HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan
Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat gangguan audio generator dilakukan untuk mengetahui besar pengaruh gangguan audio generator terhadap nilai pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan. Simulasi tingkat gangguan audio generator diberikan berdasarkan kemampuan dari audio generator yang digunakan. Pengukuran pengaruh gangguan audio generator terhadap nilai pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan dilakukan sebagai dasar mengetahui kondisi terbaik untuk menghindari adanya gangguan yang dapat mengganggu hasil pengukuran. Gambar 56 menunjukkan grafik hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat gangguan pada audio generator.
Tingkat gangguan 0 dB Tingkat gangguan 10 dB Tingkat gangguan 20 dB Tingkat gangguan 30 dB Tingkat gangguan 40 dB Tingkat gangguan 50 dB (kiloHertz)
Gambar 56. Grafik hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat gangguan pada audio generator. Grafik diatas menunjukkan adanya gangguan pada audio generator sangat berpengaruh terhadap nilai pengukuran. Adanya gangguan pada audio generator akan mengganggu proses pemancaran gelombang audio, sehingga amplitudo yang dipancarkan akan kecil. Amplitudo kecil yang terpancar mengakibatkan amplitudo terukur yang diterima juga akan kecil. Hal ini akan menyulitkan pembacaan nilai amplitudo gelombang yang diterima pada tahap perlakuan selanjutnya. Terlihat dari grafik bahwa nilai amplitudo tertinggi yang dipancarkan terjadi pada tingkat gangguan audio generator 0 dB yaitu 155 mV, sedangkan amplitudo terendah terjadi pada tingkat gangguan audio generator 50 dB yaitu 0.5 mV. Nilai amplitudo ini dijadikan sebagai acuan untuk pengukuran amplitudo gelombang audio pada tahap perlakuan selanjutnya yaitu dengan mengkondisikan audio generator pada tingkat gangguan 0 dB agar memberikan hasil optimal.
45
Grafik diatas menunjukkan gangguan pada audio generator mengakibatkan penurunan energi gelombang suara yang dipancarkan. Selain gangguan pada audio generator, penurunan energi gelombang suara juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dimana salah satu penyebab hilangnya energi gelombang suara adalah akibat kebisingan. Ini sesuai dengan pernyataan pengaruh kebisingan menurut Buchari (2007) yaitu kebisingan akan menutupi suara yang dipancarkan, sehingga suara akan tenggelam dalam bising.
4.2
Penggunaan Rangkaian Penguat
Rangkaian penguat pada penelitian digunakan untuk sedikit mengatasi gangguan yang menyebabkan hilangnya energi gelombang suara. Terlihat sangat jelas perbedaan antara nilai amplitudo gelombang audio yang diterima dengan dan tanpa penguat. Penggunaan penguat akan besar pengaruhnya terhadap proses pengukuran. Amplitudo gelombang yang dipancarkan akan mengalami kehilangan energi sebelum diterima pemancar, sehingga pada rangkaian penerima diperlukan rangkaian penguat yang berfungsi menguatkan perubahan besaran listrik agar perubahan sinyal yang kecil dapat diukur dengan lebih teliti. Perbandingan antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik menggunakan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan ditunjukkan menggunakan grafik pada Gambar 57 dibawah ini.
(kiloHertz)
Gambar 57. Grafik perbandingan antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik dengan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan Perbedaan yang ditunjukkan pada gambar diatas terlihat sangat jelas antara nilai amplitudo yang dipancarkan dengan nilai amplitudo yang diterima baik menggunakan rangkaian penguat, tanpa rangkaian penguat, maupun berdasarkan perhitungan. Amplitudo sekitar sebesar 155 mV yang dipancarkan, hanya terukur sekitar sebesar 0.35 mV jika tanpa rangkaian penguat. Jika hal ini diteruskan untuk pengukuran, maka akan sulit mengamati perubahan sinyal yang kecil. Grafik menunjukkan benar terjadi kehilangan energi gelombang suara. Secara umum, penyerapan suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008). Kehilangan energi dapat terjadi karena penyebaran 46
gelombang akustik, penyerapan energi, dan pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan tanah. Intensitas gelombang akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Jensen et al, 1994). Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi.
4.3
Pengukuran Amplitudo Pada Tebal Lapisan Olah
Hasil pengukuran amplitudo gelombang audio dengan perlakuan tebal lapisan olah pada berbagai tingkat frekuensi dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 16. Hasil pada lampiran tersebut menunjukkan adanya penurunan penerimaan amplitudo gelombang audio untuk setiap peningkatan tebal lapisan olah tanah. Penelitian ini tidak memberi perbedaan perlakuan kadar air. Kadar air dibuat sama untuk semua perlakuan yaitu 30%. Namun, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada pengaruh kadar air terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio. Kadar air yang meningkat menyebabkan menurunnya amplitudo gelombang audio yang diterima. Nilai amplitudo gelombang audio diurutkan dari yang tertinggi ke yang terkecil masing-masing terjadi pada lapisan olah 0, 5, 10, 15, dan 20 cm. Diketahui pula adanya pengaruh tinggi frekuensi terhadap besar amplitudo gelombang yang diterima. Amplitudo yang diterima diurutkan dari yang terbesar hingga yang terkecil masing-masing terjadi pada frekuensi 10, 20, 30, 40 dan 50 kHz. Nilai amplitudo tertinggi yang diperoleh dari penelitian terjadi pada frekuensi 10 kHz dengan lapisan olah 0 cm yaitu sebesar 13.9 mV, sedangkan nilai amplitudo gelombang audio terendah terjadi pada frekuensi 30 kHz dengan lapisan olah 20 cm yaitu sebesar 6.28 mV. Hasil ini belum begitu baik dalam menunjukkan pengaruh tinggi frekuensi yang dipancarkan terhadap amplitudo gelombang audio yang diterima. Hal ini mungkin terjadi akibat faktor olahan maupun kepadatan tanah yang kurang merata. Namun, terlihat pengaruhnya pada tanah dengan lapisan olah 0 cm yaitu nilai amplitudo terkecil terjadi pada frekuensi 50 kHz. Pengaruh frekuensi yang dipancarkan terhadap penerimaan amplitudo gelombang audio sangat mungkin terjadi karena gelombang audio dengan frekuensi yang lebih besar akan memiliki kemampuan lebih besar pula untuk diteruskan menembus lapisan tanah sebelum dipantulkan kembali oleh lapisan padat tanah ke penerima. Gambar 57 dan Gambar 58 dibawah ini masing-masing dilakukan pada bulk density 1.0 gram/cm3 dan 1.3 cm3. Kedua grafik menunjukkan pola penurunan penerimaan amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah. Pola penurunan grafik penerimaan gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3 ditunjukkan pada Gambar 58.
Gambar 58. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3
47
Pola penurunan juga ditunjukkan pada bulk density 1.3 gram/cm3. Pola penurunan grafik penerimaan gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 ditunjukkan pada Gambar 59.
Gambar 59. Grafik pengukuran amplitudo gelombang audio pada perlakuan lapisan olah tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 Pola yang ditunjukkan pada kedua gambar diatas terlihat mengalami penurunan untuk setiap peningkatan tebal lapisan olah tanah. Perbedaannya terlihat jelas, nilai amplitudo gelombang audio tertinggi terjadi pada ketebalan lapisan olah 0 cm. Sedangkan nilai amplitudo terendah terjadi pada ketebalan lapisan olah 20 cm. Nilai amplitudo tertinggi terjadi pada ketebalan lapisan olah 0 cm, karena pada ketebalan lapisan olah 0 cm hanya sedikit terjadi kehilangan energi gelombang audio yang dirambatkan kemudian dipantulkan kembali oleh lapisan tanah padat ke penerima. Selain itu, tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 juga menunjukkan penerimaan amplitudo gelombang audio yang lebih tinggi dibanding tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3. Hal ini disebabkan, tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3 cenderung lebih keras sehingga lebih mudah memantulkan gelombang bunyi dibanding tanah dengan tanah bulk density 1.0 gram/cm3 yang cenderung lebih elastis. Nilai amplitudo terendah terjadi pada ketebalan tanah lapisan olah 20 cm, karena pada ketebalan lapisan olah 20 cm terjadi banyak kehilangan energi gelombang audio yang dirambatkan sebelum dipantulkan kembali oleh lapisan tanah padat ke penerima. Selain itu, tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3 juga menunjukkan penerimaan amplitudo gelombang audio yang lebih rendah dibanding tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3. Hal ini deisebabkan, tanah dengan bulk density 1.0 gram/cm3 cenderung lebih elastis dibanding tanah dengan bulk density 1.3 gram/cm3, sehingga gelombang bunyi yang dipancarkan banyak diserap dan diteruskan kedalam lapisan tanah dan hanya sedikit yang dipantulkan kembali. Kehilangan energi dapat terjadi karena penyebaran gelombang akustik, penyerapan energi, dan pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan tanah. Kehilangan energi akibat pemantulan terjadi pada saat gelombang akustik berpropagasi melewati dua medium yang memiliki perbedaan indeks bias cukup besar. Perbedaan yang cukup besar ini mengakibatkan gelombang suara dipantulkan oleh perbatasan antar kedua medium tersebut (Pongoet, 2008). Jika permukaan halus sempurna, maka ia akan menjadi pemantul suara yang nyaris sempurna. Sebaliknya jika permukaan laut kasar kehilangan akibat pantulan mendekati nol (Kadarwati, 1999 dalam Iskandarsyah, 2011).
48
Sumber akustik yang memancarkan gelombang akustik dengan intensitas energi tertentu akan mengalami penurunan intensitas bunyi bersamaan dengan bertambahnya jarak propagasi dari sumbernya. Hal ini terjadi karena sumber akustik memiliki intensitas yang tetap, sedangkan luas permukaan bidang yang dilingkupi akan semakin besar dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Penurunan kekuatan energi suara adalah disebabkan oleh lebih jauhnya jarak yang ditempuh oleh porsi pantulan suara. Pantulan yang disebabkan oleh dinding tidaklah sempurna, melainkan energi yang sampai pada dinding diserap oleh dinding sedangkan energi suara yang dipantulkan adalah energi yang datanag dikali dengan (1- ) dengan adalah konstanta absorbsi dinding. Penyerapan gelombang ultrasonik dalam cairan pula disebabkan oleh penyebaran dan kehilangan energi ultrasonik kepada energi panas melalui beberapa mekanisme seperti kekentalan cairan atau konduksi thermal dan fenomena rileksasi. Menurut Urick (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi gelombang suara di dalam suatu kolom perairan adalah jarak sumber suara kedalaman perairan, dan frekuensi sumber suara. Semakin jauh gelombang suara, semakin besar frekuensi yang digunakan merambat dari suatu sumber, maka semakin tinggi nilai atenuasi ( ) yang terjadi di dalam kolom perairan. Selain itu, kecepatan suara bervariasi terhadap kedalaman, musim, posisi geografis dan waktu pada lokasi tertentu. Intensitas gelombang akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Jensen et al, 1994). Di perairan dangkal dekat pantai, profil kecepatan suara cenderung tidak teratur dan sulit di prediksi. Faktor fisik air laut yang paling menentukan dalam mempengaruhi kecepatan suara di dalam air adalah suhu, salinitas, dan tekanan (Urick, 1983). Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi densitas dan kecepatan suara di dalam air. Suhu di daerah tropis pada wilayah permukaan laut berkisar 26-29 yang dipengaruhi oleh musim (Pickard dan Emery, 1990). Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas dan suhu ait laut. Pada daerah non kutub, sifat-sifat air pada lapisan isotermal yang dipengaruhi oleh angin sehingga menyebabkan adanya pengadukan menyebabkan lapisan ini memiliki temperatur yang cenderung konstan. Oleh karena itu, pada lapisan isothermal memiliki bentuk profil suara yang bertambah sejalan dengan kedalaman laut yang disebabkan pengaruh gradien tekanan (Jensen et al, 1994). Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi. Secara umum, penyerapan suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008). Kecepatan dan penyerapan ultrasonik berbeda dalam medium perambatan yang berbeda. Ini karena interaksi gelombang ultrasonik dengan bahan bergantung kepada ciri-ciri fisik medium perambatan dan mekanisme interaksi gelombang ultrasonik dengan bahan. Pada kondisi perairan laut yang mempunyai suhu berbeda-beda menimbulkan variasi kecepatan suara yang menyebabkan refraksi atau pembelokan perambatan gelombang suara. Kecepatan suara akan meningkat seiring bertambahnya suhu dan kedalaman (tekanan). Saat air laut di permukaan yang bersuhu relatif lebih hangat dari pada lapisan air di bawahnya, akan muncul dua kecenderungan yang bertolak belakang yakni kecepatan suara relatif akan berkurang saat suhu menurun dan kecepatan suara akan relatif bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman/tekanan (Waite, 2005). Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terletak pada metode yang digunakan yaitu tebal lapisan olah. Pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Deni, Farizi, dan Firmansyah pada tahun 2007, tebal lapisan olah yang digunakan adalah 4, 8, dan 12 cm. Kemudian dilanjutkan oleh Prasetyo pada tahun 2008 dengan tebal lapisan olah 3, 4, dan 5 cm. Sedangkan pada
49
penelitian kali ini tebal lapisan olah yang digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20 cm. Lapisan olah 0 cm atau tanah tanpa lapisan olah digunakan sebagai kontrol terhadap perlakuan tebal lapisan olah lainnya. Penelitian Deni, Farizi, dan Firmansyah yang dilakukan pada tahun 2007, menjelaskan hasil pengukuran amplitudo gelombang audio yang diterima pada kadar air 30%, 40%, dan 50%, dengan nilai terbesar diperoleh pada tebal lapisan olah 4 cm. Sedangkan nilai amplitudo terkecil diperoleh pada kadar air 50% dengan tebal lapisan olah 12 cm. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Prasetyo pada tahun 2008 menjelaskan nilai amplitudo gelombang tertinggi terjadi pada ketebalan tanah lapisan olah 3 cm dengan kadar air lapisan tanah padat 30%, sedangkan nilai amplitudo gelombang audio terendah terjadi pada ketebalan tanah lapisan olah 5 cm dengan kadar air lapisan tanah padat 50%. Secara prinsip hasil penelitian terdahulu dengan penelitian kali ini memberikan hasil yang relatif hampir sama. Namun, pada penelitian ini digunakan beberapa metode yang berbeda. Amplitudo gelombang audio yang diterima akan semakin berkurang dengan bertambahnya ketebalan lapisan olah tanah. Hal ini secara umum terlihat pada Gambar 58 dan Gambar 59. Penurunan amplitudo gelombang yang diterima pada setiap peningkatan tebal lapisan olah disebabkan oleh besarnya energi gelombang audio yang hilang untuk merambatkan gelombang audio dari pemancar ke lapisan padat tanah sebelum memantulkannya kembali ke penerima.
50