8
Gambar 6 Skema bentuk tampilan edema pulmonum. Lobus paru menjadi lebih radioopak (tanda panah berwarna merah). Gambaran radiografi seperti ini diistilahkan sebagai „lobar signs‟ (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady 2004) Interpretasi gambar radiografi dilakukan dengan menggunakan bantuan lampu iluminator. Hasil foto Röntgen yang terkumpul selanjutnya dilakukan dokumentasi dengan mengambil foto hasil foto Röntgen menggunakan camera single lens reflect (SLR) tipe Canon® dan juga menggunakan program Photoshop CS4 Portable ®.
Analisis Data Hasil penelitian yang didapat berupa data kualitatif menggunakan metode skoring. Tanda “ - “ menyatakan tidak adanya temuan klinis pada gambaran radiografi. Nilai “1/3” menyatakan adanya temuan klinis pada satu individu dari tiga individu dalam masing – masing kelompok, nilai “2/3” pada dua individu dan nilai “3/3” apabila temuan klinis ditemukan pada semua individu kelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil analisis gambaran radiografi menunjukkan adanya pengaruh dari tindakan autotransfusi terhadap gambaran radiografi pada daerah toraks. Pada radiogram, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum.
9 Tabel 1 Temuan kelainan pada masing-masing kelompok perlakuan Kelainan Patologis
1
2
3
Kelompok Perlakuan AIS 4 1 2 3 4 1
-
-
-
1/3
SP
AP
-
1/3
1/3
-
-
4
VD 1/3 1/3 1/3 LL 2/3 1/3 2/3 3/3 2/3 1/3 VD Peribronchial Pattern 2/3 1/3 2/3 3/3 2/3 1/3 LL 1/3 1/3 VD Cotton Like Density 1/3 1/3 LL 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 VD Edema Pulmonum 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 LL 1: waktu babi terbius sempurna sebelum autotransfusi (H0), 2: waktu sebelum torakotomi (H+2), 3: waktu setelah torakotomi (H+2‟), 4: waktu panen (H+7). SP: standar pandang. Tanda “ - ” : tidak adanya temuan klinis pada gambaran radiografi. Nilai “1/3” menyatakan prevalensi temuan klinis pada satu individu dari tiga individu dalam masing – masing kelompok, nilai “2/3” pada dua individu dan nilai “3/3” apabila temuan klinis ditemukan pada semua individu kelompok.
Dilatasi Vena Pulmonalis
-
AIP 2 3 -
Berdasarkan data pada Tabel 1, dilatasi pada vena pulmonalis terjadi pada kelompok AP dan AIS. Dilatasi vena pulmonalis teramati pada waktu pengambilan gambar radiografi setelah torakotomi (H+2‟) dan H+7 (kelompok AIS). Sebelum mengalami dilatasi, ukuran vena pulmonalis adalah 4 mm dan setelah mengalami dilatasi menjadi 5 mm. Pada kelompok AP, dilatasi vena pulmonalis hanya teramati pada saat H+7. Kejadian yang serupa tidak ditemukan pada kelompok AIP. B
A
AP
AP
VP
Gambar 7
VP
Arteri dan vena pulmonalis memiliki ukuran yang sama dalam keadaan normal (A). Ukuran vena pulmonalis pada kelompok AIS saat setelah torakotomi mengalami dilatasi sehingga ukuranya lebih besar dari arteri pulmonalis (B). AP: arteri pulmonalis, VP: vena pulmonalis
Kejadian peribronchial pattern ditemukan pada hampir semua kelompok perlakuan. Kejadian ini pada kelompok AP ditemukan setelah torakotomi dan H+7. Kelompok AIS menunjukkan kejadian peribronchial pattern yang luar biasa. Setelah torakotomi, kejadian peribronchial pattern ditemukan pada semua
10 individu. Peribronchial pattern pada kelompoak AIP hanya ditemukan saat sebelum torakotomi pada satu individu dalam kelompok. . A
B
Gambar 8 Kejadian peribronchial pattern pada kelompok AIS saat sebelum torakotomi. Secara radiografi akan terlihat pola berbentuk lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen menyerupain bentuk „donat‟ (panah berwarna merah). A: standar pandang ventro dorsal. B: standar pandang latero lateral Kejadian cotton like density hanya ditemukan pada kelompok AIS ketika sebelum torakotomi. Kejadian yang serupa tidak ditemukan pada kelompok AP dan AIP dari semua waktu pengambilan gambar radiografi. A
Gambar 9
B
Kejadian cotton like density pada kelompok AIS saat sebelum torakotomi yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna kuning. Daerah sekitaran kapiler paru akan tampak masa radioopak menyerupai kapas. A: standar pandang ventro dorsal. B: standar pandang latero lateral
11 Kejadian edema pulmonum ditemukan pada kelompok AP dan AIS. Edema pulmonum pada kelompok AP ditemukan saat sebelum torakotomi dan setelah torakotomi yang terlihat pada standar pandang latero lateral (LL) dan ventro dorsal (VD). Hal yang hampir sama juga ditemukan pada kelompok AIS. Kejadian edema pulmonum pada kelompok AIS ditemukan saat sebelum torakotomi, setelah torakotomi dan H+7. Pada kelompok AIP kejadian edema pulmonun tidak ditemukan. A
B
Gambar 10 Kejadian edema pulmonum pada kelompok AIS saat panen (H+7) yang ditandai dengan lobus paru berwarna lebih radioopak karena adanya akumulasi cairan pada lobus tersebut. Gambaran radiografi seperti ini diistilahkan dengan lobar signs (garis putus – putus berwarna kuning). A: standar pandang ventro dorsal. B: standar pandang latero lateral
Pembahasan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) memiliki patofisiologi yang kompleks dan multipel. Terdapat 3 komponen yang terpisah, yakni stimulus yang menginisiasi atau sebagai penyebab ARDS, respons pasien terhadap stimulus ini, serta peranan iatrogenik yang menyebabkan semakin lanjutnya penyakit. Stimulus awal akan mengaktifkan suatu efek berantai dengan efek paling awal adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler alveolus dan paru (Danielson et al. 2008). Cairan dengan kandungan tinggi protein akan memasuki alveolus, diikuti neutrofil dan makrofag teraktivasi dan suatu reaksi berantai inflamasi dimulai. Reaksi berantai ini akan melepaskan Interleukin, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan mediator inflamasi lain. Neutrofil melepaskan oksidan, leukotrin dan protease (Limas dan Hanafi 2010). Pada trauma abdominal darah yang diambil dari rongga abdomen akan mengalami penurunan hematokrit sebanyak 29-42% tergantung dari cara pengambilannya. Selain itu ditemukan pula kerusakan sel yang tercermin dari peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH) yang mencapai nilai 3890 hingga 4880 U/L (nilai normal >232 U/L) (Limas dan Hanafi 2010).
12 Menurut Baigrie et al. (1991) dan Schroeder et al. (2007), penurunan hematokrit dan peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH) dapat dijadikan parameter untuk menunjukkan adanya lisis sel yang cukup berarti. Lisis sel yang terjadi berupa lisis sel leukosit dan eritrosit. Lisis sel leukosit yang merupakan selsel proinflamasi yang akan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lainnya. Sitokin yang umum ditemukan dalam proses inflamasi akibat autotransfusi adalah IL-1, IL-6, dan Tumor Necrosis Factor- (TNF-). IL-1 merupakan sitokin yang paling pertama muncul dalam peredaran darah setelah terjadinya suatu rangsangan yang menimbulkan inflamasi. TNF- muncul dalam peredaran darah 30 menit setelah trauma dan perdarahan. Kadar TNF- dalam peredaran dan akan kembali menuju normal setelah 24 jam. IL-6 akan meningkat 2 jam setelah trauma, dan nilainya tetap di atas normal hingga lebih 24 jam setelah terjadinya perdarahan (Faist 2004). Proses pencucian darah juga dilaporkan dapat menurunkan kualitas darah yang akan ditransfusikan kembali. Selama proses pencucian, terdapat beberapa komponen darah yang mengendap pada mangkuk sentrifuge dan akan memicu aktivasi platelet dan pelepasan mediator imflamasi (Heath 1995). Hadirnya mediator inflamasi ini dalam sirkulasi darah kemungkinan sebagai penyebab kelainan yang teramati dari gambaran radiografi. Pada radiogram, perubahan yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Dari literatur yang ada, belum dapat dijelaskan secara pasti urutan tahapan kejadian patologis yang teramati. Ketika hewan pengalami perdarahan akibat induksi trauma abdominal kemungkinan sebagai pemicu terjadinya gagal jantung. Darah yang keluar dalam jumlah banyak mengakibatkan jumlah yang tersirkulasikan dalam tubuh menjadi berkurang. Hal ini kemungkinan berdampak pada suplai oksigen dan nutrisi ke sel termasuk sel jantung menjadi berkurang (Wintrobe 2011). Hewan yang mengalami kekurangan darah akan menyebabkan stres jantung melalui takikardia dan hipertofi ventrikel kiri yang dapat menyebabkan sel jantung mengalami apoptosis dan memperburuk gagal jantung (Manolis et al. 2005). Awal dari manifestasi gangguan pada sistem kardiovaskular secara radiografi akan teramati adanya dilatasi vena pulmonalis. Pada dilatasi vena pulmonalis secara radiografi akan terlihat ukuran vena tampak lebih besar dari pada arteri. Dalam keadaan normal, vena dan arteri pulmonalis memiliki ukuran yang sama (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Pada studi lain yang dilakukan oleh Bryk tahun 1970, kasus dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada pasien yang mengalami kelainan jantung pada ventrikel kiri. Akibat gagal jantung pada ventrikel kiri mengakibatkan pemompaan darah oleh ventrikel tidak maksimal. Ketika ventrikel memompa darah akan ada darah yang masih tersisa sebagian dan pengosongan ventrikel tidak terjadi secara sempurna. Hal ini akan mengakibatkan bendungan pada sistem vena. Darah yang terbendung menyebabkan volume darah pada vena semakin tinggi. Volume darah yang tinggi akan menyebabkan pembesaran dinding vena. Secara radiografi akan terlihat vena pulmonalis mengalami pembesaran atau dilatasi (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
13 Peningkatan ukuran vena pulmonalis ditemukan juga pada pasien yang mengalami penyempitan pada katup mitral. Dampak dari katup mitral yang menyempit mengakibatkan aliran darah ke ventrikel kiri menjadi tertahan dan pengosongan atrium kiri tidak optimal. Darah yang masih tersisa pada atrium kiri menyebabkan pembendungan darah dari paru menuju jantung. Darah yang terbendung berdampak pula pada peningkatan tekanan intravaskular dan pembesaran pembuluh darah dalam hal ini adalah vena pulmonalis (Baumgartner et al. 2009). Dari penelitian lain yang dilakukan oleh Takase et al. (2004), kejadian dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada pasien yang mengalami gagal jantung dan gangguan ritme jantung (atrial fibrillation). Hadirnya faktor lain yang mengakibatkan kerusakan dan peregangan vena pulmonalis juga berperan pada dilatasi vena pulmonalis (Medi et al. 2007). Kelanjutan dari dilatasi vena pulmonalis akan ditemukan pula perubahan patologis pola interstitial berupa peribronchial pattern. Pada kejadian peribronchial pattern secara radiografi maka akan terlihat pola berbentuk lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen menyerupai bentuk „donat‟ (Gambar 8) (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Hadirnya peradangan paru akan berdampak pada peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler akan menyebabkan cairan dalam vaskular berdifusi ke interstisial alveolar dan membentuk peribronchial pattern (Kuday dan Hanci 1990). Kelanjutan dari terbentuknya peribronchial pattern, cairan yang terakumulasi akan merembes turun baik di dalam maupun di luar bronkiolus. Dinding bronkiolus tersier tidak dapat terdeteksi karena tidak memiliki cincin kartilaginosa akibat akumulasi cairan tadi. Namun, setelah dinding dalam dan luar bronkiolus tercakup oleh cairan, kontras radiografi dinding akan menjadi lebih radioopak dan kontras lumen lebih radiolusen karena masih diisi dengan udara. Sebagai akibatnya, pada penampang bronkiolus akan muncul sebagai lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen („donat‟) seperti pada Gambar 8. Pada penampang melintang peribronchial pattern terlihat berbentuk „donat‟ dengan garis lebih radioopak dan bagian tengah yang radiolusen. Pada potongan longitudinal maka akan tampak dua garis pararel yang radioopak seperti jalan kereta api (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Menyadari bahwa peribronchial pattern adalah istilah untuk sebuah pola radiografi berupa cairan pada lapisan dalam atau luar dari bronkiolus yang membentuk pola „donat‟ (berdasarkan penampang) atau jalur kereta api (jika memotong longitudinal). Cairan yang bertanggungjawab untuk kejadian peribronchial pattern dapat disebabkan oleh semua cairan baik edema, perdarahan, produksi lendir berlebih dan lain sebagainya. Oleh karena itu, keberadaan peribronchial pattern tidak dapat menyimpulkan bahwa hewan mengalami edema paru. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati tanda – tanda lain berupa pembesaran atrium kiri, pembesaran vena pulmonum, adanya peribronchial pattern itu sendiri atau temuan lain seperti air bronchograms (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler juga berperan pada terbentuknya peribronchial pattern. Gagal jantung mengakibatkan hewan mengalami penurunan dalam kemampuan memompa darah keseluruh tubuh. Apabila gagal
14 jantung terjadi pada jantung sebelah kiri akan berdampak pada ketidakmampuan jantung memompa darah yang kembali ke jantung dari paru (Benton 2012). Darah dari paru akan terbendung sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik darah pada pembuluh balik. Peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan cairan darah (plasma) bocor/keluar dari vaskular ke interstitium paru dan terkumpul sepanjang percabangan arteri, bronkus dan vena. Hal ini yang menyebabkan terbentuknya peribronchial pattern dan siluet dari margin arteri dan vena paru (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Bentuk lanjut dari adanya rembesan cairan pada bronkiolus akan menyebabkan kejadian cotton like density yaitu cairan yang berasal dari kapiler terakumulasi dalam ruang interstisial perivascular dan peribronchial sehingga secara radiografi akan terlihat seperti kapas (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Aktivasi sel proinflamasi yang terjadi dikarenakan adanya trauma terhadap komponen darah. Trauma ini terjadi sewaktu proses autotransfusi yang mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun akibat dari perdarahan yang diakibatkan oleh trauma yang diterima pasien (Limas dan Hanafi 2010). Stimulus awal dari aktivasi sel proinflamasi akan mengaktifkan suatu efek berantai dengan efek paling awal adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler alveolus dan paru. Cairan dengan kandungan tinggi protein akan memasuki alveolus, diikuti neutrofil dan makrofag teraktivasi, dan suatu reaksi berantai inflamasi dimulai (Danielson et al. 2008). Istilah cotton like density digunakan tidak eksklusif untuk suatu kondisi penyakit, melainkan untuk menggambarkan proses kemunculan penyakit. Hal ini terjadi ketika susunan dan pola parenkima paru mengalami infiltrasi sel atau cairan (cairan dapat berupa eksudat ataupun cairan dari perdarahan). Gambaran radiografi akan tampak sebagai wilayah diskrit yang relatif keburaman dengan perbatasan diskrit maupun non-diskrit. Gambaran cotton like density biasanya akan tampak lebih radioopak dengan perbatasan „berbulu‟. Cotton like density juga dapat ditemukan pada individu dengan keadaan paru osteoma, infiltrasi jamur dan daerah paru yang mengalami abses (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Tahapan yang lebih lanjut dari akumulasi cairan dalam ruang interstisial perivascular dan peribronchial adalah terjadinya edema pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Edema pulmonum adalah suatu keadaan abnormal dengan adanya akumulasi cairan di dalam komponen ekstravaskular dari paru. Jumlah relatif cairan intravaskular dan ekstravaskural di dalam paru sebagian besar dikontrol oleh permeabilitas dan tekanan onkotik dari dinding membran vaskular (Gluecker et al. 1999). Secara radiografi edema pulmonum ditunjukkan oleh adanya garis radioopak yang berdekatan dengan daerah radiolusen pada lobus paru yang mengalami edema. Lobus paru yang mengalami edema juga akan tampak lebih radioopak (Gambar 10) (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Menurut Perina (2003), edema pulmonum dapat dibedakan menjadi dua kategori yakni cadiogenic dan noncardiogenic. Edema pulmonum tipe noncardiogenic disebut juga sebagai sindrom pernapasan akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Edema pulmonum tipe cadiogenic terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler. Sebaliknya, kelainan yang menyebabkan edema pulmonum tipe noncardiogenic adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler paru untuk protein sehingga terjadi penumpukan cairan yang kaya protein di alveolar.
15 Dengan terjadinya pelepasan sitokin, maka kapiler akan mengalami permeabilitas lebih tinggi agar sel darah putih dapat masuk ke dalam jaringan. Ketika jumlah sitokin semakin banyak, maka kapiler dalam paru akan melewatkan cairan berlebih ke dalam alveoli. Cairan ini akan menghalangi terjadinya pertukaran oksigen dalam paru (Danielson et al. 2008). Pada penelitian lain oleh Perina (2003) juga menyatakan penyebab edema pulmonum tipe noncardiogenic sangat beragam baik proses patologi secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan perlukaan paru dan alveolar secara langsung diduga sebagai salah satu faktor pemicu. Proses tidak langsung dapat terjadi secara hematogenous dengan adanya pengiriman mediator inflamasi. Mekanisme tidak langsung hasil dari respon peradangan yang berlebihan dapat mempengaruhi kerusakan organ tubuh lainya. Respon peradangan dapat dijelaskan melalui tiga tahapan. Tahap pertama yakni tahap presipitating yang menyebabkan berbagai mediator inflamasi dan sitokin dirilis. Tahap kedua adalah fase amplifikasi, yaitu neutrofil diaktifkan dan diasingkan di organ target (dalam hal ini paru). Fase ketiga adalah fase cidera, yaitu sel yang diasingkan melepaskan oksigen reaktif metabolis sehingga menyebabkan kerusakan sel. Dalam keadaan normal, cairan mengalir dari sistem kapiler ruang interstisial dan kembali ke sirkulasi sistemik melalui sistem limpatik paru. Ketika kapiler menghasilkan cairan ke dalam ruang interstisial melebihi penyerapan limpatik maka akan terjadi edema pulmonum. Kelainan pada permeabilitas kapiler dan gangguan penyerapan oleh sistem limpatik yang menyebabkan terjadinya edema pulmonum. Kejadian ini merupakan kelanjutan dari paru yang mengalami peradangan akibat hadirnya mediator inflamasi tersebut (Perina 2003).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gambaran radiografi daerah toraks menunjukkan adanya temuan sindrom pernapasan akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Perubahan patologis yang terjadi merupakan pengaruh dari aktivasi sel proinflamasi yang terjadi dikarenakan adanya trauma terhadap komponen darah. Trauma ini terjadi sewaktu proses autotransfusi yang mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun akibat dari perdarahan yang disebabkan oleh trauma yang diterima pasien. Pada radiogram, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum. Secara keseluruhan prevalensi kelainan paling besar ditemukan pada kelompok AIS saat setelah torakotomi.