HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Manokwari
Kabupaten Manokwari merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat terletak di bagian utara wilayah Kepala Burung pulau Papua pada koordinat 132 o 35’145 o 45’ BT dan 0 o 15’-3 o 25’ LS, dengan luas wilayah 14.268 km 2 , dan batas wilayah yaitu: - Sebelah utara : Samudera Pasifik - Sebelah timur : Teluk Cenderawasih - Sebelah barat : Kabupaten Sorong - Sebelah selatan: Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wandama. Batas dan luas administrasi Kabupaten Manokwari terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Batas dan Luas Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat
Topografi wilayah Kabupaten Manokwari terdiri dari datar 20 %, bergelombang sampai berbukit-bukit 80 %. Lahan yang ideal untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura yaitu pada kemiringan 0–5 % seluas 284.126 Ha atau 19,49 % dari luas wilayah Kabupaten Manokwari. Di daerah perbukitan terdapat beberapa pegunungan
84
diantaranya bagian utara terdapat Pegunungan Arfak (lokasi penelitian), membujur dari Distrik Warmare, Minyambow, Anggi, dan Oransbari. Semenjak tahun 1992 pegunungan tersebut ditetapkan sebagai Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) seluas 68.325 Ha. Di kawasan tersebut juga terdapat gunung tertinggi yaitu Gunung Umsini ( ± 2.950 m), di atasnya terdapat danau Anggi Gita (2.500 Ha) dan Anggi Gigi (1.800 Ha). Kedua danau tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sarana transportasi air antar kampung menggunakan perahu. Pemda pernah menyebarkan bibit ikan tawes namun perkembangannya tidak baik, badan ikan kecil karena suhu air danau yang sangat dingin tidak cocok untuk pertumbuhan ikan air tawar. Penduduk
Jumlah penduduk berdasarkan registrasi tahun 2005 adalah 166.048 jiwa, 44.941 KK, dengan laju pertumbuhan 3 % per tahun dan tingkat kepadatan 11 jiwa per Km 2 . Jumlah penduduk Kabupaten Manokwari terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Penduduk Kabupaten Manokwari berdasarkan Jenis Kelamin Total Distrik
No.
84.634Jumlah Penduduk 81.414 L P
166.048 Jumlah (L + P)
1
Manokwari Barat
28.135
28.561
56.696
2
Masni
7.990
7.293
15.283
3
Minyambow
6.607
6.565
13.172
4 5
Ransiki Prafi
7.411 7.035
6.859 6.043
14.270 13.078
6
Manokwari Selatan
4.485
4.131
8.616
7
Manokwari Timur
3.539
3.093
6.632
8
Warmare
3.054
3.115
6.169
9
Sururey
2.806
2.971
5.777
10 11 12
Anggi Oransbari Tanah Rubuh
2.973 2.745 2.349
2.837 2.539 2.178
5.810 5.284 4.527
13
Manokwari Utara
1.917
1.744
3.661
14 15 16
Kebar Amberbaken Testega
1.479 1.239 904
1.421 1.218 870
2.900 2.457 1.774
85
Keterangan: - Huruf tebal lokasi penelitian - L = Laki-laki, P = Perempuan Sumber: Data Dasar Pembangunan Kab. Manokwari Bappeda (2005)
Jumlah penduduk mengalami perubahan menyusul pemekaran wilayah di Papua menjadi dua provinsi, Kabupaten Manokwari dimekarkan menjadi dua kabupaten baru yaitu Kabupaten Teluk Bintuni (Manokwari bagian Selatan) dan Kabupaten Teluk Wandama (Bagian Utara), diikuti juga dengan pemekaran distrik yaitu dari 11 distrik menjadi 29 Distrik, 9 Kelurahan dan 408 Kampung. Tanah
Jenis tanah di Kabupaten Manokwari dibagi dalam dua golongan: (1) jenis tanah zona dataran rendah seperti: alluvial, organosol, podsolik, regosol, dan regeisol; (2) dataran tinggi (gunung/bukit) seperti: latosol, podsolik merah kuning, podsolik coklat kelabu dan rensina. Tekstur tanah halus sampai sedang yang merupakan tekstur ideal bagi tanaman pangan dan hortikultura sebesar 14.170,56 Ha atau 96,55%. Di wilayah drainase, lahan yang tidak pernah tergenang dan tergenang priodik dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura seluas 14.676 Ha atau 100%. Sedangkan reaksi tanah netral 1.405,56 Ha atau 9,58%. Sektor Pertanian
Perekonomian Kabupaten Manokwari masih didominasi oleh sektor pertanian mencapai rata-rata 35 %, sedangkan sektor yang memberikan sumbangan terbesar kedua, adalah sektor jasa 17 %, dan diikuti oleh sektor perdagangan 15 %, kehutanan, 10 %, perikanan 10 %, tambang 7 % dan sisanya 6 % sektor lain yang belum tercatat. Jika dilihat struktur sektor pertanian, sub sektor tanaman pangan memegang peranan yang cukup nyata, memberikan sumbangan sebesar Rp. 124.600 juta atau sebesar 30 % pada tahun 2004 dibandingkan Rp. 112.073,28 juta pada tahun 2003. Adanya pemekaran Kabupaten Manokwari menjadi tiga kabupaten pada tahun 2003 lalu, pemerintah menyadari bahwa yang dapat menjadi tulang punggung perekonomian ke depan adalah pertanian, setelah berkurangnya potensi hutan dan galian tambang, karena masih terdapat potensi lahan tidur dan tenaga kerja yang cukup untuk pengembangan pertanian tanaman pangan. Khusus pertanian tanaman pangan, potensi lahan tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Manokwari tahun 2004 mencapai 185.501 Ha, terdiri atas lahan yang sudah dimanfaatkan seluas 27.234 Ha atau 14,68 %, sehingga masih 86
terdapat lahan seluas 158.267 Ha atau 85,31 % yang belum termanfaatkan.
Luasan
termanfaatkan tersebut, seluas 2.523 Ha dimanfaatkan untuk pengembangan lahan padi sawah dan 25.636 Ha dimanfaatkan untuk pengembangan lahan kering. Jika dibandingkan dengan data 2003, terdapat kenaikan pemanfaatan lahan sesuai penggunaan, masingmasing 6,23 % (lahan padi sawah) dan 24,93 % (lahan kering), dari luasan lahan sawah sebesar 3.228 Ha, lahan sawah berpengairan teknis seluas 2.300 Ha, sedangkan irigasi desa non PU seluas 198 Ha dan lahan sawah tidak berpengairan (padi ladang) seluas 718 Ha. Apabila dibandingkan dengan luas lahan padi sawah
pada tahun 2001 sebesar
2.275 Ha, maka mengalami kenaikan sebesar 29,52 %. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan dana APBN dan APBD untuk pelaksanaan program optimalisasi lahan tidur, penambahan lahan baru dan peningkatan mutu intensifikasi. Kegiatan penyuluhan dan pemakaian benih serta pupuk yang baik, mulai berfungsinya P3A dan membaiknya sistem pola tanam, menunjukkan bahwa, secara statistik rata-rata produksi padi sawah per Ha telah
mengalami kenaikan dari 2,56 Ton/Ha menjadi 2,59 Ton/Ha, dengan naiknya
produksi menjadi 9.481 ton. Kabupaten Manokwari, dalam rangka pengembangan lahan kering masih memiliki potensi pengembangan; tahun 2004 potensi lahan kering termanfaatkan mencapai 25.636 Ha, yang digunakan untuk pengembangan tanaman padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar dan keladi. Secara statistik, rata-rata produksi tanaman pada lahan kering mengalami kenaikan akibat pelaksanaan intensifikasi dan membaiknya teknologi yang digunakan. Akan tetapi berdasarkan statistik nasional produksi ini masih kurang dan memungkinkan untuk kenaikan rata-rata produksi. Adapun rata-rata statistik produksi pertanian dibandingkan secara nasional dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Manokwari No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Komoditas Padi Sawah Padi Ladang Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Keladi
Rataan Produktivitas Daerah (Ton/Ha)
Rataan Produktivitas Nasional (Ton/Ha)
2,59 1,48 1,44 0,82 1,07 0,86 14,24 15,48 15,04
4,79 2,58 3,00 1,50 2,50 1,60 15,50 16,00 16,00
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
87
Kab. Manokwari ( 2004)
Sub Sektor Peternakan
Selain potensi pengembangan pertanian dan perkebunan, Kabupaten Manokwari juga merupakan daerah potensial dan memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai daerah produksi ternak ataupun agroindustri peternakan di masa mendatang, baik ternak besar, ternak kecil maupun ternak unggas, dengan lahan potensial untuk pengembangan peternakan besar yaitu di dataran Distrik Kebar, Prafi, Masni dan kawasan selatan. Populasi ternak sapi tersebar/sentra utama di Distrik Oransbari, Prafi dan Masni. Dilihat dari potensi lahan hijauan pakan ternak yang cukup tersedia, populasi ternak yang cukup tinggi, dapat memberikan kontribusi dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, memperkuat ekonomi daerah dan peningkatan ketahanan pangan. Tingkat konsumsi daging dan telur di Kabupaten Manokwari sampai saat ini adalah sebesar 3,58 gram/kapita/hari dan 5,79 gram/kapita/hari. Konsumsi daging diharapkan pada tahun 2006 dapat dipertahankan bahkan dapat diupayakan ditingkatkan menjadi 3,6 gram/kapita/hari, begitu juga dengan tingkat konsumsi telur dapat dipertahankan bahkan diupayakan meningkat menjadi 5,81 gram /kapita/hari. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu adanya peningkatan produksi ternak baik ternak besar, ternak kecil dan unggas dari 21,602 Satuan Ternak (ST) menjadi 21,900 Satuan Ternak (ST) atau meningkat 1,35 %, Sedangkan produksi telur diproyeksikan meningkat dari 390,501 ton menjadi 390,700 ton, atau naik sebesar 0,05 %; begitu juga dengan produksi daging di proyeksikan meningkat dari 399,043 ton menjadi 399,200 ton atau naik sebesar 0,04 %. Perkembangan populasi ternak di Kabupaten Manokwari terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perkembangan Populasi Ternak di Kab. Manokwari No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tahun
Jenis Ternak
2003
(Ekor)
(Ekor)
Sapi Kambing Babi Ayam Ras/Petelur Ayam Kampung Ayam Pedaging Itik Manila/Bebek
17.529 5.464 19.381 4.175 319.390 129.658 45.881
18.020 3.843 13.152 3.800 132.700 114.649 43.845
2004
Sumber:Dinas Peternakan Kab. Manokwari (2004)
88
Prosentase Kenaikan 2,83 -29,66 -29,66 -8,98 -11,57 -58,45 -4,43
Organisasi Penyuluhan
Semenjak tahun 2005 Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian bergabung ke dalam Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura dengan nomenklatur Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manokwari. Penyuluh masuk pada Bidang Bina Sumber Daya dan Ketahanan Pangan. Jumlah penyuluh 93 orang (9 sarjana dan 84 non sarjana), ditempatkan pada tujuh BPP, dan 27 WKPP. Jumlah kelompok tani adalah 421 kelompok dengan jumlah anggota 8.642 orang (154 Pra Pemula, 209 Pemula, 46 Lanjut, 12 Madya). Pengembangan Ubi-ubian dan Hortikultura
Pengembangan ubi-ubian disesuaikan dengan kultur masyarakat dan ekologi wilayah yaitu diarahkan untuk lahan-lahan kering dalam rangka untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat lokal. Kegiatan pengembangan ubi jalar pada kurun waktu 2005 melalui kegiatan Upaya Khusus (UPSUS) peningkatan produksi ubi jalar yang dibiayai dari dana sektoral (APBN) dengan luas areal 300 Ha. Di beberapa lokasi dibuat demplot dan demarea ubi jalar dengan perlakuan pengolahan lahan dan pemilihan varietas ubi jalar. Produksi ubi jalar pada percobaan demplot 11-12 ton/Ha sedangkan demarea 16-17 ton/Ha. Masyarakat Arfak dalam kegiatan budidaya ubi jalar masih menggunakan cara tradisional. Pada tahun yang sama Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manokwari bekerja sama dengan UNIPA melakukan program Kegiatan Pembinaan dan Pengembangan Agribisnis Dataran Tinggi dalam bentuk kegiatan demplot budidaya kol, wortel dan kentang di Distrik Anggi, Sururey, dan Minyambow. Di Warmare dikembangkan perkebunan buah merah seluas dua hektar. Hingga penelitian ini berakhir hasil kegiatan tersebut belum dilaporkan hasilnya. Semenjak tahun 1994 telah dilaksanakan Proyek Pengembangan Wilayah Terpadu (P2WT) di Distrik Minyambow yaitu pengembangan tanaman apel dan jeruk, perkebunan kopi, dan peternakan ayam buras dan kambing. Obsesi Minyambow sebagai sentra apel Pemda Manokwari sampai tahun 2000 telah mendistribusikan bibit apel sebanyak 14.600 anakan, kemudian dikirim 36 orang petani dan petugas ke Malang Jawa Timur untuk melakukan pelatihan perkebunan apel. Namun, hasil pengamatan di lapangan oleh peneliti menemukan hanya beberapa pohon apel yang tumbuh, sehingga dapat dinilai proyek ini mengalami kegagalan. Selain kegiatan proyek di atas juga terdapat proyek yang didanai 89
oleh lembaga/badan dunia, LSM, dan Pemerintah Pusat seperti disebutkan SADP, CCAD, WWF, dan IDT. Berdasarkan uraian di atas bahwa masyarakat Arfak sudah lama mengenal kegiatankegiatan berusaha tani yang maju, inovasi, dan teknologi; sesuai dengan tujuan masingmasing program/proyek umumnya yaitu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Papua melalui pengembangan potensi lokal. Distrik Lokasi Penelitian
Empat Distrik/Kecamatan yang dijadikan lokasi penelitian adalah (1) Distrik Manokwari Utara (2) Warmare, (3) Minyambow, dan (4) Sururey. Distrik Manokwari Utara adalah distrik pemekaran dari Distrik Manokwari, berada di pantai utara. Distrik Warmare berada sebelah barat pusat kota Manokwari, merupakan lokasi penempatan transmigrasi pertama di Kabupaten Manokwari. Dua Distrik lainnya, Minyambow dan Sururey berada di atas ketinggian 1.500 m dari permukaan laut, bersuhu dingin 14-22 o C. Peta lokasi penelitian terlihat pada Gambar 5.
MANOKWARI UTARA
Gambar 5. Empat Distrik Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Suku Besar Pedalaman Arfak Tempat Tinggal dan Penyebarannya
Masyarakat Arfak atau biasa disebut Suku Besar Pedalaman/Pegunungan Arfak, dan dalam penyebutan sehari-hari “Orang Arfak.” Mereka hidup menyebar di bagian timur wilayah Kepala Burung Papua, yaitu menyebar di kawasan pedalaman Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari.
Topografi gunung tersebut berbukit-bukit dan bergelombang 90
dengan puncak tertingginya 2.900 meter dari permukaan laut. Pegunungan Arfak yang berarti “pegunungan besar,” atau masyarakat Arfak menyebutnya “Indon.” Namun sejak kedatangan masyarakat pantai (masyarakat Biak-Numfor yang pindah ke kawasan Pegunungan Arfak) dan pendatang lainnya yang duduk di pemerintahan, mereka menyebutkan sebagai Pegunungan Arfak. Suku Besar Arfak terdiri dari empat suku bangsa yaitu Hatam, Meyakh, Sougb (Manikon/Mantion) dan Moile yang hampir sama kebudayaannya namun memiliki bahasa
yang berbeda. Bahasa Hatam dan Moile termasuk fila Kepala Burung Bagian Barat, sedangkan bahasa Meyakh serta Sougb dalam fila Kepala Burung Bagian Timur (Apomfires dan Sapulete, 1994:139; Laksono, et al., 2001:58). Masyarakat Arfak hidup tersebar di daerah sekitar Manokwari dan di lembah-lembah serta lereng-lereng pegunungan Arfak dan Anggi. Keempat suku besar ini secara turun temurun telah menghuni kawasan dengan pembagian wilayah yang jelas. Suku Hatam adalah yang terbesar menghuni kawasan pegunungan Arfak bagian utara atau di Wilayah Distrik Oransbari dan Ransiki; suku Meyakh menghuni bagian barat atau Wilayah Distrik Warmare dan Prafi, mereka sering disebut orang “Arfak Asli;” suku Sougb umumnya orang luar sebagai suku Manikion (= orang yang tidak suka mandi) bagian selatan atau di wilayah Distrik Anggi, yang mungkin dianggap sebagai pusat penyebaran orang Arfak. Selanjutnya, suku Moile tersebar di bagian timur pegunungan Arfak atau di Distrik Minyambow. Masyarakat Arfak termasuk dalam ras Melanesoid, dengan bentuk tubuh yang ramping dan pendek tetapi tegap, seperti penduduk daerah Pegunungan Tengah Papua pada umumnya. Tinggi badan rata-rata pria Arfak adalah 1,58 meter, dan wanita tingginya rata-rata 1,47 meter. Tentang jumlah populasi orang Arfak belum ada data yang akurat, karena mereka sudah hidup menyatu dengan suku-suku lain di Papua Barat dan pendatang dari luar Papua Barat terutama di ibu kota distrik (World Wildlife Fund, 1987:36; Apomfires dan Sapulete, 1994:140; dan Perdu, 2002:5). Suku-suku asli yang dulunya mempertahankan tanah mereka dari orang luar, telah bercampur. Perkawinan campuran dan kesediaan menerima orang lain dari suku lain masuk hidup di daerah suku mereka, telah membawa sedikit perubahan dalam komposisi penduduk setiap kampung. Setiap kampung didiami oleh satu suku, sekarang ini terdapat beberapa keluarga yang berasal dari suku lain, misalnya di Kampung Warbiadi terdapat dua marga Sougb, sekarang tinggal di kampung yang dulunya merupakan tempat tinggal 91
eksklusif orang Hatam. Percampuran suku-suku ini berlangsung karena perkawinan (Karafir, 1988:25). Ladang berpindah adalah mata pencaharian pokok masyarakat Arfak. Kebun mereka biarkan menjadi hutan kembali setelah satu atau dua kali panen. Jangka waktu dari masa bera suatu lahan tidak tentu, dan pohon-pohon yang ada dalam suatu lahan telah mencapai tinggi 10-15 meter maka lahan tersebut sudah bisa digarap. Sebelum mengenal alat-alat berladang, seperti kapak, parang, cangkul, dan garu, yang diperkenalkan oleh penyuluh pertanian – penduduk hanya bertani di daerah kosong mengelilingi batang pohon yang tumbang, dengan menggunakan alat tradisional tongkat tugal. Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi jalar dan keladi, disamping pepaya, pisang dan sayur-sayuran. Setelah mengenal peralatan baru, serta jenis-jenis tanaman yang datang dari luar Papua, hasilnya dapat mereka jual di pasar seperti kentang, bawang, wortel, kubis, buncis, sawi, dan saledri. Untuk bercocok tanam mereka masih menggunakan cara menebas dan membakar hutan di suatu tanah datar yang mereka anggap subur (Apomfires dan Sapulete, 1994:141-142). Selain sebagai sarana ladang berpindah, pemanfaatan hutan oleh para warga klen adalah untuk areal berburu, tempat penduduk sebagai sumber protein hewani. Binatang yang banyak mereka buru adalah tikus tanah, kuskus, dan kanguru pohon, sementara babi hutan dikonsumsi dan dipelihara. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat dari bambu dan nibung tua serta gelagah. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh kaum pria. Mata pencaharian lain adalah mencari ikan di danau-danau. Setelah pegunungan Arfak sebagian besar dijadikan kawasan cagar alam (68.325 hektar) kepada masyarakat diajarkan beternak kupu-kupu (Laksono et al., 2001:157-163). Sumber Daya Alam Pegunungan Arfak
Pengetahuan keanekaragaman hayati di Pegunungan Arfak dilakukan oleh dua orang berkebangsaan Italia yaitu Luigi d’Albertis dan Oduardo Beccari (1672-1873). Terdapat 333 jenis burung, termasuk 26 jenis kakatua dan nuri. Beberapa di antaranya terdapat jenis burung yang endemik yaitu Astrapia nigra dan Parotia sefilata. Selain jenis burung juga terdapat beberapa jenis mamalia yaitu lima jenis bandikut, tiga jenis kuskus pohon, tiga opusum, empat kuskus ekor kait, dua kanguru pohon, lima jenis tikus berkantung, dua jenis kucing marsupial, juga terdapat landak moncong panjang. Wilayah ini kaya akan berbagai jenis kumbang dan kupu-kupu serta serangga lainnya. Terdapat lebih dari 300 spesies 92
kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera sp.) yang sangat terkenal dan hanya ditemukan di Pegunungan Arfak (Petocz, 1987:90). Topografi, Iklim, dan Aksesibilitas
Keadaan topografi, iklim, tanah dan aksesibilitas lokasi penelitian di empat Distrik Kabupaten Manokwari terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Keadaan Umum Lokasi Penelitian (Penduduk, Topografi, Iklim, Tanah, dan Aksesibilitas) Keadaan Distrik/Kecamatan Umum Manokwari Utara Warmare Minyambow Sururey Jumlah 3.661 6.169 13.172 5.777 penduduk (jiwa) Suku
Meyakh
Moile, Meyakh, Hatam
Hatam, Moile
Sough, Hatam
Topografi
Datar (80%)-berbukit (20%), Tinggi 10m dpl, kemiringan 0-3%
Iklim
Curah hujan 253,2mm/bln, Kelembaban 82,2%, temperatur 23-
Datar (40%)-berbukit (60%), Tinggi 130m dpl, kemiringan 1625% Curah hujan 253,2mm/bln, Kelembaban 82,2%, temperatur 23-
Datar (10%)-berbukit (90%), Tinggi 1.400m dpl, kemiringan >65% Curah hujan 253,2mm/bln, Kelembaban 85%, Sinar mt.hari 50,26%, Musim kering (Juli-Oktober), Musim hujan (Januari-Mei), temperatur 14-
Datar (20%)-berbukit (80%), Tinggi 1.500m dpl, kemiringan 41-65% Curah hujan 253,2mm/bln, Kelembaban 85%, Sinar mt.hari 50,26%, Musim kering (Juli-Oktober), Musim hujan (Januari-Mei), temperatur 14-
o
31 C, Hujan 15hr/bln (basah)
o
31 C, Hujan 15hr/bln (basah)
o
Tanah
Liat berpasir, PH 5-7
Hidrologi
Sungai, mata air dialirkan ke bak
Prod. Pertanian Utama Aksesibilitas
Ubi jalar, kakao
Jalan beraspal 15 km dari kota Manokwari, angkutan pedesaan Sumber: Data skunder diolah (2007)
o
Padi ladang, Ubi jalar, kakao
Daun bawang, Ubi jalar, kentang
22 C, Hujan 15hr/bln Podsolik keabuabuan, aluvial, liat, kerikil, PH 5-7 Kali, mata air dialirkan ke bak, air danau Daun bawang, Ubi jalar, kentang
Jalan beraspal 35 km dari kota Manokwari, angkutan pedesaan
Jalan tanah 80 km dari kota Manokwari, pesawat 15mnt, hardtop 4 jam
Jalan tanah 180 km dari kota Manokwari, pesawat 20mnt, hardtop 10 jam
Latosol, podsolik merah kuning, liat aluvial, PH 5-7 Air hujan, air sungai
22 C, Hujan 15hr/bln Podsolik keabuabuan, aluvial, liat, kerikil, PH 5-7 Kali, mata air pembangkit listrik
Vegetasi, Fauna, dan Usaha Tani
Selain binatang, Pegunungan Arfak juga ditumbuhi ribuan jenis tumbuh-tumbuhan (flora). Beberpa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan penduduk terutama untuk pembuatan 93
rumah, berkebun, berburu dan juga untuk obat serta buah-buahan untuk dikonsumsi. Jenis vegetasi, fauna, dan keadaan pertanian atau usaha tani terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dilihat dari Vegetasi, Fauna dan Usaha Tani Keadaan Topografi Umum Dataran Rendah-Lembah Dataran Tinggi Sebagian besar hutan primer: Kasuarina Vegetasi Hutan: kayu besi (Intsia bijuga), kayu matoa (Pometia sp.), kayu susu (Altstonia scolaris), pohon turi (Sesbania grandiflora), gamal (Glyricidia sepium), bambu (Bambosa sp.), nyatoh (Palaqium ambonensis), Sirih hutan (Piper anduncum), lingua (Pterocarpus indicus), kelapa (Cocos nucivera), palem, bakau, sagu (Metroxilon sp), buah merah.
Fauna
Babi (Sus pitarsus), rusa, ular, kupu-kupu, anjing (Canis-canis), ayam (Gallus sp.), tikus tanah (Bandi coot sp.); penyu. Jenis burung: nuri, cenderawasih, burung taun-taun, kakatua, soa-soa.
Usaha Tani
Palawija/tanaman pangan: ubi jalar (Ipomea batatas), padi ladang (Oriza sativa), ubi kayu (Manihot utilisima), Jagung (Zea mays), keladi (Xanthosoma sp.), pepaya (Carica papaya), pisang (Musa sp.) Sayuran: kangkung (Ipomea sp.), cabai rawit (Lycopersium sp.), cabe merah (Lycopercium annum), tomat (Lycopersicum esculentum), terong (Solanum Melongena), labu kuning (Lagenaria leucantha), kacang kuning (Lagenaria leucantha), kacang panjang (Vigna Sinensis), bayam (Amaranthus sp.), mentimun (Momordican karantia), gedi (Abelmuschus manihot medik), katuk (Sauropus androgynus Merr), lengkuas (Alpinia galangal), jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma Domestica), sereh (Caryota metis lour), kemangi (Ocium basileum L.). Tanaman buah-buahan: jeruk (Citrus sp.), Durian (Durio zibethinus), rambutan (Nepelium lappecceum), Mangga Mangifera indica), langsat (Lanseum domesticum). Perkebunan: Cacao (Teobroma cacao)
(Casuarina sp.), anggrek, sirih hutan, akuai (Drymis spp.), binuang (Octometes sumtrana), kayu besi (Insia bijuga), arwob (Dodonea viscosa), rotan. Hutan sekunder: kayu gelagah (Sacharum spontaneum), bambu (Bambosa sp.), alang-alang (Imperata cilindrica), jamur. Babi (Sus sp.), anjing (Canis-canis), ayam (Gallus sp.), tikus tanah (Bandi coot sp.), landak; berbagai jenis burung: Maleo (Mengapolius sp), burung pintar (Amphyonis inornatus), burung cenderawasih (Paradise sp.), burung hantu, kelelawar, burung kakatua (Cacatua sp.) serta kupu-kupu sayap burung (Oritpthera sp) Palawija/tanaman pangan: ubi jalar (Ipomea batatas), ubi kayu (Manihot utilisima), Jagung (Zea mays), keladi (Xanthosoma sp.), pisang (Musa sp.) Sayuran: wortel (Oaucus corata), saledri/daun sup (Apium gaveolans), daun bawang (Allium sp.), kentang (Solamun toberosum), kubis/kol (Bracisca oleracea), labu siam (Sechium edue), kacang buncis Phaseotus vulgaris). Tanaman buahbuahan: apel*).
Keterangan: - Huruf tebal adalah komoditi dataran tinggi yang banyak dijual di pasar - *) Pernah dikembangkan tanaman apel tetapi mengalami kegagalan Sumber: Data skunder diolah (2007)
Beberapa jenis tumbuhan tersebut di antaranya adalah kayu besi (Intsia bigua), kayu susu (Alustonia sp.), kayu binuang (Octomeles sumatrana), matoa (Pometia sp.), pinang (Areca catehu), sirih (Piper sp.). Selain itu masih banyak lagi jenis tumbuhan dikenal oleh penduduk di sekitarnya dengan nama-nama lokal, juga beberapa jenis tanaman yang 94
ditanam sebagai tanaman konsumsi seperti ubi, pisang, jeruk, jambu, pepaya, tebu, kelapa dan beberapa jenis sayur-sayuran (Tim KKN Faperta Uncen, 1998:45 dan Laksono et al., 2001:124).
Melihat kekayaan sumberdaya alam di pegunungan Arfak kalau dikelola
dengan baik akan mampu menyejahterakan masyarakatnya yang kini masih relatif di bawah garis kemiskinan. Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat Arfak
Kegiatan sehari-hari masyarakat suku Arfak masih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok/dasar seperti pangan, papan, sandang, dan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui sarana: (1) memanfaatkan sumberdaya setempat, dan (2) mengintroduksi produk-produk dari luar. Bagi suku-suku yang masih tinggal terpencil, jauh dari Kota Manokwari, masih mengandalkan kekuatan sumberdaya setempat. Pangan
Pada umumnya bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat Arfak sehari-hari adalah ubi jalar (Ipomea batatas) sering disebut batatas, keladi, kentang, dan jagung; kadang kala beras. Memakan nasi beras biasanya masyarakat yang memiliki kelebihan uang; sedang mengadakan pesta yang mengundang tamu dari luar kampung, dan mereka yang bermukim di sekitar kota distrik atau kabupaten. Beras masih dianggap barang mewah. Ketika mereka mendapat jatah beras murah seperti “beras untuk keluarga miskin” (raskin) konsumsi beras cukup tinggi. Ubi jalar (batatas) dipilih yang besar untuk dimakan sendiri dan dijual sedangkan yang kecil diberikan kepada ternak babi. Babi biasanya berada di luar pagar kebun. Dikenal dua jenis ubi jalar di kawasan Arfak yaitu warna merah (Abu kahni) yang biasa dijual dan warna putih (Abu Koufu) dikonsumsi sendiri. Ubi-ubian dan sayur-sayuran seperti sawi, labu, kacang buncis dimasak dengan cara direbus. Kalau ingin makan yang lebih enak mereka menggunakan Supermi (merek mie instan), ikan kaleng, bumbu penyedap seperti minyak goreng, garam, vetsin yang dibeli di warung kampung dan hasil belanja di kota. Barang yang didatangkan dari luar yang dikonsumsi oleh masyarakat Arfak secara berurutan terlihat pada Tabel 10. Tabel 10. Tingkat Konsumsi Barang yang Datang dari Luar Lingkungan Kampung Anggra Distrik Minyambow Paling Disukai Sedang Kurang disukai
95
Beras, Supermi, minyak goreng, gula-gula, sabun
Sauris, gula, biskuit,
Air mineral, Fanta,
cuci/mandi, baterai, garam, vetsin, karet gelang,
pulpen, pensil, buku
Sprite, mentega,
kacang, korek api, ciki-ciki, kerupuk
tulis, pisau.
pakaian.
Sumber: Data Sekunder dari LSM Perdu Manokwari (2004)
Perumahan
Kebutuhan kedua setelah pangan adalah kebutuhan akan rumah. Rumah merupakan tempat mereka berteduh, mendidik anak dan kegiatan pesta adat. Rumah awalnya dibangun secara swadaya masyarakat yang masih mempertahankan arsitektur lokal yang dikenal dengan rumah “Kaki Seribu,” yaitu rumah panggung persegi menggunakan banyak kayu penyangga sebagai tiang, kulit kayu sebagai dinding, namun atap sudah berganti dengan seng. Ciri khas rumah itu adalah hanya memiliki dua pintu; depan dan belakang; tungku perapian untuk memanaskan badan dan memasak di dalamnya. Akhir-akhir ini Pemda setempat melalui Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah membangun rumah semi-permanen berlantai semen, berdinding batu dan papan, berjendela. Sedangkan tungku untuk perapian dipindahkan ke bagian belakang yang masih mengikuti model rumah lama. Posisi atau arah rumah tidak dipermasalahkan. Jarak rumah dengan kebun yang terdekat berjarak 1 km, terjauh 10 km dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 1-2 jam. Pakaian
Pakaian bagi masyarakat Arfak bukan hal yang penting dibanding dengan kebutuhan dasar lainnya. Sehari-hari ke kebun menggunakan pakaian yang nampak tua dan kotor, bahkan hanya menggunakan celana. Pakaian biasanya hasil pemberian orang. Namun demikian masyarakat Arfak dalam hal pakaian telah mengelompokkan pakaian yang dimiliki berdasarkan manfaat penggunaannya, seperti pakaian untuk ke gereja, acara resmi dan sehari-hari ke kebun. Pola Produksi Masyarakat Arfak
Cara memenuhi kebutuhannya, masyarakat Arfak melakukan kegiatan produksi yang akan menghasilkan barang kebutuhan sendiri dan sebagian dijual untuk mendapatkan uang tunai, selanjutnya membeli kebutuhan yang tidak tersedia di kampung mereka. Beberapa kegiatan produksi yang dilaksanakan meliputi: Bertani
96
Pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Arfak. Umumnya mereka menanam ubi-ubian sebagai bahan makanan pokok, namun demikian masyarakat Arfak yang tinggal di Distrik Warmare sudah menanam padi ladang. Pola usaha tani campuran tetap dilakukan yaitu antara tanaman pangan dengan sayur-sayuran. Di distrik Warmare, walaupun dekat dengan pemukiman transmigrasi teknik pertanian masih secara tradisional, sehingga produksi relatif rendah. Produksi padi hanya dikonsumsi sendiri, sedangkan komoditi lainnya kebanyakan dijual ke pasar. Berburu dan Meramu
Berburu bertujuan mencari sumberdaya hewani yang selalu ada di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Selain berkebun, masyarakat Arfak tiap dua minggu sekali atau sesuai kebutuhan pergi ke hutan. Berburu melihat “bulan baik” (musim panas) dilakukan pada siang atau malam hari. Dilakukan oleh kaum laki-laki dengan ditemani oleh hewan anjing, membawa panah, parang atau senapan angin, peralatan jerat. Hewan buruan yang biasa didapat adalah kuskus pohon dan aneka burung. Hasil buruan dibawa pulang untuk dimakan sekeluarga atau dijual di kota Manokwari. Uang hasil penjualan untuk membeli barang kebutuhan keluarga. Sedangkan meramu memanfaatkan potensi alam untuk mendapatkan bahan makanan, obat-obatan, dan bahan-bahan membuat rumah. Berdagang Aktivitas jual-beli juga berlangsung pada masyarakat Arfak Manokwari. Mereka
membawa hasil pertanian ke Ibu Kota Distrik atau Kabupaten. Khusus yang bertempat tinggal di wilayah dataran tinggi seperti kawasan Minyambow, Sururey dan Anggi terdapat beberapa orang membuka kios menjual kebutuhan pokok masyarakat setempat. Mereka adalah tokoh masyarakat yang memiliki kelebihan uang dan banyak kesempatan pergi ke kota Manokwari. Namun kegiatan perdagangan sifatnya tidak rutin, karena mahalnya ongkos transportasi. Menggunakan mobil hardtop dari Minyambow ke kota Manokwari mengeluarkan ongkos Rp.80.000, sedangkan dari Sururey atau Anggi sebesar Rp.260.000. Tidak sebanding dengan hasil penjualan yang mereka terima sebesar Rp.40.000 – Rp.60.000. Komoditi yang paling laku di pasar adalah daun bawang. “Masyarakat Minyambow dapat membangun rumah batu dari hasil daun bawang,” ujar seorang Kepala Suku di Minyambow. Mereka ke kota kalau ada hal yang sangat penting misalnya mengantar
97
anaknya sekolah atau ada urusan di kantor Pemda Manokwari, kalau belum ada uang mereka tinggal di kota Manokwari beberapa hari sampai memiliki uang ongkos pulang ke kampung. Mahalnya biaya ke kota, warga kadang-kadang hanya menitipkan hasil pertanian mereka kepada seseorang atau sopir untuk dijual di pasar. Masyarakat Arfak sudah terbiasa memelihara ternak babi, namun bukan bertujuan komersial seperti kegiatan produksi di atas. Secara urutan fungsi babi adalah: (1) Mas kawin, (2) membayar tuntutan adat, (3) pesta adat, dan (4) dijual atau barter dengan maskawin milik orang lain. Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Suku Pedalaman Arfak
Penelitian ini selain menggunakan analisis kuantitatif juga menggunakan analisis kualitatif yaitu untuk menemukan kearifan lokal (Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Lokal) yang ada di petani Arfak. Data diperoleh dari pengamatan dalam bentuk catatan lapangan, memo analitik dan gambar, selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan pada saat pengumpulan data dan dilengkapi dengan data sekunder. Data kualitatif yang berhasil dikumpulkan terbagi dalam: (1) Pola pertanian masyarakat Arfak, (2) Pengaruh misionaris terhadap pembangunan pertanian masyarakat Arfak, dan (3) Tipologi budaya pertanian masyarakat Arfak. Pola Pertanian Masyarakat Arfak Mata pencaharian utama masyarakat Arfak adalah bertani ladang berpindah. Pola bertani tersebut sudah berlangsung lama secara turun temurun dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka. Ladang berpindah didukung oleh kondisi geografis lereng berbukit dan adanya kewajiban memanfaatkan lahan warisan agar tidak terjadi sengketa kepemilikan. Perbedaan geografis (dataran rendah – dataran tinggi) memiliki jenis komoditi atau usaha tani yang berbeda. Misalnya Distrik Warmare (dataran rendah sampai sedang) selain menanam komoditi pangan pokok masyarakat Arfak juga menanam padi ladang. Introduksi tanaman padi karena berdekatan dengan pemukiman transmigrasi. Petani di Warmare sering belajar dengan petani transmigrasi, namun yang mampu diadopsi hanya sebagian kecil. Selain memiliki ladang di hutan sebagai kegiatan pertanian utama, mereka juga memanfaatkan halaman rumah untuk ditanami sayur-sayuran yang akan dijual di pasar 98
seperti kol dan daun bawang. Kebun dekat rumah mudah dijaga dari serangan hama babi dan cepat panen. Produksi pertanian untuk kebutuhan atau konsumsi sendiri dalam keluarga, dan sebagian dijual di pasar guna mendapatkan uang tunai. Mahalnya biaya transportasi pengangkutan hasil pertanian merupakan kendala utama untuk mendapatkan pendapatan petani Arfak yang lebih baik. Teknologi dan Pengetahuan Rotasi Kebun
Teknologi rotasi kebun bagi masyarakat Arfak memiliki makna sebagai (1) Kesuburan tanah, (2) Pelestarian hayati, dan (3) Ketersediaan pangan.
Kegiatan
berladang berpindah pada masyarakat Arfak telah berlangsung secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Cara berkebun berpindah bertujuan untuk mendapatkan kesuburan tanah yang maksimal. Rata-rata kebun masyarakat Arfak berada pada lereng-lereng hutan, tidak jauh dari pemukiman/kampung. Ladang yang jaraknya jauh merupakan lahan baru dibuka setelah lahan pertama ditinggalkan atau pada lokasi lama yang masih termasuk dalam kawasan konservasi. Kesuburan Tanah
Secara naluri bertani masyarakat Arfak akan pindah ladang bila hasil kebun sudah nampak berkurang, berproduksi selama 2-3 tahun. Alasan mereka melakukan ladang berpindah adalah: (1) Bila tanah tersebut terus-menerus digarap akan tandus yang menyebabkan longsor dan tidak subur lagi. Perubahan struktur fisik tanah akibat penggerusan oleh air menyebabkan unsur-unsur hara hanyut terbawa air mengakibatkan tanah kurang subur; dan (2) Tanah yang dimiliki secara turun temurun harus digarap oleh keturunannya sehingga tidak diambil alih oleh orang lain. Kebun lama dibiarkan (masa bera) selama 3-10 tahun, pohon-pohon Alnov (Dodonea viscose Jack) nampak besar setinggi empat meter, maka kebun tersebut sudah bisa digarap kembali. Tanah bagi masyarakat Arfak adalah “ibu” yang memberikan mereka “air susu” atau kehidupan. Istilah mereka, “Kalau mama diolah terus, air susunya akan habis, maka mama akan mati.” Menurut pandangan kosmologi pada zaman Yunani Kuno sampai dengan
masyarakat yang masih kuat mempertahankan adat istiadatnya membagi fungsi alam semesta menjadi dua yaitu langit atau angkasa diibaratkan sebagai ”bapak” yang mengeluarkan ”air mani” yaitu dalam bentuk air hujan yang jatuh ke bumi atau tanah yang diasosiasikan sebagai ”ibu” sebagai penghasil ”susu” yang menyuburkan atau 99
menghidupkan isi bumi. Air susu adalah unsur hara esensial yang akan menyuburkan tanaman masyarakat Arfak. Unsur hara tanah suatu saat berkurang apabila terus menerus lahan pertanian digunakan, maka pandangan petani Arfak kebun harus diberakan atau diistirahatkan. Masyarakat Arfak memiliki lahan untuk dijadikan kebun sebanyak 3-5 tempat, tetapi yang digarap hanya satu lokasi. Lahan yang dimiliki setiap keluarga satu klen/marga sudah dibagi oleh orang tua mereka kepada keturunannya, ketika pembagian disaksikan oleh kepala suku untuk mengenal batas-batas tanah. Hal ini untuk menghindari konflik di kemudian hari. Setiap kebun (Susti) diolah selama tiga tahun. Setelah itu diistirahatkan (masa bera) selama 3-5 tahun dan ada juga 5-10 tahun. Bekas kebun mereka sebut Nimahanti yaitu sisa-sisa tanaman dalam kebun masih dimanfaatkan oleh ternak babi.
Sebagai tanda
kebun segera bisa diolah adalah dengan melihat pertumbuhan pohon
tanaman: Alnov (Dodonea viscose jack), Bikiwom (Homolanthus populnius), dan pohon Weimu (Dodone viscosa) bila tinggi mencapai 2-4 meter, lumut-lumut sudah banyak
menempel, maka lahan tersebut sudah subur untuk digarap kembali. Pandangan mitos dan pengamatan gejala alam secara langsung demikian yang mendasari masyarakat Arfak melakukan aktivitas ladang berpindah. Khusus pertanian ladang menurut Iskandar (1992:120), masukan unsur hara tanaman hanya diperoleh pembakaran biomas hutan dan pembusukan seresah atau humus. Oleh sebab itu, mereka sangat memperhatikan sekali terhadap masa bera lahan. Pelestarian Hayati
Masyarakat Arfak mengenal pembagian wilayah tempat mereka mencari kehidupan sehari-hari yakni: (1) Kawasan Bahamti adalah hutan asli (primer) yang tidak bisa diganggu untuk ladang/kebun. Kawasan ini sangat dijaga ketat oleh masyarakat, tidak diperbolehkan menebang kayu, berburu, membuat rumah, hanya diperbolehkan mengambil kulit kayu, daun untuk atap rumah, dan rotan; (2) Kawasan Nimahanti adalah bekas kebun yang ditinggalkan (masa bera) selama 10–20 tahun, pohonnya sudah besar mendekati kawasan Bahamti. Pada kawasan ini boleh mengambil kulit kayu, rotan, daun, berburu serta boleh membuka kebun; tetapi tidak boleh membuat rumah; (3) Kawasan Susti adalah kawasan pengelolaan yang bisa digarap sebagai ladang/kebun; dan (4) Kawasan Situmti, adalah bekas kebun betatas, dekat dengan perkampungan atau halaman rumah. Dicirikan 100
rerumputan, ditanami sayuran terutama komoditi yang laku di pasar seperti daun bawang dan saladeri. Pihak pemerintah, tokoh agama (pendeta), kepala suku tidak pernah melarang untuk membuka ladang karena mereka sudah tahu lahan yang bisa dijadikan kebun (Susti) dan kawasan yang tidak boleh diganggu (Bahamti). Sedang kawasan Nimahamti adalah kawasan yang bisa digarap ketika terpaksa yaitu lahan Susti tidak ada lagi, itu pun digarap oleh pemilik hak ulayat kawasan hutan tersebut. Semenjak nenek moyang suku pedalaman Arfak sudah melarang untuk membuka kebun di hutan bahamti karena akan menghabiskan kayu-kayu seperti rotan, kulit kayu (Butska), bahan untuk bahan dinding rumah, tanaman obat; dan hewan-hewan seperti burung, kus-kus pohon. Konsep pembagian wilayah konservasi masyarakat Arfak disebut teknologi Igya ser hanjob (igya = kita berdiri, ser = menjaga, hanjob = batas), artinya adalah: Mari kita sama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama (Gambar 6). Kearifan lokal tersebut sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam hal pelestarian sumber daya alam hutan tanpa mengurangi hak-hak masyarakat setempat memanfaatkan hutan sebagai penopang hidup mereka secara berkelanjutan. Terpeliharanya lingkungan hidup di kawasan Pegunungan Arfak dapat dibuktikan ketika penelitian ini berlangsung hingga selesai belum menemukan dan laporan kejadian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kelaparan.
Bahamti
Susti
Nimahamti
Situmti
101
Gambar 6. Masyarakat Arfak memiliki pengetahuan konservasi yang dikenal dengan istilah “Igya Ser Hanjob.”
Ketersediaan Pangan Luasan ladang/kebun masyarakat Arfak dikenal dengan tanaman pangan campuran
antara
lain: labu, jagung, kacang buncis, ketimun, bayam, fitsai, selada, tebu, ubi
kayu/kasbi, kentang, daun bawang, ubi jalar (batatas) dan keladi. Terutama tanaman ubi jalar dan keladi mutlak harus ada setiap membuka ladang/kebun karena merupakan makanan pokok bagi masyarakat di pegunungan Arfak. Panen dilakukan sesuai kebutuhan. Bekas galian ditutup kembali, dimaksudkan agar akar ubi dapat tumbuh umbi yang baru. Selama
rotasi
ladang
berlangsung
telah
menjamin
ketersediaan
pangan
bagi
masyarakat Arfak. Teknologi dan Pengetahuan Pertanian Lokal
Musim Tanam Musim tanam pada masyarakat Arfak dihitung berdasarkan mulainya musim kering, karena saat itu baik untuk kegiatan pembabatan dan penebangan pohon. Dikenal tiga musim tanam atau membuka lahan yaitu disebut (1) musim kecil, (2) musim sedang, dan (3) musim besar. Tiga musim tanam masyarakat petani Arfak terlihat pada Gambar 7. Musim Tanam
1
2
3
Curah Hujan
Bulan
Jan
Feb
Mar
Aprl
Mei
Jun
Jul
Agst
Sept
Keterangan: 1. Musim tanam ‘kecil’ (3 minggu menyiapkan lahan) 2. Musim tanam ‘sedang’ (1 bulan mnyiapkan lahan) 3. Musim tanam’besar’ (3-4 bulan menyiapkan lahan) Sumber: Data primer dan sekunde (2006)
Gambar 7. Tiga Musim Tanam Masyarakat Arfak
102
Okt
Nop
Des
Musim kecil jatuh pada bulan Maret yaitu memperkirakan tidak akan terjadi hujan selama tiga minggu ke depan. Musim sedang pada bulan Mei, selama satu bulan tidak akan turun hujan. Sedangkan musim besar terjadi pada Agustus, September, dan Oktober, namun sekarang musim besar sering terlambat yaitu pada bulan September. Saat ketiga musim tersebut tiba kegiatan pembersihan lahan berlangsung: mulai dari membersihkan rumput, penebangan pohon, pengeringan, dan pembakaran. Pengetahuan tiga musim tersebut harus dimiliki oleh petani Arfak dan tidak boleh terlambat, karena kalau tidak demikian akan menyebabkan usaha pertanian mereka gagal atau paling buruk terjadi kekurangan makanan di dalam keluarga tersebut. “Di keluarga kami atau orang-orang tua dulu sudah mengenal saat musim membuka lahan, maka kami tidak pernah kelaparan,” ujar petani pemuka di Minyambow. Pengetahuan musim tanam ini menunjukkan adanya kepastian usaha tani, dan tidak ragu mengambil keputusan (Suharjito, et al., 2003). Selain cara penentuan musim di atas, juga secara tradisional, yang dilakukan oleh orang tua mereka untuk menentukan musim adalah ketika melihat sinar matahari pagi menyinari telaga atau danau menunjukkan bahwa musim hujan akan tiba. Pada malam hari tampak bintang di langit bergerombol adalah pertanda musim tanam yang baik dan kesuburan. Bagi masyarakat Sururey atau Suku Sougb tanda bahwa akan masuk musim kering adalah suara jengkrik (Areijkn). “Kalau jengkrik sudah bunyi berarti kitong su (kita sudah) mau bersih kebun, cari tali rotan, dan kulit kayu di hutan,” kata petani dan kepala kampung di kawasan Sururey atau kawasan Anggi. Rapat Keluarga
Pada bulan Juli menghadapi musim besar, satu keluarga yang terdiri dari 4-5 kepala keluarga melakukan pertemuan membicarakan rencana kegiatan pertanian, yaitu tentang lokasi kebun yang akan dibuka, waktu kerja, tenaga kerja, jenis tanaman yang akan ditanam, peruntukan produksi (dijual atau konsumsi sendiri). Membuka Lahan: Membersihkan, Pembakaran, dan Pemagaran
Kegiatan membuka lahan biasa dimulai pada bulan Agustus. Karena saat itu musim besar, maka dilakukan secara gotong royong oleh semua anggota keluarga inti (orang tua 103
dan anak) serta dibantu oleh keluarga lain. Jumlah tenaga kerja 10-15 orang, mengerjakan lahan 1-2 hektar. Pembakaran lahan oleh masyarakat Arfak biasanya dimulai dengan keluarga yang memiliki lahan yang lebih besar. Jadi, keluarga inilah yang menentukan apakah lahan tersebut bisa dibuka atau tidak. Dapat dikatakan keluarga tersebut berfungsi sebagai koordinator untuk memulai kegiatan pembukaan lahan. Tahapan dan pembagian kerja dalam kegiatan membuka lahan adalah sebagai berikut: Membabat (Babada) rumput dan menebang pohon. Pembabatan di sini mencakup
pembersihan rumput-rumput dan pepohonan kecil. Pembabatan banyak dikerjakan oleh kaum wanita, sedangkan penebangan pohon-pohon besar dikerjakan oleh kaum laki-laki. Pekerja pria menggunakan sabit (Sengakoi) sedangkan wanita mencabut batang dengan akar-akarnya sambil memungut hasil pembabatan rumput tersebut. Kemudian hasil pembersihan rumput/semak dan kayu dikumpulkan di atas para-para (bale-bale) yang dibuat dari ranting kayu berbentuk silang (Gambar 8). Hal ini untuk mempercepat rumput/semak tersebut kering dan menghindari tikus bersarang. Pembabatan rumput ini biasanya membutuhkan waktu sampai dua hari. Proses pembabatan selesai selanjutnya lahan dibiarkan kering selama 1-2 minggu.
Gambar 8. Hasil pembersihan rumput, semak dan ranting-ranting kayu disimpan
104
di atas bale-bele agar cepat kering dan menghindari tikus bersarang
Selanjutnya para pria menebang (Awim biyeya) aneka pohon kayu kecil memiliki tinggi 1-10 meter, batang dan ranting dipotong untuk disiapkan sebagai bahan pagar. Anak-anak umur 10-15 tahun dengan cara memanjat untuk memotong ranting pohon menggunakan parang, sedangkan orang tua mereka menebang pohon kayu tersebut menggunakan kapak. Pekerjaan menebang pohon besar ini membutuhkan waktu sampai tiga hari. Proses penebangan tidak semua pohon ditebang habis, hanya dipangkas rantingranting dan pada bagian bawa batang pohon dikuliti untuk memutuskan proses penyerapan makanan sehingga pohon tersebut kering dan mati. Itulah sebabnya pada setiap kebun milik masyarakat Arfak selalu nampak pohon kayu menjulang tinggi dibiarkan kering, ditebang ketika dibutuhkan sebagai kayu bakar di rumah (Gambar 9).
Gambar 9. Pohon kayu bekas pembersihan ladang selain dibuat pagar, juga untuk cadangan bahan bakar dan pemanas tubuh dengan cara pohon tidak ditebang semua namun dibiarkan kering.
Kayu tersebut adalah “simpanan” energi selama proses berladang berlangsung. Selain untuk kebutuhan memasak, kayu bakar bagi masyarakat Arfak yang tinggal di daerah pegunungan adalah sebagai pemanas badan untuk menghilangkan rasa dingin. Hari berikutnya, ranting-ranting pohon besar diletakkan pada sekeliling kebun, kemudian mencari tali rotan untuk pengikat pagar. Proses pembuatan pagar berlangsung sambil menunggu musim kering tiba. Pekerjaan pagar membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan. Pagar selesai, kemarau pun tiba.
105
Pembakaran. Rumput, semak, dan dedaunan yang baru dicabut dengan yang sudah
kering dijauhkan dari pagar. Terdapat dua cara pembakaran, yaitu bila (1) Kondisi cuaca panas terik maka pembakaran diawali dari bawah lereng kemudian akan menjalar ke bagian atas lereng, dan bila (2) Cuaca biasa, pembakaran dengan penumpukan. Selesai pembakaran, keesokan harinya membawa bibit ke kebun untuk penanaman (Gambar 10).
Gambar 10. Pembakaran ladang dilakukan dengan melihat kondisi cuaca, tanah bekas pembakaran subur, penanaman segera dilakukan sebelum tikus bersarang.
Petani Arfak beranggapan bahwa kondisi tanah masih hangat bekas pembakaran merupakan tanah yang subur dan bila dibiarkan berhari-hari memberi kesempatan hama tikus untuk berkembang biak. Pembibitan
Bibit tanaman yang akan ditanam sudah disiapkan sebelum pembakaran berlangsung. Jenis tanaman yang ditanam adalah: Labu, jagung, kacang buncis, ketimun, kentang, singkong/ubi kayu, pisang, keladi, tebu, dan ubi jalar. Bibit diperoleh dari kebun lama yang sedang panen. Kentang. Saat panen kentang berlangsung diadakan pemisahan antara kentang yang
akan dijadikan bibit, dimakan, dan dijual. Kentang yang akan dijadikan bibit dibiarkan di atas tanah selama satu minggu, dibawa ke rumah untuk disimpan (Gambar 11). Memiliki dua cara penyimpanan: (1) Diisi di dalam tas noken kemudian digantung di belakang rumah, dan (2) Dimasukkan dalam dos karton, bila sudah tumbuh tunas berarti sudah siap ditanam. Selama menyiapkan bibit, lahan untuk menanam kentang juga sudah disiapkan. Cara menanam, satu bibit kentang untuk satu lubang dengan kedalaman 2 cm. 106
Gambar 11. Kentang akan dijadikan bibit dibiarkan di atas tanah 1-2 hari, diambil kemudian disimpan dalam dos karton atau dalam noken yang digantung.
Kacang buncis dan jagung. Buah yang akan dijadikan bibit dibiarkan sampai
berwarna kuning di pohon, dipetik, dibawa ke rumah, diikat, disimpan di atas perapian/dapur selama 3 bulan atau sampai 1 tahun. Bila lahan sudah siap, maka bibit dikupas kulitnya, selanjutnya bisa ditanam, satu lubang dimasukkan 2 biji sedalam 2 cm. Ubi jalar/batatas. Bibit dalam bentuk stek, diambil langsung dari kebun lama untuk
ditanam pada kebun baru. Stek dipotong sepanjang 30 cm, ditanam 6 stek dalam satu lubang dengan cara disilang. Mengolah Tanah Perlakuan mengolah tanah bagi masyarakat Arfak jarang sekali dilakukan kegiatan membalik tanah dan membuat bedengan, menggunakan cangkul atau membajak seperti teknik pertanian umumnya. Mereka meggunakan ternak babi untuk mengolah tanah terhadap kebun-kebun yang sudah habis dipanen. Bagi masyarakat suku Moile yang kebanyakan tinggal di wilayah atau Distrik Minyambow menyebut pengolahan tanah menggunakan babi adalah Na Temti (babi yang selalu mencungkil tanah). Pagar kebun dibuka untuk memberi kesempatan kepada babi milik masyarakat setempat untuk masuk mencari makanan sisa-sisa tanaman ubi-ubian seperti kentang, ubi jalar, dan keladi, serta cacing dengan cara mencungkil tanah sedalam 10-30 cm. Hasil aktivitas pergerakan babi sebanyak 10 ekor, mampu menyelesaikan mengolah tanah dalam satu minggu setiap hektar (Gambar 12).
107
Gambar 12. Selain dimakan dagingnya dan kebutuhan adat, ternak babi juga dimanfaatkan sebagai alat membajak tanah.
Mengolah tanah dengan babi dirasakan cukup efektif karena petani Arfak tidak mengeluarkan dana untuk menyewa orang untuk membajak. Selain babi milik sendiri juga babi-babi liar yang tidak dikandangkan oleh pemiliknya masuk bebas mencungkil kebun yang akan ditanam. Menjadi persoalan ketika babi-babi tersebut merusak tanaman yang ada dalam pagar kebun aktif, pemilik kebun akan marah dan menuntut kepada pemilik babi sebesar kerusakan yang dialaminya. Penanaman
Pola tanam masyarakat Arfak adalah campuran dalam satu hamparan lahan. Masingmasing tanaman ditanam secara berurutan sesuai dengan umur tanaman tersebut. Urutan penanaman adalah sebagai berikut: Labu ditanam ketika tanah masih hangat bekas pembakaran, jagung dengan kacang buncis, kentang, dan terakhir ubi jalar. Di
kawasan Anggi masyarakat memiliki kebiasaan sebelum kegiatan menanam,
hamparan lahan dibagi dalam petak-petak persegi dengan menggunakan tali atau kayu. Maksud pemetakan tersebut adalah agar setiap petani yang bekerja menanam bibit tidak bingung menentukan tempat yang sudah atau belum ditanam bibit, juga berfungsi sebagai pembatas kepemilikan lahan masih dalam keluarga. Pemiliknya bertanggung jawab terhadap petak yang dimilikinya mulai proses tanam sampai dengan pemanenan. Lebih detil cara tanam pada masyarakat Arfak dapat dilihat dari suku Moile di Minyambow. Penentuan jarak tanam (Itabating leuyam) jagung (Trem) adalah 1 meter. Kaum pria menggunakan kayu tugal (Biwesen) membuat lubang dengan cara “menikam” tanah, diikuti dari belakang kaum ibu yang memasukkan bibit pada lubang. Proses tanam dilakukan dengan cara gerakan maju. Kegiatan menanam bibit kacang buncis (Kejua’) 108
dilakukan oleh kaum pria dan wanita, bibit dipegang dengan tangan kiri dan kayu untuk menikam pada tangan kanan. Karena ada dua jenis tanaman buncis maka penanaman dilakukan oleh orang yang berlainan, misalnya untuk tanaman buncis yang merambat pada batang kayu dilakukan oleh orang yang berbeda dengan orang yang menanam buncis yang merambat di atas tanah. Penanaman labu diberikan kepercayaan kepada orang tertentu yang memiliki pengalaman ketika panen terdahulu menghasilkan buah labu yang berkualitas yaitu sedikit mengandung air. Membuat lubang tempat bibit tidak boleh menggunakan kayu atau parang sembarangan yaitu menggunakan tangkai kayu Kaswari atau Cemara. Penanaman tanaman sayuran seperti bayam dan fitsai dilakukan dengan cara menabur pada bagian yang banyak penumpukan abu sisa pembakaran. Tanaman yang dipisah penanamannya dengan tanaman lain (sistem monokultur) misalnya: daun bawang, daun sop (saladeri), kol, dan fitsai. Penanaman lebih banyak menggunakan areal pekarangan rumah dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm atau 30 cm x 40 cm. Menurut mereka, pemisahan ini bertujuan untuk mendapatkan produksi terbaik dan merupakan komoditi yang akan dijual di pasar. Tanaman singkong dan keladi bisa ditanam ketika tanaman yang ditanam hari pertama (jagung, kacang, dan labu) sudah menunjukkan pertumbuhannya. Mereka melihat tanda, bila tanaman jagung sudah tumbuh setinggi kurang lebih 20 cm atau berumur satu minggu. Terakhir ditanam adalah ubi jalar/batatas dengan jarak tanam 1 m x 1 m atau 3 m x 3 m, dengan harapan setelah panen jagung, pohon ubi sudah menutupi sebagian areal kebun. Bibit diperoleh dari kebun lama milik sendiri dengan cara memetik, hari itu langsung dibawa ke kebun yang akan ditanam, dipotong sekitar 30 cm, setiap lubang ditanam 6 stek dengan sistem silang (Gambar 13).
109
Gambar 13. Stek bibit ubi jalar diambil dari kebun lama untuk ditanam pada kebun baru. Stek dipotong 30 cm, ditanam dalam galian 8-10 cm, jumlah stek per lubang 6 batang dengan sistem silang
Pada tahap penanaman lebih banyak dikerjakan oleh kaum wanita sedangkan laki-laki membantu dalam hal penugalan dalam proses menanam jagung. Masyarakat Arfak sudah mulai meninggalkan upacara adat nenek moyang mereka. Upacara adat dilakukan tergantung kesiapan pemilik kebun, misalnya makanan bagi tamu yang akan diundang. Kegiatan adat di kebun hanya dilakukan oleh orang-orang tua atau kebun yang masih dimiliki oleh orang-orang tua mereka. Sesudah kegiatan menanam, melakukan tradisi membawa kain sarung yang terbaru diletakkan dalam kebun sebagai hiasan. Maksudnya adalah agar hasil kebun lebih baik. Kegiatan berdoa dilakukan pada saat akan menanam bibit dengan mengundang keluarga dan tetangga dalam satu kampung selanjutnya para undangan ikut membantu pemilik kebun untuk menanam bibit. Pemeliharaan
Pemeliharaan (Ayaser) tanaman bagi masyarakat suku Moile dan Hatam yang tinggal di wilayah Minyambou dan Anggi adalah merupakan keharusan dan rutin. Berangkat ke kebun jam 07.00, pulang jam 18.00 WIT, jarang menginap di kebun karena ternak babi sudah dianjurkan oleh kepala suku untuk dikandangkan. Menginap di kebun kalau mau panen dan ada serangan hama. Namun pada hari Sabtu (setengah hari) dan Minggu tidak bekerja di kebun karena merupakan hari suci, warga kebanyakan ke gereja melakukan kegiatan ibadah. Tahapan pemeliharaan adalah penyiangan, pengendalian hama babi dan tikus. Kebun yang baru ditanam dipelihara dengan mencabut rumput-rumput pengganggu. Pembagian kerja di kebun: wanita membersihkan rumput, membawa bibit tanaman. Pekerjaan laki-laki adalah menebang kayu, memotong ranting, membuat pagar, memikul kayu, membuat garis petak, dan menggali lubang untuk menanam tanaman, sedangkan anak laki-laki memikul kayu. Ketika tanaman sudah besar dan masuk pada musim panen mereka ke kebun 2-3 hari dalam seminggu dilakukan oleh semua yaitu bapak, ibu, dan anak-anak. Penyiangan untuk tanaman jagung dilakukan dua kali yaitu pada saat tanaman jagung berumur kurang lebih 1 bulan dan saat siap panen muda berumur sekitar 2,5 bulan. Alat yang digunakan dalam proses penyiangan adalah parang tetapi lebih sering menggunakan 110
tangan saja. Penyiangan dilakukan dari lembah (bawah) ke atas bukit, rumput-rumput hasil cabutan ditumpuk di atas kayu atau batu dan ada juga yang disandarkan di pangkal pohon dengan posisi akar di atas. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah tumbuh kembalinya gulma/rumput dan menghindari terjadinya penambahan pekerjaan. Selain penyiangan juga dilakukan pengecekan keberadaan hama tikus, ditandai dengan batu dan kayu menindih tanaman, terpotong oleh gigitan tikus. Rumput yang tumbuh di sekitar tanaman dicabut dan tanaman buncis yang merambat diletakkan pada posisinya. Apabila terjadi serangan tikus maka pemilik kebun membuat perangkap berbentuk jerat. Bahannya dari bambu atau sejenis pohon nipah yang mereka sebut pohon Simbrow, umpannya menggunakan ubi jalar atau kentang yang di pasang di sekeliling kebun. Demikian juga bila daun jagung diserang oleh ulat berwarna hitam, ditandai daun berlubang atau terpotong digigit ulat. Pengobatan ulat daun mereka menggunakan obat-obatan tradisional dibuat dari batang pohon Bijeo (Vitex sp.), Nning, Buai (Aglaia sp.), dan Bitai (Enodia eliryama). Bagian dalam
(kambium) batang atau tangkai pohon tersebut dikerik menghasilkan serutan halus, dicampur air, diremas, sehingga menghasilkan cairan warna hijau. Air hasil remasan tersebut disiram pada daun dan di tanah sekitar pohon jagung yang terserang ulat. Orang tua mereka dulu memiliki cara tradisional untuk membrantas hama yaitu dengan cara membakar sepotong kain, lama-kelamaan asap mengeluarkan bau yang menyengat untuk mengusir hama yang mengganggu tanaman.
Kegiatan untuk menyuburkan tanaman
kentang, fitsai dan kol umumnya melakukan penggemburan tanah. Bila menemukan kayu yang sudah lapuk diletakkan di sekeliling pohon keladi. Menurut mereka, perlakuan seperti ini akan menyuburkan tanah dan isi keladi menjadi lebih besar. Panen
Berkebun dengan teknik campuran bagi masyarakat Arfak adalah untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari atau terhindar dari kelaparan, menghasilkan pendapatan dari menjual sayur-sayuran, ubi-ubian bagi masyarakat yang tinggal di dataran rendah. Sedangkan kentang, daun bawang, dan daun saledri bagi masyarakat yang tinggal di dataran tinggi. Itulah sebabnya keluarga Arfak melakukan kegiatan panen hampir setiap hari, sesuai kebutuhan hari itu. Bila bahan makanan di rumah habis atau perlu uang untuk membeli sesuatu maka mereka harus mengambil bahan makanan di kebun. Jadi, kegiatan panen tidak dilakukan sekaligus, disisahkan untuk kebutuhan hari-hari berikutnya 111
Kegiatan panen lebih cenderung dilakukan oleh pihak wanita baik dalam hal pemetikan, penggalian dan memikul hasil panen ke rumah. Sedangkan pihak laki-laki sesekali membantu untuk menggali, jarang sekali memikul hasil panen. Setiap pergi ke ladang kaum pria membawa parang, panah, dan tombak, sedangkan wanita membawa tas noken dan alat penggali. Pria memotong ranting kayu yang tersedia di kebun digunakan sebagai penggali tanaman kentang dan ubi jalar. Urutan panen tanaman di kebun campuran adalah sebagai berikut: (1) Sayur-sayuran seperti fitsai, bayam, dan daun labu yang berumur 1-2 bulan, dipetik setiap hari; (2) Kacang buncis, buah labu, ketimun ketika berumur 3 bulan; (3) Jagung, daun bawang, dan kentang setelah berumur 4 bulan; (4) Ubi jalar dan keladi berumur satu tahun; dan terakhir (5) Pisang dan tebu. Tebu bermanfaat untuk menghilangkan rasa haus ketika bekerja di kebun sebagai pengganti minuman teh atau sirop. Waktu panen tanaman jagung dilakukan dua tahap: (1) Pada saat muda (2,5 bulan). Panen muda tidak dilakukan sekali panen, diambil untuk kebutuhan makan selama 2-3 hari yaitu dengan direbus atau dibakar; dan (2) Pada saat tua untuk bibit. Seleksi bibit jagung dengan cara memilih tanaman yang tidak terserang hama, tongkol besar dan dari tanaman yang subur. Ubi jalar/batatas bagi masyarakat Arfak merupakan bahan makanan pokok, memanen dengan cara menggali umbi dari tanah perlu tata cara tertentu sehingga bisa berproduksi selama dua tahun. Panen dilakukan oleh orang tua yang sudah berpengalaman. Kalau dipanen secara serampangan misalnya oleh anak-anak tanpa megikuti aturan yang sudah berlaku sejak nenek moyang mereka, maka akibatnya ubi jalar berhenti berproduksi, panen gagal yang menyebabkan kekurangan makanan dalam keluarga. Oleh sebab itu, panen ubi jalar sangat ketat pengawasannya. Kalau diketahui cara panen yang salah dilakukan oleh seseorang atau anak-anak, maka tidak jarang terjadi pertengkaran dalam keluarga tersebut. Biasanya antara suami dan isteri saling mengecek cara memanen ubi jalar. Batatas umur satu tahun sudah bisa dipanen, tanda-tandanya adalah tanah pecah dan isi ubi nampak mencul dari dalam tanah. Ubi digali dengan menggunakan kayu atau besi sepanjang 30-40 cm. Panen untuk kebutuhan hari itu, disisahkan untuk kebutuhan berikutnya. Ubi jalar dipanen selama 1-2 tahun sampai isi ubi kelihatan sudah rusak. Ubi yang dipanen bila ada sisa disimpan bisa tahan selama tiga hari, menggunakan noken, 112
dengan cara digantung. Teknik panen ubi jalar tersebut adalah melihat daun pada rumpun ubi jalar yang sudah nampak tua (sekitar umur satu tahun), pada hari pertama digali pada satu sisi dengan cara pelan-pelan dan menyisahkan akar-akar, kemudian lubang hasil galian ditutup kembali dengan tanah supaya akar membentuk umbi baru. Panen pada hari berikutnya pada tiga sisi yang lain, dan seterusnya secara siklus (Gambar 14).
Gambar 14. Teknik panen ubi jalar masyarakat Arfak adalah sekaligus “lumbung alam” untuk cadangan makanan selama 1-2 tahun
Pada saat panen biasanya, ubi dan kentang yang sisa diberikan kepada ternak babi yang sudah ada di luar pagar kebun. Produksi atau panen pertama sebuah kebun wajib dibawa ke gereja yaitu mengadakan doa ucapan syukur, acara makan bersama, dan sebagian makanan dibawa pulang oleh para undangan. Pascapanen
Petani Arfak tidak mengenal kegiatan pascapanen terhadap produksi pertaniannya. Mereka panen hanya sesuai kebutuhan untuk makan sedangkan sisanya dijual, makanan babi, dan untuk bibit. Mereka menjual produk pertanian bila ada pemesan dan sangat butuh uang. Namun sekarang generasi muda atau kaum terpelajar (putra-putri mereka yang sedang sekolah dan bekerja sebagai PNS) lebih senang makan nasi dari beras. Tiap keluarga biasa menyiapkan beras dan ubi untuk kebutuhan pesta. Apalagi sekarang dengan adanya program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin) dari Pemerintah dengan harga murah Rp.1000 per kilo gram masyarakat Arfak sangat mudah memperoleh bahan makanan dan
akan terjadi perubahan pola konsumsi. Apabila program raskin terus
berlangsung maka dapat diduga di kawasan Arfak akan terjadi kelaparan karena mereka
113
sudah meninggalkan pola pertanian tradisional (ketepatan menentukan waktu tanam dan teknik panen ubi jalar) tersebut di atas yang menyebabkan bahan makanan tidak tersedia lagi, sementara beras harus didatangkan dari luar Papua. Dampak jangka panjang adalah hilangnya nilai-nilai sosial berupa etos kerja dan inovatif menjadi budaya malas dan konsumtif. Keberadaan kearifan lokal masyarakat Arfak diperkuat oleh Susanto dan Suparlan (1989:396-398) bahwa ketahanan pangan lebih disebabkan oleh adanya potensi ketahanan sosial budaya pada kehidupan masyarakat tradisional atau etnik tertentu. Ketahanan sosial budaya dalam hal pangan pokok diartikan terciptanya kondisi sosial dan budaya masyarakat yang stabil dalam proses kehidupan rutin sehari-hari di mana kebiasaan pangan (food habits) yang menyangkut pangan pokok relatif tidak tergoyahkan walaupun terjadi goncangan-goncangan ekonomi, politik dan persediaan pangan pokok yang ada dalam masyarakat. Pengaruh Misionaris terhadap Pembangunan Pertanian Arfak
The Evangelical Alliance Mission (TEAM) dari Amerika Serikat pada tahun 1955
mengirimkan misionaris ke enam wilayah pedalaman di pegunungan Arfak Manokwari yaitu : Anggi, Bintuni, Kebar, Minyambow, Babo, dan Ransiki. Untuk memudahkan menjangkau wilayah tersebut dibangun fasilitas lapangan terbang untuk didarati pesawat baling-baling satu. Misi utama mereka adalah pekabaran injil untuk mengenal firman Tuhan kepada masyarakat pedalaman Arfak yang masih hidup terbelakang, terpencil, tertutup dengan kepercayaan animisme. Langkah pertama mereka adalah pemberantasan keyakinan animisme yaitu memusnahkan tanaman obat-obatan yang digunakan untuk saling membunuh, berhala yang disembah, dan pohon kramat. Gerakan penyadaran itu dilakukan selama tujuh tahun (1955-1963), namun belum ada perubahan yang berarti dalam hal sikap dan perilaku mereka terhadap cara hidup lama. Kendala yang dihadapi saat itu adalah: (1) bahasa, kebudayaan/tradisi lokal yang belum dipahami oleh misionaris; (2) Akses, untuk mendekati mereka harus melalui orang yang sangat dipercaya seperti kepala suku. Sebelum misionaris sudah ada zending lain yang masuk ke Arfak tetapi menyebarkan injil dengan bahasa Indonesia; dan (3) Peristiwa 114
gerakan Organisasi Papua Merdeka (1965) banyak masyarakat Arfak menjadi korban. Ditandai dengan kecurigaan yang tinggi dan bersifat tertutup terhadap kegiatan misionaris. Beberapa teknik pendekatan misionaris terhadap masyarakat lokal adalah: (1)
Pemberantasan buta huruf (PBH) yaitu mengajarkan baca-tulis bahasa daerah Hatam -- sebagai bahasa dominan di pegunungan Arfak kepada orang-orang tua. Mengangkat guru bahasa Khatam dari warga masyarakat yang sudah mampu bacatulis, kemudian menerjemahkan injil ke bahasa lokal/Hatam. Pada saat itu, tokohtokoh
masyarakat
dikumpulkan
untuk
membuat
rumah
tinggal,
diajar
memperkenalkan firman Tuhan, tentang kebenaran. Mereka diberi kursus Alkitab di sekolah alkitab dan mengadakan praktek di tengah-tengah masyarakat desa selama kurang lebih 30 tahun. (2)
Kesehatan dan penyuluhan program pembangunan sosial. Menyediakan sarana kesehatan yang dipimpin oleh isteri misionaris tersebut. Mengobati warga yang pada saat itu banyak terjangkit penyakit malaria dan kulit/kusta. Di sini putra daerah setempat dididik untuk menjadi tenaga kader kesehatan/perawat. Output dari pendidikan kesehatan mereka diterima bekerja di Yayasan Bethesda Jayapura dan ada yang diangkat jadi PNS.
(3)
Membentuk kampung. Sebelumnya masyarakat tinggal terpencil di bukit-bukit, gunung-gunung, melalui tokoh masyarakat setempat mereka dikumpulkan atau disuruh turun ke daerah lembah untuk membangun rumah ibadah. Mulai dari sinilah terbentuknya kampung atau desa yang selanjutnya diresmikan oleh Pemerintah Daerah. Alat komunikasi dengan masyarakat pedalaman yaitu melalui seminarseminar di kampung-kampung, menjelaskan tentang firman Tuhan setelah itu aparat Pemerintah memasukkan program-program pembangunannya.
(4)
Pada tahun 1987 bersama World Vision International (WVI) melakukan program pembangunan enam tahun yaitu pelayanan kesehatan, pembangunan jembatan dan lapangan terbang, serta pengembangan sebuah pusat pelatihan pertanian. Pada bidang kesehatan yaitu kesadaran akan gizi melalui pelatihan pertanian; manfaatkan halaman pekarangan, bertani sayur misalnya kol. Kepada kader dibagikan peralatan pertanian seperti skop, bibit, ternak sapi bantuan pemerintah dengan sistem kontrak bagi hasil. Pemerintah memberikan bantuan ternak serta teknik pemeliharaan seperti sapi, ayam,
115
dan kambing. Setelah itu, dengan World Relief didanai oleh USAID juga mengelola sebuah proyek air minum untuk 50 kampung. Selain untuk memperkenalkan agama Kristen, adanya pos misionaris tersebut telah memperkenalkan mereka cara berorganisasi dengan cara mengangkat seorang pimpinan atau kepala suku. Ketika penduduk masih tinggal di rumah besar hanya dikenal kepala rumah sebagai pemimpin mereka tetapi tidak efektif bagi marga lain. Adanya kader agama atau gembala dari penduduk setempat sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat Arfak. Hambatan utama yang dihadapi saat ini oleh misionaris adalah sbb.: (1) Pengaruh budaya luar terhadap generasi muda, mereka mulai mengenal miras dan rokok. (2) Swanggi, adalah orang suruhan atau disewa memiliki keahlian atau obat untuk membunuh orang atau musuh. Saling bunuh kerap terjadi akibat kasus perzinahan (berselingkuh). Saling dendam berlangsung sepanjang hayat. Kepercayaan terhadap kekuatan swanggi sangat besar untuk membunuh pihak lawan. Terjadinya konflik atau masalah dengan orang lain, seseorang sangat takut untuk keluar rumah karena ada swanggi. (3) Maskawin yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan, seperti kain timor memiliki harga Rp.10-15 juta dan babi 5-10 ekor. Tradisi ini memiliki hubungan dengan pendidikan, banyak putra-putri mereka putus sekolah akibat tidak ada biaya. Uang yang dimiliki lebih banyak untuk maskawin. Setelah misionaris masuk maskawin disesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga dalam sebuah musyawarah adat. (4) Denda adat yang tinggi memperpanjang permasalahan karena pelaku tidak mampu menyediakan denda tersebut. Positifnya adalah efek jerah supaya tidak terulang lagi. Mulai tahun 2006 ini TEAM Amerika menyerahkan pengelolaan misi kepada putra daerah yang sudah dikaderkan melalui sekolah-sekolah alkitab yang dikelolah dibawah GPKAI (Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia). Peralihan tugas cukup menghawatirkan keberlajutan pembinaan masyarakat di kawasan pegunungan Arfak yang tentu sudah berbeda fasilitas dan teknik pendekatannya. ”Saya khawatir kalau misionaris sudah pulang maka pembinaan masyarakat Arfak akan terlantar,” ungkap seorang penggiat di LSM Perdu Manokwari. 116
Tipologi Budaya Pertanian Masyarakat Arfak Makna Ternak Babi
Ternak babi bagi masyarakat Arfak bukan semata sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi atau sebagai bahan konsumsi untuk memenuhi asupan gizi, namun babi memiliki makna sosial dan budaya yang melekat dalam mengatur tatanan bermasyarakat atau adat istiadat setempat. Misalnya, babi berfungsi sebagai mas kawin dan ”alat” perdamaian dalam sengketa/konflik adat. Di samping itu, sebagai masyarakat tradisional yang belum mengenal alat mekanik pertanian, ternak babi dimanfaatkan untuk mengolah lahan pertanian. Oleh sebab itu, di dalam keluarga Arfak, berusaha untuk beternak babi sebagai tabungan mana kala menghadapi peristiwa perkawinan dan sengketa adat. Kepemilikan ternak babi menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Satu keluarga biasa memelihara babi 2-4 ekor. Babi diperoleh dengan membeli calon induk, pembayaran mas kawin, pembayaran denda adat, dan hadiah. Masing-masing babi diberi nama oleh pemiliknya sesuai dengan latar belakang peristiwa ternak babi tersebut diperoleh atau sesuai dengan warna kulit, besar, dan nama anggota keluarga atau nama lingkungan alam yang ada di sekitar pemukiman setempat. Pemberian nama pada babi akan mengakrabkan hubungan pemilik dengan babi. Pemandangan biasa kita lihat di tempat penelitian, anak-anak Arfak bermain dengan anak babi: digendong, dielus-elus rambutnya, dan dimandikan layaknya manusia. Babi yang sedang berada jauh dari pemiliknya, bila dipanggil namanya maka akan segera babi-babi tersebut berdatangan mendekati orang memanggil namanya: Bahai… Oh sitie….. Ne muntui…… (putih-hitam…. Hitam-putih…… Hitam…..). Babi mencari makan pada jam 06.00 sampai dengan jam 12.00, setelah itu istirahat atau tidur di bawah naungan pohon (sombar), mencari makan lagi pada jam 14.00 sampai dengan pagi hari. Ternak babi juga menimbulkan masalah pada masyarakat Arfak, karena tidak memiliki kandang, dibiarkan liar mencari makanan sendiri. Babi dianggap hama, merusak tanaman yang ada di halaman rumah, gereja, dan kebun penduduk. Akibatnya, sering terjadi konflik antara pemilik ternak babi dengan pemilik kebun yang dirusak. Bila konflik ini tidak menemukan titik temu (berdamai), menyebabkan perkelahian antar keluarga bahkan perang antar suku bila melibatkan suku lain.
117
Mengatasi permasalahan tersebut setiap suku atau kampung dipimpin oleh Kepala Suku membuat peraturan adat tentang peternakan babi, yang melanggar akan dikenai sangsi hukuman misalnya membayar denda sesuai dengan besar kerusakan. Suatu kasus, babi masuk merusak kebun seorang petani, merusak tanaman yang siap dipanen, diketahui setelah pemiliknya melihat ada bekas-bekas lubang galian tanah dan bekas kaki-kaki babi. Pemilik babi bisa diketaui kalau babi masih berada di kebun tersebut dengan cara melihat ciri-cirinya, kalau belum maka pemilik kebun mencari tahu dengan menanyakan warga masyarakat lain yang juga sebagai informan.
Jika pemilik babi sudah diketahui lalu
menegur dan diperingati agar babinya dijaga atau dikandangkan. Teguran dilakukan selama tiga kali, kalau tidak diindahkan maka pemilik kebun memanah babi tersebut hingga mati. Babi yang mati tersebut di bawah ke kepala suku untuk disidangkan secara adat. Keputusan dalam sidang adat, pemilik babi mengganti kerugian yang dialami oleh pemilik kebun, biasanya dinilai dengan uang Rp.50-100 juta atau nilai sejumlah babi yang masuk ke kebun, dan daging babi dibagikan kepada warga kampung. Pagar Kebun
Pagar dibuat untuk menghindari ternak babi (dataran tinggi), kambing dan sapi (dataran rendah) masuk mengganggu tanaman dalam kebun. Bentuk pagar pada masingmasing wilayah atau suku berbeda. Petani Arfak yang berada di dataran rendah atau dekat dengan kota kebanyakan dibuat dari sisa-sisa pohon semak dan ranting-ranting pohon kayu bekas pembersihan lahan. Sedangkan model pagar pada masing-masing suku adalah sbb.: (1)
Model vertikal. Kayu tegak atau miring disusun ke samping dijadikan dinding utama setinggi 1-2,5 m, diapit oleh 2 kayu mendatar panjang (5-10 m) mengelilingi kebun yang akan dipagar. Untuk memperkuat ditambahkan kayu besar sebagai penyanggah. Model ini membutuhkan potongan kayu yang lebih banyak. Model vertikal ini terdapat pada suku Meyakh dan Hatam.
(2)
Model horizontal. Kayu horisontal disusun dari bawah ke atas sebagai dinding utama, dijepit oleh dua kayu vertikal (bagian luar dan dalam) setinggi pagar horizontal sebagai penguat, diikat dengan kayu horizontal hingga menjadi kuat. Pagar dibuat dari kayu alnov atau bikiom yang banyak tumbuh di kebun baru yang akan dibuka. Model ini membutuhkan waktu pengerjaan dan kayu lebih sedikit dibanding model vertikal. Model horizontal banyak dibuat oleh suku Moile. 118
(3)
Model campuran. Model ini digunakan oleh suku Sougb yaitu model vertikal dan horizontal, bahannya campuran kayu dengan bambu (Gambar 15).
Gambar 15. Model pagar masyarakat Arfak, berfungsi untuk mencegah ternak terutama babi dan sebagai tanda batas tanah dalam kelompok marga/keluarga
Maskawin
Maskawin suku pedalaman Arfak merupakan tradisi yang masih kuat dipegang sampai saat ini. Selama hidup mereka dalam satu keluarga atau marga berusaha mengumpulkan sejumlah harta benda untuk maskawin bagi anak-anak laki-laki bila akan masuk ke jenjang perkawinan. Maskawin diperoleh dari akumulasi: maskawin yang diperoleh ketika mengawinkan anak perempuan mereka, denda adat, hadiah, dan penjualan hasil-hasil pertanian dan barter maskawin. Sejak lahir anak laki-laki sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk menyiapkan maskawin, saat acara perkawinan tiba tidak lagi meberatkan pihak keluarga. Supaya tidak berat menanggung beban maskawin, biasanya dalam satu keluarga/marga saling membantu mencukupi maskawin yang diminta oleh pihak wanita. Itulah sebabnya, anak laki-laki dalam masyarakat Arfak telah dilibatkan dalam bekerja membantu orang tua mereka dalam rangka mengumpulkan maskawin. Jumlah maskawin yang akan diserahkan tergantung kesepakatan ketika acara pelamaran berlangsung. Pihak laki-laki belum mampu memberikan maskawin sesuai permintaan maka dianggap sebagai ”hutang” yang harus dibayar nanti, dilunasi saat lahir anak pertama atau ketika timbul konflik yang disebabkan oleh pihak suami melakukan perzinahan dengan wanita lain. Di saat tersebut muncul tuntutan dari pihak keluarga istri agar maskawin segera dibayar lunas. Sebaliknya bila pihak wanita melakukan perzinahan dengan pria lain, maka keluarga suami akan menuntut dikembalikan semua maskawin yang sudah diserahkan sebelumnya, dan menuntut secara hukum adat kepada pria yang telah
119
menzinahi istrinya. Sering terjadi konflik hingga ke aksi fisik (perang suku) dengan pihak yang menzinahi itrinya. Kelengkapan dan besar nilai maskawin menunjukkan tingkat sosial dalam keluarga pria dan wanita. Besarnya permintaan maskawin biasanya datang dari pihak wanita suku lain, memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri sipil, tingkat pendidikan tinggi, dan dari keluarga terpandang misalnya anak kepala suku. Untuk menghindari maskawin yang lebih besar, terutama dari keluarga menengah ke bawah dengan jalan menghindari perkawinan dengan orang di luar suku mereka (Gambar 16).
Gambar 16. Maskawin wajib disiapkan oleh setiap keluarga yang memiliki anak pria. Nilai maskawin mencapai ratusan juta. Kemampuan menyediakan maskawin adalah sebuah pristise bagi keluarga tersebut
Jenis dan nilai barang yang dijadikan maskawin pada masyarakat Arfak adalah sbb.: (1) Kain timor (Mena’o): 5 lembar seharga Rp. 10-15 juta (2) Kain toba (Hugani): 1 lembar seharga Rp. 15 juta (3) Kain merah (Minkanami): 50 m seharga Rp. 1 juta (4) Kain cita (Bometka): 60 pice seharga Rp. 18 juta (5) Paseda/Sampar/gelang dari krang laut (Awaka): 30 buah seharga Rp. 15 juta (6) Manik-manik (Limoko): 10 buah seharga Rp.250 ribu (7) Babi (Huech): 2-5 ekor seharga Rp. 1 juta/ekor (8) Senjata peninggalan Belanda (Lomokot). Total nilai dana yang disiapkan untuk maskawin mencapai Rp.50-150 juta. Maskawin menjadi milik kedua memplai, namun disimpan oleh pihak keluarga perempuan untuk dijadikan warisan maskawin bagi anak keturunan mereka kelak. Maskawin menjadi ringan 120
setelah pihak keluarga telah “menabung” sejak lama, selanjutnya menanggung sisa sebesar Rp.10-30 juta. Maskawin karena berzinahan akan lebih besar karena termasuk denda adat yaitu lebih dari Rp. 50 juta. Denda Adat
Denda adat dalam masyarakat Arfak adalah sangsi hukum yang diberikan kepada pihak atau orang yang melanggar peraturan adat yang telah disepakati. Peraturan adat adalah tata cara adat tidak tertulis yang mengatur perilaku kehidupan masyarakat adat, misalnya tentang perkawinan, perzinahan, tanah, pencurian, pembunuhan, perkelahian, dan perang suku. Denda adat diputuskan dalam sidang adat yang dipimpin langsung oleh kepala suku, setelah mempertimbangkan kerugian atau tuntutan pihak korban. Biasanya korban menuntut ganti rugi sama dengan besar kerugian yang dialaminya. Misalnya, menuntut ganti rugi dalam bentuk “uang darah” akibat terbunuhnya keluarga korban. Uang darah ini tidak jelas besarnya, tetapi biasanya disesuaikan dengan dua atau tiga kali maskawin, sebesar Rp.100-200 juta. “Kalau dorang minta senjata, kita harus kasi senjata.” Kepala suku sudah memiliki pedoman tentang bentuk dan besar hukuman yang akan diputuskan berdasarkan pengalaman sidang adat sebelumnya. Keputusan denda adat harus dipenuhi, karena kalau tidak, dipastikan akan muncul konflik yang berkepanjangan misalnya perkelahian, perang suku atau pembunuhan balas dendam menggunakan suruhan orang lain yang dikenal dengan sebutan Swanggi. Contoh kasus yang ditemui di lapangan: Di desa Anggra-Minyambow telah terjadi rumah seorang pengusaha yang juga bekerja sebagai mantri kesehatan terbakar pada tengah malam. Belum diketahui penyebab kebakaran oleh pihak kepolisian, masyarakat di sana menduga ada hubungannya dengan perilaku anak laki-laki Pak Mantri tersebut telah melakukan perzinahan terhadap isteri orang pada suku lain. Beberapa kali diminta pertanggung jawaban dalam bentuk tuntutan adat kepada pihak keluarga penzinah tetapi tidak dilayani. Pembakaran tersebut merupakan bentuk balas dendam yang akan terus terjadi bila tidak diselesaikan secara adat. Denda adat menjadi momok bagi orang tua masyarakat Arfak. Melalui nasehat dan didikan yang ketat kepada anak-anak mereka untuk menghindari terjadinya sengketa dengan suku lain. Orang tua berkesempatan mengingatkan anak laki-laki tentang kejadian yang menimbulkan denda adat setiap berangkat ke sekolah. 121
Swanggi
Swanggi bagi masyarakat Arfak adalah suatu mahluk siluman yang menyebabkan
kematian. Swanggi sulit diidentifikasi atau diketahui keberadaannya. Masyarakat Arfak sangat percaya kematian yang “aneh” di luar kecelakaan yang disaksikan langsung penyebabnya, seperti meninggal secara mendadak, menemukan mayat di hutan, perut kembung, muntah darah, anggota badan warna biru dll., disebabkan oleh swanggi. Swanggi adalah mahluk halus yang sangat ditakuti dan sering menimbulkan rasa was-was bagi masyarakat Arfak. Setiap ada sengketa dengan pihak orang atau suku lain, masingmasing harus waspada adanya serangan swanggi dari pihak musuh. Itulah sebabnya, setiap rumah atau sedang melakukan perjalanan ke kebun pasti sudah disiapkan senjata seperti parang, panah, dan tombak (jubi) guna menghadapi serangan swanggi. Sekarang, setelah pengaruh modernitas, istilah swanggi mengalami pergeseran yaitu oknum suruhan atau pembunuh bayaran yang memiliki ilmu atau ketrampilan membunuh orang yang menjadi sasarannya. Swanggi sangat menjaga rahasia orang yang memerintahkannya. Kepada sasaran pembunuhan sudah dilakukan pengamatan lokasi dan kebiasaannya sehari-hari sehingga eksekusi pembunuhan tidak meleset. Pihak pemesan order swanggi biasanya membayar uang muka, bila sasaran sudah dinyatakan tewas baru uang sewa dilunasi. Oknum swanggi biasanya terdiri dari 1-3 orang. Pembayaran yang tidak adil kepada masing-masing swanggi yang menyebabkan “rahasia” bisa terbongkar. Pihak pemesan harus benar-benar menepati perjanjian kontrak kalau tidak ingin rahasia pembunuhan dibongkar. Terdapat enam cara swanggi melakukan aksinya yaitu dengan menggunakan alat atau bahan: (1) Obat beracun, (2) Mengutik (melempar) kulit kayu dengan jari, (3) Pistol mainan, (4) Digosok zat racun di busur panah, (5) Makanan dan minuman, dan (6) Memasukkan racun dalam selongsong bambu kemudian diletakkan di bawah kayu yang akan dilangkahi oleh sasaran. Racun swanggi adalah sejenis tanaman rumput yang biasa disebut Aragua. Bila malam tiba, masyarakat Arfak, sangat percaya akan suara burung hantu dan kelelawar/paniki (Haja’), sebuah tanda bahwa ada kematian di kampung tersebut yang disebabkan oleh swanggi. Kalau ada suara tersebut, penduduk harus berjaga malam (“tahan mata”) tidak tidur untuk berjaga-jaga dari serangan swanggi. Terdapat kepercayaan, bayi kerap sekali jadi sasaran swanggi. Korban yang diserang swanggi berobat kepada dukun 122
(Lenglos mernua), dipegang tempat yang sakit dan menyuruh minum obat penawar racun disebut daun Bedei dan Ibiga Moub. Daun tersebut ditumbuk halus kemudian cairannya diminum, beberapa menit dimuntahkan untuk mengeluarkan racun. Karakteristik Petani Arfak
Karakteristik
petani
Arfak
adalah
ciri-ciri
internal
dan
eksternal
yang
melatarbelakangi aktivitas hidup petani Arfak. Karakteristik dalam penelitian ini adalah: (1) Sosial ekonomi, (2) Nilai individu, dan (3) Komunikasi. Sosial Ekonomi
Karakteristik sosial ekonomi dalam penelitian ini adalah menyangkut: pendidikan, status sosial, kepemilikan lahan, mobilitas, dan orientasi ekonomi, dapat dilihat pada Tabel 11. Pendidikan
Hasil distribusi frekuensi pendidikan formal pada petani Arfak menunjukkan paling banyak 59 % tidak mengenyam pendidikan, 18 % tamat pendidikan tingkat dasar dan 23 % menamatkan pendidikan lanjutan SLTP/SLTA. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani Arfak tidak mengenyam pendidikan formal, ikut mempengaruhi pembangunan pertanian di sana. Hal ini disebabkan oleh isolasi dan kurang perhatian Pemerintah terhadap pembangunan pendidikan, serta kurangnya motivasi orang tua terhadap putra-putri mereka untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Diikuti cukup tinggi petani yang berpendidikan sekolah lanjutan disebabkan adanya program pendidikan kesetaraan paket B dan C serta adanya pendidikan agama yang diselenggarakan pihak gereja seperti sekolah alkitab di distrik Sururey dan Minyambow. Anggota masyarakat berpendidikan lanjutan berperan sebagai tokoh agama seperti guru sekolah minggu dan penggembala, serta sebagai Tabel 11. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Arfak (n = 100) No
Peubah Sosial Ekonomi
1.
Pendidikan: Formal
2.
Nonformal
Dimensi a. Tidak sekolah/SD tidak tamat b. Tamat SD c. Tamat SLTP/SLTA Total a. Tidak pernah b. Pernah 1 kali
123
%
59 18 23 100 36 21
3.
Status Sosial: Keikutsertaan dalam organisasi
4.
Frekuensi pesta adat
5.
Kepemilikan Lahan: Jumlah lahan
6.
Luas lahan garapan
8.
Mobilitas: Frekuensi mencari informasi
9.
Orientasi Ekonomi: Pola pemasaran hasil
10.
Pola tenaga kerja
11.
Spesifikasi Kerja: Bekerja spesifik
12.
Gender
c. Pernah > 2 kali Total
43 100
a. Tidak pernah b. Sudah pernah c. Sedang ikut Total a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering Total
48 38 14 100 25 15 60 100
a. 1 tempat b. 2 tempat c. > 3 tempat Total a. 0,5 – 1 hektar b. 1,5 – 2 hektar c. > 3 hektar Total
10 32 58 100 30 39 31 100
a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering Total
20 22 58 100
a. Tidak dijual b. Dimakan dan dijual c. Dijual Total a. Kerja sendiri b. Gotong royong c. Sewa tenaga kerja Total
10 63 27 100 16 62 22 100
a. Hanya bertani b. Bertani sambil kerja yang lain c. Bekerja di luar pertanian Total a. Perempuan saja b. Perempuan bersama pria c. Pria saja Total
36 39 25 100 16 74 10 100
Sumber: Data Primer (2007)
ketua kelompok tani. Keberadaan mereka di tengah masyarakat sangat membantu dalam hal misi agama sekaligus pembangunan pertanian. Penyelesaian permasalahan pertanian biasa dilakukan dengan pendekatan agama dalam bentuk pengucapan doa akan dimulainya musim tanam dan rasa syukur telah berhasil panen. Mereka yang berpendidikan nampak lebih maju mengelola kebun dan menjadi contoh bagi rekan mereka yang tidak berpendidikan. 124
Sebaliknya sudah banyak petani yang
mengikuti pendidikan nonformal yaitu 64 % (21 % ikut satu kali dan 43 % lebih dari dua kali) sedangkan sisanya 36% belum pernah mengikuti pendidikan nonformal seperti halnya pelatihan, kursus, dan magang. Keikutsertaan dalam pendidikan nonformal berpengaruh terhadap kegiatan usaha tani mereka. Melihat karakteristik pendidikan petani Arfak dapat dinilai bahwa rendahnya pendidikan formal bisa ditutupi dengan kegiatan pendidikan nonformal yang bersifat praktis dan mudah diterima untuk mengatasi permasalahan usaha tani yang mereka hadapi. Melihat kondisi umur mereka yang relatif dewasa, maka pendidikan nonformal sangat cocok diberikan. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi itu sendiri. Status Sosial
Hasil distribusi frekuensi status sosial pada petani Arfak menunjukkan paling banyak 60 % diperoleh dari kegiatan tradisi budaya, sedangkan dari kegiatan formal kemasyarakatan sebesar 14 %. Status sosial seseorang atau keluarga dilihat dari kemapanan ekonomi yaitu sering menyelenggarakan kegiatan pesta adat seperti acara perkawinan yang diselenggarakan secara besar-besaran dan mengundang banyak orang. Terdapat juga status sosial diperoleh dari keberanian seseorang dalam memecahkan persoalan masyarakat, mereka diangkat sebagai kepala suku. Selain pemberani kepala suku memiliki kemampuan bicara yang tegas, lobbi, dan kekuatan fisik untuk mengatasi konflik atau perang suku. Kepemilikan Lahan
Kepemilikan lahan bagi petani Arfak bersifat kolegial berdasarkan marga yang sudah dibagi oleh nenek moyang mereka dengan batas-batas yang jelas dengan marga lainnya, sehingga jarang sekali terjadi sengketa tanah antar marga atau suku. Di dalam marga dibagi lagi dalam keluarga-keluarga inti. Hal ini sebagai penyebab kepemilikan tanah berdasarkan keluarga sebanyak lebih dari tiga tempat/lokasi (58 %) yang digarap satu tempat secara bergiliran dengan luas 1,5–2 hektar (39 %). Ketika musim tanam dimulai satu lokasi yang akan dijadikan kebun dikerjakan secara bersama-sama dalam satu keluarga kemudian dibagi secara merata dalam bentuk petak-petak, selanjutnya pemeliharaan dan panen diserahkan pada masing-masing anggota keluarga. Kepemilikan lebih dari tiga lokasi berkebun masyarakat Arfak adalah berkenaan dengan jaminan ketersediaan pangan yaitu dengan cara berpindah-pindah. Lahan pertama
125
yang digarap 1-2 tahun nampak tidak subur lagi, maka mereka pindah ke lahan yang kedua, dan seterusnya sampai ke lahan pertama setelah didiamkan (diberakan) selama 4-6 tahun. Mobilitas
Mobilitas menunjukkan kemospolitan petani Arfak dengan lingkungan luar misalnya dengan ibu kota Manokwari untuk mendapatkan informasi. Data distribusi frekuensi menunjukkan bahwa 58 % sering mencari informasi, 32 % jarang mereka lakukan, dan sisanya 10 % tidak pernah melakukan kegiatan berkunjung. Sering mencari informasi disebabkan oleh semakin mudahnya komunikasi dan transportasi ke kota Manokwari. Sejak 2004 kawasan Anggi dan Minyambow sudah bisa ditempuh dengan kendaraan darat hardtop yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan pesawat terbang dan berjalan kaki
berhari-hari ke kota Manokwari. Selain itu, pengaruh media elektronika seperti radio dan televisi menggerakkan warga desa di pegunungan Arfak untuk mengunjungi kota Manokwari. Beberapa warga memiliki radio sedangkan televisi dimiliki oleh pejabat Distrik yang menggunakan antena parabola. Informasi yang mereka terima dari radio dan televisi menambah informasi dan pengetahuan kemudian menggerakkan mereka untuk mencari informasi ke sumbernya seperti ke kota Manokwari atau ke distrik lainnya. Ke kota Manokwari mereka membawa hasil pertanian seperti sayur-sayuran daun bawang, kentang, ubi-ubian untuk dijual ke pasar, kemudian dari pasar pulang membawa kebutuhan untuk di kampung mereka seperti garam, gula, kopi, minyak goreng, ikan sarden, supermi dan lain-lainnya. Orientasi Ekonomi
Distribusi frekuensi orientasi ekonomi petani Arfak adalah untuk melihat kecenderungan perubahan orientasi kegiatan pertanian dari yang bersifat subsisten menjadi komersial. Perubahan ini dapat dilihat di antaranya dari orientasi pemasaran hasil dan pola penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan pertanian. Data di atas menunjukkan bahwa 63 % hasil pertanian petani Arfak untuk dikonsumsi sendiri dan dijual ke pasar, sedangkan 27 % khusus untuk dijual ke pasar dan sisanya 10 % untuk dikonsumsi sendiri. Ini menunjukkan bahwa hasil pertanian mereka bukan untuk dimakan tetapi juga untuk mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi di kampung dan sisanya di tabung dalam celengan.
126
Namun demikian, bila dilihat dari pola penggunaan tenaga kerja, masyarakat/petani Arfak dalam mengolah lahan pertanian masih banyak (62 %) dengan cara gotong royong, 22 % menyewa, dan 16 % mengerjakan sendiri. Kegotongroyongan yang tinggi diperlihatkan dalam satu keluarga ataupun marga, di luar dari marga jarang dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa antar suku. Apabila ada salah seorang anggota keluarga/marga yang tidak ikut dalam gotong royong, maka akan dikucilkan dengan cara tidak membantunya ketika lahannya digarap. Ada juga petani yang tidak mau repot karena anggota keluarga sedikit dengan cara menyewa tenaga kerja dengan perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya, misalnya membayar tunai atau setelah panen, dalam bentuk uang atau barang (barter) seperti babi, kain timor, dan perlengkapan maskawin lainnya. Dari hasil analisis tersebut dapat dijelaskan bahwa pola pertanian masyarakat/petani Arfak sudah mulai mengarah ke semi komersial. Spesifikasi Kerja
Dilihat dari hasil distribusi frekuensi bahwa 39 % petani Arfak berkeinginan selain bekerja sebagai petani juga bisa bekerja yang lain, seperti berburu, meramu, menenun, mengambil kayu, berdagang, dan menjadi pegawai negeri. Selanjutnya 36 % bekerja sebagai petani dan 25 % bekerja di luar pertanian. Kecenderungan dua pekerjaan diduga bahwa untuk mendapat dana tambahan tidak hanya tergantung pada hasil pertanian tetapi bisa dilakukan pekerjaan lain seperti berburu dan mengambil kayu yang bisa laku dijual. Spesifikasi kerja berdasarkan gender bagi petani Arfak beranggapan bahwa perempuan dan pria sama-sama 74 % bekerja di kebun, 16 % menyatakan kaum perempuan saja yang bekerja, dan 10 % pria dituntut untuk bekerja di kebun. Lebih besar menggunakan tenaga kerja wanita dibanding pria karena wanita bagi pria Arfak sudah dibayar mahal dengan maskawin yang diberikan kepada pihak orang tua wanita. Di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kaum pria hanya membawa panah dan tombak sedangkan kaum ibu membersihkan kebun dan membawa hasil kebun pulang ke rumah. Memperhatikan pembahasan di atas dapat dinyatakan bahwa kualitas SDM masih rendah namun sumberdaya alam tinggi. Sumberdaya seperti itu, kurang mampu memanfaatkan sumberadaya alam yang ada untuk meningkatkan pendapatan. Namun demikian petani Arfak sudah melakukan transisi terhadap kehidupan yang lebih maju dilihat dari kegiatan ekonomi sudah berorientasi pasar, mobilitas tinggi, dan bekerja tanpa membedakan gender. 127
Nilai Individu
Nilai individu adalah nilai sosial yang dimiliki petani Arfak sebagai modal sosial (social capital) yang digunakan sebagai pegangan hidup selama ini, antara lain: empati, rasionalitas, keberanian mengambil resiko, optimis, inovatif dan sikap terhadap perubahan jaman. Untuk mengetahui karakteristik nilai individu dapat dilihat pada Tabel 12. Distribusi karakteristik nilai individu adalah gambaran kuat-lemahnya modal sosial yang dimiliki petani Arfak dalam melaksanakan kehidupan terutama kegiatan usaha tani. Dari enam bentuk nilai-nilai sosial yang diajukan, tiga memiliki nilai sosial yang baik seperti rasa empati (87 %), optimis (76 %), dan inovatif (45 %) dan sebaliknya tiga sifat lain adalah irasional (54 %), takut ambil resiko (46 %), dan bersikap konservatif (58 %). Tabel 12. Distribusi Frekuensi Karakteristik Nilai individu Petani Arfak (n = 100) No
Peubah Nilai Sosial
% Dimensi
1.
Empati
2.
Rasionalitas
3.
Keberanian ambil resko
4.
Optimis
5.
Inovatif
6.
Sikap terhadap perubahan
a. Antipati b. Biasa saja c. Empati Total a. Irasional b. Ragu-ragu c. Rasional Total a. Takut b. Ragu-ragu c. Berani Total a. Pesimis b. Ragu-ragu c. Optimis Total a. Pasif b. Kadang-kadang c. Inovatif Total a. Konservatif b. Kurang setuju c. Moderat Total
10 3 87 100 54 10 46 100 46 15 39 100 16 8 76 100 35 20 45 100 58 31 11 100
Sumber: Data Primer (2007)
Dibandingkan nilai-nilai lain, empati tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa petani Arfak rasa kepedulian terhadap masalah atau musibah yang dihadapi orang lain sangat besar. Rasa empati adalah kepekaan untuk menempatkan diri atau beradaptasi dengan perubahan kondisi yang dialami oleh orang lain, dan menjadi pelajaran bagi dirinya. 128
Empati yang tinggi menyebabkan petani Arfak cepat beradaptasi dengan permasalahan yang dihadapinya seperti musibah gagal panen akan dihadapi dengan sabar dan belajar dari kegagalan untuk berubah lebih baik. Sifat empati juga memudahkan menerima pesan inovasi yang dibawa oleh agen pembangunan ke lingkungan petani Arfak. Empati adalah modal sosial yang dimiliki masyarakat Arfak untuk menghadapi tantangan pembangunan yang dihadapinya. Sifat adaptasi di atas juga diperkuat oleh nilai optimisme dan inovatif petani Arfak. Rasa optimis adalah pandangan yang positif bahwa kegiatan yang dilakukan akan berhasil. Optimisme adalah modal sosial yang dimiliki petani Arfak dalam bekerja. Keinovatifan adalah gambaran bahwa petani Arfak memiliki kearifan lokal yang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi tanpa harus banyak pertolongan pihak lain. Namun demikian petani Arfak masih tidak rasional, takut ambil resiko, dan konservatif dalam menghadapi permasalahan. Setiap permasalahan selalu dihubungkan dengan hal gaib dan kekuatan alam, pendapat tentang informasi yang diterima secara turun temurun selalu dipertahankan, sulit menerima pendapat orang lain yang lebih maju. Takut ambil resiko terlihat dari raguragu dalam mengambil keputusan dan bertindak ketika menghadapi suatu masalah, misalnya mengganti bibit ubi jalar yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian sangat sulit dilakukan, takut akan mengalami kegagalan. Sebagai masyarakat yang masih kuat memegang tradisi cenderung masih konservatif menghadapi perubahan jaman dan tidak rasional sehingga takut atau ragu-ragu mengambil keputusan. Namun demikian petani Atrfak memiliki rasa empati yang tinggi, inovatif dan optimistis. Komunikasi
Karakteristik komunikasi petani Arfak adalah saluran atau media komunikasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari terutama menyangkut masalah kegiatan pertanian. Komunikasi yang dilihat dalam penelitian ini adalah: interpersonal antar petani, penyuluh, kepala suku, pendeta, dan media massa (Tabel 13). Karakteristik komunikasi petani Arfak adalah intrapersonal atau antar sesama petani (63 %), dengan kepala suku (72 %), pendeta (59 %) dibandingkan dengan penyuluh dan lewat media massa tidak pernah dilakukan (45 % dan 66 %). Tinggi dan rendahnya media komunikasi tersebut diduga oleh kedekatan media tersebut dengan masyarakat/petani 129
Arfak. Mereka selalu bertemu dan mengutarakan permasalahan yang dihadapi dengan kepala suku, sesama petani, dan pendeta yang selalu ada di kampung mereka. Tabel 13. Distribusi Frekuensi Karakteristik Komunikasi Petani Arfak (n = 100) No 1.
Bentuk Komunikasi Intrapersonal
Dimensi a. Tidak pernah b. Kadang-kadang
c. Sering 2.
Total a. Tidak pernah b. Kadang-kadang
Dengan Penyuluh
c. Sering 3.
Dengan Kepala Suku
Total a. Tidak pernah b. Kadang-kadang
c. Sering 4.
Total a. Tidak pernah b. Kadang-kadang
Dengan Pendeta
c. Sering 5.
Dengan Media Massa (radio, TV, koran)
Total a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering Total
% 23 14 63 100 45 34 21 100 25 3 72 100 33 8 59 100 66 16 18 100
Sumber: Data Primer (2007)
Sebaliknya penyuluh jarang ada di tempat tugas, dan media massa seperti radio dan televisi dimiliki oleh warga tertentu yang mampu secara ekonomi. Televisi adalah teknologi tinggi yang memerlukan alat transmisi seperti parabola dan tenaga listrik yang belum tersedia pada setiap kampung di wilayah pegunungan Arfak.
Memperhatikan
pembahasan di atas petani Arfak cenderung mendapatkan informasi secara vertikal dari orang yang memiliki pengaruh seperti kepala suku dan pendeta, jarang sekali menggunakan media massa (radio, TV, dan koran). Kebutuhan Belajar Petani Arfak
Peubah kebutuhan belajar (learning need) dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kebutuhan pembelajaran responden terhadap perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang berhubungan dengan kehidupannya. Masyarakat maju adalah masyarakat yang memiliki budaya pembelajaran di dalamnya. Kebutuhan belajar terdiri 130
dari tiga dimensi yaitu dimensi pengetahuan, sikap mental dan ketrampilan.
Tingkat
kebutuhan belajar petani Arfak dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Distribusi Skor dan Ranking Kebutuhan Belajar Petani Arfak (n = 100) No Dimensi Kebutuhan Belajar
Skor
Ranking
1.
Sikap Mental
297
1
2.
Pengetahuan
296
2
3.
Ketrampilan
294
3 Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
Hasil distribusi skor dan ranking kebutuhan belajar pada tiga dimensi secara berurutan adalah sikap mental = 297 (1), pengetahuan = 296 (2), dan ketrampilan = 294 (3) menunjukkan bahwa kebutuhan akan belajar petani Arfak adalah tinggi (skor ≥ 233,33), terutama pada dimensi sikap mental (ranking 1). Artinya, faktor sikap mental adalah faktor pendorong utama dalam proses pencapaian tujuan pembelajaran dibanding faktor pengetahuan dan ketrampilan. Ranking yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat kesadaran (sikap mental) untuk mengembangkan diri dalam bentuk proses pembelajaran dalam kegiatan usaha tani sebagai mata pencaharian pokok masyarakat Arfak adalah tinggi, yaitu dengan cara berusaha menambah pengetahuan dan ketrampilan. Sikap mental yang baik ini disebabkan oleh pengaruh misionaris melalui ajaran-ajaran etika, norma dan pendidikan dalam rangka mengubah sikap dan perilaku lama yang menghambat menjadi lebih baik. Misionaris dalam melakukan misinya dengan menggunakan pendekatan pembelajaran persuasif langsung ke permasalahan yang dihadapi masyarakat pada saat itu, misalnya pemberantasan buta huruf, pelayanan kesehatan, dan mengikis kepercayaan atau adat istiadat lama yang bersifat takhayul. Perubahan tingkat kebutuhan belajar, selain pengaruh ajaran agama Kristen, juga disebabkan oleh keterbukaan akses masyarakat Arfak dengan dunia luar yang membawa informasi, inovasi, dan pandangan baru sehingga menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan cara belajar seperti meningkatkan produksi dan pemasaran hasil. Tingginya kebutuhan belajar menggambarkan antusiasme untuk menerima inovasi -baik dalam bentuk informasi, pengetahuan, maupun ketrampilan agar usaha tani mereka bisa berubah lebih baik. Antusiasme belajar adalah modal sosial petani Arfak yang terpelihara dengan baik dalam kehidupan tradisi mereka. Hal ini dapat dilihat dari semangat 131
mereka bekerja di kebun setiap hari (kecuali hari Minggu dan setengah hari Sabtu) dari pagi jam 07.00 hingga sore hari jam 16.00. Kebutuhan belajar pada petani Arfak lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan kebutuhan ekonomi dan adat istiadat. Tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari misalnya kebutuhan hidup pokok (makan, pakaian, dan perumahan) serta kebutuhan biaya pendidikan putra putri mereka di luar kampung misalnya di kota Manokwari atau di luar Papua Barat. Pemenuhan kebutuhan adat istiadat adalah banyaknya upacara adat siklus hidup (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dan tuntutan denda bila mengalami sengketa adat. Dibenarkan oleh Wolf (1985) bahwa produksi pertanian petani tradisional (peasant) di samping untuk keperluan hidup (biologis) keluarga juga untuk penggantian (replacement fund), dana seremonial (ceremonial fund) dan dana sewa tanah. Bagi masyarakat Arfak dana seremonial (maskawin, denda adat, dan pesta adat) adalah lebih besar dibanding dengan dana lainnya. Namun dibandingkan dengan masyarakat Papua yang tinggal di dataran rendah kegiatan pesta adat lebih besar dan meriah. Besarnya tuntutan kebutuhan di atas “memaksa” petani Arfak berjuang untuk mendapatkan uang yaitu melalui kegiatan pertanian yaitu terutama keluarga yang memiliki anak laki-laki dalam rangka mempersiapkan maskawin kelak. Tingginya kebutuhan belajar diperjelas oleh Slamet (2003) bahwa orang akan belajar (yaitu berusaha mengubah perilakunya sendiri) bila dia tahu bahwa dengan belajar itu akan dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar manusia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara bagi kepentingan penyuluhan pertanian, yaitu: (1) kebutuhan akan kepastian atau keamanan (security) dalam bidang ekonomi, sosial, psikologi dan spiritual; (2) kebutuhan akan pengalaman baru, termasuk petualangan, minat baru, gagasan baru, dan cara-cara baru dalam mengerjakan sesuatu; (3) kebutuhan akan keakraban (affection) termasuk persahabatan, kebersamaan, keramah tamahan, dan perasaan ikut memiliki; dan (4) kebutuhan akan pengakuan (recognition), termasuk status, gengsi, prestasi dan penghargaan. Johnstone dan Rivera (Sudjana, 2004) mengklasifikasi kebutuhan belajar menjadi sembilan golongan di antaranya kebutuhan belajar yang berkaitan dengan keagamaan; berkaitan dengan kerumahtanggaan, dan kebutuhan belajar yang berhubungan dengan usaha di bidang pertanian. Petani Arfak yang bermukim di Distrik Minyambow pada kurun tahun 1995-2002 pernah mengikuti magang di Malang Jawa Timur belajar berkebun apel dan beternak ayam, 132
kemudian ke Manado Sulawesi Utara untuk belajar pertanian sayur-sayuran. Setelah dicoba yang berhasil adalah menanam sayur-sayuran seperti daun bawang dan kentang kini menjadi andalan petani Arfak. Ribuan bibit apel yang dibawa dari Malang tinggal beberapa pohon yang hidup, padahal memiliki iklim yang hampir sama dengan di Malang. Mereka mau mengadopsi suatu inovasi tergantung kepada kebutuhan pokok dan mudah dilakukan seperti menanam ubi-ubian. Kebutuhan belajar juga ditunjukkan oleh petani Arfak yang tinggal di kawasan Distrik Warmare sebagai lokasi penempatan transmigrasi pertama di Kabupaten Manokwari. Mereka sudah meniru cara hidup dan bertani transmigran misalnya keinginan memiliki rumah tembok batu, televisi, motor; berjualan di pasar, dan menanam padi namun masih dilakukan di ladang tidak di sawah seperti petani transmigran. Penyuluhan adalah proses pembelajaran kepada petani yaitu sebagai cara menilai kebutuhan dan minat keluarga tani, cara berkomunikasi dengan mereka, membangkitkan hasrat mereka untuk berperanserta, membantu mereka memiliki ketrampilan untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka (Slamet, 2003). Pengertian tersebut mempertegas bahwa penyuluhan pertanian pada pokoknya adalah proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan untuk memperbaiki kehidupan keluarga tani-nelayan yaitu melalui proses belajar-mengajar. Tujuan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang, menurut Asngari (2003), adalah mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan atau dikehendaki yakni orang makin modern, merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri. Jadi, perubahan perilaku dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu (1) bertambahnya perbendaharaan informasi yang berguna bagi petani; (2) tumbuhnya ketrampilan, kemampuan dan kebiasaan baru atau yang bertambah baik; dan (3) timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendakinya. Belajar adalah kebutuhan yang sangat penting untuk bisa berubah dari petani tradisional (peasant) ke petani yang lebih maju. Melihat pembahasan di atas maka petani Arfak terindikasikan memiliki kemauan belajar yang kuat, ditunjukkan juga oleh motif sikap yang besar untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan pekerjaan pokok sebagai petani. Nilai-nilai Budaya
133
Nilai-nilai budaya dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui orientasi dan aspirasi petani Arfak dalam menghadapi pengaruh dari luar seperti halnya inovasi pertanian. Nilai budaya masyarakat Arfak adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warganya, mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku petani Arfak. Nilai-nilai budaya yang telah diamati adalah: (1) hakekat hidup, (2) hakekat karya, (3) persepsi masyarakat Arfak tentang waktu, (4) pandangan terhadap alam, dan (5) hakekat hubungan antar sesama. Hakekat Hidup Masyarakat Arfak
Kecenderungan hakekat hidup menurut petani Arfak dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Distribusi Skor dan Ranking Nilai Budaya (Hakekat Hidup) Petani Arfak (n = 100) No Dimensi Hakekat Hidup
Skor
Ranking
1.
Hidup di dunia buruk, tetapi manusia wajib ikhtiar
288
1
2.
Hidup di dunia itu buruk
217
2
3.
Hidup di dunia itu baik
117
3
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
Skor = 166,67-233,33 adalah sedang Skor = 100-166,67 adalah rendah
Hasil distribusi skor dan ranking nilai hakekat hidup petani Arfak menunjukkan bahwa hidup di dunia itu buruk tetapi manusia wajib ikhtiar atau berusaha yaitu memiliki skor tinggi dan ranking tertinggi = 288 (1), dan sebaliknya menolak bahwa hidup tersebut baik ditunjukkan oleh skor rendah dan ranking terendah = 117 (3). Hal ini dapat dijelaskan bahwa pandangan hidup yang dimiliki oleh masyarakat Arfak tentang kehidupan di dunia ini sudah sama dengan pandangan hidup masyarakat maju, bahwa hidup itu berat tetapi harus dihadapi dengan bekerja, tidak boleh pasrah atau berpangku tangan, harus dilalui dengan bekerja. Prinsip mereka: ”Kalau mau hidup maka harus bekerja.” Bertolak belakang dengan sejarah buruk masyarakat Papua khusus orang Arfak yang mengalami masa penjajahan dan kekecewaan terhadap pelaksanaan pembangunan pada awal integrasi dengan Indonesia yang termanifestasikan dalam pemberontakan. Dijelaskan oleh
Koentjaraningrat
dan
Ajamiseba
(Koentjaraningrat,
1993:441-449)
bahwa
kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap janji-janji penjajah membuat masyarakat Papua 134
melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang menjanjikan menyelamatkan mereka keluar dari kondisi tertindas menjadi sejahtera. Gerakan tersebut dikenal dengan nama gerakan kebatinan cargo (koreri = zaman bahagia) yang menentang adanya pergantian zaman dan masyarakat cenderung ke arah fatalisme. Salah satu yang dianggap penting dalam gerakan ini adalah melakukan upacara-upacara bersama dengan tari-tarian dan nyanyian, puncaknya semua peserta mencapai keadaan mabuk. Kondisi demikian, orang bisa bermimpi tentang kebahagiaan, akan turun tokoh nenek moyang ”ratu atau raja adil” yang akan menyebabkan terjadinya masyarakat bahagia tanpa harus bekerja. Kondisi ini diperburuk oleh kedatangan penjajahan Belanda yang meninabobokan rakyat yang dijajah dengan minuman keras memabukkan. Kini dengan pengaruh misionaris kehidupan masyarakat Arfak sudah mulai tertib, jarang sekali yang mabuk bahkan merokok. ”Kami diajar untuk tidak merokok dan mabuk, merokok adalah perbuatan setan,” ujar seorang responden di Minyambow. Semenjak peristiwa penumpasan gerakan pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Manokwari (akhir 1960-an sampai dengan 1970-an) yang banyak menelan korban ikut mempengaruhi kehidupan masyarakat Arfak untuk hidup lebih aman, damai, dan mendambakan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa petani Arfak cenderung mengalami perubahan dari sikap yang fatalis ke sikap yang lebih maju. Perubahan ini disebabkan semakin besar pengaruh pihak luar yang masuk ke lingkungan mereka dalam bentuk informasi-informasi yang dibawa oleh aparat pemerintah yang bertugas di sana, misionaris yang sudah bertugas selama 50 tahun, masyarakat yang sering pergi ke kota, putra-putri mereka yang sekolah pulang ke kampung memberi wawasan, pengalaman, dan pengetahuan baru bagi masyarakat setempat. Kemudahan transportasi membuka peluang semakin banyak kontak dengan dunia luar dan semakin banyak memperoleh informasi dalam bentuk pengetahuan atau inovasi baru. Nilai budaya hidup yang didukung oleh kemauan untuk berhemat adalah nilai antisipasi terhadap kehidupan masa mendatang, untuk memperoleh kemajuan maka hidup harus direncanakan, berhati-hati dan berhemat. Sifat hemat menurut Koentjaraningrat (2004:34) sangat perlu untuk memungkinkan suatu masyarakat menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal.
Masyarakat Papua menurut penelitian
Mansoben (2004:100) umumnya tidak memiliki orientasi nilai budaya akumulasi modal atau berhemat tersebut, ada pada sedikit suku bangsa seperti orang Meybrat di Sorong 135
Selatan, orang Me dan orang Muyu di pegunungan tengah. Namun, modal yang telah diakumulasi itu dihabiskan untuk menyelenggarakan upacara adat seperti upacara inisiasi pada suku Me, upacara pemakaman kembali pada suku Muyu dan upacara pembayaran tengkorak pada suku Meybrat. Nilai budaya ini hampir sama yang dilakukan oleh masyarakat Arfak, mereka rajin bekerja di kebun demi mendapatkan uang, selanjutnya uang disimpan sendiri dengan rahasia di kamar yang biasa dilakukan oleh kaum ibu. Tabungan tersebut dibelanjakan ketika ada acara adat seperti membeli maskawin, bayar denda adat, membantu keluarga dalam satu klen/marga yang sedang melaksanakan kegiatan yang sama. Mereka dalam satu marga sangat kuat kegotongroyongannya ketika ada salah satu keluarga melakukan upacara adat, untuk memenuhi materi adat yang masih kurang. Permasalahannya adalah uang yang mereka miliki dibelanjakan untuk membeli material atau barang kebutuhan adat yang tidak diproduksi di kampung, mereka harus belanja ke kota atau kampung lainnya seperti barangbarang kebutuhan maskawin, tidak terjadi perputaran uang di kampung mereka sendiri. Hakekat Karya Masyarakat Arfak
Kecenderungan hakekat berkarya menurut petani Arfak dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Distribusi Skor dan Ranking Nilai-nilai Budaya (Hakekat Karya) Petani Arfak (n = 100) No Dimensi Hakekat Karya Manusia
Skor
Ranking
1.
Karya/bekerja itu untuk nafkah hidup
295
1
2.
Karya untuk kedudukan, dihormati
268
2
3.
Karya untuk menambah karya
255
3
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
Hasil distribusi skor dan ranking hakekat berkarya manusia bagi petani Arfak adalah tinggi (skor ≥ 233,33) terutama pada karya atau bekerja untuk nafkah hidup = 295 (1). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Arfak bekerja memiliki tiga tujuan sekaligus yaitu untuk memenuhi nafkah, pencapaian status sosial, dan berkarya terus tanpa memikirkan dua hal di atas. Namun, bila dilihat dari ranking menunjukkan bahwa masyarakat Arfak menonjol bekerja untuk memenuhi nafkah hidup sehari-hari atau bersifat jangka pendek. Mereka merasa cukup bila kebutuhan dasar hidup seperti makan bisa terpenuhi hari itu. Kondisi seperti ini menyebabkan rendahnya inovasi karena dimanjakan oleh alam yang 136
serba siap tanpa ada usaha untuk berkarya. Sebaliknya, masyarakat Arfak bekerja bukan untuk menghasilkan kerja yang lebih banyak dan maju yang ditunjukkan dengan ranking terendah. Hampir tidak ditemukan seseorang di perkempungan masyarakat Arfak yang menekuni suatu pekerjaan yang dapat menghidupi selain keluarga juga orang lain, misalnya pengrajin ukiran patung, menganyam tas noken dan seni pertunjukan lainnya. Menurut Koentjaraningrat (2004), mentalitas yang menilai tinggi mutu dan ketelitian memerlukan suatu orientasi nilai budaya yang menilai tinggi hasil dan karya manusia. Karya yang dihasilkan bukan harta untuk dikonsumsi, atau hasil berupa kedudukan sosial yang menambah gengsi. Bekerja untuk memperoleh status sosial relatif dilakukan oleh sebagian kecil yang bekerja sebagai pegawai negeri dan kepala suku. Posisi tersebut diperoleh dari fasilitas yang diperoleh dari pemerintah bagi pegawai negeri, dan kemampuan menyelesaikan konflik atau masalah yang terjadi, memiliki harta kekayaan seperti ternak babi, rumah bagus, mampu menyekolahkan anak ke kota, dan melakukan pesta adat secara besarbesaran. Kepemimpinan sebagai kepala suku pada masyarakat Arfak selain harus memiliki kemampuan-kemampuan tersebut di atas juga diperoleh dari keturunan kepala suku sebelumnya, terpilih atas persetujuan aparat pemerintah dengan harapan mampu bekerja sama dengan pemimpin formal seperti kepala desa atau kepala distrik setempat. Status sosial masyarakat Arfak seperti di atas dapat disebut mixed status yaitu selain dicapai dengan usaha sendiri (achieved status) juga berdasarkan garis keturunan (ascribed status). Hakekat Waktu bagi Masyarakat Arfak
Kecenderungan hakekat waktu menurut petani Arfak dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Distribusi Skor dan Ranking Nilai-nilai Budaya (Hakekat Waktu) Petani Arfak (n = 100) No Dimensi Hakekat Waktu
Skor
Ranking
1.
Orientasi masa lalu
295
1
2.
Orientasi untuk masa sekarang & masa akan datang
272
2
3.
Orientasi ke masa mendatang
250
3
4.
Orientasi untuk masa sekarang
213
4
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
137
Skor = 166,67-233,33 adalah sedang
Hasil distribusi skor dan ranking orientasi hakekat waktu bagi petani Arfak adalah tinggi (skor ≥ 233,33) pada tiga waktu (masa lalu, sekarang dan akan datang, masa mendatang) terutama berorientasi ke masa lalu yang memiliki skor dan ranking tertinggi = 295 (1). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Arfak dalam kehidupan sosial seharihari masih menghubungkan diri dengan petuah atau ajaran nenek moyang, mitos, dan kejadian masa lalu. Masa lalu bagi masyarakat Arfak adalah baik karena memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidup sehingga berusaha dipertahankan. Mengingat masa lalu membuat mereka ragu bahkan takut untuk bekerja. Inovasi yang dimiliki petani Arfak cenderung statis karena dianggap melanggar kalau keluar dari ajaran nenek moyang mereka yang sudah dilakukan sejak lama dan terbukti tidak menimbulkan mala petaka. Konflik antar marga atau suku terjadi karena dendam masa lalu yang melibatkan anak keturunan. Konflik tersebut akan berakhir kalau sudah menuntaskan denda adat yang diperoleh selama keluarga tersebut bekerja mencari nafkah. Kuatnya orientasi masa lalu merupakan hambatan utama proses pembangunan pada petani Arfak. Tetapi bila melihat skor 272 dan ranking 2 pada orientasi waktu sekarang dan akan datang menunjukkan bahwa masyarakat Arfak sudah mulai mengarah kepada pemaknaan waktu yang lebih baik. Dikatakan oleh Koentjaraningrat (2004) bahwa masyarakat maju adalah masyarakat yang memiliki orientasi masa sekarang dan mengantisipasi waktu yang akan datang. Hal ini ditunjukkan oleh proses kegiatan bertani ladang masyarakat Arfak mulai dari penentuan musim, menyiapkan bibit, membersihkan, menanam, memelihara, panen, dan pasca panen memerlukan waktu yang panjang, ketekunan dan daya inovasi yang memadai. Ditunjukkan pula dengan pemanfaatan produksi pertanian selain untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari juga dijual untuk mendapatkan uang mengantisipasi kondisi yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa masyarakat Arfak tetap mempertahankan cara atau teknik pertanian yang diterima sejak dahulu dari nenek moyang mereka dengan mencoba menyesuaikan diri dengan pengaruh nilai-nilai dari luar yang berorientasi waktu akan datang. Penghargaan terhadap waktu tersebut diperlihatkan dengan etos kerja yang tinggi pada proses pengolahan pertanian yang membutuhkan waktu, ketekunan, dan daya juang yang besar pula.
138
Pandangan Masyarakat Arfak terhadap Alam
Pandangan masyarakat Arfak terhadap alam di sini adalah pemaknaan hubungan manusia dengan alam dan sebaliknya dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya. Kecenderungan pandangan petani Arfak terhadap alam dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Distribusi Skor dan Ranking Nilai-nilai Budaya (Pandangan terhadap Alam) Petani Arfak (n = 100) No Dimensi Pandangan terhadap Alam
Skor
Ranking
1.
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
266
1
2.
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
220
2
3.
Manusia berhasrat menguasai alam
189
3
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
Skor = 166,67-233,33 adalah sedang
Hasil distribusi skor dan ranking pandangan petani Arfak terhadap lingkungan alam adalah bahwa manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam dan tunduk kepada alam yang memiliki kekuatan (skor ≥ 233,33) namun belum berkeinginan untuk menguasai alam tersebut (skor = 166,67-233,33). Tingginya usaha menjaga keselarasan dengan alam atau hutan yang memberi kehidupan kepada masyarakat Arfak = 266 (1) menandakan bahwa mereka
memiliki nilai budaya untuk mempertahankan atau menjaga alam
sekitarnya jangan sampai rusak. Ketergantungan kepada alam sangat kuat, kalau alam atau hutan tempat mencari makanan mengalami kerusakan maka tidak ada lagi makanan untuk menghidupi warga masyarakat setempat. Di samping itu, masyarakat Arfak masih meyakini bahwa lingkungan alam memiliki kekuatan yang sangat dahsyat = 220 (2), dapat memberikan bencana kepada mereka, sehingga mereka bersifat apatis tanpa banyak yang diusahakan dengan hutan tersebut. Masih terdapat kepercayaan bahwa di alam sekitar tempat hidup manusia seperti hutan dengan pohonnya, sungai, batu, gua dan tebing memiliki kekuatan gaib yang ditakuti dan dihormati karena selalu mengontrol kehidupan manusia, sehingga timbul nilai budaya yang tidak aktif memanfaatkan hutan. Hutan boleh tempat mereka hidup sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti berkebun, meramu dan berburu, tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan. Kayu di hutan hanya untuk kebutuhan untuk membuat rumah dan kayu bakar. Hal ini dipengaruh adat istiadat setempat untuk menjaga 139
alam dan sangat sesuai dengan arah pembangunan kita yaitu pembangunan pertanian berkelanjutan dengan cara hidup harmonis dengan alam. Hutan tempat mereka berkebun dianggap air susu “ibu” yang memberi kehidupan kepada mereka. Ketika alam dieksploitasi maka akan marah dan tidak mau memberikan “makanan” bagi masyarakat Arfak. Walaupun teknik bertani masyarakat Arfak adalah ladang berpindah dengan membuka lereng-lereng secara bergiliran, tetapi memiliki upaya mengerem dengan teknik pertanian tradisional yang tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan, kearifan tersebut dikenal dengan sebutan igya ser hanjob (igya = kita berdiri, ser = menjaga, hanjob = batas) yang secara harfiah dapat diartikan: “Kita berdiri menjaga batas.” Menurut versi
Pemerintah (KSDA) kalimat bahasa Hatam tersebut mengandung ajakan: “Mari kita samasama menjaga hutan untuk kepentingan bersama” (Laksono, et al., 2001). Hakekat Hubungan Sesama Manusia
Hakekat hubungan sesama manusia dalam penelitian ini adalah interaksi sosial manusia baik secara individu maupun kolektif. Kecenderungan pandangan hubungan petani Arfak dengan sesamanya (sesama manusia) dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Distribusi Skor dan Ranking Nilai-nilai Budaya (Hakekat Hubungan Sesama) Petani Arfak (n = 100) No Dimensi Hakekat Hubungan Sesama
Skor
Ranking
1.
Individualisme
248
1
2.
Orientasi vertikal
224
2
3.
Orientasi horizontal/kolateral
179
3
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
Skor = 166,67-233,33 adalah sedang
Hasil distribusi skor dan ranking nilai budaya hakekat hubungan sesama menunjukkan bahwa masyarakat Arfak memiliki sifat individualistik dan berkomunikasi secara vertikal (Skor ≥ 233,33) namun cenderung individualistik terlihat dari skor dan ranking tertinggi = 248 (1). Mereka bekerja sehari-hari di kebun tanpa harus meminta pertolongan orang lain dari luar keluarga atau marga mereka. Kecurigaan terhadap orang lain sangat besar, kalau mengajak orang luar dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya hubungan antara pria dan wanita, berlanjut dengan perzinahan, dan
140
berakhir dengan sengketa adat. Hal ini yang menyebabkan mereka takut berhubungan dengan warga di luar keluarga atau klen. Apabila persoalan tidak dapat diselesaikan dalam keluarga, maka meminta pertolongan kepada orang yang berpengaruh (orientasi vertikal) seperti kepala suku untuk sengketa adat dan kepada aparat pemerintah setempat menyangkut masalah pendanaan misalnya meminta bantuan dana pembangunan gereja dan perayaan hari-hari besar. Tucker (Koentjaraningrat, 1993:143) menyebutkan sifat orang Arfak adalah individual. Sebelum kedatangan Belanda pada awal 1950-an rumah mereka dibangun di atas pohon, di atas sebuah panggung yang tinggi. Sedangkan saat ini mereka tinggal dalam satu kampung dengan marga yang sama dan hidup bertetangga dalam satu keluarga. Nilai budaya individualistik menurut Koentjaraningrat (2004) adalah budaya yang positif karena seseorang mampu hidup tanpa harus tergantung bantuan orang lain; mampu berdiri sendiri, giat menyelesaikan persoalannya sendiri. Masyarakat Arfak individu dalam arti kelompok klen/marga, kegiatan gotong royong menonjol dalam satu klen, misalnya kalau salah satu keluarga mendapat musibah terjadi tuntutan adat, maka semua kerabat dalam tempo singkat ikut membantu menyelesaikan masalah. Sifat individual memiliki kelemahan dalam difusi inovasi karena ketika proses pemberdayaan berlangsung dibutuhkan keputusan yang bersifat kelompok. Orientasi nilai budaya masyarakat Arfak di atas memperlihatkan nilai budaya yang positif seperti pandangan hidup di dunia suatu hal yang buruk, namun manusia diwajibkan untuk berikhtiar atau berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang baik, pencapaian dilakukan secara mandiri. Hakekat hidup yang dimiliki oleh masyarakat Arfak adalah nilai budaya yang sangat berharga dan landasan utama untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku yang dihambat oleh nilai-nilai budaya lainnya. Sebagai masyarakat tradisional yang terikat dengan alam sekitar menganggap bekerja adalah hanya untuk memenuhi nafkah hidup dan tetap menjaga keseimbangan dengan alam. Nilai budaya yang dianggap kurang mendukung ke arah kemajuan atau pembangunan adalah mereka bekerja untuk sekadar memenuhi kebutuhan sesaat, tidak berani mengelola alam sekitar secara produktif karena masih terikat dengan orientasi masa lalu.
141
Sikap terhadap Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan oleh PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) dalam bentuk transfer inovasi sudah lama diterima oleh petani Arfak, ditempatkan pada masing-masing unit pelayanan teknis di tingkat distrik masyarakat Arfak. Tanggapan petani Arfak terhadap kegiatan penyuluhan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Distribusi Skor dan Ranking Sikap Petani Arfak terhadap Penyuluhan (n = 100) No Dimensi Penyuluhan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penyuluh berasal dari/orang kampung tersebut Penyuluh berasal dari/orang Papua Menunjukkan cara melakukan suatu inovasi Sesuai, mudah dipahami, dan dicoba Sederhana, mudah, dan menyenangkan Penyuluh seorang pendeta/pastur Penyuluh meggunakan bahasa Indonesia Penyuluh adalah orang laki-laki
Sumber: Data Primer (2007)
Skor
Ranking
291 288 280 259 256 236 232 216
1 2 3 4 5 6 7 8
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Skor = 166,67-233,33 adalah sedang
Delapan bentuk kegiatan (dimensi) penyuluhan pada masyarakat Arfak, enam dimensi ditanggapi dengan baik yaitu ditunjukkan skor tinggi (Skor ≥ 233,33) sedangkan dua dimensi penggunaan bahasa Indonesia dan penyuluh orang laki-laki ditanggapi sedang (Skor = 166,67-233,33). Apabila dilihat dari kecenderungan tiga dimensi yang menonjol pada skor dan ranking petani Arfak adalah menyetujui kegiatan penyuluhan lebih bersifat non teknis yaitu kepada individu penyuluh misalnya tentang asal usul seorang penyuluh. Mereka menginginkan penyuluh berasal dari kampung mereka sendiri = 291 (1) atau orang asli Papua = 288 (2), dan berikutnya yang bersifat teknis penyuluhan diharapkan menunjukkan cara kerja inovasi tersebut = 280 (3). Keinginan penyuluh dari kalangan mereka sendiri karena penyuluh yang ditugaskan sering tidak ada di tempat. Oleh sebab itu lebih baik beralih ke penyuluh yang berasal dari kampung mereka sendiri dengan alasan lebih mengenal sosial budaya mereka dan bisa berkomunikasi setiap saat dengan bahasa yang dimengerti. Ditemukan di lapangan bahwa penyuluh ditempatkan di distrik yang dekat dengan ibu kota kabupaten dan sering tidak ada di tempat. Distrik sentra pertanian seperti di kawasan Anggi dan Minyambow hampir tidak pernah didatangi penyuluh. Jarak kampung dengan kota yang jauh, suhu dingin, dan fasilitas yang kurang memadai membuat penyuluh tidak tahan tinggal di sentra pertanian 142
sayur-sayuran tersebut. Alasan tersebut masyarakat Arfak memilih penyuluh yang berasal dari kampung mereka. Materi penyuluhan diharapkan yang mudah dipraktekkan, sesuai, mudah dipahami, dan sederhana. Penyuluhan yang sesuai dengan nilai-nilat budaya dan tidak rumit ketika dicoba di kebunnya. Diketahui mereka hanya mampu menerima sebatas yang sudah ada dalam alam pikiran, dilihat, dan pernah dipraktekkan. Artinya, inovasi yang diadaptasi dari lingkungan mereka atau suplemen teknologi dari luar tanpa menghilangkan cara mereka bertani selama ini. Bahasa dan jenis kelamin penyuluh tidak terlalu dipermasalahkan oleh petani Arfak terlihat dari skor sedang (Skor = 166,67-233,33). Melihat pembahasan di atas petani Arfak menginginkan kegiatan penyuluhan secara teknis lebih ditekankan pada penggunaan secara praktis dan bisa dicoba. Penyuluhan lebih banyak praktek dari pada menerima teori dalam kelas. Kepada orang yang menyuluh mereka lebih cenderung senang kepada orang dalam atau putra daerah setempat. Atribut Inovasi
Atribut inovasi dalam penelitian ini adalah persepsi petani Arfak terhadap inovasi pertanian yang mereka terima selama ini. Diketahui bahwa banyak inovasi yang masuk ke pedesaan masyarakat Arfak baik yang dilakukan oleh Pemerintah melalui PPL, misionaris, dan LSM. Dimensi atribut inovasi yang diamati adalah: keuntungan, kesesuaian, kerumitan, kemudahan dicoba dan diamati, serta kemudahan diperolehnya. Hasil distribusi frekuensi atribut inovasi dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Distribusi Skor dan Ranking Atribut Inovasi Petani Arfak (n = 100) No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dimensi Atribut Inovasi Kemudahan diamati Kemungkinan dicoba Kerumitan Kesesuaian Kemudahan diperoleh Keuntungan relatif
Skor 229 171 146 136 111 108
Sumber: Data Primer (2007)
Ranking 1 2 3 4 5 6
Keterangan: Skor = 166,67-233,33 adalah sedang Skor = 100-166,67 adalah rendah
Hasil distribusi skor dan ranking pandangan petani Arfak terhadap sifat-sifat inovasi yang diterima selama ini adalah sedang (skor = 166,67-233,33) yaitu tentang cepatnya hasil inovasi dapat dilihat = 229 (1) dan kemungkinan inovasi dapat dicoba = 171 (2), namun sisanya (kerumitan, kesesuaian, mudah diperoleh, dan keuntungan relatif) adalah rendah 143
(skor = 100-166,67). Tidak terdapat sifat-sifat inovasi yang ditanggapi baik atau tinggi oleh masyarakat Arfak. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi yang diberikan selama ini hanya diadopsi sebagian atau diadopsi tetapi akhirnya ditinggalkan kembali; belum sesuai dengan kebutuhan, kebiasaan atau nilai-nilai sosial budaya yang mereka miliki. Petani Arfak menghargai inovasi yang memperlihatkan hasil lebih cepat seperti yang mereka lakukan secara turun temurun selama ini yaitu menanam tanaman jenis umbiumbian seperti ubi jalar, keladi, ubi kayu, bawang, saladri, wortel, dan kentang. Di samping itu inovasi tersebut mudah dicoba, sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman bertani yang sederhana seperti menanam umbi-umbian yang dianggap mudah. Jenis tanaman tersebut adalah sebagai makanan pokok, sehingga cukup beralasan inovasi kebun apel dan kopi di Minyambow dan Anggi gagal karena dianggap rumit, membutuhkan waktu dan ketekunan tersendiri dalam pemeliharaannya sementara tidak menjamin kelangsungan pangan mereka. Gambaran negatif terhadap sifat-sifat inovasi yang diberikan atau disuluhkan selama ini adalah bahwa inovasi tersebut tidak menguntungkan = 108 (6) dan sulit diperoleh inovasi anjuran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi anjuran seperti membuat bedengan, memupuk, dan membasmi hama pada tanaman ubi jalar dan sayur-sayuran tidak akan memperoleh keuntungan bagi mereka. Apabila inovasi tersebut sudah diadopsi, setelah itu kembali lagi seperti semula. Inovasi sulit dipertahankan keberlanjutannya karena sarana produksi (saprodi) tidak tersedia di kampung mereka. Saprodi harus diperoleh dari kota dan mengeluarkan biaya besar. Inovasi tersebut tidak sesuai dengan inovasi yang sedang dan pernah dilakukan selama ini. Melalui informasi di atas dapat dinyatakan bahwa petani Arfak menginginkan inovasi yang dapat segera dilihat hasilnya, mudah dicoba tetapi harus terjamin ketersediaannya serta menguntungkan. Komunikasi Inovasi
Komunikasi inovasi petani Arfak adalah bentuk dan cara penyampaian informasi tentang inovasi yang dianggap efektif selama ini. Model komunikasi yang dilakukan adalah: melalui pertemuan dalam kelas, langsung ke kebun, dan melalui media massa. Hasil distribusi skor saluran komunikasi inovasi petani Arfak seperti pada Tabel 22. Tabel 22. Distribusi Skor dan Ranking Saluran Komunikasi Inovasi Petani Arfak
144
(n = 100) No Dimensi Saluran Komunikasi
Skor
Ranking
1.
Langsung di kebun
294
1
2.
Melalui pertemuan dalam kelas
242
2
3.
Melalui media massa
170
3
Keterangan: Skor ≥ 233,33 adalah tinggi
Sumber: Data Primer (2007)
Skor = 166,67-233,33 adalah sedang
Tanggapan terhadap komunikasi inovasi petani Arfak adalah menggunakan komunikasi interpersonal, saling bertatap muka, terlihat dari skor tinggi (Skor ≥ 233,33) terutama komunikasi langsung di kebun = 294 (1) dan pertemuan di dalam kelas = 242 (2), sedangkan melalui media massa kurang diminati = 170 (3). Hal ini ada hubungannya dengan atribut inovasi yang mudah dicoba dan dilihat cara dan hasilnya yang lebih cepat yaitu langsung pengamatan di kebun. Media massa seperti leaflet, poster atau alat audio visual jarang mereka terima. Memperhatikan pembahasan di atas dapat diartikan bahwa inovasi yang diberikan kepada petani Arfak diharapkan dalam bentuk praktek langsung di kebun, sehingga mudah dilihat bukti dan cara melakukan inovasi tersebut. Perubahan Tingkat Kebutuhan Belajar, Nilai Budaya, dan Sikap Masyarakat Arfak
Pengetahuan sejauh mana perubahan sosial budaya terjadi pada masyarakat Arfak maka dapat diuji Hipotesis Deskriptif: “Tingkat kebutuhan belajar, nilai budaya dan sikap terhadap penyuluhan petani Arfak secara nyata mengalami perubahan.” Hipotesis ini diajukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat Arfak cenderung resisten terhadap kegiatan penyuluhan atau setiap inovasi yang datang ke wilayah mereka selama ini. Berdasarkan asumsi itu muncul stigma negatif terhadap masyarakat Arfak: malas dan bodoh karena sosial budaya mereka yang menghambat. Untuk melihat respons kebutuhan belajar, nilai budaya, dan sikap petani Arfak dilakukan melalui uji Statistik Proporsi, hasilnya seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23. Uji Tingkat Kebutuhan Belajar, Nilai Budaya dan Sikap Masyarakat Arfak (n=100) Uji Statistik Proporsi No. Peubah 1.
Kebutuhan Belajar
Proporsi
St. Deviasi
t hitung
Signifikan
0,978
0,056
84,873
0,000**
145
2. 3.
Nilai Budaya Sikap terhadap penyuluhan
Keterangan: ** sangat nyata pada taraf Sumber: Data Primer (2007)
0,710 0,788
α = 0,01 (t hitung
0,076 0,150
27,516 19,156
0,000** 0,000**
> t tabel 1,96)
Kebutuhan belajar (learning need) dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai suatu jarak antara tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan atau sikap yang dimiliki saat penelitian dengan tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan atau sikap yang ingin diperoleh oleh petani Arfak yang dapat dicapai melalui kegiatan belajar. Hasil uji statistik di atas menunjukkan bahwa petani Arfak secara nyata memiliki kebutuhan belajar yang tinggi, dibandingkan sebelumnya berdasarkan asumsi dalam hipotesis yang diajukan. Artinya, masyarakat Arfak telah mengalami perubahan dari masyarakat tradisional (peasant) ke arah masyarakat maju (modern) yang ditandai oleh kemauan yang keras untuk belajar. Perubahan ini dapat dinilai dari tingginya kebutuhan belajar tersebut. Kebutuhan belajar merupakan dasar yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, selanjutnya kebutuhan pendidikan sebagai dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup atau dasar manusia. Masyarakat Arfak mau belajar karena ingin memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu berupa makanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan dasar tersebut diperoleh melalui usaha pertanian yang diolah di ladang/kebun mereka. Kebutuhan dasar diperoleh dengan cara menjual produksi pertanian berupa uang tunai. Artinya, kebutuhan dasar yang dirasakan oleh masyarakat Arfak dapat dideteksi melalui kebutuhan belajar yang dimiliki. Kebutuhan dasar tersebut berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Kebutuhan belajar masyarakat Arfak nampak tinggi ketika komunikasi, transportasi, dan pembangunan di daerah mereka mulai berkembang pada dua tahun terakhir ditandai dengan semakin tinggi permintaan akan produksi pertanian mereka. Berbeda ketika jalan belum dibangun untuk membawa hasil pertanian menggunakan pesawat terbang dan berjalan kaki seperti dialami oleh masyarakat di kawasan Minyambow dan Anggi. Di sisi lain agen perubahan (penyuluh) dapat menjadi dasar berpijak untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan melihat kebutuhan belajar masyarakat Arfak. Penyuluh akan cepat beradaptasi dan mempersiapkan materi inovasi apabila telah mengetahui kebutuhan belajar masyarakat. Tingginya kebutuhan belajar petani Arfak dapat menepis stigma negatif
146
terhadap masyarakat Arfak yang malas, bodoh, dan kolot yang sering ditujukan kepada mereka. Tabel 23 di atas juga menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya masyarakat yang mendukung proses adopsi inovasi adalah tinggi seperti hakekat hidup bagi mereka adalah berat tetapi harus diselaraskan dengan upaya kerja keras. Demikian juga nilai hakekat waktu, pandangannya terhadap alam, hakekat hubungan sesama manusia adalah relatif tinggi. Tingginya nilai budaya tersebut menunjukkan bahwa petani Arfak sudah mulai mengadopsi nilai-nilai budaya dari luar yang dipadu-padankan dengan nilai-nilai budaya yang selama ini dianut atau diperankan. Nilai budaya pasrah dan ketergantungan kepada kekuatan alam dan hal-hal gaib lainnya mulai ditinggalkan. Tidak ada lagi ritual adat melakukan sesembahan kepada nenek moyang bila memulai maupun proses kegiatan pertanian.
Kegiatan adat di kebun kini dilakukan oleh orang-orang tua. Misalnya di
wilayah Minyambow, sesudah kegiatan menanam, melakukan tradisi membawa kain sarung yang terbaru diletakkan dalam kebun sebagai hiasan. Maksudnya adalah agar hasil kebun lebih baik. Kegiatan berdoa dilakukan pada saat akan menanam bibit dengan mengundang keluarga, tetangga; acara makan; dan para undangan ikut membantu pemilik kebun untuk menanam bibit. Selain pengaruh komunikasi dan transportasi di atas perubahan masyarakat/petani Arfak juga disebabkan oleh aktivitas Pemerintah dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan dan misionaris agam Kristen. Misionaris dalam misi awalnya adalah pekabaran injil untuk mengenal firman Tuhan kepada masyarakat pedalaman Arfak yang masih hidup terbelakang, terpencil, tertutup dengan kepercayaan animisme. Misi pertama mereka adalah pemberantasan keyakinan animisme yaitu memusnahkan tanaman obat-obatan yang dipergunakan untuk saling membunuh, berhala yang disembah, dan pohon kramat. Gerakan penyadaran itu dilakukan sejak tahun 1955. Sikap petani Arfak terhadap kegiatan penyuluhan adalah respons atau tanggapan mereka terhadap kegiatan penyuluhan yang berlangsung selama ini menunjukkan tinggi. Tingginya sikap terhadap kegiatan penyuluhan seperti isi (materi), metode penyampaian yang mereka anggap baik. Didukung juga sikap oknum penyuluh yang membawakan materi penyuluhan mereka menerima dari golongan mana pun tanpa membedakan asal, agama, suku, dan jenis kelamin. Sikap petani Arfak ini merupakan gambaran kepada agen 147
pembangunan bahwa penyuluhan harus dipersiapkan dengan baik tentang materi yang mereka butuhkan, metode yang menarik sesuai dengan kemampuan mereka, dan dilakukan oleh petugas yang profesional. Kebutuhan belajar yang tinggi, nilai-nilai budaya positif yang kuat, dan citra penyuluhan yang baik pada petani Arfak selain merupakan realitas sosial telah terjadi perubahan paradigma pembangunan pada beberapa tahun ini tetapi juga memupuskan anggapan negatif terhadap masyarakat/petani asli pedalaman Arfak. Pengaruh Faktor-faktor Kekuatan Petani Arfak dalam Adopsi Inovasi
Faktor-faktor kekuatan petani Arfak dalam penelitian ini akan dijadikan peubahpeubah bebas yang mempengaruhi proses adopsi inovasi (peubah tidak bebas). Terdapat tiga jenis kekuatan dalam masyarakat yaitu: (1) Kekuatan pendorong, (2) Kekuatan bertahan, dan (3) Kekuatan pengganggu. Faktor-faktor kekuatan petani Arfak dapat diperoleh dengan menggunakan analisis faktor peubah nilai sosial dan peubah atribut inovasi. Hasil analisis tersebut akan menemukan komponen nilai esensial dan pelengkap. Kekuatan Nilai Sosial Peubah nilai sosial sebagai kekuatan terdiri dari dimensi atau faktor-faktor yang
penting (esensial) dan pelengkap (non esensial). Pengelompokan menggunakan analisis faktor yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Faktor-faktor yang Mendukung Peubah Nilai Sosial Petani Arfak (n=100) No. Dimensi Nilai Sosial Nilai Komponen Keterangan 1. Empati 0,77* Esensial 2. Keterbukaan pada perubahan 0,54* Esensial 3. Keinovatifan 0,50* Esensial 4. Keberanian ambil resiko 0,49 Pelengkap 5. Rasionalitas 0,48 Pelengkap 6. Optimis 0,40 Pelengkap Sumber: Data Primer (2007)
Keterangan: * Nyata pada taraf
α = 0,05
Hasil analisis faktor diperoleh secara berurutan tiga dimensi yaitu empati (0,77), keterbukaan pada perubahan (0,54), dan keinovatifan (0,50) merupakan faktor yang mendukung peubah nilai sosial. Artinya, faktor-faktor tersebut merupakan nilai yang esensial dimiliki oleh petani Arfak. Mereka dapat dinilai memiliki empati yang besar, terbuka terhadap perubahan yang datang dari luar lingkungannya, dan termasuk masyarakat yang inovatif. Sebaliknya memiliki nilai pelengkap atau nilai yang kurang, harus 148
diperhatikan keberadaannya seperti: (1) pesimis, (2) irasional, dan (3) tidak berani ambil resiko. Sifat-sifat negatif di atas (pesimis, irasional, dan tidak berani ambil resiko) disebabkan oleh kurangnya inovasi atau kegiatan penyuluhan yang diberikan kepada masyarakat Arfak sehingga tidak terbiasa menerima suatu masalah dan mencari jalan keluar dari masalah yang dialaminya, sementara kegiatan pertanian yang dilakukan adalah sangat mudah yaitu menyerahkan kepada kekuatan alam. Sifat ini bisa diatasi dengan memperhatikan atribut-atribut inovasi yang meyakinkan dapat merubah cara lama ke arah yang lebih baik dan menguntungkan petani Arfak. Memiliki rasa empati menunjukkan kemampuan masyarakat Arfak memproyeksikan dirinya ke dalam peran orang lain. Biasa nampak ketika menerima kabar musibah misalnya salah seorang keluarga meninggal dunia, saat itu langsung menunjukkan kedukaan yang dalam dengan cara menangis meraung-raung. Kalau tempat yang meninggal berjauhan mereka berusaha harus mencapai lokasi kedukaan untuk memberi penghiburan kepada keluarga yang meninggal. Rasa duka tersebut berlangsung sampai jenazah dikuburkan. Masyarakat yang memiliki empati tinggi akan mampu untuk membayangkan diri mereka sama dengan orang lain yang misalnya mengalami kemajuan. Apabila melihat orang yang datang membawa perubahan di lingkungannya akan cepat ditanggapi. Diperlihatkan oleh masyarakat Arfak sangat tanggap terhadap tamu-tamu yang datang ke kampung mereka, dilayani keperluan tamu sehingga tidak mengecewakan. Adanya rasa empati menunjukkan masyarakat Arfak sangat terbuka terhadap pengaruh-pengaruh dari luar (pembaharuan). Keterbukaan dimulai semenjak misionaris TEAM (The Evangelical Alliance Mission) dari Amerika Serikat masuk ke pedalaman masyarakat Arfak (Anggi, Bintuni, Kebar, Minyambow, Babo dan Ransiki) pada tahun 1955, melakukan kegiatan dengan teknik pendekatan seperti: pendidikan, kesehatan, pertanian, dan belajar berorganisasi. Memiliki rasa empati dan terbuka terhadap pengaruh dari luar menimbulkan inovasiinovasi baru yang akan merubah pola pertanian subsisten ke modern atau komersial, walaupun tujuan hidup sehari-hari masih untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok/dasar seperti pangan, papan, sandang, dan sosial, tetapi terdapat upaya kerja keras untuk memenuhinya melalui inovasi-inovasi atau pengalaman yang diterimanya selama ini. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui inovasi seperti: (1) memanfaatkan 149
sumberdaya yang tersedia di sekitar mereka, dan (2) mengintroduksi produk-produk yang tidak diproduksi oleh lingkungan mereka. Hasil analisis faktor di atas ditemukan juga dimensi nilai sosial yang kurang mendukung kehidupan petani Arfak seperti: (1) Rasa pesimis, (2) tidak rasional berhadapan dengan suatu masalah, dan (3) tidak berani mengambil resiko. Ketiga faktor ini yang menghambat proses adopsi inovasi. Pesimistis menyebabkan petani Arfak kurang yakin dengan usaha yang dilakukan akan berhasil sehingga bekerja seadanya dan pasrah kepada alam. Selanjutnya kurang memiliki naluri keberanian mengambil resiko atau berspikulasi ketika berhadapan hal-hal yang belum pasti hasilnya. Hal ini yang menyebabkan mereka cenderung apatis, tidak yakin bahwa inovasi yang diterimanya akan menghasilkan lebih baik. Petani Arfak memiliki pola berpikir sederhana, praktis, dan ada bukti pada saat itu, karena mereka bekerja untuk kebutuhan hari itu. Kurang aspirasi untuk menunda suatu kepuasan yang diterimanya untuk mengantisipasi keuntungan yang akan datang. Terdapat usaha untuk menabung tetapi hanya untuk kebutuhan membayar maskawin dan denda sengketa adat. Perilaku dan sikap petani Arfak di atas hampir sama yang diungkap oleh Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa ciri keinovatifan yang berpengaruh pada proses adopsi adalah: (1) memiliki simpati lebih besar, (2) mempunyai sikap lebih berkenan terhadap perubahan, (3) mempunyai kemampuan abstraksi lebih besar, (4) mempunyai sikap mau mengambil resiko, (5) lebih tinggi intelegensinya, (6) dogmatis, (7) mempunyai rasionalitas lebih baik terhadap pendidikan/pengetahuan, (8) tidak menyerah pada nasib, dan (9) motivasi dan aspirasi meningkatkan taraf hidup. Kekuatan Atribut Inovasi Inovasi yang diterima petani Arfak memiliki faktor-faktor yang menghambat dan
memperkuat proses adopsi. Hasil uji faktor dimensi atau atribut inovasi terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Faktor-faktor yang Mendukung Peubah Atribut Inovasi (n=100) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dimensi Atribut Inovasi Kompatibilitas/ kesesuaian Observabilitas/ bisa dibuktikan Kompleksitas/ kerumitan Triabilitas/ mudah dicoba Menguntungkan Ketersediaan inovasi
Nilai Komponen 0,51* 0,50* 0,44 0,41 0,35 0,23
150
Keterangan Esensial Esensial Pelengkap Pelengkap Pelengkap Pelengkap
Sumber: Data Primer (2007)
Keterangan: * Nyata pada taraf
α = 0,05
Hasil analisis faktor memperlihatkan bahwa atribut inovasi kompatibilitas (kesesuaian) dan observabilitas (pembuktian) adalah faktor penting (esensial) melekat pada inovasi, sedangkan atribut lainnya (kompleksitas, triabilitas, keuntungan relatif dan ketersediaan inovasi) adalah faktor pelengkap. Artinya, dua atribut inovasi tersebut telah direspons dengan baik oleh petani Arfak, sedangkan empat atribut lainnya:(1) Ketersediaan inovasi, (2) Menguntungkan, (3) Triabilitas/ mudah dicoba, dan (4) Kompleksitas/ kerumitan kurang melekat pada inovasi yang telah diterima masyarakat petani Arfak. Inovasi yang sesuai adalah inovasi yang mudah diadaptasi oleh masyarakat bersangkutan. Inovasi yang masuk ke petani Arfak harus memiliki kesesuaian dengan kondisi sosial, budaya, dan kemampuan eknomi masyarakat. Inovasi menanam apel adalah tidak sesuai dengan budaya kerja masyarakat Arfak yang memerlukan ketelitian dan kerumitan. Beternak babi bagi masyarakat Arfak adalah untuk kepentingan sosial dan budaya.
Penggunaan
mesin
penyemprot
hama
belum
diterima
karena
rumit
pemeliharaannya dan perlu bahan bakar yang harus mengeluarkan tenaga dan dana dalam pengoperasiannya. Hasil penelitian di atas bila dibandingkan dengan delapan indikator yang diungkap oleh Crouch (Mardikanto, 1993:72) memberi urutan jenjang kepentingan sifat inovasi yang berbanding terbalik. Artinya, sifat-sifat inovasi yang dianggap esensial pada inovasi yang diterima oleh petani Arfak selama ini adalah sesungguhnya bukan yang diharapkan. Terungkap urutan terpenting yang diungkap Crouch adalah: (1) Tingkat keuntungan (relative advantage), (2) Biaya yang diperlukan (cost of innovation), (3) Tingkat kerumitan/kesederhanaan (complexity/simplicity), (4) Kesesuaian dengan lingkungan fisik (physical compatibility), (5) Kesesuian dengan lingkungan budaya (cultural compatibility), (6) Tingkat mudahnya dikomunikasikan (communicability), (7) Penghematan tenaga kerja dan waktu (saving of labour and time), dan (8) Dapat/tidaknya dipecah-pecah/dibagi (divisibility). Haryadi (1998) menyatakan bahwa petani enggan mengadopsi teknologi baru karena akan memerlukan tambahan biaya dibandingkan penggunaan teknologi terdahulu. Tambahan biaya tersebut terutama untuk membeli input baru sehubungan dengan digunakannya inovasi tersebut. Bagi petani, tambahan biaya untuk menggunakan inovasi
151
dirasakan cukup berat, karena umumnya para petani kecil kekurangan dana untuk membiayai usahataninya. Hubungan saling Pengaruh Kondisi dan Karakteristik Petani Arfak terhadap Proses Adopsi Inovasi
Hubungan saling pengaruh antara kondisi sebelum adanya inovasi (kebutuhan belajar, nilai-nilai budaya, dan sikap penyuluhan) dan karakteristik petani Arfak merupakan Hipotesis 1 dari penelitian ini: “Terdapat hubungan yang nyata saling mempengaruhi antara kebutuhan belajar, nilai-nilai budaya, sikap penyuluhan, dan karakteristik petani Arfak terhadap tahap pengetahuan adopsi inovasi”. Hipotesis (H1) diuji menggunakan analisis persamaan struktural (Structural Equation Model – SEM) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 26. Hasil analisis persamaan struktural menunjukkan bahwa peubah kebutuhan belajar yang berpengaruh nyata (t hitung = 3,15 > 1,96), sedangkan empat peubah lainnya (Nilai Budaya, Sikap terhadap Penyuluhan, Karakteristik Petani Arfak, dan Saluran Komunikasi) tidak berpengaruh nyata, atau dengan kata lain Hipotesis Penelitian (H1) pada peubah kebutuhan belajar diterima dan empat peubah lainnya ditolak. Berpengaruhnya Peubah kebutuhan belajar juga disebabkan oleh nilai koefisien pengaruh yang besar yaitu 1,01. Tabel
26.
No.
Peubah
1. 2. 3. 4.
Kebutuhan Belajar Nilai Budaya Sikap terhadap Penyuluhan Karakteristik Masyarakat/Petani Arfak Saluran Komunikasi
5.
Hubungan saling Mempengaruhi Kondisi dan Karakteristik Petani Arfak terhadap Tahap Pengetahuan Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak (n=100) Uji Persamaan Struktural Nilai Koef. Pengaruh¹)
Std.Error
t hitung ²)
1,01 - 0,28 - 0,62 0,16
0,32 0,34 0,47 0,25
3,15* - 0,82 - 1,32 0,63
- 0,17
0,38
- 0,45
R²
0,34
Keterangan Berpengaruh nyata Tidak Berpengaruh nyata Tidak Berpengaruh nyata Tidak Berpengaruh nyata Tidak Berpengaruh nyata
Keterangan: ¹) Nilai koef. pengaruh lebih besar, maka peubah tsb.berpengaruh lebih besar ²) * nyata pada taraf α = 0,05 (t hitung > t tabel 1,96) Sumber: Data Primer (2007)
Proses awal (tahap pengetahuan) adopsi inovasi pada masyarakat Arfak lebih besar dipengaruhi oleh faktor kebutuhan belajar (1,01) sedangkan faktor lain seperti sikap petani terhadap penyuluhan (0,62), nilai-nilai budaya (-0,29), saluran komunikasi (-0,17), dan karakteristik petani (0,16) kurang memiliki peran karena nilai koefisien pengaruh yang kecil. Terutama saling pengaruh antara nilai koefisien terbesar (kebutuhan belajar) dengan 152
yang terkecil (karakteristik petani) diduga sebagai penyebab tidak berpengaruh peubah lainnya. Fenomena di atas dapat dijelaskan bahwa faktor kebutuhan belajar sangat menentukan berhasilnya proses adopsi pada tahap awal (Tahap Pengetahuan) sedangkan faktor sikap petani terhadap penyuluhan, nilai-nilai budaya, saluran komunikasi, dan karakteristik petani belum memiliki peran. Penelusuran jalur pengaruh peubah kebutuhan belajar memperlihatkan lebih besar dipengaruhi oleh dimensi sikap mental yang ditunjukkan dengan nilai koefisien jalur negatif terbesar (-0,35). Sikap mental (ranah afektif) ini saling berpengaruh negatif dengan dimensi pengetahuan (kognitif) dan dimensi ketrampilan (psikomotor) yaitu memiliki koefisien pengaruh jalur sama besar (0,24). Bila pengaruh sikap mental tinggi maka dimensi pengetahuan dan perilaku rendah, demikian sebaliknya (Gambar 17). Sikap Mental -0,35
Pengetahuan
0,24
Kebutuhan Belajar
1,01
Tahap Pengetahuan
0,24
Ketrampilan
Gambar 17. Pengaruh Nilai Koefisien Jalur Peubah Kebutuhan Belajar terhadap Tahap Pengetahuan Adopsi Inovasi
Tingginya pengetahuan sikap mental petani Arfak diduga karena selama ini lebih banyak bersentuhan dengan misi agama Kristen dengan pendekatan religius misalnya tentang iman, norma, dan sikap menghadapi kehidupan di dunia. Melalui ajaran agama tersebut mempengaruhi kejiwaan atau keyakinan masyarakat terhadap inovasi yang masuk ke wilayahnya. Pengetahuan ”prinsip” (afektif) berkenaan dengan prinsip-prinsip berfungsinya suatu inovasi, misalnya pengetahuan tentang kesuburan tanah maka petani harus mengetahui prinsip-prinsip atau teori-teori unsur hara dan sifat-sifat tanah. Penguasaan pengetahuan prinsip akan memudahkan untuk menguasai pengetauan teknis. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971:41-44), pengetahuan “teknis” (psikomotor) yang paling diperlukan oleh seorang adopter yaitu cara pemakaian atau penggunaan suatu inovasi. Kasus inovasi yang rumit, orang harus memeiliki pengetahuan teknis lebih banyak 153
dari pada jika inovasi itu sederhana. Adopter harus mengetahui seberapa banyak inovasi dapat memberikan keamanan baginya, bagaimana cara menggunakan inovasi
sebaik-
baiknya. Bagi petani Arfak sikap mental pada dasarnya adalah tendensi atau dorongan untuk mengetahui berbagai informasi atau inovasi yang diterima selama ini. Sikap mental adalah rasa suka atau tidak suka dan dapat mempengaruhi tindakan petani Arfak menerima atau menolak inovasi yang masuk ke wilayah mereka. Sikap mental dapat menentukan minat (interest) belajar petani Arfak tentang pertanian apel, peternakan, dan sayur-sayuran di Malang dan Manado. Selanjutnya sikap mental memberi nilai (value) tentang manfaat menanam apel dan daun bawang; memberi penghargaan (appreciation) dan pendapat (opinion) yang besar terhadap inovasi-inovasi yang mereka terima. Pengetahuan pertanian diperoleh harus melalui proses pembelajaran yang didorong oleh sikap mental (Parthasarathy dan Chopde, 2000). Dikatakan oleh Kidd (1973) bahwa ranah afeksi berhubungan dengan rasa (feeling). Rasa menurutnya meliputi tiga jenis yaitu (1) rasa cinta atau sayang seperti penghargaan, sanjungan, simpati, persahabatan, dukungan, dan murah hati; (2) rasa marah atau gusar seperti penghinaan, kekejaman, kekecewaan, merasa dirintangi atau ditolak; dan (3) rasa takut seperti kekhawatiran, prasangka. Ranah afeksi ini pun meliputi keinginan (willingness) dan harapan (aspiration). Ranah afeksi pada dasarnya merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri (inner power) yang mendorong seseorang untuk memahami dan menghayati rangsangan dan kehidupan (Sudjana, 2004). Petani Arfak yakin bahwa pendapatan mereka dalam usaha pertanian bisa baik kalau diberi inovasi atau teknologi yang bisa memajukan cara mereka bertani dibandingkan sebelumnya yang diberikan dalam bentuk pembelajaran yang baik pula. Rendahnya koefisien peubah karakteristik petani Arfak terhadap proses adopsi tahap pengetahuan diduga faktor-faktor karakteristik yang melekat dalam diri (nilai individu) dan dukungan eksternal (sosial ekonomi dan komunikasi) kurang mendukung mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang diberikan dalam proses pembelajaran non formal selama ini. Artinya, proses mendapat informasi atau pengetahuan inovasi bagi petani Arfak bisa dihambat oleh karakteristik sosial ekonomi yang masih rendah (0,09), misalnya ditunjukkan oleh tingkat pendidikan, status sosial, mobilitas yang rendah serta kegiatan pertanian belum berorientasi ekonomi (Gambar 18). 154
Individu -0,98
Komunikasi
Karakteristik Petani Arfak
-0,29 0,09
Tahap Pengetahuan
0,16
Sosial Ekonomi Gambar 18. Pengaruh Nilai Koefisien Jalur Peubah Karakteristik Petani Arfak terhadap Tahap Pengetahuan Adopsi Inovasi
Selain pengaruh peubah kebutuhan belajar proses adopsi tahap pengetahuan juga dipengaruhi oleh peubah sikap petani Arfak terhadap kegiatan penyuluhan (-0,62) yaitu pengaruh dimensi materi dan metode penyuluhan bukan dimensi non teknis seperti asalusul penyuluh. Nilai-nilai budaya tidak berpengaruh (t hitung = -0,29 ≤ 1,96) terhadap proses adopsi tahap pengetahuan, terutama akibat pengaruh nilai budaya dimensi hakekat hubungan sesama manusia (-0,03) sangat kecil dibanding dengan empat sub peubah lainnya (Hakekat Hidup = 0,97; Hakekat Alam = 0,55; Hakekat Karya = -0,35; dan Hakekat Waktu = -0,13). Hal ini disebabkan, nilai budaya hubungan sesama petani kurang dilakukan, lebih banyak berhubungan dengan pihak pemerintah, tokoh agama, dan tokoh adat untuk meminta bantuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Mereka masih berorientasi masa lalu dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten). Hubungan saling Mempengaruhi antara Atribut Inovasi terhadap Tahap Persuasif Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak
Hubungan saling pengaruh antara atribut inovasi dengan proses adopsi tahap persuasif petani Arfak merupakan Hipotesis 2 dari penelitian ini: “Atribut inovasi yang diterima petani Arfak secara nyata berpengaruh positif terhadap tahap persuasif adopsi inovasi.” Hipotesis (H1) ini diuji menggunakan analisis persamaan struktural (Structural Equation Model – SEM) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Hubungan saling Mempengaruhi antara Atribut Inovasi terhadap Tahap Persuasif Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak (n=100) Uji Persamaan Struktural No. Peubah Nilai Koef.¹) t hitung ²) Keterangan St.Error
R²
1.
Proses adopsi Tahap Pengetahuan
0,60
0,087
6,87*
2.
Atribut Inovasi
- 0,19
0,053
- 0,68
155
0,32
Berpengaruh nyata Tidak Berpengaruh nyata
3.
Saluran komunikasi
0,030
0,088
Tidak Berpengaruh nyata
0,34
Keterangan: ¹) Nilai koef. pengaruh lebih besar, maka peubah tsb.berpengaruh lebih besar ²) * nyata pada taraf α = 0,05 (t hitung > t tabel 1,96) Sumber: Data Primer (2007)
Tahap persuasif adalah tahap kedua setelah tahap pengetahuan/pengenalan dalam proses adopsi inovasi yang keberlangsungannya dipengaruhi oleh peubah atribut inovasi, peubah saluran komunikasi, dan pengaruh peubah tahap pengetahuan (Y1) itu sendiri. Hasil analisis persamaan struktural menghasilkan bahwa atribut inovasi tidak berpengaruh nyata (t hitung = -0,68 < 1,96) terhadap tahap persuasif sedangkan yang berpengaruh hanya pada tahapan pengetahuan proses adopsi (t hitung = 6,87 > 1,96). Demikian juga saluran komunikasi (t hitung = 0,34 < 1,96) tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap proses adopsi tahap persuasif. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi yang diterima selama ini oleh masyarakat Arfak belum meyakinkan akan mengubah produksi dan pendapatan mereka. Tidak berpengaruhnya peubah Atribut Inovasi dikarenakan kecil nilai koefisien jalur sub peubah kemudahan diperoleh/ketersediaan inovasi (0,02), keuntungan relatif (0,22) dan observabilitas/pembuktian (-0,24). Peubah atribut inovasi didukung oleh sub peubah kompatabilitas/kesesuaian (0,52), kompleksitas/kesulitan (-0,45), dan sub peubah triabilitas/bisa dicoba (-0,33). Nilai koefisien pengaruh jalur dapat dilihat pada Gambar 19. Kompatabilitas Kompleksitas
O,52 -0,45
Triabilitas
-0,33 -0,24
Observabilitas
Atribut Inovasi
Tahap Persuasif
-0,19
0,22
Keuntungan
0,02
Ketersediaan Gambar 19. Pengaruh Nilai Koefisien Jalur Peubah Atribut Inovasi terhadap Tahap Persuasif Adopsi Inovasi
Hasil analisis di atas dapat dijelaskan bahwa kurang berpengaruh atribut inovasi terutama disebabkan oleh tidak tersedianya materi dan perangkat pendukung inovasi di tengah-tengah petani Arfak. Koperasi dan kios penjual Saprodi belum ada di empat Distrik lokasi
penelitian,
sehingga
inovasi
yang
sudah
diterima
sulit
dipertahankan
keberlanjutannya. Ditambah lagi oleh jarangnya penyuluh bertemu dengan petani semakin 156
mengaburkan persepsi petani terhadap inovasi tersebut. Sebagian kecil petani yang tinggal di sekitar Distrik Manokwari Utara dan Warmare membeli bibit sayur fitsai, kol, serta pembasmi hama di kota Manokwari yang ditempuh menggunakan kendaraan umum. Salah satu syarat pokok terjadinya pembangunan pertanian menurut Mosher (1983:115) adalah tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, walaupun kemajuan pertanian diwarnai oleh ketergantungan dengan sumber-sumber di luar lingkungan petani, tetapi saprodi tersebut tetap harus ada. Pengaruh sub peubah atribut inovasi kompatabilitas/tingkat kesesuaian inovasi (0,52) yang diduga masih berpengaruh dapat diartikan bahwa inovasi tersebut masih dapat disesuaikan dengan sosial budaya dan tata cara mereka bertani sebelumnya. Faktor kesesuaian inovasi dengan kebutuhan dan sosial budaya setempat sangat penting diperhatikan dalam mendiseminasi inovasi kepada petani Arfak. Mereka sulit mengadopsi inovasi yang tidak dibutuhkan dan tidak sesuai dengan teknologi lokal (kearifan tradisional) yang sudah mereka miliki sebelumnya. Misalnya, inovasi pemupukan atau membajak tidak pernah ada pada tradisi masyarakat Arfak, mereka mengenal teknologi ladang berpindah secara bergiliran dan menggali tanah dengan kayu tugal dan tenaga ternak babi untuk membalik tanah. Hubungan saling Mempengaruhi antara Saluran Komunikasi Penyuluhan dengan Tahap Adopsi Inovasi
Hubungan saling pengaruh antara saluran komunikasi dengan proses inovasi tahap ketiga atau tahap adopsi pada petani Arfak merupakan Hipotesis 3 dari penelitian ini: “Saluran komunikasi inovasi yang dimiliki masyarakat Arfak secara nyata berpengaruh positif terhadap tahapan adopsi inovasi.” Hipotesis (H1) ini diuji menggunakan analisis model persamaan struktural (Structural Equation Model – SEM) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hubungan saling Mempengaruhi antara Saluran Komunikasi Penyuluhan dengan Tahap Adopsi Inovasi No.
1. 2.
Peubah Proses Tahap persuasif Saluran Komunikasi
Uji Persamaan Struktural Nilai Koef. ¹)
St.Error
t hitung ²)
0,67
0,056
11,97*
0,42
0,064
6,62*
R²
Keterangan
0,70
Berpengaruh nyata Berpengaruh nyata
Keterangan: ¹) Nilai koef. pengaruh lebih besar, maka peubah tsb.berpengaruh lebih besar
157
²) * nyata pada taraf Sumber: Data Primer (2007)
α = 0,05 (t hitung
> t tabel 1,96)
Hasil analisis persamaan struktural di atas dapat membuktikan bahwa peubah saluran komunikasi penyuluhan berpengaruh nyata terhadap proses adopsi inovasi yaitu dibuktikan dengan t hitung = 6,62 > 1,96 dengan besar koefisien pengaruh (0,42). Saluran komunikasi berperan pada tahap adopsi inovasi. Pengaruh tersebut dipengaruhi lebih besar dari sub peubah yang menggunakan fasilitas saluran komunikasi milik pemerintah (vertikal) mulai dari pesan yang disampaikan dan tempat penyuluhan di balai desa. Pengaruh yang terendah adalah sub peubah saluran komunikasi antar mereka dengan cara berdiskusi memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dijelaskan bahwa saluran komunikasi yang efektif dilakukan kepada petani Arfak adalah masih menggunakan komunikasi vertikal (top down) yaitu dari Pemerintah, sedang melalui media massa (koefisien pengaruh = 0,68) dan forum diskusi atau kelompok tani belum efektif dilakukan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik pendidikan dan tingkat ekonomi mereka yang relatif rendah sehingga kepemilikan fasilitas media massa seperti radio, televisi, dan koran yang masih sedikit.
Pola Umum Hubungan Saling Pengaruh dalam Proses Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak
Paradigma atau kerangka berpikir yang diajukan dalam penelitian ini (Gambar 3) sebagai dasar analisis persamaan struktural (Structural Equation Model/SEM) yang selanjutnya menghasilkan pola umum hubungan saling pengaruh proses adopsi inovasi masyarakat Arfak. Hasil analisis SEM menggunakan perangkat analisis statistik Lisrel (Linier Structure Relationship) disajikan pada Gambar 20. Setelah dibahas melalui uji hipotesis, selanjutnya pola umum hubungan saling pengaruh dapat dijelaskan berdasarkan tahap-tahap proses adopsi inovasi berikut: Tahap - 1 (Proses Adopsi Tahap Pengetahuan)
Pada tahap pengetahuan atau pengenalan (Y1) yang berperan adalah peubah kebutuhan belajar (1,01) terutama pengaruh ranah afektif (sikap mental), sedangkan peubah lain seperti: sikap kepada penyuluhan (-0,62), nilai-nilai budaya (-0,28), saluran komunikasi (-0,17), dan peubah karakteristik petani (0,16) belum memiliki peran dalam proses awal adopsi inovasi masyarakat Arfak. Hal ini disebabkan besarnya pengaruh 158
inovasi yang diberikan oleh msionaris dalam bentuk ajaran agama Kristen misalnya menyangkut norma-norma, keimanan, dan sikap mental menghadapi perubahan zaman; namun sebaliknya peran penyuluh pemerintah (PPL) belum dirasakan manfaatnya. Berkenaan dengan hasil analisis di atas Rogers dan Shoemaker (1971:99) membenarkan bahwa adopsi suatu inovasi adalah suatu proses mental, sejak seseorang mengetahui (Tahap 1) adanya suatu inovasi sampai saat ia membuat keputusan dan mengukuhkannya.
Keterangan: X11 = Subvariabel Pengetahuan X12 = Subvariabel Ketrampilan X13 = Subvariabel Sikap X21 = Subvariabel Nilai Hakekat Hidup X22 = Subvariabel Hakekat Karya X23 = Subvariabel Hakekat Waktu X24 = Subvariabel Hakekat Allam X25 = Subvariabel Hakekat Hub.Manusia
X33 = Subvariabel Praktik X34 = Subvariabel Penyuluh Lokal X35 = Subvariabel Penyuluh Papua X36 = Subvariabel Penyuluh Pendeta X37 = Subvariabel Bhs. Indonesia X38 = Subvariabel Gender Penyuluh X41 = Subvariabel Karakteristik Sosek X42 = Subvariabel Karakteristik Individu
159
X52 = Subvariabel Kompatabilitas X53 = Subvariabel Kompleksitas X54 = Subvariabel Triabilitas X55 = Subvariabel Observabilitas X56 = Subvariabel Ketersediaan X61 = Subvariabel Kom. Vertikal X62 = Subvariabel Kom. Horisontal X63 = Subvariabel Kom. Media Massa
X31 = Subvariabel Materi Penyuluhan X32 = Subvariabel Metode
X43 = Subvariabel Karak. Komunikasi X51 = Subvariabel Keuntungan Relatif
LX1 = Variabel Kebutuhan Belajar LX2 = Variabel Nilai-nilai Budaya LX3 = Variabel Sikap kpd. Penyuluhan LX4 = Variabel Karakteristik Petani
LX5 = Variabel Atribut Inovasi LX6 = Variabel Saluran Komunikasi
Y2 = Variabel Proses Thp. Persuasif Y3 = Variabel Proses Thp. Adopsi
Y1 = Variabel Proses Thp Pengetahuan
Gambar 20. Pola Hubungan Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak
Diperjelas juga oleh Burman dan Commins (Sudjana, 2004:212) bahwa ranah afeksi (sikap mental) merupakan kekuatan utama dalam diri seseorang yang dapat menggerakkan orang itu untuk berkembang secara dinamis. Ranah afeksi adalah berkaitan dengan sikap (attitude), minat (interest), nilai (value), penghargaan (appreciation), dan pendapat (opinion). Ranah afeksi pada dasarnya merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri (inner power) yang mendorong seseorang untuk memahami dan menghayati rangsangan dan
kehidupan. Lebih jelas, sikap menurut Krathwol (Sudjana, 2004) menyangkut kemampuan (1) penerimaan (receiving), yaitu adanya keyakinan seseorang untuk memperhatikan suatu peristiwa atau rangsangan; (2) tanggapan (responding), yaitu keterlibatan seseorang secara aktif terhadap peristiwa atau rangsangan tersebut; (3) pemberian nilai (valuing), adalah keterlibatan secara konsisten dan penilaian terhadap kebaikan atau kelebihan dan keburukan
atau
kelemahan
yang
terdapat
dalam
peristiwa
atau
rangsangan;
(4) pengorganisasian (organization) yaitu pengembangan suatu cara atau pola tingkah laku dalam melibatkan diri terhadap peristiwa atau rangsangan yang didasarkan atas hasil penilaian tersebut; dan (5) penampilan ciri diri atas dasar suatu atau sekelompok nilai (characterization) terhadap peristiwa atau rangsangan yang sama atau hampir sama dengan peristiwa atau rangsangan yang dialami sebelumnya dengan menggunakan cara atau pola yang tetap sepanjang waktu. Tahap pengetahuan atau tahap pengenalan yaitu seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang cara inovasi tersebut berfungsi. Informasi yang dibutuhkan lebih bersifat umum atau pemberitahuan saja, misalnya keberadaan inovasi. Oleh sebab itu faktor kebutuhan belajar dapat dijadikan pertimbangan bagi agen perubahan dalam melakukan aksi atau penyuluhan kepada petani Arfak yang memiliki keyakinan, aktif, menilai, dan konsisten terhadap rangsangan yang akan diterimanya. Sifat-sifat ini yang harus dipertahankan dan dirangsang dengan pola komunikasi yang baik yaitu menggunakan komunikasi persuasif interpersonal dan media
160
massa (audio visual) untuk merubah sikap dan perilaku sosial budaya yang menghambat proses adopsi inovasi misalnya mengurangi kegiatan pesta adat yang mengeluarkan biaya yang lebih besar. Saluran kosmopolit mulai nampak dua tahun terakhir ini dengan mulai dibuka jalan darat dari kota Manokwari ke Distrik wilayah Minyambow dan Anggi. Mudahnya transportasi membuat mereka seringkali ke kota bertemu dan mencari hal-hal baru tentang pertanian dan fasilitas yang belum ada di kampung mereka. Selama ini masyarakat Arfak mengandalkan komunikasi vertikal dan individu. Selain diselesaikan secara pribadi yang dialami masyarakat Arfak, komunikasi vertikal kepada tokoh yang berpengaruh seperti aparat pemerintah dan kepala suku sering dilakukan. Model saluran komunikasi demikian (interpersonal-vertikal) mempengaruhi bentuk pengambilan keputusan inovasi, yaitu keputusan bentuk otoritas. Di dalam proses adopsi inovasi pengambilan keputusan ada di tangan pihak yang status sosialnya dianggap lebih tinggi. Mulai dari tahap pengenalan, persuasi, dan akhirnya diadopsi masih mendengar atau memperhatikan keputusan yang dilakukan oleh kepala suku, aparat pemerintah, dan tokoh agama seperti pendeta. Jenis keputusan adopsi inovasi sendiri (optional), menurut Rogers dan Shoemaker (1971) yaitu keputusan yang dibuat oleh individu dengan mengabaikan keputusan lain dalam masyarakat sekitarnya. Keputusan individu dilakukan apabila masalah yang akan dipecahkan sederhana, merupakan masalah sehari-hari, masalah yang timbul mendadak padahal waktu yang tersedia singkat, masalahnya bersifat pelaksanaan dari suatu keputusan bersama. Adopsi inovasi akan cepat terjadi jika keputusan diambil secara opsional (kelompok) karena adanya komunikasi interpersonal. Inovasi yang dikomunikasikan secara interpersonal akan lebih cepat diadopsi dari pada yang disalurkan melalui media massa. Proses pengambilan keputusan adopsi inovasi oleh individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti saluran komunikasi, kondisi sebelumnya, karakteristik unit pengadopsi dan karakteristik inovasi itu sendiri. Komunikasi vertikal adalah komunikasi secara kekuasaan (otoriter), yaitu keputusan yang dipaksakan terhadap individu oleh orang yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi (Rollins, 1993). Melihat fenomena dalam uraian di atas maka dalam tahap awal proses adopsi pada masyarakat Arfak perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
161
(1) Pola difusi inovasi yang dilakukan oleh misionaris tetap dipertahankan dengan berupaya memperbaiki pola pendekatan untuk mendapat pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor); (2) Karakteristik petani perlu mendapat perhatian oleh penyuluh sebagai bahan pertimbangan ketika inovasi diberikan kepada masyarakat Arfak, terutama faktor tingkat pendidikan dan faktor kuat mempertahankan tradisi atau adat istiadat mereka; (3) Saluran komunikasi perlu dikembangkan bukan dalam bentuk interpersonal namun komunikasi media massa dalam bentuk gambar pada poster, leaflet, dan siaran radio, serta televisi; (4) Orientasi terhadap nilai-nilai budaya hakikat hubungan sesama manusia lebih dikembangkan bukan pada satu keluarga atau marga namun dikembangkan interaksi dengan suku lain dalam masyarakat Arfak maupun di luar masyarakat Arfak. Oleh sebab itu diperlukan inovasi yang mampu menciptakan kerja sama atau kelompok; (5) Diharapkan penyuluh dari masyarakat Arfak sendiri yang lebih mengetahui karakter budaya Arfak. Dapat dinyatakan di sini, bahwa tahap 1 (pengetahuan/perkenalan/penyadaran) merupakan tahap yang paling penting karena merupakan proses mental yaitu menyangkut nilai-nilai calon adopter yang harus disentuh oleh inovator misalnya dalam bentuk komunikasi, sosialisasi, dan internalisasi yang baik. Tahap - 2 (Proses Adopsi Tahap Persuasif)
Pada tahap persuasif (Y2) yang diharapkan adanya peran atribut inovasi (–0,19) dan saluran komunikasi (0,03) pada kenyataannya tidak nampak. Hal ini membuktikan bahwa sifat-sifat inovasi dan saluran komunikasi sebagai faktor penghambat proses adopsi inovasi pada masyarakat Arfak. Enam atribut inovasi yang diuji ternyata yang dianggap menghambat adalah (1) Tidak tersedia inovasi di lingkungan masyarakat Arfak sehingga sulit keberlanjutannya. Misalnya, anjuran menggunakan sarana produksi pupuk ketika habis sangat sulit diperolehnya lagi. Mosher (1983:118-120) melihat keinovatifan karena adanya kesangsian atau sifat petani yang selalu waspada terhadap setiap metode baru, misalnya tersedianya produk/alat tersebut secara lokal. Apabila inovasi tersebut tidak tersedia secara lokal maka petani akan enggan menerapkannya. Tersedianya inovasi secara lokal sebagai salah satu 162
syarat pokok pembangunan pertanian; (2) Inovasi yang diberikan selama ini relatif tidak memberi keuntungan bagi petani Arfak; dan (3) Inovasi tidak bisa dilihat atau dibuktikan hasilnya secara cepat. Selain dipengaruhi oleh peubah atribut inovasi, peubah saluran komunikasi perlu diperhatikan dalam tahap persuasif yaitu menggunakan komunikasi tatap muka (interpersonal) dialogis yang menggugah perasaan mereka agar mau mengikuti inovasi tersebut. Lemahnya pengaruh komuniksi dalam tahap persuasif diduga kontribusi kuat pengaruh komunikasi saluran media massa yang belum dilakukan sama sekali di masyarakat Arfak. Hal ini disebabkan tidak ada tersedia fasilitas menonton televisi, koran, dan radio oleh masyarakat. Atribut inovasi dan saluran komunikasi tidak berfungsi maka relatif pada tahap ini tergantung pada respons yang berlangsung pada tahap sebelumnya (tahap pengetahuan). Apabila tahap pengetahuan tidak berjalan maka akan sulit pada tahap persuasif menimbulkan respon menerima suatu inovasi. Tahap persuasif atau tahap minat, seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak terhadap inovasi itu. Jenis informai yang dibutuhkan lebih ke arah operasionalisasi dan kegunaan inovasi, misalnya cara bekerjanya inovasi tersebut, manfaatnya untuk pemakai, dan sebagainya (Rogers, 1983; Lionberger dan Gwin, 1991). Rogers dan Shoemaker (1987:44) juga menyatakan bahwa sebelum seseorang mengenal suatu ide baru, ia tidak dapat membentuk sikap tertentu terhadap inovasi tersebut. Oleh sebab itu kondisi awal (Tahap 1) yang dipengaruhi oleh sikap mental pembelajaran yang tinggi sangat menentukan terjadinya proses adopsi inovasi, karena pada Tahap Persuasif, pengetahuan “prinsip” (teori-teori) yang diperoleh dari proses pembelajaran paling berpengaruh. Tahap - 3 (Tahap Adopsi)
Pada tahap adopsi (Y3) adopter menetapkan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Di dalam hal ini masyarakat Arfak dipengaruhi oleh faktor saluran komunikasi dan kondisi yang terjadi pada tahap sebelumnya. Tahap adopsi masih besar tergantung pada tahap dua sebelumnya. Kalau respon terhadap tahap dua berkurang maka pada tahap ini semakin sedikit dari mereka yang mau mengadopsi inovasi. Oleh sebab itu, pada tahap ini peubah saluran komunikasi masih tetap menjadi andalan untuk lebih meyakinkan tentang
163
manfaat inovasi, pendekatan persuasif masih digunakan dengan lebih mengingatkan kembali kelebihan dan manfaat inovasi tersebut. Lionberger dan Gwin (1991) menyatakan bahwa informasi yang dibutuhkan pada tahap ini lebih bersifat saran pertimbangan untuk melakukan evaluasi terhadap inovasi seperti; konsekuensi sosial, ekonomi dan budaya yaitu penilaian dari orang-orang yang dipercaya terhadap inovasi tersebut, dan hasil percobaan-percobaan pada tingkat lokal/regional. Petani Arfak menunda menggunakan inovasi, sambil melihat keberhasilan yang dilakukan oleh petani lain. Oleh sebab itu, pembuktian suatu inovasi sangat penting bagi masyarakat Arfak yaitu melakukan dalam bentuk demplot dan kunjungan langsung penyuluh ke lokasi pertanian untuk lebih meyakinkan mereka perihal inovasi tersebut. Pembahasan di atas dapat dinyatakan bahwa kelancaran proses pengambilan keputusan inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor: keberadaan sasaran, jenis-jenis informasi yang dibutuhkan oleh sasaran berdasarkan tahapan proses adopsinya, dan sumber-sumber atau saluran komunikasi bagi informasi sesuai dengan tahapan proses adopsi. Bentuk komunikasi interpersonal vertikal dalam proses adopsi inovasi tersebut menurut penilaian Freire (Yunus, 2004) adalah bentuk pendidikan tradisional “gaya bank” di mana guru mentransfer pengetahuan kepada murid. Di masyarakat Arfak, agen pembangunan (Penyuluh, Kepala Suku, dan aparat Pemerintah) berposisi sebagai subjek, sedangkan petani sebagai objek; penyuluh mengajar, petani diajar; penyuluh mengetahui segala sesuatu, petani tidak tahu apa-apa; penyuluh berpikir, petani dipkirkan; penyuluh bercerita, petani mendengarkan; penyuluh mengatur, petani diatur; dan seterusnya. Di dalam sistem adopsi seperti ini tidak terjadi komunikasi antara petani dengan penyuluh. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Arfak telah membuktikan eksistensi masyarakat lokal dalam mempertahankan kehidupannya selama ini. Dinyatakan oleh Freire bahwa peatani tersebut bukan ”bejana” kosong yang harus dituangkan air, namun telah memiliki pengetahuan yang selayaknya penyuluh belajar dengan petani. Terjadi proses pembelajaran yang saling membutuhkan atau secara dialog. Program penyuluhan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat berjalan dengan baik mana kala prinsip saling belajar dengan petani yang memiliki kearifan lokal dapat diterapkan karena terjadi proses pemadupadan antara inovasi dari luar dengan kearifan lokal menjadi teknologi yang tepat guna.
164
Implementasi Strategis Adopsi Inovasi Petani Arfak
Berdasarkan pola hubungan tahap adopsi inovasi dan pembahasan pengetahuan /teknologi lokal serta tipologi budaya tersebut di atas, maka dapat diidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal; peluang dan ancaman eksternal yang ikut mempengaruhi proses adopsi inovasi petani Arfak. Identifikasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threats) petani Arfak dapat dilihat pada Gambar 21.
KEKUATAN: - Kebutuhan belajar tinggi - Sumberdaya alam tinggi - Kearifan lokal kelestarian alam & ketahanan pangan - Nilai Sosiobudaya: empati, terbuka pada perubahan, inovatif - Pertanian organik - Misionaris dengan misi agama & pemberdayaan masyarakat yang aktif.
KELEMAHAN: - Kualitas sumberdaya manusia rendah - Budaya peasant (pasrah, kebutuhan sekarang, paternalistik, irasional, orientasi masa lalu, kebersamaan dalam klen/marga) - Teknologi sederhana - Biaya transportasi mahal - Sarana produksi & pemasaran tidak ada
PELUANG: - Otonomi khusus (Otsus) Papua - Transmigrasi - Pemekaran Pegunungan Arfak menjadi Kabupaten - Pembangunan infrastruktur - UU No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan & Kehutanan
Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Æ Strategi utama: - Kebutuhan belajar, sumberdaya alam, kearifan lokal, empati, terbuka, inovatif, peran misionaris merupakan kekuatan untuk pembangunan bidang pertanian khususnya petani dgn cara meratifikasi UU tentang penyuluhan pertanian.
Meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Æ Strategi potensi: - Menambah kapasitas dan kompotensi SDM, dan menyiapkan sarana/prasarana produksi untuk menyikapi Otsus, pemekaran, dan UU sistem penyuluhan
ANCAMAN: - Masuk dalam Cagar Alam Pegunungan Arfak (CAPA) - Globalisasi - Komoditi pertanian dari luar Manokwari - Ladang berpindah - Urbanisasi - Kebijakan Pemerintah topdown
Menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Æ Jangka pendek: - Kebutuhan belajar, sumberdaya alam, kearifan lokal, empati, terbuka, inovatif, penghayatan ajaran agama bisa digunakan untuk mengatasi ancaman kerusakan CAPA, globalisasi, komoditi dari luar, ladang berpindah, urbanisasi, dan kebijakan pemerintah yg tdk mendukung.
Meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Æ Jangka panjang: - Mengurangi perilaku budaya peasant dan menjaga kelestarian alam, mengantisipasi globalisasi, urbanisasi, serta menghapus kebijakan yang tidak berpihak kpd petani. - Mengatasi kelemahan beresiko dalam pertanian.
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
Gambar 21. Identifikasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threats) Adopsi Inovasi Pertanian Masyarakat Arfak
165
Implementasi strategi adopsi inovasi di atas dapat berjalan efektif dan produktif dengan cara memperhatikan jangka waktu dan peran serta pelaku pembangunan pertanian seperti Pemerintah Daerah sebagai regulator, Perguruan Tinggi sebagai pemikir, LSM sebagai pendamping, misionaris dan tokoh-tokoh adat sebagai pengawas sedangkan petani sebagai subjek pembangunan pertanian ikut dilibatkan setiap kebijakan tentang pembangunan pertanian. Analisis SWOT di atas dapat diidentifikasi permasalahan dan langkah-angkah strategi pemecahan masalah penyelenggaraan penyuluhan pada masyarakat petani Arfak adalah sbb.: (1) Strategi utama. Kekuatan yang dimiliki seperti kebutuhan belajar yang tinggi, kekayaan sumber daya alam, kearifan lokal, empati, terbuka, inovatif, dan pemberdayaan intensif dari misionaris merupakan faktor pendukung yang sangat penting diperhatikan dalam penyelenggaraan penyuluhan pada masyarakat Arfak. Kebutuhan belajar, rasa empati, keterbukaan, dan inovatif adalah modal sosial mempercepat terjadinya proses pembelajaran yang aktif karena merupakan suatu kebutuhan dan dorongan. Kekayaan sumberdaya alam dan ditopang oleh pengetahuan dan teknologi lokal serta proses pembelajaran yang dilakukan oleh misionaris akan mempercepat
tumbuhnya
inovasi-inovasi
tepat
guna
dengan
tetap
menjaga
kelestarian alam. (2) Strategi jangka pendek (1 Tahun). Kekuatan yang dimiliki seperti kebutuhan belajar, sumberdaya alam, kearifan lokal, empati, terbuka, inovatif, pemberdayaan intensif dari misionaris mampu mengatasi ancaman kerusakan alam, arus globalisasi, dan kebijakan yang merugikan. Kegiatan yang dilakukan pada program jangka pendek adalah: - Membangun institusi penyuluhan tingkat daerah yaitu mengacu pada UU No.16
Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Perda Sistem Penyuluhan Daerah, rekrutmen personil penyuluh, membuat peran dan tugas penyuluh, pos penyuluhan mulai dari tingkat kampung, dll.). - Membuat programa penyuluhan pertanian berperspektif Arfak (metode, materi, dan
teknik) dalam rangka membangun rasa percaya diri akan kekuatan modal sosial dan sumber daya alam yang mereka miliki. 166
- Membangun pasar lokal atau Koperasi Kampung untuk menampung produksi
pertanian kemudian dipasarkan ke kota Manokwari. - Mengurangi bantuan Pemerintah dalam bentuk pemberian uang tunai seperti dana
otsus dan beras untuk keluarga miskin, tetapi dalam bentuk alat-alat pertanian dan program penyuluhan. - Membuat alat transportasi lokal yang murah dan dapat menjangkau kampung atau
pedalaman, misalnya memelihara kuda. Pemerintah Daerah (Manokwari dan Papua Barat) yaitu instansi terkait dan Perguruan Tinggi seperti UNIPA memiliki peran penting membuat regulasi sistem penyuluhan terpadu. (3) Strategi jangka menengah (2-3 Tahun). Menambah kapasitas dan kompetensi SDM, serta penyediaan sarana/prasarana produksi untuk menyikapi Otsus, pemekaran, wilayah dan UU sistem penyuluhan. Kegiatan yang dilakukan pada program jangka menengah adalah: - Membangun akses jalan raya dari/ke kota Manokwari. - Penyuluhan berperspektif agribisnis dengan cara pendampingan dan pengawasan
secara bertanggung jawab. - Mengundang investor komoditas ubi-ubian untuk membangun industri ubi-ubian
orientasi pasar eksport, bermitra kerja dengan petani Arfak. - Membuat Perkam (Peraturan Kampung) tentang perlindungan terhadap sumber daya
alam, kearifan lokal, pajak penghasilan, dan tata kehidupan bermasyarakat. Pemerintah Daerah (Manokwari dan Papua Barat) melalui instansi terkait dengan Perguruan Tinggi seperti UNIPA memiliki peran penting membuat perencanaan pembangunan infra struktur ditinjau dari perspektif sosial budaya dan ekonomi. Sedangkan tokoh adat, misionaris, dan LSM ikut mengawasi dan mendampingi jalannya kegiatan pembangunan jangka menengah tersebut. (4) Strategi jangka panjang (4-5 Tahun). Mengurangi perilaku budaya peasant, menjaga kelestarian alam, mengantisipasi globalisasi, urbanisasi, menghapus kebijakan yang tidak berpihak kepada petani, serta mengatasi kelemahan beresiko dalam pertanian. Kegiatan yang dilakukan pada program jangka panjang adalah: - Mendirikan Sekolah Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kampung.
167
- Mendirikan Bank Kampung untuk mengajarkan masyarakat menyimpan dan
meminjam uang di bank sebagai akumulasi modal. - Mengembangkan agribisnis komoditas unggul lain yang cocok dengan sosial,
budaya, dan ekologi pegunungan Arfak. - Membangun pusat studi atau laboratorium pertanian Pegunungan Arfak.
Pemerintah Daerah Manokwari dan Papua Barat melalui instansi terkait dengan Perguruan Tinggi seperti UNIPA memiliki peran penting membuat perencanaan strategis Pembangunan Pertanian Arfak jangka panjang. Tokoh adat, misionaris, dan LSM adalah mengawasi setiap pelaksanaan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah. Mengacu pada pola hubungan proses adopsi inovasi dan analisis SWOT di atas maka implikasi kebijakan penelitian ini dapat dibuat konsep atau strategi penyuluhan yang disesuaikan dengan kondisi karakteristik budaya, alam/geografis, dan struktur sosial sehingga proses pengadopsian inovasi dapat berjalan lebih efektif pada masyarakat petani pedalaman Arfak (Gambar 22).
INPUT
Program penyuluhan (metode, materi, teknik) yang disesuaikan dengan: karakteristik budaya, alam/geografis, & struktur sosial
PROSES
Penyadaran/ Pemahaman - Hak mendapatkan inovasi, pembelajaran - Tujuan inovasi - Manfaat inovasi - Hubungan inovasi dengan sosiokultural lokal
Kapasitas
Uji Coba
- Ketrampilan - Pengetahuan - Sikap mental
- Jaminan ketersediaan inovasi - Menguntungkan - Mudah dicoba - Tidak rumit - Pembuktian segera - Sesuai dengan sosiokultur
Umpan balik
OUTPUT
Kapasitas dan kompetensi meningkat yaitu menjadi tahu, mau dan mampu meningkatkan produksi pertanian secara berkelanjutan
OUTCOME
-
Harga diri meningkat Percaya diri meningkat Pendapatan petani meningkat Lingkungan lestari
168
Keputusan Adopsi Menolak