HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas Spasial dan Temporal Parameter Fisika-Kimia Lingkungan Perairan Variabilitas Spasial dan Temporal Parameter Fisika-Kimia Air Laut Hasil pengukuran parameter fisika-kimia air laut dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan pada data itu, nilai parameter fisika-kimia air laut bervariasi secara spasial dan temporal. Masing-masing parameter tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
Kecerahan Hasil pengukuran diperoleh nilai kecerahan di perairan Selat Dompak berkisar 0.40-1.40 m (Lampiran 2). Dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa kecerahan perairan cukup berfluktuasi selama penelitian (Gambar 9). Dari analisis varians, kecerahan perairan berbeda signifikan (p<0.05) secara spasial dan temporal (Lampiran 3). Dari uji lanjut Tukey, secara spasial nilai kecerahan di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun Bl (Lampiran 3). Nilai rata-rata kecerahan tertinggi terdapat di stasiun Al sebesar 1.1150 m, sedangkan nilai ratarata terendah didapatkan di stasiun Bl sebesar 0.5175 m. Secara temporal, nilai kecerahan pada musim Timur berbeda signifikan dengan musim Barat dan Peralihan II (Lampiran 3). Nilai rata-rata kecerahan tertinggi terdapat pada musim Timur (1.0700 m), sedangkan nilai terendah terdapat pada musim Peralihan II (0.6100 m).
61
Rendahnya nilai kecerahan pada musim Barat disebabkan oleh limpasan air tawar yang banyak mengandung partikel-partikel terlarut dan tersuspensi, sehingga mempengaruhi tingkat kecerahan dan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Padatan tersuspensi berkorelasi negatif dengan kecerahan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kecerahan semakin rendah.
Suhu Hasil pengukuran suhu air di semua stasiun selama penelitian berkisar 29.03-31.50 °C (Lampiran 2). Kisaran nilai tersebut memperlihatkan bahwa suhu air di semua lokasi pengamatan berada dalam kisaran suhu normal untuk daerah tropis. Heip et al. (1985) melaporkan bahwa suhu yang optimum untuk perkembangan meiofauna adalah 20-30 °C. Hal ini berarti bahwa kisaran nilai suhu di perairan Selat Dompak dapat mendukung kehidupan meiofauna. Kisaran nilai suhu di atas menunjukkan bahwa sebaran nilai suhu perairan antar stasiun selama penelitian cukup bervariasi (Gambar 10). Namun, berdasarkan pada hasil analisis varians ternyata secara spasial nilai rata-rata suhu perairan tidak berbeda signifikan antar stasiun (p>0.05), berarti bahwa setiap stasiun memiliki nilai rata-rata suhu perairan yang hampir sama (Lampiran 3). Secara temporal, terdapat perbedaan nilai rata-rata suhu yang signifikan antar musim (p<0.05). Dari uji lanjut Tukey diperoleh bahwa nilai rata-rata suhu perairan pada musim Barat berbeda signifikan dengan musim lainnya (Lampiran 3). Rata-rata suhu tertinggi terdapat pada musim Timur sebesar 30.6°C, sedangkan suhu terendah diperoleh pada musim Barat dengan suhu rata-rata sebesar 29.2 °C.
62
Walaupun hasil uji Anova menunjukkan suhu perairan tidak berbeda signifikan secara spasial, namun secara umum dapat dikatakan bahwa suhu perairan di lokasi penelitian (stasiun Al, A2, A3, Bl dan B2) lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun C. Hal ini disebabkan oleh faktor letak geografis daerah dan kondisi hidrologi perairan. Stasiun Al, A2, A3, Bl dan B2 merupakan perairan semi tertutup yang menjadikan perairan relatif tenang sehingga pengadukan massa air baik oleh arus maupun turbulensi sangat kecil sekali. Kondisi yang demikian menyebabkan suhu tidak menyebar secara merata. Akibatnya, suhu permukaan perairan akan lebih tinggi. Sementara, kondisi lokasi stasiun C yang berhadapan langsung dengan laut terbuka, akan memberikan kesempatan lebih sering terjadinya pengadukan, sehingga di lokasi ini suhu akan tersebar secara merata yang mengakibatkan nilainya lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kecepatan arus Kecepatan arus perairan Selat Dompak berkisar 0.02-0.35 m/det (Lampiran 2). Dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa kecepatan arus perairan cukup berfluktuasi selama penelitian (Gambar 11). Berdasarkan pada hasil analisis varians, kecepatan arus berbeda signifikan (p<0.05) secara spasial dan secara temporal tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Lampiran 3). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa kecepatan arus di stasiun C berbeda signifikan dengan setiap stasiun lainnya (Lampiran 3). Kecepatan arus di stasiun C memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 0.2625 m/det, sementara itu nilai rata-rata terendah didapatkan di stasiun B2 yaitu 0.0525 m/det.
Gambar 11. Variasi kecepatan arus secara spasial dan temporal di perairan Selat Dompak.
63
Kecepatan arus di stasiun C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya kecepatan arus di stasiun C disebabkan oleh letak lokasi ini yang langsung berhadapan dengan laut terbuka. Sementara, rendahnya kecepatan arus di stasiun B2 disebabkan oleh letaknya yang terlindung oleh pulau Bintan dan pulau Dompak. Di Stasiun Al, A2 dan A3 yang merupakan lokasi padang lamun memiliki nilai kecepatan arus yang juga berbeda signifikan dengan stasiun C, di mana kecepatan arusnya lebih rendah dibandingkan dengan stasiun C. Lemahnya kecepatan arus oleh vegetasi lamun, terutama vegetasi lamun yang padat di stasiun Al, tentu saja dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perairan di sekitarnya. Vegetasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang (Nybakken & Bertness 2005). Dengan demikian, ekosistem ini bertindak sebagai pencegah erosi dan sebagai perangkap sedimen. Arus ini relatif tenang karena Selat Dompak merupakan perairan semi tertutup. Arus merupakan faktor yang penting di perairan Selat Dompak. Pergerakan arus dapat menentukan tipe partikel yang terkandung di dalamnya. Semakin tinggi kecepatan arus maka fraksi sedimen akan semakin kasar. Sebaliknya, semakin lemah kecepatan arus maka fraksi sedimen akan semakin halus. Pada dasar perairan yang lunak, jalur arus dapat menimbulkan gerakan bergelombang di dasar tersebut. Pergerakan arus yang kuat ini dapat mengaduk-aduk dasar perairan dan memindahkan partikel sedimen halus serta tersuspensi ke kolom air. Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas sedimen, sehingga sangat berpengaruh terhadap meiofauna yang hidup di dalamnya. Stabilitas sedimen dapat terbentuk pada dasar perairan yang pergerakan arusnya lemah atau letaknya lebih dalam sehingga tidak terlalu dipengaruhi oleh arus. Padatan tersuspensi total (TSS) Hasil pengukuran TSS di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 86.0-315.0 ppm (Lampiran2). Dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa nilai TSS cukup berfluktuasi di berbagai stasiun selama penelitian (Garnbar 12). Hasil analisis varians menunjukkan bahwa nilai TSS secara spasial berbeda signifikan (p<0.05), sedangkan secara temporal tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Lampiran
64
3). Dari uji lanjut Tukey dihasilkan bahwa nilai TSS di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun A3, Bl, B2 dan C, sedangkan dengan stasiun A2 tidak berbeda signifikan (Lampiran 3). Nilai TSS di stasiun Al (lamun rapat/lebat) memiliki nilai rata-rata terendah (143.5000 ppm), sedangkan nilai rata-rata tertinggi terdapat di stasiun Bl yaitu sebesar 279.7500 ppm.
Gambar 12. Variasi TSS secara spasial dan temporal di perairan Selat Dompak. Rendahnya nilai TSS di stasiun Al disebabkan oleh lamun yang rapat dan lebat dapat menurunkan sedimentasi dan kekeruhan air karena lamun mampu meredam atau mengurangi kecepatan arus yang melalui padang lamun, akibatnya partikel tersuspensi di kolom air akan mengendap ke dasar perairan. Perairan yang ditumbuhi lamun (stasiun Al, A2 dan A3) mempunyai TSS yang lebih rendah daripada perairan yang tidak ditumbuhi lamun (stasiun Bl, B2 dan C), karena lamun selain dapat menangkap sedimen, juga mampu menstabilkan substrat sehingga tidak mudah teraduk. Rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan menggabungkan sedimen, sehingga meningkatkan stabilitas permukaan sedimen dan menjadikan air lebih jernih (Bostrom & Bonsdorff 2000; Moberg & Ronnback 2003; Zulkifli & Efrieldi 2003). Salinitas Salinitas perairan Selat Dompak menunjukkan kisaran 30.0-32.5%o (Lampiran 2). Salinitas perairan ini selalu berubah dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh adanya penguapan, curah hujan dan masukan air tawar dari sungai yang bermuara ke Selat Dompak. Namun demikian, nilai salinitas perairan ini hampir merata sepanjang tahun (Gambar 13). Dari hasil analisis varians, nilai salinitas secara spasial tidak berbeda signifikan (p>0.05), sedangkan secara
65
temporal berbeda signifikan (p<0.05) (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa nilai salinitas pada musim Barat berbeda signifikan dengan setiap musim lainnya (Lampiran 3). Nilai rata-rata salinitas tertinggi terdapat pada musim Peralihan II sebesar 31.4167%o, hal ini lebih berkaitan dengan kondisi suhu perairan yang cukup tinggi. Sementara itu, nilai terendah diperoleh pada musim Barat yaitu 30.1500%o, hal ini disebabkan oleh tingginya curah hujan dan banyaknya limpasan air tawar yang masuk ke dalam perairan.
Gambar 13. Variasi salinitas air laut secara spasial dan temporal di perairan Selat Dompak. Pada setiap musim, salinitas di stasiun C memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan oleh lokasi stasiun C langsung berhadapan dengan laut terbuka dan tidak ada pengaruh limpasan air sungai, sehingga massa air yang ada di stasiun ini lebih didominasi oleh massa air dari laut terbuka yang bersalinitas tinggi. Nybakken dan Bertness (2005) menyatakan bahwa salinitas di lautan terbuka lebih besar daripada salinitas di perairan pantai. Pada daerah pantai, banyaknya sungai yang bermuara ke laut mengakibatkan salinitasnya lebih rendah dari laut terbuka. Dari kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa nilai salinitas di lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor penguapan pada permukaan perairan, banyaknya air tawar yang masuk ke perairan, dan adanya pengaruh musim (musim timur dan musim barat). Meiofauna yang hidup di stasiun C dapat menerima kadar garam yang tinggi dalam jaringan tubuhnya tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan. Keberadaan meiofauna di lokasi ini dapat beradaptasi terhadap salinitas tinggi yang dilakukan dengan cara mengubah cairan tubuhnya sesuai dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya.
69
Sementara itu, hasil analisis varians untuk PO4-P menunjukkan bahwa konsentrasinya secara spasial berbeda signifikan (p<0.05), sedangkan secara temporal tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Lampiran 3). Dari uji lanjut Tukey, diperoleh nilai rata-rata konsentrasi PO4-P di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun C (Lampiran 3). Nilai rata-rata konsentrasi PCVP tertinggi dijumpai di stasiun Al yaitu sebesar 0.3365 ppm, sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat di stasiun C sebesar 0.1163 ppm. Konsentrasi NOs-N tertinggi terdapat pada musim Peralihan II berkisar antara 0.466-0.545 ppm dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun A3, sedangkan nilai terendah terdapat pada musim Timur di stasiun Bl, B2 dan C maing-masingnya sebesar 0.380 ppm. Sementara, konsentrasi PCVP tertinggi juga terdapat pada musim Peralihan II, namun nilai tertinggi terdapat di stasiun Al yaitu sebesar 0.510 ppm, sedangkan nilai terendah terdapat pada musim Timur yaitu di stasiun C sebesar 0.020 ppm. Seperti halnya NCVN, PCVP juga dimanfaatkan oleh fitoplankton, sehingga dapat mengurangi ketersediaannya di perairan pada musim ini. Fosfat yang terdapat dalam air, tidak hanya bergantung pada pembentukan dan perombakan bahan-bahan organik serta pertukaran vertikal air, tetapi juga dipengaruhi oleh kimia dasar perairan. Dalam memasuki musim Barat banyak bahan organik masuk ke dalam perairan yang berasal dari daratan melalui sungai dan run-off yang dapat mengakibatkan terjadinya pengayaan nutrien di perairan ini. Biasanya mikroalga dalam kolom air dan mikroalga bentik (diatom) segera memanfaatkan nutrien yang tersedia dalam musim ini untuk pertumbuhannya (Dailey 2006). Pada akhir musim Barat mikroalga mencapai puncak tertinggi, di mana nutrien yang ada dalam kolom air setelah musim Barat dimanfaatkan secara optimum oleh mikroalga dan tumbuhan lamun untuk pertumbuhannya. Akibatnya, persediaan nutrien di perairan akan berkurang dalam memasuki musim selanjutnya, yaitu musim Peralihan II. Namun kenyataannya, pada musim ini ketersediaan nutrien cukup tinggi meskipun masukan bahan organik dari luar atau daratan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan musim Barat. Hal ini disebabkan oleh adanya pelepasan nutrien dari sedimen ke kolom air melalui proses difusi.
70
Di ekosistem padang lamun biasanya terjadi proses difusi (pergerakan) nutrien dari sedimen ke kolom air di atasnya. Proses tersebut bergantung pada tipe sedimen dan faktor-faktor lingkungan kolom air seperti suhu air, konsentrasi oksigen terlarut, nutrien dan pH. Difusi nutrien (ortofosfat) dari sedimen ke kolom air ditentukan oleh dua proses yang saling berlawanan, yaitu proses pengikatan dan pelepasan nutrien yang berlangsung dalam keadaan anaerob (Erftemeijer & Middelburg 1993). Pelepasan nutrien dari sedimen dapat mensuplai bagi keperluan mikroalga bentik dan produktivitas primer di wilayah pantai (Gibblin et al. 1997). Berbeda dengan alga yang bergantung pada konsentrasi nutrien dalam air, lamun merupakan tumbuhan berakar yang menyerap nutrien dari sedimen. Jadi, lamun mampu mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem padang lamun agar tidak terperangkap di dasar perairan. Bahan organik total (TOM) Perairan Selat Dompak didominasi oleh vegetasi mangrove dan lamun, baik serasah mangrove maupun lamun akan mengalami penguraian yang intensif secara biokimia untuk menghasilkan TOM. Nilai TOM di perairan Selat Dompak selama penelitian berkisar 25.0-102.0 ppm (Lampiran 2). Nilainya bervariasi secara spasial dan temporal, yaitu pada musim Timur berkisar 31.0-102.0 ppm, musim Peralihan I berkisar 35.0-94.0 ppm, musim Barat berkisar 40.0-98.0 ppm, dan musim Peralihan II berkisar 25.0-95.0 ppm (Gambar 17). Hasil analisis varians menunjukkan bahwa nilai TOM air laut secara spasial berbeda signifikan (p<0.05), sedangkan secara temporal tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Lampiran 3). Dari uji lanjut Tukey, diperoleh nilai TOM di stasiun C berbeda signifikan dengan setiap stasiun lainnya, stasiun Al berbeda dengan stasiun A3, Bl, B2 dan C, serta stasiun A2 berbeda dengan stasiun Bl dan C (Lampiran 3). Nilai rata-rata TOM tertinggi dijumpai di stasiun Bl sebesar 92.2500 ppm, sedangkan nilai terendah di stasiun C sebesar 32.7500 ppm. Hasil analisis TOM ditinjau dari variabilitas musiman menunjukkan bahwa nilainya dari musim Timur menurun sampai musim Peralihan I, kemudian meningkat pada musim barat, dan menurun pada musim Peralihan II. Pada musim Barat, debit air meningkat drastis. Dengan tingginya debit air, air dengan
72
dalam substrat mangrove berperan sebagai sumber keasaman. Dengan kata lain, bila pH sedimen rendah maka pH pada kolom air di kawasan mangrove menjadi rendah sehingga perairan dalam suasana anaerob. Stumm dan Morgan (1981) diacu dalam Manik et al. (1997) melaporkan bahwa dalam kondisi anaerob, penguraian bahan organik oleh bakteri akan lancar untuk membentuk senyawa asam asetat, asam sitrat, asam laktat, asam butirat dan asam sulfida. Jika penguraian intensif terhadap serasah kulit kayu, akar dan serasah daun mangrove akan terbentuk senyawa tannin. Sejalan dengan ini, meningkat dan menurunya kadar TOM diduga disebabkan oleh adanya senyawa tannin di dalam perairan. Peningkatan kandungan bahan organik di perairan Selat Dompak cenderung diikuti oleh meningkatnya konsentrasi nutrien. Bahan organik memainkan peranan yang sangat penting dalam fungsi ekosistem selain sebagai sumber makanan dan energi bagi organisme bentik, juga berfungsi dalam resiklus nutrien dalam ekosistem. Bahan organik di dalam air secara alami akan mengalami proses dekomposisi oleh bakteri. Hasil dekomposisi adalah bahan-bahan anorganik yang sangat bermanfaat bagi tumbuhan air, baik yang mikro (fitoplankton) maupun yang berukuran makro (lamun dan rumput laut). Proses dekomposisi bahan organik di dalam air sangat membutuhkan keberadaan oksigen terlarut di dalam air. Keberadaan oksigen di dalam air dapat berasal dari difusi oksigen dari udara ke dalam air dan hasil dari proses fotosintesis tumbuhan air dan fitoplankton.
Variabilitas Spasial dan Temporal Parameter Fisika-Kimia Sedimen Fraksi Sedimen Hasil pengukuran fraksi sedimen di semua lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4. Penamaan ini berdasarkan pada nilai fraksi-fraksi yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian menurut segitiga Shepard, yaitu lumpur, lumpur berpasir, dan pasir berkerikil. Fraksi lumpur umumnya terdapat di stasiun-stasiun yang terletak di daerah padang lamun kurang rapat/lebat (stasiun A2) dan padang lamun sangat jarang (stasiun A3) serta stasiun-stasiun yang berada di daerah mangrove (stasiun Bl dan B2). Fraksi lumpur berpasir hanya dijumpai di stasiun padang lamun yang rapat/lebat (stasiun Al). Sementara, fraksi
73
pasir berkerikil hanya ditemukan di stasiun C (bare area) yang langsung berhadapan dengan laut terbuka. Butiran sedimen yang halus terbawa memasuki hamparan padang lamun dan terperangkap untuk tetap berada di sana. Sementara hancuran daun yang gugur, organisme-organisme yang mati serta senyawa organik lainnya juga memberikan kontribusi terhadap kehadiran lumpur melalui proses dekomposisi di lingkungan padang lamun. Lamun akan memodifikasi sedimen di areal yang ditumbuhinya. Lamun dapat memodifikasi sedimen dengan cara menstabilkan ukuran pasir, dan hamparan lamun yang lebat menyebabkan perairan menjadi tenang. Ketika sedimen halus mengendap dan berada di antara akar, sedimen tidak dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan arus dan ombak. Daun lamun sendiri pun dapat menangkap sedimen halus melalui kontak, karena daun-daun tersebut diliputi oleh mikroorganisme (Bostrom & Bonsdorff 2000; Moberg & Ronnback 2003). Fraksi pasir berkerikil yang hanya ditemukan di stasiun C. Tingginya fraksi pasir berkerikil di stasiun ini disebabkan oleh letaknya yang langsung berhadapan dengan laut terbuka. Kondisi demikian menyebabkan hempasan gelombang dan ombak serta arus yang kuat dapat mengubah bentuk, ukuran, komposisi dan penyebaran fraksi sedimen. Nybakken dan Bertness (2005) menyatakan bahwa pengangkutan sedimen dapat mengubah bentuk, ukuran, komposisi dan juga penyebaranya. Ini berarti gerakan ombak menyebabkan terjadinya pergerakan partikel-partikel sedimen terangkut, teraduk dan kemudian terdeposit kembali. Butiran sedimen itu akan selalu berpindah-pindah dan jauhnya setiap butiran terbawa arus bergantung pada kecepatan pengendapan, arus dan turbulensi. Partikel berukuran besar mengendap dengan cepat di sekitar pantai, sedangkan partikel yang halus terbawa jauh oleh arus. Jenis sedimen di lokasi penelitian sangat penting diketahui, karena merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran meiofauna. Jenis sedimen ini erat kaitannya dengan konsentrasi oksigen dan ketersediaan bahan organik dalam sedimen. Pada sedimen berbutiran kasar (berpasir), konsentrasi oksigen relatif lebih besar dibandingkan dengan sedimen berbutiran yang lebih halus (berlumpur). Hal ini disebabkan oleh sedimen berbutiran kasar terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di
75
komposisi ukuran partikel sedimen (Erftemeijer 1993; Erftemeijer & Middelburg 1993). Ortofosfat yang terikat pada sedimen berbutiran halus lebih tinggi daripada sedimen berbutiran kasar. Hal ini disebabkan oleh permukaan sedimen berbutiran halus lebih luas sehingga lebih mudah mengikat nutrien. Nutrien yang terikat pada sedimen ini merupakan proses penting yang mempengaruhi keseluruhan produktivitas ekosistem perairan. Hasil analisis varians (Anova) menunjukkan bahwa secara spasial konsentrasi NOs-N dan PCVP sedimen ternyata tidak berbeda signifikan (p>0.05), sementara nilainya berbeda signifikan (p<0.05) secara temporal (Lampiran 6). Dari uji lanjut Tukey, diperoleh nilai rata-rata konsentrasi NOs-N sedimen pada musim Timur dan Peralihan I berbeda signifikan dengan musim Barat dan Peralihan II (Lampiran 6). Nilai rata-rata konsentrasi NOs-N tertinggi dijumpai pada musim Peralihan II sebesar 0.6650 ppm, sedangkan nilai terendah dihasilkan pada musim Barat sebesar 0.3550 ppm. Sementara itu, dari uji lanjut Tukey diperoleh pula konsentrasi PCVP sedimen pada musim Peralihan II berbeda signifikan dengan setiap musim lainnya (Lampiran 6). Nilai rata-rata konsentrasi PCVP sedimen yang tertinggi dihasilkan pada musim Barat yaitu sebesar 1.8742 ppm, sedangkan konsentrasi terendah dijumpai pada musim Peralihan II sebesar 0.5447 ppm. Berfluktuasi nilai kedua nutrien ini berkaitan dengan dekomposisi bahan organik dalam sedimen, dan proses ini merupakan sumber utama nutrien di padang lamun. Umumnya sedimen yang ditumbuhi lamun bahan organiknya lebih tinggi daripada yang tidak ditumbuhi lamun. Hal ini disebabkan oleh keberadaan tumbuhan lamun dapat menyediakan bahan organik secara kontinyu dalam sedimen (Hines 1991). Selain itu, perbedaan tipe sedimen cenderung mengakibatkan perbedaan konsentrasi nitrat NOs-N dan PO4-P dalam sedimen, dan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Erftemeijer 1993; Erftemeijer & Middelburg 1993). Mereka menemukan bahwa pada tipe sedimen yang berbeda, konsentrasi nutrien N dan P sedimen juga berbeda. Komposisi dasar perairan penting artinya bagi perairan di atasnya. Salah satu proses yang terpenting ialah hubungan antara oksigen dan besi (Fe) dalam air. Apabila konsentrasi oksigen tinggi, maka akan terjadi ferrifosfat yang tidak larut
76
yang dapat mengendap di dasar perairan, akibatnya di kolom air bagian atas miskin akan fosfat yang tentunya akan mempengaruhi produktivitas perairan. Ferrifosfat yang tidak larut dalam air dapat diubah menjadi ferrofosfat yang larut dalam air. Hal ini dapat terjadi bila konsentrasi oksigen berkurang dalam air. Kekurangan akan oksigen ini, akan terjadi reduksi ferrifosfat menjadi ferrofosfat, sehingga kembali tersedia ion fosfat dalam air yang dapat digunakan dalam proses produksi primer. Jadi, dasar perairan dapat menjadi perangkap bagi fosfat yang terdapat dalam kolom air di atasnya. Dari hasil penelitian juga diperoleh bahwa konsentrasi nutrien dalam air interstisial lebih tinggi dibandingkan dengan air di atasnya. Hal ini disebabkan oleh: 1) adanya ikatan kompleks elemen dengan bahan organik (ligand) dalam sedimen; 2) adanya proses mineralisasi deposit; 3) adanya aktivitas bakteri dan meiofauna dalam merombak atau menghancurkan (dekomposisi/degradasi) bahan organik; dan 4) adanya proses oksidasi-reduksi dalam sedimen. Beberapa keterangan menunjukkan bahwa regenerasi fosfat bentik mempengaruhi konsentrasi P dalam kolom air. Sedimen anoksik cenderung meningkatkan pelepasan fosfat dari sedimen ke air bagian atasnya. Difusi fosfat ini memberikan sekitar 5% dari total konsentrasi P kolom air (Libes 1992; Valiela 1995).
N-total dan P-total Sedimen Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai N-total dan P-total sedimen di setiap stasiun selama penelitian cukup bervariasi, yaitu masing-masing berkisar antara 0.0230-3.921% dan 0.0237-0.0812% (Lampiran 5 dan Gambar 19). Nilai N-total tertinggi dijumpai di stasiun A2 (3.9210%) pada musim Barat, sedangkan nilai terendah terdapat di stasiun C (0.0230%) pada musim Timur. Nilai P-total sedimen tertinggi terdapat di stasiun Al (0.0812%) pada musim Peralihan II, sedangkan nilai terendah di stasiun C (0.0237%) pada musim Peralihan I. Berdasarkan pada hasil analisis varians (Anova), diperoleh konsentrasi Ntotal sedimen berbeda signifikan secara spasial (p<0.05), sedangkan secara temporal konsentrasinya tidak berbeda signifikan (p>0.05). Sementara itu, konsentrasi P-total sedimen secara spasial tidak berbeda signifikan (p>0.05), namun secara temporal konsentrasinya berbeda signifikan (p<0.05) (Lampiran 6).
79
nilai TOC pada musim Peralihan I berbeda dengan musim Timur dan Peralihan II, sementara di stasiun B2 nilainya pada Peralihan I berbeda dengan musim Barat dan Peralihan II. Jika dilihat dari hasil uji analisis varians antar kedalaman sedimen (Lampiran 9), ternyata hanya di stasiun Bl yang tidak berbeda signifikan (p>0.05). Ini berarti nilai TOC dianggap sama di semua kedalaman sedimen di stasiun Bl. Sementara, di stasiun Al, A2, A3, B2 dan C menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kedalaman sedimen. Hasil uji lanjut Tukey nilai TOC antar kedalaman sedimen di setiap stasiun dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari hasil analisis varians (Anova) di setiap kedalaman sedimen, diperoleh nilai rata-rata TOC yang berbeda signifikan (p<0.05) antar stasiun terdapat di kedalaman 0-5 cm, 5-10, 10-15 cm, 15-20 cm dan 20-25 cm, namun nilainya tidak berbeda signifikan (p>0.05) di kedalaman 25-30 cm. Sementara, nilai ratarata TOC yang berbeda signifikan (p<0.05) antar musim hanya dijumpai di kedalaman 15-20 cm dan 25-30 cm (Lampiran 10). Hasil uji lanjut Tukey nilai TOC antar stasiun dan antar musim di setiap kedalaman sedimen dapat dilihat pada Lampiran 10. Bervariasinya nilai TOC sedimen di perairan Selat Dompak tampaknya berkaitan dengan fraksi sedimen. Kadar karbon dan nutrien sedimen meningkat dengan penurunan ukuran butir sedimen karena adsorbsi bahan organik di atas permukaan mineral dan mempunyai daya ikat (afmitas) yang tinggi pada sedimen halus. Proses adsorpsi membantu mempertahankan bahan organik dan berkorelasi positif dengan lumpur. Hedges dan Keil (1995) menyatakan bahwa akumulasi bahan organik di perairan pantai dikontrol oleh sejumlah besar proses yang berpengaruh atas transpor dan deposisi sedimen halus. Bahan organik ditransportasikan dari daratan melalui run-off 'ke laut dapat memberikan kontribusi karbon dalam sedimen, misalnya lignin yang berasal dari tumbuhan mangrove. Bahan organik yang masuk ke laut melalui sistem sungai, dapat berbentuk partikulat (POC) maupun terlarut (DOC). Karbon organik dapat berasal dari tumbuhan atau biota perairan, baik yang hidup maupun mati dan menjadi detritus, kemudian mengendap di sedimen. Perubahan karbon sedimen dan konsentrasi nutrien dalam sedimen disebabkan oleh faktor-faktor berikut: Pertama, peningkatan laju produksi bahan
80
organik dalam ekosistem karena bahan organik partikel disuplai ke sedimen yang menyebabkan pemasukan nutrien yang berlebihan (Nixon 1995). Kedua, mineralisasi (perombakan bahan organik) menurunkan konsentrasi karbon dan nutrien sedimen. Nutrien terlarut dilepaskan dari sedimen ke kolom air. Karbon dilepaskan sebagai gas COi dan sebagai DOC. Laju meneralisasi lebih cepat ketika oksigen terlarut berada di bawah kondisi anaerob. Nilai pH yang rendah dapat juga menurunkan laju mineralisasi dan memperbesar akumulasi bahan organik (Kristensen et al. 1995). Ketiga, laju sedimentasi yang tinggi dapat mengurangi kontak antara bahan organik dan oksigen terlarut dalam kolom air, dan oleh karena itu dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap konsentrasi karbon dan nutrien dalam sedimen (Harnett et al. 1998). Keempat, adanya mekanisme penyangga fosfat, yaitu total fosfat yang dipertukarkan antara sedimen dan air untuk mempertahankan konsentrasi P kolom air (Erftemeijer & Middelburg 1993). Kelima, reduksi sulfat meningkatkan pelepasan P dari sedimen karena beberapa besi oksihidroksida yang berikatan dengan fosfat dikonversi menjadi besi sulfida yang tidak berikatan dengan P (Roden & Edmunds 1997). Keenam, permukaan sedimen dapat menghasilkan peningkatan P jika P dilepaskan oleh reduksi sulfat pada kedalaman sedimen dan kemudian dijebak oleh besi oksihidroksida dalam lapisan permukaan sedimen yang beroksigen (Roden & Edmunds 1997). Ketujuh, peningkatan transpor sedimen yang disebabkan oleh erosi dapat melemahkan konsentrasi total nitrogen dan TOC dalam sedimen karena unsur-unsur pokok anorganik (mineral dan lempung) dapat mencairkan konsentrasi bahan organik. Erosi dapat meningkatkan konsentrasi total fosfat dalam sedimen karena P melekat pada permukaan mineral (Koster & Meyer-Reil 2001). Kedelapan, konsentrasi karbon dan nutrien sedimen meningkat dengan penurunan ukuran butiran karena adsorbsi bahan organik di atas permukaan mineral dan mempunyai daya ikat (afmitas) yang tinggi pada sedimen halus (Hedges & Keil 1995). Kesembilan, penurunan aliran air payau dapat mengubah jumlah bahan organik yang masuk ke perairan pantai yang dapat mengubah laju akumulasi bahan organik tersebut ke dalam sedimen (Koster & Meyer-Reil 2001).
82
stasiun Bl dan C pada musim Timur. Pada musim Peralihan I dan Barat, nilai rata-rata TOM di stasiun C berbeda signifikan dengan setiap stasiun lainnya, dan stasiun Al berbeda dengan stasiun A2, A3, Bl dan C. Sementara, pada musim Peralihan II, stasiun Al berbeda signifikan dengan setiap stasiun lainnya, stasiun C juga berbeda signifikan dengan setiap stasiun lainnya, stasiun Bl berbeda dengan stasiun Al, A2, B2 dan C. Nilai rata-rata TOM tertinggi pada setiap musim terdapat di stasiun Al, sedangkan terendah dijumpai di stasiun C. Berdasarkan pada hasil analisis varians nilai TOM antar musim di setiap stasiun (Lampiran 12), ternyata nilainya yang berbeda sinifikan (p<0.05) hanya dijumpai di stasiun A2, sedangkan di stasiun lainnya tidak berbeda signifikan (p>0.05) antar musim. Hasil uji lanjut Tukey antar musim di stasiun A2 menunjukkan bahwa nilai TOM pada musim Timur berbeda signifikan dengan musim Barat (Lampiran 12). Nilai rata-rata TOM tertinggi dijumpai pada musim Timur, sedangkan nilai terendah terdapat pada musim Barat. Sementara itu, hasil uji analisis varians nilai TOM antar kedalaman sedimen di setiap stasiun (Lampiran 12) menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05). Ini berarti bahwa nilai TOM mempunyai sebaran yang tidak merata secara vertikal di setiap stasiun. Hasil uji lanjut Tukey antar nilai TOM kedalaman sedimen di setiap stasiun dapat dilihat pada Lampiran 12. Dari hasil analisis varians (Anova) nilai TOM antar stasiun di setiap kedalaman sedimen, ternyata yang tidak berbeda signifikan (p>0.05) hanya terdapat di kedalaman 0-5 cm, sedangkan nilainya di setiap kedalaman sedimen yang lainnya berbeda signifikan (p<0.05). Sementara, nilai rata-rata TOM antar musim di setiap kedalaman sedimen tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hasil uji lanjut Tukey nilai TOM antar stasiun di setiap kedalaman sedimen dapat dilihat pada Lampiran 13. Bervariasinya nilai TOM sedimen antar stasiun di lokasi penelitian selain berkaitan dengan tipe sedimen dan kondisi lingkungannya, juga berhubungan dengan sumbernya. Keberadaan nilai TOM yang cukup tinggi di stasiun Al, A2, A3, Bl dan B2 disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar di areal ini. Sumber utama bahan organik sedimen di ekosistem padang lamun (stasiun Al, A2 dan A3) adalah
83
jaringan tumbuhan lamun, baik yang berupa serasah maupun sisa-sisa tumbuhan lamun, yang setiap tahunnya dapat tersedia dalam jumlah besar, serta adanya suplai bahan organik dari sungai dan ekosistem mangrove di sekitarnya. Batang dan akar tumbuhan lamun akan terombak oleh meiofauna dan jasad renik, yang akhirnya akan menjadi komponen sedimen. Dengan demikian, jaringan tumbuhan lamun itu merupakan makanan bagi meiofauna dan jasad renik sedimen. Sementara, hewan pemakan tumbuhan lamun, kotorannya ataupun hewan yang telah mati akan mengalami proses perombakan (dekomposisi) yang sama seperti di atas, yang pada akhirnya menjadi bahan organik sedimen pula. Di samping itu, kondisi hidrologi perairan (seperti arus) merupakan pendukung keberadaan TOM di lingkungan tersebut. Arus akan membawa bahanbahan organik dari lingkungan mangrove di sekitar perairan. Kawasan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik yang besar sumbangannya terhadap produktivitas perairan pantai, karena partikel yang ada dalam air berasal dari pohon-pohon mangrove terutama dari daun dan ranting yang jatuh. Pada lingkungan yang tidak terganggu, aliran nutrien dari kawasan mangrove akan meningkatkan produktivitas ekosistem padang lamun yang selanjutnya berfungsi sebagai produktivitas primer. Bahan organik yang berasal dari lingkungan mangrove tersebut akan disebarkan oleh arus ke perairan sekitarnya (padang lamun) dan terkurung atau terperangkap di lingkungan padang lamun. Dengan melemahnya arus, bahan organik tersebut akan terendapkan dan menyatu dengan sedimen oleh cengkraman akar lamun yang saling mengikat. Sementara, rendahnya nilai TOM sedimen di stasiun C disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik dalam jumlah besar ke lokasi ini, seperti sungai, padang lamun, dan hutan mangrove. Pengaruh arus yang kuat dan kondisi sedimen dengan butiran fraksi yang kasar menyebabkan bahan organik sulit untuk terakumulasi di sedimen. Nybakken dan Bertness (2005) menyatakan bahwa sedimen berpasir umumnya mempunyai kandungan bahan organik lebih sedikit dibandingkan dengan sedimen berlumpur. Namun, keberadaannya dalam sedimen berpasir dapat berasal dari pengendapan organisme yang mati dan sisa-sisa berbagai organisme dan plankton yang tersuspensi dalam kolom air dan terbawa pada waktu terjadi arus pasang dan
84
gelombang. Peningkatan kandungan bahan organik di lingkungan tersebut sulit terjadi, tetapi keberadaannya di dalam sedimen cenderung stabil. Kandungan bahan organik sedimen mempunyai berperanan penting terhadap sifat fisik-kimiawi sedimen, antara lain mempengaruhi kemantapan agregat sedimen, penyedia nutrien dan komponen pembentuk tubuh jasad dalam sedimen. Bahan organik juga mempengaruhi sifat-sifat mekanikal sedimen. Sebagian besar pengaruhnya adalah meningkatkan kohesi antara partikel-partikel sehingga resuspensi dibatasi. Zabel dan Hensen (2006) mengatakan bahwa akumulasi dan laju penenggelaman bahan organik ke dalam sedimen, dapat mempengaruhi komposisi kimia sedimen dan berperan penting dalam siklus nutrien. Bahan organik yang tersedimentasi merupakan sumber makanan bagi meiofauna, jasad renik dan organisme bentos lainnya. Libes (1992) mengatakan bahwa organisme-organisme ini juga mengubah karakteristik fisika, kimia dan geologi sedimen. Sebagai contoh, organisme pemakan deposit (Deposit feeders) mengubah distribusi ukuran partikel. Tipe bioturbasi (gangguan biologis) ini menyebabkan gradien kimia yang homogen dan meningkatkan suplai oksigen ke dalam sedimen. Organisme lain, seperti organisme penggali dan pembuat tabung menyebabkan heterogennya kimia sedimen. Adanya aktivitas penggalian sedimen oleh makrofauna dapat mengalirkan oksigen ke dalam lapisan sedimen, sehingga sedimen dalam kondisi beroksigen. Dengan demikian, hal ini dapat membantu meiofauna dan mikroorganisme dalam proses perombakan bahan organik yang terdeposit pada sedimen. Selain itu, keberadaan makrofauna pada sedimen dapat mempengaruhi laju penghancuran atau perombakan bahan organik dan detritus yang terdeposit pada permukaan sedimen (Kristensen & Mikkelsen 2003). Di samping faktor yang disebutkan di atas, keberadaan oksigen di dalam sedimen juga dapat berasal dari proses pertukaran nutrien dan oksigen dari air ke sedimen yang melibatkan interaksi dua proses biologi dan kimia dalam metabolisme komunitas bentik. Pertukaran material dari sedimen-air (sedimentwater exchange) atau sebaliknya merupakan komponen integral dari siklus nutrien dan oksigen terlarut dalam badan air di perairan dangkal. Pengaliran ini menggambarkan interaksi kedua proses biologi dan kimia yang dapat dijadikan sebagai indikator metabolisme komunitas bentik (Dailey 2006).
85
Konsentrasi oksigen dalam sedimen akan sangat berpengaruh baik terhadap kegiatan jasad renik dan meiofauna maupun terhadap keadaan bahan organik dalam sedimen. Dalam hal ini, penurunan konsentrasi oksigen dalam sedimen akan mengurangi kegiatan jasad renik dan meiofauna, sehingga penguraian bahan organik tidak berlangsung dengan baik. Pelapukan yang berlangsung hanya akan membebaskan asam-asam organik, karbondioksida, gas hidrogen, metana, senyawa sulfida dan senyawa-senyawa lainnya. Oleh sebab itu, oksigen yang cukup sangat diperlukan dalam proses penguraian bahan organik tersebut. Faktor utama yang mengontrol keberadaan oksigen dan siklus biogeokimia oksigen di dalam sedimen adalah suplai bahan organik ke dalam sedimen. Pengambilan oksigen maksimum di sedimen terjadi selama musim panas ketika suplai bahan organik dari kolom air cukup besar. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan tingginya kandungan bahan organik dalam sedimen sehingga terjadi penurunan oksigen yang nyata (Libes 1992). Meiofauna dan jasad renik yang kurang aktif hanya akan memperbesar penumpukan bahan organik sehingga unsur hara tertentu menjadi tidak tersedia bagi pertumbuhan tumbuhan lamun. Dengan demikian, jelaslah bahwa oksigen bereranan penting dalam pelapukan bahan-bahan organik dalam sedimen. Pada sedimen yang bertekstur halus, kegiatan meiofauna dan jasad renik dalam proses perombakan bahan organik akan mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan oleh sedimen yang bertekstur demikian berkemampuan menimbun bahan-bahan organik yang lebih tinggi yang kemudian terjerap pada kisi-kisi mineral sedimen. Dalam keadaan terjerap pada kisi-kisi mineral sedimen tersebut, meiofauna dan jasad renik akan sulit merombaknya. Derajat Keasaman (pH) Sedimen Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai pH sedimen berkisar 6.4-7.9 (Lampiran 7). Nilai pH sedimen di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang cukup beragam atau bervariasi secara spasial dan temporal (Gambar 22). Nilai pH sedimen menurun dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Nilai pH ini sangat bergantung pada nilai Eh sedimen (Golterman 1990).
87
Nilai pH sedimen antar musim di setiap stasiun berdasarkan pada uji analisis varians menunjukkan nilai yang berbeda signifikan (p<0.05) (Lampiran 15). Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 15), diperoleh nilai rata-rata pH di stasiun Al pada musim Barat berbeda signifikan dengan setiap musim lainnya, dan musim Timur berbeda dengan musim Peralihan I. Di stasiun A2, nilai rata-rata pH pada musim Timur dan Peralihan II berbeda signifikan dengan musim Peralihan I dan Barat. Di stasiun A3, nilai rata-rata pH pada musim Peralihan II berbeda signifikan dengan setiap musim lainnya, dan musim Timur berbeda dengan musim Barat. Di stasiun Bl, nilai rata-rata pH pada musim Peralihan II berbeda signifikan dengan setiap musim lainnya, dan musim Peralihan I berbeda dengan musim Barat. Di stasiun B2, nilai rata-rata pH pada musim Peralihan I dan Peralihan II berbeda signifikan dengan setiap musim lainnya. Di stasiun C, nilai rata-rata pH pada musim Barat berbeda signifikan dengan musim Peralihan I dan Peralihan II. Nilai rata-rata pH tertinggi di stasiun Al dijumpai pada musim Timur dan terendah musim Barat, sedangkan di stasiun A2, A3, Bl, B2 dan C, nilai tertinggi terdapat pada musim Peralihan II dan terendah pada musim Barat. Sementara itu, dari hasil uji analisis varians nilai pH antar kedalaman sedimen di setiap stasiun (Lampiran 15), ternyata nilai pH yang berbeda signifikan (p<0.05) antar kedalaman sedimen hanya dijumpai di stasiun C, sedangkan di stasiun lainnya sebaran nilai pH tidak berbeda signifikan (p>0.05) antar kedalaman sedimen. Hasil uji lanjut Tukey antar kedalaman sedimen di stasiun C menunjukkan bahwa nilai pH yang berbeda signifikan hanya di kedalaman 0-5 cm dengan kedalaman 25-30 cm saja (Lampiran 15). Dari hasil analisis varians (Anova) nilai pH di setiap kedalaman sedimen ternyata tidak berbeda signifikan (p>0.05) antar stasiun, namun nilainya berbeda signifikan antar musim (p<0.05) (Lampiran 16). Sehubungan dengan adanya perbedaan nilai pH yang signifikan antar musim di setiap kedalaman sedimen, maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 16) menunjukkan bahwa di kedalaman 0-5 cm, nilainya pada musim Peralihan II berbeda dengan musim Peralihan I dan Barat. Di kedalaman 5-10 cm, nilai pH pada musim Barat berbeda dengan musim Timur dan Peralihan II, musim Peralihan I berbeda dengan musim Peralihan II, dan musim Timur berbeda dengan musim Barat. Di kedalaman 10-15 cm, 20-25
88
cm dan 25-30 cm, nilai pH pada musim pada musim Barat berbeda dengan musim Peralihan II. Di kedalaman 15-20 cm, nilai pH pada musim Barat berbeda dengan musim Timur dan Peralihan II. Nilai rata-rata pH tertinggi di semua kedalaman sedimen diperoleh pada musim Peralihan II dan nilai terendah pada musim Barat. Peningkatan bahan organik ke arah bawah diikuti oleh penurunan pH sedimen. Peningkatan kadar bahan organik dapat menurunkan pH, atau justru sebaliknya dapat meningkatkan pH. Pada kejadian pertama bahan organik membawa senyawa-senyawa asam, sedangkan pada kejadian kedua bahan organik memperkuat daya sangga sedimen. Bahan organik dalam sedimen mangrove juga berperanan sebagai sumber kemasaman sedimen. Dalam suasana anaerob bahan organik mengalami proses perombakan yang kurang sempurna sehingga menghasilkan asam-asam organik, seperti asam asetat dan butirat yang beracun. Nilai pH yang terlalu rendah dapat menghambat kelancaran perombakan bahan organik, sehingga terjadi pelonggokan bahan organik. Sebaliknya, perombakan bahan organik menjadi lancar jika pH cukup tinggi. Hal ini sangat berkenaan dengan pengaruh pH terhadap aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan organik. Nilai pH sedimen yang tinggi mempunyai kadar bahan organik kurang lebih seragam sepanjang profil sedimen, meskipun distribusi vertikal pH tidak seragam. Nilai pH sedimen yang rendah dapat menurunkan daya sangga dan daya simpan hara di sedimen, sehingga dapat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara dalam sedimen. Selain itu, ketersediaan ion Al, Fe, Mn dan Bo di dalam sedimen akan meningkat di mana organisme yang hidup dalam sedimen akan mengalami keracunan. Potensial Redoks (Eh) Sedimen Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai Eh sedimen berkisar -389 hingga -51 mV (Lampiran 7). Nilai Eh sedimen di lokasi penelitian berfluktuasi atau bervariasi secara spasial dan temporal (Gambar 23). Nilai rata-rata sedimen tertinggi terdapat di stasiun Al (-101 mV) pada musim Peralihan II, sedangkan nilai rata-rata Eh terendah dijumpai di stasiun A3 (-359 mV) pada musim Barat. Nilai sedimen menurun dengan bertambahnya kedalaman sedimen.
89 Musim Peralihan I
Muslm Timur Eh (mVolt)
Musim Barat
Musim Peralihan II
£h (mVolt)
Eh (mVolt)
Eh (mVolt)
"/•> C**
77777 0-5 5-10 10-15 1520
20-25
25-30
t
5 10"
I
10-15
¥
0-5
-.
VI
|
15-20
^ u
20-25
W
5-10
0-5 5-10
10-15 15-
10-15 15-
20
20
20-25
25-30
20-25
25-30
25-30
• Stasiun Al
A2
A3
Bl
B2
Gambar 23. Variasi Eh sedimen secara spasial dan temporal serta profil vertikalnya di perairan Selat Dompak (Al = padang lamun rapat/lebat; A2 = padang lamun kurang rapat/lebat; A3 = padang lamun sangat jarang; Bl = mangrove Rhizophora sp.; B2 = mangrove Sonneratia sp.; C = bare area).
Berdasarkan pada hasil analisis varians (Anova) nilai Eh sedimen antar stasiun pada setiap musim (Lampiran 11), diperoleh perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada musim Timur, Barat dan Peralihan II, sedangkan pada musim Peralihan I nilainya tidak berbeda signifikan (p>0.05). Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 11), diperoleh nilai rata-rata Eh pada musim Timur di stasiun Al dan A2 berbeda signifikan dengan stasiun A3, Bl, B2 dan C. Nilai rata-rata Eh sedimen tertinggi pada musim ini terdapat di stasiun Al dan terendah di stasiun Bl dan B2. Pada musim Barat, nilai Eh di stasiun Al berbeda signifikan dengan setiap stasiun lainnya. Nilai rata-rata Eh sedimen tertinggi pada musim ini terdapat di stasiun Al dan terendah di stasiun A3. Pada musim Peralihan II, nilai Eh di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun Bl dan B2. Nilai rata-rata Eh sedimen tertinggi pada musim ini terdapat di stasiun Al dan terendah di stasiun Bl. Nilai Eh antar kedalaman sedimen pada setiap musim yang berbeda signifikan (p<0.05) diperoleh pada musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II
(Lampiran 11), sedangkan pada musim Timur nilainya tidak berbeda signifikan (p>0.05) atau dianggap sama antar kedalaman sedimen. Hasil uji lanjut Tukey nilai Eh antar kedalaman sedimen pada musim Peralihan I dan Peralihan II dapat dilihat pada Lampiran 11.
90
Hasil uji analisis varians nilai Eh sedimen antar musim di setiap stasiun (Al, A2, A3, Bl, B2 dan C) menunjukkan nilai yang berbeda signifikan (p<0.05) (Lampiran 18). Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 18), diperoleh nilai rata-rata Eh sedimen di stasiun Al dan A2 pada musim Timur dan Peralihan II berbeda signifikan dengan musim Peralihan I dan Barat. Di stasiun A3, Bl, B2 dan C, nilai rata-rata Eh pada musim Barat berbeda signifikan dengan musim Peralihan II. Nilai rata-rata Eh sedimen tertinggi di stasiun Al, A3, Bl, B2 dan C dijumpai pada musim Peralihan II dan nilai terendah terdapat pada musim Barat. Sementara, nilai rata-rata Eh sedimen di stasiun A2 tertinggi pada musim Timur dan nilai terendah pada musim Barat. Hasil uji analisis varians nilai Eh antar kedalaman sedimen di setiap stasiun (Lampiran 18) menunjukkan bahwa nilai Eh di stasiun A3, Bl, B2 dan C memiliki perbedaan yang sinifikan (p<0.05) antar kedalaman sedimen, sedangkan di stasiun Al dan A2 nilainya tidak berbeda signifikan (p>0.05). Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 18), diperoleh hasil bahwa di stasiun A3, Bl, B2 dan C nilai rata-rata Eh sedimen di kedalaman 0-5 cm berbeda signifikan dengan kedalaman 25-30 cm. Nilai rata-rata Eh tertinggi dijumpai di kedalaman 0-5 cm dan nilai terendah terdapat di kedalaman 25-30 cm. Dari uji analisis varians (Anova) nilai Eh antar stasiun di setiap kedalaman sedimen (Lampiran 19), diperoleh hasil nilai Eh di kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm dan 10-15 cm tidak berbeda signifikan (p>0.05) antar stasiun, sedangkan di kedalaman sedimen lainnya berbeda signifikan (p<0.05). Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 19), di kedalaman 15-20 cm, nilai Eh sedimen di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun A3 dan B2. Nilai rata-rata Eh tertinggi terdapat di stasiun Al dan nilai terendah di stasiun A3. Di kedalaman 20-25 cm, nilai Eh sedimen di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun A3, Bl dan B2. Nilai rata-rata Eh tertinggi terdapat di stasiun Al dan nilai terendah di stasiun Bl. Di kedalaman 25-30 cm, nilai Eh sedimen di stasiun Al berbeda signifikan dengan stasiun A3, Bl, B2 dan C. Nilai rata-rata Eh tertinggi terdapat di stasiun Al dan nilai terendah di stasiun A3. Jika dilihat dari nilai Eh antar musim di setiap kedalaman sedimen, maka nilai Eh di kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm dan 10-15 cm berbeda signifikan
91
(p<0.05) antar musim (Lampiran 19), sedangkan di kedalaman sedimen lainnya tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hasil uji lanjut Tukey nilai Eh sedimen antar musim di setiap kedalaman sedimen (Lampiran 19) menunjukkan bahwa di kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm dan 10-15 cm, nilai Eh sedimen pada musim Peralihan II berbeda signifikan dengan musim Barat. Nilai rata-rata Eh tertinggi di semua kedalaman sedimen diperoleh pada musim Peralihan II dan nilai terendah pada musim Barat. Distribusi Eh sedimen dapat digunakan sebagai ciri dari suatu habitat dasar (bentik), terutama dalam hubungannya dengan bahan organik dan oksigen dalam sedimen. Nilai Eh sedimen dapat menunjukkan kualitas sedimen bagi kehidupan organisme bentik, termasuk meiofauna. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri dalam sedimen dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam sedimen menurun (Golterman 1990; Libes 1992; Kester 2001; Barnes & Hughes 2004). Biasanya, nilai Eh sedimen dapat dipakai untuk menilai adanya oksigen di dalam sedimen (Golterman 1990; Libes 1992; Giere 1993; Kester 2001; Barnes & Hughes 2004). Nilai Eh sedimen yang tinggi pada suatu saat tertentu tidak selalu bersifat oksik pada saat itu. Nilai Eh itu hanyalah merupakan gambaran adanya senyawa kimia teroksidasi, yang mana proses oksidasinya sendiri kemungkinan sudah berlangsung lama. Dengan demikian, sedimen yang teroksidasi tidak selalu harus bersifat oksik, karena pengertian oksik sama dengan aerob yaitu adanya oksigen bebas atau oksigen terlarut di dalam ruang-ruang interstisial. Komposisi dan Kelimpahan Taksa Meiofauna Interstisial di Seluruh Lokasi Penelitian Berdasarkan pada data Lampiran 20, 21, 22 dan 23, maka tampak bahwa komunitas meiofauna interstisial di seluruh lokasi penelitian dalam kawasan perairan Selat Dompak Kepulauan Riau terdiri atas 19 kelompok taksa meiofauna. Jumlah genus dan jumlah individu meiofauna interstisial yang dijumpai adalah sebagai berikut: 1) pada musim Timur sebanyak 167 genus dengan kelimpahan individu meiofauna interstisial sebesar 976 individu yang berasal dari 19 taksa meiofauna interstisial; 2) pada musim Peralihan I sebanyak 146 genus dengan kelimpahan meiofauna sebesar 883 individu yang berasal dari 19 taksa meiofauna
92
interstisial; 3) pada musim Barat sebanyak 110 genus dengan kelimpahan meiofauna interstisial sebesar 465 individu yang berasal dari 15 taksa meiofauna interstisial; dan 4) pada musim Peralihan II sebanyak 132 genus dengan kelimpahan meiofauna interstisial sebesar 637 individu yang berasal dari 17 taksa meiofauna interstisial (Tabel 4). Tabel 4. Komposisi genus dan kelimpahan masing-masing taksa meiofauna interstisial di seluruh lokasi penelitian pada setiap musim.
Nematoda Copepoda
Musim Timur Musim Peralihan I Musim Barat Musim Peralihan n Jumlah Kelimpahan Jumlah Kelimpahan Jumlah Kelimpahan Jumlah Kelimpahan Genus Individu Genus Individu Genus Individu Genus Individu E G (%) E N (%) E G (%) EN (%) E G (%) EN (%) EG (%) EN (%) 39 23.35 322 32.99 32 21.92 309 34.99 25 22.73 151 32.47 29 21.97 208 32.65 32 19.16 170 17.42 29 19.86 150 16.99 22 20.00 74 15.91 25 18.94 125 19.62
Polychaeta Foraminifera Turbellaria Lainnya *
29 17.37 10 5.99 8 4.79 49 29.34
Taksa Meiofauna
116 109 81 178
11.88 11.17 8.30 18.24
25 17.12 116 13.14 8 5.48 81 9.17 7 4.80 78 8.83 45 30.82 149 16.88 Total 167 100 976 100 146 100 883 100 Keterangan: E G= Jumlah genus meiofauna interstisial
20 18.18 8 7.27 7 6.36 28 25.46 110
70 46 41 83 100 465
15.06 9.89 8.82 17.85
22 10 8 38 100 132
16.67 7.57 6.06 28.79
87 13.66 71 11.15 54 8.48 92 14.44
100 637
100
E N= Jumlah individu meiofauna interstisial * = Oligochaeta, Ciliata, Nemertina, Amphipoda, Gastrotricha, Ostracoda, Halacarida, Rotifera, Cladocera, Syncarida, Tanaidacea, Tardigrada, Cnidaria, dan Cumacea
Dari 19 taksa meiofauna interstisial yang ditemukan di perairan Selat Dompak, ada 5 (lima) taksa meiofauna interstisial yang cukup menonjol baik dari segi jumlah genus (Gambar 24) maupun kelimpahan individunya (Gambar 25) pada setiap musim, serta mempunyai sebaran yang luas ditandai dengan kehadirannya pada semua tipe habitat. Hal ini mengindikasikan kesuksesan keberadaan fauna ini di berbagai tipe habitat. Ke lima taksa meiofauna interstisial tersebut adalah Nematoda, Copepoda, Polychaeta, Foraminifera, dan Turbellaria. Ke lima taksa meiofauna interstisial ini disebut dengan kelompok mayor, yaitu kelompok yang dominan dan sebagai kelompok utama penyusun komunitas meiofauna interstisial di berbagai tipe habitat di lokasi penelitian. Dengan kata lain, kelompok mayor ini merupakan sentral atau menjadi penentu karakter dari komunitas meiofauna interstisial di berbagai tipe habitat. Di seluruh lokasi penelitian, jumlah genus dan jumlah individu meiofauna interstisial yang tertinggi terdapat pada musim Timur, sedangkan yang terendah dijumpai pada musim Barat. Selama penelitian, taksa Nematoda memiliki komposisi genus dan komposisi individu yang tertinggi dibandingkan dengan taksa meiofauna interstisial lainnya, seperti yang tampak pada Gambar 26.
95
(23.35%) dari 167 genus yang ada dan kelimpahan individu sebanyak 322 individu (32.99%) dari 976 individu yang ada di semua lokasi penelitian (Gambar 24, 25 dan 26). Lebih menonjolnya taksa Nematoda ini disebabkan oleh kesesuaian habitat dan adanya beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Nematoda seperti keunggulan morfologis, keunggulan fisiologis dan keunggulan perilaku. Terkait dengan kesesuaian habitat, maka tipe habitat yang umumnya sesuai bagi Nematoda adalah habitat lumpur berpasir dan lumpur yang kaya bahan organik. Selain itu, Nematoda juga banyak dijumpai di habitat berpasir, hal ini ditandai dengan cukup melimpahnya jumlah individu yang terdapat di habitat tersebut. Biasanya habitat lumpur berpasir dan lumpur kaya bahan organik tetapi habitat ini kadar oksigennya rendah atau miskin oksigen. Pada habitat yang miskin oksigen, umumnya Nematoda cukup toleran dan dapat beradaptasi dengan baik (Higgins & Thiel 1988; Giere 1993), sedangkan meiofauna interstisial taksa lainnya (seperti Copepoda) kurang dapat bertahan terhadap kondisi tersebut (Kotwicki 2002). Oleh sebab itu, keberadaan Nematoda lebih dominan dibandingkan dengan meiofauna interstisial taksa lainnya. Kesesuaian Nematoda terhadap habitat yang demikian, tampaknya berkaitan dengan keunggulankeunggulan yang dimiliki oleh taksa ini. Keunggulan-keunggulan tersebut adalah: 1) keunggulan morfologis; 2) keunggulan fisiologis; dan 3) keunggulan perilaku. Dalam kaitannya dengan keunggulan morfologis, maka meiofauna interstisial taksa Nematoda memiliki tiga keunggulan, yaitu: 1) bentuk tubuhnya yang langsing memanjang dan fleksibel dapat membuat taksa ini dengan mudah bergerak dan menyusup di dalam sedimen atau meliang ke dalam lapisan sedimen serta mampu memanfaatkan ruang-ruang interstisial yang sangat sempit; 2) dinding tubuh Nematoda terbuat dari kutikula yang tebal dan licin sebagai pelindung tubuhnya agar terhindar dari luka goresan dan himpitan sedimen ketika bergerak dan menyusup di dalam sedimen; dan 3) bentuk dan struktur alat-alat mulut Nematoda beragam sesuai dengan jenis makanannya sehingga taksa ini dapat memilih jenis makanannya (Riemann 1988; Higgins & Thiel 1988; Webber & Thurman 1991; Giere 1993; Chen et al. 2004; Nybakken & Bertness 2005). Berkenaan dengan keunggulan fisiologis, maka keungggulan yang dimiliki oleh meiofauna interstisial taksa Nematoda adalah: 1) memiliki toleransi yang
96
tinggi terhadap kondisi habitat yang kadar oksigennya rendah atau miskin oksigen dan tahan terhadap HiS yang tinggi, sehingga taksa ini mampu bertahan dan dapat hidup pada sedimen lumpur yang tereduksi (Heip et al. 1985; Higgins & Thiel 1988; Webber & Thurman 1991; Giere 1993; Coull 1999; Nybakken & Bertness 2005); 2) memiliki keragaman dalam fisiologi pencernaannya sehingga Nematoda dapat beragam dalam hal jenis makanannya; 3) memiliki kemampuan pertumbuhan yang cepat, cepat dewasa dan cepat berbiak, di mana dalam setahun ada sekitar delapan hingga 10 generasi dalam setahun; dan 4) memiliki kemampuan bereproduksi secara hermaprodit dan partenogenesis, serta sifat reproduksinya yang berulang-ulang sehingga dapat meningkatkan populasi Nematoda dengan cepat (Higgins & Thiel 1988; Giere 1993; Chen et al. 2004). Dalam hubungannya dengan keunggulan perilaku, maka Nematoda memiliki kemampuan untuk bermigrasi secara vertikal dan horizontal karena taksa ini dapat bergerak dan menyusup serta meliang dengan cepat di dalam sedimen, sehingga dapat menghindari predator (Riemann 1988; Higgins & Thiel 1988; Webber & Thurman 1991; Giere 1993; Nybakken & Bertness 2005). Taksa Copepoda Copepoda juga merupakan kelompok yang cukup menonjol dalam komunitas meiofauna interstisial di seluruh lokasi penelitian pada setiap musim (Tabel 4). Kelompok meiofauna interstisial ini menempati urutan ke dua terbesar dari kelompok meiofauna interstisial yang ada, baik dari segi jumlah genus maupun kelimpahan individunya (Gambar 24, 25 dan 26). Kelompok Copepoda ini memiliki wakil sebanyak 32 genus (19.16%) dengan kelimpahan individu sebesar 170 individu (17.42%) pada musim Timur, 29 genus (19.86%) dengan kelimpahan individu sebesar 150 individu (16.99%) pada musim Peralihan I, 22 genus (20%) dengan kelimpahan individu sebesar 74 individu (15.91%) pada musim Barat, dan 25 genus (18.94%) dengan kelimpahan individu sebesar 125 individu (19.62%) pada musim Peralihan II. Menonjolnya kelompok Copepoda disebabkan oleh adanya beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Copepoda, yaitu 1) adanya keunggulan morfologis/struktur; 2) adanya keunggulan fisiologis; dan 3) adanya keunggulan perilaku. Dengan adanya keunggulan-keunggulan yang
97
dimiliki oleh kelompok Copepoda ini memungkinkannya untuk dapat hidup dan eksis pada berbagai tipe dan kondisi habitat. Terkait dengan keunggulan morfologis/struktur, maka Copepoda memiliki beberapa keunggulan, yaitu: 1) adanya berbagai bentuk morfologi dan ukuran tubuh sehingga Copepoda memiliki berbagai alternatif dalam hal pemilihan bentuk ruang untuk habitatnya; 2) adanya pelindung tubuh yang efektif berupa karapaks yang membalut tubuhnya sehingga Copepoda lebih aman dari bahaya gesekan dan benturan; 3) adanya tungkai yang bercakar yang digunakan untuk berpegangan dan mencengkram substrat (sedimen dan vegetasi) sehingga Copepoda lebih aman dari bahaya hempasan arus dan gelombang yang kuat; dan 4) adanya struktur antena yang dapat mendeteksi kodisi lingkungan yang kurang menguntungkan (Wells 1988; Giere 1993). Dalam hubungannya dengan keunggulan fisiologis, maka Copepoda memiliki berbagai keunggulan fisiologis, yaitu: 1) adanya keragaman dalam hal struktur dan fisiologi pencernaan yang membuat Copepoda mampu untuk menerima berbagai jenis bahan makanan, seperti mikroalga (diatom), detritus, bakteri, protozoa, bahan organik dan tubuh meiofauna interstisial lainnya, sehingga Copepoda ada yang bersifat herbivora, carnivora, omnivora, pemakan detritus, pemakan bakteri, pemakan deposit, dan pemakan zat-zat terlarut atau tersuspensi (Giere 1993; Coull 1999; Sandulli & Pinckney 1999; De Troch 2001).; 2) adanya sistem reproduksi yang bersifat progenesis sehingga Copepoda dapat berbiak lebih awal; 3) adanya cara reproduksi yang bersifat iteroporitas sehingga Copepoda dapat dengan cepat meningkatkan populasinya; 4) adanya kemampuan untuk bereproduksi yang cepat sehingga Copepoda dapat mengganti jumlah individu yang hilang; 5) adanya sifat prekoksitas (perkembangan yang cepat) sehingga Copepoda dapat cepat tumbuh, cepat dewasa dan cepat berbiak (masa siklus generasinya pendek); dan 6) adanya kemampuan untuk mengurangi stres terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik melalui mekanisme pergantian kulit (molting) yang juga dapat berfungsi dalam proses pertumbuhan (Wells 1988; Giere 1993; Coull 1999). Dalam kaitannya dengan keunggulan perilaku, maka Copepoda memiliki keunggulan-keunggulan, seperti: 1) adanya kemampuan berenang yang tinggi
98
sehingga Copepoda dapat melakukan migrasi secara vertikal dan horizontal yang lebih luas (Kern 1990; Kurdziel & Bell 1992; Giere 1993; Bostrom & Bonsdorff 2000; Punch et al. 2002); dan 2) adanya kemampuan bergerak dan bereaksi dengan cepat terutama untuk menghindari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (Coull 1988; Olafsson et al. 1990; Rosa & Bemvenuti 2005). Berkenaan dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, maka Copepoda terutama famili Thalestridae, Laophontidae dan Diosaccidae dapat beradaptasi dengan baik dan mempunyai preferensi yang kuat terhadap daerah yang mendapat pengaruh arus pasang yang kuat (stasiun C, bare area). Sementara itu, famili Paramesochridae (Apodopsyllus sp. dan Paramesochra sp.) dan famili Canuellidae (Canuella sp.) dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang stres dan terkonsentrasi di lapisan sedimen yang lebih dalam. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian De Troch (2001) dan De Troch et al. (2003). Selain disebabkan oleh adanya berbagai keunggulan yang dimiliki oleh Copepoda, maka menonjolnya kelompok Copepoda ini juga didukung oleh tipe dan kondisi habitatnya. Seperti diketahui bahwa tipe habitat meiofauna interstisial di lokasi penelitian adalah berupa habitat berlumpur, habitat lumpur berpasir dan habitat berpasir. Copepoda dapat berasosiasi dengan semua bentuk substrat dan mampu menerima berbagai tipe dan kondisi habitat yang ada di lokasi ini. Kalau dikaji lebih jauh, maka Copepoda tidak hanya terbatas pada lapisan sedimen yang beroksigen, mereka juga ditemukan pada atau hanya di bawah permukaan lumpur, namun dapat juga ditemukan dalam sedimen berpasir dan berkerikil yang lebih dalam. Di laut, mereka berasosiasi dengan makrofauna epibentik yang menempel dan cukup melimpah pada makrofita (Kotwicki 2002). Sebagian besar Copepoda ada sepanjang tahun, walaupun mereka melimpah, sering menunjukkan fluktuasi musiman yang luas, biasanya berasosiasi dengan puncak aktivitas reproduksinya (Wells 1988; Punch et al. 2002). Oleh sebab itu, dengan adanya kemampuan Copepoda menerima berbagai tipe dan kondisi habitat tersebut memungkinkannya tersebar secara luas dengan kelimpahan yang cukup tinggi sepanjang tahun.
99
Taksa Polychaeta Dalam komunitas meiofauna interstisial di seluruh lokasi penelitian, kelompok Polychaeta merupakan kelompok meiofauna interstisial yang cukup menonjol sepanjang tahun (Tabel 4). Kelompok Polychaeta ini memiliki wakil sebanyak 29 genus (17.37%) dengan kelimpahan individu sebesar 116 individu (11.88%) pada musim Timur, 25 genus (17.12%) dengan kelimpahan individu sebesar 116 individu 13.14%) pada musim Peralihan I, 20 genus (18.18%) dengan kelimpahan individu sebesar 70 individu (15.05%) pada musim Barat, dan 22 genus (16.67%) dengan kelimpahan individu sebesar 87 individu (13.66%) pada musim Peralihan II. Kalau dilihat dari data tersebut, maka kelompok Polychaeta merupakan kelompok yang juga cukup menonjol dan menduduki peringkat ke tiga dalam komunitas meiofauna interstisial, baik dari segi jumlah genus maupun kelimpahan individunya pada setiap musim (Gambar 24, 25 dan 26). Hal ini sesuai dengan Nybakken dan Bertness (2005) yang menyatakan bahwa Polychaeta merupakan anggota meiofauna interstisial yang cukup menonjol dalam komunitasnya di seluruh ekosistem perairan dunia. Giere (1993) melaporkan bahwa kelimpahan Polychaeta biasanya menempati urutan ke empat dalam komunitas meiofauna interstisial. Menonjolnya kelompok Polychaeta ini dalam komunitas meiofauna interstisial disebabkan oleh beberapa faktor yang ikut mendukung keberadaannya, yaitu: 1) adanya berbagai bentuk tubuh yang memungkinkan Polychaeta untuk berada pada berbagai bentuk dan struktur ruang; 2) adanya sistem pencernaan Polychaeta yang cukup beragam yang ditandai oleh beragamnya jenis makanan yang dapat dimakan, seperti mikroalga, detritus, deposit, bakteri dan protozoa, sehingga Polychaeta dapat digolongkan sebagai meiofauna interstisial yang eurifagik; 3) adanya sifat eurycious yang dimiliki oleh Polychaeta sehingga kelompok meiofauna interstisial ini mampu untuk menerima berbagai tipe dan kondisi habitat; 4) adanya kemampuan untuk dapat bertahan pada kondisi fisikkimia lingkungan yang sering berfluktuasi di daerah pasang surut sehingga Polychaeta dapat digolongkan sebagai meiofauna yang bersifat eurihalin dan euritermal; dan 5) adanya berbagai sistem reproduksi yang dimiliki oleh
100
Polychaeta, seperti parthenogenesis, progenesis dan hermafrodit protandri sehingga Polychaeta dapat berbiak lebih cepat (Westbeide 1988; Giere 1993). Polychaeta merupakan taksa meiofauna interstisial yang bersifat pemakan deposit (deposit feeder). Keberadaan sedimen berlumpur merupakan habitat yang cocok bagi organisme ini. Nybakken dan Bertness (2005) mengatakan bahwa kelas Polychaeta sebagai organisme penggali dan pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur lunak, karena merupakan daerah yang banyak mengandung bahan organik. Selanjutnya, Fressi et al. (1994) menyatakan bahwa tekstur sedimen yang semakin halus akan dapat mengurangi evaporasi dan habitat ini cocok untuk hewan yang meliang (infauna) seperti Polychaeta. Beberapa Polychaeta menempati celah-celah sedimen/infauna, yaitu dengan cara menggali sedimen lunak dengan mendorong partikel-partikel sedimen untuk membuat tempat tinggalnya (Westbeide 1988; Punch et al. 2002). Mereka tidak bergantung pada tersedianya ruang yang luas untuk kolonisasi (Punch et al. 2002). Bagi Polychaeta yang menempati partikel sedimen pasir, mereka beradaptasi dengan memiliki organ penghasil bahan perekat dan organ reproduksi yang spesifik (Westbeide 1988). Selain hidup dalam sedimen, Polychaeta juga hidup sebagai sesil, misalnya pada alga dan permukaan terumbu karang (Westbeide 1988) dan makan dengan cara menyaring air (Punch et al. 2002).
Taksa Foraminifera Foraminifera juga merupakan kelompok yang juga cukup menonjol dalam komunitas meiofauna interstisial di seluruh lokasi penelitian pada setiap musim (Tabel 4). Kelompok meiofauna interstisial ini menduduki peringkat ke empat terbesar dari kelompok meiofauna interstisial yang ada, baik dari segi jumlah genus maupun kelimpahan individunya (Gambar 24, 25 dan 26). Kelompok Foraminifera ini memiliki wakil sebanyak 10 genus (5.99%) dengan kelimpahan individu sebesar 109 individu (11.17%) pada musim Timur, 8 genus (5.47%) dengan kelimpahan individu sebesar 81 individu (9.17%) pada musim Peralihan I, 8 genus (7.27%) dengan kelimpahan individu sebesar 46 individu (9.89%) pada musim Barat, dan 10 genus (7.57%) dengan kelimpahan individu sebesar 71 individu (11.15%) pada musim Peralihan II.
101
Keberadaan Foraminifera yang tergolong cukup menonjol ini diperkirakan disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang ikut mendukung. Faktor-faktor yang dimaksud adalah: 1) adanya berbagai bentuk tubuh yang memungkinkan Foraminifera untuk berada pada berbagai bentuk dan struktur ruang; 2) adanya kemampuan untuk menerima berbagai tipe dan kondisi habitat; 3) adanya kemampuan untuk menerima berbagai jenis makanan; dan 4) adanya kemampuan untuk meningkatkan populasinya dengan sistem reproduksi melalui pembelahan sel (Gooday 1988; Higgins & Thiel 1988; Lee & Anderson 1991; Giere 1993; Pringgoprawiro & Kapid 2000). Terkait dengan bentuk tubuh, maka Foraminifera memiliki berbagai bentuk morfologi dan ukuran tubuh, seperti bentuk anyaman, bentuk pita, bentuk cakram, bentuk kantung dan bentuk cangkang siput. Dengan adanya bentuk tubuh yang sangat bervariasi ini, maka Foraminifera memiliki berbagai alternatif dalam hal pemilihan bentuk ruang untuk habitatnya dan juga memungkinkannya untuk berada pada berbagai bentuk dan struktur ruang yang sempit di dalam sedimen. Dalam hubungannya dengan kemampuan menerima berbagai tipe dan kondisi habitat, maka hal ini memungkinkan Foraminifera dapat tersebar secara luas. Keberadaan Foraminifera di perairan Selat Dompak dapat dijumpai pada semua tipe habitat mulai dari habitat berlumpur, habitat lumpur berpasir hingga habitat berpasir. Gooday (1988) menyatakan bahwa Foraminifera dapat hidup pada semua lingkungan laut. Dalam kaitannya dengan kemampuan menerima berbagai jenis makanan, maka makanan Foraminifera tergolong bervariasi. Beberapa jenis makanan yang biasa dimakan oleh Foraminifera adalah mikroalga (diatom), bakteri, protozoa, detritus dan deposit bahan organik yang terjebak di dalam sedimen (Giere 1993). Berkenaan dengan hal tersebut, maka jenis makanan yang tersedia di perairan Selat Dompak diprediksi juga cukup beragam. Dengan beragamnya jenis makanan yang tersedia di dalam habitatnya, maka hal ini tentu dapat mendukung keragaman dan kelimpahan Foraminifera dalam habitatnya. Umumnya Foraminifera terdapat di sedimen halus. Dalam sebagian besar habitat, Foraminifera merupakan anggota meiofauna interstisial yang penting. Biasanya, kelimpahan Foraminifera sedikit dalam sedimen pasir kasar, hal ini
102
diduga disebabkan oleh langkanya makanan di tempat tersebut. Dalam sedimen pasir kasar, Foraminifera menempelkan dirinya pada butiran pasir. Foraminifera tidak dapat hidup dalam pasir yang terekspos pada pengaruh arus yang kuat karena mereka tidak dapat bertahan dalam kondisi yang demikian. Banyak Foraminifera yang hidup secara epifauna pada atau dekat permukaan sedimen, di mana nutrien terkonsentrasi di lapisan ini dan air jebakan sedimen teraerasi dengan baik. Beberapa genus yang hidup secara infauna, biasanya dijumpai beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen dan bahkan kadang-kadang terdapat di lapisan yang lebih dalam lagi. Bentuk epifauna dan infauna ini merupakan bentuk yang dapat berpindah pada sedimen dan dalam sedimen. Penempelan pada substrat merupakan cara kehidupan Foraminifera yang umum. Tumbuhan juga digunakan sebagai substrat penempelan bagi Foraminifera. Alga yang berasosiasi dengan tumbuhan lamun dengan konsentrasi yang tinggi, serta TOC dan bakteri dapat mendukung populasi Foraminifera (Gooday 1988). Populasi meiofauna interstisial dapat bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Fluktuasi musiman kelimpahan meiofauna interstisial taksa Foraminifera berkaitan dengan kelimpahan sumber makanannya. Populasi Foraminifera mengalami peningkatan dengan cepat ketika terjadinya peningkatan alga sebagai sumber makanannya. Kelimpahan Foraminifera meningkat selama musim panas, di mana dalam musim ini aktivitas reproduksinya tinggi (Gooday 1988). Taksa Turbellaria Dalam komunitas meiofauna interstisial di seluruh lokasi penelitian, kelompok Turbellaria merupakan kelompok meiofauna interstisial yang cukup menonjol sepanjang tahun (Tabel 4). Kelompok Turbellaria ini memiliki wakil sebanyak 8 genus (4.79%) dengan kelimpahan individu sebesar 81 individu (8.30%) pada musim Timur, 7 genus (4.79%) dengan kelimpahan individu sebesar 78 individu (8.83%) pada musim Peralihan I, 7 genus (6.36%) dengan kelimpahan individu sebesar 41 individu (8.82%) pada musim Barat, dan 8 genus (6.06%) dengan kelimpahan individu sebesar 54 individu (8.48%) pada musim Peralihan II. Kalau dilihat dari data tersebut, maka kelompok Turbellaria merupakan kelompok yang juga cukup menonjol dan menduduki peringkat ke lima dalam
103
komunitas meiofauna interstisial, baik dari segi jumlah genus maupun kelimpahan individunya pada setiap musim (Gambar 24, 25 dan 26). Cukup menonjolnya kelompok Turbellaria ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang diperkirakan ikut mendukung, yaitu: 1) adanya keunggulan bentuk tubuh; 2) adanya kemampuan untuk menerima berbagai tipe dan kondisi habitat; 3) adanya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan; 4) adanya sistem pencernaan Turbellaria yang cukup beragam yang ditandai oleh beragamnya jenis makanan yang dapat dimakan, seperti mikroalga, detritus, deposit, bakteri dan protozoa; 5) adanya kemampuan bereproduksi secara hermaprodit membuat Turbellaria dapat berkembang biak dengan cepat dan meningkatkan populasinya dengan cepat (Cannon & Faubel 1988; Higgins & Thiel 1988; Giere 1993; Ruppert & Barnes 1994). Turbellaria memiliki bentuk tubuh yang langsing, pipih dan sangat fleksibel. Bentuk tubuh yang demikian, sangat memudahkan meiofauna interstisial ini untuk bergerak dan menyusup di dalam sedimen atau meliang ke dalam lapisan sedimen serta mampu memanfaatkan ruang-ruang interstisial yang sangat sempit. Hal ini memberikan keuntungan bagi Turbellaria dalam upayanya bermigrasi untuk menghindari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Cannon & Faubel 1988; Higgins & Thiel 1988; Giere 1993; Ruppert & Barnes 1994). Adanya kemampuan Turbellaria untuk menerima berbagai tipe dan kondisi habitat, memungkinkan fauna ini dapat tersebar secara luas. Seperti diketahui bahwa tipe habitat meiofauna di lokasi penelitian ini adalah berupa habitat berlumpur (bervegetasi lamun dan mangrove), habitat lumpur berpasir (bervegetasi lamun) dan habitat berpasir (tanpa bervegetasi). Hal ini tentunya sangat mendukung keberadaan kelompok Turbellaria. Turbellaria merupakan taksa meiofauna interstisial yang ada di mana-mana, mereka merupakan bentuk yang hidup bebas dalam lingkungan perairan laut. Turbellaria sangat umum terdapat pada dan dalam substrat dasar yang berbeda (dasar lunak, dasar berpasir, pecahan karang, kerikil, berasosiasi dengan kerang dan vegetasi air, baik di zona intertidal maupun subtidal. Beberapa genus Turbellaria bersifat pelagis. Genus Acoela merupakan kelompok besar dari Turbellaria yang sering dijumpai pada sedimen yang kaya bahan organik (Cannon & Faubel 1988).
104
Terkait dengan adanya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan, maka hal ini memungkinkan Turbellaria memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan tersebut. Pada habitat yang kadar oksigennya rendah atau miskin oksigen, fauna ini mampu bertahan dan dapat hidup dengan eksis pada sedimen lumpur yang tereduksi (Heip et al. 1985; Cannon & Faubel 1988; Higgins & Thiel 1988; Webber & Thurman 1991; Giere 1993; Ruppert & Barnes 1994; Coull 1999; Nybakken & Bertness 2005). Adanya sistem pencernaan yang cukup beragam membuat Turbellaria mampu menerima berbagai jenis makanan yang dapat dimakan, seperti mikroalga, detritus, deposit, bakteri dan protozoa yang terjebak di dalam sedimen. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperkirakan jenis makanan yang tersedia di perairan Selat Dompak juga cukup beragam. Dengan beragamnya jenis makanan yang tersedia di dalam habitatnya, maka hal ini tentu dapat mendukung keragaman dan kelimpahan fauna ini dalam habitatnya. Di samping adanya berbagai kemampuan dan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh kelompok mayor meiofauna interstisial ini, masih ada faktor lain yang juga ikut mendukung kehadiran dan keberadaannya tetap eksis di berbagai tipe dan kondisi habitat. Faktor tersebut adalah meiofauna interstisial yang masih muda mempunyai kemampuan untuk mencoba substratnya. Barangkali mereka bereaksi terhadap faktor-faktor fisik kimia tertentu. Jika substrat tidak baik, maka mereka tidak menetap. Ini berarti bahwa tipe substrat tertentu akan menarik genus meiofauna tertentu dan menolak genus yang lain. Meiofauna interstisial yang masih muda juga bereaksi terhadap adanya meiofauna interstisial dewasa dari genus yang sama, di mana mereka lebih senang menetap di tempat yang terdapat genus dewasa. Dengan demikian, dengan adanya keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh kelompok Nematoda, Copepoda, Polychaeta, Foraminifera dan Turbellaria ini, maka ke lima kelompok mayor meiofaua interstisial ini dapat mencapai keberhasilan dalam perjalanan hidupnya sebagai fauna interstisial. Oleh sebab itu, proses kehidupan meiofauna yang mekanismenya melalui seleksi alam akan selalu memberikan peluang kepada genus- genus yang memiliki keunggulan untuk tetap eksis dan berkembang di dalam komunitasnya.
105 Kelompok Minor Meiofauna Interstisial
Taksa Ciliata Taksa Ciliata merupakan kelompok yang ada di mana-mana. Mereka dapat hidup bebas di lingkungan habitat air payau, estuaria dan laut pada sedimen pasir dan lumpur. Ciliata dapat berasosiasi dengan algae, protista, tumbuhan dan sejumlah hewan vertebrata dan invertebrata. Faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi populasi Ciliata yang secara esensial mempengaruhi komunitas meiofauna interstisial. Pengaruh ukuran butir sedimen terhadap keberadaan taksa ini amat besar. Keberadaan Ciliata cukup melimpah pada sedimen pasir kasar (>300 um). Pada ukuran pasir medium (300 um), keberadaan meiofauna interstisial ini mulai berkurang, sedangkan Ciliata interstisial tidak terdapat dalam sedimen yang ukuran partikelnya <100 um. Meiofauna interstisial taksa Ciliata yang hidup di sedimen yang berfraksi kasar cenderung berukuran lebih kecil dan agak pipih serta mempunyai pergerakan berenang yang agak tersentak-sentak. Genus yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Oxytricha, sedangkan genus Condylostoma dan Tracheloraphis hidup dalam sedimen yang berukuran diameter sekitar 250 urn (Corliss et al. 1988). Ciliata memainkan peranan penting dalam jaring-jaring makanan, dimana ia sebagai pemangsa terhadap metazoa dan predator bakteri. Sebagian besar Ciliata merupakan pemakan bakteri dan ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada lapisan sedimen yang kelimpahan bakterinya tinggi, seperti di lapisan transisi redoks, yaitu lapisan antara sedimen aerob dan anaerob. Bakteri sulfur merupakan makanan utama bagi Ciliata dan mereka sangat efektif di lapisan ini. Bentukbentuk karnivor dapat ditemukan dalam lapisan ini selama mangsanya tersedia. Ciliata juga memakan mangsa yang sangat spesifik, seperti diatom atau flagellata. Ciliata dapat mengadakan migrasi antara lapisan yang berbeda yang membentuk zonasi vertikal. Zonasi vertikal ini dapat berkorelasi dengan zonasi kimiawi sedimen (Corliss et al. 1988). Walaupun sebagian besar Ciliata ditemukan beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen (zona aerob), namun Ciliata dapat juga hidup di bawah zona transisi yang anaerob. Beberapa Ciliata ini berkembang dengan endosimbion bakteri yang berfungsi sebagai mitokondria di bawah kondisi anaerob. Sementara, genus Ciliata yang lain tidak
106
mempunyai endosimbion yang dapat berkembang, namun ia memiliki mekanisme lain untuk kelangsungan hidup di bawah potensial redoks yang rendah (Soldo et al. 1985, diacu dalam Corliss et al. 1988). Taksa Amphipoda Meiofauna interstisial taksa Amphipoda dapat dijumpai dalam tiga habitat yang sangat berbeda, yaitu: interstisial dalam pasir, pada dasar alga laut, dan perairan tawar. Sebagian besar famili Gammaridae dijumpai dalam sedimen yang terakumulasi pada habitat makrofita, baik secara intertidal maupun subtidal. Namun, kedua habitat ini mempunyai perbedaan yang khas dalam sejumlah bahan organik yang terperangkap dalam sedimen dan barangkali dalam tingkat pembilasan air melalui ruang interstisial. Dalam beberapa kasus, tidak ada Amphipoda dari famili ini yang ditemukan di habitat alga walaupun banyak Amphipoda yang berukuran lebih besar dijumpai dalam habitat yang sama, dan sangat sedikit sekali ditemukan di sepanjang pantai yang luas (Watling 1988a). Taksa ini dapat berenang dan menggali sedimen pasir dan lumpur dalam lingkungan laut (Aljetlawi et al. 2000). Amphipoda (terutama famili Gammaridae) adalah pemakan detritus dan busukan bahan organik termasuk daun lamun dan bagian lain dari lamun. Amphipoda pada umumnya mendiami substrat dasar yang ditumbuhi oleh lamun atau alga bentik. Fauna ini dapat berenang dan meloncat di antara vegetasi lamun (Aljetlawi et al. 2000). Taksa Oligochaeta Taksa Oligochaeta terdapat dalam variabilitas habitat perairan yang lebih besar. Di lingkungan laut mempunyai fauna Oligochaeta yang bermacam-macam. Sebenarnya, jenis sedimen laut apa saja mengandung setidaknya satu genus Oligochaeta, walaupun tidak selalu dalam kepadatan yang sangat tinggi. Di habitat berpasir, sebagian besar Oligochaeta merupakan meiobentik dan menunjukkan karakteristik adaptasi hewan interstisial, yaitu memiliki bentuk tubuh yang tipis dan ramping, serta mempunyai kelenjer perekat pada tubuhnya, terutama sekali genus Akredilus. Pada sedimen lumpur lebih banyak dijumpai
107
genus Limnodriloides, sedangkan pada sedimen pasir kasar genera yang lebih tinggi kelimpahannya adalah Crania dan Heterodrilus yang mempunyai bentuk tubuh yang kuat. Dalam sedimen pasir yang stabil, genus Olavius jumlahnya lebih tinggi (Erseus 1988). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di semua tipe habitat, baik habitat berlumpur, habitat lumpur berpasir maupun habitat berpasir. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan Olicochaeta untuk menerima tipe dan kondisi habitat yang bervariasi. Di samping itu, Oigochaeta memiliki bentuk tubuh yang tipis dan ramping, serta mempunyai kelenjer perekat pada tubuhnya yang membuat Oligochaeta mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Jumlah genus dan jumlah individu Oligochaeta ini yang hampir berimbang pada musim Timur, musim Barat dan musim Peralihan II. Sementara pada musim peralihan I, jumlah genus dan kelimpahan individu Oligochaeta ini tampaknya lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya. Meiofauna Oligochaeta laut ini memiliki peranan ekologis dalam hubungan rantai makanan, dengan mikroorganisme sebagai sumber nutrisi utamanya (Giere & Pfannkuche 1982, diacu dalam Erseus 1988). Beberapa meiofauna interstisial dari taksa ini berguna tidak hanya dari hasil metabolik yang diekskresikan oleh simbiotiknya (bakteri kemoautrotrof), tetapi juga dari pencernaan langsung material sel (Giere & Langheld 1987, diacu dalam Erseus 1988). Taksa Nemertina Norenburg (1988) melaporkan bahwa fauna Nemertina interstisial jarang ditemukan di daerah yang mempunyai kandungan partikel organik tinggi. Sebagian besar Nemertina hidup di daerah intertidal yang mempunyai arus kuat dan dasar perairan yang bersih dengan sedimen berpasir kasar dan adanya pecahan kerang. Namun, dalam penelitian ini fauna Nenertina selain dijumpai di sedimen berpasir kasar (stasiun C), juga banyak ditemukan di sedimen lumpur berpasir (stasiun Al) dan di sedimen berlumpur (stasiun A2, A3 dan B2). Artinya, fauna Nenertina mempunyai penyebaran yang cukup luas dan dapat beradaptasi di berbagai tipe dan kondisi habitat. Sebagian besar Nemertina dapat hidup pada kondisi lingkungan yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi.
108
Taksa Gastrotricha Gastrotricha laut merupakan hewan interstisial yang menempati ruang kosong antara butiran pasir/sedimen. Karena pentingnya ruang bebas interstisial, keberadaan Gastrotricha berhubungan dengan distribusi sedimen, meskipun sedikit genus meliang yang terdapat dalam sedimen lumpur. Umumnya, Gastrotricha laut terbatas pada sedimen oksik, kecuali genus Megadasys. Pada daerah intertidal dan perairan dangkal yang terlindung, kelimpahan Gastrotricha sering tinggi. Gastrotricha juga hidup berasosiasi dengan vegetasi air, serasah, dan sampah organik. Gastrotricha dapat hidup dalam kondisi sedimen yang mikrooksik dan anaerob Ruppert 1988) Taksa Ostracoda Selama penelitian, taksa Ostracoda tidak pernah ditemukan di stasiun A2, A3 dan Bl yang merupakan habitat berlumpur. Keyser (1988) mengatakan bahwa Ostracoda memiliki sifat hidup yang tidak menyukai habitat berlumpur. Namun, dalam penelitian ini ditemukan adanya meiofauna taksa Ostracoda di habitat berlumpur di stasiun B2. Hal ini diduga bahwa keberadaan taksa ini di habitat berlumpur lebih disebabkan oleh pengaruh arus yang menyebarkan meiofauna ini ke stasiun B2. Ostracoda lebih menyukai hidup secara berkelompok di habitat sedimen lumpur berpasir (stasiun Al) dan habitat berpasir (stasiun C). Ostracoda dapat berenang, meskipun sebagian besar bergerak dengan pelan sekali di sedimen. Mereka mempunyai kemampuan menghasilkan semacam benang khusus untuk melindunginya yang ditempatkan pada substrat. Kadang-kadang mereka menggunakan benang ini untuk menangkap alga sebagai sumber makanannya. Sebagian besar makanannya didapatkan dengan cara menyaring makanan, memangsa, mengisap atau sebagai predator (Keyser 1988; Arroyo et al. 2004). Taksa Cladocera Sebagian besar genus dari famili Chydoridae, Macrothricidae dan Sididae yang merupakan famili dari taksa Cladocera terorientasi (menyesuaikan diri) pada sedimen. Mereka dapat ditemukan pada dan dalam tipe sedimen yang berbeda dan hanya berenang pada jarak yang pendek dari satu tempat ke tempat lain (Frey
109
1988). Dalam penelitian ini, Cladocera dijumpai mendiami semua tipe habitat di perairan dangkal, kecuali famili Sididae yang hanya ditemukan di habitat lumpur berpasoir (stasiun Al). Jumlah genus berkurang secara cepat dengan meningkatnya kedalaman. Lumpur gundul dan pasir secara relatif mempunyai sedikit anggota famili Chydoridae dan Macrothricidae, dan hal ini merupakan adaptasi khusus terhadap bahan partikel. Kelimpahan yang tinggi terdapat di daerah yang ada makrofita perairan, di mana daerah ini meyediakan keanekaragaman habitat yang lebih tinggi dari beberapa tipe sedimen.
Taksa Halacarida Halacarida dapat hidup dalam hampir semua jenis sedimen, dalam lempengan algae, pada daun, pada koloni hydrozoa dan bryozoa, dalam pasir kasar dan halus, dalam sedimen di akar vegetasi air. Mereka biasanya berkurang dalam sedimen lumpur atau sedimen yang miskin oksigen. Persentase Halacarida dalam meiofauna mungkin melebihi 90%. Pada pasir berbutiran menengah, Halacarida biasanya <5% dari jumlah meiofauna interstisial. Dalam sedimen kasar dan pasir di perairan payau, Halacarida mungkin meningkat hingga 15% (Barstsch 1988). Dalam penelitiaan ini, meiofauna interstisial taksa Halacarida hanya ditemukan sebanyak tiga genus, yaitu Halacarus (famili Halacariinae), Scaptognathus (famili Halacariinae) dan Lohmanella (famili Lohmanellinae). Di habitat berlumpur, Halacarida dijumpai pada kedalaman 0-5 cm, di habitat lumpur berpasir sampai kedalaman 15 cm, dan di habitat berpasir sampai kedalaman 25 cm.
Taksa Rotifera Sebagian besar Rotifera laut berasosiasi dengan sedimen pasir di daerah intertidal. Beberapa ditemukan di daerah pantai intertidal di mana ruang interstisial tetap basah oleh aksi kapiler (Punch et al. 2002). Tzschaschel (1983) diacu dalam Punch et al. (2002) melaporkan bahwa Rotifera laut lebih menyukai lapisan pasir pada kedalaman sedimen di atas 20 cm, namun mereka juga dapat ditemukan pada kedalaman sedimen 40 cm selama tidak ada lapisan sulfida. Dalam penelitian ini, taksa Rotifera terdistribusi di perairan laut dangkal yang hidup secara interstisial di substrat berpasir dan lumpur berpasir.
110
Taksa Syncarida Taksa Syncarida terdistribusi di perairan laut dangkal yang hidup secara interstisial di substrat berpasir dan lumpur berpasir (Sieg 1988a). Dalam penelitian ini taksa Syncarida tidak hanya dijumpai di kedua habitat tersebut, namun juga dapat hidup di habitat berlumpur, dengan jumlah genus hanya terdapat dua genus yaitu Bathynella dan Parabathynella. Taksa Tanaidacea Tanaidacea merupakan hewan laut yang khas, dapat berenang dan terdistribusi luas di dunia. Keberadaan Tanaidacea sangat bergantung pada kedalaman perairan dan wilayah. Tanaidacea merupakan penghuni pembuat tabung dalam sedimen, di mana mereka jarang meninggalkan tabungnya, baik tahap juvenil maupun dewasa. Ketika tabung baru dibuat, juvenil Tanaidacea akan melewati lubang yang telah dibuat induknya. Oleh sebab itu, Tanaidacea mempunyai distribusi yang tidak sempurna dengan kepadatan populasi yang tinggi. Sebagian besar di daerah perairan dangkal kepadatan populasinya cukup tinggi. Dengan demikian, mereka merupakan bagian yang penting dari rantai makanan dalam ekosistem laut. Tanaidacea merupakan makanan bagi Polychaeta, Amphipoda, Decapoda, ikan dan beberapa unggas air. Analisis isi perut dan usus mengindikasikan bahwa Makanan mereka biasanya terdiri atas detritus atau alga kecil (sebagian besar diatom). Kadang-kadang mereka juga memakan Nematoda dan Copepoda (Sieg 1988b). Semua genus Tanaidacea hidup dalam substrat (menempati tabung). Agar tabung tidak runtuh, dijaga dengan cara menginjak-injak sedimen dan memadatkan sedimen halus menjadi dinding dengan bantuan kaki peraeopoda. Selaput lendir dari kelenjer uniseluler yang ada pada dinding tubuhnya digunakan untuk menstabilkan sedimen (Sieg 1988b). Taksa Tardigrada Dalam penelitian ini, taksa Tardigrada hanya ditemukan pada musim Timur dan musim Peralihan I. Pada musim Barat dan musim Peralihan II, fauna ini tidak ditemukan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi perairan pada waktu
Ill kedua musim ini, di mana transpor sedimen oleh gelombang dan arus yang kuat dengan mudah dapat memodifikasi habitat mereka dan mengubah distribusinya. Renaud-Mornant (1988) mengatakan bahwa migrasi Tardigrada dapat disebabkan oleh perubahan temperatur dan arus yang kuat di perairan. Sebagian besar Tardigrada hidup di perairan laut yang bersubstrat pasir. Tardigrada dapat dijumpai di habitat intertidal dan subtidal, bahkan beberapa genus terdapat di kedalaman 100-180 cm, yaitu genus Stygarctus dan Renaudarctus.
Taksa Cnidaria Taksa Cnidaria hidup secara interstisial di sedimen berpasir kasar, namun aktivitas hidup dan makan serta perkembangan organ reproduksinya terjadi di lapisan permukaan sedimen (Thiel 1988). Sebagian besar taksa ini hidup dalam pasir kasar dan kerikil, mereka dapat berpindah ke dalam ruang interstisial di sekitarnya. Fauna ini termasuk pemakan suspensi, hidupnya bergantung pada organisme yang tersaring dari air (Nybakken & Bertness 2005). Di lingkungan interstisial, relatif hanya sedikit air dan sedikit organisme dalam air interstisial tersebut yang dapat disaring, karena sebagian besar melekat atau menempelkan diri pada butiran pasir. Namun demikian, beberapa genus ditemukan di dalam sedimen lumpur atau di lapisan permukaan yang kaya detritus.
Taksa Cumacea Taksa Cumacea merupakan penghuni substrat lunak termasuk sedimen yang terperangkap di hamparan rumput laut. Hampir semua Cumacea menempati perairan laut. Semua taksa Cumacea dapat ditemukan di perairan pantai yang sangat dangkal (Watling 1988). Meiofauna interstisial taksa Cumacea hidup dengan cara membenamkan diri dalam sedimen, biasanya hanya bagian depan kepalanya yang terekspos di atas sedimen. Cumacea mempunyai tiga pasang kaki belakang (pereopoda) yang digunakan untuk menggali sedimen agar tubuhnya bisa masuk ke dalam sedimen untuk berlindung.
11 3
114
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial bervariasi secara spasial (tipe habitat/stasiun) dan temporal (musim) di perairan Selat Dompak, dan memperlihatkan adanya pola fluktuasi spasial dan temporal jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial (Gambar 27). 5
I o o
5.000 -,
1.000
-,
0.960
-
0.920
-
I 2.000 -
0.880
-
•S 1.000 H
0.840
-
i | 4.000 ? | 3.000 >
d
0.800
0.000
Al
A2
I Timur
A3 Bl Stasiun
Al
B2
• PeralihanI
IBarat
A2
A3 Bl Stasiun
• Peralihan
Gambar 27. Variasi spasial dan temporal jumlah total genus (a), kelimpahan total individu (b), indeks keanekaragaman (c) dan indeks kemerataan (d) meiofauna interstisial di setiap stasiun. Dengan mencermati tampilan fluktuasi spasial dan temporal jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial (Gambar 27a dan 27b), maka terlihat adanya pola yang berbeda di antara kelompok tipe habitat, yaitu: 1) di tipe habitat yang bervegetasi lamun (stasiun Al, A2 dan A3), jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial yang tertinggi tercatat pada musim Timur, kemudian menurun pada musim Peralihan I, lalu menurun lagi pada musim Barat dan meningkat pada musim Peralihan II; 2) di tipe habitat yang bervegetasi mangrove (stasiun Bl dan B2), terjadi peningkatan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial dari musim Timur ke musim Peralihan I, kemudian menurun pada musim Barat, dan meningkat pada musim Peralihan II; dan 3) di tipe habitat yang tidak bervegetasi (stasiun C), polanya
B2
115
hampir sama dengan pola yang terjadi di tipe habitat yang bervegetasi mangrove. Terjadinya pola yang demikian, tampaknya dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat. Hal ini berarti bahwa tipe habitat berperan penting dalam menentukan jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial. Dari hasil analisis varians perbedaan komunitas meiofauna interstisial secara spasial (antar stasiun) dan secara temporal (antar musim), ternyata jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial antar stasiun dihasilkan perbedaan yang signifikan (F=7.6076, p<0.05 dan F=4.6296, p<0.05), sedangkan antar musim tidak berbeda signifikan (F=2.3281, p>0.05 dan F=1.7641, p>0.05). Uji Anova ini mengindikasikan bahwa secara spasial jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial berbeda signifikan antar stasiun. Sementara itu, jumlah total genus dan kelimpahan total individu meiofauna interstisial secara temporal dianggap sama di semua musim. Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 26) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan di antara stasiun, yaitu: 1) jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Al saling berbeda signifikan dengan stasiun A2, A3 dan Bl; dan 2) kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Al saling berbeda signifikan dengan stasiun A3 dan B1. Kelimpahan total individu meiofauna interstisial yang terdapat di habitat padang lamun (stasiun Al) lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi meiofauna interstisial yang terdapat di habitat yang tidak bervegetasi lamun (stasiun C) (Gambar 27b). Urban-Malinga et al. (2004) mengatakan bahwa meiofauna lebih melimpah di pantai yang terlindung bila dibandingkan dengan pantai yang terekspos. Bila dibandingkan dengan habitat mangrove, maka kelimpahan total individu meiofauna interstisial yang tertinggi juga dijumpai di stasiun Al pada musim Timur yaitu sebesar 391 individu, sedangkan kelimpahan total terendah terdapat di stasiun Bl sebesar 45 individu pada musim Barat. Tingginya kelimpahan meiofauna interstisial di lokasi padang lamun (terutama di stasiun Al) tampaknya dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi lamun dan kondisi lingkungan habitat yang mendukung kehidupannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara genus yang ada terdapat 18 genus meiofauna interstisial yang bersifat kosmopolitan. Artinya, genera ini
117
keunggulan struktur, keunggulan fisiologis dan keunggulan perilaku. Dari segi struktur, umumnya Copepoda memiliki struktur tubuh yang sangat fleksibel, sehingga mudah dalam memilih dan menempati ruang untuk habitatnya. Hal ini disebabkan oleh tubuhnya yang langsing, dengan tungkai yang kecil dan pendek, tanpa adanya tonjolan dan seta, serta memiliki bentuk dan ukuran segmen tubuh yang relatif sama (Giere 1993). Dari segi fisiologis, Copepoda memiliki keunggulan fisiologi pencernaan, yaitu mampu mencerna berbagai jenis bahan makanan, seperti detritus, bakteri, protozoa, mikroalga dan tubuh meiofauna interstisial lainnya (Sandulli & Pinckney 1999; De Troch 2001). Dari segi perilaku, Copepoda memiliki keunggulan dalam hal bergerak (mobilitasnya), seperti mempunyai kemampuan berenang dan menggeliatkan tubuhnya dengan cepat untuk bermigrasi, menghindari predator dan mendekati mangsa (Kern 1990; Kurdziel & Bell 1992; Bostrom & Bonsdorff 2000; Punch et al. 2002). Berfluktuasinya kelimpahan suatu genus meiofauna interstisial di suatu habitat dapat menyebabkan perubahan kelimpahan pada genus lain. Hal ini menggambarkan adanya beberapa macam interaksi biologi meiofauna interstisial yang terjadi di dalam habitat tersebut, seperti hubungan simbiosis mutualisme dan komensalisme, kompetisi dan predasi. Dalam komunitas meiofauna interstisial, sebenarnya genus tidak terisolasi, tetapi berinteraksi dengan genus yang lain pada habitat yang sama. Di dalam habitat yang sama, beberapa genus meiofauna interstisial dapat ditemukan secara bersamaan. Hal ini disebabkan oleh: 1) adanya kesamaan sifat biologis dan ekologis di antara genus-genus meiofauna interstisial; 2) adanya hubungan interaktif di antara berbagai genus meiofauna interstisial; dan 3) adanya variabel ekologis dalam tipe habitat yang sama yang mendukung kehadiran berbagai genus meiofauna interstisial. Terkait dengan adanya kesamaan sifat biologis dan ekologis di antara genusgenus meiofauna interstisial, maka kesamaan sifat-sifat ini dapat menyebabkan: a) kemampuan toleransi dan kemampuan adaptasi yang sama terhadap berbagai variabel atau faktor fisik-kimia lingkungan; b) adanya kesamaan sifat-sifat ekofisiologi meiofauna interstisial; c) adanya kesamaan kebutuhan hidup; dan d) adanya kesamaan struktur dan fisiologi pencernaan makanan, yang konsekuensinya adalah adanya kesamaan jenis makanan yang dibutuhkan,
118
sehingga mereka memiliki posisi yang sama atau berdekatan dalam tingkat trofik makanan. Hal-hal ini dapat menyebabkan hadirnya beberapa genus meiofauna interstisial dalam habitat yang sama dan mereka memiliki posisi yang sama dalam suatu habitat. Dengan demikian, adanya kesamaan sifat-sifat di antara genus meiofauna interstisial ini akan menyebabkan terjadinya kecocokan atau kesesuaian di antara genus meiofauna interstisial tersebut, sehingga membawa konsekuensi pada semakin kuatnya intensitas hubungan di antara genus meiofauna interstisial di dalam suatu habitat. Berkenaan dengan adanya hubungan interaktif di antara berbagai genus meiofauna interstisial atau adanya hubungan biotik yang bersifat interaktif, maka hal ini menyebabkan beberapa genus meiofauna interstisial dapat saling menerima habitat lainnya yang dihuni oleh genus meiofauna interstisial yang berbeda. Di dalam habitat ini, genus yang satu dengan vlainnya saling berasosiasi dan bergabung untuk membentuk komunitas meiofauna interstisial. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya hubungan interaktif yang berupa hubungan simbiosis mutualisme, simbiosis komensalisme, kompetisi (persaingan) dan predasi (pemangsaan) di antara berbagai genus meiofauna interstisial di dalam habitat tersebut (Giere 1993; Webber & Thurman 1991; Mueller & Huynh 1994; Tilman 1996; Nybakken & Bertness 2005). Oleh sebab itu, dengan adanya hubungan interaktif ini, beberapa genus meiofauna interstisial dapat ditemukan secara bersamaan di dalam habitat yang sama. Bertalian dengan adanya variabel ekologis dalam tipe habitat yang sama, maka variabel ekologis tersebut cenderung membuat habitat itu dapat menampung dan mendukung kehadiran dan keberadaan berbagai genus meiofauna interstisial dalam tipe habitat tersebut. Pada hakikatnya, tipe habitat yang demikian terdiri atas beberapa mikrohabitat yang dapat dijadikan sebagai sentral habitat atau sebagai pusat tempat hidupnya genus meiofauna interstisial tertentu. Mikrohabitat ini ditentukan oleh variabel ekologis di dalam habitatnya. Selain itu, distribusi horizontal jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial juga dipengaruhi oleh berbagai faktor hidrologi, di antaranya adalah faktor fisika-kimia perairan dan ketersediaan makanan (bahan organik). Nilai besaran faktor-faktor ini juga cenderung bervariasi dan berubah
119
secara temporal. Perubahan faktor-faktor ekologi ini pada umumnya akan berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada suatu perairan. Jumlah genus dan kelimpahan individu masing-masing taksa meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak cenderung berfluktuasi secara temporal (Gambar 28 dan 29). Dengan kata lain, meiofauna interstisial mengalami perubahan musiman dalam hal jumlah genus dan kelimpahannya. Taksa meiofauna interstisial tertentu lebih melimpah pada suatu musim daripada musim lainnya. Biasanya musim Timur di Kawasan Barat Indonesia dimulai dari bulan Mei dan berakhir pada bulan Juli. Ddim pada musim ini biasanya relatif panas dan jumlah hari hujannya relatif sedikit. Oleh sebab itu, masukan bahan organik juga relatif lebih sedikit. Walaupun demikian, meiofauna interstisial tetap dapat berkembang dengan memanfaatkan mikroalga bentik dan bahan organik yang tersedia di sedimen. Terkait dengan kelimpahan meiofauna interstisial yang tinggi pada musim Timur, maka hal ini disebabkan oleh ketersediaan makanan bagi meiofauna interstisial cukup melimpah pada musim ini, diduga produktivitas mikroalga bentik meningkat. Danovaro dan Fraschetti (2002) menyatakan bahwa kelimpahan meiofauna interstisial meningkat pada waktu alga bentik berlimpah pada musim panas. Danovaro et al. (2002) melaporkan bahwa sekitar 10% hingga >50% produksi total primer mikrofitobentos secara potensial dikonsumsi oleh meiofauna interstisial. Kelimpahan meiofauna interstisial umumnya mempunyai hubungan yang kuat dengan kandungan pigmen kloroplas dan klorofil-a. Adanya hubungan yang kuat antara kelimpahan meiofauna interstisial dengan kandungan pigmen kloroplas dan klorofil-a pada lapisan sedimen bagian atas menggambarkan pentingnya bahan fitodetritus dalam menopang biomassa meiofauna interstisial (Dinet et al. 2006; Grove et al. 2006). Selain itu, pada musim Timur kandungan bahan organik sedimen cukup tinggi sehingga meiofauna interstisial dengan cepat dapat memanfaatkan bahan organik tersebut sebagai sumber makanannya. Bahan organik yang ada di dalam sedimen merupakan bahan makanan bagi organisme bentik (Marsh & Tenore 1990; Sandulli & Pinckney 1999; Rossi et al. 2001).
122
Dalam penelitian ini terlihat bahwa tingginya kandungan bahan organik sedimen pada musim Timur diikuti oleh tingginya kelimpahan meiofauna interstisial. Dinet et al. (2006) menyatakan bahwa kelimpahan infauna bentik berkorelasi linier dengan masukan bahan organik yang terperangkap di dalam sedimen. Hal ini mengindikasikan adanya serangkaian proses bentik-pelagik. Pada kasus di sedimen tersebut menunjukkan adanya hubungan linier antara kelimpahan meiofauna interstisial dengan bahan organik dalam sedimen. Dengan demikian, meiofauna interstisial dapat dijadikan sebagai alat biologi indikator (bio-indicator) untuk menilai beberapa aspek transfer partikel dan input energetik dari pinggir pantai ke dasar laut. Pada skala laboratorium, pertumbuhan dan laju reproduksi meiofauna interstisial pemakan deposit (misahiya Polychaeta) meningkat dengan cepat sebagai respon dari melimpahnya ketersediaan sumber makanan (Bridges et al. 1994; Rossi et al. 2001). Jadi, keberadaan mikroalga bentik atau mikrofitobentos dan tingginya kandungan bahan organik sedimen pada musim tersebut, menggambarkan tersedianya sumber makanan bagi kelangsungan hidup organisme ini. Dengan kata lain, kelimpahan meiofauna interstisial yang tinggi disebabkan oleh tersedianya makanan yang cukup dan pertumbuhan meiofauna interstisial yang cepat berkaitan dengan melimpahnya diatom bentik. Variabilitas kelimpahan individu meiofauna interstisial pada bagian permukaan sedimen dapat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Dengan kata lain, ketersediaan bahan makanan ikut mempengaruhi komposisi dan ukuran komunitas meiofauna interstisial. Keberadaan meiofauna interstisial permanen dan meiofauna interstisial sementara di suatu habitat dapat dipengaruhi oleh kelimpahan diatom bentik yang merupakan sumber makanannya (Hentschel & Jumars 1994). Perubahan temporal kuantitas dan kualitas sumber makanan (bahan organik, mikrofitobentos/diatom dan bakteri) tidak hanya mempengaruhi dinamika dan komposisi trofik, tetapi juga mempengaruhi struktur dan fungsi meiofauna interstisial taksa Nematoda dalam habitatnya (Danovaro et al. 2000b; Danovaro & Gambi 2002). Umumnya kelimpahan individu meiofauna interstisial berhubungan dengan peningkatan nilai nutrisi dalam sedimen bersamaan dengan mikroalga mencapai
123
puncaknya. Peningkatan klorofil-a dan bakteri dapat meningkatkan nilai nutrisi bagi meiofauna interstisial dalam sedimen dan meningkatkan aktivitas grazing oleh meiofauna interstisial, sehingga menyebabkan melimpahnya meiofauna interstisial (Silence et al. 1993; Steyaert & Schrijvers 1993; Danovaro et al. 2000b; Gwyther 2003). Tutupan alga bentik yang tinggi juga dapat meningkatkan kelimpahan meiofauna interstisial taksa Nematoda (Wetzel et al. 2002). Oleh sebab itu, ketersediaan makanan pada sedimen dapat memainkan peranan penting dalam menentukan dinamika komunitas meiofauna interstisial. Pada musim Peralihan I (Timur-Barat) yang dimulai bulan Agustus sampai Oktober, fluktuasi kelimpahan meiofauna interstisial relatif stabil dan mengalami penurunan pada musim Barat. Pada musim Barat yang dimulai bulan November sampai Januari dijumpai kelimpahan meiofauna interstisial yang rendah. Kondisi lingkungan seperti curah hujan yang lebat di daratan sekitarnya dan tingginya tingkat kekeruhan air dapat mempengaruhi struktur komunitas organisme bentik, terutama mikroalga bentik yang merupakan makanan bagi meiofauna interstisial. Hal tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi meiofauna interstisial. Selain itu, rendahnya kelimpahan meiofauna pada musim ini barangkali juga dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi konsentrasi klorofil-a dan phaeopigmen yang cukup besar di sedimen (Hentschel & Jumars 1994; Sandulli & Pinckney 1999; Rossi et al. 2001). Fluktuasi meiofauna interstisial yang diikuti oleh perubahan konsentrasi klorofil-a mengindikasikan bahwa fauna ini memakan sebagian besar alga dan diatom dari sedimen Hal ini menunjukkan adanya aktivitas pemangsaan oleh meiofauna interstisial. Pada musim Peralihan II (Barat-Timur) kelimpahan meiofauna interstisial meningkat lagi. Hal ini disebabkan oleh cukupnya ketersediaan makanan bagi meiofauna interstisial, terutama mikroalga bentik dan bahan organik. Kondisi tersebut dapat meningkatkan populasi meiofauna interstisial dalam musim ini, meskipun masukan bahan organik dari luar atau dari daratan relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan musim Barat. Berfluktuasinya kelimpahan meiofauna interstisial secara temporal ini berkaitan dengan nilai nutrisi dalam sedimen. Perlu diketahui bahwa peningkatan nilai nutrisi dalam sedimen dapat berasal dari melimpahnya mikroalga bentik dan meningkatnya kadungan bahan organik
124
sedimen (Silence et al. 1993; Steyaert & Schrijvers 1993; Villano & Warwick 1995; Danovaro et al. 2000b; Rossi et al. 2001; Rossi 2003; Gwyther 2003). Tidak hanya kelimpahan individu meiofauna interstisial yang bervariasi menurut musim, tetapi juga komposisinya; taksa meiofauna interstisial yang berbeda akan berlimpah pada waktu yang berbeda sepanjang tahun. Hal ini berkorelasi dengan faktor fisika-kimia lingkungan, tetapi dapat juga disebabkan oleh migrasi meiofauna interstisial. Newton dan Rowe (1995) melaporkan bahwa kelimpahan meiofauna interstisial taksa Foraminifera secara cepat direspon oleh perubahan musim dan ketersediaan makanannya di dalam sedimen. Oleh sebab itu, ketersediaan makanan penting dalam mengatur dinamika musiman organisme pemakan deposit, termasuk meiofauna interstisial (Marsh & Tenore 1990; Bridges et al. 1994; Posey et al. 1995; Rossi et al. 2001). Terkait dengan perubahan temporal dalam komunitas meiofauna interstisial, maka Rudnick et al. (1985) diacu dalam Gwyther (2000) telah menghubungkan salah satu taksa meiofauna interstisial, misalnya Nematoda terhadap perubahan musiman suplai makanan. Mereka mendapatkan bahwa perubahan komunitas fauna ini dipengaruhi oleh perubahan musiman suplai makanannya. Danovaro dan Fraschetti (2002) mengatakan bahwa perubahan temporal dapat mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial, di mana kelimpahannya meningkat pada musim semi hingga musim panas dan kelimpahannya paling rendah di musim dingin. Danovaro et al. (2000b, 2002) melaporkan bahwa produksi meiofauna interstisial taksa Polychaeta, Nematoda dan Copepoda memang dipengaruhi oleh musim. Namun, perubahan temporal total meiofaunanya tidak bergantung pada temperatur, tetapi lebih ditentukan oleh perubahan kandungan dan ketersediaan bahan organik sedimen. Peningkatan suplai makanan seperti alga bentik dapat meningkatkan jumlah meiofauna interstisial dalam sedimen (Rossi 2003). Kandungan bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk akan tenggelam ke dasar perairan dan bercampur dengan lumpur. Bahan organik yang mengendap di sedimen merupakan sumber makanan bagi organisme bentik (termasuk meiofauna), sehingga jumlah dan laju penambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme bentik. Di samping itu, tumbuhan lamun dapat menghasilkan
125
sebagian besar karbon organik partikel (POC) ke dalam sedimen (Burdige 2003). Walaupun vegetasi ini tidak mampu memindahkan partikel, mereka mempengaruhi sedimen secara aktif atau dengan tidak langsung menstranspor larutan dan gas-gas (misalnya Oi) melalui akar ke dalam lapisan sedimen sehingga sedimen berada dalam kondisi aerob (Mines 1991; Burdige 2003). Di sini jelas bahwa padang lamun dinilai dapat menyediakan habitat dan sumberdaya makanan bagi meiofauna. Dengan kata lain, padang lamun dapat mendukung kehidupan meiofauna di dalam ekosistemnya. Selain ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove juga memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut. Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan meiofauna interstisial menurut fungsi fisik dan biologi. Namun demikian, dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan baik antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan meiofauna interstisial yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai habitat dan tempat mencari makan. Karena keberadaan ekosistem mangrove memegang peranan penting untuk kelangsungan proses ekologi dan hidrologi, maka keberadaan meiofauna interstisial pada perairan pantai di wilayah pesisir akan bergantung pada kondisi ekosistem mangrove yang merupakan sistem penyangga bagi kehidupan meiofauna interstisial tersebut. Hutan mangrove merupakan salah satu penyumbang bahan organik di perairan laut. Detritus mangrove pada stasiun Bl dan B2 membentuk partikelpartikel organik yang merupakan makanan bagi meiofauna interstisial. Fraksi sedimen lumpur di kedua stasiun ini mempunyai kemampuan yang besar dalam mengikat dan mengakumulasi bahan organik dalam perairan. Peningkatan kandungan bahan organik sedimen memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kelimpahan total meiofauna interstisial di habitat mangrove ini. Steyaert dan Schrijvers (1993) melaporkan bahwa material yang dikeluarkan oleh
126
epifauna akan mengendap ke sedimen dan dapat meningkatkan kelimpahan total meiofauna (sebagian besar Nematoda, Turbellaria dan Oligochaeta). Pada stasiun Bl dan B2, kelimpahan total meiofauna interstisial yang tinggi terjadi pada musim Peralihan I. Tingginya kelimpahan total meiofauna pada musim ini dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di kedua stasiun ini. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode musim Peralihan I populasi meiofauna interstisial meningkat diduga berkaitan dengan peningkatan produktivitas dari mikrofitobentos yang menjadi makanan meiofauna interstisial. Gwyther dan Fairweather (2002) melaporkan bahwa kepadatan alga epifit dan kelimpahan meiofauna di ekosistem mangrove meningkat dengan cepat pada waktu musim panas hingga musim semi, ketika suhu meningkat dan curah hujan menurun. Pada suhu rendah, laju pertumbuhan maksimum mikrofitobentos juga akan rendah, sebaliknya laju pertumbuhannya meningkat dengan meningkatnya suhu. Habitat yang mendukung keberadaan meiofauna interstisial di daerah mangrove memberikan karakteristik tersendiri bagi meiofauna interstisial di habitat tersebut. Perubahan temporal keragaman meiofauna interstisial taksa Nematoda di daerah mangrove dapat dijelaskan oleh mobilitasnya menurut musim di habitat sedimen (Jensen 1981, diacu dalam Gwyther 2000). Dalam penelitian ini, kelimpahan taksa meiofauna interstisial di stasiun Bl dan B2 cenderung berfluktuasi menurut musim yang dapat dilihat dalam waktu satu tahun dari penelitian ini. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam komunitas meiofauna interstisial barangkali terjadi perubahan musiman komposisi jenis makanan. Meiofauna interstisial yang mempunyai kebiasaan hidup menetap atau hidup di sedimen berpasir ternyata hanya diwakili oleh sedikit genus. Hal ini disebabkan oleh sifat sedimen yang dinamis membuat fauna ini sukar mempertahankan keberadaannya jika fauna ini harus hidup terpaku secara permanen pada suatu tempat. Pada habitat yang demikian, komposisi sedimen sebagian besar dikontrol oleh proses hidrodinamika di atas sedimen. Dasar perairan yang didominasi oleh pasir kasar memiliki energi lingkungan yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisika. Gangguan ini dapat mempengaruhi stabilitas habitat sehingga akan berpengaruh terhadap rekolonisasi dan distribusi meiofauna interstisial (Snelgrove & Butman 1994; Thrush et al. 1996; Guerrini et al. 1998;
127
Ingole et al. 2000) serta keragaman organisme yang ada di dalamnya (Dernie et al. 2003a, 2003b). Faktor gangguan yang umum adalah pergerakan massa air (arus) yang banyak mengacaukan atau mengangkat lapisan permukaan sedimen. Gangguan lain dapat berupa pengendapan sedimen (deposisi sedimen) yang cepat di dasar yang dapat berpengaruh tidak langsung terhadap keberadaan meiofauna interstisial di dalam sedimen (Giangrande 1997; Mistri et al. 2002; Dernie et al. 2003a, 2003b; Nybakken & Bertness 2005; Skilleter et al. 2006). Jika terjadi gangguan seperti ini, maka dapat mengakibatkan kematian meiofauna interstisial yang menghuninya. Akibatnya terbentuk suatu daerah terbuka yang dapat dihuni kembali oleh meiofauna interstisial. Karena adanya meiofauna interstisial yang tahan terhadap gangguan, maka organisme ini umumnya terdapat sepanjang waktu di perairan, mereka cepat menempati daerah terbuka ini. Jika gangguan sering terjadi, maka meiofauna interstisial tersebut dapat cepat dewasa dan bereproduksi lagi sebelum datang gangguan berikut yang mematikannya. Pada dasar perairan yang banyak mengalami gangguan (misalnya, stasiun A3, Bl dan stasiun C), komunitas meiofauna interstisial umumnya lebih dikarakteristikkan oleh kondisi habitat yang stres dan lingkungan yang tidak stabil, biasanya menunjukkan fluktuasi jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang besar sepanjang tahun. Sebaliknya, di daerah yang tidak sering terjadi gangguan (misalnya, stasiun Al, A2, dan B2), komunitas meiofauna interstisial umumnya lebih dikarakteristikkan oleh kondisi habitat yang lebih stabil. Di lingkungan habitat yang lebih stabil, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial lebih konstan atau stabil sepanjang tahun. Meiofauna interstisial yang hidup di habitat yang tidak banyak mengalami gangguan, mereka dapat melengkapi siklus hidupnya. Jika terlalu banyak terjadinya gangguan, maka dapat memusnahkannya sebelum mereka dapat mencapai dewasa, sehingga tidak ada larva meiofauna interstisial yang dapat menetap di daerah itu lagi. Terkait dengan adanya gangguan fisika, maka Ingole et al. (2000) telah melakukan percobaan tentang rekolonisasi meiofauna interstisial taksa Copepoda dan Nematoda di habitat yang mengalami gangguan fisika. Hasil percobaannya
128
menggambarkan bahwa rekolonisasi Copepoda lebih lama dan lebih sensitif terhadap gangguan fisika dibandingkan dengan Nematoda. Copepoda merupakan taksa meiofauna yang lambat berkoloni kembali (Guerrini et al. 1998; Wetzel et al. 2002; Nybakken & Bertness 2005). Kesuksesan rekolonisasi larva meiofauna interstisial dapat dipengaruhi oleh kehadiran meiofauna interstisial lain yang dewasa (Thrush et al. 1996), sifat-sifat hidrodinamika pada suatu area (Snelgrove & Butman 1994), kimia sedimen (Pawlik 1992), atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Kesuksesan rekolonisasi ini juga bergantung pada kondisi lingkungan yang mendukung, seperti stabilitas sedimen. Aktivitas pemangsaan juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya populasi meiofauna interstisial dari suatu daerah yang sempit dan dapat menyebabkan gangguan bagi fauna ini. Renaud et al. (1999) mengemukakan bahwa kebiasaan makro-infauna menggali sedimen akan menghancurkan daerah yang cukup luas dan mengakibatkan terjadinya kolonisasi kembali (rekolonisasi). Jadi, genus meiofauna interstisial yang mendapat tekanan dari kompetitornya, maka genus tersebut akan cenderung memperluas habitatnya. Dengan kata lain, meiofauna interstisial ini dapat melakukan distribusi secara horizontal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa di setiap stasiun dijumpai adanya genus spesifik (site specific genus) meiofauna interstisial (lihat Lampiran 24). Genus spesifik tersebut merupakan genus meiofauna interstisial yang hanya terdapat di stasiun tertentu saja yang tidak ditemukan di stasiun lain, mempunyai jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan genus yang lainnya. Di stasiun Al terdapat 12 genus, sementara di stasiun A2, A3, Bl, B2 dan C masingmasing sebanyak 3 genus (Tabel 8). Genus spesifik ini juga dijumpai pada setiap musim, yang berarti bahwa genus-genus tersebut terdapat sepanjang tahun di suatu tipe habitat di lokasi penelitian (Tabel 9). Keberadaan genus spesifik di berbagai tipe habitat memiliki peranan ekologis yang sangat penting, seperti biodegradasi/biomineralisasi bahan organik di sedimen. Di samping itu, keberadaannya juga penting dalam menstimulasi pertumbuhan bakteri, yang kemudian meningkatkan remineralisasi (misalnya perubahan N, P dan C organik menjadi bentuk inorganik). Ada empat strategi atau cara meiofauna menstimulasi pertumbuhan: 1) meiofauna menguraikan partikel
130
Tabel 9. Genus spesifik (site specific genus)meiofauna interstisial yang ditemukan di tipe habitat yang berbeda pada setiap musim. Musim Tipe Habitat
Taksa
Padang Lamun
Nematoda
Foraminifera Turbellaria Ciliata
Enoplus Oncholaimus Theristus Axonolaimus Echinotheristus Linhomoeus Enhydrosoma Laophonte Apodopsyttus Paramesochra Canuella Exogone Streptosyllis Heteromastus Novaquesta Leptohalysis Proseriata Condylostoma
Nematoda
Rhabditis
Copepoda
Chromadora Steineria Peltidium Tachidius Manayunkia
Copepoda
Polychaeta
Mangrove
Polychaeta Bare Area
Genus Spesifik
Copepoda Polychaeta
Halicyclops Poronychocamptus Ophryotrocha
Timur
Peralihan I
Barat
Peralihan II
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
Proses remineralisasi melalui genus spesifik meiofauna interstisial menghasilkan siklus nutrien yang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan kijing/remis besar (clam). Material atau nutrien yang dihasilkan melalui genus spesifik meiofauna interstisial tersebut dikembalikan dengan cepat ke dalam sistem. Kemudian, nutrien tersebut dimanfaatkan oleh bakteri untuk pertumbuhannya, dan dapat diubah ke dalam bentuk karbon organik terlarut (DOC) untuk digunakan oleh tingkat trofik yang lebih tinggi dan/atau diremineralisasi untuk produsen primer. Proses remineralisasi penting dalam semua tipe habitat, tetapi kemungkinan besar proses ini lebih aktif dalam sedimen lumpur dengan jumlah bahan organik yang tinggi dibandingkan dengan sedimen pasir (Coull 1999). Jadi, pemanfaatan mikroalga, mikroba dan detritus oleh meiofauna memfasilitasi transfer energi dan nutrien ke tingkat trofik yang lebih tinggi dalam jaring-jaring makanan bentik (Tietjen & Alongi 1990; Street et al. 1998; Kovac et al. 2001; Leguerrier et al. 2003; Danovaro 2006).
131 Selain itu, keberadaanya pada setiap musim dapat berfungsi sebagai penyedia makanan bagi berbagai tingkat trofik yang lebih tinggi. Dengan kata lain, genus spesifik tersebut berfungsi sebagai mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus mated dalam ekosistem laut. Peranan lainnya adalah dapat menyuburkan dasar perairan yang dihasilkan dari kotorannya dan dapat meningkatkan produktivitas bentik. Karena siklus hidupnya yang pendek, genus spesifik tersebut dapat menghasilkan generasi sepanjang tahun yang tahan terhadap kemungkinan adanya toksikan bila dibandingkan dengan genus lainnya. Oleh sebab itu, eksistensinya di berbagai tipe habitat menjadi sangat penting karena genus spesifik tersebut dengan cepat memproses bahan organik menjadi inorganik, sehingga proses dan keseimbangan ekologi dapat berjalan dengan baik, serta keberadaannya penting sebagai bioindikator dalam menilai kondisi lingkungan bentik. Namun demikian, peranannya yang lebih spesifik (specific role) di berbagai tipe habitat belum diketahui dengan jelas.
Variabilitas Spasial dan Temporal Indeks Keanekaragaman Meiofauna Interstisial secara Horizontal Komposisi dan ukuran meiofauna sesungguhnya menyangkut sejauh mana keanekaragaman yang ada di dalam komunitas dan seberapa besar ukuran populasi pada masing-masing genus pembentuk komunitas meiofauna interstisial tersebut. Keanekaragaman dapat dilihat dari kekayaan genus dalam komunitas, sedangkan ukuran populasi dapat diketahui dari jumlah individu di dalam genus meiofauna interstisial. Salah satu petunjuk yang dapat dipakai untuk menilai kekayaan individu di dalam populasi yaitu dengan melihat kelimpahannya di dalam suatu ruang (Danovaro & Gambi 2002). Keanekaragaman meiofauna interstisial adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas meiofauna interstisial berdasarkan pada organisasi biologisnya. Keanekaragaman meiofauna interstisial dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas meiofauna interstisial tersebut (De Troch et al. 200 Ib). Komunitas meiofauna interstisial dikatakan mempunyai keanekaragaman tinggi jika komunitas meiofauna interstisial itu disusun oleh banyak genus dengan kelimpahan yang sama atau hampir sama. Sebaliknya, komunitas meiofauna
132
interstisial dikatakan mempunyai keanekaragaman rendah jika komunitas meiofauna interstisial itu disusun oleh sangat sedikit genus meiofauna interstisial dan hanya sedikit saja genusnya yang dominan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa meiofauna interstisial di stasiun Al memiliki nilai IT tertinggi pada setiap musim, masing-masing adalah /TAI Timur=4.6165, H*M Peraiihan j=4.4463, ITM Bara<=4.0708 dan ITM Pemuhan /j=4.2750 (Tabel 5). Hal ini terlihat bahwa di stasiun Al jumlah genus meiofauna interstisial lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya dan memiliki jumlah individu yang tidak terlalu jauh berbeda pada setiap musim. Ini mengindikasikan bahwa komunitas meiofauna interstisial di stasiun Al mempunyai keanekaragaman yang tinggi dan mempunyai pola kecenderungan yang relatif stabil (Gambar 26c). Sebaliknya, keanekaragaman yang rendah dijumpai di stasiun A3 dan Bl pada musim Barat, masing-masing adalah /TA3=2.8922 dan /TBi=2.8495. Hal ini tampaknya berkaitan dengan jumlah genus meiofauna interstisial, di mana di kedua stasiun ini jumlah genusnya paling kecil dibandingkan dengan stasiun lainnya. Ini menunjukkan bahwa komunitas meiofauna interstisial di stasiun A3 dan Bl mempunyai keanekaragaman rendah. Dalam kajian ekologi meiofauna interstisial, konsep keanekaragaman meiofauna interstisial atau beragamnya genus dari taksa meiofauna interstisial dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan komunitas meiofauna interstisial untuk menjaga dirinya tetap stabil walaupun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Suatu komunitas dikatakan stabil, apabila: 1) terdapatnya genus yang berbeda dalam kerentanannya terhadap gangguan; dan 2) genus mampu bersaing dan mengimbanginya melalui pelepasan yang kompetitif jika kelimpahan genus yang tahan terhadap gangguan menurun (Tilman 1996). Pengkayaan bahan organik di sedimen juga dapat mengganggu struktur komunitas meiofauna interstisial. Perubahan struktur komunitas meiofauna interstisial ditandai dengan adanya perubahan nilai /T-nya. Penurunan nilai IT dapat terjadi bila perairan menerima masukan bahan organik dan anorganik yang cukup tinggi. Dengan demikian, nilai IT meiofauna interstisial dapat digunakan untuk mengetahui tingkat gangguan suatu perairan.
133 Indeks Keanekaragaman Meiofauna Interstisial di Habitat Bervegetasi Lamun Habitat bervegetasi lamun di dalam penelitian ini terdapat di stasiun Al (vegetasi lamun lebat), stasiun A2 (vegetasi lamun kurang lebat), dan stasiun A3 (begetasi lamun sangat jarang). Kalau dilihat dari nilai IT meiofauna interstisialnya (Tabel 5), maka nilai IT meiofauna interstisial di ketiga stasiun itu pada setiap musim secara berturut-turut adalah: a) pada musim Timur /TAi=4.6165, /TA2=4.0862, dan #^=3.5332; b) pada musim Peralihan I /TAi=4.4463, /TA2=3.6194, dan #^=3.3237; c) pada musim Barat /TAi=4.0708, /TA2=3.5308, dan /TA3=2.8922; dan d) pada musim Peralihan II /TAi=4.2750, ^^=3.8119, dan /TA3=3.0237. Dari nilai ini tampak bahwa nilai H1 meiofauna interstisial tertinggi terdapat di stasiun Al pada musim Timur (/TAi=4.6165) yang mempunyai pola yang relatif stabil (Gambar 26c), sedangkan nilai IT meiofauna interstisial terendah dijumpai di stasiun A3 pada musim Barat (/TA3=2.8922). Sehubungan dengan tingginya nilai IT meiofauna interstisial di stasiun Al pada musim Timur, maka faktor-faktor yang diperkirakan dapat mendukung adalah: 1) tingginya jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Al dibandingkan dengan dua stasiun lainnya; 2) tingginya nilai kemerataan genus (£) di stasiun Al dibandingkan dengan dua stasiun lainnya; 3) relatif lebih tingginya kandungan bahan organik sedimen di stasiun Al dibandingkan dengan dua stasiun lainnya; dan 4) relatif lebih stabilnya sedimen di stasiun Al dibandingkan dengan dua stasiun lainnya. Terkait dengan jumlah genus meiofauna interstisial, maka jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Al pada musim Timur lebih tinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya (A2 dan A3). Untuk diketahui bahwa stasiun Al memiliki jumlah genus sebanyak 130 genus, sedangkan stasiun A2 memiliki 75 genus dan stasiun A3 mempunyai 49 genus. Nilai H1 meiofauna interstisial ini sangat ditentukan oleh jumlah genusnya. Semakin tinggi jumlah genus meiofauna interstisial maka akan semakin tinggi pula nilai /T-nya. Sebaliknya, semakin rendah jumlah genusnya maka akan semakin rendah pula nilai /T-nya. Oleh sebab itu, kehadiran meiofauna interstisial yang melimpah disertai dengan beragamnya genus dari taksa meiofauna interstisial di stasiun Al mencerminkan kelayakan
134
habitat tersebut bagi kehidupan meiofauna interstisial ini dan secara ekologi sangat mendukung perkembangan dan tingkah laku dari fauna tersebut. Berkenaan dengan tingginya nilai indeks kemerataan (E), maka nilai kemerataan genus meiofauna interstisial di stasiun Al (^1=0.9484) lebih tinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya, yaitu stasiun A2 (£1A2=0.9464) dan stasiun A3 (£A3=0.9078) (label 5 dan Gambar 26d). Tingginya nilai indeks kemerataan (E) di stasiun Al mencerminan bahwa kondisi habitat di stasiun Al dengan berbagai faktor fisik, kimia dan sumberdayanya memberikan kesempatan yang hampir sama terhadap kehadiran setiap genus meiofauna interstisial untuk tumbuh, berkembang dan berperan di dalam ekosistem padang lamun. Dengan demikian, kehadiran setiap genus meiofauna interstisial memberikan kontribusi struktural dan fungsional yang hampir sama bagi keberadaan, struktur dan fungsi komunitas meiofauna interstisial di dalam ekosistem padang lamun. Dalam kaitannya dengan kandungan bahan organik, maka sedimen di stasiun Al ini cenderung mengakumulasi bahan organik, yang berarti cukup tersedia banyak makanan yang potensial untuk meiofauna interstisial. Selain itu, bahan organik juga dapat akibat ikutan yang dapat menguntungkan bagi meiofauna interstisial, yaitu tumbuhnya mikroalga bentik (diatom) dan jamur yang dapat digunakan sebagai makanan bagi meiofauna interstisial. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai rata-rata kandungan bahan organik (TOC dan TOM) di stasiun Al lebih tinggi bila dibandingkan dengan dua stasiun lainnya (stasiun A2 dan A3) pada setiap musim (lihat Lampiran 7). Dalam hubungannya dengan kestabilan sedimen, maka sedimen di stasiun Al relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan dua stasiun lainnya (stasiun A2 dan A3). Relatif lebih stabilnya sedimen di stasiun Al disebabkan oleh adanya vegetasi lamun yang sangat rapat dan memiliki daun yang lebat sehingga dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, serta menyebabkan perairan di stasiun ini menjadi tenang. Di samping itu, lebatnya vegetasi lamun juga dapat bertindak sebagai perangkap sedimen dan menjadi stabilisator dasar perairan serta melindungi pantai dari abrasi. Selain itu, akar-akar lamun yang cukup rapat dapat melindungi sedimen, menjaga kestabilan lapisan sedimen dan mempertahankan kondisi fisik habitat dari pengaruh arus yang kuat.
135
Lebih stabilnya sedimen di stasiun Al ini dapat mendukung kehadiran dan keberadaan genus meiofauna interstisial dan lebih menjamin kelangsungan hidupnya. Dengan adanya kondisi lingkungan habitat yang mendukung tersebut, maka kondisi ini dapat meningkatkan nilai IT meiofauna interstisial di stasiun ini. Dengan demikian, dapat dipahami bilamana nilai IT meiofauna interstisial di stasiun Al lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Nilai IT meiofauna interstisial yang paling rendah terdapat di stasiun A3 pada musim Barat. Jika dilihat keberadaan meiofauna interstisialnya, maka stasiun A3 ini memiliki nilai H1 sebesar 2.8922 dengan jumlah genus sebanyak 23 genus dan kelimpahan sebesar 68 individu. Ini berarti, jika dibandingkan dengan stasiunstasiun lainnya (stasiun Al dan A2), maka nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun A3 ini tergolong rendah. Demikian pula halnya dengan jumlah genus dan kelimpahan individu yang juga rendah. Rendahnya nilai IT meiofauna interstisial di stasiun A3 pada musim Barat mengindikasikan adanya faktor-faktor ekologis yang sifatnya menekan keberadaan meiofauna interstisial di stasiun ini. Dari berbagai kemungkinan, maka beberapa faktor ekologis yang diperkirakan paling mungkin menekan keberadaan meiofauna interstisial di stasiun ini adalah: 1) rendahnya nilai potensial redoks sedimen; 2) rendahnya kandungan oksigen pada sedimen; 3) kemungkinan adanya pengaruh senyawa tannin yang berasal dari mangrove di sekitarnya; dan 4) kurang stabilnya sedimen. Dalam hubungannya dengan nilai potensial redoks sedimen, maka nilai ratarata potensial redoks sedimen di stasiun A3 (Eh A3 sara^359 mV) (lihat Lampiran 7) merupakan nilai rata-rata yang paling rendah di antara stasiun yang ada. Rendahnya nilai rata-rata potensial redoks sedimen di stasiun A3 mencerminkan bahwa sedimen di stasiun ini berada dalam kondisi tereduksi. Perlu diingat bahwa tereduksinya sedimen merupakan tanda bahwa sedimen itu cenderung berada dalam kondisi anaerob, hal ini menyebabkan miskinnya kandungan oksigen di sedimen. Kondisi yang demikian umumnya tidak disukai oleh kebanyakan meiofauna interstisial. Seperti yang telah diketahui bahwa kandungan oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehadiran atau keberadaan
136
genus meiofauna interstisial di habitat interstisial sedimen (Berninger & Epstein 1995; Moodley et al. 1997; Rodriguez et al. 2001). Dalam kaitannya dengan kandungan oksigen, maka hal ini berkaitan dengan ukuran partikel sedimen. Ukuran partikel sedimen di stasiun A3 ini tergolong sangat halus. Ukuran partikel sedimen yang sangat halus disertai dengan sudut dasar sedimen yang amat datar menyebabkan air di dalam sedimen tidak mengalir ke luar dan tertahan di dalam substrat. Lamanya waktu penyimpanan air yang disertai dengan amat jarangnya pergantian air interstisial dengan air laut di atasnya dan populasi bakteri internal yang cukup tinggi, biasanya menghasilkan kandungan oksigen yang rendah di dalam sedimen di bawah lapisan permukaan sedimen. Nybakken dan Bertness (2005) menyatakan bahwa kondisi miskin oksigen tersebar merata di dalam sedimen dan merupakan salah satu ciri atau sifat yang penting dari habitat berlumpur. Masih terkait dengan kandungan oksigen, maka miskinnya kandungan oksigen di stasiun A3 juga dapat disebabkan oleh adanya pengkayaan bahan organik dan proses biodeposisi ikan. Pengkayaan bahan organik terjadi pada stasiun A3 terutama pada musim Timur, di mana stasiun ini berdekatan dengan lokasi keramba apung. Tingginya kandungan bahan organik ini dapat berasal dari sumbangan sisa-sisa pakan dan kotoran (feces) ikan yang dibudidaya dalam keramba apung. Meskipun meiofauna interstisial berada di ekosistem padang lamun, namun meiofauna interstisial di lokasi ini mempunyai jumlah genus dan kelimpahan individu yang rendah. Hasil penelitian Susetiono (1996) di perairan Teluk Ambon menunjukkan adanya hubungan keberadaan meiofauna terhadap pengkayaan bahan organik dalam sedimen. Terkait dengan pengkayaan bahan organik, Copepoda bentik lebih sensitif terhadap pengkayaan bahan organik yang berasal dari pengendapan kotoran (biodeposisi) ikan di dekat lokasi keramba ikan (Mazzola et al. 1999; Mirto et al. 2000; Rosa et al. 2001; Vezzuli et al. 2003). Alasan utama dari fenomena ini disebabkan oleh pengaruh kandungan bahan organik yang tinggi yang menimbulkan rendahnya kandungan oksigen dalam sedimen, sehingga berpengaruh terhadap keberadaan genus meiofauna interstisial di sedimen tersebut. Namun demikian, kandungan bahan organik yang lebih tinggi dalam
137
sedimen lumpur ternyata dapat mendukung sejumlah besar genus meiofauna interstisial yang bersifat oportunis, misalnya Nematoda, yang dapat mentoleransi kondisi oksigen yang rendah (Schratzberger & Warwick 1998a; Rosa et al. 2001; Mirto et al. 2002b; Dernie et al. 2003a, 2003b; Vezzuli et al. 2003). Dengan demikian, dengan adanya pengkayaan bahan organik dan proses biodeposisi ikan yang dapat menurunkan kandungan oksigen sedimen di stasiun A3, maka kondisi ini kurang dapat mendukung kehadiran dan keberadaan genus meiofauna interstisial lainnya. sehingga berpengaruh terhadap nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun ini. Oleh sebab itu, dapat dipahami bilamana nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun A3 tergolong rendah jika dibandingkan dengan stasiun lainnya. Sehubungan dengan adanya pengaruh senyawa tannin, maka dugaan adanya senyawa tannin di stasiun A3 ini adalah karena stasiun tersebut letaknya berdekatan dengan stasiun Bl yang bervegetasi mangrove Rhizophora sp. Perlu diketahui bahwa keberadaan senyawa tannin yang tinggi di stasiun Bl (baik yang ada di dalam air maupun pada serasah mangrove) dapat disebarkan oleh arus ke perairan sekitarnya, sehingga dapat terperangkap di stasiun A3. Pelepasan senyawa tannin dari serasah mangrove ini dapat mengendap ke dasar perairan dan akan diikat oleh partikel-partikel sedimen di stasiun A3. Alongi (1987) diacu dalam Gee dan Somerfield (1997) mengemukakan bahwa senyawa tannin yang terakumulasi di dasar perairan akan diikat oleh partikel-partikel sedimen. Hal ini akan mempengaruhi kualitas sedimen, yang pada gilirannya akan mempengaruhi dan menekan keberadaan genus meiofauna interstisial di stasiun ini. Senyawa tannin yang ada dalam sedimen dapat berpengaruh negatif terhadap keberadaan meiofauna di suatu habitat (Tietjen & Alongi 1990; Alongi & Christoffersen 1992; Gee & Somerfield 1997; Coull 1999; Gwyther 2000). Kondisi ini dapat membawa konsekuensi pada rendahnya nilai H1 meiofauna di stasiun A3. Dengan demikian, dapat dipahami bilamana nilai IT meiofauna interstisial di stasiun A3 tergolong paling rendah jika dibandingkan dengan stasiun-stasiun lainnya. Dalam kaitannya dengan kurang stabilnya sedimen, maka sedimen di stasiun A3 kurang stabil bila dibandingkan dengan stasiun Al dan A2. Kurang stabilnya sedimen di stasiun A3 diduga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 1) adanya
138
pengadukan sedimen oleh arus; 2) adanya proses bioturbasi oleh makrofauna yang dapat mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makan; dan 3) adanya proses biodeposisi ikan yang dibudidaya dalam keramba. Sebagaimana diketahui bahwa stasiun A3 merupakan lokasi yang bervegetasi lamun sangat jarang. Kondisi vegetasi lamun yang sangat jarang ini kurang dapat meredam arus sehingga di stasiun ini kestabilan lapisan sedimen dan kondisi fisik habitat kurang dapat dipertahankan dari pengaruh arus yang kuat. Adanya pergolakan air yang disebabkan oleh arus menyebabkan lapisan sedimen teraduk-aduk (Currie & Parry 1996). Sebagai konsekuensinya adalah sedimen menjadi tidak stabil, sehingga kondisi yang demikian kurang dapat mendukung keberadaan genus meiofauna interstisial dan kurang dapat menjamin kelangsungan hidupnya di stasiun tersebut. Terkait dengan adanya proses bioturbasi, maka proses bioturbasi yang dilakukan oleh makrofauna dapat mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makan. Meningkatnya bioturbasi oleh makrofauna bentik dapat mengubah karakteristik sedimen dan dapat meningkatkan erodibilitas (pengikisan) sedimen (Widdows et al. 1998, diacu dalam De Deckere et al. 2001), sehingga kondisi sedimen menjadi tidak stabil. Tidak stabilnya sedimen dapat berpengaruh terhadap keberadaan genus meiofauna interstisial. Meskipun hal ini cukup jelas bahwa gangguan biologi (bioturbasi) barangkali penting dalam struktur komunitas meiofauna interstisial, namun hal ini tetap sulit untuk membuat prediksi umum mengenai bagaimana caranya komunitas substrat lunak (komunitas meiofauna interstisial) akan memberi reaksi terhadap gangguan biotik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, diduga bahwa makrofauna (misalnya kepiting penggali) dapat memainkan peranan penting dalam menentukan struktur komunitas meiofauna interstisial di berbagai habitat perairan Selat Dompak. Bagaimanapun, gangguan kepiting diduga mempengaruhi sebagian besar populasi permukaan, khususnya substrat berlumpur. Berkenaan dengan proses biodeposisi ikan yang dibudidaya dalam keramba dekat stasiun A3, maka sisa-sisa pakan dan kotoran (feces) ikan yang dibudidaya dalam keramba apung dapat disebarkan oleh arus ke stasiun A3. Pada kondisi sedimen yang banyak menerima masukan (input) bahan organik dapat
139
menyebabkan berkurangnya stabilitas sedimen. Hal ini disebabkan oleh pertemuan antara bahan organik yang cukup tinggi dengan lumpur dapat merusak matriks sedimen sehingga stabilitas sedimen berkurang. Berkurangnya stabilitas sedimen dapat berpengaruh terhadap keberadaan genus meiofauna interstisial di sedimen tersebut. Meiofauna interstisial merupakan organisme yang sangat sensitif terhadap sumber kontaminasi bahan organik yang berbeda, termasuk biodeposisi ikan yang dibudidaya dalam keramba (Mirto et al. 2002a, 2002b; Vezzuli et al. 2003; Danovaro 2006) dan kotoran yang dihasilkan oleh kepiting akan terakumulasi pada permukaan sedimen (Olafsson & Ndaro 1997; De Deckere et al. 2001; Rosa & Bemvenuti 2005). Biodeposisi sedimen yang berlangsung terus menerus ini mempengaruhi karakteristik sedimen dan mempengaruhi keberadaan (eksistensi) organisme bentik (termasuk meiofauna interstisial) dalam suatu habitat (Iribarne et al. 1997; Botto & Iribarne 1999). Ketidakstabilan sedimen di stasiun A3 kurang dapat mendukung keberadaan genus meiofauna interstisial dan kurang dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Jadi, dapat dipahami bahwa eksistensi genus meiofauna interstisial di stasiun A3 ini berpengaruh terhadap nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun tersebut. Indeks Keanekaragaman Meiofauna Interstisial di Habitat Bervegetasi Mangrove Dalam penelitian ini, habitat mangrove terdapat di stasiun Bl (bervegetasi Rhizophora sp.) dan stasiun B2 (bervegetasi Sonneratia sp.). Masing-masing stasiun memiliki nilai IT yaitu pada musim Timur /TBi=3.4007 dan /TB2=4.2003, musim Peralihan I /TBi=3.4712 dan /TB2=4.1467, musim Barat /TBi=2.8495 dan /f B2=3.7372,
Peralihan II /TBi=3.0044 dan /TB2=3.9946 (Tabel 5). Di sini terlihat
bahwa nilai IT meiofauna interstisial di stasiun Bl lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun B2. Rendahnya nilai H1 di stasiun Bl diduga berkaitan dengan keberadaan senyawa tannin dalam perairan di habitat mangrove ini. Lemmens dan Soetjipto (1992) melaporkan bahwa mangrove Rhizophora mucronata memiliki kadar senyawa tannin berkisar antara 8-40%, sedangkan mangrove Sonneratia caseolaris hanya berkisar antara 9-15%. Dari kisaran nilai ini terlihat bahwa kadar senyawa tannin pada mangrove Rhizophora mucronata jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan mangrove Sonneratia
140
caseolaris. Hal ini diduga sebagai penyebab lebih rendahnya nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun Bl dibandingkan dengan stasiun B2. Lebih jauh dapat dikaji bahwa keberadaan meiofauna interstisial di habitat mangrove dapat dipengaruhi oleh keberadaan senyawa tannin. Stumm dan Morgan (1989), diacu dalam Manik et al. (1997) mengatakan bahwa terbentuknya senyawa tannin ini merupakan hasil dari penguraian yang intensif terhadap serasah kulit kayu, akar dan serasah daun mangrove. Baik senyawa tannin maupun senyawa humik cenderung membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang terdapat di dalam perairan, sehingga dapat menyebabkan warna yang spesifik. Keberadaan senyawa tannin yang bergabung dengan ion logam dapat mempengaruhi kualitas perairan. Ohsawa dan Yamamoto (1994), diacu dalam Manik et al. (1997) menyatakan bahwa tingginya kandungan senyawa tannin dalam perairan akan berpengaruh pula terhadap rendahnya produksi organisme, berkurangnya kecepatan penguraian humus daun mangrove dan terhambatnya pembebasan nitrogen ke dalam sedimen. Selain itu, pelepasan senyawa tannin dari serasah mangrove dapat mengendap ke dasar perairan dan akan diikat oleh partikel-partikel sedimen sehingga dapat mempengaruhi kualitas sedimen tersebut. Kondisi yang demikian akan mempengaruhi keragaman meiofauna interstisial di dalamnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya kadar senyawa tannin yang ada dalam sedimen dapat berpengaruh negatif terhadap keberadaan meiofauna interstisial di habitat ini. Walaupun senyawa tannin tampaknya berpengaruh negatif terhadap meiofauna interstisial di stasiun Bl dan B2, namun jika dibandingkan dengan nilai H1 di stasiun lain yang tidak ada mangrove-nya, maka nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun Bl dan B2 tampaknya tidak terlalu jauh berbeda dengan stasiun lainnya, seperti stasiun A2, A3 dan C yang tidak ada mangrove-nya. Bahkan stasiun A2, A3 dan C yang tidak ada mangrove-nya memiliki nilai H1 meiofauna interstisial yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun Bl dan B2. Di sini terlihat bahwa nilai IT meiofauna interstisial di stasiun Bl dan B2 mampu mengimbangi nilai IT meiofauna interstisial di stasiun-stasiun lainnya. Nilai IT meiofauna interstisial di stasiun Bl lebih tinggi daripada stasiun A3 khususnya pada musim Peralihan I. Sementara itu, nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun
141
B2 lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun A2 dan A3 pada setiap musim dan lebih tinggi daripada stasiun C terutama pada musim Barat dan Peralihan II. Hal ini kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun Bl dan B2. Faktor-faktor yang diduga kuat ikut memberikan kontribusi dalam meningkatkan nilai IT meiofauna interstisial di stasiun Bl dan B2 adalah: 1) relatif lebih tingginya jumlah genus di stasiun B2 bila dibandingkan dengan stasiun A2 dan A3; 2) relatif lebih tingginya rata-rata kandungan bahan organik sedimen terutama di stasiun B2 dibandingkan dengan stasiun A2, A3 dan C; 3) relatif lebih stabilnya sedimen di stasiun Bl dan B2 bila dibandingkan dengan stasiun A2, A3 dan C; dan 4) relatif lebih stabilnya suhu sedimen dan teduhnya habitat di stasiun Bl dan B2 bila dibandingkan dengan stasiun A2, A3 dan C. Terkait dengan jumlah genus, maka stasiun B2 memiliki jumlah genus yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun A2 dan A3 pada setiap musim (Tabel 5). Nilai IT meiofauna interstisial di habitat tersebut sangat ditentukan oleh jumlah genusnya. Semakin tinggi jumlah genus meiofauna interstisial, maka semakin tinggi pula nilai /T-nya dan sebaliknya. Dalam hubungannya dengan kandungan bahan organik sedimen, maka vegetasi mangrove merupakan sumber bahan organik yang cukup tinggi. Serasah mangrove dapat memberikan keuntungan untuk pertumbuhan dan kestabilan populasi meiofauna interstisial (Gee & Somerfield 1997). Kandungan bahan organik sedimen di daerah mangrove ini merupakan bahan makanan bagi meiofauna interstisial. Selain itu, relatif tingginya kandungan bahan organik ini sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jamur dan bakteri, di mana mikroorganisme ini juga merupakan bahan makanan bagi meiofauna interstisial. Keberadaan bakteri tersebut berperan dalam proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik menjadi nutrien untuk pertumbuhan diatom, di mana mikroalga bentik ini dapat dijadikan sebagai makanan bagi meiofauna interstisial. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai rata-rata kandungan bahan organik (TOC dan TOM) di stasiun B2 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun A2, A3 dan C pada setiap musimnya (lihat Lampiran 7).
142
Berkaitan dengan kestabilan sedimen, maka kestabilan sedimen di stasiun Bl dan B2 dapat mendukung keberadaan meiofauna interstisial yang tinggal di dalamnya dan lebih menjamin kelangsungan hidup meiofauna interstisial tersebut. Stabilnya sedimen di kedua stasiun ini disebabkan oleh adanya akar-akar mangrove yang cukup rapat yang dapat melindungi sedimen, menjaga kestabilan lapisan sedimen dan mempertahankan kondisi fisik habitat dari pengaruh arus dan gelombang. Selain itu, bentuk akar mangrove yang khas juga berfungsi sebagai alat peredam ombak dan gelombang, sebagai perangkap sedimen, sebagai penahan lumpur, sebagai habitat dan tempat berlindung bagi biota-biota laut (Hutchings & Saenger 1987; Kusmana 2003; Moberg & Ronnback 2003). Dalam kaitannya dengan relatif lebih stabilnya suhu sedimen dan teduhnya habitat di stasiun Bl dan B2, maka kondisi yang demikian juga dapat menyokong keberadaan meiofauna interstisial dan lebih menjamin kelangsungan hidup meiofauna interstisial yang mendiami habitat tersebut. Stabilnya suhu sedimen dan teduhnya habitat di kedua stasiun ini disebabkan oleh adanya naungan kanopi vegetasi mangrove yang dapat melindungi sedimen dan habitat dari penyinaran langsung matahari. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan vegetasi mangrove di suatu habitat dapat mempengaruhi jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di habitat tersebut.
Indeks Keanekaragaman Meiofauna Interstisial di Habitat yang Tidak Bervegetasi (Bare Area) Habitat yang tidak bervegetasi lamun dan mangrove di dalam penelitian ini terdapat di stasiun C (bare area). Kalau dilihat nilai H1 meiofauna interstisialnya pada setiap musim, maka nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun ini secara berturut-turut adalah £TC i7mM?.=4.2564, fTcperaiihanf^-1%63, £TC sara?=3.4362, dan ffc peraiihanif=3-5lQ4. Dari nilai IT meiofauna interstisial di stasiun C ini terlihat bahwa nilai IT meiofauna interstisial tertinggi terdapat dijumpai musim Timur (#5ci7mw?-=4.2564), sedangkan nilai IT meiofauna interstisial terendah dijumpai pada musim Barat (/Tc Bara*=3.4362) (label 5). Nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun C pada musim Timur tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan musim-musim yang lainnya. Faktor-faktor
143
yang mendukungnya adalah: 1) nilai indeks kemerataan (E) yang tinggi, yaitu E c 7>mwr=0.9606, sedangkan nilai indeks kemerataan pada musim-musim yang lainnya secara berturut-turut adalah E c Pemiihan j=0.9448, £TC sara?=0.9516 dan E c Peralihan #=0.9333; dan 2) relatif lebih tingginya jumlah genus meiofauna interstisial yang terdapat pada musim Timur (84 genus) bila dibandingkan dengan musim lainnya. Meskipun stasiun C merupakan habitat yang tidak bervegetasi dan terletak di daerah terbuka yang senantiasa mendapat gangguan fisika, namun jika dibandingkan dengan nilai H1 di stasiun lainnya yang bervegetasi dan kurang mendapat gangguan fisika (seperti stasiun A2, A3, Bl dan B2), maka nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun C tampaknya tidak terlalu jauh berbeda dengan stasiun-stasiun tersebut. Di sini terlihat bahwa nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun C mampu mengimbangi nilai IT meiofauna interstisial di stasiun-stasiun lainnya. Bahkan stasiun A2, A3, Bl dan B2 memiliki nilai IT meiofauna interstisial yang lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun C. Nilai IT meiofauna interstisial di stasiun C yang lebih tinggi daripada stasiun A2, A3, Bl dan B2 terutama pada musim Timur dan Peralihan I. Hal ini kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun C. Faktor-faktor yang diperkirakan dapat mendukung adalah: 1) tingginya jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun C bila dibandingkan dengan stasiun lainnya; 2) tingginya nilai indeks kemerataan (E) di stasiun C bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Berkaitan dengan jumlah genus meiofauna interstisial, maka jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun C pada musim Timur dan Peralihan I lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya (A2, A3, Bl dan B2). Untuk diketahui bahwa stasiun C memiliki jumlah genus meiofauna interstisial sebanyak 84 genus, sedangkan stasiun lainnya relatif lebih rendah jumlah genusnya. Nilai H1 meiofauna interstisial ini sangat ditentukan oleh jumlah genusnya. Semakin tinggi jumlah genus meiofauna interstisial, maka akan semakin tinggi pula nilai /T-nya dan sebaliknya. Berkenaan dengan tingginya nilai indeks kemerataan (E), maka nilai indeks kemerataan meiofauna interstisial di stasiun C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dua stasiun lainnya (Tabel 5). Relatif tingginya nilai indeks kemerataan
144
(E) di stasiun C mencerminan bahwa kondisi habitat di stasiun ini dengan berbagai faktor fisik, kimia dan sumberdayanya telah memberikan kesempatan yang hampir sama terhadap kehadiran setiap genus meiofauna untuk tumbuh, berkembang dan berperan di dalam komunitas dan ekosistem. Dengan demikian, kehadiran setiap genus meiofauna interstisial di situ memberikan kontribusi struktural dan fungsional yang hampir sama bagi keberadaan, struktur dan fungsi komunitas meiofauna interstisial di dalam ekosistem. Nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun C lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun Al pada setiap musimnya. Rendahnya nilai H1 ini tampaknya terkait erat dengan sedikitnya jumlah genus meiofauna interstisial yang hadir di stasiun ini. Jumlah genus meiofauna interstisial yang hadir di stasiun ini hanyalah berkisar 37 hingga 84 genus, yaitu suatu jumlah genus yang lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun Al yang memiliki jumlah genus meiofauna interstisial yang berkisar 68 hingga 130 genus. Hal ini diduga kuat disebabkan oleh adanya faktor ekologis yang berpengaruh terhadap keberadaan meiofauna interstisial di stasiun C, yaitu: 1) adanya ketidakstabilan sedimen; 2) rendahnya nilai potensial redoks (Eh) sedimen; 3) lebih rendahnya kandungan bahan organik sedimen sebagai sumber makanan bagi meiofauna interstisial. Terkait dengan ketidakstabilan sedimen, maka hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh arus pasang dan gelombang yang cukup kuat. Arus pasang dan gelombang yang cukup kuat dapat mengaduk-aduk sedimen sehingga sedimen menjadi tidak stabil. Kondisi ini dapat mengakibatkan meiofauna interstisial yang ada pada lapisan permukaan akan terangkat dan berpindah. Tidak stabilnya sedimen di stasiun C ini kurang dapat mendukung dan menjamin kehadiran dan kelangsungan hidup meiofauna interstisial, serta dapat mengganggu keberadaan meiofauna interstisial bahkan dapat mengubah susunan meiofauna interstisial yang tinggal di dalam sedimen (Hall 1994; Snelgrove & Butman 1994; Giangrande 1997; Mistri et al. 2002; Dernie et al. 2003a, 2003b; Arroyo et al. 2004; Rodriguez 2004; Nybakken & Bertness 2005; Skilleter et al. 2006). Dalam hubungannya dengan kondisi potensial redoks (Eh) sedimen, maka nilai Eh sedimen di stasiun C lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun Al pada setiap musim, dan ini mengindikasikan bahwa sedimen di stasiun C berada
145
dalam kondisi tereduksi. Hal ini merupakan kondisi yang tidak disukai oleh kebanyakan genus meiofauna interstisial. Namun demikian, adanya arus yang menyusur pantai memungkinkan terjadinya percampuran biogenik yang intensif antara air dan sedimen. Stasiun C yang mempunyai energi tinggi, dimana resuspensi yang terjadi di daerah ini dapat meningkatkan penetrasi oksigen ke dalam sedimen, sebagaimana terlihat dari nilai Eh-nya yang tinggi dibandingkan dengan di stasiun-stasiun lainnya (kecuali stasiun Al dan A2), terutama pada musim Peralihan II (lihat Lampiran 7). Meskipun nilai Eh ini menggolongkan stasiun C ke dalam zona transisi, namun dengan adanya kandungan oksigen yang cukup menyebabkan proses ekologi masih dapat berlangsung dengan baik. Berkenaan dengan kandungan bahan organik sedimen, maka bahan organik di sedimen merupakan sumber bahan makanan bagi meiofauna interstisial. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata kandungan bahan organik sedimen (baik TOC maupun TOM) di stasiun C pada setiap musimnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun Al. Rendahnya kandungan bahan organik sedimen di stasiun C diduga kuat disebabkan oleh adanya resuspensi sedimen oleh arus yang kuat sehingga dapat mengurangi akumulasi bahan organik. Rendahnya kandungan bahan organik sedimen di stasiun C menggambarkan kurang tersedianya sumber makanan bagi kelangsungan hidup meiofauna interstisial. Biota yang hidup di pantai berpasir yang tidak ada makrofita, biasanya makanan disuplai dari lepas pantai dan merupakan suplai makanan utama bagi fauna yang ada di daerah tersebut. Bahan organik di daerah ini berasal dari laut, seperti binatang yang mati, material organik baik yang terlarut maupun partikel, yang keberadaannya lebih dipengaruhi oleh arus dan gelombang (J^drzejczak 2002; Tita et ol. 2002). Ketersediaan bahan makanan tersebut ikut mempengaruhi dinamika komunitas meiofauna interstisial. Jadi, dapat dipahami bahwa ketersediaan makanan dalam sedimen dapat memainkan peranan penting dalam menentukan dinamika komunitas meiofauna interstisial di lingkungan bentik.
148
berbeda signifikan dengan kedalaman lainnya pada semua musim; 2) di kedalaman 5-10 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm, 15-20 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm pada setiap musim; 3) di kedalaman 10-15 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm pada setiap musim; dan 4) di kedalaman 10-15 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 15-20 cm hanya pada musim Peralihan I. Berdasarkan pada uji di atas disimpulkan bahwa jumlah genus tertinggi diperoleh di kedalaman 0-5 cm dan terendah di kedalaman 25-30 cm pada setiap musim. Pada Gambar 30 memperlihatkan pola distribusi vertikal jumlah genus meiofauna interstisial antar musim dan antar kedalaman sedimen di setiap stasiun. Analisis varians jumlah genus meiofauna interstisial antar musim (secara temporal) di setiap stasiun (Lampiran 29) memperlihatkan hasil yang tidak berbeda signifikan (p>0.05). Artinya, jumlah genus meiofauna interstisial dianggap sama pada semua musim di setiap stasiun, walaupun secara deskriptif nilainya berbeda. Hasil di atas berbeda jika ditinjau berdasarkan kedalaman sedimen. Jumlah genus meiofauna interstisial berbeda signifikan (F=32.9850, F=50.8012, F=30.7309, F=28.1478, F=41.4072, F=23.1773 dan p<0.05) antar kedalaman sedimen di setiap stasiun. Ini berarti bahwa sebaran jumlah genus meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak tidak merata/berbeda di setiap kedalaman sedimen di setiap stasiun. Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 29) diperoleh hasil bahwa jumlah genus meiofauna interstisial: 1) di kedalaman sedimen 0-5 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman lainnya di semua stasiun; 2) di kedalaman 5-10 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm, 15-20 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm di stasiun Al dan A2; 3) di kedalaman 10-15 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm dan 25-30 cm di stasiun A3; 4) di kedalaman 5-10 cm dan 10-15 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm di stasiun Bl; dan 5) di kedalaman 5-10 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 25-30 cm di stasiun B2. Dari hasil uji di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah genus tertinggi terdapat di kedalaman 0-5 cm dan terendah di kedalaman 25-30 cm pada setiap stasiun.
151
Dengan mencermati Gambar 31, maka tampak bahwa: 1) adanya penurunan jumlah genus meiofauna interstisial yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen terjadi di stasiun Al (setiap musim), A2 (setiap musim), B2 (setiap musim) dan Bl (Peralihan II); dan 2) adanya penurunan jumlah genus meiofauna interstisial yang tidak sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen yang terjadi di stasiun A3 (setiap musim), Bl (musim Timur, Peralihan I dan musim Barat) dan C (setiap musim). Terkait dengan fenomena terjadinya penurunan jumlah genus meiofauna interstisial yang sejalan dengan penambahan kedalaman sedimen di stasiun Al, A2, B2 pada setiap musim dan Bl (Peralihan II) diduga kuat disebabkan oleh berkurangnya kandungan oksigen yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Berkurangnya kandungan oksigen dalam sedimen disebabkan oleh adanya proses respirasi organisme interstisial dan pemanfaatan oksigen oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umumnya kandungan oksigen semakin berkurang dengan meningkatnya kedalaman sedimen. Berkurangnya kandungan oksigen ini dapat membawa konsekuensi pada semakin sedikitnya jumlah genus meiofauna interstisial yang mampu hidup pada kondisi yang miskin oksigen. Adanya sejumlah stasiun yaitu stasiun A3 (setiap musim), Bl (musim Timur, Peralihan I dan Barat) dan C (setiap musim) yang menunjukkan penurunan jumlah genus meiofauna interstisial tidak sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen diduga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 1) adanya proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri pada lapisan atas yang dapat menurunkan kandungan oksigen di lapisan tersebut; 2) adanya pengadukan (agitasi) sedimen oleh turbulensi air yang dapat mengaduk-aduk lapisan sedimen dan mengacaukan stratifikasi sedimen dalam kaitannya dengan kandungan oksigen; 3) adanya proses bioturbasi oleh makrofauna yang dapat mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makan (Coull et al. 1995; Currie & Parry 1996); dan 4) adanya proses migrasi vertikal meiofauna interstisial yang dapat mengacaukan distribusi vertikal fauna ini dalam kaitannya dengan stratifikasi sedimen berdasarkan kedalaman sedimen (Giere 1993; Berninger & Epstein 1995).
152
Dalam kaitannya dengan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme (bakteri, jamur dan protozoa), maka proses ini dapat menurunkan kandungan oksigen dalam sedimen (Libes 1992). Hal ini dapat dipahami bahwa kandungan bahan organik yang tinggi akan meningkatkan jumlah bakteri. Melimpahnya jumlah bakteri dalam sedimen akan meningkatkan proses dekomposisi bahan organik dengan memanfaatkan oksigen. Sebagai konsekuensinya adalah kandungan oksigen dalam sedimen akan menurun dan menimbulkan kondisi reduksi sedimen (anaerob) yang menghasilkan gas-gas beracun, seperti sulfida (HiS) dan methan (CIL^ yang berbahaya bagi kehidupan meiofauna interstisial. Menyinggung tentang agitasi sedimen yang disebabkan oleh turbulensi air, maka turbulensi air dapat menyebabkan hilangnya sedimen halus (meningkatnya turbiditas pada batas lapisan atas permukaan sedimen), pemisahan sedimen, perubahan nutrien dari sedimen yang lebih dalam ke kolom air, perubahan kimia air interstisial dari sedimen dan meningkatkan kandungan air yang beroksigen dalam sedimen (Giangrande 1997; Mistri et al. 2002; Dernie et al. 2003a, 2003b; Skilleter et al. 2006). Konsekuensi dari proses ini dapat mengacaukan atau mengangkat lapisan sedimen sehingga dapat berpengaruh terhadap kehadiran dan keberadaan genus meiofauna interstisial di dalam sedimen. Dalam hubungannya dengan agitasi sedimen yang disebabkan oleh proses bioturbasi, maka proses bioturbasi ini dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu: 1) makro-epifauna melakukan pengadukan sedimen dalam upaya mencari makanan; 2) makro-infauna melakukan penggalian sedimen dalam upayanya membuat Hang perlindungan terhadap predator dan dalam upayanya mencari makanan; dan 3) ikan-ikan demersal mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makanan. Meningkatnya aktivitas atau proses bioturbasi ini yang umumnya dilakukan oleh makrofauna (epifauna, infauna dan ikan-ikan demersal) atau makroinvertebrata dapat meningkatkan kandungan air yang beroksigen dan mengalirkan makanan ke dalam lapisan sedimen (Coull 1999; De Deckere et al. 2001). Kalau dikaji lebih jauh, maka proses bioturbasi yang dilakukan oleh organisme pemakan deposit dapat meningkatkan erodibilitas (pengikisan) sedimen (Widdows et al. 1998, diacu dalam De Deckere et al. 2001). Hal ini membawa
153
konsekuensi pada destabilisasi sedimen yang disebabkan oleh perubahan komposisi ukuran partikel dan oleh peningkatan kandungan air dalam lapisan sedimen (De Deckere et al. 2001). Kandungan air yang lebih tinggi tidak hanya menghasilkan mekanisme memakan, tetapi juga menyebabkan laju bioturbasi yang lebih tinggi. Kondisi ini dapat mempengaruhi eksistensi meiofauna interstisial. Di sisi lain, aktivitas atau proses bioturbasi dapat mempertahankan porositas dan menghalangi pemadatan sedimen (Meadows & Tait 1989, diacu dalam De Deckere et al. 2001), sehingga dapat mendukung hadirnya sejumlah genus meoifauna interstisial. Pengaruh bioturbasi dapat memudahkan kehadiran mikroba dan meiofauna interstisial di dalam lapisan sedimen (Coull 1999). Dengan demikian, prosesproses bioturbasi ini dapat mempengaruhi kehadiran genus meiofauna interstisial terutama pada habitat yang kepadatan makro-epifauna dan makro-infaunanya cukup tinggi (Giere 1993; De Deckere et al. 2001). Sebaliknya, reduksi (berkurangnya) aktivitas bioturbasi makrofauna di suatu habitat menyebabkan berkurangnya kandungan air yang beroksigen dalam sedimen, menyebabkan sedimen menjadi padat (terkompaksi), berkurangnya jumlah genus meiofauna interstisial dalam lapisan sedimen dan kepadatan infauna menurun, dan meningkatnya stabilitas sedimen (De Deckere et al. 2001). Terkait dengan proses migrasi vertikal meiofauna interstisial, maka genus meiofauna interstisial melakukan migrasi vertikal dalam upayanya menghindari kondisi yang kurang menguntungkan, seperti: 1) adanya bahaya kekeringan (Giere 1993); 2) adanya gangguan fisika (Coull 1988; Higgins & Thiel 1988; Riemann 1988; Punch et al. 2002; Linhart et al. 2002; Mistri et al. 2002; Dernie et al. 2003a, 2003b; Rodriguez 2004; 3) adanya perubahan kimia sedimen yang dapat membawa konsekuensi pada kondisi yang stress bagi meiofauna interstisial di dalam sedimen; 4) adanya gangguan biologi; dan 5) adanya predator meiofauna interstisial atau aktivitas pemangsaan. Secara ekologi, meiofauna interstisial dapat memanfaatkan mikrofitobentos atau alga bentik (diatom) sebagai sumber makanannya, sehingga meiofauna interstisial tersebut mempunyai peluang yang besar dalam memanfaatkan makanan dan habitat yang tersedia. Namun, adanya faktor biologi lain, seperti
154
pemangsaan, merupakan faktor yang penting dalam menentukan struktur komunitas meiofauna interstisial. Baik predator invertebrata maupun vertebrata dapat memangsa meiofauna interstisial. Hilangnya meiofauna interstisial ini dapat disebabkan oleh aktivitas makan dari makro-infauna yang dapat mengakibatkan terjadinya distribusi yang tidak merata di habitat sedimen. Nybakken dan Bertness (2005) mengemukakan bahwa akibat pemangsaan oleh predator meiofauna interstisial dan makrofauna adalah berkurangnya populasi organisme interstisial yang lain (termasuk meiofauna interstisial), tetapi berapa jauh pengurangan ini tidak diketahui. Silence et al. (1993), Steyaert dan Schrijvers (1993) dan Renaud et al. (1999) mengatakan bahwa pemangsaan oleh predator makrofauna sangat mempengaruhi pola struktur dan distribusi komunitas meiofauna interstisial dan infauna pada umumnya. Pinto et al. (2006) melaporkan bahwa makrofauna Polychaeta Laeonereis acuta mempengaruhi struktur komunitas Nematoda dan pola distribusi vertikalnya di dalam sedimen. Keberadaan meiofauna interstisial di dalam lapisan sedimen sangat bergantung pada kandungan oksigen yang ada di dalam rongga-rongga butiran sedimen atau di ruang-ruang interstisial sedimen. Kandungan oksigen di lapisan sedimen tersebut diindikasikan oleh nilai Eh sedimen, sehingga kondisi yang ada sangat menentukan distribusi vertikal organisme ini di dalam lapisan sedimen. Lapisan sedimen yang minim oksigen dapat membatasi distribusi vertikal genus meiofauna interstisial dalam komunitas bentik. Namun, ada beberapa meiofauna interstisial yang dapat hidup di lapisan sedimen yang beroksigen rendah, bahkan ada yang mampu hidup di lapisan sedimen yang tidak beroksigen. Meiofauna interstisial mampu hidup di bawah lapisan sedimen yang tereduksi, misalnya Nematoda (Coull 1988; Higgins & Thiel 1988; Moodley et al. 2000). Terkait dengan terbatasnya distribusi vertikal jumlah genus meiofauna interstisial di habitatnya, maka dalam penelitian ini dijumpai beberapa genus meiofauna interstisial yang hanya terdapat di kedalaman sedimen tertentu saja. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran genus meiofauna interstisial di habitatnya bergantung pada toleransinya terhadap perubahan dalam lingkungan. Oleh sebab itu, genus-genus tersebut hanya mampu hidup sampai di kedalaman tersebut saja (Tabel 11).
156
Kalau dikaji lebih lanjut, maka distribusi vertikal meiofauna interstisial di habitatnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi distribusi meiofauna interstisial (Giere et al 1988). Namun, kestabilan habitat merupakan salah satu faktor penting, seperti yang terlihat di lokasi penelitian, yaitu habitat di perairan pantai yang cukup terlindung dan habitat berpasir di perairan pantai terbuka. Di habitat pantai terbuka, meiofauna interstisial memiliki adaptasi perilaku terhadap lingkungannya. Perilaku membenamkan diri ke dalam sedimen cukup berkembang di antara genus meiofauna interstisial. Meiofauna interstisial yang membenamkan tubuhnya ke dalam sedimen merupakan cara yang umum untuk menghindarkan diri dari tekanan predator, kekeringan dan arus pasang. Perilaku membenamkan diri barangkali diatur dengan baik terhadap munculnya arus yang kuat. Organisme ini dapat mempertahankan hidupnya dalam air interstisial sedimen, namun ia dapat mati dalam sedimen yang kurang aliran airnya. Selain itu, faktor sedimen, ketersediaan suplai makanan dan pergerakan air interstisial juga dapat mempengaruhi distribusi vertikal meiofauna interstisial (Olafsson et al. 1994). Meiofauna interstisial penggali menggunakan air yang mengalir di atasnya sebagai sarana sumber makanan dan oksigen. Faktor oksigen dapat mempengaruhi fisiologi meiofauna interstisial dan eksistensinya di dalam suatu habitat (Berninger & Epstein 1995). Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa aktivitas meiofauna interstisial dalam sedimen dapat membentuk suatu lingkungan interstisial yang memiliki sifat yang khas dan menghasilkan mikrohabitat bagi organisme meiofauna interstisial. Mikrohabitat ini ditentukan oleh variabel ekologis di dalam habitatnya, seperti konsentrasi oksigen dan bahan organik yang terjebak di dalam sedimen serta tingkat diskontinuitas potensial redoks (RPD) sedimen, yaitu batas antara sedimen aerob dan sedimen anaerob. Ini berarti bahwa distribusi vertikal meiofauna interstisial lebih bergantung pada kondisi mikrohabitat di dalam lapisan sedimen. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang lain (De Troch et al. 2001a, 2001b; Prathep et al. 2003; Arroyo et al. 2004), bahwa distribusi organisme meiofauna interstisial secara vertikal lebih ditentukan oleh kondisi lingkungan di mana organisme ini hidup.
157
Variabilitas Spasial dan Temporal Kelimpahan Individu Meiofauna Interstisial secara Vertikal Kelimpahan individu meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak juga berfluktuasi secara spasial dan temporal. Umumnya distribusi kelimpahan individunya mempunyai pola yang cenderung sama pada setiap musim (Gambar 33) dan pola yang cenderung berbeda di setiap stasiun (Gambar 34). Uji Anova satu arah (Lampiran 31, 32 dan 33) telah dilakukan untuk melihat perbedaan kelimpahan individu meiofauna interstisialnya di lokasi penelitian. Peralihan I
Timur
Kelimpahan Individu 0
Kelimpahan Individu 0
Kelimpahan Individu 0
Kelimpahan Individu 0
50 100 150 200 250 300
50 100 150 200 250300
50 100150 200 250 30C
50 100 150200250300
Peralihan n
Barat
5-10
10-15 20-25
0-5 520-25
10 25-30 I
•
Stasiun Al
— • — Stasiun A2
10-15 ;
F h
0-5 510 10-15
15-20 H
15-20 |
20-25 |
20-25 |
25-30 |
25-30 |
—A — Stasiun A3 — X— Stasiun Bl -
F
>
*— Stasiun B2 — • — Stasiun C
Gambar 33. Variasi spasial dan pola distribusi vertikal kelimpahan individu meiofauna interstisial pada setiap musim di perairan Selat Dompak. Hasil analisis varians (Anova satu arah) menunjukkan bahwa kelimpahan individu meiofauna interstisial antar stasiun (secara spasial) pada setiap musim (Lampiran 31) ternyata tidak berbeda signifikan (F=1.6971, F=1.3669, F=1.0893, F=1.3529 dan p>0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa kelimpahan individu meiofauna interstisial dianggap sama di semua stasiun pada setiap musim. Sementara, antar kedalaman sedimen pada setiap musim ternyata kelimpahan individunya berbeda signifikan (F=20.7569, F=38.6501, F=53.5862, F=41.2929 dan p<0.05). Artinya, kelimpahan individu meiofauna interstisial berbeda di setiap
kedalaman sedimen pada setiap musim di perairan Selat Dompak. Dengan kata lain, sebaran vertikal kelimpahan individunya tidak merata di setiap kedalaman sedimen pada setiap musim.
158
Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 31) menunjukkan bahwa: 1) di kedalaman sedimen 0-5 cm berbeda signifikan dengan kedalaman lainnya pada semua musim; 2) di kedalaman 5-10 cm berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm pada setiap musim; 3) di kedalaman 5-10 cm berbeda signifikan dengan 15-20 cm pada musim Timur, Peralihan I dan Barat; 4) di kedalaman 10-15 cm berbeda signifikan dengan kedalaman 0-5 cm dan 25-30 cm pada setiap musim; 5) di kedalaman 10-15 cm berbeda signifikan dengan kedalaman 15-20 cm pada musim Peralihan I; dan 6) di kedalaman 10-15 cm berbeda signifikan dengan kedalaman 20-25 cm pada musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II. Dari uji di atas dapat diketahui bahwa kelimpahan individu tertinggi terdapat di kedalaman 0-5 cm pada setiap musim, sedangkan kelimpahan individu terendah tercatat di kedalaman 25-30 cm pada musim Timur, Peralihan I dan Barat, serta di kedalaman 20-25 cm hanya pada musim Peralihan II. Pola distribusi vertikal kelimpahan individu meiofauna interstisial berdasarkan musim dan kedalaman sedimen di setiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 34. Dalam kaitannya dengan distribusi vertikal kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa meiofauna interstisial di habitat padang lamun dan habitat lainnya di perairan Selat Dompak mendiami sedimen hingga kedalaman 30 cm. Lebih dari 50% meiofauna interstisial terdapat dalam sedimen di atas 5 cm terutama pada musim Timur. Di habitat bervegetasi lamun terutama stasiun Al, meiofauna interstisial terdistribusi sekitar 67.52% di kedalaman 0-5 cm, 20.97% di kedalaman 5-10 cm, 8.18% di kedalaman 10-15 cm, 2.30% di kedalaman 15-20 cm, 0.77% di kedalaman 20-25 cm, dan 0.26% di kedalaman 25-30 cm (Tabel 10). Di habitat bervegetasi mangrove (stasiun Bl) dan di habitat yang tidak bervegetasi (bare area, stasiun C), meiofauna interstisial juga terdistribusi hingga kedalaman 30 cm. Analisis varians kelimpahan individu meiofauna interstisial antar musim (secara temporal) di setiap stasiun (Lampiran 32) memperlihatkan hasil yang tidak berbeda signifikan (F=1.5744, F=1.1404, F=1.0703, F=1.2004, F=1.4557, F=1.3175 dan p>0.05). Artinya, kelimpahan individu meiofauna interstisial dianggap sama di semua musim di setiap stasiun. Jika ditinjau berdasarkan kedalaman sedimen di setiap stasiun, maka hasil uji analisis varians menunjukkan
160
stasiun Al, A2 dan B2; 4) di kedalaman 5-10 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 20-25 cm di stasiun Al, A2, Bl dan B2; 5) di kedalaman 5-10 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 25-30 cm di stasiun Al, A2, A3, Bl dan B2; 6) di kedalaman 10-15 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 15-20 cm di stasiun A3 dan C; dan 7) di kedalaman 10-15 cm saling berbeda signifikan dengan kedalaman 20-25 cm 25-30 cm di stasiun A2, A3, Bl dan C. Dari hasil uji disimpulkan bahwa kelimpahan individu tertinggi tercatat di kedalaman 0-5 cm dan terendah di kedalaman 25-30 cm di setiap stasiun. Gambar 35 memperlihatkan kelimpahan individu meiofauna interstisial berdasarkan stasiun dan musim di setiap kedalaman sedimen. Dari analisis varians (Lampiran 33), diperoleh hasil bahwa kelimpahan individu meiofauna interstisial yang berbeda signifikan antar stasiun dijumpai di kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm, 10-15 cm dan 15-20 cm (F=6.8240, F=4.0090, F=3.8370, F=3.0357 dan p<0.05), sedangkan antar musim tidak berbeda signifikan (p>0.05) kecuali di kedalaman 10-15 cm yang berbeda signifikan (F=3.3664 dan p<0.05). Adanya perbedaan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan antar stasiun di setiap kedalaman sedimen, maka uji lanjut Tukey (Lampiran 33) menunjukkan bahwa: 1) kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Al dengan stasiun A2 saling berbeda signifikan di kedalaman 0-5 cm dan 15-20 cm; 2) stasiun Al dengan stasiun A3, Bl dan C saling berbeda signifikan di kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm; 3) stasiun Al dengan stasiun B2 saling signifikan perbedaannya di kedalaman 0-5 cm; dan 4) stasiun C dengan stasiun A2 dan Bl saling signifikan perbedaannya di kedalaman 10-15 cm. Dari hasil uji di atas dapat disimpulkan bahwa kelimpahan individu meiofauna interstisial tertinggi terdapat di stasiun Al (di kedalaman sedimen 0-5 cm, 5-10 cm, 10-15 cm dan 15-20 cm), sedangkan kelimpahan individu terendah terdapat di stasiun Bl (di kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm) dan di stasiun A2 (di kedalaman 10-15 cm dan 15-20 cm). Berdasarkan musim di setiap kedalaman sedimen, maka uji lanjut Tukey (Lampiran 33) menunjukkan bahwa kelimpahan individu meiofauna interstisial antar musim yang saling berbeda signifikan adalah antara musim Peralihan I dengan musim Barat yang hanya terjadi di kedalaman 10-15 cm. Dari kenyataan
162
dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Terkait dengan fenomena terjadinya penurunan kelimpahan meiofauna interstisial yang sejalan dengan penambahan kedalaman sedimen di stasiun Al, A2 dan B2 diduga kuat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) berkurangnya kandungan oksigen yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen; 2) berkurangnya nilai nutrisi sedimen (jumlah makanan) yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Dalam hubungannya dengan kandungan oksigen dalam lapisan sedimen, maka peningkatan kedalaman sedimen biasanya kandungan oksigen berkurang, dan lapisan sedimen yang lebih dalam dikarakteristikkan oleh potensial redoks yang rendah dan kandungan hidrogen sulfida (EbS) yang tinggi. Kondisi sedimen yang anoksik dan tingginya kandungan H2S sangat efektif mempengaruhi fauna bentik, terutama komposisi genus dan kelimpahan komunitas bentik (Wetzel et al. 2002), termasuk kelimpahan individu meiofauna interstisial. Distribusi vertikal meiofauna interstisial sangat dipengaruhi oleh keberadaan kandungan oksigen di dalam rongga-rongga butiran sedimen atau ruang-ruang interstisial sedimen. Keberadaan kandungan oksigen di dalam ruang-ruang interstisial bergantung pada tipe sedimen. Pada sedimen pasir yang senantiasa mendapat terpaan energi gelombang yang besar, memiliki permeabilitas yang tinggi sehingga pembaharuan air yang mengandung oksigen menjadi lebih cepat. Pada sedimen lumpur yang umumnya berada pada pantai yang lebih terlindung, mendapat terpaan energi gelombang yang sangat kecil (perairan lebih tenang) dan memiliki permeabilitas yang rendah, sehingga pembaharuan air yang mengandung oksigen menjadi sangat lambat. Lapisan sedimen yang minim oksigen dapat membatasi kelimpahan individu meiofauna interstisial serta distribusi vertikalnya dalam komunitas bentik. Distribusi vertikal meiofauna interstisial dalam sedimen sangat berkorelasi kuat dengan potensial redoks (Eh) sedimen, yang juga berhubungan dengan distribusi vertikal oksigen. Distribusi vertikal meiofauna interstisial di lokasi penelitian mencerminkan ketersediaan oksigen terlarut dalam air di atasnya. Jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial menurun dengan menurunnya toleransi meiofauna interstisial terhadap konsentrasi oksigen yang rendah.
163
Kalau dikaji lebih jauh, kandungan oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehadiran atau keberadaan meiofauna interstisial di habitat interstisial sedimen (Berninger & Epstein 1995; Moodley et al. 1997; Rodriguez et al. 2001). Oksigen dalam sedimen dapat berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali karena tingginya kandungan bahan organik dalam sedimen, sehingga membuat suatu kondisi yang optimal bagi bakteri. Pada kondisi aliran air ke dalam sedimen lemah, bakteri dengan cepat memanfaatkan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik. Konsentrasi oksigen yang rendah dapat mempengaruhi kondisi biogeokimia sedimen. Kondisi yang anaerob (ketiadaan oksigen) dalam sedimen dapat mempengaruhi aktivitas organisme bentik. Hal ini mengakibatkan menurunnya kelimpahan individu meiofauna interstisial di dalam sedimen. Oleh sebab itu, kelimpahan individu meiofauna interstisial sangat dipengaruhi oleh kondisi di lapisan potensial redoks sedimen tersebut (Silence et al. 1993; Webber & Thurman 1991; Holmer 1999; Barnes & Hughes 2004). Berkenaan dengan nilai nutrisi sedimen (jumlah makanan), maka bertambahnya kedalaman sedimen menyebabkan berkurangnya jumlah makanan bagi meiofauna interstisial. Berkurangnya jumlah makanan atau rendahnya nilai nutrisi sedimen atau ketiadaan makanan dalam lapisan sedimen dapat membawa konsekuensi pada menurunnya kelimpahan individu meiofauna interstisial (Heip et al. 1985; Snelgrove & Butman 1994; Aljetlawi et al. 2000). Oleh sebab itu, ketersediaan sumber makanan dalam sedimen merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur kelimpahan individu meiofauna interstisial (Marsh & Tenore 1990; Mueller & Huynh 1994). Perlu diketahui bahwa sumber makanan meiofauna interstisial yang terdapat di dalam sedimen dapat berasal dari suplai atau pasokan makanan dari kolom air di atasnya melalui proses pengaliran air interstisial. Pada proses pengaliran ini, air yang mengandung bahan makanan dan oksigen didorong ke arah bawah oleh adanya tekanan hidrostatik dan hidrodinamik. Dalam perjalanannya memasuki pori-pori sedimen ke lapisan bagian bawah, maka sebelum sampai di lapisan tersebut, bahan makanan yang ada dalam air interstisial telah mengalami proses penambatan bertahap oleh sedimen beserta unsur kehidupan, termasuk meiofauna interstisial yang ada di dalamnya. Ini berarti bahwa bahan makanan tersebut
164
terjebak atau terperangkap di lapisan atasnya secara bertahap. Hal ini membawa konsekuensi pada berkurangnya jumlah bahan makanan yang terdapat di dalam air interstisial yang masih mengalir ke lapisan bawah. Jadi, dapat dipahami bila terjadi pengurangan jumlah bahan makanan sejalan dengan meningkatnya kedalaman sedimen. Adanya sejumlah stasiun yaitu stasiun A3, Bl dan C yang menunjukkan penurunan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang tidak selalu sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen diduga kuat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 1) adanya sumber makanan alternatif berupa detritus dan deposit bahan organik yang terjebak atau terperangkap dalam lapisan sedimen; dan 2) adanya proses migrasi vertikal meiofauna interstisial dalam kaitannya dengan stratifikasi sedimen berdasarkan pada kedalaman sedimen (Giere 1993). Terkait dengan adanya sumber makanan alternatif berupa detritus dan deposit bahan organik yang terjebak atau terperangkap dalam lapisan sedimen, maka meiofauna interstisial yang ada di lapisan yang lebih dalam dapat memanfaatkannya tanpa harus menunggu suplai makanan dari aliran air interstisial. Perlu diketahui bahwa aliran air interstisial ini mengandung oksigen dan bahan makanan. Detritus dan deposit bahan organik yang terjebak atau terperangkap di dalam lapisan sedimen juga dapat disebabkan oleh adanya pengadukan (agitasi) sedimen oleh pergolakan (turbulensi) air dan adanya aktivitas atau proses bioturbasi yang dilakukan oleh makrofauna (epifauna dan infauna) yang dapat mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makan (Libes 1992; Coull et al. 1995; Currie & Parry 1996). Detritus dan deposit bahan organik yang terjebak atau terperangkap ini biasanya mengandung bakteri, dimana bakteri ini dapat pula digunakan sebagai makanan oleh meiofauna interstisial (Giere 1993; Steyaert & Schrijvers 1993; Carman et al. 1996, 1997; Danovaro et al. 2000b; Manini et al 2000; Danovaro & Gambi 2002; Gwyther 2003). Variabilitas Spasial dan Temporal Indeks Keanekaragaman (IT) Meiofauna Interstisial secara Vertikal Dari hasil penghitungan IT meiofauna interstisial (Tabel 12) menunjukkan bahwa H1 meiofauna interstisial bervariasi secara spasial dan temporal. Nilai H1 semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Di beberapa stasiun
169
Hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 36) menunjukkan bahwa: 1) stasiun Al dengan stasiun A3, Bl dan C saling berbeda signifikan di kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm; 2) stasiun A2 dengan stasiun A3 dan Bl saling berbeda signifikan di kedalaman 0-5 cm; 3) stasiun B2 dengan stasiun A3 dan Bl saling signifikan perbedaannya di kedalaman 0-5 cm; dan 4) stasiun C dengan setiap stasiun lainnya saling signifikan perbedaannya di kedalaman 25-30 cm. Dari hasil uji di atas dapat disimpulkan bahwa nilai IT meiofauna interstisial tertinggi terdapat di stasiun Al (di kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm) dan di stasiun C (di kedalaman 15-20 cm), sedangkan nilai H1 terendah terdapat di stasiun Bl (di kedalaman 0-5 cm) dan di stasiun B2 (di kedalaman 5-10 cm). Uji lanjut Tukey nilai IT meiofauna interstisial antar musim di setiap kedalaman sedimen menunjukkan bahwa di kedalaman 5-10 cm nilai IT meiofauna interstisial pada musim Timur saling berbeda signifikan dengan musim Barat. Sementara, di kedalaman 10-15 cm nilai /T-nya pada musim Barat saling berbeda signifikan musim Timur dan Peralihan I (Lampiran 36). Nilai IT tertinggi diperoleh pada musim Timur di kedalaman 5-10 cm dan pada musim Peralihan I di kedalaman 5-10 cm, sedangkan nilai H1 terendah terdapat pada musim Barat. Dari Gambar 37 terlihat bahwa nilai H1 meiofauna interstisial di stasiun Al, A2, B2 (setiap musim) dan Bl (musim Barat dan Peralihan II) mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Sementara di stasiun A3, Bl (musim Timur dan Peralihan I) dan stasiun C menunjukkan penurunan nilai IT meiofauna interstisial tidak selalu sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen. Terkait dengan fenomena terjadinya penurunan nilai H1 meiofauna interstisial yang sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen tampaknya berkaitan erat dengan fenomena penurunan jumlah genus meiofauna interstisial. Jika diperhatikan lebih seksama maka tampak bahwa stasiun-stasiun yang mengalami penurunan nilai IT meiofauna interstisial ini adalah stasiun-stasiun yang mengalami penurunan jumlah genus meiofauna interstisial sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen, kecuali stasiun Bl pada musim Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan nilai IT meiofauna interstisial yang sejalan dengan penambahan kedalaman sedimen ini terjadi di stasiun yang sama dengan
170
penurunan jumlah genus meiofauna interstisial. Jadi, jelaslah bahwa nilai H1 meiofauna interstisial di suatu habitat sangat bergantung pada jumlah genus meiofauna interstisial di habitat tersebut. Terkait dengan fenomena di atas, faktor penyebab dari penurunan nilai IT meiofauna interstisial ini sangat terkait dengan faktor penyebab penurunan jumlah genus meiofauna interstisial. Faktor yang diprediksi menyebabkan terjadinya penurunan nilai IT meiofauna interstisial ini adalah berkurangnya kandungan oksigen sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen. Seperti diketahui bahwa kandungan oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehadiran atau keberadaan genus meiofauna interstisial di habitat sedimen (Berninger & Epstein 1995; Moodley et al. 1997; Rodriguez et al. 2001). Adanya sejumlah stasiun yaitu stasiun A3, Bl (musim Timur dan Peralihan I) dan C yang menunjukkan penurunan nilai IT meiofauna interstisial tidak selalu sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen kelihatannya berkorelasi dengan penurunan jumlah genus meiofauna interstisial yang terjadi di stasiun-stasiun tersebut. Perlu diingat bahwa nilai H1 meiofauna interstisial di suatu habitat sangat ditentukan oleh jumlah genus meiofauna interstisial di habitat itu. Terkait dengan faktor-faktor penyebabnya, maka faktor-faktor yang menyebabkan tidak sejalannya penurunan nilai H1 meiofauna interstisial ini dengan peningkatan kedalaman sedimen juga berkaitan erat dengan faktor-faktor yang menyebabkan tidak sejalannya penurunan jumlah genus meiofauna interstisial dengan penambahan kedalaman sedimen. Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah: 1) adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme (bakteri) pada lapisan atas yang dapat menurunkan kandungan oksigen di lapisan tersebut; 2) adanya pengadukan (agitasi) sedimen oleh pergolakan (turbulensi) air yang dapat mengaduk-aduk lapisan sedimen dan mengacaukan stratifikasi sedimen dalam kaitannya dengan kandungan oksigen; 3) adanya proses bioturbasi oleh makrofauna yang dapat mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makan (Coull et al. 1995; Currie & Parry 1996); dan 4) adanya proses migrasi vertikal meiofauna interstisial yang dapat mengacaukan distribusi vertikal meiofauna interstisial dalam kaitannya dengan stratifikasi sedimen berdasarkan pada kedalaman sedimen (Berninger & Epstein 1995).
171
Peranan Tipe Habitat, Musim dan Kedalaman Sedimen dalam Menentukan Komunitas Meiofauna Interstisial Pengaruh Tipe Habitat dan Musim terhadap Komunitas Meiofauna Interstisial Dalam kaitannya dengan pengaruh tipe habitat terhadap komunitas meiofauna interstisial berdasarkan musim, maka hasil analisis varians (Lampiran 37) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di keenam tipe habitat tidak saling memiliki perbedaan yang signifikan (F=1.8415, F=1.6749 dan p>0.05). Berdasarkan pada hasil analisis varians tampak bahwa perbedaan tipe habitat berdasarkan musim tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dengan kata lain, faktor tipe habitat berdasarkan musim kurang berperan dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial dalam habitat tersebut. Terkait dengan pengaruh musim terhadap komunitas meiofauna interstisial berdasarkan tipe habitat, maka hasil analisis varians mengindikasikan bahwa keempat rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada keempat musim juga tidak berbeda signifikan (F=1.4858, F=1.0383 dan p>0.05) (Lampiran 37). Oleh karena nilai p>0.05, maka faktor musim tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beda nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 95%. Ini berarti bahwa perbedaan musim berdasarkan tipe habitat tidak berpengaruh signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dengan kata lain, faktor musim berdasarkan tipe habitat juga kurang berperan dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial dalam habitat tersebut. Berkenaan dengan pengaruh interaksi antara faktor tipe habitat dengan faktor musim terhadap komunitas meiofauna interstisial, maka hasil analisis varians (Lampiran 37) mengindikasikan bahwa interaksi antara faktor tipe habitat dengan faktor musim tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial dalam kawasan perairan Selat Dompak (F=1.1060, F=1.2265 dan p>0.05). Oleh
172
karena nilai p>0.05, maka tidak ada interaksi antara faktor tipe habitat dengan faktor musim yang menyebabkan perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Artinya, interaksi antara faktor tipe habitat dengan musim tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap beda nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 95%. Jadi, interaksi antara faktor tipe habitat dengan musim kurang berperan dalam menentukan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial dalam suatu habitat. Dengan tidak adanya pengaruh interaksi dari kedua faktor ini, maka profil jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial sebagai hasil dari pengaruh spasial dari faktor tipe habitat tidak dapat dimodifikasi oleh adanya pengaruh temporal dari faktor musim. Sebaliknya, profil jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial sebagai hasil dari pengaruh temporal dari faktor musim juga tidak dapat dimodifikasi oleh adanya pengaruh spasial dari faktor tipe habitat. Jadi, hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tidak ada interaksi antara faktor tipe habitat dengan faktor musim yang menyebabkan perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial secara signifikan di dalam suatu habitat pada taraf kepercayaan 95%. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa baik faktor tipe habitat, faktor musim, maupun interaksi kedua faktor ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Pengaruh Tipe Habitat dan Kedalaman Sedimen terhadap Komunitas Meiofauna Interstisial Dalam kaitannya dengan pengaruh tipe habitat terhadap komunitas meiofauna interstisial berdasarkan kedalaman sedimen, maka hasil analisis varians menunjukkan bahwa jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di keenam tipe habitat saling berbeda signifikan (F=16.5453, F=10.5320 dan p<0.05) (Lampiran 38). Berdasarkan pada nilai probabilitasnya (p<0.05), maka faktor tipe habitat ditinjau dari kedalaman sedimen ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beda nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 95%. Artinya, perbedaan tipe habitat berdasarkan kedalaman sedimen berpengaruh signifikan terhadap
173
terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Terkait dengan adanya perbedaan tipe habitat berdasarkan kedalaman sedimen yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap jumlah genus meiofauna interstisial yang signifikan, maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 38) menunjukkan adanya tipe habitat yang berbeda signifikan (p<0.05) dengan tipe habitat lainnya dalam hal nilai rata-rata jumlah genus meiofauna interstisial, yaitu: 1) tipe habitat Al saling berbeda signifikan dengan setiap tipe habitat lainnya; dan 2) tipe habitat Bl saling berbeda signifikan dengan tipe habitat Al, B2 dan C. Sehubungan dengan adanya perbedaan tipe habitat berdasarkan kedalaman sedimen yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan, maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 38) menunjukkan bahwa ratarata kelimpahan individu meiofauna interstisial di tipe habitat Al saling memiliki perbedaan yang signifikan dengan setiap tipe habitat lainnya, yaitu tipe habitat A2,A3,Bl,B2danC. Adanya perbedaan yang signifikan di antara tipe habitat dalam hal daya dukung terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial adalah sangat berkaitan dengan adanya perbedaan di antara tipe habitat dalam hal berbagai variabel ekologis, seperti kondisi habitat, kisaran parameter fisik-kimia lingkungan, struktur dan volume ruang, lingkungan biotik dan sumberdaya. Perbedaan tipe habitat dapat ditunjukkan oleh perbedaan jenis substrat, perbedaan vegetasi yang ada, dan perbedaan kondisi yang terkait dengan arus pasang surut. Perbedaan dalam hal parameter fisika-kimia lingkungan dapat ditunjukkan oleh perbedaan nilai Eh sedimen dan oksigen terlarut. Perbedaan lingkungan biotik dapat ditunjukkan oleh perbedaan flora dan fauna yang ada di sekitarnya. Perbedaan sumberdaya dapat ditunjukkan oleh perbedaan kandungan bahan organik/TOC sedimen dan mungkin juga oleh perbedaan jenis dan kelimpahan mikrooalga bentik dan bakteri, serta perbedaan kandungan detritus dan deposit. Sementara itu, adanya kelompok tipe habitat yang tidak saling memiliki perbedaan signifikan (p>0.05) dalam hal daya dukung terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka hal ini secara ekologis
174
menunjukkan adanya kemiripan dalam hal berbagai variabel ekologis yang dapat menentukan kehadiran meiofauna interstisial. Daya dukung habitat merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat. Terkait dengan konsep daya dukung tersebut, maka daya dukung habitat, kemampuan adaptasi dan daya toleransi genus, serta interaksinya dengan lingkungan biotik merupakan penentu dari keberadaan dan kelimpahan meiofauna interstisial dalam suatu habitat. Berkenaan dengan hubungan antara ragam tipe habitat dengan keragaman meiofauna interstisial, maka jumlah genus meiofauna interstisial di suatu habitat sangat ditentukan oleh ragam mikrohabitat di habitat itu. Mikrohabitat ini ditentukan pula oleh variabel ekologis di dalam habitatnya. Ragam organisme merupakan hasil respon organisme terhadap ragam lingkungan. Adanya pengaruh ragam tipe habitat terhadap struktur, fisiologi dan tingkah laku organisme dapat menghasilkan respon organisme (Forbes et al. 1994). Setiap genus organisme ini memiliki respon yang berbeda-beda terhadap ragam dan kisaran variabel ekologis yang ada di habitatnya. Terkait dengan hubungan antara ragam tipe habitat dengan kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka kelimpahan individu meiofauna interstisial di suatu habitat sangat ditentukan oleh keberadaan sumberdayanya. Setiap tipe habitat memiliki sumberdaya tersendiri yang berbeda dengan tipe habitat lainnya, baik berupa materi maupun energi, yang merupakan masukan yang sangat penting bagi setiap meiofauna interstisial untuk dapat meningkatkan produktivitasnya, termasuk melakukan reproduksi. Adanya perbedaan sumberdaya tersebut memberikan konsekuensi pada daya dukung yang berbedabeda terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial. Berbagai tipe habitat meiofauna interstisial di kawasan perairan Selat Dompak memiliki ragam variabel ekologis yang berkaitan dengan habitatnya. Ragam variabel ekologis yang berkaitan dengan habitatnya adalah keberadaan dan ragam vegetasi lamun, keberadaan vegetasi mangrove, kondisi bare area, keberadaan arus dan gelombang, dan keberadaan parameter fisk-kimia lingkungan, seperti fraksi sedimen, Eh sedimen dan oksigen terlarut. Ragam variabel ekologis yang berkaitan dengan tingkatan trofik adalah keberadaan predator, keberadaan kompetitor, keberadaan sumberdaya makanan seperti
175
mikroalga (diatom), bakteri, protozoa, detritus, deposit, dan kandungan bahan organik (TOC sedimen). Habitat dengan berbagai komponennya merupakan tempat hidup bagi meiofauna interstisial dan tempat untuk memperoleh segala kebutuhannya serta menyediakan ruang bagi meiofauna interstisial untuk melakukan segala aktivitas hidupnya. Habitat dengan segala komponennya bersama-sama dengan meiofauna interstisial yang hidup di dalamnya merupakan satu kesatuan yang terikat secara fungsional dan saling berinteraksi. Faktor-faktor yang ada dalam lingkungan selain berinteraksi dengan meiofauna interstisial, juga berinteraksi sesama faktor tersebut. Tipe habitat tersebut dapat mempengaruhi jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang ada di dalamnya, yaitu dengan cara memodifikasi berbagai variabel ekologis yang secara langsung menentukan kehadiran genus dan kelimpahnnya. Tipe habitat dalam memodifikasi berbagai variabel ekologis ditentukan oleh setiap komponen yang membentuk tipe habitat itu. Jadi, komponen-komponen yang membentuk tipe habitat meiofauna interstisial dalam kawasan perairan Selat Dompak adalah vegetasi lamun, vegetasi mangrove, bare area, arus dan gelombang serta jenis sedimen. Terkait dengan perbedaan tipe habitat yang membawa konsekuensi berupa adanya perbedaan daya dukung habitat terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka hal mi juga bertalian dengan kemampuan adaptasinya terhadap kondisi lingkungan. Meiofauna interstisial yang mendiami tipe habitat yang berbeda atau tipe sedimen yang berbeda, memiliki strategi adaptasi yang berbeda pula terhadap kondisi lingkungan tersebut. Kelompok taksonomi dengan genus interstisial dan genus penggali (misalnya, Nematoda, Copepoda, Turbellaria) memiliki perbedaan morfologi dan distribusinya yang menempati habitat sedimen berfraksi halus (lumpur dan lumpur berpasir) dan habitat sedimen berfraksi kasar (pasir). Genus meiofauna interstisial yang menempati habitat lumpur (tipe habitat A2, A3, Bl dan B2) dan lumpur berpasir (tipe habitat Al) memiliki kemampuan untuk menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran dalam sedimen. Sementara, meiofauna interstisial yang hidup di habitat berpasir (tipe habitat C atau bare area) memiliki adaptasi morfologis yang tampaknya
176
berhubungan erat dengan aspek lingkungan. Lingkungan merupakan sesuatu yang dinamis dengan tiap-tiap butiran pasir di lapisan atas secara tidak henti-hentinya tersuspensi dan terendapkan. Dengan demikian, baik letaknya maupun besarnya ruangan interstisial selalu berubah. Agar dapat hidup di sini, organisme meiofauna interstisial harus tetap berada dalam sedimen (di ruangan pasir) dan harus berusaha untuk tidak tergencet oleh partikel pasir yang bergerak dan tidak terlempar ke dalam kolom air yang tak memungkinkannya hidup. Pada kondisi sedimen yang rendah oksigen atau dalam kondisi anaerob, meiofauna interstisial beradaptasi untuk hidup dalam kondisi tersebut dengan cara membuat beberapa jalan/liang yang dapat mengalirkan air dari permukaan sedimen yang mengandung oksigen ke lapisan bawah. Karena hampir semua organisme multiseluler (termasuk meiofauna interstisial) tidak dapat hidup tanpa oksigen, maka adaptasi seperti yang disebutkan di atas merupakan adaptasi yang paling mungkin terjadi jika organisme ini ingin tetap hidup ketika terkubur dalam substrat. Untuk mendapatkan air dari permukaan sedimen yang kaya akan oksigen dan makanan, maka meiofauna interstisial menggali sedimen dengan cara meliang ke dalam lapisan sedimen. Terkait dengan kondisi anaerob, meskipun hampir seluruh meiofauna interstisial tidak dapat bertahan dalam kondisi tersebut, tetapi ada juga dari mereka yang dapat beradaptasi hingga dapat hidup dalam tekanan oksigen yang lebih rendah dibandingkan dengan bentuk yang sama yang hidup di habitat berpasir. Taksa meiofauna interstisial yang mampu beradaptasi di semua habitat adalah Nematoda. Menurut Vanaverbeke et al. (2003), Nematoda mempunyai bentuk tubuh yang dapat beradaptasi pada kondisi sedimen yang miskin oksigen (anaerob) dengan labirin interstisial dan mampu memanfaatkan semua tipe mikroorganisme sebagai makanannya. Adaptasi yang umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat pengangkut (misalnya, hemoglobin) yang dapat terus-menerus mengangkut oksigen dengan konsentrasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada meiofauna interstisial yang lain (Nybakken & Bertness 2005). Selain Nematoda, Copepoda juga melimpah dan merupakan taksa meiofauna interstisial yang khas pada semua habitat sedimen (Coull 1988; Rodriguez et al. 2001).
177
Meiofauna interstisial yang hidup di lingkungan yang substratnya sering mengalami reorganisasi akan menghadapi kemungkinan terbentur pada saat butiran pasir saling bertumbukan. Sebagai respon terhadap hal itu, meiofauna interstisial mengembangkan berbagai tipe alat untuk memperkuat dinding tubuhnya. Misalnya, kerangka spikula yang dimiliki oleh Ciliata dan Turbellaria, sementara Gastrotricha memiliki perisasi dari sisik, sedangkan Nematoda mengandalkan kutikula yang tebal dan berat. Bagi meiofauna interstisial yang tidak memiliki perisai pelindung, mereka mengembangkan kemampuan dapat cepat memperpanjang atau memperpendek tubuh, dan memungkinkannya menghindari himpitan dari butiran pasir (Nybakken & Bertness 2005). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meiofauna interstisial yang hidup di habitat sedimen berpasir merupakan penghuni bergerak bebas. Hal ini berkaitan dengan keadaan lingkungan yang begitu dinamis. Meiofauna interstisial yang hidup di lingkungan dinamis (habitat berpasir) memiliki bentuk tubuh lebih pipih dan lebih memanjang, seperti Polychaeta, Ciliata dan Oligochaeta, sehingga lebih memungkinkan baginya untuk hidup di ruangan antarbutiran sedimen yang sempit, dan luas permukaannya makin besar untuk melekatkan diri pada butiran pasir. Punch et al. (2002) mengatakan bahwa genus meiofauna interstisial yang menempati substrat kasar (pasir) cenderung memiliki bentuk tubuh pipih dan bergerak ke dalam lapisan sedimen melalui celah yang sempit, memiliki kelenjer perekat untuk melekatkan diri pada butiran pasir dan mereka akan cenderung mempunyai jumlah telur yang lebih rendah. Gastrotricha juga mempunyai alat pelekat untuk menempelkannya pada butiran pasir. Copepoda dan Tardigrada mempunyai alat keseimbangan (stratokis) untuk mendeteksi gravitasi. Dengan demikian, ia dapat membedakan atas dan bawah. Alat indria ini membuat meiofauna interstisial mampu memutuskan dengan cepat harus bergerak ke arah mana pada saat resuspensi. Oleh sebab itu, meiofauna interstisial akan kembali ke substrat berpasir. Adaptasi ini penting artinya dalam mempertahankan hidup, karena hal itu memungkinkan organisme meiofauna interstisial tetap berada di butiran pasir pada saat resuspensi oleh arus. Dari uraian di atas, maka perbedaan tipe habitat yang secara ekologis membawa konsekuensi berupa adanya perbedaan daya dukung habitat terhadap
178
jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial mengindikasikan bahwa faktor tipe habitat berdasarkan kedalaman sedimen berperanan penting dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak. Terkait dengan pengaruh kedalaman sedimen terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial berdasarkan tipe habitat, maka hasil analisis varians (Lampiran 38) mengindikasikan bahwa rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada keenam kedalaman sedimen saling berbeda signifikan (F=170.8538, F=l 10.5920 dan p<0.05). Oleh karena nilai p<0.05, maka faktor kedalaman sedimen berdasarkan tipe habitat ternyata memberikan pengaruh signifikan terhadap beda nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 95%. Artinya, perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan tipe habitat berpengaruh signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Secara ekologis dapat dijelaskan bahwa adanya perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan tipe habitat dapat menyebabkan: 1) adanya perbedaan dalam hal nilai kandungan bahan organik (TOC sedimen), Eh sedimen dan tingkat kebasahan sedimen yang dapat membawa konsekuensi berupa adanya perbedaan daya dukung habitat terhadap jumlah genus meiofauna interstisial; dan 2) adanya perbedaan dalam hal sumberdaya makanan, peluang adanya predator dan kompetitor yang dapat membawa konsekuensi berupa adanya perbedaan daya dukung habitat terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial. Hal ini berarti bahwa kedalaman sedimen berdasarkan tipe habitat ternyata memberikan pengaruh signifikan terhadap beda jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dengan kata lain, kedalaman sedimen berperan dalam menentukan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang ada di suatu habitat. Berkenaan dengan adanya perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan tipe habitat yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap jumlah genus meiofauna interstisial yang signifikan (p<0.05), maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 38) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah genus meiofauna interstisial: 1) di kedalaman 0-5 cm saling berbeda signifikan dengan setiap
179
kedalaman lainnya; 2) di kedalaman 5-10 cm berbeda dengan kedalaman 0-5 cm, 15-20 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm; dan 3) di kedalaman 10-15 cm berbeda dengan kedalaman 0-5 cm, 15-20 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm. Sehubungan dengan adanya perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan tipe habitat yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan, maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 38) menunjukkan adanya kedalaman sedimen yang berbeda signifikan (p<0.05) dengan kedalaman sedimen lainnya dalam hal nilai rata-rata kelimpahan individu meiofauna interstisial, yaitu: 1) kedalaman sedimen 0-5 cm berbeda dengan setiap kedalaman lainnya; 2) kedalaman 5-10 cm berbeda dengan kedalaman 0-5 cm, 15-20 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm; dan 3) kedalaman 10-15 cm berbeda dengan kedalaman 0-5 cm dan 25-30 cm. Sementara itu, adanya kelompok kedalaman sedimen yang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05) dalam hal daya dukung terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka secara ekologis mengindikasikan adanya kemiripan dalam hal berbagai variabel ekologis yang dapat menentukan kehadiran meiofauna interstisial dalam habitatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambahnya kedalaman sedimen, maka rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin bertambahnya kedalaman sedimen, maka kondisi habitat semakin tidak menguntungkan bagi keberadaan meiofauna interstisial. Kondisi habitat yang tidak menguntungkan bagi kehidupan meiofauna interstisial ini dicirikan oleh: 1) rendahnya nilai Eh sehingga sedimen berada dalam kondisi tereduksi; 2) rendahnya kandungan oksigen bahkan tidak ada sama sekali; 3) tingginya kandungan HiS sehingga bersifat toksik bagi meiofauna interstisial; dan 4) menurunnya atau miskinnya bahan makanan bagi meiofauna interstisial. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka penurunan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen diduga kuat disebabkan oleh adanya penurunan kandungan oksigen dalam lapisan sedimen tersebut. Indikator yang dapat digunakan sebagai petunjuk tentang adanya penurunan kandungan oksigen ini didasarkan pada
180
penurunan nilai Eh sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Biasanya, nilai Eh sedimen dapat dipakai untuk menilai adanya kandungan oksigen di dalam sedimen (Golterman 1990; Libes 1992; Giere 1993; Kester 2001; Barnes & Hughes 2004). Di samping faktor oksigen, faktor lain yang juga diduga kuat ikut memberikan kontribusi terhadap penurunan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial adalah penurunan jumlah bahan makanan bagi meiofauna interstisial, seperti mikroalga (diatom), bakteri, protozoa, detritus, dan bahan organik. Penurunan jumlah bahan makanan ini (khususnya pakan hidup), selain disebabkan oleh penipisan oksigen, juga disebabkan oleh adanya proses penambatan bertahap oleh sedimen beserta unsur kehidupan (Giere 1993), termasuk meiofauna interstisial yang ada di dalamnya. Ini berarti bahwa bahan makanan tersebut terjebak atau terperangkap di lapisan atasnya secara bertahap. Hal ini membawa konsekuensi pada berkurangnya jumlah bahan makanan yang terdapat di dalam air interstisial yang masih mengalir ke lapisan bawah. Dengan kata lain, jumlah bahan makanan berkurang sejalan dengan bertambahnya kedalaman sedimen. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa penurunan jumlah bahan makanan yang sejalan dengan meningkatnya kedalaman sedimen dapat menurunkan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial sejalan dengan meningkatnya kedalaman sedimen tersebut. Terkait dengan kedalaman sedimen, maka taksa Nematoda selalu lebih melimpah daripada Copepoda dan kedua taksa ini lebih padat ditemukan pada lapisan atas di sedimen lumpur. Copepoda lebih melimpah ditemukan pada kedalaman sedimen 0-5 cm, sedangkan Nematoda lebih melimpah pada kedalaman sedimen 5-10 cm. Tingginya kelimpahan total meiofauna interstisial di lapisan permukaan sedimen diduga kuat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) keberadaan pertumbuhan mikroalga bentik yang tinggi di lapisan permukaan sedimen; 2) kemungkinan banyak genus meiofauna interstisial yang cocok dengan sumber makanannya; dan 3) kelimpahan yang lebih tinggi dekat permukaan berhubungan dengan ketersediaan makanan (Gwyther & Fairweather 2002). Walaupun demikian, ada keterangan lain yang menjelaskan bahwa Nematoda dan Copepoda lebih melimpah dekat permukaan yang disebabkan oleh kondisi lapisan
181
sedimen yang lebih dalam lebih anaerob (Hodda & Nicholas 1985), sehingga organisme ini lebih cenderung untuk hidup di lapisan atas. Meiofauna interstisial taksa Copepoda tampaknya lebih terbatas pada permukaan sedimen dan tidak toleran terhadap penurunan kondisi lumpur yang lebih dalam, sedangkan Nematoda lebih toleran terhadap penurunan kondisi lingkungan dalam sedimen dan tidak terbatas pada permukaan sedimen. Keberadaan Nematoda tampaknya kurang dipengaruhi oleh perbedaan kedalaman sedimen. Kelimpahan Nematoda ini lebih dalam dan lebih stabil, karena sebagian besar dapat memperlihatkan perbedaan dalam kelimpahan di antara pemakan alga seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Platt (1981) diacu dalam Hodda dan Nicholas (1985) mengatakan bahwa Nematoda lebih toleran terhadap penurunan kondisi lingkungan dan kurang dipengaruhi oleh lapisan sedimen yang lebih dalam. Hal ini menunjukkan bahwa mobilitas vertikal Nematoda relatif tinggi. Kelimpahan individu meiofauna interstisial semakin berkurang atau bahkan tidak ditemukan lagi dengan semakin bertambahnya kedalaman sedimen. Karena keterbatasan mobilitas meiofauna interstisial dan tidak dapat menghindari kondisi yang merugikan atau tidak cocok sehingga mereka terekspos pada bahan organik yang terakumulasi dalam sedimen dan konsentrasi oksigen yang rendah dalam air dekat dasar. Pada kondisi yang demikian, meiofauna interstisial dapat mencerminkan kondisi lingkungan lokal di mana mereka hidup. Dalam kaitannya dengan pengaruh interaksi antara faktor tipe habitat dengan kedalaman sedimen terhadap komunitas meiofauna interstisial, maka hasil analisis varians (Lampiran 38) menunjukkan bahwa interaksi antara faktor tipe habitat dengan faktor kedalaman sedimen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus (F=6.8082 dan p<0.05) dan kelimpahan individu meiofauna interstisial (F=5.3825 dan p<0.05) dalam kawasan perairan Selat Dompak. Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi antara faktor tipe habitat dengan kedalaman sedimen berperanan penting dalam menentukan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial dalam suatu habitat. Dengan kata lain, adanya interaksi antara faktor tipe habitat dengan faktor kedalaman sedimen menunjukkan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di dalam suatu habitat merupakan hasil pengaruh bersama dari kedua faktor tersebut.
182
Dengan adanya pengaruh interaksi ini, maka profil jumlah genus dan kelimpahan individu individu meiofauna interstisial sebagai hasil dari pengaruh parsial dari faktor tipe habitat dapat dimodifikasi oleh adanya pengaruh tingkat kedalaman sedimen. Sebaliknya, profil jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial sebagai hasil dari pengaruh parsial dari faktor tingkat kedalaman sedimen dapat pula dimodifikasi oleh adanya pengaruh tipe habitat. Pengaruh interaksi antara faktor tipe habitat dengan tingkat kedalaman sedimen terhadap jumlah genus meiofauna interstisial dapat dijumpai pada tipe habitat A3 (padang lamun sangat jarang), Bl (mangrove Rhizophora sp.) dan C (bare area). Di ketiga tipe habitat tersebut jumlah genus meiofauna interstisial tidak selalu menurun sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen. Hal ini terjadi kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 1) adanya kondisi spesifik di setiap stasiun; 2) adanya proses-proses ekologis yang peluang dan intensitas kejadiannya tidak sama di setiap stasiun; dan 3) adanya hubungan interaktif di antara berbagai genus meiofauna interstisial. Faktor-faktor di atas menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berkenaan dengan kondisi spesifik, maka masing-masing stasiun memiliki kondisi tertentu yang menjadi ciri khas dari setiap stasiun tersebut. Kondisi lingkungan di tipe habitat A3 (padang lamun sangat jarang) dicirikan oleh pengkayaan bahan organik yang ditandai dengan tingginya rasio Nematoda/Copepoda, yaitu 10:1. Sementara itu, kondisi habitat di tipe habitat Bl (mangrove Rhizophora sp.) diduga kuat adanya zat tannin yang tinggi, sedangkan kondisi di tipe habitat C (bare area} dicirikan oleh gelombang dan arus yang kuat. Adanya kondisi-kondisi spesifik yang dimiliki oleh masing-masing stasiun tersebut dapat mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial. Berkaitan dengan adanya proses-proses ekologis yang peluang dan intensitas kejadiannya tidak sama di setiap tipe habitat, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah genus meiofauna interstisial. Proses-proses ekologis yang dimaksud adalah proses agitasi sedimen dan proses migrasi vertikal meiofauna interstisial. Proses agitasi sedimen dapat disebabkan oleh adanya turbulensi air dan adanya proses bioturbasi yang umumnya dilakukan oleh makrozoobenthos. Adanya turbulensi air sangat bergantung pada bentuk atau
183
geomorfologi pantai yang dapat menentukan tampilan arus, gelombang dan pasang surut lautan. Setiap stasiun memiliki bentuk pantai yang berbeda, sehingga peluang dan intensitas terjadinya turbulensi air juga berbeda. Hal ini dapat memberikan konsekuensi terhadap peluang dan intensitas terjadinya agitasi sedimen yang tidak sama di setiap stasiun. Dalam hubungannya dengan proses bioturbasi, maka proses ini umumnya dilakukan oleh makrozoobenthos atau makrofauna (epifauna, infauna dan ikanikan demersal) yang dapat mengaduk-aduk sedimen dalam upayanya mencari makan (Coull et al. 1995; Currie & Parry 1996). Proses bioturbasi dapat mempengaruhi kehadiran genus meiofauna interstisial terutama pada habitat yang kepadatan makro-epifauna dan makro-infaunanya cukup tinggi (Giere 1993; De Deckere et al. 2001). Peluang dan intensitas terjadinya proses bioturbasi ini di setiap tipe habitat tidaklah sama, sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah genus di setiap stasiun tersebut. Terkait dengan proses migrasi vertikal meiofauna interstisial yang peluang dan intensitas kejadiannya tidak sama di setiap tipe habitat, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah genus meiofauna interstisial di setiap stasiun tersebut. Terkait dengan adanya hubungan interaktif di antara berbagai genus meiofauna interstisial atau adanya hubungan biotik yang bersifat interaktif, maka kehadiran genus meiofauna interstisial di suatu habitat lebih banyak ditentukan oleh keberadaan genus lain bila dibandingkan dengan faktor habitat. Oleh sebab itu, suatu genus meiofauna interstisial dapat hadir di suatu habitat meskipun kondisi habitatnya kurang mendukung bagi genus meiofauna interstisial tersebut. Sebaliknya, suatu genus meiofauna interstisial tidak dapat hadir di suatu habitat walaupun kondisi habitatnya mendukung bagi genus tersebut. Dengan adanya hubungan biotik yang bersifat interaktif di dalam suatu habitat, maka hal ini menyebabkan beberapa genus meiofauna interstisial dapat saling menerima habitat lainnya yang dihuni oleh genus meiofauna interstisial yang berbeda. Di dalam suatu habitat, genus yang satu dengan genus lainnya saling berasosiasi dan bergabung serta hidup secara bersama untuk membentuk komunitas meiofauna interstisial. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan interaktif yang berupa hubungan simbiosis mutualisme, simbiosis komensalisme,
184
kompetisi (persaingan) dan predasi (pemangsaan) di antara berbagai genus meiofauna interstisial di dalam habitat tersebut (Webber & Thurman 1991; Mueller & Huynh 1994; Tilman 1996; Nybakken & Bertness 2005). Oleh sebab itu, dengan adanya hubungan interaktif ini, beberapa genus meiofauna interstisial dapat ditemukan secara bersamaan di dalam habitat yang sama (Giere 1993), sementara di habitat lain genus meiofauna interstisial tersebut tidak dijumpai. Hal ini dapat membawa konsekuensi berupa terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di suatu habitat dengan habitat lainnya. Pengaruh interaksi antara faktor tipe habitat dengan tingkat kedalaman sedimen terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial juga dijumpai di tipe habitat A3, Bl dan C. Di setiap tipe habitat tersebut kelimpahan individu meiofauna interstisial tidak selalu menurun sejalan dengan peningkatan kedalaman sedimen. Hal ini diduga kuat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 1) adanya kondisi khusus yang dimiliki oleh setiap tipe habitat; 2) adanya proses agitasi sedimen; 3) adanya proses migrasi vertikal meiofauna interstisial dalam kaitannya dengan stratifikasi sedimen berdasarkan pada kedalaman sedimen; dan 4) adanya predasi dan kompetisi yang mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial.
Pengaruh Musim dan Kedalaman Sedimen terhadap Komunitas Meiofauna Interstisial Terkait dengan pengaruh musim terhadap komunitas meiofauna interstisial berdasarkan kedalaman sedimen, maka hasil analisis varians (Lampiran 39) mengindikasikan bahwa rata-rata jumlah genus meiofauna interstisial pada keempat musim saling berbeda signifikan (F=5.5904 dan p<0.05), dan rata-rata kelimpahan individunya saling berbeda signifikan (F=3.1040 dan p<0.05). Artinya, perbedaan musim berdasarkan kedalaman sedimen berpengaruh signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dalam kaitannya dengan adanya perbedaan musim yang membawa konsekuensi pada perbedaan jumlah genus meiofauna interstisial yang signifikan (p<0.05), maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 39) menunjukkan adanya pasangan musim yang memiliki perbedaan rata-rata jumlah genus meiofauna
185
interstisial yang signifikan, yaitu: 1) musim Timur saling berbeda dengan musim Barat; dan 2) musim Peralihan I saling berbeda dengan musim Barat. Sehubungan dengan adanya perbedaan musim yang membawa konsekuensi pada perbedaan rata-rata kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan, maka hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan individu meiofauna interstisial pada musim Timur berbeda signifikan dengan musim Barat (p<0.05). Sementara, pasangan musim lainnya memiliki perbedaan rata-rata kelimpahan individu yang tidak signifikan (p>0.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan musim berdasarkan kedalaman sedimen dapat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Hal ini berarti bahwa faktor musim berperanan penting dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial dalam suatu habitat berdasarkan kedalaman sedimen. Dalam kaitannya dengan pengaruh kedalaman sedimen terhadap komunitas meiofauna interstisial berdasarkan musim, maka hasil analisis varians (Lampiran 39) mengindikasikan bahwa komunitas meiofauna interstisial pada pada keenam kedalaman sedimen berdasarkan musim saling berbeda signifikan (F=71.5510, F=52.5778 dan p<0.05) pada taraf kepercayaan 95%. Artinya, perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan musim berpengaruh signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial. Terkait dengan adanya perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan musim yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap jumlah genus meiofauna interstisial yang signifikan (p<0.05), maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 39) menunjukkan bahwa: 1) kedalaman sedimen 0-5 cm saling berbeda signifikan dengan setiap kedalaman sedimen lainnya; dan 2) kedalaman sedimen 5-10 cm saling berbeda dengan kedalaman sedimen 0-5 cm, 15-20 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm. Sementara, pasangan kedalaman sedimen lainnya memiliki perbedaan rata-rata jumlah genus meiofauna interstisial yang tidak signifikan (p>0.05). Berkenaan dengan adanya perbedaan kedalaman sedimen berdasarkan musim yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan (p<0.05), maka hasil
186
uji lanjut Tukey (Lampiran 39) menunjukkan bahwa rata-rata kelimpahan individu meiofauna interstisial di kedalaman 0-5 cm berbeda dengan setiap kedalaman lainnya, dan di kedalaman 5-10 cm berbeda dengan kedalaman 0-5 cm, 20-25 cm dan 25-30 cm. Sementara, pasangan kedalaman sedimen lainnya memiliki perbedaan rata-rata kelimpahan individu meiofauna interstisial yang tidak saling signifikan (p>0.05). Dari uraian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa adanya perbedaan yang signifikan di antara kedalaman sedimen berdasarkan musim dan di antara musim berdasarkan kedalaman sedimen dalam hal daya dukung terhadap jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial adalah sangat berkaitan dengan adanya perbedaan berbagai variabel ekologis di antara kedalaman sedimen dan di antara musim, seperti adanya perbedaan nilai Eh sedimen dan oksigen terlarut, serta adanya perbedaan sumberdaya makanan di antara kedalaman sedimen, seperti perbedaan kandungan bahan organik (TOC sedimen) dan mungkin juga oleh perbedaan jenis dan kelimpahan bakteri, serta perbedaan kandungan detritus dan deposit. Dengan demikian, adanya perbedaan kedalaman sedimen dapat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial. Artinya, faktor kedalaman sedimen berdasarkan musim berperanan penting dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial dalam suatu habitat. Terkait dengan pengaruh interaksi antara faktor musim dengan faktor tingkat kedalaman sedimen terhadap komunitas meiofauna interstisial, maka hasil analisis varians (Lampiran 39) menunjukkan bahwa interaksi antara faktor musim dengan faktor kedalaman sedimen tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial dalam kawasan perairan Selat Dompak (F=1.9587, F=1.7362 dan p>0.05). Oleh karena nilai p>0.05, maka tidak ada interaksi antara faktor musim dengan faktor tingkat kedalaman sedimen yang menyebabkan perbedaan jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial. Artinya, interaksi antara faktor musim dengan faktor kedalaman sedimen tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap beda nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial. Analisis di atas mengindikasikan bahwa interaksi antara faktor musim dengan faktor kedalaman sedimen kurang berperanan penting dalam menentukan
187
jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial dalam suatu habitat. Dengan tidak adanya pengaruh interaksi dari kedua faktor ini, maka profil jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial sebagai hasil pengaruh temporal dari faktor musim tidak dapat dimodifikasi oleh adanya pengaruh spasial dari faktor kedalaman sedimen. Sebaliknya, profil jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial sebagai hasil dari pengaruh spasial dari faktor kedalaman sedimen juga tidak dapat dimodifikasi oleh adanya pengaruh temporal dari faktor musim. Jadi, hasil penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada interaksi antara faktor musim dengan faktor kedalaman sedimen yang menyebabkan perbedaan jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial secara signifikan di dalam suatu habitat.
Peranan Padang Lamun bagi Komunitas Meiofauna Interstisial Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kerapatan lamun Enhalus acoroides bervariasi di stasiun Al, A2 dan A3, masing-masingnya adalah 277 tegakan/m2, 78 tegakan/m2 dan 27 tegakan/m2. Dalam kaitannya dengan pengaruh padang lamun terhadap komunitas meiofauna interstisial, maka hasil analisis varians menunjukkan bahwa rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial antar lokasi padang lamun saling memiliki perbedaan yang signifikan (F=12.6638, F=4.5122 dan p<0.05) (Lampiran 40). Artinya, perbedaan lokasi padang lamun berpengaruh signifikan terhadap terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dengan kata lain, padang lamun berperan dalam menentukan komunitas meiofauna interstisial di habitat tersebut. Terkait dengan adanya perbedaan konsisi lokasi padang lamun yang membawa konsekuensi pada perbedaan daya dukung habitat terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka hasil uji lanjut Tukey (Lampiran 40) menunjukkan adanya lokasi padang lamun yang berbeda signifikan (p<0.05) dengan lokasi padang lamun lainnya dalam hal nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, yaitu stasiun Al saling berbeda signifikan dengan stasiun A2 dan A3. Nilai rata-rata jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial tertinggi terdapat di stasiun Al (padang lamun rapat/lebat), masing-masingnya sebesar 99.7500 genus dan
188
238.2500 individu, sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat di stasiun A3 yaitu sebesar 33.5000 genus dan 100.2500 individu. Jika dilihat dari nilai kerapatan lamunnya, maka nilai kerapatan lamun di lokasi penelitian memegang peranan penting dalam mempengaruhi komunitas meiofauna interstisial. Variasi jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di lokasi padang lamun lebih dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi padang lamunnya. Terkait dengan peranan padang lamun terhadap komunitas meiofauna interstisial, maka hal ini dapat dijelaskan bahwa eksistensi meiofauna interstisial di dalam lapisan sedimen dan permukaan sedimen di ekosistem padang lamun dipengaruhi oleh keberadaan lamun dalam hal kerapatannya. Kerapatan lamun yang tinggi dapat menunjang kehadiran dan kehidupan meiofauna interstisial di dalam ekosistem tersebut. Secara ekologis, hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dikatakan demikian karena kerapatan lamun yang tinggi dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap kondisi habitatnya, yang pada akhirnya sangat berarti bagi meiofauna interstisial, yaitu: 1) terciptanya kondisi sedimen atau habitat yang stabil; 2) tersedianya makanan yang cukup bagi meiofauna interstisial; dan 3) tersuplainya oksigen ke dalam lapisan sedimen. Kondisi yang demikian dapat menyediakan tiga subhabitat bagi kehidupan meiofauna, yaitu: 1) permukaan daun lamun; 2) permukaan sedimen dan deposit detritus atau serasah yang terkumpul di dasar vegetasi lamun; dan 3) ruang-ruang interstisial di dalam sedimen. Perlu diketahui bahwa kerapatan lamun, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang tertinggi terdapat di stasiun Al. Terkait dengan kestabilan sedimen atau habitat, maka sedimen atau habitat di stasiun Al relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan dua stasiun lainnya (stasiun A2 dan A3). Relatif lebih stabilnya sedimen di stasiun Al disebabkan oleh adanya vegetasi lamun yang sangat rapat dan memiliki daun yang lebat sehingga dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, serta menyebabkan perairan di stasiun ini menjadi tenang. Rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan menggabungkan sedimen, sehingga meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan pada saat yang sama menjadikan air lebih jernih.
189
Di samping itu, lebatnya vegetasi lamun juga dapat bertindak sebagai perangkap sedimen dan stabilisator dasar perairan serta melindungi pantai dari abrasi. Selain itu, akar-akar lamun yang cukup rapat dapat melindungi sedimen, menjaga kestabilan lapisan sedimen dan mempertahankan kondisi fisik habitat dari pengaruh arus yang kuat. Dengan demikian, padang lamun yang rapat dan lebat dapat menciptakan kondisi habitat yang lebih stabil dan dapat mendukung keberadaan meiofauna interstisial serta memberikan perlindungan bagi meiofauna interstisial dan lebih menjamin kelangsungan hidupnya untuk dapat tumbuh dan berkembang. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap dinamika komunitas meiofauna interstisial. Dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan, maka hamparan padang lamun yang sangat rapat atau padat dan lebat dapat memberikan kontribusi terhadap ketersediaan makanan yang cukup bagi meiofauna interstisial. Artinya, hamparan padang lamun yang lebat dapat menghasilkan kandungan bahan organik yang tinggi dalam sedimen dan produksi serasah, serta menghasilkan detritus dalam jumlah besar yang merupakan sumber bahan makanan bagi meiofauna interstisial. Kondisi sedimen di stasiun Al yang terdiri atas lumpur berpasir merupakan habitat yang disenangi oleh meiofauna interstisial. Sedimen di stasiun Al ini cenderung mengakumulasi bahan organik, yang berarti cukup tersedia banyak makanan yang potensial bagi meiofauna interstisial. Selain itu, bahan organik juga memberikan akibat ikutan yang dapat menguntungkan bagi meiofauna interstisial, yaitu tumbuh dan berkembangnya bakteri dan jamur serta mikroalga bentik (diatom) yang dapat digunakan oleh meiofauna interstisial sebagai makanannya. Hal ini berarti bahwa cukup tersedia banyak makanan yang potensial untuk meiofauna interstisial penghuni habitat ini. Danovaro dan Gambi (2002) melaporkan bahwa sedimen padang lamun mempunyai kandungan konsentrasi kloropigmen dan biomassa bakteri yang tinggi serta kandungan bahan organik yang tinggi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai rata-rata kandungan bahan organik (TOC dan TOM) di stasiun Al lebih tinggi bila dibandingkan dengan dua stasiun lainnya (stasiun A2 dan A3) pada setiap musim (lihat Lampiran 7). Dalam kaitannya dengan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka meiofauna interstisial mampu
190
memanfaatkan detritus yang berasal dari plankton dan tumbuhan lamun yang mati, bakteri, dan bahan organik yang terakumulasi dalam sedimen atau terkubur/terjebak di sela-sela butiran sedimen sebagai sumber makanannya. Berkaitan dengan suplai oksigen ke dalam lapisan sedimen, maka kerapatan lamun yang tinggi dan lebat dapat menghasilkan oksigen yang ditransportasikan ke dalam lapisan sedimen. Oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis daun lamun kemudian dialirkan ke rimpang dan akar melalui lakunanya. Ini merupakan upayanya untuk meminimalisasi ketergantungan respirasi oksigen oleh akar. Jadi, respirasi oksigen pada akar berasal dari daun dan gradien oksigen ada dari daun ke akar. Sebagian oksigen ini dipakai untuk respirasi akar dan rimpang, sedangkan sisanya dikeluarkan melalui dinding sel ke sedimen (Nybakken & Bertness 2005). Hasil fotosintesis lebih banyak tersimpan pada bagian di bawah sedimen daripada di atas sedimen. Pada umumnya, lamun mengangkut sisa hasil fotosintesis yang berlangsung di daun dan disimpan pada bagian di bawah sedimen (Erftemeijer 1993). Rhizoma berfungsi sebagai gudang penyimpan hasil fotosintesis dan unsur hara, serta dapat digunakan kembali untuk regenerasi bagian lamun yang mati (Erftemeijer 1993; Erftemeijer & Herman 1994), sehingga sedimen berada dalam kondisi aerob (Mines 1991; Burdige 2003). Kemampuan untuk mentransfer oksigen dari daun ke akar ini, memungkinkan akar lamun dapat tumbuh di lingkungan yang tidak ada oksigen (anoxic). Seperti diketahui bahwa akar lamun mensekresikan oksigen ke dalam sedimen, membuat mikrozona beroksigen dan penyerapan nutrien lainnya pada permukaan akar. Oksigen yang masuk ke dalam sedimen dipakai oleh bakteri nitrifikasi dalam proses dekomposisi bahan organik dan siklus nitrogen di padang lamun. Selain itu, oksigen juga digunakan oleh organisme bentik termasuk meiofauna interstisial untuk kebutuhan respirasinya. Namun demikian, dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem padang lamun yang tidak terkendali (di stasiun A3) adalah kerusakan ekosistem padang lamun di lokasi tersebut. Konsekuensi dari hal ini menyebabkan terputusnya mata rantai kehidupan baik antara ekosistem padang lamun dengan ekosistem lainnya maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Kondisi ini akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan meiofauna
191
interstisial yang memanfaatkan keberadaan padang lamun tersebut sebagai habitat dan tempat mencari makan. Karena keberadaan ekosistem padang lamun memegang peranan penting untuk kelangsungan proses ekologi dan hidrologi, maka keberadaan meiofauna interstisial pada perairan pantai akan bergantung pada kondisi ekosistem padang lamun yang merupakan sistem penyangga bagi kehidupan meiofauna interstisial tersebut. Berdasarkan pada variasi genus meiofauna interstisial yang didapat, maka padang lamun merupakan daerah produktif dan memberikan fungsi ekologis bagi kelangsungan hidup meiofauna interstisial, tidak hanya sebagai tempat berlindung dan menempel tetapi juga sebagai sumber makanan. Perlindungan dan stabilitas habitat yang diberikan oleh padang lamun serta karakteristik variabel lingkungan yang ada memungkinkan eksistensi organisme ini di dalam habitatnya. Kehadiran meiofauna interstisial yang melimpah disertai dengan beragamnya jenis meiofauna interstisial pada suatu tipe habitat (stasiun) mencerminkan kelayakan tempat tersebut untuk kehidupan jenis-jenis meiofauna interstisial tertentu dan secara ekologis sangat mendukung perkembangan meiofauna interstisial tersebut. Secara keseluruhan, kerapatan lamun berpengaruh signifikan terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak. Ini berarti bahwa kerapatan lamun yang tinggi membawa konsekuensi pada jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang cenderung meningkat, dan sebaliknya. Jadi, jelas bahwa kerapatan lamun yang tinggi dan lebat dinilai dapat menyediakan habitat yang lebih stabil dan sumberdaya makanan yang cukup bagi meiofauna interstisial serta dapat mensuplai oksigen ke dalam lapisan sedimen. Kondisi yang demikian dapat mendukung keberadaan meiofauna interstisial dan lebih menjamin kelangsungan hidupnya untuk dapat tumbuh dan berkembang di dalam ekosistemnya. Analisis Hubungan Komunitas Meiofauna Interstisial dengan Parameter Fisika-Kimia Perairan Kondisi parameter fisika-kimia perairan dapat mempengaruhi kehadiran atau ketidakhadiran meiofauna interstisial dalam suatu habitat. Eksistensi organisme ini dalam suatu habitat dapat menggambarkan jumlah genus, kelimpahan individu
192
dan distribusinya dalam habitat tersebut yang merupakan fungsi dari berbagai parameter fisika-kimia perairan. Analisis hubungan antara komunitas meiofauna interstisial (variabel dependen) dengan parameter fisika-kimia lingkungan (variabel independen) dilakukan melalui uji regresi linier berganda. Variabel dependen yang dianalisis dalam hal ini adalah jumlah genus dan kelimpahan individu. Sementara, variabel independen dibatasi hanya pada variabel paling utama yang berpengaruh terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial, yaitu TOC, TOM, pH dan Eh sedimen (secara vertikal), serta suhu, kecepatan arus, salinitas, DO, pH (air dan sedimen), TOM (air dan sedimen), TOC sedimen dan Eh sedimen (secara horizontal). Dibatasinya hanya beberapa variabel independen yang dianalisis dalam regresi linier berganda dilandasi oleh beberapa alasan. Pertama, aktivitas meiofauna interstisial dapat berlangsung optimal jika keberadaan variabel-variabel tersebut mendukung kehidupan organisme ini. Kedua, gradien jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial sangat ditentukan oleh pengaruh dari variabel-variabel di atas. Alasan yang terakhir, variabel-variabel tersebut merupakan variabel yang paling banyak dijelaskan dalam berbagai referensi. Oleh sebab itu, variabel-variabel yang disebutkan di atas merupakan variabel utama yang berpengaruh terhadap komunitas meiofauna interstisial. Dalam menjelaskan keterkaitannya dengan meiofauna interstisial cukup hanya dengan melihat keeratan hubungan (koefisien determinasi, R2) berdasarkan korelasi Pearson's. Parameter fisika-kimia yang lain, seperti, kecerahan, TSS, nitrat dan fosfat (air dan sedimen), N-total dan P-total sedimen, dan fraksi sedimen, keberadaannya lebih berperan dalam mengkondisikan lingkungan perairan di mana organisme ini melakukan aktivitas secara ekologi. Walaupun nilai variabel-variabel ini bervariasi secara spasial dan temporal, namun tidak menghalangi meiofauna interstisial untuk melakukan aktivitas di lingkungannya, selama variabel utama mendukung kehadiran dan kelangsungan hidup organisme ini. Untuk mengetahui variabel dominan atau variabel yang paling berpengaruh terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak, baik secara spasial maupun temporal, dilakukan melalui uji regresi linier berganda. Verifikasi variabel dominan dan penjelasannya secara
193
komprehensif berdasarkan stasiun (spasial) dan musim (temporal) masih jarang, bahkan belum pernah dilakukan khususnya di perairan laut Indonesia. Pengujian dilakukan di enam stasiun (Al, A2, A3, Bl, B2 dan C) pada setiap musim. Hubungan Jumlah Genus Meiofauna Interstisial dengan Parameter Kimia Sedimen secara Vertikal Hasil analisis regresi berganda tentang hubungan komunitas meiofauna interstisial dengan parameter kimia sedimen secara vertikal menunjukkan bahwa parameter sedimen yang paling berpengaruh (variabel dominan) terhadap jumlah genus meiofauna interstisial ternyata adakalanya sama dan berbeda di setiap stasiun pada musim yang berbeda (Tabel 13). Hal ini mengindikasikan keberadaan variabel dominan di dalam suatu habitat sangat berperan dalam mempengaruhi perubahan jumlah genus meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak. Di stasiun Al (lokasi padang lamun rapat/lebat) pada musim Timur, dihasilkan hubungan yang signifikan (p<0.05) antara jumlah genus meiofauna interstisial dengan variabel TOM dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=0.9151) (Tabel 13). Artinya, sekitar 91.51% variasi jumlah genus meiofauna interstisial dipengaruhi sangat kuat oleh variabel TOM pada musim Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel ini lebih dominan mempengaruhi dinamika jumlah genus meiofauna interstisial secara vertikal di perairan Selat Dompak. Hasil verifikasi variabel yang berpengaruh terhadap jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Al didapatkan nilai probabilitas variabel sebesar 0.0421. Pada musim Peralihan I di stasiun Al, diperoleh hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) antara jumlah genus meiofauna interstisial dengan parameter lingkungan dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=0.8927) (Tabel 13). Ini berarti, sekitar 89.27% variasi jumlah genus meiofauna interstisial dipengaruhi sangat kuat oleh variabel Eh pada musim ini. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua variabel ini lebih dominan mempengaruhi dinamika jumlah genus meiofauna interstisial secara vertikal di perairan Selat Dompak. Hasil verifikasi variabel dominan yang berpengaruh terhadap jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Al pada musim Peralihan I didapatkan nilai probabilitasnya sebesar 0.0007 (p<0.01). Uji Anova yang sangat signifikan menunjukkan bahwa model regresi dapat dipakai untuk memprediksi jumlah genus meiofauna interstisial atau
194
variabel Eh sedimen berpengaruh sangat signifikan terhadap jumlah genus meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 99% pada musim Peralihan I. Tabel 13. Model regresi, koefisien determinasi dan variabel yang dominan mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial secara vertikal di setiap stasiun pada setiap musim. Musim/ Stasiun Timur Al A2
Variabel ^oeffen Koefisien _ . Korelasi Dominan , Determinasi ,. va lu e ^
F
Sig. Model
Model Regresi
Sig. Variabel
TO M pH
0.9566 0.9844
0.0260 0.0002
0.9151 0.9690
16.1676 0.0247 7= -5052.9594 + 79.4987JT 125.0503 0.0004 7= -1723.2444+ 232.6S29X
0.0421* 0.0004**
Eh TOC TOC
0.9960 0.9089 0.9861
0.0012 0.0060 0.0038
0.9920 0.8261 0.9724
187.6482 0.0007 7= 136.8161 +0.3033JT 19.0092 0.0121 7= -149.2306 + 39.7549,3: 52.8907 0.0046 7= 689.5686 +100.1 194X
0.0014** 0.0121* 0.0091**
TO Peralihan I M Al Eh A2 TOC
0.9600
0.0012
0.9216
47.0734 0.0024 7= -128.0230 + 90.623 \X
0.0024**
0.9448 0.8304
0.0022 0.0203
0.8927 0.6896
102.2414 0.0010 7=610.1453 + 1.8979^ 8.8870 0.0407 7= -192.5622 + 55.1032X
0.0007** 0.0407*
A3 Bl B2 C
A3
pH
0.9774
0.0004
0.9553
85.4480 0.0008 7= ^136.2051 +66.1538JT
0.0008**
Bl B2
TO M Eh
0.9921 0.9942
0.0034 0.0068
0.9843 0.9884
41.9249 0.0234 7= -782.5887 + 3.75703: 57.1937 0.0172 7= -1047.2412 + 0.34203:
0.0350* 0.0439*
C
Eh
0.8743
0.0114
0.7644
12.9788 0.0227 7= 136.1333 + 0.530OT
0.0227*
Barat Al A2
Eh Eh
0.9799 0.9878
0.0063 0.0025
0.9602 0.9758
36.2168 0.0079 7= 598.3971 +0.9184X 60.4891 0.0038 7= 948.5 158 + 0.64S6X
0.0117* 0.0057**
A3
pH
0.9493
0.0019
0.9012
36.4647 0.0038 7= -215.8667 + 33.6667JT
0.0038**
Bl B2 C
Eh TO M TOC
0.9181 0.9572 0.8420
0.0049 0.0351 0.0177
0.8429 0.9162 0.7090
21.4648 0.0098 7=81.2356 + 0.2237^ 16.3881 0.0243 7=504.3766+13.77103: 9.7458 0.0355 7= -7.9868 + 39.0992^
0.0098** 0.0238* 0.0355*
Peralihan II Al Eh A2 TOC
0.7884 0.9819
0.0312 0.0031
0.6216 0.9641
6.5722 0.0374 7= 136.1948 + 1.136OT 278.2125 0.0014 7= -796.3387 + 160.6889JT
0.0374* 0.0020**
A3
TO M Eh
0.9217
0.0045
0.8495
22.5864 0.0090 7= -59.3803 + 2.393 &T
0.0090**
Bl
0.8071
0.0261
0.6514
7.4824 0.0432 7= 27.8442 + 0.0958^
0.0432*
B2
TOC
0.8868
0.0092
0.7864
14.7262 0.0185 7= -174.8563 +40.4967JT
0.0185*
C
pH
0.9825
0.0033
0.9653
41.8072 0.0064 7= -1901.8930 + 278.3 165,3:
0.0330*
Keterangan : Al A2 A3
= Lamun rapat/lebat = Lamun kurang rapat/lebat = Lamun sangat jarang
* = signifikan (p< 0.05) = Bl = Mangrove Rhizophora sp. ** = sangat signifikan (p<0.01) = B2 Mangrove Sonneratia sp. C Bare area
Pada musim Barat dan Peralihan II di stasiun Al, diperoleh pula hubungan yang signifikan (p<0.05) antara jumlah genus meiofauna interstisial dengan parameter lingkungan dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=0.9602) dan kuat (R2=0.6216) (Tabel 12). Artinya, sekitar 96.02% dan 62.16% variasi jumlah genus meiofauna interstisial dipengaruhi sangat kuat dan kuat oleh
195
variabel Eh pada musim Barat dan Peralihan II. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel ini lebih dominan mempengaruhi dinamika jumlah genus meiofauna interstisial secara vertikal di perairan Selat Dompak. Hasil verifikasi variabel dominan yang berpengaruh terhadap jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Al pada kedua musim ini didapatkan nilai probabilitas (p-value) masingmasingnya adalah 0.0117 dan 0.0374. Uji Anova yang signifikan (p<0.05) menunjukkan bahwa model regresi dapat dipakai untuk memprediksi jumlah genus meiofauna interstisial pada kedua musim tersebut atau variabel Eh sedimen berpengaruh signifikan terhadap jumlah genus meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 95%, baik pada musim Barat maupun Peralihan II. Adanya variabel dominan yang sama, yaitu Eh di stasiun Al pada tiga musim yang berbeda (musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II) merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Dikatakan demikian, karena nilai variabel ini pada musim Peralihan I, Barat berbeda signifikan dengan musim Peralihan II di stasiun yang sama. Variabel Eh sedimen pada musim Barat memiliki nilai terendah, sedangkan pada musim Peralihan II mempunyai nilai tertinggi (lihat Lampiran 7 dan 18). Adanya perubahan nilai Eh yang cenderung meningkat dibandingkan musim sebelumnya mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial yang cenderung meningkat pula. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya nilai variabel tersebut menjadikannya lebih dominan mempengaruhi terjadinya dinamika jumlah genus meiofauna interstisial dari musim Barat ke musim Peralihan II di stasiun Al. Di stasiun A2 (lokasi padang lamun kurang rapat/lebat) memiliki hubungan yang signifikan (p<0.05) antara jumlah genus meiofauna interstisial dengan variabel kimia sedimen. Keeratan hubungan yang dihasilkan adalah sangat kuat pada musim Timur, Barat dan Peralihan II yang ditandai dengan nilai koefisien determinasi (R2), masing-masingnya adalah 96.90%, 97.58% dan 96.41% (label 13), sedangkan pada musim Peralihan I mempunyai keeratan hubungan yang melemah (R2=68.96%). Hasil verifikasi variabel dominan di stasiun A2 menunjukkan bahwa jumlah genus meiofauna interstisial sangat signifikan dipengaruhi oleh variabel pH pada musim Timur (p=0.0004), variabel Eh pada musim Barat (p=0.0057) dan variabel TOC pada musim Peralihan II (p=0.0020),
196
sementara pada musim Peralihan I dipengaruhi secara signifikan (p<0.05) oleh variabel TOC (p=0.0407). Dengan mencermati variabel dominan di stasiun A2 pada setiap musim, maka tampak adanya pebedaan variabel dominan yang berpengaruh terhadap jumlah genus meiofauna interstisial pada musim Timur dengan musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II. Dalam Lampiran 7, Nilai pH sedimen pada musim Timur memiliki nilai yang tinggi bila dibandingkan dengan musim lainnya. Tingginya nilai pH sedimen sangat berkaitan dengan tingginya nilai Eh sedimen pada musim ini, sehingga dapat meningkatkan kandungan oksigen yang memungkinkan keberadaan genus meiofauna interstisial di habitatnya. Sementara nilai TOC paling rendah pada musim Peralihan I bila dibandingkan dengan musim lainnya, kemudian nilainya meningkat pada musim Peralihan II. Berfluktuasinya nilai TOC dapat mempengaruhi kehidupan genus meiofauna interstisial, sebab bahan organik ini merupakan sumber makanan bagi organisme tersebut. Begitu pula dengan rendahnya nilai Eh sedimen pada musim Barat menyebabkan minimnya oksigen di sedimen. Kondisi tersebut mengakibatkan jumlah genus meiofauna interstisial yang cenderung menurun. Hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) dihasilkan pula di stasiun A3 (lokasi padang lamun sangat jarang) pada semua musim dengan keeratan hubungan yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2), berturut-turut adalah 99.20%, 95.53% dan 90.12% dan 84.95% (Tabel 13). Dari verifikasi variabel dominan berdasarkan pada uji t, diperoleh Eh pada musim Timur dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0014, pH pada musim Peralihan I dan Barat (p=0.0008 dan 0.0038), sementara TOM dihasilkan pada musim Peralihan II (p=0.0090). Nilai pH yang terlalu rendah pada musim Peralihan I dan Barat dapat menghambat kelancaran perombakan bahan organik, sehingga terjadi pelonggokan bahan organik. Sebaliknya, perombakan bahan organik menjadi lancar jika pH cukup tinggi. Hal ini sangat berkenaan dengan pengaruh pH terhadap aktivitas mikroorganisme dalam merombak bahan organik. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen di sedimen, sehingga sangat mempengaruhi kehadiran genus meiofauna interstisial di habitatnya. Demikian pula halnya dengan rendahnya kadar TOM sedimen pada musim
197
Peralihan II. Kadar TOM yang rendah pada musim ini dipengaruhi oleh arus yang cukup yang dapat menyebarkan TOM ke perairan sekitarnya. Rendahnya kadar TOM ini cenderung mengakibatkan menurunnya jumlah genus meiofauna interstisial. Di lokasi yang bervegetasi mangrove Rhizophora sp. (stasiun Bl) memperlihatkan hubungan yang signifikan (p<0.05) pada setiap musim. Namun, dari keeratan hubungan yang dihasilkan berbeda pada setiap musim (Tabel 13). Keeratan hubungan yang sangat kuat berturut-turut dijumpai pada musim Peralihan I (R2=98.43%), musim Barat (R2=84.29%) dan musim Timur (R2=82.61%), sedangkan keeratan hubungan yang kuat terdapat pada musim Peralihan II (R2=65.14%). Hasil verifikasi variabel dominan menunjukkan bahwa variabel TOC paling berpengaruh pada musim Timur (p=0.0121), TOM lebih dominan pengaruhnya pada musim Peralihan I (p=0.0350), sementara Eh pada musim Barat dan Peralihan II (p=0.0098 dan 0.0432). Nilai variabel TOM mengalami peningkatan pada musim Peralihan I di stasiun Bl (lihat Lampiran 7). Perubahan nilai variabel tersebut menjadikannya sebagai variabel yang dominan mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial yang juga cenderung berubah. Variabel TOC memiliki nilai yang tinggi pada musim Timur di stasiun Bl, sehingga pengaruh variabel ini lebih dominan. Variabel ini tidak signifikan pengaruhnya pada musim Peralihan II. Sementara, variabel Eh mengalami penurunan yang drastis pada musim Barat dan nilainya meningkat pada musim Peralihan II. Sebagai konsekuensinya adalah fluktuasi nilai Eh pada kedua musim ini lebih dominan mempengaruhi perubahan jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun Bl. Di stasiun B2 pada musim Timur dihasilkan hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) dan signifikan (p<0.05) pada musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II antara jumlah genus meiofauna interstisial dengan parameter kimia sedimen. TOC merupakan variabel yang dominan mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial pada musim Timur dan Peralihan II, dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=0.9724) dan kuat (R2=0.7864) (Tabel 13). Hal ini berarti sekitar 97.24% variasi jumlah genus meiofauna interstisial sangat signifikan dipengaruhi oleh variabel TOC pada musim Timur dan sekitar 78.64%
198
variasi jumlah genus meiofauna interstisial juga dipengaruhi signifikan oleh variabel dominan ini pada musim Peralihan II. Hasil verifikasi variabel dominan ini memiliki nilai probabilitas (p<0.01 dan p<0.05), masing-masingnya adalah 0.0091 dan 0.0185. Terjadinya perubahan kadar TOC sedimen dapat menyebabkan perubahan jumlah genus meiofauna interstisial. Pada musim Peralihan I di stasiun B2, ternyata Eh merupakan variabel yang paling mempengaruhi perubahan jumlah genus meiofauna interstisial dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=0.9884) (Tabel 13). Artinya, sekitar 98.8% variasi jumlah genus meiofauna interstisial dipengaruhi signifikan oleh variabel tersebut. Dari verifikasi variabel dominan yang paling berpengaruh, diperoleh nilai probabilitas (p-value) variabel Eh sebesar 0.0439. Perubahan nilai variabel Eh pada musim Peralihan I membawa konsekuensi pada jumlah genus meiofauna interstisial yang cenderung berubah. Oleh sebab itu, variabel tersebut menjadi dominan pengaruhnya terhadap jumlah genus meiofauna interstisial. Sementara pada musim Barat, jumlah genus meiofauna interstisial lebih dipengaruhi oleh variabel TOM sedimen dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=91.62%). Hasil verifikasi menunjukkan bahwa TOM memiliki nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0238. Hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) dihasilkan di stasiun C pada musim Timur, sementara pada musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II didapatkan hubungan yang signifikan (p<0.05). Variabel dominan yang mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun ini ternyata berbeda pada setiap musim. Keeratan hubungan yang dihasilkan di stasiun ini juga berbeda pada setiap musim, yaitu 92.16% pada musim Timur, 76.44% pada musim Peralihan I, 70.90% pada musim Barat, dan 96.53% pada musim Peralihan II (Tabel 13). Pada musim Timur, rendahnya kadar TOM mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial di stasiun C. Meskipun ada penambahan dari hasil ekskresi atau dari perairan sekitarnya yang menyebabkan kadarnya meningkat pada musim Peralihan I (lihat Lampiran 7), namun variabel ini tidak kuat pengaruhnya pada musim ini bila dibandingkan dengan nilai Eh yang juga meningkat. Meningkatnya nilai Eh sedimen cenderung meningkatkan jumlah genus meiofauna interstisial pada musim Peralihan I. Dari hasil verifikasi variabel
199
dominan yang paling berpengaruh, didapatkan TOM pada musim Timur (p=0.0024), Eh pada musim Peralihan I (p=0.0227), TOC pada musim Barat (p=0.0355), dan pH pada musim Peralihan II (p=0.0330). Bervariasinya masingmasing variabel dominan tersebut pada setiap musim memberikan pengaruh yang sangat signifikan dan signifikan terhadap jumlah genus meiofauna interstisial yang cenderung berubah. Hubungan Kelimpahan Individu Meiofauna Interstisial dengan Parameter Kimia Sedimen secara Vertikal Dari keseluruhan hasil uji regresi ternyata semua parameter lingkungan (variabel independen) secara bersama-sama diprediksi mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial (variabel dependen). Namun, setelah diverifikasi ternyata pengaruh dominan dari berbagai variabel independen adalah berbeda antar stasiun dan musim. Dari verifikasi variabel dominan, maka dihasilkan model regresi yang paling tepat dalam mencermati dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial di setiap stasiun dan musim (Tabel 14). Dari hasil regresi linier berganda dihasilkan adanya kesamaan dan perbedaan variabel dominan yang mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial serta adanya perbedaan nilai koefisien determinasi, baik antar stasiun dalam musim yang sama maupun di setiap stasiun dalam musim yang berbeda. Hal ini berarti terdapat perbedaan keeratan hubungan antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan nilai parameter lingkungan, baik antar stasiun dalam musim yang sama maupun di setiap stasiun dalam musim yang berbeda. Di stasiun Al pada musim Timur, dihasilkan hubungan yang signifikan (p<0.05) antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan variabel TOM dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=0.8789) (Tabel 14). Artinya, sekitar 87.89% variasi kelimpahan individu meiofauna interstisial dipengaruhi sangat kuat oleh variabel TOM pada musim Timur. Hasil verifikasi variabel dominan didapatkan nilai probabilitas (p-value) variabel TOM adalah 0.0430. Terkait dengan kandungan bahan organik (TOM) sedimen, maka secara ekologi hal ini dapat dijelaskan bahwa bahan organik yang mengendap di sedimen merupakan sumber makanan bagi meiofauna interstisial untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga jumlah dan laju penambahannya dalam sedimen
200
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelimpahan meiofauna interstisial. Bahan organik sedimen ini berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk kemudian tenggelam ke dasar perairan dan bercampur dengan lumpur. Tumbuhan lamun juga berperan penting dalam menghasilkan sebagian besar bahan organik. Tabel 14. Model regresi, koefisien determinasi dan variabel yang dominan mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial secara vertikal di setiap stasiun pada setiap musim. Musim / Stasiun Timur Al
,, . . . Koefisien Koefisien Variabel . . p-_ . Korelasi , Determinasi F Dominan K ,, value ^.2, (f) 1 )
Sig. Model
Model Regresi
Sig. Variabel
TO M pH
0.9375
0.0401
0.8789
10.8793 0.0422 7= -1201. 2322 + 187.423QA"
0.0430*
0.9736
0.0005
0.9479
72.8170 0.0010 7= -2586.3659 + 349.0244X
0.0010**
0.9913 0.8924
0.0037 0.0084
0.9827 0.7964
85.1507 0.0023 7=512.2730 + 0.8530^ 15.6441 0.0167 7= -197.8281 +52.5482X
0.0041** 0.0167*
B2
Eh TO C TO
0.9815
0.0057
0.9633
39.5139 0.0070 7=928.0017+125.6739^
0.0120*
C
C Eh
0.9354
0.0031
0.8750
28.0140 0.0061 7= 96.7599 + 0.2952^
0.0061**
222.9116 0.0047 7=1128.7867 + 3.3669^
0.0029**
A2 A3 Bl
Peralihan I Al Eh
0.9985
0.0047
0.9970
0.8008
0.0278
0.6413
7.1506 0.0356 7= -270.3229 + 77.1629JT
0.0356*
A3
TO C pH
0.9669
0.0008
0.9349
57.4069 0.0016 7= -791. 1026 + 19.7436^
0.0016**
Bl B2
TO C pH
0.9357 0.9351
0.0030 0.0031
0.8755 0.8744
28.1332 0.0061 7= -25.7527+13.9986^ 27.8400 0.0062 7= -2085.5000 + 295.0000J:
0.0061** 0.0062**
C Barat Al
Eh
0.8815
0.0101
0.7770
13.9361 0.0202 7= 190.4739 + 0.7408^
0.0202*
Eh
0.9782
0.0088
0.9569
33.2974 0.0089 7= 812.2898 + 1.2079A"
0.0116*
A2
Eh
0.9869
0.0032
0.9740
56.1663 0.0042 7=463.2270+1.0320^
0.0049**
A3
pH
0.8780
0.0107
0.7709
13.4527 0.0214 7= -557.6667 + 86.6667JT
0.0214*
Bl B2
Eh TO M TO
0.9072 0.9573
0.0063 0.0356
0.8230 0.9164
18.5933 0.0125 7=121.9159 + 0.3357^ 16.4365 0.0242 7= 676.4686 +18.4158JT
0.0125* 0.0235*
0.8329
0.0198
0.6937
9.0636 0.0395 7= -1 1.8708 + 57.7962X
0.0395*
0.7680
0.0372
0.5898
5.7523 0.0415 7= -1448.6667 + 195.0000J:
0.0415*
0.9978 0.9184 0.8016
0.0034 0.0049 0.0276
0.9956 0.8435 0.6426
339.6893 0.0003 7= -1646.1938 +296.0796^ 21.5389 0.0097 7= -1 14.6693 + 30.462&X" 7.1896 0.0422 7= 866.0000 +116.3415JT
A2
C Peralihan II C Al pH A2 A3 Bl B2 C
TO C TO C pH
TO C pH Keterangan : Al A2 A3
0.8765 0.0110 0.9814 0.0028 = Lamun rapat/lebat = Lamun kurang rapat/lebat = Lamun sangat jarang
0.0004** 0.0097** 0.0422*
0.7683 13.2636 0.0219 7= -230.0207 + 53. 1860^ 0.0219* 0.9631 39.1372 0.0071 7= -3002.2071 +438.5505^ 0.0418* * = signifikan (p< 0.05) = Bl = Mangrove Rhizophora sp. ** = sangat signifikan (p<0.01) = B2 Mangrove Sonneratia sp. C Bare area
Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya fauna bentik yang didominasi oleh deposit feeder (Mann 2000; Rossi et al. 2001), termasuk meiofauna interstisial. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bahan
201
organik ini juga memberikan akibat ikutan yang dapat menguntungkan bagi meiofauna interstisial, yaitu tumbuh dan berkembangnya bakteri dan jamur serta mikroalga bentik (diatom) yang dapat digunakan oleh meiofauna interstisial sebagai makanannya. Hal ini berarti bahwa cukup tersedia makanan yang potensial bagi meiofauna interstisial yang hidup di berbagai kedalaman sedimen, sehingga dapat mendukung kehidupan individu organisme ini di habitatnya. Hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan parameter lingkungan di stasiun Al diperoleh pada musim Peralihan I, sementara pada musim Barat dan Peralihan II diperoleh hubungan yang signifikan (p<0.05). Keeratan hubungan yang dihasilkan adalah sangat kuat pada musim Peralihan I (R2=99.70%) dan Barat (R2=95.69%), sementara pada musim Peralihan II, keeratan hubungan yang terjadi adalah cukup kuat (R2=58.98%) (Tabel 14). Dari hasil verifikasi variabel dominan yang berpengaruh terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Al pada musim Peralihan I ternyata dihasilkan Eh dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0029, pada musim Barat diperoleh Eh (p=0.0116), sedangkan pada musim Peralihan II adalah pH (p=0.0415). Berfluktuasinya nilai variabel Eh pada musim Peralihan I menjadikannya lebih dominan mempengaruhi perubahan kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Al. Meskipun variabel lainnya berfluktuasi, namun pengaruhnya tidak signifikan terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial. Menurunnya nilai Eh menjadikan variabel ini memegang peranan dalam keberlanjutan aktivitas meiofauna interstisial. Oleh sebab itu, rendahnya nilai Eh sedimen menjadi variabel dominan dalam mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Al pada musim Peralihan I. Pada musim Barat, variabel Eh sedimen lebih dominan pengaruhnya terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Al. Nilai Eh sedimen pada musim ini lebih rendah dibandingkan dengan musim lainnya. Berkenaan dengan pengaruh dominan variabel Eh sedimen terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial, maka secara ekologi hal ini dapat dijelaskan bahwa nilai Eh sedimen dapat digunakan sebagai indikasi tentang kandungan oksigen. Rendahnya nilai Eh sedimen menunjukkan minimnya kandungan
202
oksigen di dalam sedimen. Kondisi tersebut tentunya mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial yang cenderung menurun. Sementara itu, kelimpahan individu meiofauna interstisial pada musim Peralihan II tampaknya lebih dipengaruhi oleh variabel pH sedimen. Nilai pH sedimen pada musim ini meningkat seiring dengan peningkatan nilai Eh sedimen. Kondisi ini dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang cenderung meningkat. Di stasiun A2 memiliki hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan variabel kimia sedimen. Keeratan hubungan yang dihasilkan adalah sangat kuat pada musim Timur, Barat dan Peralihan II yang ditandai dengan nilai koefisien determinasi (R2), masingmasingnya adalah 94.79%, 97.40% dan 99.56% (label 14), sedangkan pada musim Peralihan I mempunyai keeratan hubungan yang kuat (R2=64.13%). Hasil uji t atau verifikasi variabel dominan yang berpengaruh terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun A2 pada setiap musim menunjukkan bahwa kelimpahan individu meiofauna interstisial lebih dipengaruhi oleh variabel pH pada musim Timur (p=0.0010), variabel TOC pada musim Peralihan I (p=0.0356) dan Peralihan II (p=0.0004), serta variabel Eh pada musim Barat (p= 0.0049). Di stasiun A2 pada setiap musim tampak adanya pebedaan variabel dominan yang berpengaruh terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial, kecuali pada musim Peralihan I dengan Peralihan II. Hal ini secara ekologi menarik untuk dikaji lebih jauh. Pada musim Timur, variabel pH sedimen memiliki nilai yang paling tinggi di stasiun A2 bila dibandingkan dengan musim lainnya (lihat Lampiran 7). Nilai pH sedimen yang tinggi sangat berkaitan dengan tingginya nilai Eh sedimen pada musim ini, sehingga dapat meningkatkan kandungan oksigen yang memungkinkan keberadaan meiofauna interstisial di habitatnya. Pada musim Peralihan I, nilai TOC paling rendah pada musim Peralihan I bila dibandingkan dengan musim lainnya. Rendahnya nilai TOC dapat mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial, sebab keberadaan bahan organik ini yang merupakan sumber bahan makanan bagi organisme tersebut cenderung berkurang. Sementara, pada musim Barat terjadi penurunan nilai Eh sedimen yang
203
sangat drastis. Nilai Eh yang sangat rendah mengindikasikan ketiadaan kandungan oksigen di dalam sedimen. Kondisi ini tentunya dapat mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial. Sebagai konsekuensinya adalah menurunnya kelimpahan individu meiofauna interstisial. Hal lainnya yang juga menarik untuk dikaji secara ekologi di stasiun A2 adalah adanya variabel yang sama (yaitu TOC sedimen) menjadi variabel yang dominan mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial pada musim yang berbeda (musim Peralihan I dan Peralihan II). Kadar TOC sedimen yang rendah pada musim Peralihan I (lihat Lampiran 7) cenderung menurunkan kelimpahan individu meiofauna interstisial, sedangkan kadar TOC yang tinggi pada musim Peralihan II cenderung meningkatkan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Perlu diketahui bahwa kadar TOC sedimen pada musim Peralihan I berbeda signifikan dengan musim Peralihan II (lihat Lampiran 9). Jadi, tinggi rendahnya kadar TOC sedimen dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kelimpahan individu meiofauna interstisial dari suatu musim ke musim lainnya. Dengan kata lain, variabel TOC sedimen lebih dominan mempengaruhi dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial. Di stasiun A3 dihasilkan pula hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) dengan keeratan hubungan yang sangat kuat pada musim Timur (R2=98.27%) dan Peralihan I (R2=93.49%), serta hubungan yang signifikan (p<0.05) dan sangat kuat pada musim Peralihan II (R2=84.35%), sementara hubungan yang signifikan (p<0.05) dan kuat pada musim Barat (R2=77.09%) (Tabel 14). Dari verifikasi variabel dominan berdasarkan pada uji t, variabel Eh didapatkan pada musim Timur dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0041; pH diperoleh pada musim Peralihan I dan musim Barat dengan nilai probabilitas masing-masingnya adalah 0.0016 dan 0.0214; sementara TOC dihasilkan pada musim Peralihan II dengan nilai probabilitas (p-value) adalah 0.0097. Variabel dominan yang mengalami perubahan di stasiun A3 adalah pH (Peralihan I dan Barat) dan TOC (Peralihan II). Terjadinya perubahan variabel dominan menunjukkan adanya perubahan nilai dari masing masing variabel di stasiun itu. Kedua variabel ini mengalami fluktuasi yang cukup besar sehingga memberikan pengaruh yang lebih kuat terhadap dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial.
204
Di stasiun Bl terjadi hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) pada musim Peralihan I dengan keeratan hubungan (R2) yang sangat kuat kuat, sementara pada musim Timur, Barat dan Peralihan II diperoleh hubungan yang signifikan (p<0.05). Nilai koefisien determinasi di stasiun ini cukup bervariasi, masingmasingnya adalah 79.64% (Timur), 87.55% (Peralihan I), 82.30% (Barat) dan 64.26% (Peralihan II) (Tabel 14). Hasil verifikasi variabel dominan, TOC merupakan variabel yang paling berpengaruh pada musim Timur dan Peralihan I (p=0.0167 dan 0.0061), Eh lebih dominan pengaruhnya pada musim Barat (p=0.0125), dan pH pada musim Peralihan II (p=0.0422). Variabel dominan yang mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Bl mengalami perubahan, yaitu variabel Eh (Barat) dan pH (Peralihan II). Variabel Eh mengalami penurunan nilai yang drastis pada musim Barat. Dilihat dari nilai Eh sedimen yang sangat rendah di stasiun ini (-341 mV) (lihat Lampiran 7) menyebabkan kondisi anoksik dalam sedimen (miskin oksigen). Keberadaan meiofauna interstisial di lokasi penelitian mencerminkan ketersediaan oksigen di sedimen. Kelimpahan meiofauna interstisial menjadi rendah dengan menurunnya toleransi organisme ini terhadap konsentrasi oksigen yang sangat rendah. Sebagai konsekuensinya adalah kelimpahan individu meiofauna interstisial cenderung menurun. Pada musim Peralihan II, variabel ini mengalami peningkatan nilai yang menyebabkan nilai pH sedimen meningkat sekitar 7.5. Perubahan nilai kedua variabel itu menjadikannya sebagai variabel yang dominan mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun Bl pada kedua musim tersebut. Di stasiun B2 pada semua musim juga dihasilkan hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) dan signifikan (p<0.05) antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan parameter kimia sedimen. Pada musim Timur, TOC merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan keeratan hubungan yang sangat kuat (R2=96.33%) (Tabel 14). Hasil verifikasi variabel dominan ini memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0120. Kadar TOC yang tinggi dapat menurunkan konsentrasi oksigen di sedimen ditandai dengan nilai Eh yang sangat rendah (-316 mV) (lihat Lampiran 7). Kondisi ini menyebabkan kelimpahan individu meiofauna interstisial mengalami
205
penurunan. Karena kuatnya pengaruh variabel ini terhadap dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial menjadikannya sebagai variabel yang dominan. Pada musim Peralihan I di stasiun B2, diperoleh hubungan yang sangat signifikan (p<0.01) antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan parameter kimia sedimen. Keeratan hubungan yang dihasilkan adalah sangat kuat (R2=0.8744) (Tabel 14). Dari hasil verifikasi variabel dominan yang paling berpengaruh, didapatkan pH dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0062. Pada musim ini, nilai pH sedimen mengalami peningkatan (pH=7.2) (lihat Lampiran 7). Peningkatan nilai pH dapat meningkatkan konsentrasi oksigen di sedimen yang ditandai dengan meningkatnya nilai Eh sedimen. Perubahan nilai pH ini dapat menyebabkan perubahan kelimpahan individu meiofauna interstisial, sehingga menjadikannya sebagai variabel yang mempengaruhi dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun B2. Keeratan hubungan yang sangat kuat antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan parameter kimia sedimen juga diperoleh pada musim Barat di stasiun B2 (R2=91.64%) (Tabel 14). Hasil verifikasi variabel dominan, TOM merupakan variabel yang paling berpengaruh pada musim ini yang ditandai dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0235. Dominannya pengaruh variabel TOM terhadap perubahan kelimpahan individu meiofauna interstisial disebabkan oleh tingginya kadar TOM sedimen pada musim Barat. Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menimbulkan rendahnya bahkan ketiadaan kandungan oksigen dalam sedimen yang ditandai dengan sangat rendahnya nilai Eh sedimen (-341 mV) (lihat Lampiran 7). Rendahnya nilai Eh sedimen mencerminkan bahwa sedimen di stasiun ini berada dalam kondisi tereduksi. Perlu diingat bahwa tereduksinya sedimen merupakan tanda bahwa sedimen itu cenderung berada dalam kondisi anaerob, hal ini menyebabkan miskinnya kandungan oksigen di sedimen. Kondisi yang demikian umumnya tidak disukai oleh kebanyakan meiofauna interstisial. Seperti yang telah diketahui bahwa kandungan oksigen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial di habitat interstisial sedimen (Moodley et al. 1997). Sementara itu, pada musim Peralihan II variabel dominan yang mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun B2
206
mengalami perubahan, yaitu variabel TOC. Keeratan hubungan yang dihasilkan adalah kuat (R2=76.83%) (Tabel 13). Hasil verifikasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas variabel ini adalah 0.0219. Perubahan nilai variabel itu menjadikannya sebagai variabel yang dominan mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial di stasiun B2 pada musim tersebut. Di stasiun C juga dihasilkan hubungan yang signifiksn (p<0.01) antara kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan parameter kimia sedimen pada musim Timur, sementara pada musim Peralihan I, Barat dan Peralihan II diperoleh hubungan yang signifikan (p<0.05). Pada musim Timur dan Peralihan I, tampak variabel Eh sedimen lebih dominan mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial (Tabel 14). Variabel ini memberikan pengaruh yang sangat kuat sekitar 87.50% pada musim Timur dan pengaruh kuat sekitar 77.70% pada musim Peralihan I. Hasil verifikasi variabel dominan menunjukkan bahwa variabel ini memiliki nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0061 dan 0.0202. Seperti yang telah dijelaskan di sebelumnya bahwa umumnya nilai Eh sedimen dapat dipakai untuk menilai adanya kandungan oksigen di dalam sedimen. Hal ini berarti bahwa keberadaan variabel ini sangat dominan mempengaruhi perubahan komunitas meiofauna interstisial di musim ini. Di stasiun C pada musim Barat, TOC merupakan variabel yang paling mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial dengan keeratan hubungan yang kuat (R2=69.37%) dengan nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0395 (Tabel 14). Variabel ini memiliki nilai yang paling rendah di antara semua musim dan stasiun (lihat Lampiran 7). Berkurangnya jumlah makanan atau rendahnya nilai nutrisi sedimen atau ketiadaan makanan dalam lapisan sedimen dapat membawa konsekuensi pada menurunnya kelimpahan individu meiofauna interstisial. Oleh sebab itu, ketersediaan sumber makanan dalam sedimen (TOC) merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur kelimpahan individu meiofauna interstisial. Rendahnya nilai variabel tersebut pada musim ini dibandingkan dengan musim dan stasiun lainnya menjadikan variabel ini paling berpengaruh pada kelimpahan individu meiofauna inerstisial yang cenderung menurun. Sementara, pada musim Peralihan II di stasiun C, sekitar 96,31% variasi kelimpahan individu meiofauna interstisial dipengaruhi oleh variabel pH. Hasil
208
TOC sedimen merupakan variabel dominan yang paling berpengaruh di stasiun A2 dan Bl. Tingginya nilai TOC sedimen di stasiun A2 dapat mendukung kehidupan meiofauna interstisial, karena ketersediaan TOC yang tinggi stasiun ini dapat menjadi sumber makanan bagi meiofauna interstisial yang dapat menunjang kelimpahannya. Sementara, nilai TOC yang rendah di stasiun Bl dapat meningkatkan konsentrasi oksigen di sedimen sehingga dapat mendukung kehidupan meiofauna interstisial. Masih dalam musim Peralihan I, pH merupakan variabel dominan yang sama di stasiun A3 dan B2. Hal ini dapat dijelaskan bahwa rendahnya nilai pH sedimen di stasiun A3 sangat berkaitan dengan nilai Eh sedimen. Nilai Eh sedimen yang rendah dapat menurunkan konsentrasi oksigen dalam sedimen, sehingga kondisi ini mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial yang cenderung menurun di stasiun A3. Sebaliknya, nilai pH yang tinggi di stasiun B2 dapat meningkatkan kandungan oksigen yang juga sangat terkait dengan meningkatnya nilai Eh sedimen. Kondisi tersebut menjadikan pH sebagai variabel dominan yang mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial yang cenderung meningkat di stasiun B2. Pada musim Barat, variabel Eh merupakan variabel dominan yang paling berpengaruh terhadap kelimpahan meiofauna interstisial di stasiun Al, A2 dan Bl. Rendahnya nilai Eh sedimen di kedua stasiun ini menyebabkan oksigen dalam sedimen dapat berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali karena tingginya kandungan bahan organik dalam sedimen, sehingga membuat suatu kondisi yang optimal bagi bakteri. Pada kondisi aliran air ke dalam sedimen lemah, bakteri dengan cepat memanfaatkan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik. Konsentrasi oksigen yang rendah dapat mempengaruhi kondisi biogeokimia sedimen. Kondisi yang anaerob (ketiadaan oksigen) dalam sedimen dapat pula mempengaruhi aktivitas organisme bentik. Hal ini mengakibatkan menurunnya kelimpahan individu meiofauna interstisial di dalam sedimen. Oleh sebab itu, kelimpahan individu meiofauna interstisial sangat dipengaruhi oleh kondisi Eh sedimen tersebut. Kondisi yang demikian menjadikan kedua variabel ini paling berpengaruh terhadap perubahan kelimpahan meiofauna interstisial yang cenderung menurun di stasiun di kedua stasiun tersebut.
209
Pada musim Peralihan II, TOC merupakan variabel dominan di stasiun A2, A3 dan B2. Ketersediaan TOC yang tinggi di ketiga stasiun ini dapat menjadi sumber makanan bagi meiofauna interstisial yang dapat menunjang kelimpahannya. Meningkatnya kelimpahan meiofauna interstisial di kedua stasiun ini didukung pula oleh meningkatnya nilai Eh sedimen. Sementara, pH menjadi variabel dominan mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial di stasiun Al Bl dan C. Tingginya nilai pH di kedua stasiun ini sangat berkaitan erat dengan peningkatan nilai Eh sedimen. Nilai Eh sedimen meningkat dalam musim Peralihan II (lihat Lampiran 7) yang menyebabkan pH sedimen meningkat sehingga kondisi ini menyebabkan pula konsentrasi oksigen meningkat. Hal ini menjadikan variabel TOC dan pH sebagai variabel dominan mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial yang cenderung meningkat. Ditinjau dari kesamaan variabel yang dominan mempengaruhi kelimpahan meiofauna interstisial di stasiun yang sama pada musim yang berbeda dijumpai adanya variabel TOC di stasiun A2 (musim Peralihan I dan Peralihan II), variabel TOC di stasiun Bl (musim Timur dan Peralihan I), variabel TOC di stasiun B2 (musim Timur dan Peralihan II), variabel pH di stasiun A3 (musim Peralihan I dan Barat), dan variabel Eh di stasiun C (musim Timur dan Peralihan I). Berdasarkan pada analisis di berbagai stasiun dan musim, maka dari keseluruhan model regresi yang dihasilkan dapat dipakai untuk memprediksi jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial (p<0.05) atau secara bersama-sama variabel dominan yang lebih dari satu variabel berpengaruh terhadap jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel-variabel dominan tersebut memegang peranan penting dalam mempengaruhi dinamika komunitas meiofauna interstisial secara vertikal di perairan Selat Dompak. Hubungan Komunitas Meiofauna Interstisial dengan Parameter FisikaKimia Perairan secara Horizontal Dalam Tabel 16 diperlihatkan hasil analisis hubungan antara komunitas meiofauna interstisial (jumlah genus dan kelimpahan individu) dengan parameter fisika-kimia air dan sedimen secara horizontal. Variabel yang dominan mempengaruhi jumlah genus meiofauna interstisial adalah arus, salinitas, TOM air
210
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah genus meiofauna interstisial berkorelasi kuat dan hubungan negatif dengan variabel kecepatan arus (r=0.6020), berkorelasi cukup kuat dan hubungan positif dengan variabel salinitas (r=0.4222), berkorelasi kuat dan hubungan negatif dengan variabel TOM air (r=0.7217), dan berkorelasi cukup kuat dan hubungan positif dengan variabel TOC sedimen (r=0.5245). Jika dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2=0.7433), maka sekitar 74.33% variasi jumlah genus meiofauna interstisial dipengaruhi kuat oleh variabel kecepatan arus, salinitas, TOM air dan TOC sedimen. Dari uji Anova diperoleh nilai F=17.6480 dan p<0.01, sehingga model regresi yang dihasilkan bisa dipakai untuk memprediksi jumlah genus meiofauna
interstisial atau secara bersama-sama variabel kecepatan arus, salinitas, TOM air dan TOC sedimen sangat berpengaruh terhadap jumlah genus meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel kecepatan arus, salinitas, TOM air dan TOC sedimen memegang peranan penting dalam mempengaruhi dinamika jumlah genus meiofauna interstisial secara horizontal di perairan Selat Dompak. Hasil verifikasi variabel dominan yang berpengaruh terhadap jumlah genus meiofauna interstisial secara horizontal didapatkan nilai probabilitas masing-masingnya adalah 0.0004, 0.0025, 0.0001 dan 0.0445 (Tabel 16). Sementara itu, parameter yang paling berpengaruh terhadap dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial secara horizontal adalah suhu,
211
kecepatan arus dan TOM air. Kelimpahan individu meiofauna interstisial berkorelasi kuat dengan variabel suhu (r=0.6751), berkorelasi sangat lemah dengan variabel kecepatan arus (r=-0.5871) dan berkorelasi kuat dengan variabel TOM air (r=-0.7113). Variabel-variabel tersebut kuat pengaruhnya terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial. Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2=0.6525), yang berarti bahwa sekitar 65.25% variasi kelimpahan individu meiofauna interstisial dipengaruhi kuat oleh ketiga variabel tersebut. Model regresi yang dihasilkan dapat dipakai untuk memprediksi kelimpahan individu meiofauna interstisial (F=15.3949, p<0.01) atau secara bersama-sama variabel suhu, kecepatan arus dan TOM air berpengaruh terhadap dinamika kelimpahan individu meiofauna interstisial pada taraf kepercayaan 99%. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel suhu, kecepatan arus dan TOM air memegang peranan penting dalam mempengaruhi kelimpahan individu meiofauna interstisial secara horizontal di perairan Selat Dompak. Hasil verifikasi variabel dominan yang berpengaruh terhadap kelimpahan individu meiofauna interstisial secara horizontal didapatkan nilai probabilitas (p-value) masing-masing variabel tersebut adalah 0.0186, 0.0354 dan 0.0009 (Tabel 16). Terkait dengan adanya pengaruh variabel kecepatan arus yang signifikan terhadap komunitas meiofauna interstisial, maka hal ini secara ekologis dapat dijelaskan berikut ini. Arus berpengaruh terhadap resuspensi lapisan atas sedimen, dan dapat memindahkan atau mengendapkan kembali sejumlah besar sedimen. Apabila sedimen teraduk, keseluruhan rangkaian ruangan atau celah-celah dalam sedimen diatur kembali dan dengan sendirinya organisme meiofauna interstisial berpindah. Kondisi yang demikian mempunyai dampak yang sangat besar terhadap meiofauna interstisial yang tempat tinggalnya (habitatnya) bergantung pada ruangan antarbutiran. Ini berarti bahwa ruangan interstisial secara terusmenerus diatur kembali dan meiofauna interstisial tersebut terus-menerus dalam keadaan terancam terlempar ke perairan terbuka dan menghadapi pemangsaan yang jauh lebih berbahaya. Meiofauna interstisial dapat hidup dengan baik bila kondisi sedimennya stabil. Arus yang kuat dapat menyebabkan pengadukan sedimen sehingga dasar perairan menjadi tidak stabil (Hall 1994; Snelgrove & Butman 1994; Arroyo et al.
212
2004; Rodriguez 2004; Nybakken & Bertness 2005). Destabilisasi sedimen atau tidak stabilnya sedimen merupakan stressor utama biota sedimen. Berdasarkan pada penyebabnya, destabilisasi dapat memiliki perbedaan spasial yang luas, misalnya arus pasang dan gelombang (Hall 1994). Arus pasang pada perairan laut dangkal, biasanya dapat terjadi pada batas antara sedimen-air. Pengaruh arus ini dapat menyebabkan tidak stabilnya habitat sedimen bagi meiofauna interstisial, sehingga dapat mengganggu keberadaan meiofauna interstisial yang pada akhirnya dapat mempengaruhi komposisi genus meiofauna interstisial di habitat tersebut. Di perairan yang arusnya lemah maka substratnya didominasi oleh meiobentik pemakan deposit (meiofauna interstisial) seperti Nematoda dan Polychaeta. Sementara, di perairan yang arusnya lebih kuat maka yang dominan adalah makrozoobentik (makrofauna) pemakan suspensi seperti Bivalva dan Holothuroidea (Higgins & Thiel 1988; Mann & Lazier 1991). Ketidakstabilan dasar perairan atau tidak stabilnya habitat sedimen bagi meiofauna interstisial dapat mengganggu keberadaan meiofauna interstisial di habitat tersebut (Giangrande 1997; Mistri et al. 2002; Dernie et al. 2003a, 2003b; Skilleter et al. 2006). Di samping itu, pengadukan sedimen oleh arus yang kuat juga dapat menyebabkan terangkatnya dan berpindahnya organisme bentik (termasuk meiofauna interstisial) yang ada pada lapisan permukaan sedimen tersebut (Snelgrove & Butman 1994; Currie & Parry 1996; Arroyo et al. 2004; Rodriguez 2004; Nybakken & Bertness 2005), bahkan dapat mengubah susunan meiofauna interstisial yang tinggal di dalam sedimen. Kondisi yang demikian kurang dapat mendukung keberadaan genus meiofauna interstisial dan kurang dapat menjamin kelangsungan hidupnya serta dapat menurunkan jumlah genus meiofauna interstisial. Dengan demikian, hasil penelitian mengindikasikan bahwa kecepatan arus berpengaruh signifikan terhadap komunitas meiofauna interstisial di suatu habitat. Hal ini berarti bahwa kecepatan arus yang tinggi (arus yang kuat) dapat membawa konsekuensi pada jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang cenderung menurun, dan sebaliknya. Jadi, dapat dipahami bahwa kecepatan arus berpengaruh signifikan terhadap terjadinya dinamika komunitas meiofauna interstisial di perairan Selat Dompak.
213
Berkaitan dengan salinitas, kelimpahan meiofauna dapat menurun setelah musim hujan di daerah tropis (Gwyther 2000). Penurunan salinitas terjadi sebagai akibat dari run-off dan daratan dan curah hujan yang lebat. Pada salinitas yang lebih rendah, meiofauna dapat mentolerirnya. Sementara, peningkatan salinitas yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian meiofauna. Peningkatan populasi meiofauna interstisial dalam komunitasnya disebabkan oleh keberadaannya lebih menyukai salinitas yang tinggi untuk proses hidupnya, seperti untuk reproduksi (Silence etal. 1993). Tingkat Kemiripan atau Perbedaan dan Pengelompokan Komunitas Meiofauna Interstisial Tingkat Kemiripan atau Perbedaan Komunitas Meiofauna Interstisial antar Tipe Habitat berdasarkan pada Nilai Jarak Euclidean Setiap Musim Tingkat kemiripan atau perbedaan komunitas meiofauna interstisial antar tipe habitat pada setiap musim diperoleh berdasarkan pada perhitungan jarak Euclidean, yaitu dengan memperbandingkan komunitas meiofauna interstisial di setiap tipe habitat dengan tipe habitat lainnya (Tabel 17). Dengan memperhatikan tampilan matriks nilai jarak Euclidean antar komunitas di berbagai tipe habitat pada setiap musim, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 15 pasangan tipe habitat yang saling diperbandingkan, ternyata tingkat perbedaan terkecil terjadi antara tipe habitat Bl dan B2 yaitu dengan nilai jarak Euclidean sebesar 12.4900 (musim Timur), 12.8062 (musim Barat) dan 12.6491 (musim Peralihan II), dan antara tipe habitat A2 dan Bl pada musim Peralihan I yaitu dengan nilai jarak Euclidean sebesar 16.5227. Sementara itu, tingkat perbedaan yang terbesar terjadi antara tipe habitat Al dan Bl (musim Timur dan Peralihan II) yaitu dengan nilai jarak Euclidean masing-masing sebesar 40.6079 dan 27.0740, antara tipe habitat Al dan A3 pada musim Peralihan I sebesar 28.0178 dan antara tipe habitat A3 dan C pada musim Barat yaitu dengan nilai jarak Euclidean sebesar 23.8118. Dengan demikian, berarti bahwa pasangan-pasangan tipe habitat lainnya memiliki tingkat perbedaan dengan nilai jarak Euclidean di antara 12.4900 dan 40.6079 (musim Timur), di antara 16.5227 dan 27.9643 (musim Peralihan I), di antara 12.8062 dan 23.8118 (musim Barat), dan di antara 12.6491 dan 27.0740 (musim Peralihan II).
215
lebih beragam dapat menampung dan mendukung genus meiofauna interstisial yang lebih banyak. Sementara itu, sumberdaya makanan yang cukup melimpah dapat mendukung kelimpahan individu dari masing-masing genus meiofauna interstisial yang ada. Dengan demikian, semakin berbeda tipe habitat dan sumberdaya makanan di antara tipe habitat, maka semakin berbeda pula komposisi, jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial di antara tipe habitat itu. Kecilnya nilai jarak Euclidean antara tipe habitat Bl dan B2 (musim Timur, Barat dan Peralihan II) dan antara tipe habitat A2 dan Bl (musim Perlaihan I) mencerminkan bahwa tingkat perbedaan komposisi, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial antara tipe habitat Bl dan B2 dan antara tipe habitat A2 dan Bl adalah paling kecil. Hal ini berarti bahwa komposisi, jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial di tipe habitat Bl paling mirip dengan komposisi, jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial di tipe habitat B2 yang terjadi pada musim Timur, Barat dan Peralihan II. Pada musim Peralihan I, komposisi dan jumlah genus serta kelimpahan meiofauna interstisial di tipe habitat A2 paling mirip dengan komposisi, jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial di tipe habitat Bl. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor, seperti: 1) kemiripan jenis dan fraksi sedimen; 2) kesamaan nilai potensial redoks (Eh); 3) kesamaan nilai pH; dan 4) kemiripan kandungan oksigen. Dalam kaitannya dengan jenis dan fraksi sedimen, maka sedimen di tipe habitat A2, Bl dan B2 adalah sama-sama berfraksi halus dengan jenis sedimen lumpur. Berkenaan dengan jenis dan fraksi sedimen yang tergolong cukup halus ini, maka fraksi sedimen lumpur di kedua tipe habitat ini mempunyai kemampuan yang besar dalam mengikat dan mengakumulasi bahan organik dalam perairan. Tingginya kandungan bahan organik sedimen memberikan pengaruh terhadap berbagai parameter lainnya, seperti nilai Eh, pH dan kandungan oksigen dalam sedimen. Konsekuensinya adalah nilai Eh yang sama-sama rendah (lihat Lampiran 7), yaitu sekitar -316 mV (antara tipe habitat Bl dan B2 pada musim Timur), 268 mV (antara tipe habitat A2 dan Bl pada musim Peralihan I), -341 (antara tipe habitat Bl dan B2 pada musim Barat), dan -237 mV (antara tipe habitat Bl dan B2 pada musim Peralihan II). Dengan nilai potensial redoks sedimen yang sama,
216
maka sebagai konsekuensinya adalah nilai pH-nya juga sama. Nilai pH antara tipe habitat A2 dan Bl adalah sekitar 7.0 (musim Peralihan I) dan antara tipe habitat Bl dan B2 adalah sekitar 6.8 (musim Timur), 6.6 (musim Barat) dan 7.5 (musim Peralihan II). Hal ini terjadi disebabkan oleh adanya hubungan yang erat antara nilai Eh dengan pH. Golterman (1990) menyatakan bahwa nilai pH sedimen sangat bergantung pada nilai Eh dan tingkat kedalaman sedimen. Dalam hubungannya dengan kemiripan kandungan oksigen dalam sedimen, maka diperkirakan bahwa kandungan oksigen di antara tipe habitat-tipe habitat tersebut tampaknya berkaitan erat dengan nilai potensial redoks sedimen. Seperti diketahui bahwa umumnya nilai Eh sedimen dapat dipakai untuk menilai adanya kandungan oksigen di dalam sedimen tersebut. Jadi, dengan adanya kemiripan atau kesamaan dalam hal keempat faktor tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara tipe habitat A2 dan Bl dan antara tipe habitat Bl dan B2 memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dalam hal struktur komunitas meiofauna interstisialnya. Kemudian, besarnya nilai jarak Euclidean antara tipe habitat Al dan Bl (musim Timur, Peralihan I dan Peralihan II) dan antara tipe habitat A3 dan C (musim Barat) mencerminkan tingkat perbedaan komposisi, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang paling besar di antara tipe habitat-tipe habitat tersebut. Ini berarti bahwa komposisi, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di tipe habitat Al sangat berbeda dengan komposisi, jumlah genus dan kelimpahan meiofauna interstisial di tipe habitat Bl yang terjadi pada musim Timur, Peralihan I dan Peralihan II. Sementara pada musim Barat, komposisi, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di tipe habitat A3 sangat berbeda dengan komposisi, jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial di tipe habitat C. Terjadinya perbedaan yang besar dalam hal struktur komunitas meiofauna interstisial ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang besar dalam hal tipe habitat dan kondisi variabel fisika-kimia lingkungan antara tipe habitat Al dan Bl dan antara tipe habitat A3 dan C. Dalam kaitannya dengan perbedaan tipe habitat, maka tipe habitat di tipe habitat Al adanya vegetasi lamun yang lebat dengan fraksi sedimen lumpur berpasir, sedangkan di tipe habitat Bl memiliki tipe habitat bervegetasi mangrove
217
Rhizophora sp. dengan sedimen berfraksi lumpur. Sementara itu, tipe habitat di tipe habitat A3 ditumbuhi lamun yang sangat jarang dan sedimennya berfraksi lumpur, sedangkan tipe habitat di tipe habitat C tidak mempunyai vegetasi lamun dan mangrove dengan sedimen berfraksi pasir berkerikil. Jika ditinjau dari variabel fisik-kimianya, maka variabel seperti kadar bahan organik (TOC dan TOM), nilai pH dan Eh sedimen tampak berbeda nyata antara tipe habitat Al dan Bl dan antara tipe habitat A3 dan C (lihat Lampiran 7). Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa adanya perbedaan yang besar dalam hal tipe habitat dan kondisi variabel fisik-kimia sedimen antara tipe habitat Al dan Bl dan antara tipe habitat A3 dan C membawa konsekuensi pada perbedaan yang cukup besar dalam struktur komunitas meiofauna interstisialnya, terutama dalam hal komposisi, jumlah genus dan kelimpahan individunya. Pengelompokan Komunitas Meiofauna Interstisial Berdasarkan pada Nilai Jarak Euclidean Dengan menggunakan data jarak Euclidean pada setiap musim, maka dihasilkan 5 (lima) siklus dalam analisis kelompok (cluster analysis) seperti yang tampak pada Matriks D (Lampiran 41). Dari hasil analisis kelompok tersebut, maka komunitas meiofauna interstisial dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelompok komunitas meiofauna interstisial setiap musimnya. Model atau pola kelompok yang terjadi dalam proses pengelompokan ini ada 3 (tiga) model, yaitu: 1) model kelompok pertama sebagai hasil pengelompokan antara satu tipe komunitas dengan satu tipe komunitas lainnya; 2) model kelompok kedua sebagai hasil pengelompokan antara satu tipe komunitas dengan sekelompok tipe komunitas yang telah ada; dan 3) model kelompok ketiga sebagai hasil pengelompokan antara sekelompok tipe komunitas dengan sekelompok tipe komunitas lainnya. Model atau pola kelompok yang dihasilkan dalam pengelompokan ini disajikan pada Gambar 39. Dari dendogram tersebut dapat dijelaskan hubungan antar unit sampling (tipe habitat) dalam pembentukan kelompok baru pada setiap musim. Pada musim Timur: a) siklus pertama, tipe habitat Bl bergabung dengan tipe habitat B2 membentuk satu kelompok; b) siklus kedua, tipe habitat C bergabung dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) membentuk kelompok baru; c) siklus ketiga, tipe
218
habitat A2 bergabung dengan tipe habitat A3 membentuk satu kelompok; d) siklus keempat, kelompok tipe habitat (A2,A3) bergabung dengan kelompok tipe habitat (B1,B2;C); dan e) siklus kelima, tipe habitat Al bergabung dengan kelompok tipe habitat (A2,A3;(B1,B2;C)). Pada musim Peralihan I: a) siklus pertama, tipe habitat A2 bergabung dengan tipe habitat Bl; b) siklus kedua, tipe habitat A3 bergabung dengan kelompok tipe habitat (A2,B1); c) siklus ketiga, tipe habitat B2 bergabung dengan tipe habitat C; d) siklus keempat, tipe habitat Al bergabung dengan kelompok tipe habitat (B2,C); dan e) siklus kelima, kelompok tipe habitat (B2,C;A1) bergabung dengan kelompok tipe habitat (A2,B1;A3). Distance
Musim Timur
Distance
49.99-
29.99 -
33.33-
19.99 -
16.66-
9.99 -
o.oo-
o.oo-
Distance
Musim Peralihan I
Bl B2 C A2 A3 Al
A2 Bl A3 B2 C Al
Tipe habitat
Tipe habitat
Musim Barat
29.99 -I
Distance 29.99 -
Musim Peralihan II i ----
19.99 -
19.99 9 .9 9 -
9.9 9 0.00-
Bl B2 Al A2 C A3
Bl B2 A2 C A3 Al
Tipe habitat
Tipe habitat
Gambar 39. Dendogram pengelompokan komunitas meiofauna interstisial dalam kawasan perairan Selat Dompak pada setiap musim.
219
Pada musim Barat: a) siklus pertama, tipe habitat Bl bergabung dengan tipe habitat B2 membentuk satu kelompok; b) siklus kedua, tipe habitat Al bergabung dengan tipe habitat A2 membentuk satu kelompok; c) siklus ketiga, tipe habitat C bergabung dengan kelompok tipe habitat (A1,A2) membentuk kelompok baru; d) siklus keempat, kelompok tipe habitat (A1,A2;C) bergabung dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) membentuk kelompok baru; dan e) siklus kelima, tipe habitat A3 bergabung dengan kelompok tipe habitat ((A1,A2;C);B1,B2). Pada musim Peralihan II: a) siklus pertama, tipe habitat Bl bergabung dengan tipe habitat B2 membentuk satu kelompok; b) siklus kedua, tipe habitat A2 bergabung dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) membentuk kelompok baru; c) siklus ketiga, tipe habitat C bergabung dengan kelompok tipe habitat (B1,B2;A2) membentuk kelompok baru; d) siklus keempat, tipe habitat A3 bergabung dengan kelompok tipe habitat ((B1,B2;A2);C) membentuk kelompok baru; dan e) siklus kelima, tipe habitat Al bergabung dengan kelompok tipe habitat (((B1,B2;A2);C;)A3) membentuk kelompok baru. Terkait dengan cukup dekat dan cukup jauhnya jarak antar suatu kelompok tipe habitat dengan kelompok tipe habitat lainnya dalam hal struktur komunitas meiofauna interstisial, maka dari keseluruhan hasil analisis kelompok (cluster analysis) yang ditampilkan dalam bentuk dendogram menunjukkan adanya beberapa fenomena yang menarik untuk dikaji secara ekologis, yaitu: 1) cukup dekatnya jarak antara tipe habitat Bl dengan tipe habitat B2 (musim Timur, Barat dan Peralihan II); 2) cukup dekatnya jarak antara tipe habitat A2 dengan tipe habitat Bl (musim Peralihan I); 3) cukup dekatnya jarak antara tipe habitat C dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Timur); 4) cukup dekatnya jarak antara tipe habitat A3 dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I); 5) cukup dekatnya jarak antara tipe habitat A2 dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Peralihan II); 6) cukup jauhnya jarak antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Timur dan Peralihan II); 7) cukup jauhnya jarak antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I); dan 8) cukup jauhnya jarak antara tipe habitat dengan A3 dengan kelompok tipe habitat (A1,A2) (musim Barat).
220
Dekatnya jarak antara tipe habitat Bl dengan tipe habitat B2 (musim Timur, Barat dan Peralihan II) sangat berkaitan erat dengan nilai jarak Euclidean yang dimilikinya. Seperti yang telah dipaparkan di atas, maka jarak antara tipe habitat Bl dengan tipe habitat B2 (pada musim Timur, Barat dan peralihan II) merupakan jarak terkecil bila dibandingkan dengan jaraknya terhadap yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa antara tipe habitat Bl dengan tipe habitat B2 terdapat kemiripan yang tinggi dalam hal komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Terkait dengan jarak Euclidean, pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa kedekatan antara tipe habitat Bl dengan tipe habitat B2 secara ekologis disebabkan oleh 4 (empat) faktor, yaitu: 1) kemiripan dalam hal jenis dan fraksi sedimen yaitu sama-sama memiliki sedimen berlumpur yang berfraksi halus; 2) kesamaan dalam hal nilai potensial redoks (Eh) sedimen yaitu sama-sama memiliki nilai Eh yang rendah; 3) kesamaan dalam hal nilai pH; dan 4) kemiripan dalam hal kandungan oksigen. Perlu diingat bahwa jenis dan fraksi sedimen serta nilai Eh merupakan faktor kunci yang menentukan keberadaan meiofauna interstisial di suatu habitat (Higgins & Thiel 1988; Giere 1993; Nybakken & Bertness 2005). Di samping itu, antara tipe habitat Bl dengan tipe habitat B2 terdapat kesamaan yang lain yaitu sama-sama memiliki vegetasi mangrove yang dapat berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dengan adanya kesamaan dalam hal faktor-faktor ini, maka dapat dipahami bilamana di kedua tipe habitat ini terdapat kemiripan dalam hal komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dekatnya jarak antara tipe habitat A2 dengan tipe habitat Bl (musim Peralihan I) juga berkaitan erat dengan nilai jarak Euclidean, di mana jarak antara tipe habitat A2 dengan tipe habitat Bl merupakan jarak terkecil bila dibandingkan dengan jaraknya terhadap yang lain pada musim ini. Sehubungan dengan nilai jarak Euclidean, di atas telah dijelaskan bahwa kedekatan antara tipe habitat A2 dengan tipe habitat Bl secara ekologis disebabkan oleh faktor berikut: 1) kemiripan dalam hal jenis dan fraksi sedimen yaitu sama-sama memiliki sedimen berlumpur yang berfraksi halus; 2) kesamaan dalam hal nilai Eh sedimen yaitu sama-sama memiliki nilai potensial redoks yang rendah; 3) kesamaan dalam hal nilai pH; dan 4) kemiripan dalam hal kandungan oksigen. Dengan adanya
221
kesamaan faktor-faktor tersebut, maka dapat dipahami bahwa antara tipe habitat A2 dengan tipe habitat Bl terdapat kemiripan yang tinggi dalam hal komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Cukup dekatnya jarak antara tipe habitat C dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Timur) dapat diinterpretasikan bahwa antara tipe habitat C dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Timur) terdapat kemiripan komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Secara ekologis, hal ini dapat disebabkan oleh adanya kemiripan nilai Eh sedimen yang dimiliki oleh ketiga tipe habitat ini yang dapat berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Dengan adanya kemiripan nilai Eh sedimen yang sama-sama memiliki nilai yang rendah, maka dapat dipahami bilamana di ketiga tipe habitat itu terdapat kemiripan komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Cukup dekatnya jarak antara tipe habitat A3 dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I) dan jarak antara A2 dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Peralihan II) dapat diinterpretasikan bahwa antara tipe habitat A3 dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I) dan antara tipe habitat A2 dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Peralihan II) terdapat kemiripan dalam hal komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Kalau dikaji lebih jauh tentang penyebabnya, maka fakta ini diduga kuat berkaitan erat dengan adanya kemiripan dalam hal kondisi ekologis antara tipe habitat A3 dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I), yaitu: 1) kemiripan dalam hal jenis dan fraksi sedimen yaitu sama-sama memiliki sedimen berlumpur yang berfraksi halus; 2) kemiripan dalam hal kandungan bahan organik (TOC dan TOM sedimen); 3) kemiripan dalam hal nilai Eh sedimen yaitu sama-sama memiliki nilai potensial redoks yang rendah; 4) kemiripan dalam hal nilai pH; dan 5) kemiripan dalam hal kandungan oksigen. Dengan adanya kesamaan dalam hal faktor-faktor ini, maka dapat dipahami bilamana di ketiga tipe habitat ini terdapat kemiripan dalam hal komposisi dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Cukup jauhnya jarak antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Timur dan Peralihan II) merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Dikatakan demikian karena walaupun tipe habitat Al, Bl dan B2
222
sama-sama berada dalam ekosistem yang bervegetasi, namun antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (B1,B2) (musim Timur dan Peralihan II) terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Terkait dengan fakta ini, maka faktor ekologis yang diduga kuat menjadi penyebabnya adalah: 1) adanya perbedaan jenis vegetasi, di mana tipe habitat Al bervegetasi lamun, sedangkan kelompok tipe habitat (B1,B2) bervegetasi mangrove; 2) adanya perbedaan jenis dan fraksi sedimen, di mana tipe habitat Al memiliki jenis sedimen lumpur berpasir, sementara kelompok tipe habitat (B1,B2) mempunyai jenis sedimen berlumpur; 2) adanya perbedaan kandungan bahan organik (TOM sedimen) yang signifikan; 3) adanya perbedaan nilai Eh sedimen yang signifikan; 4) adanya perbedaan nilai pH sedimen yang signifikan; dan 5) adanya perbedaan kandungan oksigen. Dengan adanya perbedaan kondisi ekologis dan perbedaan nilai parameter lingkungan yang signifikan ini, maka hal ini membawa konsekuensi pada terjadinya perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (B1,B2). Cukup jauhnya jarak antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I) dapat diinterpretasikan bahwa antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I) terdapat perbedaan jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial yang signifikan. Kalau dikaji lebih jauh tentang penyebabnya, maka fakta ini diduga kuat berkaitan erat dengan adanya perbedaan kondisi ekologis antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) (musim Peralihan I). Kondisi ekologis yang berbeda tersebut adalah: 1) adanya perbedaan kerapatan lamun antara tipe habitat Al dengan tipe habitat A2; 2) adanya perbedaan jenis dan fraksi sedimen, di mana tipe habitat Al memiliki jenis sedimen lumpur berpasir, sedangkan kelompok tipe habitat (A2,B1) mempunyai jenis sedimen berlumpur; 3) adanya perbedaan kandungan bahan organik (TOM sedimen) yang signifikan; 4) adanya perbedaan nilai Eh sedimen yang signifikan; 5) adanya perbedaan nilai pH sedimen; dan 6) adanya perbedaan kandungan oksigen. Dengan adanya perbedaan kondisi ekologis dan perbedaan nilai parameter lingkungan yang signifikan ini, maka jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial juga menjadi berbeda secara
223
signifikan antara tipe habitat Al dengan kelompok tipe habitat (A2,B1) pada musim tersebut. Cukup jauhnya jarak antara tipe habitat dengan A3 dengan kelompok tipe habitat (A1,A2) (musim Barat) merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Dikatakan demikian karena walaupun tipe habitat A3, Al dan A2 sama-sama berada dalam ekosistem padang lamun, namun antara tipe habitat A3 dengan tipe habitat Al terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial. Terkait dengan fakta ini, maka faktor ekologis yang diduga kuat menjadi penyebabnya adalah: 1) adanya perbedaan kerapatan lamun, di mana tipe habitat A3 mempunyai kerapatan lamun yang paling rendah bila dibandingkan dengan kerapatan lamun di kelompok tipe habitat (A1,A2); 2) adanya perbedaan kandungan bahan organik (TOM sedimen); 3) adanya perbedaan nilai Eh sedimen; 4) adanya perbedaan nilai pH sedimen; dan 5) adanya perbedaan kandungan oksigen. Dengan adanya perbedaan dalam hal faktor-faktor ini, maka dapat dipahami bilamana di tipe habitat A3 dan Al terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal jumlah genus dan kelimpahan individu meiofauna interstisial.