22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Media (KAM) dan Kandungan Air Relatif (KAR) Daun Dalam percobaan pendahuluan yang dilakukan untuk menentukan periode waktu yang tepat bagi perlakuan cekaman kekeringan pada ketiga aksesi hotong diperoleh hasil bahwa perlakuan cekaman kekeringan dengan penundaan penyiraman selama 14 hari merupakan waktu yang cukup tepat saat kadar air media diperkirakan terletak diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Keadaan ini ditandai setelah diberi penyiraman kembali (rewatering), tanaman perlakuan kembali segar seperti tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga aksesi hanya mengalami layu sementara dan memiliki kemampuan untuk tumbuh kembali setelah mendapat cekaman kekeringan. Dengan demikian pada 14 HSP cekaman kekeringan tanaman belum mencapai titik layu permanen, walaupun kadar air media rata-rata pada ketiga aksesi di bawah 10%.
A
KAM (%)
Aksesi 1
20
15
15
15
10
10
10
5
5
5
0
0 4
8
0 0
12 14 16
4
8
12 14 16
75
75
50
50
25
25 0
0 0
4
8 12 14 16
0
4
0
4
8
12
14
16
100 80 60 40 20 0
100
100 KAR (%)
Aksesi 3
20
0
B
Aksesi 2
20
0
4
8 12 14 16
8
12 14 16
Hari setelah perlakuan C0 ‐ ‐ ‐ ‐CK
Gambar 3 Kadar air media (KAM) (%) (A) dan kandungan air relatif (KAR) daun (%) (B) pada 0-14 HSP cekaman kekeringan dan recovery pada taraf uji 5% (DMRT). Tanda panah menunjukkan titik rewatering. Perlakuan cekaman kekeringan dengan menunda waktu penyiraman selama 14 hari pada ketiga aksesi hotong mengakibatkan penurunan KAM (Gambar 3A). Nilai rata-rata KAM pada tanaman kontrol sebesar 12,8%,
23
sedangkan pada tanaman perlakuan sebesar 7,8%, sehingga terjadi penurunan kadar air media sebesar 39,1%. Selain itu secara fisual tampak pula perbedaan antara media pada kontrol dan perlakuan cekaman kekeringan. Media pada perlakuan tampak kering di bagian permukaan sampai ke bagian yang lebih dalam. Penurunan KAM terjadi secara linear pada 14 HSP kekeringan. Penurunan KAM terbesar terjadi pada aksesi 1 sebesar 44,3% diikuti aksesi 3 sebesar 39,4% dan terendah pada aksesi 2 sebesar 28,6%.
Penurunan KAM pada aksesi 1
berbeda nyata dengan tanaman kontrol mulai terjadi pada 8-14 HSP, sedangkan pada aksesi 2 dan aksesi 3 menunjukkan berbeda nyata dengan tanaman kontrol hanya pada 14 HSP kekeringan. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan laju evaporasi lebih tinggi pada aksesi 1 dibanding pada aksesi 2 dan 3. Secara umum pada 14 HSP cekaman kekeringan nilai KAM rata-rata pada ketiga aksesi di bawah 10%. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya daya ikat air oleh komponen media sehingga terjadi kehilangan air yang cukup tinggi melalui proses evaporasi pada ketiga aksesi selama periode cekaman. Penurunan ini kemungkinan juga disebabkan oleh peningkatan laju absorpsi air oleh akar tanaman yang berkaitan dengan aktivitas metabolisme dan laju transpirasi pada tanaman (Levitt 1980). Penurunan KAM dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan aliran air pada tanaman, sehingga terjadi defisit air dan gangguan fungsi fisiologis di dalam sel tanaman. Laju aliran air dalam tanah bergantung pada 2 faktor yaitu besarnya gradien tekanan air tanah dan konduktivitas hidrolik tanah. Aliran air ini terkait dengan potensial air, potensial osmotik, dan gradien tekanan. Ketika kandungan air tanah menurun, konduktivitas hidrolik tanah menurun drastis. Penurunan ini terjadi karena adanya penguapan (Taiz & Zeiger 2002). Untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, kadar air tanah (lengas) harus berada pada kisaran tertentu. Kisaran lengas yang dapat memenuhi keperluan tanaman, terletak diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen yaitu; sebesar 55% (tanah liat), 40 % (tanah lempung), dan 15% (tanah berpasir). Jika kadar air
24
media kurang dari kisaran tersebut maka media harus diairi karena air tersedia bagi kebutuhan tanaman tidak terpenuhi (Hanafiah 2007). Secara umum KAM berkorelasi positif dengan KAR daun (Lampiran 1) pada ketiga aksesi terutama pada 14 HSP kekeringan. Dengan demikian penurunan KAM akibat perlakuan kekeringan menyebabkan penurunan KAR daun secara nyata pada ketiga aksesi (Gambar 3B) dengan pola yang hampir sama dengan penurunan KAM (Gambar 3A). Penurunan KAR daun dari ketiga aksesi secara berturut-turut adalah: aksesi 2 sebesar 44,6%, aksesi 1 sebesar 43,7%, dan aksesi 3 sebesar 40,9%. Penurunan KAR daun secara tajam ini mungkin disebabkan oleh laju transpirasi yang jauh lebih besar dari pada laju penyerapan air oleh akar. Penurunan KAR daun juga diikuti oleh penurunan turgor daun yang ditandai dengan proses pelayuan daun sejak 8-14 HSP cekaman kekeringan (Lampiran 4). Proses pelayuan ini meyebabkan terjadinya penggulungan daun pada ketiga aksesi yang merupakan salah satu mekanisme tanaman menghindari cekaman kekeringan (hidronasti). Penggulungan daun terjadi karena proses pengkerutan sel bulliform yang berfungsi untuk melindungi jaringan dibawahnya agar tidak mengalami kerusakan akibat kehilangan air yang lebih besar (Fahn 1990). KAR daun pada 14 HSP kekeringan secara umum berkorelasi positif dengan beberapa parameter lainnya seperti luas daun, kerapatan stomata, tebal mesofil, Fv/Fm, qP, qY, dan bobot kering biji pada ketiga aksesi (Lampiran 1). Penurunan KAR daun ini mungkin menyebabkan penurunan konduktansi stomata dan bertambahnya tahanan mesofil terhadap difusi CO2 ke dalam kloroplas mesofil, sehingga mempengaruhi perubahan laju fotosintesis dan proses metabolisme dasar lainnya (Kramer 1995). Hal ini berkontribusi terhadap penurunan produksi pada ketiga aksesi yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan. Penyiraman kembali (rewatering) dapat meningkatkan KAM (hari ke-16) yang diikuti oleh peningkatan KAR daun. Setelah 2 hari recovery, nilai KAM dan KAR daun meningkat dan tanaman perlakuan kembali segar seperti tanaman
25
kontrol. Peningkatan KAR daun diperlukan untuk perbaikan tanaman dari kerusakan akibat perlakuan cekaman kekeringan. Fusiana (1997) dan Violita (2007) telah melakukan penelitian pada tanaman padi gogo, kedelai, dan jagung bahwa pemberian air kembali pada tanaman yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan dapat meningkatkan KAM dan KAR daun hingga mencapai nilai yang sama pada level kontrol. Air sebagai komponen utama tanaman dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk transportasi air dan hara. Pada kondisi ini tanaman telah mampu menjaga keseimbangan gradien potensial osmotik antara media-akar dan tajuk (Taiz & Zeiger 2002).
Respon Umum Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan selama 14 hari berpengaruh nyata terhadap luas daun, tinggi tajuk, panjang akar (Tabel 1), bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering biji (Tabel 2). Dari Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan cekaman kekeringan secara umum menyebabkan penurunan luas daun dan tinggi tajuk pada ketiga aksesi. Penurunan luas daun dari ketiga aksesi pada 14 HSP kekeringan rata-rata sebesar 34,5% dan menunjukkan perbedaan nyata antara tanaman kontrol dan perlakuan. Penurunan luas daun tidak berbeda nyata antar aksesi, akan tetapi cenderung rendah pada aksesi 3. Penurunan ini juga ditunjukkan melalui pengamatan kuantitatif dan kualitatif karakter anatomi.
Penurunan luas daun merupakan respon pertama
tanaman terhadap cekaman kekeringan. Penurunan luas daun pada ketiga aksesi secara umum berkorelasi positif dengan parameter fotosintesis (Fv/Fm, qP, & qY) pada 14 HSP kekeringan (Lampiran 1). Keterbatasan air akibat penurunan KAM dan KAR daun akan mengakibatkan penurunan tekanan turgor sel. Hilangnya turgiditas sel akan menghambat pembelahan dan perkembangan sel terutama pada aksesi 2, yang secara perlahan-lahan akan menghambat perkembangan luas daun (Salisbury & Ross 1992).
26
Penurunan luas daun pada ketiga aksesi penting untuk meminimalisir kehilangan air melalui transpirasi selama periode cekaman agar potensial air sel tetap terjaga, namun berpengaruh negatif terhadap laju fotosintesis. Selama cekaman kekeringan, laju pertumbuhan dan perkembangan daun muda terhambat, terjadi pengkerutan sel dan proses senesensi yang diikuti pengguguran daun tua, sehingga menyebabkan reduksi area fotosintesis, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap penurunan produksi tanaman. (Salisbury & Ross 1992). Keadaan ini disebabkan oleh kurangannya suplai air yang dibutuhkan untuk proses metabolisme dan fisiologi (pemelaran & pemanjangan sel) selama fase pertumbuhan tanaman. Tabel 1 Pengaruh cekaman kekeringan terhadap luas daun, tinggi tajuk, dan panjang akar ketiga aksesi hotong pada 14 hari setelah perlakuan cekaman kekeringan Variabel
Aksesi 1
Pengamatan Kontrol
Aksesi 2
Aksesi 3
Cekaman
Kontrol
Cekaman
Kontrol
Cekaman
34,6 ± 1,8a
22,9 ± 1,7b
32,4 ± 1,7a
20,8 ± 1,0b
32,8 ± 2a
21,8 ± 1,7b
TT (cm)
46,4 ± 2,7a
28,1 ± 3,8b
43,0 ± 4,7a
29,6 ± 3,1b
43,4 ± 5,6a
26,7 ± 2,3b
PA (cm)
19,3 ± 1,4ab 22,3 ± 0,9a
18,4 ± 1,7ab
22,3 ± 4,1a
16,7± 2,9b
21,9 ± 1,6a
2
LD (cm )
LD: luas daun, TT: tinggi tajuk, PA: panjang akar. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing baris tidak berbeda nyata antara tanaman kontrol dan perlakuan pada taraf uji 5% (DMRT). Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan daun muda menyebabkan penurunan tinggi tajuk pada ketiga aksesi. Penurunan ini secara berturut-turut adalah: sebesar 39,6% (aksesi 1), 38,6% (aksesi 2), dan 31,1% (aksesi 3) atau rata-rata sebesar 36,4% dibanding tanaman kontrol. Penurunan tinggi tajuk ini tidak berbeda nyata antar aksesi, sehingga tidak menunjukkan adanya perbedaan respon yang khas antar aksesi yang dapat digunakan sebagai indikator toleran atau peka terhadap perlakuan cekaman kekeringan. Berbeda dengan tajuk, akar justru cenderung lebih panjang pada tanaman perlakuan. Penurunan KAM hingga akhir periode cekaman (14 HSP) berkorelasi negatif terhadap panjang akar, sebaliknya panjang akar berkorelasi positif (0,77) dengan peningkatan akumulasi prolin pada
27
ketiga aksesi (Lampiran 1). Dengan demikian perlakuan cekaman kekeringan menginduksi peningkatan akumulasi prolin yang diduga mempengaruhi peningkatan panjang akar pada ketiga aksesi dengan adanya sinyal kimia yang dikendalikan oleh asam absisat (ABA) (Comstock 2002). Peningkatan panjang akar berbeda nyata antara tanaman kontrol dan perlakuan pada aksesi 3, sedangkan pada aksesi 1 dan 2 relatif sama dengan tanaman kontrolnya. Peningkatan panjang akar tertinggi terjadi pada aksesi 3 sebesar 24% dan terendah pada aksesi 1 sebesar 13,5%. Tabel 2 Pengaruh cekaman kekeringan terhadap bobot kering tajuk dan akar dan bobot kering biji ketiga aksesi hotong Variabel
Aksesi 1
Pengamatan
Kontrol
Cekaman
Aksesi 2 Kontrol
Cekaman
Aksesi 3 Kontrol
Cekaman
………………………..… (g) …………………………… BKT/pot
16,6 ± 4,3a
8,3 ± 1,9bc
12,5 ± 1,8ab
9,2 ± 0,9bc
8,2 ± 1,8bc
4,5 ± 1,5c
BKA/pot
3,1 ± 0,4a
2,0 ± 0,4ab
1,8 ± 0,3b
1,6 ± 0,4bc
1,1 ± 0,3cd
0,7 ± 0,2d
BKB/pot
9,3 ± 1,5ab
6,3 ± 2,3bc
11,0 ± 1,7a
5,1 ± 0,4c
9,1 ± 1,2ab
7,6 ± 0,4bc
BKT: bobot kering tajuk, BKA: bobot kering akar, BKB: bobot kering biji. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing baris tidak berbeda nyata antara tanaman kontrol dan perlakuan pada taraf uji 5% (DMRT). Perbedaan peningkatan panjang akar pada ketiga aksesi ini menunjukkan bahwa aksesi 3 memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik terhadap cekaman kekeringan dengan nilai R2 sebesar 0,71 (Lampiran 2C) dibanding aksesi 1 dan 2. Aksesi 3 mampu memanfaatkan senyawa prolin yang terakumulasi selama periode cekaman untuk menunjang pertumbuhan akarnya guna meningkatkan penyerapan air pada zona yang lebih lembab. Akumulasi prolin di daun akan ditranspor ke akar sebagai sumber energi utama untuk merangsang pertumbuhan ujung akar. Proses ini dapat terlihat dari laju peningkatan konsentrasi dan deposit prolin pada zona pemanjangan akar primer tanaman jagung pada kondisi potensial air rendah (Voetberg & Sharp 1991). Namun peningkatan panjang akar pada ketiga aksesi hanya terjadi secara vertikal dan tidak diimbangi dengan pertambahan volume akar, sehingga
28
mempengaruhi bobot kering akar pada tanaman perlakuan yang lebih rendah dibanding kontrol. Walaupun tidak dilakukan pengukuran pertumbuhan akar lateral secara kuantitatif, hal ini dapat diamati pada morfologi akar ketiga aksesi yang mendapat perlakuan kekeringan pada akhir periode cekaman kekeringan (Lampiran 5). Penghambatan pertumbuhan tajuk dan peningkatan panjang akar selama cekaman kekeringan ini mempengaruhi keseimbangan antara pertumbuhan akar dan tajuk. Menurut Violita (2007), ketidakseimbangan pertumbuhan akar dibanding tajuk selama cekaman kekeringan mempengaruhi rasio akar terhadap tajuk yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Ketidakseimbangan pertumbuhan ini terkait dengan distribusi fotosintat yang dibutuhkan organ tanaman untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya (Srivastava 2002). Tajuk akan tumbuh hingga terbatasnya penyerapan air oleh akar tanaman untuk pertumbuhan selanjutnya, sebaliknya akar akan tumbuh hingga permintaan fotosintat dari tajuk sama dengan suplai fotosintat ke tajuk. Peningkatan panjang akar pada ketiga aksesi akibat cekaman kekeringan ini merupakan respon terhadap kondisi kekeringan yang terkait dengan kemampuan akar untuk memperoleh air tanah pada zona yang lebih dalam (Karyudi & Fletcher 2003). Akar pada tanaman yang terpapar kondisi kekeringan berfungsi sebagai sensor utama terhadap cekaman kekeringan. Perubahan kadar air tanah akan menyebabkan perubahan metabolisme akar seperti penurunan produksi sitokinin, peningkatan produksi ABA, dan gangguan metabolisme nitrogen yang akan mengirim sinyal kimia ke tajuk. Sinyal ini diduga menginduksi akumulasi senyawa-senyawa pertahanan di daun sehingga terjadi perubahan-perubahan pada tanaman seperti penurunan pertumbuhan, konduktansi stomata, dan laju fotosintesis tanpa memperhatikan status air daun, namum disisi lain menginduksi pertumbuhan akar pada beberapa species tanaman budidaya (Kramer 1995). Penghambatan pertumbuhan selama periode cekaman kekeringan ini menyebabkan penurunan produksi pada ketiga aksesi hotong. Penurunan produksi ini dapat diamati baik dari parameter produksi bahan kering yaitu bobot kering
29
tajuk dan akar maupun bobot kering biji (Tabel 2). Tanaman hotong yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan memiliki bobot kering tajuk dan akar lebih rendah dibanding tanaman kontrol. Penurunan bobot kering tajuk dan akar terbesar terjadi pada aksesi 1 dan yang terendah pada aksesi 2. Penurunan ini berbeda nyata dengan tanaman kontrol pada aksesi 1, sedangkan pada aksesi 2 dan 3 relatif sama dengan tanaman kontrolnya. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi dan akumulasi fotosintat untuk menunjang pertumbuhan tajuk dan akar pada aksesi 2 dan 3 selama periode cekaman relatif seimbang, sehingga dapat mempertahankan bobot kering tanaman dengan nilai yang relatif sama dengan tanaman kontrolnya. Perbedaan respon ini kemungkinan juga di pengaruhi oleh perbedaan genetik antar ketiga aksesi. Bobot kering merupakan parameter pertumbuhan yang baik untuk mengamati pengaruh cekaman kekeringan. Bobot kering merupakan akumulasi fotosintat tanaman selama pertumbuhannya (Levitt 1980). Penurunan bobot kering ini mungkin terkait dengan penurunan laju fotosintesis pada ketiga aksesi selama periode cekaman kekeringan. Hal ini terjadi karena ketidakseimbangan transpor hara dan distribusi fotosintat ke seluruh bagian tanaman akibat penurunan KAM sehingga mempengaruhi proses transpor hara dan distribusi fotosintat. Penurunan bobot kering biji secara nyata terjadi pada aksesi 2, sedangkan pada aksesi 1 dan 3 relatif sama dengan tanaman kontrolnya. Penurunan bobot kering biji pada ketiga aksesi berturut-turut adalah aksesi 2 sebesar 53,6%, aksesi 1 sebesar 32,3%, dan aksesi 3 sebesar 16,5%.
Secara umum parameter
fotosintesis (Fv/Fm, qP, dan qY) pada 14 HSP kekeringan berkorelasi positif dengan bobot kering biji pada ketiga aksesi (Lampiran 1). Hal ini membuktikan bahwa penurunan laju fotosintesis akibat perlakuan cekaman kekeringan selama 14 hari pada ketiga aksesi menyebabkan terjadinya penurunan bobot kering biji terutama pada aksesi 2. Tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan dapat mencegah terjadinya penurunan produksi yang tajam dan mampu mempertahankan produksinya relatif sama dengan tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi normal tanpa cekaman kekeringan (Hamim 1995) yang terjadi pada
30
aksesi 1 dan 3. Selain itu aksesi 1 dan 3 cenderung mempertahankan stabilitas struktur anatominya terutama pada daun (tebal daun & mesofil) dibanding aksesi 2 (Tabel 4). Perubahan anatomi daun yang di amati pada 14 HSP kekeringan terutama pada lapisan mesofil berkorelasi positif (0,86) terhadap penurunan luas daun pada ketiga aksesi (Lampiran 1). Perubahan ini menyebabkan reduksi area permukaan daun sehingga menghambat difusi CO2 kedalam daun yang bergantung pada ukuran ruang sel mesofil (Wise & Naylor 1987). Penurunan stabilitas struktur anatomi daun ini secara langsung
mempengaruhi proses
metabolisme tanaman. Dengan sendirinya akan menurunkan fotosintat tanaman akibat penurunan laju fotosintesis dan nantinya akan berpengaruh
terhadap
produksi tanaman itu sendiri. Penurunan KAM mempengaruhi translokasi fotosintat dari source ke sink. Kurangnya suplai air ke daun meyebabkan karbohidrat yang di hasilkan di daun disimpan sementara dalam bentuk pati karena tidak dapat di hidrolisis dan di translokasikan ke jaringan tanaman yang lain terutama ke biji sebagai pusat sink, dengan sendirinya produksi tanaman akan menurun (Srivastava 2002). Disisi lain, ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan, karbohidrat dan bahan organik lain
akan dirombak untuk mempertahankan potensial osmotik lebih negatif
(osmotic adjusment) sehingga berpengaruh terhadap penurunan bobot kering tanaman (Salisbury & Ross 1992).
Parameter Anatomi Daun, Batang, dan Akar Pengamatan terhadap stabilitas struktur anatomi dilakukan terhadap daun, batang, dan akar ketiga aksesi hotong pada 14 HSP. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan cekaman kekeringan terhadap stabilitas struktur anatomi dari ketiga aksesi. Secara umum berdasarkan hasil analisis ragam, cekaman kekeringan selama 14 hari secara nyata menyebabkan
perubahan
stabilitas struktur anatomi daun, batang, dan akar pada ketiga aksesi. Perubahan terbesar terjadi pada daun baik secara kuantitatif (Tabel 3 & 4) maupun kualitatif (Gambar 4A, B, G & H).
31
Tabel 3 Pengaruh cekaman kekeringan terhadap kerapatan dan indeks stomata pada lapisan epidermis daun bagian atas dan bawah ketiga aksesi hotong pada 14 hari setelah perlakuan cekaman kekeringan Variabel
Aksesi 1
Aksesi 2
Aksesi 3
Pengamatan
Kontrol
Cekaman
Kontrol
Cekaman
Kontrol
Cekaman
2
120,6ab
118,4ab
140,4a
109,6b
140,4a
138,2ab
2
157,9a
120,6ab
155,7a
107,5b
155,7a
129,4ab
KSEA (mm ) KSEB (mm ) ISEA (%)
15,0b
19,4a
19,0a
17,2ab
17,2ab
20,6a
ISEB (%)
18,9a
17,8a
18,7a
19,4a
17,6a
17,9a
KSEA dan KSEB: kerapatan stomata pada lapisan epidermis daun bagian atas dan bawah, ISEA dan ISEB: indeks stomata pada lapisan epidermis daun bagian atas dan bawah. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing baris tidak berbeda nyata antara tanaman kontrol dan perlakuan pada taraf uji 5% (DMRT). Secara umum penurunan KAR daun pada ketiga aksesi hingga akhir periode cekaman (14 HSP) berkorelasi positif terhadap kerapatan stomata terutama pada lapisan epidermis daun bagian bawah (0,74) (Lampiran 1). Penurunan KAR daun selama periode cekaman menyebabkan hilangnya turgiditas sel, sehingga mempengaruhi stabilitas struktur anatomi pada ketiga aksesi hotong yang ditandai dengan penurunan kerapatan stomata pada lapisan epidermis daun bagian atas maupun bawah terutama pada aksesi 2. Kerapatan stomata pada aksesi 1 dan 3 cenderung lebih stabil dibanding aksesi 2. Hal ini menunjukkan bahwa aksesi 1 dan 3 lebih tahan terhadap perlakuan cekaman kekeringan dibanding aksesi 2. Penurunan kerapatan stomata pada aksesi 2 diduga berpengaruh terhadap laju fotosintesis yang di tunjukkan melalui penurunan parameter fotosintesis yang berkontribusi terhadap penurunan produksinya (Tabel 2) dibanding aksesi 1 dan 3. Morfologi dan anatomi daun termasuk kerapatan dan indeks stomata, mungkin berpengaruh dan berhubungan dengan pertukaran gas dan faktor lingkungan seperti cahaya, status air, dan konsentrasi CO2. Penurunan KAM dan KAR daun pada aksesi 2 lebih rendah dibanding aksesi 1 dan 3. Pemanfaatan air pada aksesi 2 untuk aktivitas fisiologis (transpirasi) dan proses metabolisme yang
32
cukup efisien diduga
berkaitan dengan penurunan jumlah stomata karena
kurangnya air yang dibutuhkan untuk pembelahan dan pemelaran sel. Selain itu, respon aksesi 2 terhadap penyerapan cahaya mungkin tinggi, dan ini menunjukkan bahwa
aktivitas
fotosintetisnya
mungkin
melibatkan
pergerakan
dan
perkembangan stomata (Roelfsema et al. 2006; Shimazaki et al. 2007). Keseimbangan antara suplai karbon untuk fotosintesis dan transpirasi melalui stomata mungkin secara spontan mempengaruhi efisiensi penggunaan air pada aksesi 2 sehingga mempengaruhi perkembangan selnya termasuk
stomata.
Penurunan kerapatan stomata pada aksesi 2 menunjukkan bahwa keseimbangan perkembangan
luas
daun
dan
jaringannya
mungkin
berkaitan
dengan
pembentukan sel penjaga pada kondisi status air yang rendah (Galmes et al. 2007).
Tabel 4 Pengaruh cekaman kekeringan terhadap struktur anatomi daun, batang, dan akar ketiga aksesi hotong pada 14 hari setelah perlakuan cekaman kekeringan Variabel
Aksesi 1
Pengamatan
Kontrol
Aksesi 2
Cekaman
Kontrol
Cekaman
Aksesi 3 Kontrol
Cekaman
………………………….. (µm) …………………………. Tebal tulang utama
556,7a
356,7b
513,3a
406,7b
536,7a
413,3b
Tebal tulang lamina
206,7a
180b
203,3a
176,7b
183,3a
173,3a
Tebal daun
133,3a
86,7b
156,7a
96,7b
133,3a
83,3b
Tebal Mesofil
95,3b
47,3d
110,7a
51,0d
76,3c
42,0d
Tinggi bulliform
43,3ab
34,2b
41,7b
22,0c
54,2a
43,3ab
Diameter xilem TU
46,6a
32,6b
38,0b
35,8b
37,0b
36,0b
Diameter xilem TL
46,6a
32,6b
38,0b
35,8b
37,0b
36,0b
DX. batang
26,0c
25,0c
30,2b
28,5bc
35,3a
31,5b
DX. akar
65,4b
65,8b
73,8a
66,7b
76,3a
63,8b
TU: tulang daun utama, TL: tulang daun pada lamina, DX: diameter xilem. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing baris tidak berbeda nyata antara tanaman kontrol dan perlakuan pada taraf uji 5% (DMRT). Menurut Zhou dan
Xu (2008), ada respon non linear dari kerapatan
stomata terhadap potensial air daun, yaitu terjadinya peningkatan kerapatan
33
stomata 765 mm2 ketika potensial air daun -1,78 MPa pada tahap awal cekaman. Pada tahap selanjutnya, kerapatan stomata meningkat hingga 797 mm2 dengan menurunnya potensial air daun dari -2,50 sampai -1,67 MPa, begitupun pada indeks stomata, tetapi hubungan itu lebih rendah dibanding dengan kerapatan stomata. Zhang et al. (2006) menambahkan bahwa kerapatan stomata daun berkorelasi positif dengan konduktansi stomata terhadap laju transpirasi dan laju asimilasi CO2 neto, sebaliknya laju transpirasi meningkat dengan meningkatnya jumlah stomata, tetapi tidak signifikan. Respon efisiensi penggunaan air (asimilasi CO2 & transpirasi) pada kondisi cekaman kekeringan menunjukkan korelasi positif antara kerapatan stomata dengan efisiensi penggunaan air (Zhou & Xu 2008). Berdasarkan hal ini diduga bahwa kestabilan kerapatan dan indeks stomata pada aksesi 1 dan 3 berkaitan dengan peningkatan laju transpirasi dan asimilasi CO2, sehingga KAM dan KAR daun pada kedua aksesi ini lebih rendah dibanding aksesi 2. Hubungan antara kerapatan stomata, konduktansi stomata, dan asimilasi CO2 pada kondisi cekaman kekeringan menunjukkan bahwa konduktansi stomata, dan asimilasi CO2 berkaitan dengan kerapatan stomata pada kondisi status air yang rendah, karena kerapatan stomata mungkin berperan penting di dalam pertukaran CO2 saat terjadi cekaman kekeringan (Zhang et al. 2003). Perubahan stabilitas struktur anatomi ini juga ditandai dengan penurunan tebal tulang daun utama, tebal tulang daun pada lamina, tebal daun, tebal mesofil, dan diameter xilem pada tulang daun utama maupun tulang daun pada lamina. Perubahan terbesar terjadi pada aksesi 1 dan 2. Hal ini mungkin di sebabkan oleh defisit air akibat penurunan KAM dan KAR daun (aksesi 1), efisiensi penggunaan air (aksesi 2) untuk aktivitas fisiologis dan metabolisme dasar lainnya mempengaruhi penurunan tekanan turgor sel. Penurunan turgor sel ini selanjutnya akan menghambat proses pemanjangan dan pemelaran sel (Salisbury & Ross 1992), akibatnya terjadi pengkerutan sel yang tidak dapat balik (Sakurai & Kuraishi 1988). Fenomena ini juga menyebabkan penurunan jumlah stomata,
34
reduksi area permukaan daun, dan penggulungan daun yang berbeda nyata pada aksesi 2. Menurut Wise dan Naylor (1987), cekaman kekeringan menyebabkan perubahan struktur anatomi dan ultrastruktur sel antara lain menurunkan tebal daun, tebal mesofil, jumlah kloroplas, perubahan orientasi tilakoid dan peningkatan tebal dinding sel. Penurunan ukuran diameter xilem pada daun tanaman perlakuan lebih besar dibanding pada batang dan akar. Perubahan ini kemungkinan disebabkan oleh tekanan akar (tekanan akar lebih negatif dibanding tajuk) sehingga mempengaruhi ukuran diameter xilem pada daun yang telihat agak pipih (Gambar 4B). Hal ini menunjukkan bahwa konduktivitas hidrolik xilem pada batang dan akar masih cukup baik. Menurut Radwan (2007), xilem dengan diameter yang besar memiliki konduktivitas air di dalam xilem lebih baik dan cepat prosesnya dibanding xilem yang berdiameter kecil. Perubahan karakteristik anatomi daun ini di pengaruhi oleh besarnya tingkat cekaman yang dialami pada fase pertumbuhan tanaman.
Kualitatif Anatomi Daun, Batang, dan Akar Perubahan struktur anatomi juga dapat diamati secara kualitatif (Gambar 4A-H). Pengamatan secara kualitatif terhadap sayatan melintang daun pada ketiga aksesi hotong menunjukkan susunan struktur anatomi daun yang sama yaitu dari permukaan bagian atas adalah lapisan epidermis atas, sel bulliform yang menyatu dengan sel epidermis atas, sel mesofil, bundle sheat dan jaringan pembuluh, dan lapisan epidermis bawah (Gambar 4A). Pengamatan secara kualitatif menunjukkan perubahan yang nyata antara daun tanaman kontrol dengan perlakuan kekeringan (Gambar 4A, B, G, & H). Sedangkan pada batang dan akar tanaman perlakuan tidak mengalami perubahan yang nyata seperti pada daun (Gambar 4C-F). Dari Gambar 4Bb menunjukkan terjadinya pengkerutan sel bulliform. Sel ini tidak atau sedikit mengandung kutikula, sehingga hilangnya air melalui transpirasi berlangsung lebih cepat dibanding sel epidermis. Perubahan ini merupakan respon tanaman terhadap
35
cekaman kekeringan untuk mengurangi transpirasi dan mempertahankan KAR daun (Salisbury & Ross 1992). A
B
b
a d
C
c
e
c
b
50 µm E
D
50 µm
50 µm
F
50 µm
G
H
g
g f
f 100 µm
100 µm
100 µm
100 µm
Gambar 4 Sayatan transversal daun, batang, dan akar dan sayatan paradermal daun ketiga aksesi hotong kontrol dan perlakuan pada 14 HSP cekaman kekeringan. Struktur anatomi daun tanaman kontrol (A) dan cekaman (B), xilem akar tanaman kontrol (C) dan cekaman (D), xilem batang tanaman kontrol (E) dan cekaman (F), stomata pada epidermis atas tanaman kontrol (G) dan cekaman (H). Sel epidermis atas (a), sel bulliform (b), sel mesofil (c), bundle sheat dan jaringan pembuluh (d), epidermis bawah (e), stomata (f), dan sel panjang (g). Tanda panah adalah xilem. Daun dan akar perbesaran 400x. Batang perbesaran 1000x. Penurunan KAR daun selama periode cekaman mungkin mempengaruhi pengecilan ukuran sel pada ketiga aksesi terutama pada daun (Gambar 4A, B, G, & H). Pengecilan ukuran sel terutama ukuran diameter xilem pada daun diduga menyebabkan gangguan terhadap proses penyerapan air sehingga tanaman mengalami penurunan turgor dan layu. Proses pelayuan dan penggulungan daun merupakan respon utama tanaman terhadap kondisi rawan air akibat cekaman kekeringan, dan secara fisual mulai tampak pada 8 HSP hingga akhir periode cekaman (Lampiran 4). Penggulungan daun terjadi karena proses pengkerutan sel bulliform (Gambar 4Bb) yang berfungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya agar tidak mengalami kerusakan akibat kehilangan air yang lebih besar.
36
Secara umum penurunan tebal lapisan mesofil pada ketiga aksesi pada 14 HSP kekeringan berkorelasi positif dengan parameter fotosintesis terutama qP (0,83), dan qY (0,84) (Lampiran 1). Pengecilan ukuran sel mesofil (Gambar 4Bc) diduga
mempengaruhi tahanan
mesofil terhadap difusi CO2, sehingga
mempengaruhi perubahan laju fotosntesis terutama pada aksesi 1 dan 2 (Gambar 5A-D). Perubahan struktur anatomi daun terbesar terjadi pada aksesi 2 dibanding aksesi 1 dan 3 (Tabel 3 & 4), sehingga menurunkan laju fotosintesisnya dan tidak mampu mempertahankan produksi setara dengan tanaman kontrolnya (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa aksesi 2 peka terhadap perlakuan cekaman kekeringan dibanding aksesi 1 dan 3. Pengamatan pada epidermis daun menunjukkan bahwa ketiga aksesi hotong memiliki stomata pada kedua lapisan epidermis daun bagian atas maupun bawah yang disebut amfistomatik dan diduga berkaitan dengan laju transpirasi dan asimilasi CO2. Sel penjaga memanjang berbentuk halter dan tersusun dalam deretan yang sejajar (Gambar 4G & H). Ujung sel penjaga berdinding tipis dan bagian tengah memanjang berdinding tebal dengan lumen sel menyempit. Bentuk anatomi stomata ini berperan sebagai unit fisiologis tunggal yaitu sel penjaga dengan segera akan merapat ketika terjadi perubahan tekanan turgor akibat penurunan kadar air tanah (Fahn 1990). Cekaman kekeringan juga menyebabkan ukuran stomata dan sel panjang pada tanaman perlakuan terlihat lebih kecil dan tipis dibanding kontrol (Gambar 4Hg & h). Pengecilan ukuran stomata dan sel panjang ini disebabkan oleh pengkerutan sel yang merupakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan untuk meminimalisir kehilangan air melalui transpirasi dan meningkatkan efisiensi asimilasi CO2 (Zhou & Xu 2008). Parameter Fotosintesis Parameter fotosintesis yang diamati menggunakan alat chlorophyll fluorescence untuk mengetahui tingkat efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP), dan non fotokimia (qN), dan hasil
37
kuantum fotosintesis (qY). Parameter-parameter ini mencirikan tingkat perubahan aktivitas laju fotosintesis (Pn) akibat cekaman abiotik termasuk cekaman kekeringan (Maxwell dan Johnson 2000). Rasio Fv/Fm menunjukkan hasil kuantum maksimum pada reaksi fotokimia utama ketika daun diadaptasi gelap, pada dasarnya tidak mengalami perubahan pada ketiga aksesi dan menunjukkan nilai yang hampir sama dan tidak berbeda nyata antara tanaman perlakuan dan kontrol kecuali pada akhir periode cekaman yaitu pada 14 HSP (Gambar 5A). Cekaman kekeringan menginduksi peningkatan F0 yang disertai penurunan Fm pada ketiga aksesi. Peningkatan F0 menandai inaktivasi PSII, sedangkan penurunan Fv mungkin menandai peningkatan disipasi energi melalui proses qN atau penghambatan terhadap PSII (Horton et al. 1996). Penurunan rasio Fv/Fm terbesar terjadi pada aksesi 3 sebesar 31% dan terendah pada aksesi 1 sebesar 24%, namun tidak berbeda nyata antar aksesi. Penurunan rasio Fv/Fm pada akhir periode cekaman menjelaskan bahwa cekaman kekeringan pada 14 HSP diduga menyebabkan terjadinya kerusakan piranti fotosintesis. Kerusakan piranti fotosintesis kemungkinan pada pusat reaksi PSII akibat terjadinya fotoinhibisi kronis yang menyebabkan fotoinaktivasi PSII dan diduga disebabkan oleh kerusakan protein D1 (Genty et al. 1989). Penurunan KAR daun selama periode cekaman ini menyebabkan terjadi penurunan laju fotosintesis (down regulation) pada ketiga aksesi, sehingga terjadi penurunan hasil kuantum transfer elektron fotosintesis (qY). Parameter qP menggambarkan bahwa terjadinya penurunan Pn dengan menurunnya suplai CO2 yang diduga akibat penutupan stomata. Penurunan qP pada akhir periode cekaman (14 HSP) secara umum berkorelasi positif dengan penurunan KAM, KAR daun, luas daun, kerapatan stomata,dan tebal mesofil pada ketiga aksesi (Lampiran 1). Dengan demikian, terjadinya penurunan Pn tidak saja disebabkan oleh berkurangnya CO2 intrasel, tetapi juga disebabkan oleh kekurangan air akibat cekaman kekeringan itu sendiri dan reduksi area permukaan daun untuk berlangsungnya proses fotosintesis. Ketika suplai air ke daun berkurang, maka air yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis juga berkurang,
38
terutama untuk reaksi fotolisis. Fenomena ini mempengaruhi aliran elektron dan pelepasan energi untuk reaksi fotokimia yang ditandai dengan penurunan qP pada ketiga aksesi (Gambar 5B).
A
Fv/Fm (µmol m-2 s-1)
Aksesi 1 0.8
0.8
0.6
0.6
0.6
0.4
0.4
0.4
0.2
0.2
0.2
0
0
qP (µmol m-2 s-1) qN (µmol m-2 s-1) qY (µmol m-2 s-1)
8
12 14 16
0 0
4
8
12 14 16
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 4
8
12 14 16
0
4
8
12
14
16
1
1 0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.4
0.2
0.2
0.2
0
0
0.8 0.6
4
8
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
4
8
12
14
16
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
4
8
12 14 16
4
8
12
14
16
0
4
8
12
14
16
0
4
8
12
14
16
0
4
8
12
14
16
0 0
12 14 16
0
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
0.8
1
0
D
4
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
C
Aksesi 3
0.8
0
B
Aksesi 2
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
4
8
12
14
16
Hari setelah perlakuan C0 ‐ ‐ ‐ ‐ CK
Gambar 5
Parameter fotosintesis pada 0-14 HSP cekaman kekeringan dan recovery pada taraf uji 5% (DMRT). efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm) (A), reaksi fotokimia (qP) (B), reaksi non fotokimia (qN) (C), dan hasil kuantum fotosintesis (qY) (D). Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
Kaiser dan Werner (1987) melaporkan bahwa, pada cekaman kekeringan sedang konsentrasi CO2 intrasel tetap tinggi, tetapi laju fotosintesis terhambat
39
yang kemungkinan disebabkan oleh kurangnya suplai air ke daun untuk proses fotosintesis. Penurunan qP pada ketiga aksesi secara berturut-turut: aksesi 2 sebesar 77% (0,2 µmol m-2 s-1), aksesi 1 sebesar 72% (0,3 µmol m-2 s-1), dan terendah pada aksesi 3 sebesar 59% (0,4 µmol m-2 s-1) dibanding tanaman kontrol (0,9 µmol m-2 s-1). qP menurun secara tajam, mulai terjadi pada 4-14 HSP cekaman kekeringan. Penurunan ini dikompensasi dengan disipasi energi berupa panas (bahang) melalui proses
non
fotokimia (qN), sehingga
nilai qN
meningkat pada ketiga aksesi selama periode cekaman. Rata-rata peningkatan nilai qN terjadi sejak 4-14 HSP cekaman kekeringan dan tertinggi terjadi pada aksesi 3 sebesar 61%, sedangkan terendah pada aksesi 1 sebesar 45%. Peningkatan qN merupakan suatu mekanisme pertahanan tanaman dengan melakukan regulasi efisiensi fotosintesis pada PSII untuk melindungi piranti fotosintesis dari kerusakan akibat cekaman kekeringan dan cahaya berlebihan. Proses ini melibatkan perubahan gradien pH dan siklus xantophyll (Schreiber et al. 1986), sehingga menginduksi peningkatan akumulasi asam askorbat (ASA) pada ketiga aksesi selama periode cekaman. Jika pelepasan energi dalam bentuk panas ini masih belum mampu mengurangi kelebihan energi, maka akan terjadi fotoinhibisi. Parameter qY menggambarkan hasil kuantum dari transfer elektron sebagai suatu ukuran dari total efisiensi maksimum fotosintesis pada PSII (Gambar 5D).
Penurunan qY dari hasil fotokimia terjadi bersamaan dengan
penurunan qP dengan pola yang sama. Penurunan qY pada akhir periode cekaman (14 HSP) tertinggi pada aksesi 2 sebesar 96% (0,04 µmol m-2 s-1), aksesi 1 sebesar 89% (0,05 µmol m-2 s-1), dan terendah pada aksesi 3 sebesar 75% (0,1 µmol m-2 s1
) atau rata-rata sebesar 87% dibanding tanaman kontrol (0,48 µmol m-2 s-1).
Rendahnya penurunan qY dan tingginya qN selama cekaman kekeringan pada aksesi 3 dibandingkan dengan kedua aksesi lainnya memberi gambaran bahwa aksesi 3 memiliki ketahanan terhadap cekaman kekeringan lebih baik dari aksesi 1 dan 2. Peningkatan qN yang terjadi sejak 8-14 HSP kekeringan berkorelasi positif terhadap peningkatan ASA dan prolin pada ketiga aksesi (Lampiran 1), namun
40
lebih nyata pada aksesi 3 dengan nilai R2 sebesar 0,80 (ASA) dan 0,92 (prolin) pada 8 HSP kekeringan (Lampiran 2A & B). Sebaliknya penurunan qN pada 1214 HSP cekaman kekeringan diduga berkaitan dengan kerusakan piranti fotosintesis yang ditandai dengan penurunan Fv/Fm pada akhir periode cekaman kekeringan (14 HSP) (Zlatko & Yordanov 2004). Dengan demikian maka data pengukuran chlorophyll fluorescence menunjukkan reduksi eksitasi energi pada PSII akibat cekaman kekeringan yang menyebabkan tingginya disipasi energi melalui proses qN, sehingga efisiensi maksimum fotosintesis pada PSII lebih rendah pada tanaman perlakuan.
Akumulasi Asam Askorbat (ASA), Prolin, dan Kandungan Klorofil Daun Perlakuan cekaman kekeringan selama 14 hari pada ketiga aksesi hotong dapat menginduksi peningkatan ASA daun. Peningkatan akumulasi ASA signifikan antara tanaman kontrol dan perlakuan maupun antar aksesi. Peningkatan ASA tertinggi terjadi pada aksesi 2 sebesar 114 mg/100 g (59%) diikuti aksesi 1 sebesar 109 mg/100 g (48%) (Gambar 4A). Peningkatan ASA mulai terjadi sejak 4-14 HSP dan puncaknya pada 8 HSP kekeringan selanjutnya menurun kembali sejak 12 HSP cekaman sampai rewatering. Tanaman hotong memiliki mekanisme penyelamatan terhadap cekaman oksidatif yang ditimbulkan oleh cekaman kekeringan yaitu dengan adanya senyawa antioksidan biologi (non-enzimatic) dan salah satunya adalah asam askorbat (ASA). ASA terdapat di dalam kloroplas mesofil (20-40%), sitosol, vakuola, dan bagian ektraseluler. ASA di sintesis dari D-glukosa dan berperan penting pada beberapa proses fisiologi di dalam tanaman termasuk pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. ASA berfungsi sebagai agen reduksi terhadap beberapa senyawa radikal bebas yang terbentuk akibat tingginya disipasi energi melalui proses non fotokimia selama aktivitas fotosintesis (Asada 2006). Dengan demikian dapat meminimalisir kerusakan sel yang disebabkan oleh cekaman oksidatif.
41
Peningkatan akumulasi ASA dan prolin terutama pada aksesi 3 (Lampiran 2A & B) yang diinduksi oleh peningkatan qN selama periode cekaman diduga berperan sebagai senyawa oksidatif dan osmoprotektan untuk melindungi membran dan jaringan tanaman dari kerusakan akibat pembentukan ROS selama aktivitas fotosintesis ketika tanaman mendapat cekaman kekeringan (Gambar 5C). Walaupun peningkatan ASA pada aksesi 3 (32%) tidak setinggi pada aksesi 1 dan 2, namun akumulasinya terjadi secara kontinu selama periode cekaman. Hal ini menunjukkan ketahanan aksesi 3 terhadap cekaman kekeringan, sehingga kemungkinan pembentukan ROS selama cekaman tidak terlalu besar. Perbedaan respon ini mungkin juga dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga gen yang terekspresi untuk akumulasi ASA dan prolin pada aksesi 3 up regulated dan stabil selama periode cekaman (Veeranagamallaiah et al. 2006) dibanding aksesi 1 dan 2 yang cenderung mengalami penurunan akumulasi ASA sejak 12 HSP sampai rewatering. Perubahan metabolisme asam askorbat berhubungan dengan cekaman kekeringan seperti yang ditemukan oleh Sgherri et al. (2000) pada tanaman gandum, bahwa perubahan itu sejalan dengan peningkatan aktifitas askorbat peroksidase (APX) pada daun tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi defisit air dan rewatering. Secara umum, peningkatan ASA pada ketiga aksesi pada 14 HSP kekeringan juga berkorelasi positif dengan kandungan klorofil daun walaupun tidak signifikan (Lampiran 1). ASA diduga berperan sebagai senyawa pelindung terhadap piranti fotosintesis ketika tanaman menghadapi cekaman kekeringan karena ASA terdapat di dalam kloroplas ± 50 mM seperti halnya klorofil. ASA berfungsi sebagai detoksifikasi dan pelindung terhadap radikal oksigen seperti H2O2 yang terbentuk selama aktivitas fotosintesis (Smirnoff 1993). Keterlibatan ASA sebagai senyawa pelindung selama aktivitas fotosintesis melalui 3 proses biokimia: (1) berperan sebagai antioksidan yang merubah H2O2 yang dikatalisis oleh
APX,
sehingga
terbentuk
H 2O
dan
monodehidroaskorbat,
(2)
monodehidroaskorbat ini dapat berperan sebagai akseptor elektron pada PSI, dan (3) sebagai ko-faktor dalam reaksi violaxanthin de-epoxidase (Asada 2006).
42
Dengan demikian maka proses fotosintesis dan metabolisme dasar pada aksesi 3 dapat berlangsung dengan baik, sehingga dapat mempertahankan produksi yang relatif tidak mengalami penurunan dibandingkan dengan tanaman kontolnya.
A
ASA mg/100 g
Aksesi 1 200
200
150
150
150
100
100
100
50
50
50
0
0
Prolin (µmol g -1)
4
8
12 14 16
4
8
12 14 16
0
4
8
12 14 16
0
4
8
12 14 16
0
4
8
12 14 16
50
50 40 30 20 10 0
40 30 20 10 0
klorofil (mg/BK)
0 0
50
0
C
Aksesi
200
0
B
Aksesi 2
4
8
12
14
16
40 30 20 10 0 0
4
8
12
14
16
6
6
6
4
4
4
2
2
2
0
0
0 4 8 12 14 16
0 0
4
8
12
14
16
Hari setelah perlakuan C0
- - - -CK
Gambar 6 Akumulasi asam askorbat (ASA) (A), prolin (B), dan kandungan klorofil daun (C) pada 0-14 HSP cekaman kekeringan dan recovery pada taraf uji 5% (DMRT). Tanda panah menunjukkan titik rewatering. Selain ASA, ketiga aksesi hotong juga mengakumulasi prolin selama periode cekaman (Gambar 6B). Prolin berperan sebagai senyawa osmoregulator (osmotic adjustment) dan osmoprotektan bagi membran dan enzim ketika tanaman menghadapi cekaman kekeringan (Hamim 1995). Konsentrasi prolin meningkat tajam dimulai pada 8-14 HSP pada ketiga aksesi. Peningkatan kandungan prolin tertinggi terjadi pada aksesi 2 dan 1 masing-masing sebesar 37,3 µmol g-1 dan 32,4 µmol g-1 dibanding tanaman kontrol dan yang terendah pada aksesi 3 sebesar 20,2 µmol g-1. Peningkatan prolin secara tajam pada akhir periode kekeringan
43
menunjukkan bahwa tanaman dalam keadaan tercekam sangat berat. Hal ini di sebabkan oleh penurunan KAM dan KAR daun secara linear selama periode cekaman (Gambar 3B) dan kemungkinan mempengaruhi penurunan tekanan akar (Hamim 1995). Secara umum peningkatan akumulasi prolin pada akhir periode cekaman (14 HSP) berkorelasi negatif dengan penurunan KAM dan KAR daun, akan tetapi berkorelasi positif terhadap peningkatan panjang akar dan kandungan klorofil daun pada ketiga aksesi (Lampiran 1) dan yang tertinggi pada aksesi 3 dengan nilai R2 sebesar 0,71 (panjang akar) dan 0,82 (kandungan klorofil daun) (Lampiran 2C & D). Hal ini diduga, ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan maka ada sinyal kimia dari akar yang dikirim ke tajuk, sehingga menginduksi akumulasi prolin di daun. Prolin yang terakumulasi di daun sebagian digunakan sebagai senyawa pelindung terhadap senyawa makromolekul dan enzim dari kerusakan akibat cekaman kekeringan dan sebagian ditanspor ke akar untuk merangsang pertumbuhan akar. Menurut Taiz dan Zeiger (2002), adanya sinyal kimia ini berkaitan dengan sintesis ABA secara cepat pada akar tanaman, yang selanjutnya akan ditanspor ke daun melalui xilem sebagai respon terhadap kondisi defisit air tanah. Robert dan Verslues (1999) melaporkan bahwa, pada kondisi potensial air rendah peningkatan akumulasi prolin berkorelasi dengan peningkatan panjang akar pada tanaman jagung. Laju pemanjangan akar jagung terjadi ketika konsentrasi prolin meningkat secara cepat, selanjutnya akumulasi prolin menurun ketika pertumbuhan akar melambat. Peningkatan panjang akar pada ketiga aksesi hotong menunjukkan bahwa prolin kemungkinan dirombak secara cepat selama periode cekaman kekeringan, sehingga merangsang pertumbuhan ujung akar pada ketiga aksesi. Akumulasi prolin di daun akan ditranspor ke akar untuk melindungi ujung akar dari kerusakan akibat cekaman kekeringan dan merupakan sumber energi utama untuk menunjang pertumbuhan ujung akar. Proses ini juga diamati oleh Voetberg dan Sharp (1991) pada tanaman jagung yang mengalami pemanjangan akar ketika konsentrasi dan deposit prolin meningkat di zona pemanjangan akar primer pada kondisi poteinsial air rendah.
44
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa laju deposit prolin tertinggi ditemukan pada bagian apikal pada kondisi poteinsial air rendah yang merupakan bukti bahwa terjadi perombakan dan pemanfaatan prolin (Salisbury & Ross 1992). Peningkatan akumulasi ASA dan prolin pada ketiga aksesi hotong ini penting sebagai senyawa antioksidan, osmoregulator, dan osmoprotektan
mengingat
tanaman ini dibudidayakan pada lahan kering. Kandungan klorofil pada tanaman hotong merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kemampuan fotosintesisnya. Cekaman kekeringan selama 14 hari tidak mempengaruhi kandungan klorofil daun. Kandungan klorofil daun pada tanaman perlakuan relatif sama dan tidak berbeda nyata dengan kontrol hingga akhir periode cekaman (Gambar 6C). Peningkatan akumulasi ASA dan prolin berkorelasi positif terhadap kandungan klorofil daun (Lampiran 1). Peningkatan prolin pada 14 HSP kekeringan signifikan terhadap kestabilan kandungan klorofil daun (R2 sebesar 0,82) pada aksesi 3 (Lampiran 2A). Peningkatan akumulasi prolin pada aksesi 3 diduga dapat melindungi senyawa makromolekul dan enzim dari denaturasi dan berperan dalam menurunkan keasaman sel akibat gangguan pada transfer elektron fotosintesis (Chaves 1991), sehingga laju fotosintesis dan aktivitas biokimia tetap berlangsung dengan baik. Sedangkan akumulasi ASA kemungkinan melindungi kerusakan klorofil dari fotooksidasi oleh radikal oksigen (Sgherri et al. 2000) yang terbentuk selama aktivitas fotosintesis ketika terjadi cekaman kekeringan. Prolin dan ASA mungkin berfungsi melindungi protein glutamil-tRNA reduktase (GluTR) yang berperan di dalam sintesis asam 5-aminolevulinat (ALA) dan HEMA 1, sehingga aktivitas formasi kompleks antara GluTR dan GSA-AT tidak terganggu selama proses biosintesis klorofil (Aarti et al. 2007). Perubahan kandungan klorofil selama cekaman kekeringan telah diteliti pada tanaman Festuca arundinasea L. dan Poa protensis L. dengan kombinasi perlakuan kekeringan dan suhu tinggi. Kandungan klorofil daun meningkat sementara selama periode cekaman (6-12 HSP), selanjutnya menurun perlahanlahan dengan lamanya periode cekaman (Huang & Jiang 2000).