HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel pipih dan sel fibroblas, berbentuk spindel agak membulat dengan beberapa penjuluran sitoplasma (Gambar 4).
c
c b
a
b
a
A
B
Gambar 4. Kultur in vitro sel fibroblas : A. Sel fibrosit; B. Sel fibroblas; (a) Penjuluran sitoplasma, (b) Inti sel, (c) Sitoplasma; A-B Preparat natif; Bar: 20 µm.
Sel fibroblas dan fibrosit memiliki inti sel yang berbentuk lonjong dan memiliki satu atau dua nukleoli yang kadang-kadang terlihat. Hal ini sejalan dengan Samuelson (2007) yang menyatakan bahwa sel fibrosit umumnya berbentuk spindel dengan penjuluran sitoplasma yang saling bersentuhan. Sedangkan, sel fibroblas memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan sel fibrosit (Eurell dan Sickle 1998) dengan beberapa penjuluran sitoplasma yang berbentuk irregular (Junquieira dan Carneiro 2005). Menurut Eurell dan Sickle (1998) inti sel fibrosit hanya dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang berwarna pucat. Sel fibrosit merupakan bentuk tidak aktif dari sel fibroblas (Junquieira dan Carneiro 2005). Menurut Eurell dan Sickle (1998) sel fibrosit merupakan sel yang paling umum ditemui pada jaringan ikat. Sel fibrosit memiliki kemampuan untuk membelah diri dan kembali aktif menjadi fibroblas saat dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan yang rusak.
Selain dengan pengamatan secara natif, sel fibroblas juga diamati morfologinya dengan pewarnaan HE (Gambar 5).
c
b
a
Gambar 5. Sel-sel fibroblas dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Inti sel fibroblas terlihat dengan jelas (a) dengan satu atau dua nukleoli (b), sedangkan bagian sitoplasma tidak terlalu jelas (c). Bar: 20 µm.
Menurut Aughey dan Fyre (2001) sel-sel fibroblas tidak dapat terwarnai dengan baik menggunakan metode HE karena adanya kandungan bahan dasar jaringan ikat yang berlimpah dan bersifat seperti gelatin. Pernyataan Aughey dan Fyre (2001) ini mendukung hasil pewarnaan HE dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa dengan pewarnaan HE sel-sel fibroblas hanya terlihat jelas di bagian inti selnya saja, sedangkan sitoplasmanya kurang jelas. Oleh karena sitoplasma sel tidak terlihat dengan jelas, sulit dilakukan pembedaan antara sel fibroblas dengan sel fibrosit. Hal ini juga sejalan dengan Eurell dan Sickle (1998) yang menyatakan bahwa dengan pewarnaan HE, hanya inti sel fibroblas saja yang dapat terlihat jelas, sedangkan bagian membran plasmanya tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan metode pewarnaan lain yang diharapkan dapat mewarnai sel fibroblas dengan lebih baik misalnya pewarnaan Van Gieson,
Masson's trichrome, atau Periodic acid Schiff (PAS) yang merupakan jenis pewarnaan jaringan ikat.
Pertumbuhan Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil penghitungan jumlah sel fibroblas memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah sel baik pada kultur primer maupun pada kultur galur sel setelah mengalami pasase. Sedangkan dilihat dari PDT, tampak bahwa dengan meningkatnya jumlah pasase, waktu PDT menjadi semakin kecil (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah dan PDT sel fibroblas pada kultur in vitro Galur
Jumlah sel awal
Jumlah sel akhir
PDT (hari)
Kultur primer
6,0 x 106
16 x 106
4,2
1
2,4 x 106
6 x 106
3,7
5
1,2 x 106
3 x 106
2,2
9
2,0 x 105
6 x 105
1,9
Doubling time adalah periode waktu yang diperlukan oleh sel untuk menjadikan jumlah atau ukurannya dua kali dari jumlah maupun ukuran semula (Mader 2000). Semakin cepat proses proliferasi (pembelahan) sel, maka PDT yang dicapai pun akan semakin cepat. Pada kultur primer tampak bahwa PDT adalah 4,2 yang menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk proses pembelahan sel adalah 4,2 hari, waktu ini jauh lebih tinggi dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pembelahan sel secara in vivo yaitu berkisar 18–24 jam (Butler 2004). Hal ini disebabkan komposisi sel pada kultur primer masih tidak homogen. Selain itu, selsel pada kultur primer belum bisa beradaptasi dengan lingkungan in vitro, sehingga pertumbuhannya belum terlalu baik. Namun demikian, seiring dengan dilakukannya pasase yang mengarah kepada homogenisitas sel, maka waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk membelah semakin cepat dan bahkan setelah sel mengalami pasase ke 9, PDT menunjukkan nilai yang semakin mendekati kisaran waktu normal yang dibutuhkan untuk pembelahan secara in vivo. Sel yang telah
mengalami beberapa kali pasase akan semakin homogen dan akan lebih mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan in vitro. Menurut Freshney (2005) setelah pasase ke tiga, sel yang dikultur akan menjadi lebih stabil dan mampu berproliferasi dengan lebih cepat. Peningkatan jumlah sel ini berkolerasi dengan hasil pengamatan morfologi sel. Semakin homogen sel di dalam kultur, maka tingkat proliferasinya juga akan semakin cepat. Menurut Freshney (2005), proliferasi sel dipengaruhi oleh faktor dari lingkungan. Oleh karena itu, selain faktor homogenitas, salah satu faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap tingkat proliferasi sel adalah kepadatan sel. Sel dermal fibroblas akan berkembang relatif seragam (uniform) pada kultur dengan kepadatan rendah (sekitar 104 sel/ml), dan sebaliknya pada kultur dengan kepadatan tinggi (sekitar 105 sel/ml), sel yang berkembang akan relatif tidak seragam, terjadi induksi terhadap sel untuk berdiferensiasi, dan terjadi penghambatan proliferasi sel (Freshney 2000). Sel fibroblas dalam penelitian dikultur dengan konsentrasi 105 yang menurut Freshney (2000) termasuk dalam kategori padat, oleh karenanya proliferasi sel juga tidak berjalan dengan baik. Penghambatan proliferasi sel dapat diinisiasi oleh kontak antar sel dan ditonjolkan oleh kepadatan, perubahan resultan pada bentuk sel, dan penurunan penyebaran sel (Freshney 2005). Kepadatan menyebabkan terjadinya induksi dan diferensiasi karena kontak antar sel memungkinkan terbentuknya gap junction dan menyebabkan metabolit mengsinkronisasi ekspresi diferensiasi di dalam populasi sel. Hal ini umumnya terjadi saat populasi sel telah menutupi seluruh permukaan tempat sel ditumbuhkan atau dikenal dengan istilah konfluen (Butler 2004). Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi proliferasi sel adalah nutrisi (Freshney 2000). Tetapi dalam penelitian ini, faktor nutrisi tidak mempengaruhi proliferasi sel, karena semua sel menggunakan medium dengan kandungan nutrisi yang sama.
Identifikasi protein Conditioned medium
yang
mengandung
sekreta
protein
yang
diekskresikan oleh sel dalam kultur di analisis kandungannya menggunakan metode Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) dilanjutkan dengan metode pewarnaan silver nitrat (Gambar 6).
Gambar 6.
Hasil SDS PAGE conditioned medium kultur sel fibroblas dengan visualisasi protein menggunakan metode silver nitrat. Semua sampel memiliki BM kurang lebih 36,5 kDa. (M: Marker; KP: Kultur primer; P1, P5, P9: Kultur galur sel 1, 5, dan 9).
Estimasi berat molekul protein yang terkandung di dalam CM kultur sel fibroblas dilakukan dengan menggunakan perbandingan berat molekul protein standar (marker) yang di-running secara bersamaan dengan CM kultur sel fibroblas. Hasil pewarnaan memperlihatkan pita (band) yang sejajar baik dari kultur primer, pasase 1, pasase 5, maupun pasase 9. Hal ini menunjukkan bahwa berat molekul protein dari keempat sampel CM yang dievaluasi adalah sama. Estimasi berat molekul protein berdasarkan marker yang digunakan adalah 36,5 kDa. Ketebalan pita protein yang dihasilkan oleh tiap sampel berbeda. Pita protein yang paling tebal adalah pita protein dari CM kultur primer dan pasase 1 dengan ketebalan pita yang hampir sama. Selanjutnya adalah pasase 5 dan yang paling tipis adalah pita protein dari CM pasase 9. Ketebalan pita protein ini dipengaruhi oleh jumlah sel fibroblas yang ada di dalam kultur. Semakin sedikit jumlah sel fibroblas maka dapat diasumsikan bahwa konsentrasi protein yang disekresikan ke dalam CM juga semakin sedikit. Sesuai dengan data pengamatan pertumbuhan sel, jumlah total sel di akhir setiap pasase semakin menurun. Oleh karena itu, pita protein yang dihasilkan juga semakin lama semakin tipis.
Penurunan jumlah sel akhir ini dikarenakan jumlah sel awal yang dikultur konsentrasinya tidak sama.