HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Residu Zeranol dengan ELISA Seluruh sampel daging yang diimpor dari kedua negara diuji dengan menggunakan metode ELISA. Metode ELISA merupakan pengujian yang mudah, biaya relatif murah, dan sesuai untuk pengujian rutin. Metode pengujian ini merupakan pengujian awal (screening) untuk mengetahui kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor. ELISA yang digunakan adalah ELISA kompetitif, dimana pengujian berdasarkan pada pengikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik antibodi) (Squires 2003). Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu zeranol pada penelitian ini adalah 500 part per billion (ppt), dengan 50% inhibition sebesar 1 000.7 ppt (Gambar 5). Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat digunakan untuk dapat mendeteksi suatu substansi.
A b s o r b a n s i (%)
Konsentrasi (ppt) Gambar 5 Standar kurva ELISA untuk zeranol.
Perbandingan antara kemiringan kurva yang terbentuk dengan konsentrasi yang digunakan disebut dengan standar kurva. Kemiringan dari kurva tersebut merupakan respon dari pengujian yang menggambarkan konsentrasi hormon dari
24
sampel. Jumlah dari ikatan hormon yang dilabel dan konsentrasi hormon dapat dibedakan dari standar kurva. Jumlah hormon yang dilabel pada sumbu y, dengan konsentrasi dari hormon yang tidak dilabel pada sumbu x. Jumlah dari ikatan hormon yang dilabel dan konsentrasi hormon memberikan kemiringan kurva antara 10-90% dari penyerapan optical density (OD) (Squires 2003). Sampel dalam pengujian ini dikerjakan secara duplo. Menurut Squires (2003), pengujian selayaknya dikerjakan dengan ulangan yang cukup untuk menggambarkan reproducibility, yang dibedakan dengan coefficient of variation yang rendah (CV = standar deviasi dibagi dengan mean). Immunoassay merupakan salah satu metode pemeriksaan residu hormon. Metode ini dipakai untuk screening dalam berbagai pemeriksaan bahan pangan karena cepat dan cukup spesifik serta sensitif. Matrik sampel daging dapat mempengaruhi sensitifitas, perubahan atau penurunan nilai absorban (OD), atau kedua-duanya. Oleh karenanya pengenceran pada sampel sebelum analisa hingga dua kali merupakan cara yang cukup efektif sehingga diharapkan tidak mempengaruhi sensitifitas, perubahan atau penurunan nilai absorban (OD), atau dapat menyebabkan tingginya konsentrasi dari residu yang ada pada sampel (Rachmawati et al. 2004; Cigić dan Prosen 2009).
Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia Hasil pengujian kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 5. Sebanyak 5 dari 59 sampel (8.5%) daging dari Australia mengandung zeranol dengan rataan konsentrasi sebesar 0.644 part per billion (ppb). Hasil positif pada pengujian ini menunjukkan masih digunakannya zeranol sebagai hormon pertumbuhan di Australia. Menurut MLA (2012), zeranol merupakan hormon estrogenik utama, bersama estradiol, yang digunakan di Australia. Kisaran konsentrasi zeranol yang ditemukan pada penelitian ini masih berada di bawah batas maksimum residu zeranol yang ditetapkan di Indonesia yaitu 2 ppb. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan kemungkinan penggunaan zeranol masih memperhatikan withdrawal time yaitu 60-70 hari setelah implantasi.
25
Tabel 5 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia Sampel positif Negara
Australia
N
59
n
%
5
8.5
Kode
Konsentrasi (ppb)
A14 A28 A31 A46 A56
0.921 0.611 0.562 0.588 0.535
Menurut Maddox (1988), residu zeranol sebenarnya sulit dideteksi, meskipun ternak dipotong sebelum withdrawal time berakhir, pemotongan ternak pada hari ke 45 setelah implantasi hanya didapatkan residu dalam jumlah yang kecil, yaitu pada hati (≤2 ppb), ginjal (≤1 ppb), lemak (≤1 ppb), dan otot serta plasma (≤0.2 ppb). Hal ini dibuktikan pada monitoring di Scotlandia dan Inggris Utara tahun 1984-1987. Sebanyak 6 014 ekor ternak, hanya didapatkan 6% residu zeranol pada sapi jantan dan betina yang diimplan zeranol dengan dosis 36 mg. EFSA (2007) menyatakan bahwa residu zeranol dalam jaringan hewan adalah sebesar 0.35-1.21 ppb di hati, 0.08-0.22 ppb di ginjal, 0.01-0.73 ppb di otot, dan 0.06-0.22 ppb di lemak. Doyle (2000) menyebutkan bahwa dalam penelitian Dixon dan Russell pada tahun 1983 dan 1986, kadar residu zeranol masih dapat terdeteksi setelah 70 hari implantasi sebesar 230 ppb dan masih dapat ditemukan pada hari ke 120 dengan konsentrasi yang sangat kecil. Meskipun ternak telah diimplan zeranol lebih dari 4 kali dengan dosis 36 mg, kadar residu zeranol tidak akan meningkat secara signifikan. Menurut laporan dari FAO, kadar tertinggi residu zeranol pada daging adalah 130 ppb di hari ke 5 pasca implantasi dan akan menurun sebesar 44 ppb setelah hari ke 65 (Doyle 2000). Hasil metabolisme dari Fusarium spp yaitu zearalenon dapat menimbulkan reaksi silang dengan zeranol sehingga kemungkinan juga hasil positif yang didapatkan pada pengujian ini merupakan reaksi silang dengan metabolit Fusarium spp. Pihak Australia pernah mengindikasikan adanya kandungan residu zeranol pada daging hasil survey tahun 2003 oleh kontaminasi jamur
26
Fusarium spp pada ladang penggembalaan atau pakan akan tetapi tidak ada penelusuran lebih lanjut terhadap temuan tersebut (Crapp 2003).
Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Selandia Baru Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru dengan ELISA disajikan pada Tabel 6. Pengujian ini menunjukkan hasil hanya 1 dari 59 sampel (1.7%) positif mengandung zeranol. Seperti juga hasil positif yang didapat pada sampel dari Australia, konsentrasi sampel dari Selandia Baru juga lebih rendah dari nilai MRL zeranol yang ditetapkan oleh BSN yaitu sebesar 2 pbb. Tabel 6 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru Negara
N
Selandia Baru
59
Sampel positif n
%
Kode
Konsentrasi (ppb)
1
1.7
S55
0.680
Hasil negatif yang ditemukan dalam sejumlah sampel pada penelitian ini dapat diartikan bahwa sampel tersebut tidak mengandung zeranol atau memiliki konsentrasi residu di bawah limit deteksi dari kit ELISA yang digunakan. Hasil positif yang ditemukan menunjukkan kemungkinan pemakaian zeranol di Selandia Baru tidak sebanyak penggunaannya di Australia. Menurut NZMAF (2011), mengacu pada regulated control schemehormonal growth promotants notice 2011, penggunaan zeranol sejak tahun 1972 mulai perlahan-lahan digantikan oleh hormon-hormon pertumbuhan seperti Compudose 100 (estradiol-17β), Compudose G (TBA dan estradiol-17β), Revalor S (TBA dan estradiol benzoat), Synovex S (estradiol benzoat dan progesteron), Synovex H (testosteron propionat dan estradiol benzoat), dan Synovex Plus (TBA dan estradiol benzoat).
27
Perbandingan Kandungan Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru Perbedaan konsentrasi zeranol yang didapat dari hasil ELISA dalam daging dari Australia dan Selandia Baru menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun jumlah sampel yang positif dalam daging yang diimpor dari Australia menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru (Tabel 7). Tabel 7 Perbandingan kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru n positif
% positif
Mean konsentrasi (ppb)
Min-Max (ppb)
Australia
5
8.5
0.644±0.157
0.535-0.921
Selandia Baru
1
1.7
0.680±0.00
0.680
Negara
Jumlah sampel yang positif mengandung zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru didapatkan berbeda, hal ini kemungkinkan disebabkan oleh penerapan strategi implantasi hewan yang bervariasi, respon dari individu (ternak), termasuk breed ternak yang diimplantasi, serta adanya kontaminasi dari jamur Fusarium spp. Menurut EFSA (2007), zeranol tidak akan ada dalam jaringan dalam kondisi normal, tetapi dapat diukur setelah penggunaan preparat ini sebagai hormon pertumbuhan. Hal yang patut diwaspadai adalah mikotoksin zearalenon yang terdapat dalam pakan, dapat dikonversi menjadi zeranol. Hal ini akan menyulitkan monitoring residu pada produk hewan. Penerapan strategi implantasi yang bervariasi bergantung pada pemakaian hormon-hormon pertumbuhan di Australia dan Selandia Baru. Menurut Partridge (2010), strategi implantasi hormon pertumbuhan di Australia menggunakan long acting hormone growth promotants (HGPs) yang berkisar antara 100-400 hari (tergantung dari tujuan HGPs yang digunakan). Selama masa tersebut, ternak dapat diimplantasi berulang dengan berbagai HGPs. Sapi jantan dapat menggunakan Ralgro (36 mg zeranol), Compudose (estradiol-17β) atau Synovex C (estradiol benzoat dan progesteron) dalam masa perkembangan. Pada
28
awal penggemukan digunakan Synovex S, Progro S (estradiol benzoat dan progesteron) atau Revalor G (TBA dan estradiol-17β). Sebagai akhir dari fase penggemukan, digunakan Revalor S (TBA dan estradiol-17β) ditambah Progro TS (TBA). Di Australia, terutama di bagian utara, rumput tumbuh musiman dan ternak memerlukan waktu 2-4 tahun untuk dapat dipotong dalam kondisi yang baik, sehingga implantasi digunakan untuk mendorong pertumbuhan pada saat yang sama rumput tersebut tumbuh subur. Penggunaan hormon pertumbuhan di Australia didasarkan pada keadaan daerah (ketersediaan pakan hijauan) dan tujuan penggemukan (MLA 2012). Selandia Baru saat ini sudah jarang menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan di peternakannya. Penggantian zeranol dengan hormon-hormon pertumbuhan lainnya, seperti Compudose mungkin karena hormon pertumbuhan tersebut memberikan peningkatan berat badan yang lebih besar yaitu lebih dari 20% daripada zeranol (ELANCO 2011). Heitzman (1983) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan implantasi hormon pertumbuhan di peternakan, utamanya adalah absorbsi hormon yang diimplan (berhubungan dengan administrasi dan formulasi hormon), distribusi dalam berbagai jaringan tubuh (berhubungan dengan tempat implantasi), metabolisme, dan ekskresi dari hormon yang diimplan. Metabolisme dari hormon yang diimplan terjadi di darah, hati, dan ginjal. Zeranol yang berbentuk compress pellet, absorbsinya berlangsung lambat, memberikan efek peningkatan pertumbuhan pada bulan ke-2 sampai dengan ke-4 setelah pemberian. Umumnya hormon pertumbuhan yang diberikan akan dimetabolisme, dikeluarkan, atau diambil oleh jaringan dalam bentuk senyawa yang tidak aktif. Aktivitas hati dan ginjal sangat berperan dalam metabolisme dan ekskresi, dimana diasumsikan kadar obat yang masuk sebanding dengan kadar pembersihan oleh hati dan ginjal. Kadar residu yang tinggi dapat ditemukan pada jaringan atau daging ternak dan kemungkinan disebabkan oleh pemberian hormon pertumbuhan pada awal implantasi, kerusakan hati dan ginjal, serta pemotongan ternak yang tidak memperhatikan withdrawal time. Pemotongan ternak tanpa memperhatikan withdrawal time zeranol merupakan hal yang beresiko bagi konsumen jika daging
29
ternak tersebut dikonsumsi. Pemotongan yang ilegal ini patut diwaspadai karena banyaknya penggunaan zeranol dan panjangnya withdrawal time yaitu 65 hari untuk dosis 36 mg (Toews dan McEwen 1994). Setelah ternak diimplan dengan zeranol (dosis 36 mg), waktu paruh zeranol dalam tubuh merupakan fungsi dari kecepatan pelepasan atau absorbsi obat, yang perlahan-lahan dilepaskan saat implantasi. Biotransformasi zeranol pada domba dan sapi yang diimplan secara subkutan dan secara oral pada tikus, anjing, dan monyet menghasilkan metabolit pertama berupa zearalanon, sedangkan metabolit pertama pada kelinci adalah teleranol, yang merupakan metabolit kedua dari domba, sapi, tikus, anjing, dan monyet. Ada asumsi bahwa oksidasi zeranol menjadi zearalanon kemungkinan dapat menjadi reaksi yang reversible, dimana secara terbalik akan menghasilkan senyawa dari kedua epimer tersebut (zeranol dan taleranol), sebagai produk dari pengurangan zearalanon dalam tubuh (Baldwin et al. 1983). Respon individu ternak yang diimplan juga mempengaruhi pemberian hormon pertumbuhan. Venamore et al. (1982) menyatakan bahwa penggunaan zeranol pada bangsa sapi yang dipelihara di Australia yaitu bangsa Bos Taurus dan Bos Indicus memiliki perbedaan yang nyata dalam pertambahan berat badan. Pertambahan berat badan sapi bangsa Bos Taurus lebih besar dibandingkan dengan sapi Bos Indicus (waktu pemeliharaan 69-112 hari) dalam kondisi bebas parasit dan ketersediaan nutrisi yang tinggi. Penelitian serupa dilakukan oleh Williams et al. (1991) pada sapi jantan bangsa Angus dan Brangus yang diimplantasi zeranol, menyimpulkan bahwa pertambahan berat badan sapi bangsa Angus yang lebih besar dibandingkan pada sapi bangsa Brangus. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perubahan komposisi tubuh yang berakibat pada peningkatan berat badan pada bangsa sapi yang berbeda, diperantarai oleh sejumlah perubahan hormonal yang terjadi, termasuk peningkatan konsentrasi hormon pertumbuhan dalam tubuh. Semua sampel yang diuji dari kedua negara dengan ELISA memperlihatkan konsentrasi hasil di bawah maximum residu limit (MRL) dari yang ditetapkan BSN. Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran
30
Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan bahwa batas kandungan zeranol pada daging adalah 2 ppb. Australia dan Selandia Baru mempunyai kerja sama dalam pengaturan standar pengembangan dan penerapan standar makanan. Sistem ini didirikan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada bulan Desember 1995 dan didasarkan pada Commonwealth, State, and Territory Agreement tahun 1991. Sistem ini terus berjalan dibawah The Food Regulation Agreement 2002 dan diimplementasikan dalam perundangan pangan di setiap negara bagian di Australia dan Selandia Baru, yang disebut sebagai The Food Standards Australia New Zealand Act 1991 of The Commenwealth of Australia (FSANZ Act). Menurut FSANZ-Amendment Nomor 78 Tahun 2005, MRL untuk zeranol adalah 20 ppb (FSANZ 2005). Nilai MRL untuk zeranol yang ditetapkan Australia sendiri sebesar 20 ppb untuk offal dan 5 ppb untuk daging (APVMA 2012). Selandia Baru dalam Animal products (contaminant specifications) notice 2008 New Zealand Food Safety Authority, menetapkan batas maksimum zeranol ditunjukkan dengan maximum permissible levels (MPL) (NZFSA 2008). Kandungan zeranol dalam MPL disajikan pada Tabel 8. Batas maksimum kandungan zeranol dalam daging yang ditetapkan oleh SNI Indonesia masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Australia dan Selandia Baru. Angka yang sama juga diterapkan di Kanada dan CAC, seperti yang tertera pada Tabel 2 yaitu 2 ppb. World Health Organization (WHO) menyatakan residu zeranol tidak melebihi batas 2 ppb dalam daging dan 10 ppb dalam hati (Nazli et al. 2005).
Tabel 8 Maximum permissible levels (MPL) zeranol di Selandia Baru MPL zeranol (ppb) 10 5 200 20
Jenis produk hewan Offal sapi, kambing, domba, dan rusa Daging, lemak, darah, dan urin sapi, kambing, domba, rusa, dan kuda Empedu sapi Empedu domba, kambing, rusa, dan kuda
Sumber: NZFSA (2008)
31
Negara Uni Eropa mengacu pada EU Directed 96/22/EC yang terbit pada 23 Mei 1996 melarang penggunaan hormon pertumbuhan di peternakan, hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak hormon pada kesehatan konsumen. Dalam EU Directed 96/22/EC, hormon pertumbuhan yang dilarang adalah stilbenes dan derivatnya, antitiroid agen, steroid, dan senyawa resorcylic acid lactones, termasuk zeranol dan beta agonis (Arvanitoyannis et al. 2005). Peraturan ini juga menggolongkan hormon pertumbuhan ini sebagai golongan A yaitu golongan substansi yang dilarang, seperti halnya dengan hormon steroid. Golongan A tersebut diberlakukan kadar zero tolerance, kecuali pada medroxyprogesteron (MPA) yang diberi batas sampai 1 µg/kg dalam lemak ginjal. Selain itu, negara Uni Eropa juga menetapkan minimum required performance limits (MPRL) pada interpretasi hasil uji metode analisis yang digunakan untuk mendeteksi substansi yang dilarang tersebut (Noppe et al. 2008). Maximum residue limit (MRL) merupakan konsentrasi residu maksimum yang diizinkan atau direkomendasikan dapat diterima dalam produk hewan (BSN 2000). Rekomendasi MRL digunakan untuk memonitor kandungan residu dalam produk hewan agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika kandungan residu dalam
produk
hewan
melampaui
MRL
dapat
diindikasikan
adanya
penyalahgunaan dari bahan kimia yang digunakan (APVMA 2008). Penerapan MRL ini berbeda dengan penerapan di Uni Eropa (UE). Pemberian perlakuan pada ternak seperti pemberian hormon pertumbuhan pada hewan yang akan disembelih untuk kebutuhan konsumsi manusia dilarang di UE. Larangan ini diperkuat dengan peraturan dan dikontrol dengan inspeksi, sedangkan di Amerika Serikat, inspeksi merupakan bagian dari monitoring dari penerapan MRL pada produk hewan yang dikonsumsi manusia yaitu daging, lemak, hati, atau ginjal. Penerapan ini diikuti oleh negara-negara pengguna hormon pertumbuhan di peternakannya (Stephany 2010). Penetapan MRL dari CAC diikuti dengan penetapan acceptable daily intake (ADI) yaitu sebesar 0-0.5 µg/kg per berat badan (CAC 2011). Angka ADI merupakan jumlah residu yang terdapat dalam makanan yang dapat dikonsumsi setiap hari tanpa menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen (APVMA 2008). Angka ini didasarkan pada dosis tertinggi yang belum menyebabkan
32
gangguan kesehatan, yang dikalikan dengan berat badan konsumen dan dibagi dengan safety factor 100. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat menetapkan ADI zeranol sebesar 125 ppb (EFSA 2007). Ahli dari Committee on Food Additive Joint FAO/WHO menetapkan ADI sebesar 35 ppb untuk konsumen dengan berat badan rata-rata 70 kg (Galbraith 2002). Penerapan ADI diikuti dengan adanya potential daily intake (PDI), yang merupakan rata-rata intake dari jaringan hewan yang ditemukan residu didalamnya. Angka untuk PDI harus lebih kecil dibandingkan dengan ADI (Squires 2003). Beberapa negara berbeda dalam menetapkan MRL dan ADI terhadap zeranol. Keadaan ini disebabkan karena penetapan MRL dan ADI bergantung pada faktor resiko yang timbul pada setiap warga negara yang bersangkutan, termasuk faktor konsumsi daging dan jeroan, berat badan, dan umur (Rasyid 2010). Zeranol mempunyai efek estrogenik yang kuat. Percobaan yang dilakukan oleh Yuri et al. (2004), dengan dosis 0.1 mg/kg zeranol yang disuntikkan pada rodensia, mendorong pubertas yang lebih cepat dan ketidakseimbangan siklus estrus pada minggu ke 8 sampai 11. Rodensia tersebut kurang menghasilkan corpora luteum, tidak ada ovulasi, dan terjadi sterilitas. Yuri et al. (2006) melaporkan bahwa zeranol memberikan efek biphasic pada pertumbuhan reseptor estrogen positif (ER positif) pada sel human breast carcinoma yaitu sel MCF-7 dan KPL-1. Zeranol menstimulasi pertumbuhan ER positif dari kedua sel tersebut pada konsentrasi rendah (<5 µM), tetapi menghambat pertumbuhan sel MCF-7 dan KPL-1 pada konsentrasi tinggi (≥50 µM), sedangkan pada sel MDA-MB 231 yaitu sel human breast carcinoma dengan
reseptor
estrogen
negatif
(ER
negatif),
zeranol
menghambat
pertumbuhannya dengan konsentrasi tinggi (>50 µM), tetapi tidak merangsang perkembangan ER negatif. Kesimpulan yang didapat dari percobaan Yuri et al. (2006) adalah zeranol mempunyai efek pada pertumbuhan ER positif pada sel human breast carcinoma dimana dosis rendah akan menstimulasi pertumbuhan sel dengan mengubah susunan sel dan dosis tinggi akan menginduksi sel untuk memblok siklus sel dan mengakibatkan apoptotik sel.
33
Zeranol dan metabolitnya akan bersaing dengan estrogen untuk mengikat active site dari reseptor estrogen pada sitoplasma dalam uterus tikus, kelenjar mamae tikus, hati sapi, dan sel kanker payudara manusia. Zeranol dan zearalenon dapat menyebabkan penghambatan dari hipotalamus dan hipofisis anterior, serta atrofi ovarium, testis, prostat, dan vesikula seminalis (Lindsay 1985). Liu (2003) dalam disertasinya, menyimpulkan bahwa aktivitas estrogenik zeranol sebagai derivat zearalenon dapat menstimulasi pertumbuhan kelenjar mamae pada heifer dan rodensia, menstimulasi proliferasi kultur sel normal payudara dan sel kultur kanker payudara. Menurut Leffers et al. (2001), zeranol dapat menstimulasi proliferasi dari jaringan payudara dan menginduksi terjadinya neoplasia hepatik. Zeranol juga dapat melintasi plasenta dan terdeteksi dalam jaringan janin. Resiko residu zeranol pada janin perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan janin laki-laki (Borazan et al. 2007). Impor daging dimaksudkan hanya untuk mendukung dan memenuhi kebutuhan daging sapi nasional yang terus meningkat, tetapi bila tidak diwaspadai hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi, semakin jauh dari harapan. Kewajiban menjaga keamanan pangan sesuai dengan amanat dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 harus terus ditingkatkan seiring dengan meningkatnya importasi daging. Hingga saat ini pengujian zeranol belum dipersyaratkan terhadap daging yang diimpor ke dalam wilayah Republik Indonesia. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/ Kpts/ OT.210/ L/12/2008 tentang Manual Pengujian Residu Hormon pada Pangan Segar Asal Hewan, hanya berupa acuan bagi petugas karantina hewan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan keamanan pangan dan memberikan pedoman dalam melakukan pengujian pangan asal hewan terhadap kemungkinan adanya residu hormon.
Ruang
lingkup
pengujiannya
terbatas
pada
senyawa TBA,
diethilstilbestrol, ractopamin, dan MGA. Pengujian untuk zeranol belum dimasukkan dalam manual pengujian. Pengujian terhadap kandungan zeranol dalam daging sangat diperlukan sebagai bentuk pengawasan terhadap keamanan pangan khususnya keamanan pangan asal hewan.