6
HASIL DAN PEMBAHASAN Toksisitas Kontak dan Efek Fumigan Minyak Atsiri Cinnamomum spp. Minyak atsiri 8 spesies Cinnamomum dengan konsentrasi 5% memiliki toksisitas kontak dan efek fumigan yang beragam terhadap imago T. castaneum (Tabel 1). Mortalitas imago T. castaneum pada perlakuan dengan minyak atsiri tersebut pada 72 JSP berkisar dari 0% sampai 32% dengan metode kontak dan dari 0% sampai 12% dengan metode fumigasi. Tingkat mortalitas tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan mortalitas pada perlakuan dengan minyak cassia komersial, yaitu 75% dengan metode kontak dan 70% dengan metode fumigasi Minyak atsiri Cinnamomum spp. yang beracun secara kontak terhadap imago T. castaneum menunjukkan adanya komponen toksik dalam minyak atsiri tersebut yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui kemoreseptor pada tarsus imago T. castaneum yang selalu kontak dengan residu minyak atsiri pada permukaan kertas saring. Sementara itu, efek fumigan terjadi karena adanya komponen minyak atsiri dalam fase gas yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui spirakel lalu menyebar ke dalam tubuh melalui sistem trakea untuk mencapai bagian sasaran. Perbedaan toksisitas kontak dan efek fumigan di antara minyak atsiri yang duji tampaknya disebabkan oleh perbedaan komposisi kimia minyak atsiri tersebut. Minyak cassia yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan yang digunakan oleh Hertika (2011), yaitu mengandung sinamaldehida sebagai komponen utama dengan area puncak pada kromatogram gas (GC) sebesar 85%. Minyak atsiri lain dalam penelitian ini yang mengandung sinamaldehida ialah daun C. burmannii dengan area puncak GC 35.8% (Hertika 2011) dan daya bunuh terhadap kumbang T. castaneum yang lebih rendah daripada minyak cassia (Tabel 1). Minyak atsiri lain yang tidak mengandung sinamaldehida atau kandungan senyawa tersebut sangat rendah berdasarkan hasil analisis Hertika (2011) juga Tabel 1 Persentase mortalitas imago T. castaneum pada perlakuan dengan minyak atsiri Cinammomum spp. 5% berdasarkan metode kontak dan fumigasi Spesies C. burmannii daun C. burmannii kulit batang C. camphora C. celebicum C. grandiflorum C. javanicum C. multiflorum C. rhyncophyllum C. verum Minyak cassia komersial Kontrol a
Persentase mortalitas imago T. castaneum ± SBa Metode kontak Metode fumigasi 16.0 ± 1.3 12.0 ± 1.8 5.0 ± 1.0 31.0 ± 1.3 10.0 ± 1.2 11.0 ± 1.5 32.0 ± 1.2 0 27.0 ± 1.3 75.0 ± 1.5 0
Mortalitas pada 72 jam setelah perlakuan, SB = simpangan baku.
12.0 ± 1.1 5.0 ± 1.0 3.0 ± 0.9 8.0 ± 0.9 1.0 ± 0.4 4.0 ± 0.8 10.0 ± 0.7 0 7.0 ± 0.5 70.0 ± 1.9 0
7 kurang aktif dibandingkan dengan minyak cassia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sinamaldehida berperan dalam memberikan sifat insektisida minyak atsiri Cinnamomum terhadap kumbang T. castaneum baik dengan metode kontak maupun fumigasi. Minyak cassia yang digunakan dalam penelitian ini dijual bukan sebagai bahan pestisida tetapi sebagai bahan aditif atau pemberi aroma produk makanan tertentu, misal roti atau kue. Spesies tanaman (Cinnamomum) asal minyak cassia tersebut tidak diketahui dengan pasti karena pada label botol minyak cassia tidak tercantum nama tanaman sumbernya dan pemilik toko kimia di Bogor yang menjual minyak cassia tersebut tidak bersedia mengungkapkan spesies tanaman asalnya. Minyak C. cassia yang digunakan Lee et al. (2008) mengandung sinamaldehida 80.2% (Kong et al. 2007) sementara minyak cassia dalam penelitian ini mengandung sinamaldehida 85% (Hertika 2011) sehingga minyak cassia dalam penelitian ini diduga berasal dari C. cassia. Toksisitas minyak cassia yang cukup tinggi dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Perlakuan dengan minyak cassia pada dosis 0.7 mg/cm2 dengan metode residu pada kertas saring mengakibatkan kematian 100% pada kumbang L. serricorne (Kim et al. 2003a) serta kumbang S. oryzae dan C. chinensis (Kim et al. 2003b). Perlakuan minyak cassia pada dosis yang sama dengan metode fumigasi juga menyebabkan kematian 100% pada kumbang S. oryzae (Kim et al. 2003b). Pada penelitian selanjutnya, Lee et al. (2008) melaporkan bahwa minyak cassia dan sinamaldehida aktif terhadap kumbang S. oryzae dengan LD50 masing-masing 0.104 dan 0.034 mg/cm2 berdasarkan pemajanan selama 48 jam dengan metode gabungan kontak + fumigasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minyak atsiri C. camphora 5% tidak toksik terhadap kumbang T. castaneum baik dengan metode kontak maupun fumigasi (Tabel 1). Hal ini agak berbeda dengan hasil penelitian Liu et al. (2006) yang menunjukkan bahwa minyak atsiri biji C. camphora pada dosis 250-1000 μg/g (minyak/sampel biji gandum) bersifat repelen terhadap kumbang S. oryzae dengan tingkat repelensi 48-81% tetapi tidak terlalu toksik terhadap imago serangga tersebut (tingkat kematian 16-34%). Perbedaan aktivitas insektisida tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa dalam minyak atsiri yang digunakan. Minyak atsiri daun C. camphora yang digunakan dalam penelitian ini mengandung kamfor (53.3%) sebagai komponen utama (Hertika 2011), sedangkan komponen utama dalam minyak atsiri biji C. camphora yang digunakan Liu et al. (2006) adalah linalul (82.7%) (Liu et al. 2001). Minyak atsiri yang mengandung linalul sebagai komponen utama, yaitu minyak atsiri C. grandiflorum (14.2%) dan C. javanicum (13.1%) (Hertika 2011), memiliki aktivitas insektisida yang lemah terhadap kumbang T. castaneum, yaitu mortalitas sekitar 10% dengan metode kontak dan 1%-4% dengan metode efek fumigan (Tabel 1). Berbeda dengan hasil penelitian Liu et al. (2006) yang telah dikemukakan pada paragraf sebelumnya, lemahnya aktivitas minyak atsiri yang mengandung linalul dalam penelitian ini (C. grandiflorum dan C. javanicum) kemungkinan disebabkan oleh rendahnya kandungan linalul dibandingkan dengan kandungan linalul dalam minyak atsiri C. camphora yang digunakan Liu et al. (2006). Kemungkinan lain penyebab perbedaan aktivitas insektisida tersebut ialah perbedaan kepekaan antara kumbang T. castaneum yang digunakan dalam penelitian ini dan kumbang S. oryzae yang digunakan oleh Liu et al. (2006) serta
8 perbedaan cara perlakuan. Dalam penelitian ini, kumbang T. castaneum dipajankan pada lapisan tipis minyak atsiri di kertas saring atau pada uap minyak atsiri tanpa diberi pakan, sedangkan pada pengujian yang dilakukan Liu et al. (2006), kumbang S. oryzae dipajankan pada biji gandum yang diberi perlakuan minyak atsiri sehingga kumbang S. oryzae dapat mati karena gabungan pengaruh kontak, makan biji yang terlapisi minyak atsiri, dan peracunan oleh fase uap minyak atsiri. Minyak atsiri C. celebicum dan C. verum yang mengandung komponen utama eugenol (masing-masing 61.7% dan 74%) serta minyak atsiri C. multiflorum yang mengandung metil eugenol 49.4%, linalul 6.4%, dan eugenol 3.5% (Hertika 2011), dapat mematikan kumbang T. castaneum sekitar 30% dengan metode kontak (Tabel 1). Sebelumnya, Hertika (2011) melaporkan bahwa perlakuan minyak atsiri C. multiflorum dan C. verum pada konsentrasi 0.5% dengan metode residu pada daun (perlakuan pakan) mengakibatkan mortalitas larva Crocidolomia pavonana masing-masing sekitar 94% dan 76%, sedangkan minyak cassia kurang aktif (mortalitas sekitar 13%). Kematian larva C. pavonana pada pengujian tersebut selain karena efek kontak dan fumigan juga dapat disebabkan oleh adanya senyawa minyak atsiri yang termakan bersama daun perlakuan (racun perut). Selain itu, ulat C. pavonana tampaknya lebih peka terhadap eugenol atau metil eugenol daripada terhadap sinamaldehida, dan hal ini merupakan kebalikan dari tingkat kepekaan kumbang T. castaneum terhadap senyawa tersebut. Minyak atsiri C. rhyncophyllum tidak toksik terhadap kumbang T. castanenum (mortalitas 0% Tabel 1). Komponen utama minyak atsiri C. rhyncophyllum dalam penelitian ini adalah eukaliptol (10.3%) dan sabinena (8.7%) (Hertika 2011). Jantan et al. (2005) di Malaysia melaporkan bahwa minyak atsiri C. rhyncophyllum yang mengandung benzil benzoat 70% dan metil sinamat 4.3% memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva nyamuk A. aegypti dengan LC50 6.0 μg/ml. Jantan et al. (2005) juga melaporkan bahwa minyak atsiri spesies lain Cinnamomum yang mengandung benzil benzoat sebagai komponen utama, yaitu C. impressicostatum, C. microphyllum, C. mollissimum, dan C. pubescens, juga aktif terhadap larva A. aegypti. LC50 benzil benzoat terhadap larva nyamuk tersebut adalah 6.8 μg/ml. Benzil benzoat berturut-turut 7.8, 13.2, 23.1, dan 51.6 kali lebih beracun terhadap larva A. aegypti daripada sinamaldehida, eugenol, linalul, dan metal eugenol (Jantan et al. 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa benzil benzoat merupakan senyawa aktif utama dalam minyak atsiri Cinnamomum yang bersifat insektisida terhadap larva nyamuk A. aegypti dan hal ini berbeda dengan senyawa aktif terhadap hama gudang dan ulat C. pavonana seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas insektisida minyak atsiri Cinnamomum terhadap serangga dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia, jenis serangga sasaran, dan cara aplikasi. Lebih lanjut, kandungan senyawa kimia dalam minyak atsiri suatu spesies Cinnamomum dapat berbeda bergantung pada asal bahan tanaman.
9 Toksisitas Minyak Cassia terhadap T. castaneum Toksisitas Kontak Perlakuan dengan minyak cassia secara kontak sudah mengakibatkan kematian imago T. castaneum yang cukup besar pada 24 JSP relatif terhadap tingkat kematian pada 48 dan 72 JSP (Gambar 1A). Hal tersebut menunjukkan bahwa minyak cassia bekerja relatif cepat. Pada 24 JSP, perlakuan dengan minyak cassia 4% dan 5% menyebabkan kematian serangga uji masing-masing 22% dan 46%, sedangkan pada konsentrasi 1%-3% kematian serangga uji hanya berkisar 0%-6%. Pada 48 JSP, hanya terjadi peningkatan kematian serangga uji yang relatif rendah. Pada perlakuan konsentrasi 4% dan 5%, tingkat kematian masing-masing 26% dan 52%, sedangkan pada konsentrasi 1%-3% tingkat kematian berkisar 0%-6%. Antara 48 dan 72 JSP peningkatan kematian serangga uji lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan kematian antara 24 dan 48 JSP. Kematian serangga uji pada perlakuan konsentrasi 4% dan 5% masing-masing 31% dan 57% dan pada perlakuan konsentrasi 1%-3% tingkat kematian berkisar 0%-9% (Gambar 1A). Kim et al. (2003b) melaporkan bahwa perlakuan dengan minyak atsiri C. cassia pada dosis 0.7 mg/cm2 dengan metode kontak menyebabkan kematian kumbang S. oryzae dan C. chinensis yang relatif cepat, yaitu 100% pada 24 JSP. Pada penelitian lain, Kim et al. (2003a) melaporkan bahwa perlakuan dengan minyak atsiri kulit batang C. cassia pada dosis 0.7 mg/cm2 dengan metode kontak juga menyebabkan kematian kumbang L. serricorne sebesar 100% pada 24 JSP. Pada penelitian ini, perlakuan dengan minyak cassia 5% yang setara dengan dosis 0.39 mg/cm2 menyebabkan kematian kumbang T. castaneum 46% pada 24 JSP. Kandungan senyawa sinamaldehida dalam minyak atsiri C. cassia yang digunakan oleh Kim et al. (2003a, 2003b) tidak dianalisis sehingga kesetaraan dosis senyawa tersebut tidak dapat dibandingkan. Kematian T. castaneum pada perlakuan dengan insektisida pembanding alfasipemetrin hanya terjadi pada konsentrasi 10%. Pada 24 JSP, kematian serangga uji kurang dari 10% yang sedikit meningkat menjadi 15% pada 48 JSP. Antara 48 dan 72 JSP terjadi peningkatan mortalitas yang cukup, yaitu menjadi 38% (Gambar 1B). Insektisida alfa-sipemetrin lebih banyak menyebabkan serangga mengalami knockdown. Pada perlakuan konsentrasi 10%, serangga uji yang mengalami knockdown mencapai 73% dan kematian 9% pada 24 JSP kemudian knockdown meningkat menjadi 80% dan kematian 15% pada 48 JSP, tetapi knockdown menurun menjadi 61% dan kematian meningkat 38% pada 72 JSP. Penurunan persentase knockdown pada 72 JSP disebabkan oleh sebagian serangga knockdown akhirnya mengalami kematian. Pada perlakuan konsentrasi 5%, serangga uji yang mengalami knockdown mencapai 86% pada 24 JSP kemudian meningkat menjadi 100% pada 48 JSP. Pada konsentrasi terendah (1%) serangga uji mengalami knockdown hanya 1% pada 48 JSP yang tidak meningkat pada 72 JSP (Gambar 2). Efek knockdown yang cepat karena alfa-sipermetrin merupakan racun saraf yang bekerja cepat pada bagian sasaran, yaitu menghambat hantaran impuls saraf pada akson saraf (Djojosumarto 2008). Minyak atsiri yang diuji juga mengakibatkan kematian yang relatif cepat pada kumbang T. castaneum. Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif dalam minyak atsiri tersebut kemungkinan bekerja sebagai racun saraf tetapi cara kerjanya secara spesifik belum diketahui dengan pasti.
10
A
B
Gambar 1 Perkembangan mortalitas imago T. castaneum akibat perlakuan kontak dengan minyak cassia komersial (A) dan alfa sipermetrin (B). Pada kontrol tidak ada kematian serangga uji.
Gambar 2 Perkembangan knockdown imago T. castaneum akibat perlakuan kontak alfa-sipermetrin. Pada kontrol tidak ada kematian serangga uji.
11 Hasil analisis probit menunjukkan bahwa LC50 dan LC95 minyak cassia terhadap T. castaneum pada 72 JSP hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada 48 JSP, dan LC50 dan LC95 pada 48 JSP tidak terlalu jauh berbeda dengan LC50 dan LC95 pada 24 JSP. LC50 dan LC95 pada 24, 48, 72 JSP tidak berbeda nyata karena selang kepercayaan 95% untuk LC50 dan LC95 pada 24, 48, dan 72 JSP tumpang-tindih (Tabel 3). LC50 minyak cassia terhadap T. castaneum secara kontak pada 48 JSP dalam penelitian ini ialah 4.96%. Nilai tersebut sekitar 48 kali lebih tinggi daripada LC50 minyak cassia terhadap S. oryzae (0.104%) dengan metode kontak + fumigan yang dilaporkan oleh Lee et al. (2008). Perbedaan LC50 tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan metode dan jenis serangga uji yang digunakan. Efek Fumigan Seperti pada perlakuan dengan metode kontak, minyak cassia juga bekerja relatif cepat pada perlakuan dengan metode efek fumigan. Perlakuan dengan minyak cassia 4% dan 5% masing-masing setara dengan dosis 0.31 mg/cm2 dan 0.39 mg/cm2 selama 24 jam mengakibatkan kematian serangga uji masing-masing lebih dari 60% dan 80%. Sementara setelah pemajanan selama 72 jam, perlakuan dengan minyak cassia 4% dan 5% mengakibatkan kematian serangga uji masingmasing lebih dari 70% dan 85% (Tabel 2). Hasil penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian Kim et al. (2003b) yang melaporkan bahwa minyak atsiri C. cassia memiliki efek fumigan yang relatif cepat terhadap kumbang S. oryzae dan C. chinensis, yaitu perlakuan pada dosis 0.7 mg/cm2 mengakibatkan kematian dua jenis kumbang tersebut sampai 100% setelah pemajanan selama 24 jam Tabel 2 Kematian imago T. castaneum akibat perlakuan dengan dengan minyak cassia dengan metode fumigan Konsentrasi (%, w/v) Kontrol 1 2 3 4 5 a
Kematian imago T. castaneum ± SB (%)a 24 JSPb 72 JSP 0 1.0 ± 0.4 3.0 ± 0.6 17.0 ± 1.3 61.0 ± 1.9 81.0 ± 1.6
0 1.0 ± 0.4 9.0 ± 1.6 50.0 ± 1.9 74.0 ± 3.9 87.7 ± 1.7
SB: simpangan baku. bJSP: jam setelah perlakuan.
Perlakuan dengan insektisida pembanding alfa-sipermetrin 1% dan 5% dengan metode efek fumigan tidak menyebabkan kematian atau knockdown kumbang T. castaneum baik pada pemajanan 24 jam maupun 72 jam. Hal ini karena alfa-sipemetrin bersifat sebagai racun kontak dan racun perut serta tidak bersifat sebagai racun napas (Djojosumarto 2008). Seperti pada metode kontak, LC50 dan LC95 minyak cassia terhadap imago T. castaneum pada pemajanan 72 jam dengan metode efek fumigan lebih kecil dibandingkan pada pemajanan 24 jam. LC50 minyak cassia terhadap T. castaneum
12 dengan metode efek fumigan pada 24 JSP dalam penelitian ini 3.78% yang setara dengan 0.29 mg/cm2. Nilai tersebut sebanding dengan LC50 sinamaldehida terhadap kumbang T. castaneum, yaitu 0.28 mg/cm2, yang dilaporkan oleh Huang dan Ho (1998). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minyak cassia dengan kandungan utama sinamaldehida (85%) memiliki efek fumigan (LC50 3.12% pada 72 JSP) yang lebih kuat daripada efek kontaknya (LC50 4.73% pada 72 JSP) terhadap imago T. castaneum. Hal ini kemungkinan disebabkan fase uap komponen aktif minyak cassia dapat memasuki saluran pernapasan serangga uji dan mencapai bagian sasaran lebih cepat dibandingkan dengan penetrasi komponen aktif tersebut melalui kutikula tarsus setelah kontak dengan residu bahan uji pada permukaan kertas saring. Efek fumigan minyak cassia yang lebih kuat dibandingkan dengan efek kontaknya sesuai dengan hasil penelitian Huang dan Ho (1998), yang melaporkan bahwa LC50 sinamaldehida terhadap kumbang T. castaneum dengan metode kontak adalah 0.7 mg/cm2, sedangkan dengan metode fumigasi adalah 0.28 mg/cm2. Minyak cassia yang digunakan dalam penelitian ini memiliki efek kontak dan efek fumigan terhadap kumbang T. castaneum yang lebih baik daripada formulasi insektisida pembanding berbahan aktif alfa-sipermetrin. Aplikasi minyak cassia pada permukaan kemasan komoditas di penyimpanan atau pada permukaan lantai dan dinding gudang diharapkan dapat membunuh hama tersebut secara kontak. Sementara serangga yang tidak terkena minyak cassia secara kontak akan mati setelah terpajan pada fase uap minyak tersebut. Di lain pihak, sinamaldehida yang merupakan senyawa aktif minyak cassia dilaporkan memiliki toksisitas yang rendah terhadap hewan menyusui (Lee et al. 2008 dalam Tang dan Eisenbrand 1992). Dengan demikian, minyak cassia potensial untuk digunakan sebagai bahan alternatif dalam pengendalian hama gudang. Beberapa hal perlu dilakukan sebelum minyak cassia digunakan dalam praktik pengendalian hama gudang, di antaranya (1) pencarian jenis tanaman C. cassia yang minyak atsirinya memiliki kandungan sinamaldehida yang tinggi; (2) pengembangan formulasi dan cara aplikasi yang dapat meningkatkan keefektifan minyak atsiri tersebut, misal formulasi untuk aplikasi pengabutan (fogging); (3) pengujian keefektifan terhadap berbagai jenis hama gudang lain; (4) pengujian keefektifan di lapangan (di dalam gudang); dan (5) pengujian pengaruh aplikasi minyak atsiri tersebut terhadap kualitas produk, seperti warna, bau, rasa, dan nilai gizi.
13
Tabel 3 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas minyak cassia terhadap imago T. castaneum dengan metode residu pada kertas saring
a
Rentang pemajanan (JSP)a
a ± GBb
b ± GBb
LC50 (SK 95%) (%)b
LC95(SK 95%) (%)b
24 48 72
-4.70 ± 0.56 -4.63 ± 0.52 -4.45 ± 0.48
6.54 ± 0.89 6.65 ± 0.84 6.58 ± 0.78
5.32 (4.32-5.71) 4.96 (4.70-5.33) 4.73 (4.45-5.11)
9.33 (7.98-11.98) 8.77 (7.66-10.77) 8.40 (7.25-10.68)
b
JSP = jam sejak perlakuan. a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
Tabel 4 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas minyak cassia terhadap imago T. castaneum dengan metode efek fumigan
a
Rentang pemajanan (JSP)a
a ± GBb
b ± GBb
24 72
-3.81 ± 0.34 -2.84 ± 2.57
6.59 ± 0.58 5.75 ± 0.84
LC50 (SK 95%) (%)b 3.78 (-) 3.12 (2.73-3.52)
LC95(SK 95%) (%)b 6.71 (-) 6.03 (4.98-8.60)
b
JSP = jam sejak perlakuan. a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
13