetapi model ini tidak memberikan lack of fit yang non-signifikan sehingga digunakan cubic. Pada model cubic, model tidak menunjukkan suatu keunikan sehingga diperlukan reduksi model dengan cara backward elimination. Reduksi model yang dilakukan adalah menghilangkan interaksi komponen BC, ABC, AC2, B2C, BC2, A3, B3, C3 dan selisihnya juga tidak diikutkan dalam model karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi =0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) (Lampiran 6) menunjukkan bahwa model yang direduksi (reduced cubic) sangat signifikan dengan nilai p"prob>F" lebih kecil dari 0.01 (<0.0002). Lack of fit F-value adalah sebesar 2.82 dengan nilai p "Prob>F" lebih besar dari 0.01 (0.2616) yang menunjukkan bahwa lack of fit tidak sangat signifikan relatif terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak sangat signifikan adalah syarat untuk model yang baik. Nilai lack of fit yang tidak sangat signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar protein dengan model. Besarnya nilai predicted R-squared dan adjusted R-squared untuk respon protein secara berturut-turut adalah sebesar 0.8585 dan 0.9857 yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual respon kadar protein tercakup kedalam model sebesar 85.85% dan 98.57%. Nilai predicted R-squared mendukung nilai adjusted Rsquared karena selisih keduanya lebih kecil dari 0.2. Adequate precision untuk respon kadar protein adalah 28.945 yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai adequate precision yang lebih besar dari 4 (28.945) mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model ini dapat digunakan sebagai pedoman design space. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik sehingga diharapkan dapat memberikan prediksi yang baik. Persamaan polinomial untuk respon kadar protein adalah sebagai berikut: Kadar protein =39.89+3.74A+0.71B+5.59C-1.16AB-1.54AC-1.76B2-5.31C2- 1.85A2B5.15A2C-3.53AB2 keterangan :
A. suhu B. pH C. waktu
Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa selain dipengaruhi oleh tiga faktor proses (suhu, pH, waktu), kadar protein juga dipengaruhi oleh interaksi antar faktor tersebut. Respon kadar protein akan meningkat seiring peningkatan suhu, pH, dan waktu. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif pada model. Respon kadar protein akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan interaksi antara suhu, pH, dan waktu dan selisih keduanya. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif pada model. Ketiga variabel yaitu suhu, pH, dan waktu secara nyata memberikan pengaruh pada kadar protein. Variabel waktu memberikan pengaruh paling signifikan pada respon kadar protein bila dilihat nilai p-valuenya sebesar < 0.0001. Variabel pH dan suhu juga memberikan pengaruh yang signifikan pada kadar protein dengan nilai p-value berturut-turut 0.0666 dan 0.4970 (Lampiran 6).
34
Sebenarnya peningkatan kadar protein adalah bentuk peningkatan protein secara tidak langsung. Protein tidak meningkat secara kuantitas tetapi proporsinya meningkat disebabkan oleh terdegradasinya komponen lain pada tepung koro benguk yaitu karbohidrat. Keefektifan enzim dalam mendegradasi komponen karbohidrat inilah yang menyebabkan seakan-akan protein meningkat jumlahnya saat dianalisis. Kemampuan enzim α-amilase dalam menghidrolisis komponen substrat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, diantaranya suhu, pH, dan waktu proses (Beer 2004). Waktu memiliki pengaruh yang sangat nyata pada model dalam meningkatkan protein karena memiliki rentang yang paling lebar. Rentang yang digunakan adalah 20-60 menit. Semakin lama proses likuifikasi, maka degradasi komponen karbohidrat semakin banyak sehingga proporsi protein juga akan meningkat. Namun, waktu proses yang terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan protein. Oleh karena itu, rentang proses dipilih pada kisaran waktu 20 menit hingga 60 menit. Budiyanto et al. (2004) melaporkan hidrolisis menggunakan α-amilase selama 20 menit masih menghasilkan produk yang sedikit. Sementara itu, Wibisono (2004) melaporkan lama likuifikasi optimal α-amilase adalah 60 menit. Model menunjukkan bahwa suhu dan pH juga memengaruhi kadar protein yang dihasilkan atau dengan kata lain memengaruhi kemampuan enzim dalam menghidrolisis karbohidrat. Naz (2002) melaporkan α-amilase aktif pada suhu 90-105 °C dan pada kisaran pH 5.0-6.0. Liquozyme supra α-amilase yang digunakan untuk proses likufikasi ini merupakan enzim termofilik yang memiliki termostabilitas dan aktivitas tetap optimal pada suhu tinggi (Vieille dan Zeikus 2001). Selain itu, kerja enzim ini mudah dikontrol yaitu menggunakan pH untuk mengaktifkan atau menginaktifkan enzim tersebut (Rasooli et al. 2008). Grafik kenormalan internally studentized residual untuk respon kadar protein dapat dilihat pada Gambar 8. Grafik ini menunjukkan nilai sebaran data hasil pengukuran protein.
Gambar 8. Grafik internally studentized residuals
Gambar 8 menunjukkan titik-titik letaknya seimbang dan berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon kadar protein
35
menyebar normal. Data-data respon kadar protein yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar protein. Grafik contour plot RSM menggambarkan bagaimana kombinasi antar faktor saling memengaruhi nilai respon kadar protein (Gambar 9). Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot tersebut menunjukkan nilai respon kadar protein. Kadar protein
Gambar 9. Contour plot kadar protein pada pH 5.50
Kadar protein
Warna biru menunjukkan nilai respon kadar protein terendah, yaitu 26.22%. Warna merah menunjukkan respon kadar protein tertinggi yaitu 40.51%. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga faktor dengan nilai berbeda yang menghasilkan respon kadar protein yang sama. Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antarfaktor ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 10. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antarfaktor proses. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kadar protein yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon protein yang tinggi.
Gambar 10. Grafik 3-D kadar protein pada pH 5.50
36
4. Optimasi proses dengan program Design Expert 7.0® Proses optimasi dilakukan untuk mendapatkan suatu proses dengan respon yang optimal. Respon yang paling optimal diperoleh jika nilai desirability mendekati satu. Setiap komponen yang dioptimasi diberikan pembobotan kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pembobotan kepentingan dinamakan importance yang dapat dipilih mulai dari 1 (+) hingga 5 (+++++) bergantung kepentingan variabel respon yang bersangkutan. Semakin banyak tanda positif yang diberikan menunjukkan tingkat kepentingan variabel respon yang semakin tinggi. Berikut adalah komponen yang dioptimasi, nilai target, batas, dan importance pada tahapan optimasi proses dengan menggunakan program Design Expert 7.0®. Respon yang menjadi prioritas utama dalam proses optimasi pembuatan tepung berprotein tinggi adalah kadar protein. Respon kadar protein dengan kisaran 26.22-40.51% dioptimalkan dengan nilai target 60. Batas bawahnya 0 dan batas atasnya 95. Respon yang diinginkan sangat penting sehingga memiliki nilai importance 5 (+++++). Dari tahap optimasi yang dilakukan, program Design Expert 7.0® memberikan empat solusi proses optimum (Lampiran 7). Solusi proses optimum ini diperoleh dari model hasil running program Design Expert 7.0® terhadap 15 running process yang kemungkinan akan menghasilkan hasil yang optimum. Running process yang memberikan nilai desirability tertinggi direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0® sebagai solusi proses optimum. Nilai target optimasi yang dapat dicapai dikenal dengan istilah desirability yang ditunjukkan dengan nilai 0-1. Semakin tinggi nilai desirability menunjukkan semakin tingginya kesesuaian proses untuk mencapai proses dengan variabel respon yang diinginkan. Solusi proses satu hingga empat memiliki nilai desirability bervariasi dan yang paling mendekati angka desirability tertinggi (1) adalah solusi pertama. Dari empat proses optimum yang dihasilkan dari proses optimasi, solusi pertama terpilih sebagai rekomendasi dari program Design Expert 7.0®. Hal ini menunjukkan bahwa menurut hasil optimasi yang telah dilakukan, solusi pertama paling memenuhi target optimasi yang diinginkan, sehingga perlu dilanjutkan ke tahap verifikasi untuk membuktikan kesesuaian hasil prediksi dengan hasil faktual kadar protein yang dihasilkan dari running process. Nilai desirability yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kompleksitas faktor, kisaran yang digunakan dalam faktor, jumlah faktor dan respon, serta target yang ingin dicapai dalam memperoleh proses optimum. Kompleksitas jumlah faktor dapat terlihat pada persyaratan variabel proses yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap proses untuk menentukan optimasi. Nilai masing-masing satuan proses ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang berpengaruh terhadap nilai desirability. Semakin lebar selang, maka penentuan proses optimum dengan desirability tinggi akan sulit, namun apabila rentang tidak terlalu lebar, maka penentuan desirability mendekati satu akan semakin mudah. Jumlah faktor dan respon juga turut mempengaruhi nilai desirability proses optimum. Semakin banyak komponen dan respon, semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga nilai desirability yang dihasilkan rendah. Begitu pula sebaliknya, bila jumlah respon sedikit, maka nilai desirability akan semakin tinggi bahkan satu (1). Nilai importance yang besar (+++ hingga +++++) menunjukkan adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai proses optimal yang ideal (sesuai target optimasi). Semakin besar tingkat
37
importance dari suatu respon atau faktor, maka semakin sulit untuk memperoleh proses optimum dengan nilai desirability yang tinggi (Montgomery 2001). Solusi proses terpilih, yaitu proses pertama memiliki komposisi faktor yaitu suhu sebesar 95.15°C, nilai pH 5.6, dan waktu 50.62 menit. Solusi proses ini diprediksikan akan memiliki kadar protein sebesar 41.44%. Jika dilihat dari target kandungan protein yang ingin dicapai sebesar 60%, maka solusi proses pertama memiliki nilai desirability sebesar 0.691. Hal ini berarti solusi proses pertama akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 69%. Grafik contour plot dari solusi proses pertama dapat dilihat pada Gambar 11. dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 12. Contour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon kadar protein. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga faktor dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama.
Gambar 11. Contour plot desirability pada waktu 50.62 menit Titik prediksi pada Gambar 11. menunjukkan kombinasi suhu 95.15°C, pH 5.6 dan lama waktu 50.62 menit yang menghasilkan nilai desirability 0.691. Grafik tiga dimensi (Gambar 12) menunjukkan proyeksi dari contour plot. Area yang rendah pada grafik tiga dimensi menunjukkan nilai desirability yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai desirability yang tinggi.
38
Gambar 12. Grafik 3-D desirability pada waktu 50.62 menit
5. Verifikasi solusi formula optimum Tahap verifikasi dilakukan setelah tahap optimasi proses dengan menggunakan program Design Expert 7.0®. Tahap verifikasi bertujuan untuk melakukan pembuktian terhadap prediksi dari nilai respon rancangan proses optimum yang diberikan oleh program Design Expert 7.0®. Dari tahapan verifikasi, didapatkan nilai respon aktual untuk dibandingkan dengan prediksi respon yang dihasilkan oleh program Design Expert 7.0®. Selain prediksi nilai respon dari setiap solusi formula optimum yang diberikan, program Design Expert 7.0® juga memberikan confident interval untuk setiap nilai prediksi respon pada taraf signifikansi tertentu. Confident interval adalah rentang yang menunjukkan ekspektasi rata-rata hasil pengukuran berikutnya pada taraf signifikansi tertentu, dalam hal ini α 1%. Prediction interval adalah rentang yang menunjukkan ekspekstasi hasil pengukuran respon berikutnya dengan kondisi sama pada taraf signifikansi tertentu, dalam hal ini α 1%. Hasil verifikasi yang dilakukan beserta prediksi dari respon dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil verifikasi dan prediksi solusi terpilih Rancangan Proses terpilih Respon Kadar Protein
Prediksi 41.4394
Hasil verifikasi 41.41
99% Cl low 40.67
99% Cl high 42.21
99% Pl low 39.68
99% Pl high 43.20
Data penelitian (Lampiran 8) menunjukkan hasil verifikasi memiliki tingkat kesamaan yang tinggi meskipun tidak sama persis dengan prediksi yang dibuat oleh program Design Expert 7.0®. Hasil verifikasi yang didapatkan masih memenuhi 99%
39
confident interval yang telah diprediksikan. Oleh karena itu, persamaan yang didapatkan masih dianggap cukup baik untuk menentukan proses optimum dan respon yang didapatkan. Perbedaan yang terjadi antara hasil prediksi dengan respon aktual yang diperoleh dapat disebabkan oleh pengaruh kelabilan alat pemanas pada saat verifikasi dengan saat pengukuran respon yang dilakukan di awal penelitian. Kondisi ini masih dapat diterima mengingat hasil verifikasi yang didapatkan adalah nilai respon sampel, sedangkan prediksi yang diberikan oleh program Design Expert 7.0® adalah perkiraan dari nilai respon populasi. Hasil verifikasi tersebut juga meyakinkan bahwa solusi terpilih satu dengan komponen faktor suhu 95.15° C, pH 5.6, dan lama waktu proses 50.62 menit merupakan titik optimal terbaik untuk likuifikasi dengan menggunakan enzim liquozyme supra αamilase. Suhu optimal yang diperoleh pada penelitian ini mirip dengan suhu terbaik kerja enzim α-amilase yang dilaporkan Wibisono (2004) sebesar 95°C, sedangkan kondisi optimal pH sedikit lebih besar dari yang dilaporkan Wibisono (2004) yaitu pH 5.2. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan kondisi enzim yang digunakan pada penelitian ini dengan enzim yang digunakan pada penelitian Wibisono (2004). Untuk lama proses, hasil optimasi menunjukkan waktu yang lebih singkat dari yang dilaporkan Wibisono (2004). Lama waktu yang lebih singkat memungkinkan kerusakan protein tidak terlalu besar. Berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan, rancangan proses terpilih menghasilkan kadar protein sebesar 41.41% lebih tinggi 28.52% dari produk acuannya yaitu tepung koro benguk yang mengandung kadar protein sebesar 32.33%. Kadar protein tepung koro benguk yang telah diproses dengan likuifikasi dengan faktor terpilih menunjukkan peningkatan kadar protein akan tetapi nilainya tidak mencapai kadar maksimal tepung berprotein tinggi sebesar 60%. Akan tetapi, jika dilihat dari klaim komparasi gizi yang dikeluarkan oleh BPOM (2011) yang menyatakan produk dapat diklaim sebagai produk berprotein tinggi apabila mengandung protein 25% lebih tinggi dari produk asalnya.
B. Kandungan Gizi dan Rendemen Tepung Koro Benguk Berprotein Tinggi Data penelitian (Lampiran 9) menunjukkan adanya beberapa perbedaan proporsi kandungan gizi antara tepung koro benguk biasa dengan tepung berprotein tinggi yang telah mengalami proses likuifikasi. Perbedaan kandungan gizi tersebut diduga karena adanya perubahan proporsi kandungan gizi selama proses likuifikasi. Tabel perbandingan kandungan gizi dan rendemen tepung koro benguk biasa dan tepung koro benguk berprotein tinggi dapat dilihat pada Tabel 10.
40
Tabel 10. Perbandingan kandungan gizi dan rendemen tepung koro benguk biasa dan tepung koro benguk berprotein tinggi
Komposisi
Tepung koro benguk
Tepung koro benguk
% (bk)
biasa
berprotein tinggi
Kadar abu
1.66 ± 0.06
3.02 ± 0.01
Kadar lemak
5.34 ± 0.06
4.64 ± 0.18
Kadar protein
32.54 ± 0.25
41.83± 0.71
Kadar karbohidrat
60.45 ±0.38
49.51± 0.96
Rendemen
54.04 ±3.13
30.73 ±0.60
Kadar air tepung berprotein tinggi lebih kecil daripada kadar air tepung koro benguk. Hal ini disebabkan oleh pengaruh jenis alat yang digunakan untuk pengeringan tepung berprotein tinggi. Alat pengering yang digunakan untuk pengeringan tepung berprotein tinggi adalah spray dryer sehingga karakteristik produk yang dihasilkan sangat kering. Kartika (2009) melaporkan partikel tepung yang dihasilkan dengan alat pengering spray dryer lebih kecil dari partikel tepung yang dikeringkan dengan alat pengering lain seperti drum dryer. Kadar abu mengalami peningkatan pada tepung berprotein tinggi. Peningkatan kadar abu diduga karena tepung koro benguk mendapatkan panas dalam waktu yang cukup lama saat proses likuifikasi. Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan adanya peningkatan kadar abu pada waktu perebusan yang lebih lama (60 dan 90 menit). Selain itu, peningkatan tersebut disebabkan oleh penurunan kadar zat gizi makro lainnya selama likuifikasi seperti lemak dan karbohidrat karena terdegradasi oleh enzim maupun panas. Menurut Miller (1996), kandungan mineral dalam bahan pangan tidak dapat rusak oleh panas, cahaya, agen pengoksidasi, dan pH yang ekstrim sehingga keberadaannya pada tepung berprotein tinggi masih tinggi. Kadar lemak juga mengalami perubahan antara tepung koro benguk dengan tepung berprotein tinggi. Hal ini diduga adanya hidrolisis lemak menghasilkan monogliserida dan digliserida yang memiliki kelarutan di dalam pelarut air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan trigliserida. Nawar (1996) menyatakan bahwa hidrolisis ikatan ester pada trigliserida dapat terjadi akibat aktivitas enzim atau akibat panas dan adanya air. Penurunan kadar lemak pada penelitian ini relatif kecil, yaitu sebesar 0.16-0.50 g per 100 g tepung. Perubahan yang paling signifikan adalah perubahan proporsi kadar protein dan kadar karbohidrat. Kadar protein tepung berprotein tinggi meningkat sebesar 9.28 g/100 g dan kadar karbohidratnya turun sebesar 10.94 g/100 g dari tepung koro benguk. Kondisi ini memang diinginkan karena peningkatan kadar protein secara proporsial dilakukan dengan cara mendegradasi molekul karbohidrat menggunakan enzim α-amilase melalui proses likuifikasi. Dengan terdegradasinya komponen karbohidrat, maka kandungan protein akan meningkat secara proposional.
41
Rendemen tepung berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses likuifikasi untuk peningkatan protein dari tepung koro benguk sebesar 30.73%. Kadar protein tepung berprotein tinggi ini telah memenuhi syarat BPOM tentang kategori produk pangan yaitu kadar proteinnya lebih tinggi 25% dari produk acuannya. Rendemen yang dihasilkan tersebut tidak jauh berbeda dengan rendemen tepung beras berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses peningkatan protein dengan cara enzimatis (Hansen et al. 1981). Selain itu, rendemen tepung berprotein tinggi koro benguk juga hampir sama dengan produk pekatan protein dari koro-koroan yaitu kacang komak sebesar 31.7% (Nafi et al. 2006).
C. Karakteristik Fisikokimia Tepung Koro Benguk Varietas Putih Berprotein Tinggi dengan Proses Optimum 1. Densitas kamba Densitas kamba adalah sifat bahan pangan dari tepung-tepungan. Sifat tersebut merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan. Suatu bahan dikatakan kamba apabila nilai densitas kambanya kecil, yang berarti membutuhkan ruang atau volume yang besar untuk berat yang ringan. Menurut Schubert (1987) tepung-tepungan umumnya memiliki densitas kamba sekitar 0.40-0.75 g/ml. Hasil penelitian (Lampiran 10) menunjukkan densitas kamba tepung koro benguk berprotein tinggi masih berada pada kisaran tersebut. Densitas kamba tepung berprotein tinggi yang dihasilkan adalah 0.43 g/ml. Nilai densitas kamba tepung berprotein tinggi ini lebih kecil dibandingkan dengan tepung koro benguk. Berdasarkan penelitian Saputra (2012) densitas kamba tepung koro benguk sebesar 0.51 g/ml. Apabila dibandingkan dengan tepung kedelai komersial yang memiliki densitas kamba 0.38 g/ml (Edema et al. 2005), maka densitas kamba tepung berprotein tinggi koro benguk masih lebih tinggi. Bila diperhatikan dari nilai densitas kamba dari tepung-tepungan tersebut, diduga kandungan protein berpengaruh terhadap nilai densitas kamba. Dimana semakin tinggi kandungan protein pada suatu bahan, maka densitas kambanya akan semakin kecil. Sifat fisik ini penting terutama dalam penyimpanan dan pengemasan. Bahan dengan densitas kamba kecil tidak efisien dari segi tempat penyimpanan maupun pengemasan. Pada bobot yang sama, bahan dengan densitas kamba kecil akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan dengan densitas kamba besar. Tinggi rendahnya densitas kamba dipengaruhi oleh kadar lemak karena lemak memiliki bobot molekul yang relatif besar di dalam sistem bahan pangan. Adebowale et al. (2005) melaporkan adanya kenaikan densitas kamba pada tepung kacang Mucuna sp. yang telah diekstrak lemaknya.
42
2. Derajat warna Warna merupakan salah satu atribut visual penting dalam makanan disamping aroma dan tekstur. Salah satu jenis makanan yang memiliki perhatian lebih terhadap warna adalah produk tepung. Suhu pengeringan dan perlakuan proses berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung yang dihasilkan (Honestin 2007). Warna tepung berprotein tinggi dari koro benguk tidak terlalu gelap bahkan cenderung cerah. Hal ini dapat memperluas aplikasi penggunaan tepung koro benguk berprotein tinggi pada berbagai jenis produk makanan. Kenampakan tepung berprotein tinggi koro benguk dapat dilihat pada Gambar 13.
warna sampel
(a)
(b)
Gambar 13. Visualisasi warna tepung berprotein tinggi: (a) subjektif; (b) Ilustrasi hasil analisis warna pada bola imajiner sistem pewarnaan Hunter L a b Secara visualisasi subjektif, tepung koro benguk berprotein tinggi pada penelitian ini memiliki warna tepung putih kecoklatan. Analisis warna dengan menggunakan alat chromameter menunjukkan bahwa tepung ini memiliki nilai L sebesar 50.04, nilai a sebesar +1.89, dan nilai b sebesar +5.24 (Lampiran 10). Selain itu, nilai derajat putih sampel sebesar 44.48%. Nilai ini diperoleh dari formula Whiteness. Notasi L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna putih (L=0), abu-abu dan hitam (L=100). Nilai L sebesar 50.04 menunjukkan bahwa tepung tersebut memiliki tingkat kecerahan sedang. Notasi a merupakan warna kromatik campuran merah dan hijau, sedangkan notasi b merupakan warna kromatik campuran kuning dan biru. Jika nilai a dan b yang diperoleh dari hasil penelitian ini diplotkan pada grafik warna, maka terlihat bahwa sampel berwarna kuning kecoklatan (Gambar 13b). Warna tepung berprotein tinggi yang cenderung putih kecoklatan ini diduga disebabkan oleh reaksi pencoklatan non-enzimatis selama pengeringan pada perlakuan pendahuluan dan reaksi kimia yang terjadi selama proses likuifikasi. Pengeringan selama 12 jam pada suhu 50oC pada penelitian pendahuluan diduga meningkatkan laju reaksi Maillard. Menurut Kumar et al. (2009), pada koro benguk utuh terdapat gula pereduksi. Faktor tersebut menyebabkan terjadinya pencoklatan non-enzimatis pada koro benguk yang dikeringkan. Gambar 14 menunjukkan perbedaan warna koro benguk sebelum dan sesudah dikeringkan.
43
(a)
(b)
Gambar 14. Perbedaan warna koro benguk (a) sebelum dikeringkan dan (b) sesudah Dikeringkan Reaksi pencoklatan non-enzimatis (reaksi Maillard) merupakan reaksi pencoklatan yang terjadi antara amino bebas dari asam amino, peptida, atau protein dan karbonil dari gula pereduksi (Villamiel et al. 2006). Reaksi ini dapat terjadi akibat pemanasan atau selama penyimpanan pada produk yang mengandung gula pereduksi dan protein yang tinggi (BeMiller dan Whistler 1996). Reaksi Maillard merupakan salah satu reaksi yang menyebabkan penurunan nilai gizi protein. Penurunan nilai gizi protein karena terdapat asam amino esensial (seperti L-lisin) yang tidak lagi tersedia bagi tubuh akibat telah bereaksi dengan gula pereduksi. Menurut BeMiller dan Whistler (1996), L-lisin merupakan asam amino esensial yang reaktif karena mempunyai gugus NH3+ pada karbon epsilon (ε). Asam amino L-lisin dapat bereaksi, baik dalam bentuk asam amino bebas, maupun bagian dari molekul protein. Selain perlakuan pendahuluan, penyebab lain terjadinya reaksi Maillard adalah proses likuifikasi. Proses likuifikasi mendegradasi karbohidrat menjadi komponen yang lebih sederhana yaitu dekstrin. Likuifikasi juga memungkinkan menghasilkan gula sederhana. Gulagula sederhana tersebut, terutama jenis gula pereduksi, memiliki kemungkinan bereaksi dengan protein sehingga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis. Secara alami, reaksi Maillard terjadi pada produk yang mengandung protein dan gula pereduksi. Namun, laju reaksinya bergantung pada beberapa faktor, antara lain aktivitas air (aw), pH, suhu, dan komposisi kimia di dalam sistem pangan (Villamiel et al. 2006). Pada penelitian ini, pengeringan dengan suhu 50 oC pada penelitian pendahuluan dan proses likuifikasi produk diduga meningkatkan laju reaksi Maillard.
3. Aktivitas air (aw) Aktivitas air adalah sejumlah air bebas yang berada dalam bahan pangan. Keberadaan air bebas ini menjadi suatu penentu keamanan pangan karena kerusakan bahan pangan seperti kerusakan kimia, mikrobiologis maupun enzimatis ditentukan dari jumlah air bebas yang diukur dari nilai aktivitas air (aw).
44
aw tepung berprotein tinggi 0.62
Gambar 15. Hubungan kecepatan reaksi dengan aw dalam bahan pangan
Jenis-jenis kerusakan tersebut dapat diketahui dari nilai aktivitas air dalam rata-rata batas terendah air untuk bahan pangan mikroba tersebut. Data penelitian menunjukkan aktivitas air pada tepung koro benguk berprotein tinggi ini sebesar 0.62. Bila dilihat dari nilai a w-nya, kerusakan yang mungkin terjadi adalah kerusakan yang disebabkan oleh mikrobiologis dan kimia (Gambar 15). Menurut Winarno (2002) jenis mikroba yang umum menyerang produk pangan dengan aw berkisar 0.6-0.7 adalah kapang. Sedangkan kerusakan kimia yang dapat terjadi pada kisaran aw 0.61 adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis dan oksidasi lipida. Reaksi pencoklatan non-enzimatis kemungkinan terjadi pada produk tepung berprotein tinggi dilihat dari warna produk yang berwarna putih kecoklatan. Pada produk kering dengan a w rendah, laju reaksi Maillard berlangsung cepat pada aw 0.5-0.8. Sementara itu, reaksi tersebut sudah dapat terlihat pada suhu ruang dan meningkat laju reaksinya seiring dengan meningkatnya suhu. Sedangkan kerusakan produk karena oksidasi lipida kemungkinan juga dapat terjadi karena tepung berprotein tinggi masih mengandung lemak meskipun proporsinya sangat sedikit sebesar 4.64%. Pencegahan kerusakan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan kemudian dikemas untuk mencegah kenaikan kadar air selama penyimpanan. Pembuatan produk tepung berprotein tinggi dari koro benguk pada penelitian ini menggunakan spray dryer sehingga kadar air yang dihasilkan produk sebesar 5.43%. Fennema (1996) menyatakan apabila suatu produk memiliki kadar air 3-7%, maka kestabilan produk akan tercapai sehingga reaksi-reaksi kimia seperti reaksi pencoklatan dan oksidasi lemak dapat dikurangi.
45
D. Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk Varietas Putih Berprotein Tinggi dengan Proses Optimum Sifat fungsional protein adalah sifat fisik dan kimia yang memengaruhi sifat protein dalam bahan pangan selama pemrosesan, penyimpanan, persiapan, dan pengonsumsian atau semua sifat dalam pangan, kecuali gizi yang memengaruhi penggunaan protein dalam sistem pangan (Kinsella 1979). Sifat fungsional protein sangat ditentukan oleh komposisi asam amino protein, jenis ikatan, muatan dan struktur protein. Dalam sistem pangan yang menggunakan protein, terutama produk dengan klaim berprotein tinggi, sifat fungsional sangat penting untuk diketahui. Mutu akhir hasil pengolahan pangan sangat dipengaruhi oleh sifat fungsional protein yang digunakan. Untuk hasil olahan yang berbeda membutuhkan sifat fungsional yang berbeda pula (Kinsella 1979).
1. Daya serap air Daya serap air dari protein merupakan sifat fungsional yang penting bagi pengembangan produk pangan karena berpengaruh terhadap juiciness dan mouthfeel sebuah produk. Penelitian ini melaporkan nilai daya serap air tepung koro benguk berprotein tinggi sebesar 1.77 ml/g. Daya serap tepung koro benguk berprotein tinggi ini lebih tinggi dari tepung koro benguk. Saputra (2012) melaporkan daya serap tepung koro benguk sebesar 1.67 ml/g. Adebowale dan Lawal (2004) melaporkan pada konsentrasi ion 1 M, tepung koro benguk memiliki daya serap air lebih tinggi dari tepung koro pedang dan tepung kacang bogor. Namun daya serap tepung berprotein tinggi lebih kecil nilainya bila dibandingkan dengan tepung kedelai komersial (2.42 ml/g) (Widaningrum et al. 2005), tepung kacang emas Phaseolus lunatus (2.65 ml/g) (ChelGueverro et al. 2002). Struktur protein yang berbeda dan adanya karbohidrat hidrofilik diduga berpengaruh terhadap daya serap air produk tepung. Daya serap air dapat ditingkatkan dengan cara mengatur konsentrasi ionik. Pada konsentrasi ionik yang sesuai, akan diikat lebih banyak air karena akan meningkatkan pembukaan protein. Hal ini akan menyebabkan terpaparnya grup fungsional (asam amino) yang mampu meningkatkan daya serap air. Tinggi rendahnya kapasitas penyerapan air bergantung pada komposisi kimia dan sifat polaritas komponen di dalam bahan (Mugendi et al. 2010a). Imbibisi air adalah sifat fungsional yang penting pada produk pangan seperti sosis, puding, dan adonan. Pada pangan tersebut, protein menyerap air tetapi tidak sampai larut karena keterbatasan air. Oleh karena itu, protein tersebut mengembang dan memberikan karakteristik seperti pengental. Dari nilai daya serap airnya, tepung berprotein tinggi koro benguk dapat digunakan sebagai ingridien pada produk giling seperti sosis. Selain itu, karakter daya serap air tersebut dapat digunakan untuk pembuatan produk bakery karena memungkinkan baker untuk menambahkan air pada adonan sehingga akan meningkatkan karakter pemrosesan sekaligus mempertahankan kesegaran roti.
46
2. Daya serap minyak Daya serap minyak penting dalam berbagai sistem pangan, misalnya pangan teremulsi, produk susu, produk sosis, adonan, dan roti. Daya serap minyak hanya mencirikan pengikatan minyak atau lemak secara fisik oleh protein. Struktur protein yang lebih banyak bersifat lipofilik memberi kontribusi terhadap meningkatnya daya serap minyak (Lin et al. 1974). Daya serap minyak tepung koro benguk berprotein tinggi adalah 1.83 ml minyak/g solid. Nilai daya serap minyak tepung berprotein tinggi ini lebih besar dari kisaran daya serap konsentrat dan isolat protein kedelai (1.33-1.54 ml minyak/g solid) yang dilaporkan oleh Kinsella (1979), daya serap minyak P angularis (1.47 ml/g), P calcuratus (1.29 ml/g), D labalab (1.20 ml/g) (Chau dan Cheung 1998). Daya serap minyak tepung koro benguk berprotein tinggi memiliki kesamaan bila dibandingkan dengan daya serap minyak tepung kacang bogor (1.83 ml/g) (Chel-Guerrero et al. 2002) dan daya serap minyak tepung kacang komak (1.83 ml/gr) (Suwarno 2003). Adanya variasi daya serap minyak pada produk tepungtepungan disebabkan oleh variasi yang muncul pada rantai sisi non-polar yang mungkin terikat pada rantai sisi hidrokarbon. Selain itu, pengikatan lemak pada produk bubuk dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan densitas rendah dan ukuran partikel kecil mengabsorbsi dan memerangkap minyak lebih banyak daripada yang densitasnya tinggi (Zayas 1997). Bila dilihat dari daya serap minyaknya, tepung berprotein tinggi berpotensi digunakan untuk interaksi struktural pada produk pangan terutama untuk mempertahankan flavor, meningkatkan palatibilitas, dan memperpanjang umur simpan, khususnya pada pada bakery atau produk berbasis daging yang menginginkan penyerapan lemak.
3. Kapasitas dan stabilitas emulsi Penelitian ini melaporkan kapasitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi sebesar 32%. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan kapasitas emulsi tepung koro benguk (45.5%), tepung kacang bogor (73.9%), dan tepung koro pedang (42.5%) (Adebowale dan Lawal 2004). Sathe et al. (1982) melaporkan bahwa kapasitas emulsi koro-koroan akan berkurang seiring meningkatnya konsentrasi protein. Pernyataan ini dikuatkan oleh hasil penelitian Lin et al. (1974) yang menemukan fakta serupa pada penelitiannya tentang tepung kedelai dan konsentrat protein kedelai. Konsentrasi protein memberikan pengaruh yang nyata pada kapasitas emulsi. Philips (1981) menyatakan pengaruh konsentrasi protein terhadap kapasitas emulsi berdasarkan kinetika absorpsi. Ketika konsentrasi protein rendah, kecepatan absorbsi adalah difusi terkontrol, sedangkan pada konsentrasi protein tinggi, terdapat penghalang aktivasi untuk absorbsi. Pada kondisi tersebut, kemampuan molekul protein untuk membuat ruang di antara lapisan yang ada, menembus, dan mengatur ulang pada permukaan telah ditentukan tingkatannya. Kurva stabilitas aktivitas emulsi tepung berprotein tinggi (Gambar 16) menunjukkan bahwa tepung berprotein tinggi memiliki kapasitas emulsi kurang stabil. Pada menit ke-0 hingga menit ke-120 stabilitas emulsi berkurang secara linier. Namun ketika mencapai menit 120 hingga menit 360, stabilitas emulsi stabil.
47
Kurva stabilitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi
Gambar 16. Kurva stabilitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi
Sifat emulsi dipengaruhi oleh komponen asam amino penyusun protein. Perbandingan jumlah asam amino hidrofilik dan lipofilik yang sangat seimbang sangat menentukan kemampuan protein untuk membentuk emulsi (Zayas 1997). Hal ini penting untuk menurunkan tegangan interfasial karena hidrofilik-lipofilik protein mampu teradsorpsi pada interfasial minyak-air. Lipofilik akan berikatan pada sisi minyak sedangkan hidrofilik akan berikatan pada sisi air. Kapasitas dan stabilitas emulsi diduga dipengaruhi oleh komposisi asam amino. Asam amino yang banyak menyusun biji koro benguk cenderung bersifat hidrofobik maka keseimbangan hidrofilik dan lipofilik proteinnya kurang dalam membentuk emulsi. Baik kapasitas emulsi maupun stabilitas emulsi, keduanya bergantung pada pH. Nilai pH pada penelitian ini mengacu pada metode Franzen dan Kinsella (1979) sebesar 8. Penelitian sebelumnya melaporkan tentang pengaruh pH terhadap kapasitas dan stabilitas emulsi untuk protein dari Cajanus cajan dan Vigna unguiculata (Mwasaru et al. 1999), Phaseolus lunatus dan Canavalia ensiformis (Chel-Guerrero et al. 2002), dan tepungtepungan dari P angularis, P calcaratu, D lablab, dan kedelai (Chau dan Cheung 1998). Pengaruh pH terhadap kapasitas emulsi memiliki pola yang sama dengan pengaruh pH terhadap kelarutan pada tepung. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila kelarutan protein juga memengaruhi kapasitas emulsi pada tepung koro-koroan (Adebowale dan lawal 2004). Hal ini berkaitan dengan pembentukan film pada droplet minyak yang hanya dapat terjadi jika protein berada pada kondisi terlarut (Zayas 1997). Kemungkinan nilai kapasitas dan stabilitas emulsi pada tepung berprotein tinggi koro benguk dapat ditingkatkan dengan cara mengatur pH untuk mendapatkan kelarutan optimal. Hal ini dikarenakan kelarutan tepung koro benguk pada pH 10 lebih baik daripada pH 8 (Adebowale dan Lawal 2004).
48
4. Kapasitas dan stabilitas busa Busa didefinisikan sebagai dua sistem fase yang terdiri dari sel udara yang dipisahkan oleh lapisan tipis cairan yang disebut fase lamelar (Zayas 1997). Kemampuan pembentukan busa ini penting dalam produk whipped cream. Kapasitas daya busa tepung koro benguk berprotein tinggi sebesar 63.80% lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas busa tepung koro benguk pada pH 7 (37.17%) (Mugendi et al. 2010a). Namun pada pH 8 dalam penelitain yang lain, kapasitas busa antara tepung koro benguk berprotein tinggi dengan tepung koro benguk (58%) tidak terlalu berbeda (Adebowale dan Lawal 2004). Tepung koro benguk berprotein tinggi ini memiliki kemampuan membentuk busa, namun memiliki stabilitas busa yang rendah. Stabilitas busanya sebesar 66.80% pada pH 8, lebih kecil bila dibandingkan dengan stabilitas busa tepung koro benguk pada pH 7 (93.75%) (Mugendi et al. 2010). Adebowale dan Lawal (2004) melaporkan stabilitas busa terbaik pada tepung koro benguk berada pada kisaran pH titik isoelektriknya yaitu pH 4. Kurva stabilitas volume busa tepung berprotein tinggi koro benguk pada pH 8 yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada Gambar 17.
Kurva stabilitas volume busa tepung koro benguk berprotein tinggi
Gambar 17. Kurva stabilitas busa tepung koro benguk berprotein tinggi
Kapasitas dan stabilitas busa tepung berprotein tinggi dipengaruhi oleh nilai pH dan berkorelasi positif dengan profil kelarutan protein seperti pada sifat emulsi. Ketika muatan protein meningkat maka kapasitas busa pun meningkat (Cherry dan Mc Watter 1981). Ragab et al. (2004) melaporkan penelitian yang serupa pada isolat protein kacang cowpea menunjukkan kapasitas busa dipengaruhi oleh pH. Kapasitas busa tepung koro benguk berprotein tinggi kemungkinan akan memiliki nilai yang tinggi pada pengujian pH 10 yang merupakan kelarutan maksimumnya (Mugendi et al. 2010). Stabilitas busa akan meningkat ketika pH mendekati titik isoelektriknya. Adebowale dan Lawal (2004) memperkuat teori ini melalui hasil penelitiannya yang menyatakan stabilitas busa terbaik pada tepung koro benguk berada pada pH 4 yang merupakan titik isoelektriknya. Penelitian terdahulu juga menyatakan
49
bahwa stabilitas busa protein lebih stabil pada sekitar pH titik isoelektrik daripada pH lainnya (Aluko dan Yada 1995). Kapasitas dan stabilitas busa lebih baik dilakukan pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena dapat meningkatkan viskositas suspensi protein serta memfasilitasi pembentukan multilayer dan film yang bersifat kohesif pada permukaan interfasial (Damodaran 1996). Hal ini dikarenakan ketersediaan protein yang lebih banyak akan meningkatkan dispersi larutan yang juga akan meningkatkan pembentukan busa. Ketidakstabilan busa dapat disebabkan oleh disproporsionasi gelembung, penggabungan gelembung yang disebabkan ketidakstabilan film yang terbentuk, dan hilangnya air dari gelembung yang menyebabkan film terlalu tipis untuk menstabilkan gelembung (Adebowale dan Lawal 2003). Kestabilan busa kemungkinan dipengaruhi pula oleh adanya sisa lemak pada tepung berprotein tinggi yang melemahkan interaksi protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas 1997).
5. Daya gelasi Gelasi adalah sifat reologi yang berkaitan dengan penarikan air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Proses gelasi bergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai hasil interaksi protein-protein dan protein terlarut. interaksi ini semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena kontak dengan intermolekular yang juga lebih tinggi (Zayas 1997). Tepung berprotein tinggi mulai membentuk gel pada konsentrasi 10% dengan penampakan gel yang lemah dan terjatuh bila dimiringkan, sedangkan pada konsentrasi 15%, penampakan gel kuat dan tidak terjatuh pada hentakan pertama. Protein koro benguk dominan berbentuk albumin yang mudah didenaturasi pada permukaan (Adebowale et al. 2006), oleh karena itu pada konsentrasi 10% gel sudah mulai terbentuk. Adebowale dan Lawal (2004) melaporkan gel pada tepung koro benguk mulai terbentuk pada konsentrasi 12%. Perbedaan konsentrasi awal gelasi ini diduga karena perbedaan konsentrasi protein, dimana konsentrasi protein pada tepung koro benguk berprotein tinggi lebih tinggi dari tepung koro benguk sehingga tepung berprotein tinggi dapat membentuk gel pada konsentrasi yang sedikit lebih rendah. daya gelasi terbaik tepung koro benguk menurut Adebowale dan Lawal (2004) adalah 16%. Variasi pada karakter pembentukan gel bergantung pada perbedaan rasio konstituen seperti protein, lemak, dan karbohidrat pada tepung kacang-kacangan yang berbeda. Gelasi protein sangat penting pada pemrosesan dan penerimaan berbagai jenis pangan, termasuk sayuran dan produk pangan lainnya. Mekanisme gelasi dan penampakan gel dikendalikan berdasarkan keseimbangan antara interaksi tarik menarik hidrofobik dan interaksi elektrostatik yang tidak beraturan (Egelandsal 1980). Gaya tak beraturan pada permukaan bermuatan dan gaya tarik-menarik pada berbagai grup fungsional dibuka oleh panas yang dilepaskan protein. Berdasarkan data penelitian (Lampiran 11), pembentukan gel akan lebih baik dengan meningkatkan konsentrasi protein. Semakin tinggi konsentrasi, interaksi protein intramolekul semakin baik sehingga menghasilkan gel dengan tekstur yang semakin kuat akibat banyaknya air yang terikat pada protein (Schmidt 1981). Daya gel merupakan sifat penting untuk produk sup, saus, dan daging.
50
E. Daya Cerna Protein In Vitro Tepung Berprotein Tinggi Nilai gizi protein pada bahan pangan berbeda-beda. Nilai gizi protein tidak hanya berdasarkan pada tinggi rendahnya kadar protein yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut, tetapi juga pada ketersediaan atau dapat tidaknya protein digunakan oleh tubuh. Penentuan daya cerna protein in vitro mengikuti metode Hsu et al. (1977) dalam Mugendi (2010a), di mana prinsip penentuan daya cerna protein in vitro dengan metode tersebut berdasarkan adanya penurunan pH setelah inkubasi selama 10 menit akibat hidrolisis protein oleh multienzim protease yang menghasilkan asam-asam amino dan peptida. Di dalam larutan suasana netral, asam-asam amino dapat melepaskan ion H+ yang menyebabkan penurunan pH larutan. Besarnya penurunan pH selama inkubasi 10 menit diplotkan ke dalam persamaan regresi untuk mendapatkan nilai daya cerna protein in vitro yang dinyatakan dalam satuan persen. Pada penelitian ini, nilai daya cerna protein tepung berprotein tinggi sebesar 78.58% (Lampiran 12). Daya cerna protein in vitro tepung koro benguk berprotein tinggi tidak jauh berbeda dari daya cerna koro-koroan lain seperti kecambah kacang tunggak (77.2%), kecambah kacang lentil (78.8%), dan kecambah kacang arab (77.6%) (Ghavidel dan Prakash 2007). Namun bila dibandingkan dengan daya cerna in vitro isolat protein kedelai (87.2%), nilai daya cerna tepung berprotein tinggi ini lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis dan kadar senyawa antinutrisi pada masing-masing bahan. Di samping itu, proses pengolahan juga memengaruhi kemudahan suatu protein dicerna. Meskipun daya cerna protein in vitro tepung koro benguk lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat kedelai, tepung ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber protein nabati yang baik.
51