23
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Sintasan (SR) Parameter
lingkungan
dan
konsumsi
pakan
selama
penelitian
menunjukkan kondisi yang ideal. Hal ini diindikasikan dari persentase sintasan yang mencapai 100% pada semua perlakuan (Gambar 5). 100 90
Sintasan (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kontrol
FT 50%
FT 100%
FT 200%
FT 400%
Perlakuan
Gambar 5 Sintasan abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan. Pertumbuhan Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan mutlak menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% (5,6
42) adalah terbaik dibanding kontrol (2,53 0,16). Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot mutlak pada perlakuan sistem FT 400% memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan lainnya, (P 0,05) (Lampiran 4). Selanjutnya pada perlakuan sistem FT 400% dapat meningkatkan pertumbuhan mutlak sebesar 124,51% (Tabel 3).. Laju pertumbuhan harian (SGR) Perlakuan FT 400% (0.84 0.07%) memberikan respon laju pertumbuhan harian terbaik dibanding dengan kontrol (0,46±0,02%), demikian pada perlakuan lainnya (Tabel 3). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan FT400% berbeda nyata dengan kontrol dan FT 50% (Tukey, p<0,05) tetapi tidak berbeda
24
nyata dengan dua perlakuan lainnya (FT 100% dan FT 200%) (Tukey, p>0,05) (Tabel 3) (Lampiran 5) Pertumbuhan Panjang (∆SL) Perlakuan FT 400% (105,72±9,51) memberikan respon laju pertumbuhan panjang cangkang yang lebih baik dibanding dengan kontrol (59,67±11,22) diikuti perlakuan lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% berbeda nyata terhadap kontrol, FT 50% dan FT 100% (Tukey, p<0,05), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan FT 200% (Tukey, p>0,05) (Tabel 3) (Lampiran 6) Tabel 3 Bobot utuh (BU), panjang cangkang (PC), pertumbuhan mutlak (PM), laju pertumbuhan harian (SGR) dan pertumbuhan panjang cangkang (∆SL) abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari Perlakuan
Parameter
Kontrol
FT 50%
FT 100%
FT 200%
FT 400%
4,91±0,18
4,86±0,24
4,79±0,13
4,90±0,08
5,02±0,23
31,11±0,74
31,45±0,24
31,38±0,24
30,97±0,79
31,10±0,80
Awal BU (g) PC (mm)
Akhir BU (g)
7.44±0,27
8.91±0,33
9.29±0,35
9.46±0,43
10.70±0,29
PC (g)
36.48±0,41
38.79±0,91
38.59±0,64
38.71±0,70
40.61±0,53
PM (g)
2.53±0,16
c
4.05±0,12
b
b
b
5.68±0,42
a
SGR (%)
0,46±0,02
c
0,67±0,02
b
0,74±0,06
ab
0.84±0,07
a
59,67±11,22
c
bc
80,15±8,57
ab
105,72±9,51
-1
∆SL (µm hari )
81,61±7,98
4.50±0,39
4.56±0,48
ab
0,73±0,06
bc
85,91±1,76
a
Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda nyata secara statistik (p<0,05)
Pertumbuhan Bobot Individu Pertumbuhan bobot individu abalon selama penelitian menunjukkan perlakuan FT 400% (10,70
g) memberikan pertumbuhan bobot individu
terbaik dibanding dengan kontrol (7,44
g) maupun perlakuan sistem FT
50% (8,91 0,327 g), FT 100% (9,29 0,348 g) dan FT 200% (9,46. 0,43 g) (Gambar 6). Komposisi Daging, Cangkang dan Organ Dalam Abalon Pengukuran komposisi daging, cangkang dan organ dalam pada masingmasing perlakuan menunjukkan bahwa sebelum dan setelah penelitian terjadi
25
pertumbuhan bobot daging dan bobot cangkang. Persentase komposisi daging, cangkang dan organ dalam disajikan pada (Gambar 7) (Lampiran 7)
Rerata berat badan (gram)
12.00
11.00 10.00 9.00 8.00
Kontrol F-50% F-100% F-200% F-400%
7.00 6.00 5.00
4.00
0
1
2
3
Bulan ke-
Gambar 6 Rerata pertumbuhan bobot individu abalon (g) dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan Daging
Cangkang
Organ Dalam
Komposisi Organ Abalon (%)
100% 90%
14.71
20.66
21.32
18.42
19.36
28.87
26.34
27.63
26.27
50.47
52.34
53.96
54.37
57.94
Kontrol
FT 50%
FT 100%
FT200%
FT 400%
80% 70% 60%
27.35
50% 40% 30% 20%
10% 0%
Perlakuan
Gambar 7 Komposisi daging, cangkang dan organ dalam abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan
26
Efisiensi Pakan (EP) Perlakuan FT 400% merupakan perlakuan dengan efisiensi pakan terbaik (63,22±0,72%) dibandingkan dengan kontrol (35,80±1,70) termasuk tiga perlakuan lainnya. Penggantian air pada sistem air mengalir (flow trough system) memberikan pengaruh terhadap efisiensi pakan abalon. Uji statistik menunjukkan perlakuan FT 50%, FT 100%, FT 200% dan FT 400% pada percobaan ini signifikan berbeda dengan kontrol (Tukey, p<0,05), tatapi antar perlakuan tersebut (FT 100%, 200% dan FT 400%) tidak berbeda nyata (Tukey, p>0,05) (Gambar 8) (Lampiran 8) 70 55.27
60
2.26bc
54.95 4.64bc
63.22 0.72c
Efisiensi pakan (%)
51.17 1.15b
50 35.80 1.70a
40
30 20 10
0 Kontrol
F-50%
F-100%
F-200%
F-400%
Perlakuan
Gambar 8 Efisiensi pakan dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan. Kolom dengan huruf sama tidak berbeda nyata (Tukey, p<0,05). Proksimat Daging Abalon Pemeliharaan abalon selama
3 bulan pada
sistem
air
mengalir
berpengaruh terhadap komposisi biokimia daging abalon. Hasil uji proksimat menunjukkan adanya perbedaan komposisi lemak yang sangat berbeda, baik sebelum dan sesudah perlakuan ataupun antar pelakuan (kontrol dengan perlakuan FT 400%). Pada sistem air mengalir dengan penggantian air sebanyak 400% sehari ( FT 400%), terbukti dapat menurunkan kandungan lemak pada daging abalon (Tabel 4).
27
Tabel 4 Proksimat daging abalone perlakuan (dalam berat kering) Analisis proksimat (%) Sampel Abalon sebelum perlakuan Abalon setelah perlakuan (kontrol) Abalon setelah perlakuan (FT 400%) Sumber:
Abu
Protein
Lemak
Serat kasar
BETN
3,40
69,47
0,57
0,59
25,99
5,21
69,17
6,92
0,00
18,70
8,55
68,06
4,04
0,00
19,35
Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan IPB
dan Ilmu Kelautan
Penilaian Uji Organoleptik Peubah tekstur dan rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perlakuan lingkungan pemeliharaan, pakan, umur dan faktor pemasakan, walaupun tidak secara signifikan. Secara fisiologi kondisi ini dapat terjadi pada beberapa biota perairan dan hewan. Hasil penilaian uji organoleptik abalon disajikan pada Tabel 5. Preferensi panelis terhadap rasa daging abalon yang gurih signifikan ditujukan terhadap perlakuan FT 400% dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 9). Sementara preferensi panelis terhadap tekstur daging abalon yang kenyal ditujukan terhadap perlakuan FT 200%. Keseluruhan karakteristik daging abalon pada perlakuan FT 400% lebih disukai oleh panelis (Tabel 5) (Lampiran 10). Tabel 5 Persentase kesukaan terhadap sifat karakteristik organoleptik abalon Tekstur Sampel
Kenyal (%)
Rasa
Keras (%)
Lunak (%)
Amis (%)
Gurih (%)
Kontrol
74,07
3,70
22,22
21,43
78,57
FT 50 %
57,14
32,14
10,71
40,00
60,00
FT 100%
82,14
0,00
17,86
34,62
65,38
FT 200%
85,19
3,70
11,11
23,33
76,67
FT 400%
57,14
28,57
14,29
10,34
89,66
FT= Flow through sistem
Penilaian Uji hedonik Penilaian hasil uji hedonik atau uji kesukaan terhadap nilai estetika pada cangkang oleh panelis menunjukkan warna cangkang yang cerah merupakan faktor yang menentukan kesukaan konsumen terhadap cangkang. Pada percobaan ini perlakuan kontrol menghasilkan warna cangkang yang lebih cerah
28
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan, warna cangkang yang halus dihasilkan perlakuan FT 400% (Tabel 6) (Lampiran 11). Tabel 6 Persentase kesukaan terhadap karakteristik warna dan permukaan cangkang abalon. Warna cangkang
Permukaan cangkang
Sampel Cerah (%)
Abu-abu (%)
Kasar (%)
Halus (%)
Kontrol
77,27
22,73
81,48
18,52
FT 50%
40,91
59,09
89,29
10,71
FT 100%
59,09
40,91
78,57
21,43
FT 200%
61,94
38,09
74,07
25,93
FT 400%
43,48
56,52
57,14
42,86
FT= Flow through sistem
Kualitas Air Kualitas air meliputi salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH, kesadahan, pada wadah pemeliharaan abalon selama penelitian berada pada kisaran optimal bagi pertumbuhan abalon (Tabel 7) (Lampiran 12). Tabel 7 Kisaran nilai kualitas air pada wadah pemeliharaan abalon. Perlakuan Parameter Kontrol
FT 50%
FT 100%
FT 200%
FT 400%
o
31-36
30-35
30-35
30-35
30-35
-1
5,33-7,35
5,58-7,34
5,59-7,31
5,72-7,23
5,41-7,23
Suhu ( C)
23,9-27,4
25,1-28,9
26,5-29,8
26,4-29,8
26,7-29,9
pH
8,11-8,60
8,18-8,61
8,21-8,62
8,16-8,60
8,23-8,69
Salinitas ( /oo) DO (mg L ) o
-1
Kesadahan (mg L )
kisaran salinitas 30-36 ppt = 3200-3532
FT= Flow through sistem
Bioekonomi Analisa bioekonomi perlakuan FT 50% memberikan keuntungan lebih besar, disusul perlakuan FT 100%, kontrol dan FT 200 %, setelah penerimaan dikurangi biaya.
Perlakuan FT 400% terkoreksi (negatif) (Tabel 8). Hal ini
disebabkan oleh besarnya biaya pada penggunaan sistem air mengalir pada perlakuan FT 400%, walaupun tingkat pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan perlakuan lainnya.
29
Tabel 8 Analisa bioekonomi dari lima jenis perlakuan penggantian air pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan Perlakuan Komponen Kontrol
FT 50%
FT 100%
FT 200%
FT 400%
2,04
2,04
2,04
2,04
2,04
988.66
28377.09
50475.56
99209.87
159078.29
2012.64
57767.65
102753.81
201962.96
323837.94
250000,00
250000,00
250000,00
250000,00
250000,00
0.15
0.24
0.27
0.27
0.34
Penerimaan (R) (Rp)
37930.00
60807.50
67500.00
68470.00
85167.50
Keuntungan (R - C) (Rp)
37624.64
46756.67
39756.47
13156.39
-25154.37
Harga air -1 (Rp –l ) Kebutuhan air untuk menghasilkan daging -1 (-l kg ) Biaya (C) (Rp) Harga daging abalone -1 (Rp kg berat basah) Daging yang dihasilkan (kg berat basah)
Pembahasan Sintasan abalon pada perlakuan FT 400%, FT 200%, FT 100%, FT 50% dan kontrol menunjukkan bahwa perlakuan selama penelitian dapat merespon kondisi lingkungan dengan baik. Hal ini terlihat dengan tingkat kelangsungan hidup
yang
sangat
baik
(100%).
Parameter
yang
mendukung
tingkat
kelangsungan hidup pada prinsipnya adalah kondisi lingkungan (salinitas, oksigen terlarut, suhu, pH dan kesadahan), pakan (unsur-unsur gizi) dan unsurunsur ion-ion (Mg, Ca dan PO4) yang dapat membantu proses pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Selanjutnya tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan secara umum meningkat. Hal ini diindikasikan dengan sintasan dan pertumbuhan yang cukup baik, dimana konsumsi pakan dan perubahan tekanan dalam proses osmoregulasi dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun, tidak ada trend spesifik yang teramati pada tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan flow through sistem dan kontrol. Mozqueira (1996), menguraikan pentingnya suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan salinitas dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup. Selanjutnya Lawrence (1995) abalon secara alami disesuaikan dengan kondisi laut yang relatif bergolak terbuka dan harus dilakukan di air mengalir kualitas tinggi. Faktorfaktor yang meningkatkan tingkat kelangsungan hidup juga telah dilaporkan
30
bahwa pergantian air 5-10%, kualitas air yang baik, pengendalian lingkungan secara kontinyu dan faktor pakan (nilai gizi) yang baik merupakan indikator dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup (Masser et al. 1999). Peningkatan pertumbuhan dari awal hingga akhir penelitian pada perlakuan FT 400% memberikan pertumbuhan yang cukup signifikan dibanding dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Meningkatnya pertumbuhan bobot mutlak karena abalon mampu merespon kondisi lingkungan (salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH dan kesadahan) demikian juga pada ion-ion dalam proses osmoregulasi (Mg, Ca dan PO4), sehingga konsumsi pakan lebih efektif untuk pertumbuhan. Mgaya dan Mercer (1995) mengemukakan bahwa tingkat pertumbuhan dengan penilaian dari individu-individu (memisahkan ke dalam kelompok berukuran serupa), dimana abalon yang telah memiliki keunggulan pertumbuhan membaik dengan kurangnya persaingan dengan abalon yang lebih besar, hal ini menghindari terjadinya intereaksi fisik. Laju pertumbuhan harian abalon selama pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan FT 400% (0,84±0,07%) memberikan pertumbuhan yang terbaik dibanding dengan kontrol (0,46±0,02%).
Hal ini diduga bahwa perlakuan FT
dapat meningkatkan proses osmoregulasi yang baik sehingga kondisi lingkungan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh abalon. Selanjutnya respon laju pertumbuhan biomassa pada sistem FT400% terhadap abalon menunjukkan bahwa kualitas air (salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan kesadahan) serta ionion (Mg, Ca dan PO4) merupakan parameter dalam meningkatkan konsumsi pakan untuk pertumbuhan, khususnya suhu, oksigen terlarut dan salinitas. Kemudian sistem FT 400% berkorelasi dengan suhu, oksigen terlarut, ion-ion dan salinitas dimana kondisi ini dapat meningkatkan pertumbuhan biomassa abalon. Laju pertumbuhan panjang cangkang abalon pada sistem FT selama penelitian berkisar antara 0,18 – 0,28 mm hari-1. Laju pertumbuhan harian panjang cangkang tersebut lebih tinggi dibanding dengan laju pertumbuhan harian panjang cangkang yang dilakukan oleh (Capinpin et al. 1999) pada pemeliharaan abalon dengan suhu 28oC-32oC dan salinitas 30-34 ppt. Laju pertumbuhan harian tersebut berkisar antara 0.0905-0.1672 mm hari-1. Laju pertumbuhan rata-rata abalon yang diberi perlakuan sistem FT secara signifikan lebih tinggi dibanding kontrol. Rendahnya pertumbuhan pada kontrol diduga karena perubahan kualitas air utamanya fluktuasi suhu, sehingga pakan tak
31
dapat diabsorpsi untuk pertumbuhan, disisi lain abalon butuh arus atau sirkulasi dan suhu yang konstan. Sehubungan dengan itu Peck (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan tertekan lebih rendah dari suhu air optimal karena metabolisme yang diatur oleh suhu. Penyerapan makanan efisiensi 80% (bahan kering) pada suhu antara 14,0°C–27,0°C, tetapi efisiensi penyerapan hanya 21% pada 9,8°C. Fermin (2002) melaporkan bahwa laju pertumbuhan panjang cangkang abalon yang dipelihara pada suhu 26-30oC dan salinitas 30-35 ppt memperoleh 0,1124–0,1316 mm hari-1 dan salinitas 30-35 ppt pada spesies yang sama. Shepherd (1988) & Freeman (2001) menyatakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan abalon greenlip adalah 1,69 mm bln-1 dan laju pertumbuhan ini linear selama 5 tahun pertama. Hasil ini berdasarkan data dari individu-individu dengan ukuran berkisar 0,5-2,0 mm dan 30-70 mm. Namun, setelah periode ini laju pertumbuhan ditemukan menurun dengan meningkatnya panjang. Keesing & Wells (1989) melaporkan bahwa abalon Roes (H.roei), tumbuh pesat di tahun pertama dan mencapai panjang cangkang hingga 40 mm (ukuran kematangan) tetapi lambat turun dalam tahun-tahun berikutnya. Pertumbuhan panjang cangkang berkorelasi terhadap pertumbuhan bobot, hal ini dicirikan dengan pertumbuhan cangakng dan pertumbuhan daging abalon selalu simetris. Pertumbuhan panjang cangkang abalon pada perlakuan sistem FT 400% (105,72±9,51 µm) memberikan pertumbuhan terbaik dibanding kontrol (59,67±11,22 µm). Demikian juga pada perlakuan yang lain memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol. Disamping itu hasil uji statistik, menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% memberikan pertumbuhan panjang yang berbeda nyata terhadap kontrol (P
0,05).
Mozqueira (1996)
melaporkan bahwa pada awal pemeliharaan, pertumbuhan panjang cangkang sejalan dengan pertumbuhan berat hingga mencapai ukuran cangkang 4 cm dengan berat 11,5-13,37 g. Setelah mencapai ukuran di atas 4 cm, pertumbuhan lebih mengarah kepertumbuhan berat. Chen (1989) melaporkan bahwa abalon jenis Tokobushi (H. Diversicolor) memiliki pertumbuhan cangkang (0,34% hari-1) lebih tinggi ketika panjang 13 mm menjadi 45 mm, dibanding dengan panjang 89-109 mm. Demikian pula, juvenil H. discus hannai memiliki laju pertumbuhan tertinggi dibanding tokobushi (H. rufescens) dewasa (0,90% hari-1) lebih baik pada panjang 21-26 mm dibanding pada panjang 81-98 mm (Neori et al. 2000).
32
Pertumbuhan bobot individu abalon selama penelitian menunjukkan bahwa g) memberikan pertumbuhan bobot
perlakuan sistem FT 400% (10,70
individu terbaik dibanding dengan kontrol (7,44
g) maupun perlakuan
lainnya. Hal ini diduga bahwa sistem FT secara sinergik dapat membentuk kondisi dalam media pemeliharaan menjadi lebih optimal dan proses-proses fisiologi dapat direspon oleh abalon, sehingga dapat memanfaatkan pakan dengan baik untuk pertumbuhan. Sehubungan dengan hal dimaksud maka perlakuan sistem FT400% dapat meningkatkan pertumbuhan bobot individu abalon sebesar 43,8%. Faktor yang mendorong terjadi peningkatan pertumbuhan adalah terjadinya pertukaran ion-ion (Mg, Ca dan PO4) secara kontinyu, mendorong peningkatan osmoregulasi sehingga sisa-sisa ekskresi dapat terbuang melalui mekanisme pertukaran aliran air. Kemudian Fleming pertumbuhan dengan
et al.
(1997)
melaporkan bahwa
peningkatan
kecepatan aliran air yang optimal dapat menghasilkan
pertumbuhan maksimum.
Selanjutnya Higham et al. (1998) menyimpulkan
bahwa laju aliran air 2,5-3,0 l menit-1 dapat meningkatkan pertumbuhan abalon Greenlip (H. laevigata) yang dilakukan dibak dengan dimensi panjang x lebar x tinggi (1 m x 75 cm x 50 cm). Selain itu, mereka mengamati abalon yang mengadopsi sikap makan yang khas di bawah kondisi aliran air yang tinggi. Seiring
dengan
peningkatan
bobot
pertumbuhan
tersebut
maka
harus
memperhatikan kualitas pakan, hal ini disebabkan karena abalon sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan (Joll 1996). Dengan kondisi demikian diharapkan agar individu abalon yang dipelihara dengan penggantian air yang berkualitas, dapat meningkatkan konsumsi pakan yang baik, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Diantara kelas gastropoda abalon termasuk salah satu yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat jika dibanding dengan kelas lainnya. Hasil penelitian melaporkan bahwa dalam pemeliharaan abalon selalu ditemui kendala dimana dalam salah satu shelter masih terdapat tingkat pertumbuhan yang rendah. Tingkat pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain, faktor genotip, kepadatan, jenis dan jumlah pakan, aliran air, kualitas air, teknik penanganan dan terjadinya tekanan karena peningkatan dalam interaksi fisik (Brown 1991, Higham et al. 1998). Menurut Coote et al. (1996); Ogino &Takeda (1978); Shim & Ho (1989) dan (Deshimaru et al. 1978)
menyatakan bahwa kalsium dapat diperoleh abalon,
33
ikan, udang dan moluska lainnya dari pakan dan lingkungannya untuk keseimbangan pertumbuhan. Thomas & Lough (1974); Coote et al. (1996); Tan et al. (2001) berpendapat bahwa abalon mungkin memperoleh kalsium yang cukup dari air laut disekelilingnya. Meskipun mekanisme penyerapan kalsium belum dapat diketahui secara pasti. Hasil ini didukung oleh penelitian kedua dari Tan et al. (2001), dimana tercatat penurunan jumlah kalsium secara progresif. Hasil ini juga menyarankan bahwa dalam sistem tertutup (seperti biasanya yang digunakan dalam budidaya), persediaan kalsium, bersama dengan pertukaran air secara periodik, sangat dibutuhkan, bahkan ketika digunakan medium air laut alami. Kekurangan kalsium dapat mengganggu sejumlah fungsi taxon, termasuk pembentukan cangkang, penggumpalan darah, fungsi otot, motilitas sperma dan metabolisme, dan transmisi saraf (Azuma 1976; Tash & Means 1983; Lovell 1989; Coote et al. 1996; Tan et al. 2001; Moulis 2006). Sebaliknya, kekurangan kalsium dapat mempengaruhi transmisi saraf yang dapat menurunkan laju lokomosi (pergerakan) dan kemampuan abalon untuk tinggal (Nakamura & Soh 1997). Davis & Carrington (2005), melaporkan bahwa suhu air budidaya yang cocok dengan menggunakan hanya sepersepuluh dari energi panas yang dibutuhkan dalam sistem flow through. Dengan memperhatikan konsumsi energi panas dalam sistem FT, ketika membudidayakan Haliotis iris dan menggunakan pompa panas dengan performa konversi konsumsi energi harian sebesar 11,6 kw hari-1. Penelitian ini menyebutkan bahwa laju aliran air 40 L menit-1 dapat dihubungkan dengan laju perubahan air yang sangat kecil sekitar 2,9% hari-1. Disamping itu diduga pula bahwa dengan sistem FT 400% dapat meningkatkan ion-ion yang secara langsung mendorong laju pertumbuhan pada abalon. Faktor utama lainnya adalah unsur kalsium yang meningkatkan proses pertumbuhan cangkang, sehingga daging lebih cepat menyesuaikan dengan pertumbuhan cangkang. Gembala dan Hearn (1983) diacu dalam Cenni et al. (2010) melaporkan penurunan pertumbuhan adalah karena pengeluaran energi selama perkembangan gonad, ini berpengaruh pula pada penurunan protein. Lambatnya pertumbuhan H. squamata pada kontrol diduga karena terjadinya dekomposisi pakan sehingga kualitas pakan menjadi menurun akibat tidak terjadinya sistem penggantian air. Hal ini dibuktikan dengan pakan yang diganti setiap tiga hari menunjukkan bahwa pakan tersebut berlendir, sehingga tingkat palatabilitas pakan sangat rendah. Penggunaan pakan alami dan buatan
34
dalam sistem budidaya menyebabkan dekomposisi pakan dan karenanya penurunan kualitas air (Fleming et al. 1996). Namun tingkat penggantian air yang tinggi mengakibatkan debit air dari peternakan abalon sangat baik, disamping itu potensi besar dalam penggantian air tersebut dan kandungan nitrogen (Maguire 1998). Selanjutnya Joll (1996) mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan harus diperhatikan untuk meningkatkan pertumbuhan. Efisiensi pakan pada sistem FT 400% lebih baik dibanding dengan kontrol. Tingkat efisiensi pakan yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas abalon yang merupakan parameter pertumbuhan dan sintasan (SR). Faktor lain dapat menekan biaya produksi, khususnya biaya pakan. Hasil uji statistik, menunjukkan bahwa efisiensi pakan pada perlakuan sistem FT 400% berbeda nyata terhadap kontrol demikian pula pada perlakuan FT 50%. Kemudian pada perlakuan sistem FT 200%, FT 100% dan FT 50% berbeda nyata terhadap kontrol. Efisiensi pakan dapat
meningkatkan
kualitas
daging,
produksi,
laju
pertumbuhan
dan
pengendalian lingkungan Efisiensi pakan terbaik pada perlakuan sistem FT 400% dapat mencapai 63,22 0,72%, berbeda nyata terhadap kontrol 35,80±1,70%. Sedangkan perlakuan sistem FT 200% (54,95 4,64%), FT 100% (55,27 2,26%) dan FT 50% (51,17 1,15%), juga berbeda nyata dengan kontrol (35,80 1,70%), pada taraf nyata 0,05
(P
0,05). Efisiensi pakan yang tinggi dapat memberikan
indikasi bahwa tingkat konsumsi pakan efisien, sehingga pakan yang diberikan dapat termanfaatkan untuk meningkatkan pertambahan bobot dan kelangsungan hidup. Hasil ini seiring dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Neori et al. (1998) bahwa dengan perlakuan pakan makroalga (bentuk basah) dimana, Efisiensi pakan kelompok A, B dan C masing-masing sebesar 75,5% 74,3%, dan 74,1% yang sedikit lebih tinggi dibanding peneltitian lainnya. Organisme yang menjadi obyek penelitian Neori et al (1998) adalah Ormer hijau, Haliotis tuberculata, dengan panjang cangkang 40 mm. Sedangkan juvenil abalon dengan panjang 29 mm dan lebar 17 mm, efisiensi pakan sebesar 80% efisiensi tersebut berada dalam rentang 86 sampai 75 (Neori et al. 2000). Perbandingan tingkat efisiensi pakan pada pakan makroalga dimaksud, maka perlakuan dengan sistem flow through masih efisien dan efektif dalam penggunaan pakan. Standar pengukuran hubungan antara makanan dan pertumbuhan FCE dan nilai FCR. FCE (food conversion efficiency) adalah jumlah pertumbuhan per
35
unit makanan yang diberikan dan dapat dinyatakan sebagai persentase, dan nilai FCR (Food Conversion Ratio), dapat digambarkan sebagai jumlah pakan dalam gram diberikan untuk menghasilkan satu gram pertumbuhan hewan (Fleming et al. 1996). Ketika berhadapan dengan abalon, nilai-nilai FCE harus digunakan dengan hati-hati. Kesulitan yang terkait dengan pengumpulan limbah makanan, mengukur laju pertumbuhan dan pencucian terkait pakan semua berkontribusi terhadap estimasi FCE yang salah. Selain itu, penyerapan nutrisi dari lingkungan sekitarnya (misalnya, kalsium untuk pertumbuhan cangkang) akan membuat nilai-nilai variabel FCE sulit diinterpretasikan. Abalon diberi makan rumput laut sebagai sumber makanan memiliki rasio konversi pakan yang sangat miskin yaitu berkisar antara 20-30 berbanding satu, karena kandungan air yang tinggi pada rumput laut tersebut. Kandungan kelembaban makanan merupakan faktor yang sangat
berpengaruh,
sehingga
rumput
laut
merumuskan
pakan
harus
dibandingkan berdasarkan bahan kering. Secara teoritis, semakin tinggi nilai FCE, semakin besar efisiensi konversi pakan untuk daging abalone (Fleming 1995, Fleming et al. 1996). Sementara FCE 15% telah dilaporkan relatif kecil untuk abalon remaja yang tumbuh cepat, FCE sekitar 5-10% lebih sesuai untuk pertumbuhan remaja di hatchery komersial di Amerika Serikat dan Jepang (Huner & Brown 1985, diacu dalam Onitsuka et al. 2011). Hasil penelitian ini menyarankan bahwa konversi pakan lebih efisien pada juvenil muda, yang juga ditemukan pada spesies ikan lainnya (Hardy 1989; Steffens 1989, diacu dalam Knauer 1996). Perubahan komposisi proksimat daging abalon antara perlakuan (FT 400%) dan kontrol, menunjukkan bahwa kandungan lemak abalon pada perlakuan lebih rendah dibanding kontrol. Hal ini diduga bahwa lemak dalam tubuh abalon ditransformasikan sebagai energi dalam proses metabolisme dan proses fisiologis untuk pertumbuhan. Proses metabolime pada sistem flow through memberikan kontrol positif terhadap kualitas abalon. Kemudian komposisi protein antara kontrol dan sistem flow through juga terjadi penurunan, hal ini diduga bahwa pada sistem flow through protein digunakan untuk proses pertumbuhan, sedangkan pada kontrol protein sebagai cadangan untuk pertahanan dalam proses-proses fisiologis. Selanjutnya ada indikasi bahwa menurunnya lemak dan protein pada sistem flow through akibat memijah. Uki & Watanabe (1992) diacu dalam Susanto (2008) mengatakan
36
bahwa protein dan lemak adalah komponen yang berperan dalam proses reproduksi, sehingga pada saat abalon matang gonad, lemak terakumulasi sangat tinggi terutama HUFA n-3 (Highly Unsaturated Fatty Acid) dan ketika memijah akan mengalami penurunan. Komposisi daging, cangkang dan organ dalam (Gambar 8) memperlihatkan bahwa perlakuan penggantian air dapat meningkatkan komposisi daging, komposisi cangkang dan komposisi organ dalam. Hal ini diduga bahwa semakin tingginya proses penggantian air dapat meningkat nafsu makan sehingga pakan terabsorpsi oleh tubuh dan cangkang. Pada kontrol menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persentase organ dalam, namun absorpsi pakan terhadap persentase daging relatif sedikit, hal ini diduga bahwa organ dalam terutama saluran pencernaan bekerja lebih keras, yang dapat menyebabkan proses adaptasi untuk meningkatkan kapasitas lambung dan memperpanjang usus. Membesarnya kapasitas lambung dan memanjangnya usus secara langsung dapat meningkatkan komposisi organ dalam ditubuh abalon. Dinamika komposisi organ dalam tubuh abalon diduga bahwa aktivitas metabolik abalon meningkat pada malam hari dimana terjadi fluktuasi suhu dan oksigen terlarut. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat metabolisme Haliotis squamata antara senja dan tengah malam berbeda. Keadaan ini memungkinkan bahwa perubahan dalam pencernaan atau katabolisme protein menyebabkan fluktuasi dalam tingkat metabolisme. Kondisi tersebut diduga bahwa kapasitas makanan dalam usus berkurang selama periode terang dan setelah tercapai aktivitas untuk makan pada periode berikutnya. Dinamika ini dipengaruhi secara langsung oleh sifat nokturnal dari pada Haliotis squamata tersebut. Oleh karena itu, peningkatan tingkat metabolisme selama jam kegelapan didominasi karena peningkatan proses metabolisme memicu aktivitas yang terkait dengan mencari dan mengkonsumsi makanan (Bishop et al. 1983 diacu dalam Yearsley 2007). Kondisi tersebut juga menggambarkan siklus respirasi berkorelasi dengan pola nokturnal dan diurnal dari aktivitas makan. Komposisi organ dalam (dalam hal ini panjang usus) berhubungan dengan kebiasaan makanannya. Pada ikan herbívora, panjang usus beberapa kali lipat dari panjang tubuhnya sehingga posisi usus ini dalam rongga perut membentuk gulungan (coil).
Keadaan usus yang sangat panjang pada ikan herbívora
merupakan kompensasi terhadap kondisi makanan yang kadar seratnya tinggi dan keadaan villinya yang relatif rendah (Affandi et al. 2005).
37
Uji organoleptik merupakan parameter dalam menentukan karakteristik dan kualitas suatu produk. Dalam uji organoleptik tersebut dapat dikaitkan dengan uji hedonik. Uji organoleptik dan hedonik bertujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan tekstur daging (kenyal, keras dan lunak) dan rasa daging (amis dan gurih) pada masing-masing perlakuan sistem FT dan kontrol melalui analisa panelis terhadap penilaian uji organoleptik. Hasil penilaian panelis terhadap uji organoleptik menunjukkan bahwa presentase tekstur (kekenyalan) pada FT 200% (85,19%) sedangkan kontrol (74,07%), disusul perlakuan sistem FT 100% (82,14%) dan presentase tingkat kekenyalan pada perlakuan sistem FT 400% (57,14%) serta perlakuan sistem FT 50% (57,14%). Untuk tekstur daging keras panelis memberikan persentase penilaian pada perlakuan sistem FT 50% (32,14%) lebi tinggi dibanding dengan presentase kontrol (3,70%) dan presentase terendah adalah perlakuan sistem FT100% (0,00%), hal ini dimaksudkan bahwa tak ada informasi. Kemudian presentase tekstur daging lunak tertinggi adalah kontrol, dibanding dengan presentase perlakuan sistem FT50% (10,71%), demikian juga dengan perlakuan sistem FT yang lainnya. Selanjutnya untuk presentase rasa keamisan daging abalon tertinggi adalah pada perlakuan sistem FT 50% (40,00%) dibanding dengan kontrol (21.43%) dan presentase rasa keamisan terendah adalah pada perlakuan sistem FT400% (10,34). Presentase rasa gurih tertinggi pada perlakuan sistem FT 400% (89,66%) dibanding dengan presentase rasa gurih pada kontrol. Disamping itu presentase rasa gurih pada kontrol lebih baik dibanding dengan rasa gurih pada perlakuan sistem FT 50% dan FT 100%. Hasil penilaian panelis pada uji organoleptik menunjukkan bahwa terjadi perbedaan antar hasil uji penilaian perlakuan sistem FT maupun kontrol hal ini diduga bahwa masing-masing panelis memiliki perbedaan indera pencicipan. Selanjutnya Rahayu (1998) menyatakan bahwa dalam uji organoleptik indera yang
berperan dalam pengujian adalah indera penglihata, penciuman,
pencicipan, peraba dan pendengaran. Untuk produk pangan, yang paling jarang digunakan adalah indera pendengaran. Dengan demikian dalam melakukan suatu penilaian panelis harus dilatih menggunakan indera untuk menilai sehingga didapat suatu kesan terhadap suatu rangsangan Uji hedonik warna cangkang (cerah dan abu-abu) serta permukaan cangkang (kasar dan halus). Uji hedonik tersebut indera yang beperan dalam pengujian adalah indera penglihatan dan peraba. Presentase hasil uji hedonik
38
menurut penalis menunjukkan bahwa uji kecerahan cangkang lebih baik adalah kontrol (77,27%) dibanding dengan presentase hasil penilaian perlakuan sistem FT400% (40,91%). Sedangkan hasil penilaian uji warna cangkang keabu-abuan menunjukkan bahwa presentase penilaian uji perlakuan sistem FT 50% (59,09%) lebih baik dibanding dengan kontrol (22,73%). Kemudian hasil presentase penilaian uji permukaan cangkang kasar menunjukkan bahwa presentase perlakuan sistem FT 50% (89,29%) lebih tinggi dibanding dengan presentase perlakuan kontrol (81,48%) dan presentase penilaian uji hedonik terkecil adalan perlakuan sistem FT 400% (57,14%). Presentase penilaian uji permukaan cangkang halus adalah perlakuan sistem FT 400% (42,86%) lebih tinggi, dibanding presentase penilaian uji pada kontrol (18,52%). Sedangkan persentase penilaian uji permukaan cangkang halus yang lebih kecil, yaitu persentase penilaian uji pada FT 50% (10,71%). Persentase penilaian uji hedonik menunjukkan perbedaan diantara uji hedonik pada warna cangkang dan permukaan cangkang, hal ini diduga bahwa unsur perbedaan merupakan indikator dalam memberikan informasi dalam menentukan kualitas dan tingkat kesukaan. Pada penilaian uji hedonik dalam perlakuan sistem FT. Persentase kesukaan terhadap karakteristik warna dan permukaan cangkang abalon, merupakan informasi yang dapat menggambarkan masing-masing panelis. Analisis skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menarik menurut tingkat kesukaan. Rahayu (1998) menyatakan bahwa dengan adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan. Selanjutnya Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Hal ini panelis mengemukakan tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai. Monitoring kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak mengalami tekanan dalam perubahan kualitas air, indikator ini tergambarkan dalam peningkatan pertumbuhan dan sintasan. Kualitas air selama pengamatan dalam kisaran yang cukup baik untuk pertumbuhan, sintasan dan penyerapan pakan sehingga efisiensi pakan terkontrol dengan baik. Kisaran kualitas air selama penelitian adalah 30-36 ppt, suhu 23,9-29,9 oC, DO 5,33-7,35 mg L-1, pH 8,07-8,63 dan kesadahan 3200-3425 mg L-1. Hal tersebut
39
menggambarkan karakteristik pada proses fisiologis yang optimal untuk meningkatkan keragaan dan kualitas abalon, baik daging maupun cangkangnya. Selanjutnya Mozqueira (1996) memonitor laju pertumbuhan berat dan panjang cangkang, dilakukan pada 30 sampel yang dilakukan secara acak setiap bulan (kecuali dalam beberapa kasus). Parameter kualitas air sebagai berikut: pH 7,91 – 8,46, DO 5,99 – 7,19 mg L-1 salinitas 31,8-34,0 ppt, pada Februari suhu 11oC dan pada agustus 28oC. Selanjunya Harris et al. (1999) menyatakan bahwa kualitas air pada budidaya abalon, oksigen terlarut 7,36-5,91 mg L-1. Salinitas 30–34 ppt dan suhu 25-30 oC, kisaran kualitas air tersebut masih dalam batas yang optimal. Peck (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan tertekan lebih rendah dari suhu air optimal karena metabolisme diatur oleh suhu. Penyerapan pakan (bahan kering) efisiensi 80% pada suhu antara 14,0°C-27,0°C, tapi penyerapan pakan efisiensi hanya 21% pada suhu 9,8 °C. Monitoring kualitas air seperti salinitas berkisar antara 30-36 ppt dapat mencapai kalsium 329-356 mg L-1, magnesium 1029-1164 mg L-1, phospor 0,048-0,072 mg L-1 dan kesadahan mencapai 3200-3532 mg L-1. Kisaran kalsium, magnesium, phospor dan kesadahan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan sintasan Haliotis squamata. Walaupun belum diketahui secara pasti berapa nilai unsur ion-ion tersebut yang maksimal untuk pertumbuhan. Namun diduga bahwa dengan mencapai nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa respon untuk proses-proses fisiologi dan osmoregulasi abalon pada perlakuan sistem flow through memberikan hasil kontrol positif.
Bioekonomi Berdasarkan analisa bioekonomi Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan FT 50% (Rp 46756.67) memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain biaya relatif rendah, diikuti oleh perlakuan FT100% (Rp 39756.47) dan kontrol (Rp 37624.64), serta perlakuan FT 200 % (Rp 13156.39), setelah selisih biaya dan penerimaan. Perlakuan FT 400% terkoreksi negatif (Rp -25154.37), meskipun daging yang dihasilkan lebih berat (0,34 kg), namun biaya yang digunakan relatif besar, sehingga keuntungannya rendah dibandingkan dengan perlakuan lain. Analisa bioekonomi masing-masing perlakuan merupakan parameter dalam menguji kelayakan penggunaan air mengalir pada sistem flow through terhadap produksi dan kualitas abalon. Sehubungan dengan itu Sales & Britz (2001) melaporkan
40
bahwa perkembangan industri abalon dengan pengembangan dan permintaan pasar yang baik untuk peningkatan produk abalon perlu penanganan sehingga dapat mencapai hasil yang optimal.