21
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga perkapita, PDRB perkapita, dan tingkat kemiskinan. Berikut disajikan keragaan statistik variabel sosial ekonomi pada tabel 5. Tabel 5 Keragaan statistik variabel sosial ekonomi wilayah kabupaten/kota Proporsi Ibu lulus wajar (%)
Pengeluaran rumah tangga perkapita (Rp/bln)
PDRB Perkapita (Rp/thn)
Tingkat Kemiskinan (%)
Rata-rata
46.5
242,000
9,311,770
20.4
Standar deviasi
15.5
57,634
6,133,094
7.8
Rata-rata
72.9
372,000
16,600,000
16.6
Standar deviasi
13.0
87,606
12,050,409
5.4
Rata-rata
52.8
272,679
11,056,070
16.5
Standar deviasi
18.7
86,288
8,530,416
4.1
t=-7.992 p=0.000*
t=11.161 p=0.000*
Wilayah Perdesaan
Perkotaan
Total
t=-15.423 t=-17.226 p=0.025* p=0.000* Keterangan: *berbeda nyata pada α=0.05 Uji Statistik
Proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) sembilan tahun adalah persentase ibu balita disuatu wilayah yang telah menuntaskan pendidikan minimal SMP atau sederajat. Secara nasional, rata-rata proporsi ibu yang lulus wajib belajar 9 tahun adalah 52.8 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan adalah sebesar 46.5 persen. Rata-rata proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan yaitu sebesar 72.9 persen. Berdasarkan uji statistik, proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perdesaan berbeda dengan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun di perkotaan (t=-15.423, p=0.025). Pengeluaran rumah tangga perkapita adalah rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita yang terdiri atas pengeluaran pangan dan nonpangan di suatu wilayah. Berdasarkan penelitian yang disajikan pada tabel 4, rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita nasional adalah 273 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perkotaan adalah 372 ribu rupiah/bulan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan yaitu 242 ribu rupiah/bulan. Berdasarkan uji statistik, terdapat perbedaan antara
22
pengeluaran rumah tangga perkapita di perdesaan dengan di perkotaan (t=17.226, p=0.000). PDRB perkapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun wilayah tersebut. Rata-rata PDRB perkapita Indonesia adalah sebesar 11.1 rupiah/tahun. Wilayah di perdesaan memiliki rata-rata PDRB perkapita yang lebih rendah dibandingkan angka nasional, yaitu 9.3 juta rupiah/tahun. Sementara itu rata-rata PDRB perkapita wilayah perkotaan adalah 16.6 juta rupiah/tahun. Berdasarkan uji statistik, PDRB perkapita wilayah perdesaan berbeda dengan PDRB perkapita wilayah perkotaan (t=-7.992, p=0.000). Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin yang terdapat di suatu wilayah. Tingkat kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 16.5 persen. Wilayah perdesaan lebih banyak memiliki wilayah miskin dibanding wilayah perkotaan. Tingkat kemiskinan wilayah perdesaan sebesar 20.4 persen, lebih tinggi dari nasional. Sebanyak 63.2 persen wilayah perdesaan merupakan wilayah miskin. Tingkat kemiskinan di perkotaan yaitu sebesar 16.6 persen. Hanya 8 persen wilayah perkotaan yang termasuk kategori miskin. Berdasarkan uji statistik, tingkat kemiskinan wilayah perdesaan berbeda dengan tingkat kemiskinan wilayah perkotaan (t=11.161, p=0.000). Gambaran Umum Status Gizi Balita di Indonesia Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 merupakan salah satu wujud pengejawantahan berfungsinya
dari
sistem
4
grand
informasi
strategy kesehatan
Departemen yang
Kesehatan,
evidence-based
yaitu
melalui
pengumpulan data dasar dan indikator kesehatan. Indikator yang dihasilkan berupa antara lain status kesehatan dan faktor penentu kesehatan yang bertumpu pada konsep Henrik Blum, merepresentasikan gambaran wilayah nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Salah satu data dasar yang dihimpun dalam Riskesdas 2007 adalah data status gizi balita. Penilaian status gizi balita yang dilaksanakan pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 meliputi penilaian status gizi menurut indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Penelitian ini hanya menganalisis status gizi balita yang diukur melalui indikator BB/U.
23
Tabel 6 Proporsi status gizi balita menurut indikator BB/U Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Perdesaan 6.4 14.0 Perkotaan 4.2 11.7 Total 5.4 13.0 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2007
Gizi Baik (%) 75.7 79.3 77.2
Gizi Lebih (%) 3.9 4.9 4.3
Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5.4 persen. Prevalensi gizi buruk di perdesaan sebesar 6.4 persen lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yaitu sebesar 4.2 persen. Sementara itu, prevalensi nasional gizi kurang pada balita adalah 13 persen. Sama halnya dengan prevalensi gizi buruk, prevalensi gizi kurang di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan. Prevalensi gizi kurang di perdesaan adalah sebesar 14 persen dan di perkotaan sebesar 11.7 persen. Dengan demikian, prevalensi nasional untuk gizi buruk dan gizi kurang adalah 18.4 persen. Bila dibandingkan dengan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18.5 persen, maka secara nasional target tersebut sudah terlampaui. Namun apabila data prevalensi dilihat terpisah antara wilayah perdesaan dan perkotaan, maka target MDGs tersebut baru dapat dicapai oleh wilayah perkotaan dengan prevalensi gabungan gizi kurang dan gizi buruk sebesar 16.9 persen. Sementara itu, wilayah perdesaan memiliki prevalensi sebesar 20.4 persen sehingga belum dapat mencapai target MDGs. Sebanyak 216 kabupaten/kota di Indonesia belum dapat mencapai target MDGs. Proporsi balita dengan status gizi baik
secara nasional adalah 77.2
persen (perdesaan=75.7% dan perkotaan=79.3%). Gianyar dan Tabanan merupakan dua Kabupaten dengan proporsi balita dengan status gizi baik terbesar yaitu masing-masing sebesar 90 persen dan 90.6 persen. Dengan demikian sebanyak 9 dari 10 balita di kabupaten tersebut memiliki status gizi baik. Secara keseluruhan, baik di perdesaan, perkotaan maupun nasional, gizi lebih tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya tidak melebihi 5 persen. Namun secara wilayah kabupaten/kota, terdapat sebanyak 142 kabupaten/kota yang memiliki prevalensi gizi lebih melampaui 5 persen. Dengan demikian di kabupaten/kota tersebut gizi lebih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
24
Masalah Kurang Gizi, Gizi Lebih dan Gizi Ganda Masalah kurang gizi (undernutrition) adalah masalah yang dialami suatu wilayah apabila belum dapat mencapai target MDGs untuk prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 18.5 persen. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 51.7 persen wilayah kabupaten/kota Indonesia mengalami masalah kurang gizi. Sebanyak 60.7 persen wilayah perdesaan memiliki masalah kurang gizi. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah kurang gizi adalah sebanyak 23.0 persen. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah kurang gizi dengan tipe wilayah (x2= 0.981, p=0.000). Masalah kurang gizi sering terjadi sejak bayi masih dalam kandungan, balita, remaja, dan akan terus berlanjut terutama pada remaja putri dan wanita dewasa. Anak-anak yang kurang gizi akan tertinggal pertumbuhan fisik, mental dan intelektualnya. Gangguan pertumbuhan ini akan mengakibatkan tingginya angka kematian anak, berkurangnya potensi belajar dan daya tahan tubuh terhadap penyakit serta berkurangnya produktifitas kerja (Soekirman 2000). Tabel 7 Sebaran wilayah kabupaten/kota menurut masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Wilayah
Masalah kurang gizi n %
Masalah gizi lebih n %
Perdesaan (n=318) Tidak ada 125 39.3 215 67.6 Ada 193 60.7 103 32.4 Perkotaan (n=100) Tidak ada 77 77.0 61 61.0 Ada 23 23.0 39 39.0 Total (n=418) Tidak ada 202 48.3 276 66.0 Ada 216 51.7 142 34.0 2 2 Uji statistik (x = 0.981, p=0.000*) (x = 0.254, p=0.182) Keterangan: *keterkaitan nyata pada α=0.05
Masalah gizi ganda n % 269 49
84.6 15.4
93 7
93.0 7.0
362 86.6 56 13.4 2 (x = 0.671, p=0.003*)
Berdasarkan kategori ambang batas masalah gizi Departemen Kesehatan tahun 2000, sebanyak 34.0 persen wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki masalah gizi lebih (overnutrition) yaitu dengan prevalensi gizi lebih melebihi 5 persen. Terdapat sebanyak 32.4 persen wilayah perdesaan yang mengalami masalah gizi lebih. Wilayah perkotaan yang memiliki masalah gizi lebih adalah sebanyak 39.0 persen. Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi lebih dengan tipe wilayah (x2= 0.254, p=0.182). Fenomena gizi lebih merupakan ancaman yang serius karena terjadi di berbagai strata ekonomi, pendidikan, desa-kota, dan lain sebagainya. Menurut Menteri Kesehatan RI, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah kurang
25
gizi terutama yang kronis dan akut, disisi lain juga harus segera menanggulangi masalah gizi lebih yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif. Meskipun prevalensi gizi lebih sudah mengkhawatirkan, tapi keberadaannya sebagai suatu ancaman nyata bagi kesehatan belum banyak disadari masyarakat (BPPSDMK 2011). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat sebanyak 56 kabupaten/kota atau 13.4 persen wilayah di Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Rincian data kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda disajikan dalam lampiran 3. Wilayah perdesaan yang memiliki masalah gizi ganda adalah sebanyak 15.4 persen dari keseluruhan wilayah perdesaan. Jumlah tersebut dua kali lebih banyak dibanding di wilayah perkotaan yang hanya sebanyak 7.0 persen wilayahnya memiliki gizi ganda. Berdasarkan uji statistik, terdapat keterkaitan antara sebaran masalah gizi ganda dengan tipe wilayah (x2= 0.671, p=0.003). Hasil penelitian menunjukkan Sebagian besar wilayah perdesaan (45.3%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah gizi lebih. Akan tetapi sebagian besar wilayah perkotaan (45.0%) yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah karena wilayah tersebut tidak memiliki masalah kurang gizi dan juga tidak memiliki masalah gizi lebih. Tabel 8 menyajikan sebaran wilayah dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Wilayah yang memiliki masalah gizi ganda tersebar di 22 propinsi di Indonesia. Propinsi dengan proporsi wilayah kabupaten/kota terbanyak yang memiliki masalah gizi ganda adalah Propinsi Jambi. Sebanyak 4 dari 10 kabupaten/kota di Propinsi Jambi memiliki masalah gizi ganda. Selain itu, Propinsi Jambi tidak memiliki kabupaten/kota yang terbebas dari masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih secara bersamaan. Propinsi Jawa Barat, Bali, Lampung, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang tidak memiliki wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta memiliki proporsi tertinggi wilayah kabupaten/kota yang bebas dari masalah kurang gizi serta masalah gizi lebih secara bersamaan. Lebih dari separuh kabupaten/kota di propinsi tersebut bebas dari kedua masalah tersebut secara bersamaan. Wilayah kabupaten/kota lain yang tidak tidak tercantum dalam tabel merupakan daerah yang tidak memiliki masalah gizi ganda namun memiliki salah satu diantara masalah kurang gizi atau masalah gizi lebih.
26
Tabel 8 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda serta bebas masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih menurut Riskesdas 2007
No
Propinsi
Total
Jumlah Kabupaten/kota Bebas masalah Masalah gizi ganda kurang gizi dan masalah gizi lebih n % n %
1
NAD
21
7
33.3
4
19
2
Sumatera Utara
25
3
12
5
20
3
Sumatera Barat
19
2
10.5
9
47.4
4
Riau
11
2
18.2
3
27.3
5
Jambi
10
4
40
-
-
6
Sumatera Selatan
14
4
28.6
3
21.4
7
Bengkulu
9
1
11.1
1
11.1
8
Lampung
10
-
-
6
60
9
Bangka Belitung
6
2
33.3
2
33.3
10
Kepulauan Riau
6
1
16.7
2
33.3
11
DKI Jakarta
5
-
-
-
-
12
Jawa Barat
25
-
-
18
72
13
Jawa Tengah
35
-
-
20
57.1
14
DI Yogyakarta
5
-
-
3
60
15
Jawa Timur
37
1
12.5
15
40.5
16
Banten
6
-
-
3
50
17
Bali
9
-
-
6
66.7
18
NTB
8
1
8.3
2
25
19
NTT
15
-
-
-
-
20
Kalimantan Barat
12
2
5.4
1
8.3
21
Kalimantan Tengah
11
3
21.4
-
-
22
Kalimantan Selatan
13
1
7.7
2
15.4
23
Kalimantan Timur
12
3
25
4
33.3
24
Sulawesi Utara
3
-
-
-
-
25
Sulawesi Tengah
10
1
10
-
-
26
Sulawesi Selatan
23
7
30.4
-
-
27
Sulawesi Tenggara
9
2
22.2
1
11.1
28
Gorontalo
5
1
20
-
-
29
Sulawesi Barat
3
-
-
-
-
30
Maluku
7
2
28.6
-
-
31
Maluku Utara
8
-
-
1
12.5
32
Papua Barat
9
1
11.1
1
11.1
33
Papua
17
5
29.4
4
23.5
Indonesia
418
56
13.4
116
27.8
27
Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 9, Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah yang memiliki proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun lebih rendah dari rata-rata nasional atau kurang dari 52.8 persen. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota (34 kabupaten/kota) yang memiliki masalah gizi ganda merupakan wilayah dengan pengeluaran rumah tangga perkapita yang lebih rendah dari rata-rata nasional, atau kurang dari 273 ribu rupiah/bulan. Masalah gizi ganda juga lebih banyak terjadi di wilayah kabupaten/kota dengan PDRB perkapita wilayah yang lebih rendah dibanding PDRB perkapita nasional. Sebanyak 33 kabupaten/kota yang memiliki masalah gizi ganda memiliki PDRB perkapita kurang dari 11.1 juta rupiah/tahun. Tabel 9 Sebaran wilayah kabupaten/kota dengan masalah gizi ganda menurut karakteristik sosial ekonomi wilayah Karakteristik sosial ekonomi Proporsi ibu lulus wajar Pengeluaran rumah tangga perkapita PDRB perkapita Tingkat kemiskinan
Jumlah kabupaten/kota Diatas Dibawah rata-rata nasional rata-rata nasional 22 34
Total 56
22
34
56
23 31
33 25
56 56
Dengan demikian, masalah gizi ganda terjadi di wilayah dengan karakteristik sosial ekonomi yang lebih baik dibandingkan rata-rata nasional maupun sebaliknya. Akan tetapi daerah dengan karakteristik sosial ekonomi wilayah yang lebih rendah dari karakteristik sosial ekonomi nasional memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami masalah gizi ganda. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan proporsi ibu lulus wajar, pengeluaran rumah tangga, dan PDRB sangat diperlukan. Selain itu harus pula dilakukan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Secara keseluruhan, karakteristik sosial ekonomi wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda lebih baik dibandingkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda. Tabel 10 menyajikan karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang memiliki gizi ganda dan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda. Rata-rata proporsi ibu lulus wajib belajar 9 tahun di wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 53.7 persen sedangkan di wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 47.2 persen. Rata-rata pengeluaran rumah tangga perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 274 ribu rupiah/bulan sementara wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 267
28
ribu rupiah/bulan. Rata-rata PDRB perkapita wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda sebesar 11.1 juta rupiah/tahun sedangkan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda sebesar 10.8 juta rupiah/tahun. Tingkat kemiskinan wilayah yang tidak memiliki masalah gizi ganda adalah 18.0 persen sementara tingkat kemiskinan wilayah yang memiliki masalah gizi ganda adalah 20.5 persen. Tabel 10 Rata-rata variabel sosial ekonomi wilayah menurut masalah gizi ganda
Ada
47.2
Pengeluaran rumah tangga perkapita (rupiah) 267,092
Tidak ada
53.7
273,544
11,088,000
18.0
Total
52.8
272,679
11,056,070
16.5
Masalah gizi ganda
Proporsi Ibu lulus Wajar (%)
PDRB Perkapita (rupiah) 10,846,000
Tingkat Kemiskinan (%) 20.5
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Masalah Kurang Gizi, Masalah Gizi Lebih, dan Masalah Gizi Ganda Proporsi Ibu Lulus Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun Berdasarkan hasil penelitian, proporsi ibu balita yang menuntaskan wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=-0.233, p=0.000) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.172, p=0.093). Nilai r yang negatif menunjukkan adanya hubungan kebalikan antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah kurang gizi. Adanya peningkatan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Tabel 11 Hubungan proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih r p r p Perdesaan -0.233** 0.000 0.031 0.551 Perkotaan -0.172 0.093 0.293** 0.001 Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Wilayah
Masalah gizi ganda r p -0.084 0.164 -0.022 0.841
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mahgoub (2006) di Bostwana, Afrika menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan angka kurang gizi pada anak-anak. Tidak terdapatnya hubungan nyata proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun di perkotaan diduga karena ibu di wilayah perkotaan lebih mudah mengakses media-media yang memberikan edukasi terkait kesehatan dan gizi sehingga ibu yang memiliki pendidikan pada tingkat yang lebih rendah pun dapat memiliki pengetahuan
29
tentang kesehatan dan gizi sama baiknya dengan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi darinya. Proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.293, p=0.001) tapi tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=0.031, p=0.551). Peningkatan proporsi ibu yang menuntaskan wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Nurmiati mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang tinggi meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang relatif tinggi sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga meningkat. Hubungan searah yang terjadi antara proporsi ibu lulus wajar sembilan tahun dengan masalah gizi lebih diduga karena peningkatan proporsi hanya seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi tanpa adanya peningkatan pengetahuan gizi. Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tidak terdapat hubungan yang nyata antara proporsi ibu lulus Wajar sembilan tahun dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=-0.084, p=0.164) maupun di perkotaan (r=-0.022, p=0.841). Hal ini mengindikasikan bahwa ada atau tidaknya peningkatan proporsi ibu yang lulus wajar sembilan tahun tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan suatu wilayah baik di perdesaan maupun perkotaan untuk mengalami masalah gizi ganda. Pengeluaran Rumah Tangga Perkapita Hasil uji korelasi Moment Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi di perkotaan (r=-0.215, p=0.042) tapi tidak di perdesaan (r=-0.066, p=0.271). Pengeluaran rumah tangga perkapita juga berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perkotaan (r=0.224, p=0.032) tapi tidak di perdesaan (r=0.076, p=0.228). Peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita akan menurunkan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi dan meningkatkan kecenderungan timbulnya masalah gizi lebih di wilayah perkotaan. Tabel 12 Hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih r p r p Perdesaan -0.066 0.271 0.076 0.228 Perkotaan -0.215* 0.042 0.224* 0.032 Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 Wilayah
Masalah gizi ganda r r 0.102 0.071 -0.075 0.523
30
Pengeluaran rumah tangga perkapita merupakan salah satu indiaktor yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan masyarakat (Sugianti 2009). Masyarakat yang sejahtera akan memiliki akses terhadap pangan dan kesehatan lebih baik. Tidak terdapatnya hubungan pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah kurang gizi dan gizi lebih di perdesaan diduga karena masyarakat di wilayah perdesaan lebih bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka kelola sendiri seperti pangan hasil kebun atau pekarangan rumah. Berdasarkan data hasil penelitian yang disajikan pada tabel 12, tidak terdapat hubungan nyata antara pengeluaran rumah tangga perkapita dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan (r=0.102, p=0.071) maupun di perkotaan (r=-0.075, p=0.523). Adanya atau tidaknya peningkatan pengeluaran rumah tangga perkapita tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah gizi ganda di suatu wilayah perdesaan maupun perkotaan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita PDRB perkapita merupakan indikator makro yang secara agregat dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan masyarakat dari gerak pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan (BPS 2009). Tabel 13 menyajikan hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi di perdesaan dan perkotaan. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.023, p=0.681) dan perkotaan (r=-0.155, p=0.132). PDRB perkapita juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.015, p=0.981) dan perkotaan (r=0.194, p=0.053). Tabel 13 Hubungan PDRB perkapita dengan masalah gizi Wilayah Perdesaan Perkotaan
Masalah kurang gizi r p 0.023 0.681 -0.155 0.132
Masalah gizi lebih r p -0.015 0.981 0.194 0.053
Masalah gizi ganda r p 0.072 0.243 -0.045 0.697
Hubungan nyata juga tidak ditemukan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.072, p=0.243) dan perkotaan (r=-0.045, p=0.697). Dengan demikian, Ada atau tidaknya peningkatan PDRB perkapita tidak berhubungan nyata dengan peningkatan atau penurunan kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda di wilayah perdesan maupun perkotaan.
31
Menurut Gama (2007), hasil pembangunan belum tentu dapat dinikmati oleh semua kalangan, seringkali hanya oleh kelompok minoritas. Angka kemiskinan justru meningkat karena semakin lebarnya kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, maupun masalah gizi ganda diduga karena PDRB perkapita tidak dapat benar-benar mencerminkan kesejahteraan masayarakat karena hasil pembangunan
tersebut
tidak
terdistribusi
secara
merata
pada
seluruh
masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, tidak adanya hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda diduga karena sebagian besar wilayah kabupaten/kota Indonesia memiliki nilai PDRB perkapita yang rendah. Penelitian Ulfani (2010) menunjukkan bahwa 72.1 persen kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB perkapita yang rendah yaitu kurang dari 12.1 juta. Dengan demikian, karena sebagian besar wilayah memiliki PDRB yang rendah maka hubungan antara PDRB perkapita dengan masalah gizi ganda menjadi tidak terlihat. Oleh karena itu, upaya pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan PDRB perkapita. Tingkat Kemiskinan Kemiskinan berkaitan dengan pendapatan atau pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk pangan. Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik (Bappenas 2008). Berdasarkan uji korelasi Moment Pearson, tingkat kemiskinan berhubungan nyata dengan masalah kurang gizi di perdesaan (r=0.163, p=0.001) tapi tidak di perkotaan (r=0.075, p=0.512).
Adanya
peningkatan
tingkat
kemiskinan
akan
meningkatkan
kecenderungan timbulnya masalah kurang gizi di wilayah perdesaan. Sementara itu, tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih di perdesaan (r=-0.063, p=0.267) maupun di perkotaan (r=-0.086, p=0.434). Tabel 14 Hubungan tingkat kemiskinan dengan masalah gizi Masalah kurang gizi Masalah gizi lebih r p r p Perdesaan 0.163** 0.001 -0.063 0.267 Perkotaan 0.075 0.512 -0.086 0.434 Keterangan: ** berhubungan nyata pada α=0.01 Wilayah
Masalah gizi ganda r P 0.037 0.618 0.083 0.442
32
Tingkat kemiskinan juga tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi ganda di perdesaan (r=0.037, p=0.618) dan perkotaan (r=0.083, p=0.442). Dengan demikian, ada atau tidaknya peningkatan tingkat kemiskinan tidak berhubungan nyata dengan masalah gizi lebih dan gizi ganda di perdesaan dan perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi ganda terjadi baik di wilayah yang memiliki tingkat kemiskinan diatas angka nasional atau wilayah miskin maupun wilayah tidak miskin. Menurut Kimani-Murage et al. (2010), wilayah yang lebih maju menghadapi masalah gizi lebih. Namun saat ini wilayah miskin yang masih menghadapi masalah kurang gizi juga mulai menghadapi adanya masalah gizi lebih. Hal ini dikarenakan adanya transisi pola makan masyarakat. Hal ini diduga menjadikan kemiskinan tidak berhubungan dengan masalah gizi ganda. Menurut Hasan (2004), hubungan antar dua variabel atau derajat hubungan antarvariabel dapat diukur dengan koefisien korelasi (r). Pada koefisien korelasi yang bernilai 0.20 < r ≤ 0.40 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut lemah tapi pasti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Sedangkan koefisein korelasi yang bernilai 0.40 < r ≤ 0.70 menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut cukup kuat. Tabel 15 menyajikan hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi ganda. Tabel 15 Hubungan variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi, masalah gizi lebih, dan masalah gizi ganda Variabel
Masalah kurang gizi r p
Perdesaan Proporsi ibu lulus wajar -0.233** 0.000 Pengeluaran rumah -0.066 0.271 tangga perkapita PDRB perkapita 0.023 0.681 Tingkat kemiskinan 0.163** 0.001 Perkotaan Proporsi ibu lulus wajar -0.172 0.093 Pengeluaran rumah -0.215* 0.042 tangga perkapita PDRB perkapita -0.155 0.132 Tingkat kemiskinan 0.075 0.512 Keterangan: *berhubungan nyata pada α=0.05 ** berhubungan nyata pada α=0.01
Masalah gizi lebih r p
Masalah gizi ganda r p
0.031
0.551
-0.084
0.164
0.076
0.228
0.102
0.071
-0.015 -0.063
0.981 0.267
0.072 0.037
0.243 0.618
0.293**
0.001
-0.022
0.841
0.224*
0.032
-0.075
0.523
0.194 -0.086
0.053 0.434
-0.045 0.083
0.697 0.442
Berdasarkan tabel diatas, terdapat hubungan antara beberapa variabel sosial ekonomi dengan masalah kurang gizi dan masalah gizi lebih. Hubungan
33
yang terjadi merupakan hubungan yang lemah, hal ini diduga karena faktor sosial ekonomi bukan merupakan faktor penyebab langsung terhadap terjadinya masalah gizi melainkan penyebab dasar masalah gizi, baik masalah kurang gizi maupun masalah gizi lebih. Sebagaimana yang tertuang dalam kerangka pikir Unicef tentang masalah gizi. Menurut Unicef (1997) dalam WHO (2008), penyebab langsung terjadinya masalah gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi sementara sosial ekonomi merupakan penyebab dasar. Kerangka pikir Unicef juga menunjukkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang sangat kompleks. Hubungan yang lemah antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi semakin menunjukkan masalah gizi sebagai masalah yang kompleks dan penanganannya tidak hanya dilakukan dengan menangani satu aspek saja, atau dalam hal ini variabel sosial ekonomi saja. Akan tetapi terdapatnya hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan masalah gizi mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia dengan status gizi yang baik. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dengan masalah gizi ganda baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini menguatkan hipotesis banyak peneliti yang menyatakan bahwa masalah gizi ganda merupakan masalah yang banyak dialami oleh negara-negara berkembang (Kimani-Murage et al. 2010). Kejadian masalah gizi ganda semakin meningkat di berbagai negara berkembang seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Hal ini ditandai dengan adanya transisi masalah gizi, yaitu masih tingginya masalah kurang gizi dan makin meningkatnya masalah gizi lebih (FAO 2006).