HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan stress. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 1998). Hasil pengamatan sifat fisik daging yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan bakso disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Nilai pH dan Daya Ikat Air Daging Sapi Lama Postmortem (Jam) Peubah
3
pH Daya Ikat Air (%)
6
9
5,75 ± 0,13a
5,98 ± 0,02b
5,86 ± 0,06ab
44,73 ± 1,63a
44,20 ± 4,58a
35,59 ± 3,30b
Keterangan : superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama postmortem daging berpengaruh nyata terhadap nilai pH daging. Penurunan nilai pH terjadi setelah ternak dipotong (postmortem) hingga mencapai pH ultimat dan lama penurunan pH ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun di dalam otot, yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. Perubahan pH ini sangat berpengaruh terhadap warna dan tekstur daging. Sifat fungsional protein daging dapat berkurang pada pH rendah karena terjadinya denaturasi. Sifat tersebut berfungsi sebagai emulsifier yang sangat dibutuhkan dalam pembuatan bakso. Protein dapat mengikat air pada sisi luar (hidrofil) dan mengikat lemak pada sisi dalam (hidrofob). Menurut Gaman dan Sherrington (1992), selama penggantungan daging setelah penyembelihan maka glikogen yang terdapat pada jaringan otot diubah menjadi asam laktat dan pH daging turun dari sekitar 7,4 menjadi 5,5.
Penurunan pH tersebut mengakibatkan denaturasi sebagian protein serat. Selain itu, kegiatan enzim selama penggantungan menyebabkan pemecahan sebagian protein. Daging yang digunakan pada penelitian memiliki laju penurunan pH yang lambat, hal ini dikarenakan cadangan glikogen yang tersedia pada otot. Menurut Soeparno (1998), cadangan glikogen yang banyak pada otot dipengaruhi oleh keadaan ternak sebelum pemotongan yang baik, atau tidak mengalami stress sehingga pH ultimat daging belum tercapai pada postmortem sembilan jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama postmortem daging tiga jam dengan sembilan jam berpengaruh nyata terhadap daya ikat air daging. Penurunan daya ikat air dipengaruhi oleh penurunan pH dan konsekuensi dari protein otot pada titik isoelektriknya. Daya ikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0-5,1 (Soeparno, 1998). Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Bakso Nilai pH Bakso Nilai pH berhubungan dengan kemampuan suatu produk untuk mengikat air, kesan jus daging, keempukan dan juga bisa berhubungan dengan warna dari produk. Rataan nilai pH bakso dengan daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan atau tanpa penambahan khitosan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Nilai pH Bakso Penelitian Lama Postmortem
Tanpa Khitosan
Khitosan
Rataan
(Jam) 3
7,03 ± 0,02a
6,64 ± 0,01b
6.83 ± 0,01
6
6,48 ± 0,01c
6,41 ± 0,01d
6.48 ± 0,01
9
6,21 ± 0,01e
6,18 ± 0,01f
6.19 ± 0,01
Rataan
6,57 ± 0,01
6,41 ± 0,01
Keterangan : superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01)
Lama postmortem dan penambahan khitosan sangat berpengaruh nyata terhadap pH bakso. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang sangat nyata antara daging dengan lama postmortem yang berbeda dengan penambahan khitosan terhadap pH bakso.
Berdasarkan lamanya postmortem, pH yang paling tinggi adalah bakso tanpa penambahan khitosan dengan lama postmortem tiga jam, dibandingkan dengan bakso tanpa khitosan enam dan sembilan jam postmortem. Apabila dibandingkan dengan bakso yang ditambahkan khitosan, bakso tanpa pemberian khitosan pada lama postmortem tiga jam memiliki pH yang nyata lebih tinggi. Khitosan yang digunakan pada penelitian ini adalah khitosan yang telah dilarutkan dengan asam cuka sehingga khitosan memiliki pH yang cenderung asam 5,7 – 5,9 (Linawati, 2006). Hal ini yang menyebabkan bakso daging sapi dengan penambahan khitosan memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan khitosan. Selain itu dari penelitian dapat menunjukkan bahwa semakin lama waktu postmortemnya, maka pH bakso cenderung menurun. Hal ini dikarenakan pH daging mengalami penurunan setelah hewan dipotong (postmortem) hingga tercapai pH ultimat dan lama penurunan pH ini dipengaruhi oleh cadangan glikogen pada otot (Soeparno, 1998). Derajat keasaman yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba, namun dalam industri pengolahan daging yang melibatkan proses penghancuran daging seperti penggilingan, pH yang tinggi lebih disukai karena dapat memperbaiki daya mengikat air (Buckle, 1987). Daging sapi dan produk olahannya mudah rusak dan merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan gizi seperti lemak dan protein. Kerusakan daging dapat disebabkan oleh perubahan dalam daging itu sendiri (faktor internal) maupun karena faktor lingkungan (eksternal). Produk olahan daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan menjadi berlendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak serta menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging dan produk olahannya adalah E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus sp. Proses pengolahan daging yang cukup lama juga memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya (Djaafar dan Rahayu, 2007). Perubahan pH sesudah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun dalam otot, yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan. pH sangat berpengaruh terhadap daya simpan produk olahan daging, karena daging pada pH yang tinggi, berada sekitar pH 6,2 – 7,2, menyebabkan keadaan yang lebih
memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme. Sebagian besar bakteri tumbuh optimal pada pH kira-kira 7,0 (Soeparno, 1998). Daya Ikat Air (DIA) Bakso Rataan nilai daya ikat air pada bakso daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dengan atau tanpa penambahan khitosan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Nilai Daya Ikat Air Bakso Penelitian (%) Lama Postmortem
Tanpa Khitosan
Khitosan
Rataan
3
15,33 ± 1,16
15,00 ± 1,73
15,17 ± 1,45a
6
10,00 ± 1,00
11,55 ± 1,39
10,78 ± 1,20b
9
8,67 ± 1,58
9,83 ± 1,76
9,25 ± 1,67c
Rataan
11,33 ± 1,25
12,13 ± 1,63
(Jam)
Keterangan : superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01)
Lama postmortem yang berbeda sangat berpengaruh nyata terhadap daya ikat air, dan tidak terdapat interaksi antara lama postmortem yang berbeda dengan penambahan khitosan terhadap daya ikat air bakso daging sapi. Bakso daging dengan lama postmortem tiga jam mempunyai nilai daya ikat air yang nyata lebih tinggi, dibandingkan dengan bakso daging pada lama postmortem enam dan sembilan jam. Pada bakso dengan lama postmortem enam jam memiliki nilai daya ikat air yang nyata lebih tinggi dibandingkan bakso dengan lama postmortem sembilan jam. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Buckle (1987) bahwa pH yang tinggi cenderung meningkatkan daya ikat air daripada pH yang rendah dibawah 6,2 karena ada kecenderungan protein sarkoplasma akan kehilangan daya ikat airnya. Daya ikat air protein daging dipengaruhi oleh pH. Penggunaan daging prerigor pada penelitian ini dapat membantu peningkatan daya ikat air, karena kemampuan dalam mengikat air yang tinggi dan pH yang jauh di atas titik isoelektrik dari aktin dan miosin sehingga protein tersebut akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Daging segar atau prerigor akan menghasilkan produk yang baik karena
adanya protein aktin dan miosin dalam bentuk bebas dan belum terbentuk ikatan aktomiosin antara keduanya. Hal ini yang menyebabkan lebih banyak protein yang dapat terekstrak jika dibandingakan dengan daging rigormortis dan post-rigor (Sunarlim, 1992). Daya ikat air juga dipengaruhi oleh kemampuan garam yang berkaitan dengan kemampuan untuk memperluas ruangan antar filamen dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan miofibril (Soeparno, 1998). Dalam penelitian ini menggunakan konsentrasi garam sebanyak 5%, sehingga daya ikat air bakso tinggi.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian Sunarlim (1992) bahwa pada
produk bakso daging sapi yang menggunakan konsentrasi garam 5%, diperoleh peningkatan daya ikat air bakso dengan semakin meningkatnya pemberian konsentrasi garam. Daya ikat air dapat mempengaruhi mutu produk bakso, yaitu daging dengan daya ikat air yang tinggi menyebabkan tekstur bakso menjadi baik. Sebaliknya daging dengan daya mengikat yang rendah menyebabkan teksturnya kurang baik. Pengikat air pada daging dipengaruhi secara kuat dengan penambahan garam. Pengaruh penggunaan khitosan menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata terhadap daya ikat air bakso daging sapi. Faktor yang menyebabkan khitosan tidak berpengaruh nyata adalah konsentrasi khitosan yang rendah. Khitosan sebenarnya memiliki sifat pengikat (binding agent) air, khitosan memiliki muatan positif yang disebabkan oleh kedua ligannya (OH- dan NH2) sehingga dapat berinteraksi dengan protein yang bermuatan negatif. Hal ini yang menyebabkan khitosan dapat meningkatkan daya ikat air karena dapat memperbaiki protein untuk mengikat air dan lemak (Sudrajat,2007). Kekenyalan Bakso Sifat kenyal merupakan sifat fisik produk alam. Sifat ini berhubungan dengan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang dapat menyebabkan deformasi (Soekarto, 1990). Rataan kekenyalan bakso berdasarkan daging sapi pada lama postmortem yang berbeda dan penambahan khitosan atau tanpa penambahan khitosan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Nilai Kekenyalan Bakso Penelitian (%) Lama Postmortem
Tanpa Khitosan
Khitosan
Rataan
3
25,66 ± 2,81
28,26 ± 5,75
26,96 ± 4,28
6
20,97 ± 9,83
27,64 ± 9,12
24,31 ± 9,48
9
16,44 ± 2,88
23,89 ± 3,62
20,16 ± 3,25
Rataan
21,02 ± 5,17
26,60 ± 6,16
24,36 ± 6,23
(Jam)
Perbedaan daging dengan lama postmortem tidak berpengaruh nyata terhadap kekenyalan bakso. Rataan umum kekenyalan bakso daging sapi dengan lama postmortem yang berbeda dengan atau tanpa penambahan khitosan adalah 24,36 ± 6,23%. Penelitian ini menunjukkan bahwa daging yang digunakan pada lama postmortem sembilan jam memiliki tingkat kekenyalan yang sama dengan atau tanpa penambahan khitosan. Hal ini berarti bahwa kemampuan molekul protein dari daging masih dapat membentuk gel yang merupakan faktor yang menyebabkan sifat elastis dari produk daging (Angga, 2007). Selain itu, kekenyalan juga dipengaruhi oleh daging yang digunakan. Pada penelitian ini, daging yang digunakan adalah daging prerigor sehingga dapat mempertahankan daya ikat air yang akan mempengaruhi kekenyalan produk olahan daging (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Penambahan khitosan tidak berpengaruh terhadap kekenyalan bakso. Hal ini dikarenakan konsentrasi khitosan yang digunakan sedikit, sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap kekenyalan bakso daging sapi yang dihasilkan. Menurut Linawati (2006), proses pemanasan selama perebusan bakso mengakibatkan rantai polimer khitosan menjadi pendek sehingga reaktivitasnya dalam mengikat air dan lemak meningkat. Hal ini dapat mempengaruhi kekenyalan bakso daging yang dihasilkan. Sifat Organoleptik Pengujian organoleptik bakso pada penelitian ini dilakukan dengan uji hedonik untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan kekenyalan pada bakso daging sapi. Penilaian organoleptik pada penelitian ini menggunakan lima skala hedonik yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) netral, (4) suka, (5) sangat suka.
Tabel 7. Rataan nilai Kesukaan Bakso Daging Sapi Peubah yang diamati
Tanpa Penambahan Khitosan
Penambahan Khitosan
3 Jam
6 Jam
9 Jam
3 Jam
6 Jam
9 Jam
Warna
3,40
3,33
3,10
3,45
3,63
3,53
Aroma
3,25
3,18
3,28
3,34
3,23
3,48
Rasa
3,45
3,55
3,43
3,55
3,38
3,15
Tekstur
3,30
3,38
3,33
3,70
3,63
3,53
Kekenyalan
3,48
3,43
3,48
3,38
3,38
3,60
Rataan
3,38
3,37
3,32
3,48
3,45
3,46
Warna Tingkat kesukaan terhadap warna bakso daging sapi dengan penambahan khitosan dan tanpa penambahan khitosan pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam tidak berbeda nyata. Rataan hasil uji hedonik warna bakso berkisar antara 3,10 – 3,63 artinya panelis cenderung menilai netral. Panelis memberikan tingkat kesukaan yang sama terhadap bakso daging sapi pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam dengan penambahan khitosan atau tanpa penambahan khitosan. Penambahan khitosan tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso daging sapi. Pengamatan secara visual terhadap fisik bakso menunjukkan bahwa warna bakso yang disukai adalah bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem enam dan sembilan jam. Hal ini disebabkan karena khitosan memiliki kemampuan untuk menstabilkan warna. Karena khitosan mempunyai gugus polar (H+) yang akan berikatan dengan air dan gugus nonpolar (NH2) yang dapat berikatan dengan lemak. Kemampuan khitosan dalam mengikat lemak dapat menstabilkan emulsi dan meningkatkan daya ikat air sehingga dapat memperbaiki warna bakso (Alamsyah, 2006). Warna pada bakso juga dipengaruhi oleh bumbu dan pemasakan. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), temperatur pemasakan sangat mempengaruhi warna daging masak dan produk olahan daging. Mioglobin mengalami denaturasi pada temperatur antara 80-85 ˚C. Penelitian ini menggunakan suhu pemasakan 100˚C sehingga produk berwarna abu-abu. Menurut Pandisurya
(1983), penerimaan warna bakso dipengaruhi oleh banyaknya tepung yang ditambahkan. Semakin banyak tepung yang ditambahkan maka penerimaan warna bakso semakin menurun. Penggunaan tepung dan temperatur pemasakan dalam penelitian ini adalah sama sehingga tidak mempengaruhi warna bakso yang dihasilkan. Bakso dengan penambahan khitosan menghasilkan warna yang cerah dan keamanan pangannya terjamin karena khitosan bersifat alami. Berbeda dengan bakso yang
ditambahkan
formalin,
boraks
dan
pemutih.
Penggunaan
formalin
menghasilkan warna bakso menjadi lebih putih, awet, bersih, kenyal dan membal jika dipantulkan. Bakso juga bisa menjadi lebih kenyal dan awet dengan penggunaan boraks. Boraks yang digunakan dengan berlebihan akan membuat bakso berwarna kekuningan. Sebenarnya warna bakso sangat ditentukan kualitas daging yang digunakan. Daging yang baik jika diolah menjadi bakso berwarna abu-abu kemerahan. Jika bakso berwarna abu-abu kebiruan, mungkin kualitas dagingnya sudah tidak segar lagi atau daging yang digunakan bukan daging kualitas prima (Wahjuadi, 2006). Aroma Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda. Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan yang berlainan. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda akan menimbulkan aroma yang berbeda (Widjajarta, 2007). Tingkat kesukaan terhadap aroma bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam tidak berbeda nyata. Rataan hasil uji hedonik warna bakso berkisar antara 3,18 – 3,48 artinya panelis cenderung menilai netral. Panelis memberikan tingkat kesukaan yang sama terhadap bakso daging sapi pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam dengan penambahan khitosan atau tanpa penambahan khitosan. Hal ini menunjukkan penambahan khitosan tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bakso daging sapi. Hasil survei Andayani (1999) menyatakan bakso yang disukai adalah bakso yang memiliki aroma daging rebus yang kuat disebabkan oleh
tingginya kandungan daging dalam bakso, sedangkan penggunaan tepung yang terlalu tinggi akan menutupi aroma dari daging sehingga tidak disukai oleh panelis. Aroma bakso daging sapi juga dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang digunakan, karena bumbu ini berperan dalam pemberi citarasa dan aroma yang disukai oleh konsumen. Bawang putih dan lada yang ditambahkan ke dalam adonan bakso daging sapi diadsorpsi selama pengolahan. Dalam penelitian ini lama dan suhu pemasakan serta jumlah bumbu yang digunakan pada setiap perlakuan adalah sama sehingga tidak mempengaruhi aroma bakso. Rasa Tingkat kesukaan terhadap rasa bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam tidak berbeda nyata. Rataan hasil uji hedonik rasa bakso berkisar antara 3,15 – 3,55 artinya panelis cenderung menilai netral. Panelis memberikan tingkat kesukaan yang sama terhadap bakso daging sapi pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam dengan atau tanpa penambahan khitosan, sehingga menunjukkan bahwa dengan penambahan khitosan tidak mempengaruhi tingkat penerimaan panelis terhadap bakso daging sapi yang dihasilkan. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis lebih cenderung menyukai bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga jam dan bakso daging sapi tanpa penambahan khitosan pada lama postmortem enam jam. Hal ini diakibatkan oleh rasa yang terlalu asin atau tingkat kegurihan yang berbeda menurut masing-masing panelis. Bakso disukai karena memiliki rasa daging yang cukup kuat, sebab bakso dalam penelitian ini menggunakan daging yang cukup besar persentasenya dibandingkan bahan lain. Hal ini sesuai dengan survei Andayani (1999) yang menyatakan bahwa sebagian besar panelis menyukai bakso dengan rasa daging yang kuat. Penambahan garam pada produk daging mempunyai fungsi untuk meningkatkan citarasa (Kramlich, 1971). Semakin banyak garam yang ditambahkan akan menghasilkan rasa yang semakin kuat sehingga menyebabkan perbedaan kesukaan terhadap bakso. Menurut hasil penelitian Utami (2003), penambahan garam di atas 2% akan menurunkan kesukaan panelis terhadap rasa bakso. Semakin tinggi penggunaan garam maka rasanya semakin asin. Banyaknya garam yang
digunakan pada penelitian ini adalah 5%, tetapi tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bakso daging sapi. Tekstur Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari, gigi, dan langit-langit (tekak). Dari nilai yang diperoleh diharapkan dapat diketahui kualitas makanan. Menurut Meilgaard et al. (1999). Faktor tekstur diantaranya adalah rabaan oleh tangan, keempukan, kemudahan dikunyah serta kerenyahan makanan. Untuk itu cara pemasakan bahan makanan dapat mempengaruhi kualitas tekstur makanan yang dihasilkan. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan terhadap tekstur bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam tidak berbeda nyata. Rataan hasil uji hedonik warna bakso berkisar antara 3,30 – 3,70 artinya panelis cenderung menilai netral. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai tekstur bakso daging dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga jam. Tekstur bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam lebih halus dibandingkan bakso daging sapi tanpa penambahan khitosan. Hal ini disebabkan karena penggunaan khitosan pada bahan pangan mampu mengontrol tekstur (Linawati, 2006). Tekstur bakso daging sapi juga dipengaruhi oleh penambahan es batu pada saat proses pengolahan. Penambahan es batu berfungsi untuk membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penelitian ini menggunakan es batu sebanyak 35% dari berat daging untuk meningkatkan rendemennya dan untuk mencegah agar adonan tidak kering selama pembentukan adonan dan selama perebusan (Wibowo, 2006). Kekenyalan Kekenyalan merupakan suatu variabel tekstur, namun karena merupakan sifat yang menonjol dan sangat mempengaruhi penerimaan konsumen maka dilakukan penilaian tersendiri. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan terhadap kekenyalan bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem tiga, enam dan sembilan jam tidak berbeda nyata. Rataan hasil uji
hedonik terhadap kekenyalan bakso daging sapi berkisar antara 3,38 – 3,60. Panelis lebih cenderung menyukai kekenyalan bakso daging sapi dengan penambahan khitosan pada lama postmortem sembilan jam. Hal ini menunjukkan bahwa bakso yang menggunakan daging sapi pada sembilan jam postmortem masih dapat diterima kekenyalannya oleh panelis. Berdasarkan survei yang dilakukan Andayani (1999), konsumen tidak menyukai bakso yang terlalu kenyal karena akan terasa liat ketika digigit. Selain itu kekenyalan juga dipengaruhi oleh jumlah es yang ditambahkan, semakin banyak jumlah es yang ditambahkan maka kekenyalan akan semakin berkurang (Indrarmono, 1987). Dalam penelitian ini jumlah es dan tepung yang digunakan setiap perlakuan adalah sama sehingga tidak mempengaruhi kekenyalan bakso.