IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN (PROSES PENCAMPURAN AWAL) Parameter pengamatan yang digunakan pada proses pencampuran awal ini adalah persentase volume pemisahan air terhadap volume total produk pencampuran. Semakin kecil persentase pemisahan air maka semakin optimal pencampuran yang terjadi sehingga semakin optimal pula hasil produk pencampuran yang didapat.
25,00 2499 rpm; 1 menit
Pemisahan air (%)
20,00
2646 rpm; 1 menit 2843 rpm; 1 menit 3167 rpm; 1 menit
15,00
2499 rpm; 2 menit 2646 rpm; 2 menit
10,00
2843 rpm; 2 menit 3167 rpm; 2 menit
5,00
2499 rpm; 3 menit 2646 rpm; 3 menit
0,00
2843 rpm;3 menit 5
10
15
20
3167 rpm; 3 menit
Waktu Pengamatan (menit)
Gambar 10. Kurva pemisahan air (%) setelah proses pencampuran awal pada suhu ruang (25oC) Gambar 10 menunjukkan kurva pemisahan air (%) setelah proses pencampuran awal yanga dilakukan pada suhu ruang (25oC). Gambar tersebut menunjukkan semakin lama pemisahan air yang diamati menghasilkan persentase pemisahan air yang semakin besar. Hal ini dikarenakan energi yang diberikan oleh alat pencampur kepada emulsifier Tween 80 masih terlalu rendah untuk mempertahankan emulsi kasar (coarse emulsion) dari koalesen. Droplet-droplet dalam emulsi kasar ini nanti akan dikecilkan ukurannya untuk membentuk sebuah emulsi yang baik menggunakan high pressure homogenizer. Proses destabilisasi emulsi dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme fisik yang meliputi creaming, sedimentasi, flokulasi, koalesen, dan inversi fase (McClements 2004). Pengemulsi Tween 80 yang dipakai pada produk ini dapat menstabilkan emulsi dengan cara menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka emulsi minyak dengan air, serta serta membentuk coating yang protektif di sekeliling droplet yang akan mencegah dari koalesen dengan lainnya (McClements 2004). Proses pencampuran awal ini meliputi lama pencampuran serta kecepatan pencampuran.
22
Gambar 10 menunjukkan bahwa waktu proses pencampuran yang menghasilkan persentase pemisahan air yang terkecil hingga terbesar berturut-turut yakni 3 menit, 2 menit, dan 1 menit. Data ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin lama waktu pencampuran pada kecepatan pencampuran yang sama menghasilkan persentase pemisahan air yang lebih kecil. Hal ini terjadi karena dalam waktu pencampuran yang semakin lama akan menghasilkan energi yang semakin lebih besar untuk membuat pengemulsi lebih mampu menstabilkan droplet air dalam produk emulsi ini (Peters 1992 dan McClements 2004). Hasil penelitian ini menguatkan penelitian dari Ghannam (2005) yang menjelaskan bahwa pada kecepatan pencampuran yang sama, semakin lama waktu pencampuran akan menghasilkan emulsi yang stabil. Dari optimasi lama pencampuran ini dapat disimpulkan bahwa waktu pencampuran selama 3 menit menghasilkan produk emulsi yang paling optimal daripada selama 2 menit dan 1 menit. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa kecepatan proses pencampuran yang menghasilkan persentase pemisahan air terkecil hingga terbesar pada waktu pengamatan yang sama serta lama proses pencampuran yang sama berturut-turut dari terkecil hingga terbesar yakni kecepatan 3167.0 rpm, 2843.0 rpm, 2646.0 rpm, dan 2499.0 rpm. Data ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin besar kecepatan pencampuran menghasilkan persentase pemisahan air yang semakin kecil. Hal ini dikarenakan kecepatan pencampuran yang semakin besar akan menghasilkan energi yang besar untuk membuat pengemulsi lebih mampu menstabilkan droplet air dalam produk emulsi ini (Peters 1992 dan McClements 2004). Untuk membuat sebuah emulsi diperlukan suplai energi untuk menghancurkan dan mencampur baurkan fase air dan minyak yang dihasilkan dari agitasi secara mekanik (Walstra 1993; Walstra dan Smulder 1998; Schubert et al., 2003). McClements (2004) menjelaskan ukuran droplet di dalam sebuah emulsi dapat berkurang dengan meningkatnya intensitas atau durasi energi penghancuran selama homogenisasi (sepanjang ada emulsifier yang cukup untuk menutup permukaan droplet yang dibentuk). Dari proses kecepatan pencampuran ini dapat disimpulkan bahwa kecepatan pencampuran sebesar 3167.0 rpm menghasilkan produk emulsi yang paling optimal daripada kecepatan pencampuran sebesar 2843.0 rpm, 2646.0 rpm, dan 2499.0 rpm. Dari data pada Gambar 10 serta pada pembahasan di atas menunjukkan bahwa kecepatan proses pencampuran 3167.0 rpm selama 3.0 menit menghasilkan produk yang optimal. Jadi diputuskan variabel proses pencampuran 3167.0 rpm selama 3.0 menit digunakan untuk penelitian utama.
B. PENELITIAN UTAMA (OPTIMASI PROSES HOMOGENISASI) Homogenisasi dengan high pressure homogenizer tergolong homogenisasi sekunder dimana droplet-droplet dalam emulsi kasar yang dihasilkan dari pencampuran awal (homogenisasi primer) dengan alat high speed mixer akan dikecilkan ukurannya untuk membentuk sebuah emulsi yang baik (McClements 2004). Emulsi yang baik pada analisis yang dilakukan pada penelitian tahap utama ini dinyatakan dengan meningkatnya kestabilan emulsi yang diukur dengan modifikasi metode Yasumatsu et al. 1972 dan metode Malvern dengan alat Mastersizer 2000. 1. Homogenisasi satu tahap Gambar 11 menunjukkan kurva stabilitas emulsi yang dinyatakan dalam persentase emulsi yang stabil pada berbagai tekanan homogenisasi tahap pertama dengan menggunakan modifikasi metode Yasumatsu et al. Tekanan 100 bar menghasilkan stabilitas emulsi sebesar (92.00 ± 0.00) %,
23
tekanan 150 bar menghasilkan (93.75 ± 1.06) %, tekanan 200 bar menghasilkan (95.50 ± 0.71) %, serta tekanan 250 bar menghasilkan stabilitas emulsi sebesar (96.50 ± 0.35) %. Gambar 11 juga menunjukkan kecenderungan stabilitas emulsi yang semakin besar dengan meningkatnya tekanan homogenisasi. Kestabilan emulsi menunjukkan proses pemisahan emulsi yang berjalan lambat sehingga proses tersebut tidak teramati selama selang waktu yang dinginkan (Frieberg et al. 1990). Data perhitungan stabilisasi emulsi pada homogenisasi tahap pertama selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Stabilitas emulsi (%)
98 97 96 95
y = 5.000ln(x) + 68.89 R² = 0.995
94 93 92 91 0
50
100
150
200
250
300
Tekanan (bar)
Gambar 11. Kurva stabilitas emulsi yang dinyatakan dalam % pada berbagai tekanan homogenisasi satu tahap. Error bar diperoleh dari propagasi error absolut hasil pengukuran Gambar 12 menunjukkan kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d3,2] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi tahap pertama yang diukur dengan alat Mastersizer 2000 berdasarkan metode Malvern. Tekanan 100 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.61 ± 0.05) µm, tekanan 150 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.55 ± 0.06) µm, tekanan 200 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.50 ± 0.01) µm, dan tekanan 250 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.44 ± 0.00) µm. Gambar 13 menunjukkan kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d4,3] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi tahap pertama yang diukur dengan alat Mastersizer 2000. Tekanan 100 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (2.65 ± 0.45) µm, tekanan 150 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (2.24 ± 0.04) µm, tekanan 200 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (2.18 ± 0.01) µm, dan tekanan 250 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (2.01 ± 0.04) µm. Gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa nilai ukuran droplet (µm) yang dinyatakan dengan nilai [d3,2] dan [d4,3] pada homogenisasi tahap pertama akan semakin kecil dengan semakin meningkatnya tekanan. Semakin kecil nilai [d3,2] dan [d4,3] menunjukkan ukuran droplet emulsi yang semakin kecil. Salah satu hasil pengukuran distribusi ukuran partikel dengan alat Mastersizer 2000 dapat dilihat pada Lampiran 4.
24
Ukuran droplet d 3,2 (µm)
2,00 1,80 1,60 1,40
y = -0.18ln(x) + 2.471 R² = 0.979
1,20 1,00 0
50
100
150
200
250
300
Tekanan single (bar)
Ukuran droplet d 4,3 (µm)
Gambar 12. Kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d3,2] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi satu tahap yang diukur dengan alat Mastersizer 2000 berdasarkan Metode Malvern. Error bar menunjukkan standar error of mean dari 2 kali ulangan
3,40 3,20 3,00 2,80 2,60 2,40 2,20 2,00 1,80 1,60 1,40 1,20
y = -0.67ln(x) + 5.702 R² = 0.943
0
50
100
150
200
250
300
Tekanan single (bar)
Gambar 13. Kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d4,3] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi satu tahap yang diukur dengan alat Mastersizer 2000 berdasarkan Metode Malvern. Error bar menunjukkan standar error of mean dari 2 kali ulangan
Di dalam high pressure homogenizer ini, energi input ditingkatkan melalui peningkatan tekanan homogenisasi atau resirkulasi emulsi melalui alat (McClements 2004). Hal ini berarti semakin besar tekanan homogenisasi yang diberikan akan menghasilkan energi pada alat yang semakin besar dalam menghancurkan droplet emulsi menjadi lebih kecil. Peningkatan tekanan akan memperkecil ukuran droplet emulsi yang dihasilkan lalu meningkatkan umur simpan produk dengan memperlambat creaming (Heffernan et.al 2009). Meningkatnya umur simpan produk ini berkorelasi dengan produk emulsi yang semakin stabil. Dari data kestabilan emulsi berdasarkan modifikasi metode Yasumatsu et al. 1972 dan metode Malvern diputuskan untuk memakai tekanan 250 bar sebagai tekanan yang paling optimal untuk dipakai ke tahap penelitian selanjutnya yakni homogenisasi tahap dua tahap. Tekanan 250 bar merupakan tekanan paling optimal karena menghasilkan kestabilan emulsi paling besar pada modifikasi metode Yasumatsu dan metode Malvern.
25
2. Homogenisasi dua tahap Homogenisasi dua tahap dilakukan dengan menggunakan tekanan 250 bar pada tahap pertama dan tekanan 40 bar, 60 bar, dan 80 bar pada tahap kedua. Gambar 14, 15, dan 16 terdapat tiga tekanan yang disajikan. Tekanan 40 bar, 60 bar, dan 80 bar maksudnya yakni dilakukan homogenisasi tahap kedua pada tekanan 40 bar, 60 bar, dan 80 bar setelah sebelumnya dilakukan homogenisasi tahap pertama pada tekanan 250 bar. Dalam alat homogenizer yang dipakai, alat disetting pada tekanan 250 bar untuk tahap pertama kemudian disetting tekanan homogenisasi tahap kedua. Yang perlu diperhatikan dalam satu running bahan awal terdapat dua tahap homogenisasi yakni homogenisasi tahap pertama pada tekanan 250 bar, serta homogenisasi tahap kedua.
Stabilitas emulsi (%)
98 97 96 95 y = 1.712ln(x) + 89.03 R² = 0.771
94 93 92 91 0
20
40
60
80
100
Tekanan (bar)
Gambar 14. Kurva stabilitas emulsi yang dinyatakan dalam % pada berbagai tekanan homogenisasi tahap kedua. Homogenisasi tahap pertama dilakukan pada tekanan 250 bar. Error bar diperoleh dari propagasi error absolut hasil pengukuran
Gambar 14 menunjukkan kurva stabilitas emulsi yang dinyatakan dalam persentase emulsi yang stabil pada berbagai tekanan homogenisasi dua tahap, dimana dipakai tekanan 250 bar sebagai homogenisasi tahap pertama dengan modifikasi metode Yasumatsu et al. Tekanan 40 bar menghasilkan (95.50 ± 0.35) %, tekanan 60 bar menghasilkan (95.67 ± 0.00) %, serta tekanan 80 bar menghasilkan stabilitas emulsi sebesar (96.75 ± 0.35) %. Berdasarkan Gambar 14, stabilitas emulsi mengalami kencenderungan meningkat dari tekanan tahap kedua pada 40 sampai 80 bar. Tekanan 80 bar mempunyai nilai stabilitas emulsi yang paling besar dari tekanan homogenisasi tahap kedua lainnya. Namun dilihat dari nilai propagansi errornya, nilai stabilitas emulsi pada tekanan 60 bar memiliki nilai yang kemungkinan bisa sama dengan tekanan 80 bar. Data perhitungan stabilisasi emulsi pada homogenisasi tahap kedua selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Gambar 15 menunjukkan kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d3,2] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi dua tahap, dimana dipakai tekanan 250 bar sebagai homogenisasi tahap pertama yang diukur dengan alat Mastersizer 2000 berdasarkan metode Malvern. Tekanan 40 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.33 ± 0.03) µm, tekanan 60 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.17 ± 0.10) µm, dan tekanan 80 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.18 ± 0.10) µm. Gambar 16 menunjukkan kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d4,3] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi dua tahap, dimana dipakai tekanan 250 bar sebagai homogenisasi tahap pertama
26
ukuran droplet d3,2 (µm)
yang diukur dengan alat Mastersizer 2000. Tekanan 40 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.71 ± 0.03) µm, tekanan 60 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.53 ± 0.12) µm, dan tekanan 80 bar menghasilkan ukuran droplet sebesar (1.53 ± 0.11) µm. 2,00 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40
y = -0.22ln(x) + 2.132 R² = 0.777
0
20
40
60
80
100
Tekanan (bar)
ukuran droplet d4,3 (µm)
Gambar 15. Kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d3,2] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi tahap kedua. Homogenisasi tahap pertama dilakukan pada tekanan 250 bar. Error bar menunjukkan standar error of mean dari 2 kali ulangan 2 1,8 1,6 1,4 1,2
y = -0.27ln(x) + 2.685 R² = 0.812
1 0,8 0
20
40
60
80
100
Tekanan (bar)
Gambar 16. Kurva ukuran rata-rata droplet emulsi [d4,3] sebagai fungsi dari tekanan homogenisasi tahap kedua. Homogenisasi tahap pertama dilakukan pada tekanan 250 bar. Error bar menunjukkan standar error of mean dari 2 kali ulangan
Gambar 15 dan 16 menunjukkan bahwa nilai ukuran droplet (µm) yang dinyatakan dengan nilai[d3,2] dan [d4,3] pada homogenisasi tahap kedua pada tekanan 40 hingga tekanan 60 bar akan semakin kecil dengan semakin meningkatnya tekanan, sedangkan ukuran droplet tidak dapat mengecil lagi ketika tekanan ditingkatkan menjadi 80 bar. Data perhitungan distribusi ukuran droplet dengan Mastersizer 2000 pada homogenisasi tahap kedua dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 6. Dari pengamatan kestabilan emulsi pada homogenisasi tahap kedua berdasarkan Gambar 14, 15 dan 16 dengan metode Yasumatsu et al. dan metode Malvern dapat dikatakan bahwa tekanan 60 bar sudah cukup menghasilkan produk emulsi yang lebih stabil. Kestabilan ini dapat dilihat dari nilai % stabilitas emulsi yang paling besar berdasarkan metode Yasumatsu et al. serta ukuran rata-rata droplet
27
emulsi yang paling kecil berdasarkan metode Malvern. Pengecilan ukuran droplet ini hanya dapat mengecil hingga tekanan 60 bar pada homogenisasi tahap kedua. Tekanan homogenisasi tahap kedua sebesar 80 bar ternyata menghasilkan ukuran diameter droplet yang besarnya relatif sama dengan ukuran diameter droplet pada tekanan 60 bar pada homogenisasi tahap kedua. McClements (2004) menyatakan di bawah kondisi homogenisasi yang diberikan (besar energi, komposisi emulsi, suhu), ada ukuran tertentu dimana droplet emulsi tidak dapat diperkecil dengan homogenisasi yang berulang sehingga sistem homogenisasi tidak akan menjadi efektif. Faktor lain yang menyebabkan ketidakefektifan proses pada energi yang semakin besar adalah keefektifan emulsifier berkurang dengan panas yang berlebihan atau rusak pada tekanan yang tinggi. Floury et al. (2000) juga menjelaskan bahwa pada tekanan, shear, dan suhu yang tinggi dapat merusak beberapa unsur dan karakter emulsi pangan. Dari tahap homogenisasi dengan alat high pressure homogenizer ini, dapat dikatakan tekanan homogenisasi dua tahap dengan tekanan 250 bar pada homogenisasi tahap pertama serta tekanan 60 bar pada tahap kedua merupakan tekanan yang optimal pada produk emulsi ini. Hal ini dikarenakan tekanan ini menghasikan produk emulsi yang paling stabil.
C. ANALISIS PRODUK AKHIR Analisis produk akhir yang dilakukan oleh perlakuan homogenisasi satu tahap pada tekanan 250 bar. Perlakuan tekanan ini diasumsikan memilki sifat yang sama dengan produk emulsi yang telah mengalami homogenisasi paling optimal yakni homogenisasi dua tahap dengan tekanan 250 bar pada homogenisasi tahap pertama serta tekanan 60 bar pada tahap kedua. 1. Total Karoten Nilai total karoten menunjukkan keunggulan produk emulsi dari minyak sawit merah ini. Dari analisis total karoten pada produk tersebut, dihasilkan nilai karoten sebesar (152.92 ± 0.56) ppm. Data perhitungan pengukuran total karoten minyak sawit merah dan produk emulsi dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil pengujian total karoten ini dapat digunakan untuk menghitung kadar β-karoten. Naibaho (1990) menyebutkan bahwa karoten yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari α-karoten sebesar ± 36.2%, β-karoten ± 54.4%, γ-karoten ± 3.3%, likopen ± 3.8%, dan santofil ± 2.2 %. kandungan β-karoten produk emulsi ini sebesar 83.19 ppm. Perhitungan β-karoten produk emulsi dapat dilihat pada Lampiran 7. FDA (2009) menyatakan bahwa suatu pangan dapat diklaim mengandung karoten tinggi apabila dapat memenuhi 20% Angka Kecukupan Gizi (AKG) vitamin A per takaran saji. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 nomor 1593 menetapkan bahwa AKG (Angka Kecukupan Gizi) rata-rata yang dianjurkan bangsa Indonesia (per orang per hari) untuk vitamin A (dalam satuan RE) pada pria dewasa (19-29 tahun) dan wanita dewasa (19-29 tahun) adalah masing-masing 600 RE dan 500 RE. Jika diasumsikan pada produk minuman emulsi siap dikonsumsi dengan berat takaran saji sebesar 10 g, produk ini dapat memenuhi 23.11 % AKG vitamin A per takaran saji untuk pria dewasa serta 27.73 % AKG vitamin A per takaran saji untuk wanita dewasa. Perhitungan nilai RE produk per takaran saji dapat dilihat pada Lampiran 8. Klaui dan Bauerfeind (1981) menyatakan bentuk β-karoten mempunyai aktivitas 100 % vitamin A. Nilai persentase kandungan vitamin A per takaran saji pada produk ini terhadap AKG pada
28
pria dewasa dan wanita dewasa di atas 20%. Jadi bisa dikatakan produk emulsi ini mengandung kaya vitamin A atau β-karoten.
2. Karakteristik Sifat Aliran Fluida dan Viskositas Produk
Shear stress [Pa]
Sensor yang digunakan adalah jenis NV, dimana sensor tersebut digunakan untuk mengukur reologi bahan pangan yang mempunyai viskositas rendah. Viskositas terukur emulsi diukur menggunakan Viscometer Rotovisco RV20 pada laju geser 200-800 1/s, suhu 25°C, dan waktu 10 menit. Grafik nilai range sistem sensor NV pada alat Haake Rotovisco RV20 dapat dilihat pada Lampiran 9. 30 25 20 15 10 5 0
y = 0.029x R² = 0.986
0
200
400
600
800
1000
Shear Rate D [1/s] Gambar 17. Kurva hubungan antara shear rate (1/s) dan shear stress (Pa) Berdasarkan Gambar 17, dengan menggunakan model Newtonian di mana τ = µ γ menunjukkan bahwa nilai shear stress (τ) meningkat secara linear dengan meningkatnya nilai shear rate (γ). Oleh karena itu produk emulsi ini mempunyai aliran kekentalan ideal (Kleinert 1976) yang sering disebut sebagai aliran Newtonian. Aliran Newtonian memberikan hambatan yang sama terhadap aliran pada shear rate tertentu (Heldman dan Singh 1988). Dari persamaan y= 0.029x yang dihasilkan dari perhitungan dengan menggunakan model Newtonian, menunjukkan produk ini mempunyai nilai viskositas (µ) sebesar 0.029 Pa.s atau 29 cp. Hubungan antara shear rate (1/s) dengan viskositas (Pa.s) lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 18. Dari gambar tersebut terlihat nilai viskositas produk yakni sekitar 0.029 Pa.s atau 29 cp pada shear rate antara 200 1/s dan 800 1/s. Apabila dicermati lebih lanjut dari bahan dasar sampel ini, terlihat bahwa produk yang akan dihasilkan memiliki aliran fluida yang Newtonian. Terbukti bahwa kandungan bahan produk emulsi yang terdiri dari minyak sawit, air , sirup fruktosa, dan tween 80 memiliki indeks aliran 1.0 pada suhu 25°C (Rao 1999). Data hasil pengukuran reologi dengan Rotovisco RV 20 dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 10. Fluida Newtonian umumnya banyak ditemukan pada kebanyakan gas atau larutan dengan berat molekul rendah seperti bahan non polimer dan juga larutan dengan konsentrasi rendah seperti sirup gula, air daging, minuman ringan, dan susu. (Glicksman 1969). Holdswotrh (1993) menyatakan produk yang tergolong fluida Newtonian adalah minuman-minuman dari buah, jus buah yang telah diklarifikasi dan dihilangkan pektinnya serta beberapa produk telur.
29
Gambar 18. Kuurva hubungan antara shear raate (1/s) dengaan viskositas (P Pa.s)
3 Uji Proksim 3. mat Hasil uji prokssimat dapat diliihat pada Tabeel 9, sedangkan H n perhitungan uuji proksimat dapat d dilihat paada L Lampiran 11. Tabel 9. Hasil H uji proksim mat produk em mulsi Kadar (% basiis basah) Komponnen Air (%) 34.47 Abu (%)) 0.02 0.11 Protein (%) ( 60.15 Lemak (%) ( Karbohiddrat (%) 5.25
a.
Kada ar Air
K Kadar air adalaah persentase kkandungan air suatu bahan ppangan, yang dapat d dinyatakkan berdasarkaan berat basahh (wet basis). K Kadar air beratt basah mempuunyai batas maaksimum teoriitis sebesar 1000% (Syarief dan Halid 1992)). Untuk mengetahui jumlah air pada bahann pangan terdappat beberapa metode yang dapat digunakkan seperti meetode oven, ovven vakum, daan destilasi, Kaarl Fischer, dan d penetapan dengan mengggunakan alat moisture metter (Apriyantoono dkk. 19888). Pengukuraan kadar air paada penelitian ini menggunakan metode oveen. D Tabel 10 menunjukkan Dari m bbahwa kandunngan kadar air (%) ( berat basaah sebesar 34.447. Hal ini menunjukkan m bahwa produkk tersebut addalah menganddung air yangg cukup tingggi. Kandungaan air berasal dari d dua sumbber yang berbeeda yakni air bbahan dasar daan air dari siruup fruktosa. b. Kada ar Abu A Abu merupakaan residu dallam proses pembakaran. p K Kadar abu daari suatu bahhan menunjukkkan total minneral yang terkkandung dalam m bahan terseebut. Umumnyya mineral yanng terkandung di dalam abuu berada dalam m bentuk metal oksida, senyaw wa sulfat, fosfaat, nitrat, kloridda, dan senyaawa anorganik k lainnya (Milller 1996). Meenurut Nielsenn (1998),terdaapat tiga metode pengabuan n yaitu pengabbuan kering yanng dapat digunnakan pada prooduk secara um mum, pengabuuan basah untuuk sampel den ngan kandungaan lemak tingg gi atau untuk taahap preparasii pengujian traace
3 30
element dan pengabuan suhu rendah untuk sampel yang mengandung elemen volatil. Pengukuran kadar abu pada penelitian ini menggunakan metode pengabuan kering. Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan kadar abu (%) basis basah sebesar 0.02. Kandungan abu ini berasal dari sirup fruktosa yang dipakai sebagai bahan pembuatan produk emulsi. Dalam SNI 01-2985-1992, dinyatakan bahwa sirup fruktosa mengandung kadar abu sebesar 0.05%. c.
Kadar Lemak
Lemak merupakan sumber zat tenaga kedua setelah karbohidrat. Sekitar 20-25% dari kebutuhan kalori sekali diperoleh dari lemak (Muchtadi 1992). Lemak dapat mengalami kerusakan selama proses pemanasan. Metode yang dapat digunakan untuk melakukan penetapan kadar lemak yaitu metode ekstraksi soxhlet, Babcock, Gerber, dan Roese-Gottlieb (Apriyantono dkk. 1988). Lemak pada bahan makanan terikat dalam protein dan karbohidrat, dan proses ekstraksi langsung dengan menggunakan pelarut non polar merupakan tindakan yang tidak efisien (Nielsen 1998) sehingga sebelum dilakukan ekstraki dengan menggunakan pelarut non polar diperlukan proses pendahuluan hidrolisis. Metode ekstraksi soxhlet digunakan pada pada pengukuran kadar lemak penelitian ini. Kadar lemak (%) berat basah produk diperoleh sebesar 60.15. Kandungan lemak ini berasal dari minyak sawit merah yang besarnya 60.34% dari total formula. Kadar lemak hilang 0.19% dari bahan awalnya karena rusaknya sebagian lemak saat proses pemanasan (hidrolisis). d. Kadar Protein Protein berfungsi tidak hanya sebagai zat pembangun tetapi juga dapat menghasilkan kalori sebagai sumber tenaga (Muchtadi 1997). Pengukuran kadar protein dapat dilakukan dengan metode Kjeldahl, biuret, dan Lowry (Apriyantono dkk. 1988). Metode Kjehdahl dilakukan pada penelitian ini. Nilai protein ini merupakan kadar protein kasar dengan asumsi kadar nitrogen yang terkandung dalam protein sebesar 16% yang membuat nilai konversi 6.25 untuk mengubah kadar nitrogen ke dalam kadar protein. Kadar protein yang terdapat pada produk minuman emulsi ini sebesar 0.11 %. Sangat kecilnya kadar protein ini karena bahan awal yang digunakan tidak banyak mengandung protein. Adapun protein yang terdeteksi berasal dari sirup fruktosa yang dipakai sebagai formula. Kadar protein dalam sirup fruktosa ini berasal dari enzim yang masih ada dalam produk sirup fruktosa atau berasal protein yang memang sengaja ditambahkan pada formula sirup fruktosa yang dipakai. e.
Kadar Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Sebanyak 60-80% dari kalori diperoleh tubuh berasal dari karbohidrat (Muchtadi 1997). Penelitian ini menggunakan metode by difference dalam menentukan kadar total karbohidrat yang terkandung. Kadar karbohidrat produk ini sebesar 5.25 %. Karbohidrat ini berasal dari sirup fruktosa yang digunakan dalam formula.
31