HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Organ Hati Mencit Area Vena Sentralis Vaksin S. Agalactiae yang diradiasi harus aman bagi tubuh, dan tidak merusak organ. Keamanan vaksin ini dapat diamati dari preparat histopatologi organ hati karena hati merupakan organ pendeteksi toksisitas dalam tubuh. Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penetralan racun di hati (Guyton 2006). Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit di daerah vena sentralis. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang, hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, sedangkan nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena sentralis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil perhitungan kelainan daerah vena sentralis hati setelah dilakukan vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae Jumlah hepatosit (persentase %) Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa hidropis lemak b a a K 78,9±6,3 15,9±4,5 4,8±2,7 0,3±0,2a 0,0a T 73,1±7,8b 23,8±8,2ab 3,0±0,9a 0,0a 0,0a b ab a a V 73,7±6,1 23,3±7,4 2,5±1,4 0,3±0,3 0,0a VT 60,6±3,2a 33,2±1,3b 5,4±1,7a 0,7±1,2a 0,0a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT = vaksin tantang.
Berdasarkan analisis dari Tabel 2 diketahui bahwa jumlah hepatosit normal pada kelompok K, T, dan V menunjukkan nilai yang tinggi dan tidak berbeda nyata. Sementara kelompok VT menunjukkan nilai yang rendah. Hal ini dapat disebabkan mencit terpapar dua kali perlakuan yaitu di vaksin dan kemudian ditantang. Penggunaan vaksin tidak selalu bebas risiko. Residual virulen dan toksisitas, respon alergi, penyakit imunodefisiensi dari host, komplikasi neurologikal dan efek berbahaya pada fetus adalah beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan penggunaan vaksin (Tizard 2004). Jumlah sel normal berkurang pada kelompok VT ini karena banyak sel hati yang mengalami
24
degenerasi. Vaksin S. agalactiae telah mengalami radiasi hingga mencapai LD50 sehingga antigen masih dihasilkan oleh bakteri dalam jumlah yang rendah, meliputi antigen protein serotype c, R, X, polisakarida, protein hidrofobik dan hemaglutinin (Wibawan et al. 1995). Antigen tersebut meskipun sangat sedikit namun masih memungkinkan terjadinya degenerasi. Uji tantang yang diberikan akan menambah jumlah sel degenerasi kelompok ini karena antigen bakteri tantang masih murni. Jumlah hepatosit normal kelompok V tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok lain. Vaksin diberikan tiga hari setelah mencit dikawinkan, dan di booster tiga kali pada hari ke 7, 14, dan 21. Jika antibodi masih rendah, maka perlu dilakukan vaksinasi ulang untuk mendapatkan efek booster karena titer antibodi (IgG) akan meningkat dengan adanya efek booster. Booster akan memberikan respon kronis terhadap hati. Respon ini tergantung pada toksisitas antigen yang terkandung di dalam vaksin, bila semakin tinggi tingkat toksin antigen, maka degenerasi yang terakumulasi akan semakin besar (Mori et al. 2009). Berbeda dengan vaksin S. agalactiae yang diradiasi, tidak menimbulkan kerusakan atau degenerasi yang parah pada hati. Hal ini dapat menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan tidak berpengaruh terhadap jumlah hepatosit normal hati. Vaksin yang dicobakan pada mencit adalah berupa bakteri S. agalactiae 17 Gy dari kasus mastitis subklinis yang telah dilemahkan melalui radiasi dengan sinar gamma dari
60
Co(kobalt 60), dan merupakan dosis paling tepat yang dapat
melemahkan bakteri tersebut hingga mencapai LD50. Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa protective immunity dalam melawan bakteri intracelluler tidak dapat diinduksi oleh vaksin killed bakteri. Hanya vaksin yang dibentuk dari bakteri yang dilemahkan yang dapat memberikan efek protektif. Hal inilah yang membedakan stimulasi sel T helper oleh bakteri hidup atau bakteri mati (Tizard 2004). Secara teknis iradiasi merupakan proses sederhana yang mampu mempertahankan sifat struktural mikroorganisme patogen tanpa menghancurkan antigen alamiah atau suatu adjuvant intrinsik. Iradiasi dapat mengubah agen penyakit patogen menjadi non patogen yang mampu menstimulasi sistem kekebalan dalam tubuh (Syaifudin et al. 2008). Vaksin bakteri dilarutkan dalam
25
pelarut NaCl fisiologis. Suatu materi hidup seperti sel, bila terkena sinar gamma akan mengalami kerusakan secara langsung atau tidak langsung. Efek langsung adalah terjadinya pemutusan ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Efek tidak langsung terjadi karena materi sel terbanyak adalah air yang apabila terkena sinar gamma akan mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan materi sel (Tetriana dan Sugoro 2007). Vaksin yang diuji dalam penelitian ini memakai pelarut isotonis yang tidak mengandung radikal bebas karena molekul air yang terpisah akibat radiasi bersifat reversible. Adapun bakteri penantang yang digunakan adalah isolat murni S. agalactiae patogen yang diisolasi dari kasus mastitis subklinis. Bakteri bahan vaksin yang diberikan juga akan menimbulkan respon buluh darah begitu diinjeksikan di intraperitoneal dan kemudian beredar secara sistemik. Zat yang diberikan secara injeksi intraperitoneal pada hewan percobaan akan masuk ke dalam vena sentralis melalui sel darah merah yang beredar secara sistemik (Pratheeshkumar dan Kuttan 2010). Injeksi intraperitoneal bahan yang mengandung produk bakteri seperti interleukin (IL)-1b, radikal bebas, nitrogen species, dan kalsium seluler akan mengaktifkan cytokines. Adanya sitokin atau bacterial Lipopolysaccaride (LPS) akan mengaktifkan Nitric oxide yang berperan dalam vasodilatasi, neurotransmisi koagulasi darah dan regulasi sistem imun yang akan memperparah respon inflamasi (Choi et al. 2009). Vasodilatasi ini menyebabkan zat yang diinjeksi secara intraperitoneal akan beredar sistemik melalui pembuluh darah. Aktifitas inflamasi oleh mediator peradangan dimulai dengan dilatasi pembuluh darah (arteriol, kapiler sampai vena) di sekitar penyebab radang atau jaringan yang rusak. Saat dilatasi, darah yang mengalir di daerah radang menjadi banyak dan memicu kontraksi dan retraksi sel endotel dinding kapiler yang menimbulkan celah antar endotel (Spector dan Spector 1988). Dari celah inilah banyak sel radang yang dapat masuk dalam jaringan sekitar radang. Parameter selanjutnya yang diamati adalah hadirnya sel radang pada daerah vena. Sel radang secara normal dapat ditemukan di area vena hati karena terbawa dalam sistem sirkulasi. Namun dalam jumlah tertentu, banyaknya sel radang akan memberikan efek negatif terhadap fungsi hati. Ditemukannya sel
26
radang selalu terkait dengan peradangan dimana sel endotel akan mengaktifkan prostaglandin sebagai vasodilatator, cytokine sebagai media pemanggil leukosit, dan faktor prokoagulasi (Cheville 2006). Interferon gamma (IFNγ) adalah mediator peradangan yang penting pada kerusakan hati sebagai bagian dari jaringan kompleks cytokine (McCullough 2006). Jenis sel radang yang ditemukan adalah limfosit dan makrofag. Pada vaksinasi, respon awal yang terjadi adalah munculnya antigen spesifik limfosit (Nonnecke et al. 2012). Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa antara keempat kelompok memiliki perbedaan angka jumlah sel radang yang cukup bevariasi secara statistik. Pada area vena sentralis (tabel 2) terdapat perbedaan nyata antara jumlah sel radang kelompok K dengan kelompok VT (p<0,05). Kelompok VT (Gambar 8) menunjukkan nilai peradangan yang paling tinggi diperkirakan karena pada kelompok ini sudah ada induksi vaksinasi sistemik yang menyebabkan hadirnya sitokin yang dapat mengaktifkan sel radang. Hal ini diperkuat oleh uji tantang yang meskipun bersifat lokal di kelenjar mamae, tetapi sitokin yang dimasukkan bersama suspensi bakteri dapat terbawa secara sitemik sehingga merangsang hadirnya sel radang. Vaksinasi menyebabkan sel radang menjadi sensitif, sehingga uji tantang berpengaruh terhadap kondisi sistemik. S. agalactiae memiliki kapsul yang tersusun dari asam sialat dan senyawa karbohidrat lainnya yang membentuk struktur oligosakarida. Kapsul ini sebagai salah satu faktor virulen dari S. agalactiae yang berperan dalam mencegah fagositosis, menentukan ketahanan hidup dan mencegah proses pembunuhan bakteri (Poeloengan 2009). Uji tantang diberikan sehari sebelum nekropsi dilakukan, sehingga diduga masih masih ada respon akut dari jaringan yang memicu terjadinya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan munculnya sel radang pada hati. Kelompok T tidak menunjukkan peningkatan jumlah sel radang pada hati, hal ini disebabkan uji tantang yang diberikan bersifat lokal dengan cara diteteskan pada orificum externa puting mencit dengan bakteri isolat murni S. agalactiae. Bakteri akan dihadang oleh pertahanan lokal ambing yang terdiri dari organ lymphoid, sistem sel T, cytotoxic spesifik limfosit T, level IgG spesifik dan respon proliferasi dari sel mononuklear darah perifer (Tizard 2004; Prelog dan Zimmerhackl 2010). Selain itu pada kelompok T, sel radang tidak mengalami
27
sensitisasi akibat vaksinasi, sehingga tidak terjadi respon cepat sel radang. Bakteri S. agalactiae memiliki hemaglutinin yang merupakan faktor dalam proses adhesi, sebagai langkah awal kolonisasi bakteri pada permukaan sel epitel ambing. Pada penyakit yang bersifat subklinik, kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan ambing maupun gejala klinis yang muncul (Wahyuni et al. 2005). Hal ini menyebabkan jumlah sel radang kelompok T rendah karena bakteri tidak memasuki sistem sirkulasi umum yang sampai ke hati. Parameter toksisitas pada hati yang ketiga adalah terjadinya degenerasi hidropis yang merupakan manifestasi akut dari kebengkakan sel karena masuknya air ke dalam sitoplasma (Cheville 2006). Kebengkakan ini disebabkan oleh kerusakan membran plasma yang menyebabkan kebocoran membran plasma. Selanjutnya K+ dan enzim keluar sel, sementara Ca+, Na+, plasma protein, dan air masuk sel (McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT menunjukkan jumlah sel yang mengalami degenerasi hidropis paling tinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan kelompok lainnya. Hal ini dapat terjadi karena mencit kelompok VT mendapat
perlakuan dua
kali.
Kebengkakan dari
sitoplasma
sel
hati
mengindikasikan terjadinya kerusakan hati secara akut maupun sub-akut. Degenerasi pada hati dapat disebabkan oleh adanya perubahan kromosom yang dapat diinduksi oleh toksisitas suatu agen, waktu paparan, dan interaksi agen asing dengan protein serta enzim yang bertentangan dengan mekanisme pertahanan sehingga dapat menyebabkan atropi dan nekrosis sel hati (Abdelhalim dan Jarrar 2011). Kerusakan pada hati biasanya berhubungan dengan oxidative stress dan reactive oxygen species (Moreno et al. 2008). Ketidakseimbangan reactive oxygen species dalam proses detoksifikasi akan memicu munculnya stres oksidatif sehingga menimbulkan degenerasi sel. Ada beberapa mekanisme seperti efek keracunan sel secara langsung oleh hippuric atau glyoxylic acid metabolites yang dapat merangsang terjadinya kerusakan sel (Ozcan 2007), pemicu lainnya adalah radiasi, zat kimia berbahaya dan obat-obatan. Vaksin dan tantang yang diberikan pada kelompok VT berpotensi mengandung agen toksisitas yang dapat memicu ketidak seimbangan reactive oxygen species, sehingga terjadi degenerasi
28
sel hati. Degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik dan merupakan kerusakan sel karena adanya toksin yang masuk melalui membran sel sehingga mengakibatkan menurunnya produksi ATP dan terganggunya pengaturan ion sodium-potasium (Cheville, 2006), namun perubahan ini bersifat reversible. Parameter terakhir yang diamati adalah degenerasi lemak dari hepatosit. Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari hepatosit dikenal sebagai fatty liver, fatty change, atau hepatic lipidosis. Kelainan ini adalah lesio umum yang sering ditemukan pada hati. Kehadiran lemak tidak selalu mengindikasikan terjadinya proses patologi. Dalam jumlah kecil lemak dapat ditemukan pada hewan normal (Jones et al. 2006). Hepatosit sering diamati sehubungan dengan peningkatan trigliserida pada awal injury karena banyak fungsi hati yang berhubungan dengan metabolisme lemak. Akumulasi lemak berlebih akan menyebabkan lipidosis dan steatosis yang merupakan dampak dari masuknya trigliserida intraselluler di atas normal ke dalam sel. Hepatic steatosis (lipidosis hepatik, fatty liver, degenerasi lemak) dapat ditemukan dalam banyak kondisi fisiologi seperti adaptasi atau disfungsi patologi (Dunlop dan Malbert 2004) yang bisa dipicu oleh pemberian vaksin dan tantang. Penghitungan hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada keempat kelompok menunjukkan hasil yang hampir seragam dan tidak berbeda nyata (p>0,05). Degenerasi ini merupakan perubahan yang reversible dan dalam persentase rendah sehingga tidak berbahaya pada hati atau dapat kembali normal (McGavin dan Zachary 2007). Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena sentralis hati yang disajikan dalam Gambar 8.
29
a
T
K
c
c a
20 µm
20 µm
a
VT
V
c
c b
a 20 µm
20 µm
Gambar 8 Perbandingan gambaran histopatologi vena sentralis setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel degenerasi vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE.
Area Vena Porta Sistem porta memiliki struktur yang unik dalam sirkulasi darah dimana sistem pembuluh darah membawa darah dari kapiler usus menuju kapiler hati. Vena porta membawa darah dari forestomach, glandular stomach, usus, limpa, dan pankreas. Sistem vaskular spesial ini penting sehubungan dengan fungsi hati sebagai organ detoksifikasi dan microbial clearance (Dunlop dan Malbert 2004). Nutrisi seperti glukosa, asam amino, vitamin dan mineral diserap dari usus halus dan disimpan atau dimetabolisme di hati selanjutnya dialirkan ke vena sentralis (Colville 2002; Kanel dan Korula 1992). Apabila terdapat zat berbahaya dalam makanan, maka area porta akan terpapar terlebih dahulu daripada area sentralis sehingga memungkinkan degenerasi yang terjadi lebih banyak. Berbeda halnya dengan pemberian vaksin yang masuk dalam sirkulasi darah. Pengamatan histopatologis mengenai perubahan sel hati pada area vena porta perlu dilakukan
30
untuk membandingkan paparan vaksin berpengaruh pada area porta juga atau hanya pada area vena sentralis saja. Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan adanya perubahan hepatosit di daerah vena porta. Perubahan yang ditemukan meliputi adanya sel radang, hepatosit mengalami degenerasi lemak dan hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis, sementara nekrosa tidak ditemukan. Hasil analisis statistik persentase kelainan hepatosit dan perubahan yang terjadi pada area vena porta disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil perhitungan kelainan daerah vena porta hati setelah dilakukan vaksinasi dan uji tantang S. agalactiae Jumlah hepatosit (persentase %) Kelompok Normal Sel radang Degenerasi Degenerasi Nekrosa hidropis lemak ab a a K 73,4±11,3 21,7±9,9 4,6±2,1 0,1±0,2a 0,0a b a a a T 76,4±9,8 20,1±10,8 3,0±1,3 0,4±0,8 0,0a V 72,6±6,1ab 24,4±6,7a 6,8±2,0a 0,0a 0,0a a a a a VT 58,5±5,1 37,1±7,4 3,3±3,0 0,9±1,6 0,0a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Jumlah sel hepatosit normal hati pada area vena porta (Tabel 3) menunjukkan perbedaan antara keempat kelompok mencit. Kelompok VT menunjukkan jumlah sel normal yang rendah karena perlakuan yang diberikan memicu terjadinya degenerasi, sehingga jumlah sel normal berkurang. Jumlah sel radang pada area vena porta keempat kelompok mencit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata akan hadirnya sel radang sehingga berdasarkan Cheville (2006), vaksin tersebut tidak menimbulkan peradangan. Namun tetap ada kecenderungan kelompok VT yang lebih banyak jumlah sel radangnya akibat terkena dua kali paparan zat asing yaitu divaksin dan ditantang. Vaksin diberikan melalui rute intraperitoneal pada mencit, proses ini mirip dengan injeksi subkutan. Mencit dengan injeksi subkutan di dorsal midline antara skapula akan menjadi bakterimia yang beredar di seluruh pembuluh darah post inokulasi (Colton et al. 2011). Banyaknya sel radang yang hadir di area vena porta pada kelompok VT karena adanya peradangan akibat dua kali perlakuan akan mengaktifkan mediator peradangan sitokin sebagai media pemanggil leukosit sehingga hadir sel radang di area vena hati.
31
Parameter selanjutnya yang dihitung adalah jumlah sel hati yang mengalami degenerasi hidropis. Keempat kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun cenderung tinggi pada kelompok V. Hal ini karena metabolit vaksin yang telah dilemahkan masih sedikit bersirkulasi sistemik dan menyebabkan lesio hati yang masih bersifat reversible. Perubahan sel hati mengalami degenerasi lemak pada area vena porta tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar keempat kelompok mencit. Degenerasi yang ditemukan juga dalam jumlah rendah serta bersifat reversible. Secara keseluruhan, lesio pada area vena porta lebih rendah dari area vena sentralis. Hal ini disebabkan vaksin yang diberikan berjalan melalui peredaran darah melalui arteri hepatika. Sesaat sebelum masuk vena sentralis, darah dari arteri hepatika akan bercampur dengan darah dari pencernaan yang melalui vena porta, kedua darah ini bertemu di area vena sentralis. Struktur histologi vena dan arteri berbeda. Arteri memiliki tunika media yang tebal dan membran elastis internal serta tunika adventisia yang terdiri dari kolagen dan serat elastis, sedangkan vena memiliki lebih sedikit otot polos dan serat elastis pada tunika media serta tunika adventisia yang lebih tebal (Bacha dan Bacha 2000). Hal ini menyebabkan darah dari arteri hepatika hanya menimbulkan lesio di area vena sentralis meskipun pembuluh darah ini berjalan bersama dengan vena porta. Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area vena porta hati antara keempat kelompok yang disajikan dalam Gambar 9.
32
K
T
c
c
b a
20 µm
a
V
c
a 20 µm
VT b c
20 µm
20 µm
a
Gambar 9 Perbandingan gambaran histopatologi vena porta setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. Agalactiae. K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel degenerasi vakuol; c = sel radang. Pewarnaan HE. Secara keseluruhan, sel normal, sel radang, sel degenerasi vakuol dan sel degenerasi hidropis yang terjadi pada sel hepatosit tidak spesifik berubah akibat vaksin maupun tantang (perlakuan). Hal ini dapat membuktikan bahwa vaksin iradiasi yang diberikan pada hewan coba mencit, tidak menyebabkan kelainan hati. Gambaran Histopatologi Organ Ginjal Mencit Tubulus ginjal Untuk melihat toksisistas pengaruh pemberian vaksin S. agalactiae yang diradiasi selain pada hati juga melalui pengamatan pada ginjal. Seluruh peredaran darah dalam tubuh akan melalui penyaringan di ginjal (Guyton 2006). Parameter yang dapat dilihat dari patologi ginjal adalah tubulus dan glomerulus ginjal. Semakin berbahaya suatu zat asing, maka lesio ginjal akan meningkat. Namun lesio ginjal merupakan lanjutan dari hati karena darah akan dinetralisasi dahulu di hati baru difiltrasi di ginjal. Apabila ginjal rusak akibat toksin yang bersirkulasi
33
melalui darah, maka hati akan mengalami kerusakan yang lebih parah. Hati menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso dan Nurliani 2006). Hasil pengamatan menunjukkan perubahan pada sel epitel tubulus ginjal setelah diberikan perlakuan. Terdapat perubahan sel epitel tubulus berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Hasil analisis statistik persentase sel tubulus ginjal yang mengalami perubahan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil perhitungan kelainan tubulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae Jumlah tubulus (persentase %) Kelompok Normal Degenerasi Degenerasi Degenerasi Nekrosa hidropis lemak hyalin a ab a K 92,8±2,9 2,3±2,1 0,4±0,7 0,9±1,6 a 3,3±0,0a a b a a T 92,6±3,0 5,0±1,5 0,0 0,0 2,3±1,7a V 93,7±2,0a 0,9±0,6a 0,0a 1,4±2,1 a 3,8±1,1a a b a a VT 89,0±5,0 4,5±1,8 0,7±1.0 0,9±1 4,6±3,0a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Sistem tubuler ginjal meliputi tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang semuanya nanti akan berakhir di duktus kolektivus (McGavin dan Zachary 2007). Pengamatan preparat histopatologis yang dilakukan adalah menghitung area tubulus ginjal terutama bagian tubulus proksimal dan tubulus distal yang normal, mengalami degenerasi hidropis, degenerasi lemak, degenerasi hyalin dan nekrosa. Pada mamalia, darah dari arteri renalis dikirim ke afferent arteriole lalu masuk percabangan kapiler glomerulus. Kapiler ini selanjutnya bersatu menuju efferent arteriole yang membawa darah keluar dari glomerulus untuk kembali ke sirkulasi melalui vena renalis. Darah yang terfiltrasi di glomerulus kemudian masuk tubulus proksimal cabang tipis dari lengkung Henle’s thick ascending limb aparatus juxtaglomerulus tubulus kontortus distal connecting
segment duktus kolektivus
(Cunningham 2002). Vaksin yang diberikan secara injeksi intraperitoneal akan masuk ke ginjal melalui siklus tersebut. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa jumlah sel tubulus normal pada keempat kelompok menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p<0,05), namun cenderung lebih rendah pada kelompok VT. Nilai
34
tubulus normal kelompok VT yang rendah disebabkan mencit terpapar dua kali perlakuan yaitu di vaksin dan ditantang. Jumlah tubulus normal yang tinggi pada kelompok V menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan tidak memberikan efek toksik sehingga tidak menyebabkan lesio pada sel tubulus normal ginjal. Hal ini disebabkan vaksin yang berasal dari mikroba dilemahkan (attenuated) telah berkurang faktor virulennya sehingga tidak lagi menyebabkan penyakit (Tizard 2004). Jumlah sel degenerasi hidropis pada tubulus ginjal menunjukkan peningkatan pada kelompok T dan VT, serta berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok V. Keadaan ini menjelaskan bahwa vaksin (kelompok V) yang digunakan tidak berpotensi menyebabkan lesio degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal seperti yang terjadi pada kelompok K. Adapun tingginya nilai degenerasi hidropis pada VT dan T dapat disebabkan karena mencit terdepres imunitasnya akibat tantang yang diberikan. Bakteri penantang yang telah dimetabolisme di hati akan mengalami filtrasi di ginjal sehingga mempengaruhi terjadinya degenerasi pada tubulus ginjal kedua kelompok ini. Degenerasi hidropis merupakan perubahan umum yang sering terjadi akibat adanya luka. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan ukuran dan volume sel oleh air karena kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan meregulasi pengeluaran cairan. Mekanisme pembengkakan sel pada kondisi akut biasanya akan menyebabkan kerusakan membran sel, kegagalan memproduksi energi, atau kerusakan enzim yang meregulasi ion channels dari membran. Kebengkakan sel merupakan respon terhadap gangguan homeostasis sel sebagai efek sekunder akibat respon mekanik, hypoxic, toxic, radikal bebas, viral, bacterial, dan kerusakan imun (McGavin dan Zachary 2007). Degenerasi hidropis tubuler tadi jika terus berlanjut akan diikuti vasokonstriksi arteriol glomerulus, lalu menyebabkan iskemik, diikuti dengan nekrosis tubulus (Prakoso 2008). Kondisi degenerasi hidropis ini merupakan perubahan yang reversible apalagi dalam persentase yang cukup kecil, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi ginjal. Beberapa bakteri yang digunakan dalam vaksin memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari enzim lysososom maupun makrofag. Mekanisme yang dapat terjadi pada sel antara lain bakteri dapat masuk dalam sitoplasma , bakteri
35
dapat mencegah terjadinya fusi antara lysosom dan phagosome, serta bakteri resisten terhadap enzim lysosomal. Beberapa hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan intraseluler (Tizard 2004). Kerusakan yang mungkin terjadi adalah degenerasi vakuol sel tubulus ginjal. Akumulasi lemak atau trigliserida dalam sitoplasma dari sel dikenal degenerasi lemak (Jones et al. 2006). Degenerasi vakuol pada tubulus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada keempat kelompok mencit, namun terlihat peningkatan yang lebih tinggi pada kelompok VT. Hal ini wajar terjadi karena mencit mengalami dua kali perlakuan. Seperti halnya degenerasi hidropis, degenerasi vakuol dalam jumlah yang relatif rendah merupakan perubahan sel yang reversible sehingga tidak memberikan efek negatif terhadap ginjal. Degenerasi hyalin pada tubulus biasanya menunjukkan adanya material protein dalam sel yang diserap dari filtrat glomerulus yang melewati tubulus. Hal ini dapat mengindikasikan terjadinya kelainan ekskresi protein yang diserap oleh tubulus. Secara mikroskopik, sel epitel tubulus akan tampak seperti granul eosinophilik yang terang. Di dalam lumen, materi albumin ini akan nampak seperti presipitat terang yang berwarna merah muda (Smith et al.1975). Penyakit pada glomerulus akan merusak filtration barrier dan menurunkan kemampuan permeabilitas
selektif terhadap
protein.
Glomerulus
menjadi
meningkat
permeabilitasnya terhadap protein plasma yang lebih besar. Protein ini akan melewati filtration barrier dan tidak secara penuh diserap oleh tubulus sehingga diekskresikan dalam urin (proteinuria). Tubular proteinuria biasanya berhubungan dengan penyakit ginjal akut (keracunan dan hipoksia) namun dapat juga bersifat kongenital (Stockham dan Scott 2008). Keempat kelompok mencit menunjukkan nilai degenerasi hyalin yang tidak berbeda nyata, dengan standard deviasi yang tinggi. Hal ini disebakan tingginya variasi individu. Faktor penyebab antara lain adalah defisiensi oksigen, agen fisik, agen infeksius, ketidakseimbangan nutrisi, kelainan genetik, beban kerja yang berlebihan, disfungsi imunologi, bahan kimia, obat-obatan dan toksin (McGavin dan Zachary 2007). Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi mencit selama penelitian karena mencit yang digunakan bukanlah mencit SPF (Spesific Pathogen Free), sehingga mencit mungkin telah terpapar infeksi sebelum diadaptasi.
36
Sel nekrosa yang dihitung adalah berdasarkan terjadinya piknosis pada inti sel tubulus ginjal. Piknosis yaitu keadaan dimana nukleus mengecil, gelap, homogen, dan bulat. Piknosis merupakan lanjutan dari penggumpalan kromatin pada awal degenerasi dan biasanya terjadi pada nekrosa tubulus distal ginjal (McGavin dan Zachary 2007). Kelompok VT memperlihatkan angka sel piknosis yang lebih tinggi. Hal ini wajar terjadi, karena secara fisiologis sel memang memang mengalami pergantian atau kematian. Saat sel normal yang mengalami signal stres, radiasi, kerusakan DNA, dan deplesi oksigen, sel dapat beristirahat atau mengalami program cell death (apoptosis) atau keduanya. Protein PS3 yang merupakan tumor supressor sering muncul bila ada variasi eksogen/endogen signal kerusakan DNA akibat radiasi sinar γ, radiasi sinar Ultra Violet, bahan kimia dan stress oksidasi (Cunningham 2002). Secara keseluruhan nekrosa yang terjadi tidak berbeda nyata pada keempat kelompok mencit. Gambaran tubulus ginjal disajikan dalam Gambar 10.
K
b
T
d
a
a 20 µm
20 µm
V
b a
VT a T b c
20 µm
20 µm
Gambar 10 Perbandingan gambaran histopatologi tubulus.K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel degenerasi hidropis; b = sel piknosis; c = sel degenerasi vakuol; d = sel degenerasi hyalin. Pewarnaan HE.
37
Glomerulus ginjal Hasil percobaan menunjukkan adanya perubahan pada daerah glomerulus ginjal berupa hadirnya sel radang dan perubahan ukuran kapsula dan glomerulus. Hasil analisis statistik persentase lesio disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil perhitungan kelainan glomerulus ginjal setelah dilakukan vaksinasi dan ditantang S. agalactiae Kelompok Jarak kapsulaJumlah sel radang Luas glomerulus glomerulus K 2,7±0,2a 3,2±1,2b 518,9±98,3a T 2,5±0,4a 3,5±0,6b 580,8±274,8a a ab V 2,6±0,5 2,3±0,6 468,8±70,1a VT 2,6±0,4a 1,7±0,2a 875,8±223,3a Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05). K= kontrol negatif; T= kontrol positif; V= vaksin; VT= vaksin tantang.
Area diantara glomerulus dan kapsula Bowman’s disebut sebagai Bowman’s space dan merupakan tempat pengumpulan filtrat glomerulus yang selanjutnya akan disalurkan pada segmen pertama dari tubulus proksimal ginjal (Cunningham 2002). Semakin meluasnya Bowman’s space, maka semakin banyak filtrat yang masuk dalam tubulus proksimal. Namun hal ini dapat pula mengindikasikan terjadinya atropi glomerulus yang dapat membahayakan tubuh. Hasil perhitungan menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan secara statistik pada Bowman’s space kelompok K, T, V, dan VT. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin tidak bersifat toksik terhadap ginjal. Struktur kapiler glomerulus berfungsi dalam filtrasi glomerulus. Dinding dari Glomerular filtration barrier ini terdiri dari capillary endotelial cell, glomerular basement membran, dan glomerular epitelial sel (podosit) (Bacha dan Bacha 2000; Cunningham 2002). Banyaknya pembuluh darah yang mengisi glomerulus memungkinkan banyak ditemukan sel radang dalam glomerulus baik yang bersifat normal sebagai pertahanan lokal, maupun karena disfungsi patologi. Jumlah sel radang yang dapat dihitung pada area glomerulus ginjal menunjukkan perbedaan yang nyata antara VT dengan K. Kelompok VT memperlihatkan jumlah sel radang yang lebih sedikit daripada ketiga kelompok lainnya, sedang K tidak berbeda nyata dengan kelompok V dan T. Paparan faktor eksternal sangat mungkin menyebabkan variasi ini. Apabila dalam penelitian digunakan mencit SPF maka kemungkinan bias akan semakin kecil. Perubahan yang terjadi secara
38
morfologi pada glomerulus ginjal adalah nekrosis, proliferasi dari sel glomerulus dan kapsula Bowman’s, infiltrasi leukosit dan penurunan fungsi vaskular perfusion atau peningkatan vaskular permeability (McGavin dan Zachary 2007) yang secara histopatologi dapat dilihat dari peningkatan luasan Bowman’s space. Kelompok VT menunjukkan nilai luas glomerulus yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan dilatasi pembuluh darah yang aktif akibat peningkatan aktifitas tubuh. Namun tidak ada perbedaan yang nyata antara keempat kelompok. Glomerular capillary tuft atau glomerular rete adalah jaringan dari cabang dan anastomose kapiler (Eurell dan Frappier 2006). Jaringan ini disuport oleh mesangial matrix yang disekresikan oleh sel mesangial. Sel mesangial mengekskresikan prostaglandin, cytokin, inflamasi mediator, sintesis colagen dan mesangial matrix serta memiliki fungsi fagositik (McGavin dan Zachary 2007). Semakin banyak agen yang beredar dalam darah, maka kinerja ginjal akan semakin berat. Endotelial sel akan mengalami hipertropi sehingga glomerulus ginjal tampak meluas. Hal inilah yang menyebabkan kelompok VT memiliki area glomerulus yang paling luas karena mencit kelompok ini terpapar dua agen yaitu vaksin S. agalactiae yang diradiasi dan tantang S. agalactiae patogen. Kerusakan primer glomerulus biasa muncul sebagai akibat dari deposisi imun kompleks, terjadinya thromboemboli dan bakteri emboli, virus, atau infeksi bakteri pada komponen glomerulus(McGavin dan Zachary 2007). Berikut disajikan perbedaan gambaran histopatologis area glomerulus ginjal. Gambaran area glomerulus disajikan dalam Gambar 11.
39
T
K
a
a b 20 µm
20 µm
V
VT a
a 20 µm
20 µm
Gambar 11 Perbandingan gambaran histopatologi glomerulus. K = kontrol ; T = tantang ; V = vaksin ; VT = vaksin tantang, a = sel radang, b = jarak kapsula-glomerulus. Pewarnaan HE. Secara keseluruhan, vaksin yang diberikan tidak berdampak buruk pada organ ginjal yang dapat diamati secara histopatologis dari area tubulus dan glomerulus ginjal. Kelompok V tidak menunjukkan perbadaan yang nyata dalam jumlah sel degenerasi, sel nekrosa nekrosa, sel radang dan perluasan glomerulus ginjal dengan kelompok K. Hal ini membuktikan bahwa vaksin iradiasi S. agalactiae yang digunakan dalam penelitian tidak bersifat toksik pada ginjal mencit.